Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (Hpl) Yang Menjadi Objek Jaminan (Studi : Pt Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro)

(1)

CABANG MEDAN DIPONEGORO)

TESIS

Oleh

MELKI SUHERY SIMAMORA

117011118/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

CABANG MEDAN DIPONEGORO)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MELKI SUHERY SIMAMORA

117011118/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

OBJEK JAMINAN (STUDI : PT BANK INTERNASIONAL INDONESIA, TBK CABANG MEDAN DIPONEGORO)

Nama Mahasiswa : MELKI SUHERY SIMAMORA Nomor Pokok : 117011118

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) (Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum

2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

Nama : MELKI SUHERY SIMAMORA

Nim : 117011118

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : KAJIAN HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN BANK

SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN ATAS

BERAKHIRNYA SERTIPIKAT HAK GUNA

BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN (HPL) YANG MENJADI OBJEK JAMINAN (STUDI : PT BANK INTERNASIONAL INDONESIA, TBK CABANG MEDAN DIPONEGORO)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :MELKI SUHERY SIMAMORA


(6)

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 19

C. Tujuan Penelitian ... 20

D. Manfaat Penelitian ... 20

E. Keaslian Penelitian ... 21

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 22

1. Kerangka Teori ... 22

2. Konsepsi ... 26

G. Metode Penelitian ... 28

1. Sifat Penelitian ... 28

2. Teknik Pengumpulan Data ... 29

3. Alat Pengumpul Data ... 29

4. Analisis Data ... 30

BAB II KEDUDUKAN BANK SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN ATAS BERAKHIRNYA SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN (HPL) YANG MENJADI OBJEK JAMINAN ... 31

A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan ... 31

B. Tinjauan Umum Hak Guna Bangunan ... 54


(7)

DALAM MENGANTISIPASI BERAKHIRNYA SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN (HPL) YANG MENJADI OBJEK

JAMINAN ... 81

BAB IV TINDAKAN-TINDAKAN YANG DILAKUKAN BANK SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DENGAN BERAKHIRNYA SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN (HPL) YANG MENJADI OBJEK JAMINAN ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105 LAMPIRAN


(8)

pihak lain yang terkait memperoleh perlindungan melalui lembaga jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait. Bank sebagai salah satu lembaga pembiayaan yang membantu kelancaran usaha debiturnya melalui pinjaman uang dalam bentuk pemberian kredit mempunyai fungsi utama dalam pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu diperlukan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, maka lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disingkat UUHT. Salah satu peristiwa yang dapat menghapuskan Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 18 ayat 1d Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa sebagai dasar yang disebutkan terakhir untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah hapusnya hak atas tanah. Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara. Akan tetapi apabila jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut berakhir dan masih diperpanjang maka Hak Tanggungan masih melekat, sebaliknya apabila Hak Guna Bangunan tersebut tidak dapat diperpanjang maka Hak Tanggungan juga akan hapus demikian juga halnya dengan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan (HPL) sehingga posisi kreditor tidak lagi sebagai Kreditur Preferen melainkan menjadi kreditor konkuren.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), yaitu teori yang menjelaskan bahwa hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil :

1. Kedudukan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan dengan berakhirnya jangka waktu Sertipikat Hak Guna Bangunan yang berada diatas Hak Pengelolaan (HPL) dan sedang menjadi objek jaminan, yaitu yang pada awalnya berposisi sebagai kreditor preferen sebagai pemegang jaminan kebendaan karena Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sebagai perjanjian jaminan kebendaan mempunyai prinsip absolut/mutlak,droit de suite, droit de preference, spesialitas dan publisitas, maka dengan hapusnya Hak Tanggungan berubah menjadi kreditor konkuren yang mempunyai hak perseorangan yang merupakan hak yang timbul dari jaminan umum atau jaminan yang timbul dari undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

2. Kendala-kendala yang timbul Sehubungan dengan berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan yang sedang menjadi jaminan atas suatu hutang tertentu, timbul kendala bagi Bank selaku kreditor pemegang Hak atas Jaminan dimana berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan yang


(9)

perpanjangan serta retribusi (uang pemasukan kas negara) yang terlalu mahal, c). Debitor yang awam dan tidak kooperative tidak mau menanggung biaya-biaya proses perpanjangan Hak atas Sertipikat yang telah berakhir, d). Pengurusan perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangunan di kantor pertanahan yang cukup lama yang mengakibatkan SKMHT yang ditandatangani oleh Debitur bisa berulang-ulang.

3. Tindakan yang dapat dilakukan oleh Bank selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang dijaminkan yaitu dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) pada waktu penandatanganan Perjanjian Kredit, yakni sebelum dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas tanah yang akan dijaminkan dan hal tersebut telah dimungkinkan didalam Pasal 15 UUHT. Kemudian dengan mencantumkan janji-janji untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan. Menyelamatkan objek Hak Tanggungan disini termasuk untuk mengantisipasi atau menyelamatkan hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena habisnya waktu hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan akibat tidak diperpanjangnya masa berlaku hak atas tanah tersebut. Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas tanah tersebut dapat dicantumkan kuasa dari pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memperpanjang jangka waktu hak atas tanah tersebut.


(10)

get protection from a strong guarantee board which is able to provide legal certainty for all of them. Bank as one of the financing institutions, which helps the streamlining of its debtors’ business through lending an amount of money in the form of credit, have the main function in the economic growth.

Therefore, a strong security right institution, capable of providing legal certainty for the parties concerned, is needed. For this reason, Law No. 4/1996, which regulates the Hypothecation on land and all properties related to it (UUHT), is enacted. One thing which can annul hypothecation as it is stipulated in Article 18 paragraph 1d of Law on Hypothecation is that the basis for the annulment of Hypothecation is the annulment of the land rights. The annulment of hypothecation on a State’s land, as it is stipulated in Article 35, will cause the land to be owned by the State. However, when the Building Rights come to an end and is still renewed, the hypothecation is associated. On the other hand, if the Building Rights cannot be renewed, the hypothecation will also be annulled. The same is true to the Building Rights on the Management Rights (HPL) so that the creditor’s position is not as a Preferential Creditor but as a Concurrent Creditor.

The research used Legal Certainty (Rechtssicherheit) method which explains that law must be implemented and enforced because each individual expects that law can be implemented in any concrete occurrence. Based on the findings of the research, it can be concluded that:

1. The Bank as the holder of Hypothecation, when the period of the validity of the Building Rights certificate, which is located on the Management Rights, comes to an end and is still a collateral, initially has the position as preferential creditor and the holder of hypothecation because the Deed for the Giving of Hypothecation (APHT) as the collateral has absolute, droit de suite, droit de preference, specialty, and publicity principles. Therefore, Hypothecation changes to be a concurrent creditor that has individual rights which is caused by general guarantee or the guarantee which is caused by law as it is stipulated in Article 1131 of the Civil Code.

2. There are some obstacles related to the annulment of the Building Rights Certificate as the collateral for a certain debt which occurs to the Bank as the holder of hypothecation in which the annulment of the Building Rights Certificate on the Management Rights becomes the Bank’s collateral. These obstacles are as follows: a) there is the problem of signing SKMHT by the holder of the Building Rights (Debtor) which is intended that the collateral is still in the authority of the Bank, b) there is the bureaucracy of obtaining the license and the Agreement of the Renewal of the Building Rights in the Office of Medan City Administration because the process usually takes a long time and is


(11)

long-Certificate in the Land Office which is long-winded can cause the debtors to be back and forth repeatedly in signing the SKMHT.

3. In order to anticipate the annulment of the land rights as the collateral, the Bank as the creditor who holds Hypothecation, can make a power of attorney for Charging Hypothecation (SKMHT) at the time the Credit Contract is signed, before the Deed for the Giving of Hypothecation (APHT) which will be mortgaged is made, and this can be done according to Article 15 of UUHT by attaching the promise to save the Hypothecation. What it means by saving the Hypothecation includes anticipating or saving the annulment of the mortgaged land rights because the period of the validity of the land rights which are charged by the Hypothecation has come to an end. The power of attorney from the mortgagor to the mortgagee can be attached on the Deed for the giving of Hypothecation in order to renew the period of the validity of the land rights. Keywords: Hypothecation, Building Rights, Management Rights


(12)

Esa atas berkat dan rahmat dan karunianya yang telah menambah keyakinan dan kekuatan bagi penulis dengan segala keterbatasan waktu dan materi yang dimiliki sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul ”Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (HPL) Yang Menjadi Objek Jaminan (Studi : PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro)”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat penting yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak memperoleh dukungan, motivasi, pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikann ucapan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan para Asisten serta staf atas bantuan, kesempatan


(13)

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Dosen Pembimbing

yang dengan penuh perhatian memberikan dorongan, masukan dan saran kepada penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini;

6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan sabar dan perhatian memberi dukungan, masukan serta arahan yang sangat membantu dalam penyempurnaan tesis ini;

7. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan juga perhatian memberi dukungan serta pengarahan kepada penulis;

8. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan arahan untuk penyempurnaan tesis ini;

9. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan arahan, masukan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini;


(14)

informasi dibidang Perbankan dalam penyelesaian tesis ini.

12. Bapak Hafizunsyah, SH, yang telah bersedia meluangkan waktu guna memberikan informasi di Kantor Pertanahan Kota Medan.

13. Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2011 pada Group A yang selalu memberi dukungan, semangat dan doa dalam menyelesaikan penulisan tesis ini;

14. Isteri dan anak tercinta, maafkan Papa yang telah banyak mengambil waktu bersama keluarga.

Secara khusus penulis ucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tua penulis yaitu ayahanda Muslih AR. Simamora dan ibunda Rukmini Piliyang yang telah membesarkan dengan kasih sayang, kesabaran, dan doa yang tiada henti-hentinya hingga kami berhasil, semoga Allah SWT memberi umur yang panjang dan memberi rahmat yang seluas-luasnya kepada orang tua penulis.

Akhir kata penulis berharap mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan manfaat dan sebagai sarana bacaan untuk semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum khususnya bidang ilmu kenotariatan.

Medan, Juli 2013 Penulis


(15)

Nama : Melki Suhery Simamora Tempat/Tanggal lahir : Padang Masiang/ 29 Mei 1982

Alamat : Jl. Beringin III No. 53-A Medan

Jenis Kelamin : Laki-laki

II. IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ayah : Muslih AR. Simamora

Nama Ibu : Rukmini Piliyang

III. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Negeri 1 Barus (1990-1995)

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : SLTP Negeri 1 Barus (1995-1998) Sekolah Menengah Umum : MAN 1 Barus (1998-2001)

Diploma III : Akademi Perdagangan (Akperdag “TP)

Semarang (2001-2004

Strata I : UNIVERSITAS DHARMAWANGSA

Fakultas Ekonomi (2004-2008) Fakultas Hukum (2008-2010)

Strata II : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(16)

pihak lain yang terkait memperoleh perlindungan melalui lembaga jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait. Bank sebagai salah satu lembaga pembiayaan yang membantu kelancaran usaha debiturnya melalui pinjaman uang dalam bentuk pemberian kredit mempunyai fungsi utama dalam pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu diperlukan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, maka lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disingkat UUHT. Salah satu peristiwa yang dapat menghapuskan Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 18 ayat 1d Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa sebagai dasar yang disebutkan terakhir untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah hapusnya hak atas tanah. Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara. Akan tetapi apabila jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut berakhir dan masih diperpanjang maka Hak Tanggungan masih melekat, sebaliknya apabila Hak Guna Bangunan tersebut tidak dapat diperpanjang maka Hak Tanggungan juga akan hapus demikian juga halnya dengan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan (HPL) sehingga posisi kreditor tidak lagi sebagai Kreditur Preferen melainkan menjadi kreditor konkuren.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), yaitu teori yang menjelaskan bahwa hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil :

1. Kedudukan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan dengan berakhirnya jangka waktu Sertipikat Hak Guna Bangunan yang berada diatas Hak Pengelolaan (HPL) dan sedang menjadi objek jaminan, yaitu yang pada awalnya berposisi sebagai kreditor preferen sebagai pemegang jaminan kebendaan karena Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sebagai perjanjian jaminan kebendaan mempunyai prinsip absolut/mutlak,droit de suite, droit de preference, spesialitas dan publisitas, maka dengan hapusnya Hak Tanggungan berubah menjadi kreditor konkuren yang mempunyai hak perseorangan yang merupakan hak yang timbul dari jaminan umum atau jaminan yang timbul dari undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

2. Kendala-kendala yang timbul Sehubungan dengan berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan yang sedang menjadi jaminan atas suatu hutang tertentu, timbul kendala bagi Bank selaku kreditor pemegang Hak atas Jaminan dimana berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan yang


(17)

perpanjangan serta retribusi (uang pemasukan kas negara) yang terlalu mahal, c). Debitor yang awam dan tidak kooperative tidak mau menanggung biaya-biaya proses perpanjangan Hak atas Sertipikat yang telah berakhir, d). Pengurusan perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangunan di kantor pertanahan yang cukup lama yang mengakibatkan SKMHT yang ditandatangani oleh Debitur bisa berulang-ulang.

3. Tindakan yang dapat dilakukan oleh Bank selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang dijaminkan yaitu dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) pada waktu penandatanganan Perjanjian Kredit, yakni sebelum dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas tanah yang akan dijaminkan dan hal tersebut telah dimungkinkan didalam Pasal 15 UUHT. Kemudian dengan mencantumkan janji-janji untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan. Menyelamatkan objek Hak Tanggungan disini termasuk untuk mengantisipasi atau menyelamatkan hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena habisnya waktu hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan akibat tidak diperpanjangnya masa berlaku hak atas tanah tersebut. Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas tanah tersebut dapat dicantumkan kuasa dari pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memperpanjang jangka waktu hak atas tanah tersebut.


(18)

get protection from a strong guarantee board which is able to provide legal certainty for all of them. Bank as one of the financing institutions, which helps the streamlining of its debtors’ business through lending an amount of money in the form of credit, have the main function in the economic growth.

Therefore, a strong security right institution, capable of providing legal certainty for the parties concerned, is needed. For this reason, Law No. 4/1996, which regulates the Hypothecation on land and all properties related to it (UUHT), is enacted. One thing which can annul hypothecation as it is stipulated in Article 18 paragraph 1d of Law on Hypothecation is that the basis for the annulment of Hypothecation is the annulment of the land rights. The annulment of hypothecation on a State’s land, as it is stipulated in Article 35, will cause the land to be owned by the State. However, when the Building Rights come to an end and is still renewed, the hypothecation is associated. On the other hand, if the Building Rights cannot be renewed, the hypothecation will also be annulled. The same is true to the Building Rights on the Management Rights (HPL) so that the creditor’s position is not as a Preferential Creditor but as a Concurrent Creditor.

The research used Legal Certainty (Rechtssicherheit) method which explains that law must be implemented and enforced because each individual expects that law can be implemented in any concrete occurrence. Based on the findings of the research, it can be concluded that:

1. The Bank as the holder of Hypothecation, when the period of the validity of the Building Rights certificate, which is located on the Management Rights, comes to an end and is still a collateral, initially has the position as preferential creditor and the holder of hypothecation because the Deed for the Giving of Hypothecation (APHT) as the collateral has absolute, droit de suite, droit de preference, specialty, and publicity principles. Therefore, Hypothecation changes to be a concurrent creditor that has individual rights which is caused by general guarantee or the guarantee which is caused by law as it is stipulated in Article 1131 of the Civil Code.

2. There are some obstacles related to the annulment of the Building Rights Certificate as the collateral for a certain debt which occurs to the Bank as the holder of hypothecation in which the annulment of the Building Rights Certificate on the Management Rights becomes the Bank’s collateral. These obstacles are as follows: a) there is the problem of signing SKMHT by the holder of the Building Rights (Debtor) which is intended that the collateral is still in the authority of the Bank, b) there is the bureaucracy of obtaining the license and the Agreement of the Renewal of the Building Rights in the Office of Medan City Administration because the process usually takes a long time and is


(19)

long-Certificate in the Land Office which is long-winded can cause the debtors to be back and forth repeatedly in signing the SKMHT.

3. In order to anticipate the annulment of the land rights as the collateral, the Bank as the creditor who holds Hypothecation, can make a power of attorney for Charging Hypothecation (SKMHT) at the time the Credit Contract is signed, before the Deed for the Giving of Hypothecation (APHT) which will be mortgaged is made, and this can be done according to Article 15 of UUHT by attaching the promise to save the Hypothecation. What it means by saving the Hypothecation includes anticipating or saving the annulment of the mortgaged land rights because the period of the validity of the land rights which are charged by the Hypothecation has come to an end. The power of attorney from the mortgagor to the mortgagee can be attached on the Deed for the giving of Hypothecation in order to renew the period of the validity of the land rights. Keywords: Hypothecation, Building Rights, Management Rights


(20)

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi mempunyai makna sebagai suatu bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka mendorong dan menggairahkan dunia usaha, pemerintah telah memberi dukungan dengan menyediakan berbagai fasilitas dan bermacam-macam sarana termasuk didalamnya upaya dalam menunjang permodalan yaitu dengan menyediakan fasilitas kredit. Memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha sekarang ini para pengusaha dalam upaya menambah kebutuhan akan modal yang akan mendorong kelancaran usahanya, biasanya memanfaatkan fasilitas kredit yang disediakan oleh pemerintah dan disalurkan melalui lembaga-lembaga keuangan dengan mengadakan perjanjian kredit.1

Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat secara perorangan ataupun badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar2. Maka untuk memperlancar pengerahan dana, memperluas pemberian kredit kepada masyarakat hendaknya diusahakan

1

Kartono,Hak-Hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita, Jakarta , 1977, hal .98

2Husni Hasbullah, Frieda,Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi Jaminan, Jilid 2, Ind


(21)

agar dana-dana yang disalurkan lewat bank-bank, tidak hanya berasal dari bank sentral dan APBN saja melainkan juga menyerap dana-dana yang berasal dari masyarakat sendiri.

Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan sudah seharusnya apabila pemberi dan penerima kredit serta pihak-pihak lain yang terkait memperoleh perlindungan melalui lembaga jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 pada pasal 58 dinyatakan tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 25, pasal 33 dan pasal 39 diatur denganUndang-Undang”. Dengan demikian telah disediakan Lembaga jaminan yang dapat dibebankan kepada hak-hak atas tanah, yakni Hak Tanggungan yang menjadi pengganti Lembaga Hypotheek yang diatur dalam Buku II KUHPerdata dan Credietverband yang diatur dalam S. 1908-542 Juncto. S.1937-190.

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti bahwa jika Debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain.3

3Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UNPAD,Hak Tanggungan Atas Tanah dan


(22)

Guna menjalankan perekonomian dan dunia usaha terutama sektor riil sudah pasti membutuhkan pendanaan yang besar dan juga modal yang besar. Masalah dana dan permodalan adalah sesuatu yang vital bagi dunia usaha. Modal merupakan sesuatu yang mutlak bagi suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya, begitu pula halnya dengan perusahaan juga akan mati tanpa dana. Dengan demikian salah satu permasalahan dalam bidang ekonomi adalah masalah permodalan.

Sebagaimana yang diarahkan dalam Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN), bahwa pembangunan nasional merupakan suatu usaha bersama antara masyarakat dan pemerintah4. Masyarakat adalah pelaku utama pembagunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang. Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional, khususnya dibidang ekonomi yang pelakunya meliputi semua unsur kehidupan ekonomi, baik pemerintah, swasta, badan hukum, maupun perseorangan, pembiayaan merupakan sarana yang mutlak diperlukan.

Bank sebagai salah satu lembaga pembiayaan yang membantu kelancaran usaha debiturnya melalui pinjaman uang dalam bentuk pemberian kredit mempunyai fungsi utama dalam pertumbuhan ekonomi. Menurut pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan sebagai berikut :


(23)

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”.

Pemberian Kredit yang dilakukan oleh bank sebagai lembaga pembiayaan atau keuangan sudah semestinya mendapat perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga jaminan hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam perkembangan kegiatan perkreditan seperti dijelaskan diatas, tidak bisa dilepaskan dari pemberian kredit oleh bank itu sendiri dan jaminan atas pelunasan kredit tersebut. Oleh karena itu pemerintah mendorong perbankan untuk menyelurkan kredit tanpa adanya keharusan pemohon kredit memberikan jaminan, tetapi pada umumnya perbankan tidak memberikan kredit tanpa adanya jaminan.

Hal ini disebabkan karena kedudukan bank sebagai lembaga keuangan yang kegiatan operasionalnya berada dalam lingkup penghimpunan dana dari masyarakat (dalam bentuk kredit) sampai dana tersebut kembali lagi ke Bank. Dengan demikian dalam setiap kegiatan perkreditan, pihak bank perlu memperoleh jaminan atas pembayaran piutangnya, yaitu dengan cara meminta jaminan kepada nasabah.

Dalam perwujudan tentang jaminan umum yang bersumber karena peraturan perundang-undangan berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata, yang menentukan bahwa semua harta kekayaan kebendaan si debitur, baik bergerak


(24)

maupun yang tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan atas seluruh perikatannya5. Apabila terjadi wanprestasi maka seluruh harta benda debitor dijual lelang dan dibagi-dibagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor. Namun perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan belum memberikan rasa aman bagi kreditor, sehingga dalam praktik penyaluran kredit, agar bank (kreditur) memiliki hak yang istimewa atau preferen atas benda jaminan yang secara khusus disediakan oleh debitor, maka jaminan tersebut harus diikat secara khusus. Pasal 1131 KUHPerdata mengatur hak untuk didahulukan diantara kreditur muncul dari hak istimewa seperti hak hipotik, hak tanggungan, gadai dan fidusia.

Permintaan jaminan khusus oleh bank dalam penyaluran kredit tersebut merupakan realisasi dari prinsip kehati-hatian bank sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Perbankan. Dalam Perbankan ada azas yang harus diperhatikan oleh Bank sebelum mamberikan kredit kepada nasabahnya, yang dikenal dengan istilah The five C’s of Credit, artinya pada pemberian kredit tersebut harus diperhatikan lima faktor, yaitu Character (karakter), Capacity (kemampuan mengembalikan utang), Collateral (jaminan), Capital (modal), dan Condition

(situasi dan kondisi).

Didalam setiap pemberian kredit selalu diperlukan jaminan atau agunan. Adapun jaminan yang diberikan dapat berbentuk benda tidak bergerak (tetap), misalnya tanah, rumah, sawah, ladang, tambak dan lain sebagainya. Sebenarnya


(25)

yang dijadikan jaminan disini adalah hak atas tanah tersebut diatas. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 pada Pasal 28 yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan di bebani Hak Tanggungan6 yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.

Obyek Hak Tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 pada pasal 28 yang sekarang telah diatur dengan adanya Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) Nomor 4 tahun 1996 yang disebutkan pada Pasal 4 ayat 1, bahwa Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.

Selain hak-hak atas tanah diatas disebutkan juga pada Pasal 2 UUHT tersebut bahwa Hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar menurut sifatnya dapat dialihkan juga dapat dibebani Hak Tanggungan, dan disebutkan pada Pasal 4 UUHT, Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan juga disebutkan pada Pasal 27 bahwa Ketentuan undang-undang ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.


(26)

Seperti yang kita ketahui bahwa pemberian Hak Tanggungan hanya akan terjadi bilamana sebelumnya diadakan Perjanjian Pokok yang berupa perjanjian yang menimbulkan suatu hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan, sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian Hak Tanggungan7. Adapun fungsi daripada jaminan tersebut adalah demi keamanan pinjaman yang diberikan oleh Bank selaku kreditur kepada nasabahnya (debitur).

Ketentuan ini telah secara tegas dinyatakan dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa :

“Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan.”

Perjanjian Pokok yang dimaksud tersebut diatas dapat berupa Perjanjian Kredit. Perjanjian kredit yang telah ditandatangani oleh Kreditur dan Debitur (para pihak) tersebut dapat berbentuk akta dibawah tangan (yang dibuat oleh para pihak sendiri) atau dalam bentuk akta Otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris), yang mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut8:

1. Perjanjian Kredit sebagai alat bukti bagi Kreditur dan Debitur yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara Bank sebagai Kreditur dan Debitur. Hak Debitur adalah menerima pinjaman dan

7Rachmadi Usman,Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 411. 8Rachmadi Usman,Op Cit, hal. 146.


(27)

menggunakan sesuai dengan tujuannya dan kewajiban Debitur mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang telah ditentukan dan Hak Kreditur untuk mendapat pembayaran bunga dan kewajiban Kreditur adalah meminjamkan sejumlah uang kepada Debitur dan Kreditur berhak kembali menerima pembayaran kembali pokok dann bunga. 2. Perjanjian Kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pengawasan kredit

yang telah diberikan Karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dipantau dari ketentuan perjanjian kredit.

3. Perjanjian Kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan benda-benda bergerak atau benda tidak bergerak milik Debitur atau milik pihak ketiga yang harus dilakukan pengikatan jaminan.

4. Perjanjian Kredit hanya sebagai alat bukti biasa yang membuktikan adanya hutang Debitur artinya perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial atau tidak memberikan kekuasaan langsung kepada bank selaku kreditur untuk mengeksekusi barang jaminan apabila Debitur tidak mampu melunasi hutangnya (wanprestasi).

Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling dominan dan dianggap strategis dalam penyaluran kredit bank. Jaminan kebendaan yang paling banyak diminta oleh bank adalah berupa tanah karena secara ekonomis tanah mempunyai


(28)

prospek yang menguntungkan. Dalam praktek terlihat, bahwa sebagian besar benda yang menjadi objek jaminan adalah tanah. Hal ini dikarenakan tanah mempunyai nilai ekonomi yang senantiasa meningkat. Kondisi yang demikian ini disebabkan oleh nilai permintaan dan ketersediaan barang (tanah) yang senantiasa semakin besar.

Sesuai dengan hukum ekonomi, kondisi ini mengakibatkan nilai tanah cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kenyataan diatas telah menempatkan tanah sebagai benda jaminan yang ideal. Tanah memilik peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujukan masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu pengaturan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib dibidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud.

Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa Bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukan berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi


(29)

wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan tertinggi.

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;

2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian) dari bumi, air dan ruang angkasa itu;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.9

Dengan demikian jelaslah, bahwa Negara harus mengatur segala sesuatunya yang berkaitan dengan tanah (merupakan bagian dari bumi) tersebut, agar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu sendiri, artinya sampai seberapa jauh Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan haknya, maka sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut.10

Tujuan utama diberlakukannya UUPA adalah untuk memberikan pengaturan penggunaan dan penguasaan tanah. Selain itu juga terlihat dalam konsideran UUPA dibagian berpendapat yang menyebutkan11:

“Perlu adanya hukum agraria, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia“ “Bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai dimaksud diatas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria“

9Angka 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 Tahun 1960

10A.P. Parlindungan,Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju, Bandung,

1998, hal. 44.

11Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


(30)

Dengan demikian jelaslah tujuan pemberlakuan UUPA tersebut adalah untuk menghilangkan sifat dualisme dalam hukum tanah nasional, yang berarti terciptanya unifikasi hukum tanah nasional dan terciptanya kepastian hukum mengenai hak atas tanah, disamping tercapainya fungsi tanah secara optimal sesuai dengan perkembangan kebutuhan rakyat Indonesia.

Untuk itu diperlukan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mengenai hak tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disingkat UUHT.

Dalam Pasal 1 ayat 1 UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.


(31)

Sebagaimana yang terkandung dalam UUHT, maka unsur-unsur pokok Hak Tanggungan antara lain12:

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan terhadap tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu

4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap Kreditor-kreditor yang lain.

Menelaah kembali defenisi Hak Tanggungan yang terdapat pada Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1996, dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Bahwa jika debitur cedera janji, Bank selaku kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada keditor-kreditor lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku. Selain dalam penjelasan umum UUHT ditemukan pengertian mengenai kalimat "kedudukan yang

12Sutan Remy Sjahdeini,Hak Tanggungan, Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang


(32)

diutamakan tertentu terhadap kreditor lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa :

Apabila debitor cedera janji, maka :

(a) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau

(b) Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya. Dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Sehubungan dengan ketentuan tersebut,

Hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada dikemudian hari. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah


(33)

yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh UUHT sebagai “Benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.

Benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat dibebani pula dengan Hak Tanggungan tidak terbatas kepada benda-benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 4 UUHT), tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut (Pasal 4 ayat 5 UUHT). Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Pada pasal 18 UUHT disebutkan peristiwa-peristiwa yang dapat mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. Dari cara penyebutannya, orang bisa menyimpulkan, bahwa yang menjadi maksud dari pembuat Undang-undang untuk menentukan batasan hal-hal yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.

Dalam Pasal 18 UUHT disebutkan mengenai hapusnya Hak Tanggungan Yaitu:

1. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;


(34)

b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh

Ketua Pengadilan Negeri;

d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

2. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

3. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaiman diatur dalam Pasal 19.

4. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.

Salah satu peristiwa yang menghapuskan Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1d) UUHT, bahwa sebagai dasar yang disebutkan terakhir untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah hapusnya hak atas tanah. Hapusnya hak atas tanah banyak terjadi karena lewatnya jangka waktu hak tersebut diberikan. Hak-hak yang lebih rendah tingkatannya dari pada hak milik seperti Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai terbatas jangka waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan


(35)

berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada tanah negara.

Sebagai dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Perturan dasar-dasar pokok agraria yang dalam pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa :

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”

Dengan adanya hak menguasai dari Negara yang dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.13

“Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, maka pemegang Hak atas tanah yang bersangkutan diberikan Sertipikat Hak atas Tanah. Sedangkan untuk melaksanakan fungsi informasi, data yang berkaitan dengan aspek fisik dan yuridis dari bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar, tujuan tertib administrasi pertanahan maka setiap bidang atau satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar”.14

13Muchsin, Imam Koeswoyo, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah, Refina Aditama, Bandung,

2007, hal. 56.

14Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis,Hukum Pendaftaran Tanah, CV. Mandar Maju,


(36)

Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah disebutkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna bangunan di atas tanah yang sama.

Pengaturan mengenai prosedur permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan disebutkan dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah yaitu:

1. Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya.

2. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.

Hak Guna Bangunan dapat hapus oleh sebab-sebab seperti yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena :


(37)

a) berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau

pemegang Hak MiIik sebelum jangka waktunya berakhir, karena:

1) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau

2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan ; atau

3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;

d) dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961; e) ditelantarkan;

f) tanahnya musnah;

g) ketentuan Pasal 20 ayat 2.

Dengan berakhirnya Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara. Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Negara berakhir dan


(38)

tidak diperpanjang jangka waktu berlakunya, maka sesuai dengan ketentuan pasal 37 ayat 1 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa pemegang “bekas” Hak Guna Bangunan wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Guna Bangunan.

Berdasarkan hal-hal yang melatar belakangi permasalahan tersebut diatas, maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (HPL) Yang Menjadi Obyek Jaminan (Studi : PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro)”.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah kedudukan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan apabila Sertipikat Hak Guna Bangunan yang berada diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang sedang dijaminkan berakhir Haknya?

2. Kendala apa saja yang dihadapi oleh Bank selaku pemegang hak tanggungan dalam mengantisipasi Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang telah berakhir tersebut?

3. Apa tindakan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan dengan berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut?


(39)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan apabila Sertipikat Hak Guna Bangunan yang berada diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang sedang dijaminkan berakhir Haknya.

2. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh Bank selaku pemegang hak tanggungan dalam mengantisipasi Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang telah berakhir tersebut.

3. Untuk mengetahui Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Bank selaku pemegang Hak Tanggungan dengan berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Teoritis

Penelitian ini dapat bermanfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang perbankan terutama dalam Hukum Agraria dan Pertanahan.

2. Praktis

Hasil penelitian ini berguna sebagai masukan (input) maupun sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil langkah-langkah kebijakan dibidang perekonomian dan bahwasanya dalam penyaluran dana dalam bentuk kredit, bank memerlukan jaminan yang berfungsi sebagai antisipasi kredit macet dalam pengembalian pinjaman.


(40)

E. Keaslian Penelitian

Sebelumnya peneliti telah melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan para peneliti terdahulu di Perpustakaan Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terhadap penelitian yang telah ada, akan tetapi penelitian yang membahas tentang Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (HPL) Yang Menjadi Obyek Hak Jaminan (Studi : PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro) belum pernah dilakukan penelitiannya. Oleh sebab itu penelitian yang akan dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara akademis berdasarkan objektivitas dan professional.

Dari uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penelitian tentang “Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (HPL) Yang Menjadi Obyek Jaminan (Studi : PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro)” belum pernah ada yang melakukan penelitiannya.


(41)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori.15

Kegiatan penelitian dimulai apabila seorang peneliti melakukan usaha untuk bergerak dari teori. Dalam proses ini akan timbul preferensi seorang ilmuwan terhadap teori-teori dan metode-metode tertentu.16

Teori dapat diartikan sebagai suatu system yang berisi proporsi-proporsi yang telah diuji kebenarannya, maka suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada aktivitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman tertentu.17

Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.18

Landasan teori merupakan suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak

15 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Univesitas Indonesia UI Press, Jakarta, 2005,

hal. 6

16Ibid 17Ibid


(42)

disetujui yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.19

Lebih lanjut fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan mengenai gejala yang diamati. Berdasarkan dari pengertian tersebut serta berangkat dari pemikiran bahwa dalam masyarakat Indonesia hukum tanah memegang peranan yang sangat penting yang bertalian erat dengan sifat masyarakat.

Menurut ajaran Yuridis Dogmatis bahwa :

”Tujuan Hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaaan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Menurut aliran ini meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian”.20

Selanjutnya Van Kan mengatakan bahwa Hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.21

19M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

20Achmad Ali, Menguak Hukum (suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta,

2002, hal. 83.

21C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002,


(43)

Adapun teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah adalah teori Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), yaitu teori yang menjelaskan bahwa hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit.22 Demikian halnya dengan kedudukan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan apabila Sertipikat Hak Guna Bangunan yang berada diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang sedang dijaminkan pada PT. Bank Internasional Indonesia Cabang Medan Diponegoro berakhir Haknya harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.

Hak Guna Bangunan menurut pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Hak ini terbatas jangka waktunya sampai dengan 30 tahun, akan tetapi dapat diperpanjang selama 20 tahun.23 Perpanjangan jangka waktu Hak atas tanah ini termasuk kategori pendaftaran tanah, karena perubahan data yuridis dan terjadinya perubahan jangka waktu berlakunya hak yang dicantumkan tersebut dalam Sertipikat tanah yang bersangkutan.24

22Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo,Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1993, hal. 1.

23Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, 1986. 24Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op cit, hal. 292.


(44)

Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 pasal 22 menyebutkan bahwa :

1. Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk

2. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.

3. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden.

Terhadap Hak Guna Bangunan yang diberikan diatas Hak Pengelolaan, setiap perbuatan hukum yang berhubungan dengan Hak Guna Bangunan diatas bidang tanah tersebut harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Pengelolaan. Pengaturan mengenai pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan sebagai hak yang dapat dibebankan Hak tanggungan diatur dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.

Hapusnya Hak Guna Bangunan seperti yang diatur dalam pasal 40 UUPA yang menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena :

a. jangka waktu berakhir

b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi


(45)

d. dicabut untuk kepentingan umum e. diterlantarkan

f. tanahnya musnah

g. ketentuan dalam pasal 36 ayat 2.

Dengan demikian apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus sebagaimana dimaksud dalam pasal 35, maka tanah tersebut kembali kepada pemegang Hak Pengelolaan seperti yang telah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan.

2. Konsepsi

Kerangka konseptual pada dasarnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit kepada kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak. Walaupun demikian suatu kerangka konseptual belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. Dengan demikian maka kecuali terdiri dari pada konsep-konsep, suatu kerangka konsepsional dapat pula mencakup definisi-definisi operasional. Definisi merupakan keterangan mengenai maksud untuk memakai sebuah lambang secara khusus yaitu menyatakan apa arti sebuah kata.25

25Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.


(46)

Konsepsi juga diterjemahkan sebagai usaha membawa suatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit. Dari uraian kerangka teori di atas, akan dijelaskan beberap konsep dasar yang digunakan dalam penulisan tesis ini, antara lain :

Sertipikat adalah Surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.26

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Jangka waktu Hak Guna Bangunan seperti yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.27

Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.28

Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.29

26Lihat pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

27Lihat pasal 25 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak

Pakai atas Tanah.

28Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata

Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, pasal 1 angka 3.


(47)

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengengkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.30 Penelitian pada umumnya bertujuan untuk mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan.31

1. Sifat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian maka jenis penelitian yang diterapkan adalah dengan metode penulisan dan pendekatan yuridis normatif.32 Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas33 yaitu berupa perundang-undangan, peraturan pemerintah yang berkaitan dengan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan

30Soerjono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2007, hal. 1.

31Ronny Hantijo Soemitro,Metode Penelitian Hukum,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 15 32Roni Hantijo Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta

1998, hal. 11


(48)

hukum primer34, misalnya buku-buku teks, hasil penelitian para ahli, makalah-makalah seminar dan hasil karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan : a. Penelitian Kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku yang berkaitan

dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan serta peraturan pelaksanaannya yang berkaitan tentang Hak Tanggungan atas Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan yang telah berakhir jangka waktu Haknya dan masih menjadi jaminan Bank.

b. Penelitian lapangan yaitu untuk mendapatkan data primer yang berkaitan dengan materi penelitian, yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap Hak Tanggungan atas Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan yang telah berakhir jangka waktu Haknya dan masih menjadi jaminan Bank.

3. Alat Pengumpul Data

Dalam melakukan penelitian ini, adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan :

1. Studi dokumen (document study), yaitu dengan mempelajari makalah-makalah, tulisan-tulisan ataupun buku-buku yang berkaitan dengan materi penelitian. 2. Wawancara (interview), yaitu melakukan wawancara dengan para informan

atau nara sumber dengan menggunakan pedoman wawancara bebas agar data

34Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Raja Grafindo Perkasa,


(49)

diperoleh langsung dari sumbernya dan lebih mendalam. Para informan atau nara sumber yang akan diwawancarai, yaitu pihak PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro, Notaris/PPAT dan Kantor Pertanahan Kota Medan.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data/ mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.35Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data secara kualitatif yang diolah dengan menggunakan metode deduktif dan kemudian ditarik kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan.

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) disusun secara berurut dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara metode deduktif dan diharapkan dapat menjawab permasalahan yang ditetapkan dalam tesis ini.


(50)

BAB II

KEDUDUKAN BANK SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN ATAS BERAKHIRNYA SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN DIATAS HAK

PENGELOLAAN (HPL) YANG MENJADI OBJEK JAMINAN

A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan

Pengertian Hak Tanggungan secara yuridis yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 memberikan perumusan sebagai berikut:

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

Kemudian pada Angka 4 Penjelasan Umum atas Undang-Undang hak Tanggungan antara lain menyatakan:

“Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukalt diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitur cedera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain.”


(51)

atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditor lain. Jaminan yang diberikan, yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditor-kreditor lainnya bagi kreditor (Pemegang Hak Tanggungan).

Sesuai dengan perumusan pengertian Hak Tanggungan di atas, Hak Tanggungan dimaksud hanya Hak Tanggungan yang dibebani dengan hak atas tanah atau dengan kata lain UUHT hanya mengatur lembaga hak jaminan atas hak atas tanah belaka, sedangkan lembaga hak jaminan atas benda-benda lain selain hak atas tanah tidak termasuk dalam luas ruang lingkup pengertian HakTanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.

Lembaga-lembaga hak jaminan diluar Hak Tanggungan tersebut akan dibiarkan berkembang sendiri-sendiri sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Hal ini menggambarkan adanya gejala kurangnya keinginan untuk menciptakan kesatuan hukum jaminan nasional. Kalau gejala ini terus dibiarkan, tidak mustahil akan dapat menumbuhkan pranata hukum dan hukum-hukum yang liar, yang tidak jelas arah dan tujuan perkembangannya.36

Apabila pengertian di atas dirinci lebih lanjut, terdapat beberapa unsur esensial yang merupakan ciri-ciri dari Hak Tanggungan tersebut, yaitu :

36


(52)

a) hak jaminan kebendaan;

b) objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah, baik berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan;

c) diperuntukkan untuk menjamin pelunasan utang tertentu;

d) dengan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan.

Perumusan Hak Tanggungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal l angka 1 UUHT dimaksud bukan merupakan perumusan umum tentang Tanggungan, tetapi hanya merumuskan Hak Tanggungan atas tanah (beserta dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah) saja. Pembuat undang-undang tidak hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan pada umumnya, tetapi hanya membatasi diri dengan memberikan perumusan Hak Tanggungan atas tanah beserta dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah saja. Perumusannya memberikan peluang untuk di kemudian hari adanya pengaturan tentang Hak Tanggungan atas benda lain.37

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui ciri-ciri Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan, sebagai berikut:38

37

J. Satrio,Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, Bandung , Citra Aditya Bakti, 1997, Hal. 64.


(53)

a) Hak Tanggungan merupakan hak jaminan kebendaan;

b) hak jaminan kebendaan dimaksud adalah jaminan kebendaan atas tanah, baik berikut maupun tidak berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan dan merupakan satu kesatuan dengan tanah, yang berada di atas maupun di bawah permukaan tanah sepanj ang benda-benda lain tersebut mempunyai kaitan dengan dan merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan;

c) pembebanan Hak Tanggungan dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang tertentu;

d) Hak Tanggungan memberikan kedudukan istimewa, yang diutamakan, atau hak mendahulu kepada pemegang Hak Tanggungan dalam mengambil pelunasan utang tertentu yang bersangkutan.

2. Subyek dan Obyek Hak Tanggungan a. Subyek Hak Tanggungan

Subyek hak tanggungan meliputi Pemberi Hak Tanggungan dan Penerima atau pemegang Hak Tanggungan.

1) Pemberi Hak Tanggungan

Menurut Pasal 8 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau debitor. Namun, subyek hukum lain


(54)

dapat pula dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.

Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan tersebut harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan. Dengan demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus orang yang berutang atau debitor, akan tetapi bisa subyek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungannya. Misalnya pemegang hak atas tanah yang dijadikan jaminan, pemilik bangunan, tanaman dan/hasil karya yang ikut dibebani hak tanggungan.

2) Pemegang Hak Tanggungan

Menurut Pasal 9 Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa pemegang Hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

Sebagai pihak yang berpiutang di sini dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, badan hukum lainnya atau perseorangan. Oleh karena hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak


(55)

atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak Tanggungan. Maka pemegang hak tanggungan dapat dilakukan, oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.39

b. Obyek Hak Tanggungan

Obyek Hak Tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek hak tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat yaitu :

1) Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang.

2) Mempunyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.


(56)

3) Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi syarat publisitas maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan obyek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya.

4) Memerlukan penunjukan khusus oleh Undang-undang.

Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:

1. Hak Milik (Pasal 25 UUPA); 2. Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA); 3. Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA);

4. Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (D), yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.

5. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. (Pasal 27 Juncto UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.


(57)

Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi objek Hak Tanggungan haruslah hak atas tanah (tanah) menurut Undang-Undang Pokok Agraria yang (sudah) terdaftar dan sifatnya dapat dipindahtangankan. Namun persyaratan tersebut dapat dikecualikan, dimana hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama dan belum didaftar dimungkinkan dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.

3. Proses Pelaksanaan Pemberian Hak Tanggungan

Dalam proses pelaksanaan pemberian Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua (2) tahap, yaitu tahap pemberian hak tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan :

a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan

Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.

Tahap pemberian Hak Tanggungan diawali atau didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Janji untuk memberikan Hak Tanggungan tersebut dituangkan


(58)

didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan:

“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainny yang menimbulkan utang tersebut.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui. bahwa pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan terlebih dahulu dan janji itu dipersyaratkan harus dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Ini berarti setiap janji untuk memberikan Hak Tanggungan terlebih dahulu dituangkan dalam perjanjian utang piutangnya. Dengan kata lain sebelum Akta Pemberian Hak Tanggungan dibuat, dalam perjanjian utang piutang untuk dicantumkan “janji” pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berhubung sifat Hak Tanggungan sebagai perjanjianaccessoir.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis, yang dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). APHT ini merupakan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada


(59)

kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT menyatakan:

“Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu mengenai subyek, obyek maupun utang yang dijamin, maka menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) wajib dicantumkan hal-hal di bawah ini:40

1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; 2) Domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; 3) Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin, yang

meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan; 4) Nilai tanggungan;

5) Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.

Penjelasan atas Pasal 11 ayat (1) UUHT menegaskan, bahwa ketentuan mengenai isi Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut, sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jika tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang sifatnya wajib dalam APHT, mengakibatkan APHT-nya batal demi hukum. Konsekuensi hukum bagi tidak

40Purwahid Patrik dan Kashadi, 2008.Hukum Jaminan Edisi Revis Dengan UUHT,Bandung,Remaja


(1)

kedalam daftar tanah Hak Pengelolaan setelah adanya rekomendasi terlebih dahulu dari Pemerintah Kota Medan selaku pemegang Hak Pengelolaan.

3. Agar tidak terjadi hal yang tidakcooperativeantara Debitor dan Bank (kreditor) dalam hal mengenai perpanjangan ataupun pembaharuan hak terhadap Sertipikat yang jangka waktunya akan diperpanjang atau diperbaharui, harus ada koordinasi antara Account Officer/Legal Officer Bank dengan Notaris/PPAT, maka pada saat penandatanganan akta perjanjian, dijelaskan kepada Debitor hal-hal apa saja yang menjadi beban dan surat-surat apa saja yang akan ditandatangani agar nanti pada waktunya tidak menjadi kendala dalam proses pengurusan kepentingan Bank yang meliputi :

- Kesepakatan biaya dan ongkos pengurusan;

- Pemblokiran dana di rekening Debitor sejumlah biaya pengurusan yang telah disepakati pada saat pengikatan jaminan;

- Bersedia melengkapi data-data/dokumen yang diperlukan dalam proses pengurusan/perpanjangan hak dan/atau pembaharuan hak;


(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-Buku

Abdulkadir, Muhammad, 1992.Hukum Perikatan,Citra Aditya Bakti, Bandung. Ahmadi, Wiratni, 1996, Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan, Kelompok Studi

Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Citra Aditya, Bandung.

Ashsofa, Burhan, 1998,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta

Achmad Ali, 2002,Menguak Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),Jakarta, Gunung Agung.

Albertus, Andi Prajitno, Andreas, 2010,Hukum Fidusia, Selaras, Malang.

Badan Pertanahan Nasional, 1998, Pendftaran Tanah Di Indonesia, Koperasi Badan Pertanahan Nasional ”Bhumi Bhakti”, Jakarta

Badan Pertanahan Nasional, 2007, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Pertanahan yang berkaitan dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Hak Tanggungan, Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat, Jakarta.

Devita, Purnamasari, Irma, 2011,Hukum Jaminan Perbankan, Kaifa, Bandung. Gautama, Sudargo, 1996.Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru

Tahun 1996 Nomor 4,Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harsono, Boedi, 2003,Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta

---, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta

---, 2003, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasinal, Djambatan, Jakarta Hasan, Djuhaendah, 1997. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda

Lain yang Melekat pada Tanah Dalam Konsepsi penerapan Asas Pemisahan Horizontal (suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggugan),Citra Aditya Bakti, Bandung.


(3)

Husni, Hasbullah, Frieda, 2002. Hukum Kebendaan Perdata : Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid 2,Ind-Hill Co, Jakarta.

Kansil, C.S.T. 2002, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Pustaka.

Kartono, 1977,Hak-Hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita, Jakarta.

Mariam Darus Badrulzaman, 1991.Perjanjian Kredit Bank,Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 1991.Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia,Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 1996, Posisi Hak Tanggunggan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Bhumibahakti Nomor 11 Edisi XI, Jakarta Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional.

---, 2004, Serial Hukum Perdata, Buku II Kompilasi Hukum Jasminan, Mandar Maju, bandung.

Marzuki, Peter, Mahmud, 2010 Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Muchsin, Imam Koeswoyo, 2007,Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah, Refina Aditama, Bandung.

---, 2010, Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010, Mandar Maju, Bandung.

Panglima Saragih, Juli, 2003, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Ootonomi,Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Parlindungan, A.P., 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung.

---, 1996, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, (Undang-Undang No. 4 Tahun 1996/9 April 1996/LN. No. 42), Mandar Maju, Bandung. ---, 1993, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Mandar Maju,


(4)

---, 1989,Hak Pengelolaan menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung

Perangin, Effendi, 1991. Praktik Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali, Jakarta.

Remy, Sjahdeini, Sutan, 1999. Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan),Alumni, Bandung.

Ridwan HR, 2007,Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Santoso AZ, Lukman, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka

Yustisia, Yogyakarta.

Satrio, J. 1997.Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 1, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 1998Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2,Citra Aditya Bakti, Bandung.

Setiawan, R. 1994.Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung : Bina Cipta. Subekti, R. 1987.Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa.

Soehartono, Irawan, 1999, Metode Peneltian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial Lainnya, Remaja Rosda Karya, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1986.Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2007. Penelitian Hukum Normatif :Suatu Tinjauan Singkat,Rajawali Pers, Jakarta.

Soemitro, Hantijo, Roni, 1998, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta

Sunggono, Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta

Sukanti Hutagalung, Arie dan Oloan Sitorus, 2011,Seputar Hak Pengelolaan, STPN Press

Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Cetakan Pertama, Prestasi Pustakaraya, Jakarta.


(5)

Sudrajat, Sutardja, 1997. Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertipikatnya,Mandar Maju, Bandung.

Sutarno, 2009,Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung. Usman, Rachmadi, 1999,Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan,Alumni, Bandung. ---, 2008.Hukum Jaminan Keperdataan,Sinar Grafika, Jakarta. Utrecht, E. 1966, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesembilan, PT.

Penerbitan Universitas, Djakarta.

Yamin Lubis, Muhammad dan Abdul Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung.

---, 2004, Beberrapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Zein, Ramli, 1995,Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta

2. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah serta Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanah;

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat PembuatAkta Tanah (PPAT);

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah


(6)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.


Dokumen yang terkait

PPemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Bangunan(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

3 124 100

Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Dipo Internasional Cabang Medan

0 63 137

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SELAKU KREDITUR PREFERENCE PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA HAK GUNA BANGUNAN (HGB).

1 1 93

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SELAKU KREDITUR PREFERENCE PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA HAK GUNA BANGUNAN (HGB).

1 3 93

BAB II KEDUDUKAN BANK SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN ATAS BERAKHIRNYA SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN (HPL) YANG MENJADI OBJEK JAMINAN A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan - Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank

0 0 50

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (Hpl) Yang Menjadi Objek Jaminan (Studi : Pt Bank Internasional Indonesia, Tbk

0 0 30

Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (Hpl) Yang Menjadi Objek Jaminan (Studi : Pt Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro)

0 0 15

PPemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Bangunan(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

0 0 26

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SELAKU KREDITUR PREFERENCE PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA HAK GUNA BANGUNAN (HGB)

0 0 53

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SELAKU KREDITUR PREFERENCE PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA HAK GUNA BANGUNAN (HGB)

0 0 53