BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda

  hanyalah sifat atau tingkat perubahannya. Perubahan pada masyarakat ada yang terlihat dan ada yang tidak terlihat, ada yang cepat dan ada yang lambat, dan perubahan-perubahan itu ada yang menyangkut hal yang fundamental dalam kehidupan masyarakat, hal ini disebabkan manusia tidak hanya merupakan kumpulan sejarah manusia melainkan tersusun dalam berbagai kelompok dan pelembagaan, sehingga kepentingan masyarakat menjadi tidak sama dan jika ada kepentingan yang sama maka mendorong timbulnya pengelompokan diantara mereka, maka

  1 dibentuklah peraturan hukum untuk mengatur kepentingan manusia.

  Dari segi terbentuknya maka hukum dapat berupa hukum tertulis dan hukum

  2

  tidak tertulis, dan di Indonesia hukum tidak tertulis dikenal dengan Hukum Adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia, dan menurut Soepomo bahwa corak atau pola-pola tertentu dalam hukum adat yang merupakan perwujudan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu 1 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Meda Group,

  2005), hal 71 2 Ibid hal 19, Menurut Hardjito Notopuro hukum adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan menurut Suroyo Wignojodipuro hukum adat adalah kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat, yang sebagian besar tidak tertulis karena mempunyai akibat hukum (sanksi)

  1

  3

  adalah:

  1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat artinya manusia menurut hukum adat merupakan bentuk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat rasa kebersamaan.

  2. Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.

  3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan- hubungan hidup yang konkrit tadi dalam mengatur pergaulan hidup.

  4. Hukum adat mempunya sifat visual artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkannya dengan suatu ikatan yang dapat dilihat. Bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-

  4

  beda. Secara teoritis sistem keturunan itu berhubungan dengan pembagian harta warisan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Adapun sistem kekerabatan

  5

  masyarakat adat di Indonesia dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu:

  1. Susunan kekerabatan Patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak) dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.

  2. Susunan kekerabatan Matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu) dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan.

  Parental

  3. Susunan kekerabatan , yaitu dimana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu, dimana kedudukan pria maupun kedudukan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan.

  3 Soepomo.R, Sistem Hukum Di Indonesia, Sebelum Perang Dunia Kedua, (Jakarta: Prandnjaparamita, Cet. 15, 1997), hal 140-141 4 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal 23

  5 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta:Haji Masagung, Jakarta, 1987), hal 129-130

  Hukum Waris Adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immaterial dari

  6 keturunan ke keturunan.

  Hukum Waris Adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan pada masyarakat bersangkutan yang berpengaruh terhadap penetapan ahli waris pembagian maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan.

  7 Adapun sistem pewarisan yang dikenal dalam hukum adat yaitu :

  1. Sistem Pewarisan Individual, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan.

  2. Sistem Pewarisan Kolektif, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif), sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris.

  3. Sistem Pewarisan Mayorat, yaitu sistem pewarisan dimana penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta warisan itu dialihkan dalam keadaan tidak terbagi-bagi dari pewaris kepada anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki) atau anak tertua perempuan (mayorat perempuan) yang merupakan pewaris tunggal dari pewaris. Di dalam masyarakat Batak Toba dengan sistem kekerabatan Patrilineal dengan sistem pewarisan individual masih membedakan gender, yaitu dimana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja, dan di samping itu masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Oleh karenanya pada sistem kekerabatan Patrilineal menjadikan kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya

  6 7 Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hal 202 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal 43

  8 dari kedudukan wanita dalam hal waris .

  Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya, sehingga anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki dianggap sebagai generasi penerus marga/clan. Terhadap anak perempuan, adanya hambatan dalam mewaris dari harta peninggalan orang tuanya karena adanya perkawinan jujur yang berarti perkawinan dimana anak perempuan dilepaskan dari marganya dan dimasukkan ke dalam marga suaminya, dengan membayar jujur. Dengan dibayarnya jujur maka status si anak perempuan dilepaskan dari paguyuban hidup kerabatnya (bapaknya) ke dalam marga suaminya,

  9 sehingga anak perempuan tidak dapat menuntut hak waris.

  Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem Hukum Waris Adat pada masyarakat Batak Toba dengan sistem kekerabatan Patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat

  

10

Batak. Titik tolak anggapan tersebut adalah: 1. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.

  2. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang meninggal.

  3. Perempuan tidak mendapat warisan 8 9 Hilman, Op.cit, hal 23 Tamakiran, S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum (Bandung: Pionir Jaya,

  1992), hal 68 10 Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, (Bandung: Tarsito, 1978), hal 65

  Pada dasarnya menurut hukum adat hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam perorangan adalah sama, hak dari seorang istri sama saja dengan suaminya, isteri dapat bertindak sendiri dalam bidang hukum tanpa bantuan ataupun pemberian kuasa dari suaminya. Artinya isteri dapat mengikatkan sendiri dalam

  11 perbuatan hukum tanpa bantuan ataupun kuasa suaminya.

  Namun dalam sistem kekerabatan Patrilineal masyarakat Batak Toba, anak laki-laki dan anak perempuan memilki tanggung jawab yang berbeda terhadap

  clan

  nya. Anak laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya sedangkan anak perempuan mengenal dua clan yaitu clan ayahnya dan clan suaminya. Dengan demikian dalam rangka hubungannya dengan kedua clan tersebut maka posisi perempuan adalah ambigu atau tidak jelas karena meskipun berhubungan dengan

  12 keduanya tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut.

  Secara tersirat anak perempuan dipandang mempunyai makna yang sama dengan anak laki-laki sehingga perlakuan adil harus diberikan sama dengan anak laki- laki, namun dalam hal pewarisan arti adil tadi tidak diberikan sama antara anak laki- laki dan anak perempuan. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan konsep Raja Parhata yaitu ahli waris selalu mengacu kepada anak laki-laki karena dialah yang dianggap bertanggung jawab besar untuk meneruskan keturunan marga dari ayahnya, kemudian anak perempuan dianggap menjadi anggota clan suaminya menjadi marga lain dan 11 Syafera Mairita Achmad, Tinjauan Yuridis Mengenai Hak dan Kedudukan Janda dan Anak

  

Perempuan di Bidang Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Perdata , Tesis Mahasiswa Magister keotariatan Universitas Indonesia, 2003, hal 25 12 Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Disertasi Antropologi Universitas Indonesia, 2000, hal 9 melipatgandakan marga dari anggota marga lain tersebut dan ikut menikmati warisan dari mertuanya, dan agar suami dari anak perempuan tidak mengusai tanah terlalu luas karena suami dari anak perempuan dianggap

  13 marga penumpang.

  Di dalam masyarakat adat Batak Toba dikenal ada beberapa istilah yang

  14

  merendahkan martabat anak perempuan antara lain :

  1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk mengisi rumah orang),

  2. Mangan tuhor niboru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan),

  3. Holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga, sehingga anak laki- laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum. Jadi yang dapat dianggap sebagai ahli waris dan yang berhak atas harta

  15

  warisan berdasarkan urutan-urutan penerima warisan adalah :

  1. Anak laki-laki dari pewaris

  2. Bapak dari pewaris

  3. Saudara laki-laki dari pewaris

  4. Anak dari nomor 3

  5. Saudara laki-laki ayah dari pewaris

  6. Anak dari nomor 5

  7. Bapak dari bapak pewaris

  8. Saudara laki-laki dari nomor 7

  9. Seseorang yang satu nenek dengan pewaris/satu marga

  10. Kasta/kesain Menurut urut-urutan tersebut di atas terlihat bahwa seorang anak perempuan sama sekali tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya. 13 14 Ibid , hal 10 15 J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Jakarta:PustakaAzet, 1986), hal 485

Rehngena Purba, Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Karo (Medan, 1977), hal 3

  Secara normatif hukum adat Batak Toba tidak memberikan hak waris kepada anak

  16 perempuan, baik yang berupa tanah, rumah, maupun benda tidak bergerak lainnya.

  Seiring dengan perkembangan zaman, di dalam pembagian harta warisan adanya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan mulai dirasakan oleh anak perempuan di dalam sistem kekerabatan Patrilineal, maka melalui pendidikan dan pengetahuannya kaum wanita melakukan penolakan (resistensi) terhadap sistem kekerabatan

  Patrilineal,

  yaitu mereka tidak begitu saja tunduk kepada ketentuan hukum adat tradisionalnya, khususnya di dalam pembagian harta warisan. Sehingga banyak konflik mengenai harta, dan kaum wanita memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa warisan, dalam berbagai upaya untuk memperoleh bagian dari harta ayah ataupun suami yang akhirnya keluarlah berbagai yurisprudensi yang mengatur tentang hak waris anak perempuan dalam masyarakat dengan sistem

  17 kekerabatan Patriilneal seperti pada masyarakat Batak.

18 De-sakralisasi

  hukum adat terjadi melalui lahirnya vonis-vonis hakim negara yang memberi kemenangan kepada perempuan dengan berbagai dasar pertimbangan pada dasarnya mengesampingkan substansi Hukum Adat. Putusan yang memberi win-win solutions (kompromi) kepada semua pihak menunjukkan bahwa sedang berlangsung proses perubahan dikalangan masyarakat Batak Toba berkenaan dengan masalah pewarisan, tetapi putusan yang memberikan dampak kekalahan bagi 16 17 Sulistyowati Irianto, Op.cit, hal 2 18 Togar Nainggolan, Batak Toba Di jakarta, (Jakarta:BM,1990), hal 210 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984),

  hal. 197, deskralisasi yaitu penghilangan kesakralan; proses menghilangnya sifat sakral (suci) perempuan menunjukkan bahwa substansi dari hukum adat masih bertahan dan hal ini menyebabkan perempuan menunjukkan penolakannya terhadap Patrilineal, perempuan Batak Toba gigih untuk keluar dari kungkungan adat yang membatasi

  19 aksesnya terhadap harta warisan.

  Perjuangan untuk mendapatkan kedudukan yang sama khususnya dalam hal pewarisan banyak dilakukan wanita, bahkan telah ada dalam berbagai putusan hakim di berbagai tingkat pengadilan, yang telah menjadi yurisprudensi, yang memberikan hak mewaris kepada anak perempuan Batak. Hukum adat selalu menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah yang dapat dilihat dari substansinya melalui sumber-sumber hukum yang tersedia yang dapat tercermin dalam doktrin, perundang-undangan, kebiasaan, dan perumusan

  20

  dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi. Yurisprudensi disebut sebagai faktor pembentukan hukum yang dalam praktek berfungsi untuk mengubah,

  21

  memperjelas, menghapus, menciptakan, atau mengukuhkan hukum, yang hidup dalam masyarakat.

  Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa “yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicature rechtspraak) yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa dan atau siapapun dengan cara

  22

  memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.” 19 20 Ibid , hal 211

  Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta: Academica, 1979), hal 24, Yurisprudensi adalah putusan hakim yang diikuti hakim lain dalam perkara yang serupa (azas similis similibus) kemudian putusan hakim itu menjadi sumber hukum 21 22 Ibid

  Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1983), hal 179 Dengan demikian yurisprudensi adalah putusan pengadilan yang merupakan produk yudikatif yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan karena itu yurisprudensi yang lahir dari adanya putusan hakim dalam suatu kasus tertentu dapat dijadikan dasar hukum atau sumber hukum untuk

  23 menyelesaikan kasus-kasus yang serupa dikemudian hari.

  Salah satu sifat hukum adat termasuk hukum waris adat adalah dinamis artinya selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan pewarisan pada masyarakat sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Istilah ini dipakai untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggalkan pewaris atau perbuatan melakukan pembagian harta warisan kepada para warisnya, jadi ketika pewaris masih hidup, pewarisan berarti penerusan atau penunjukan dan setelah pewaris wafat pewarisan berarti pembagian harta

  24 warisan. .

  Perkembangan Hukum Waris adat yang cukup penting untuk diketahui adalah terkait dengan lahirnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

  179/K/SIP/1961(selanjutnya Mahkamah Agung Republik Indonesia disingkat MA- RI) yang melahirkan penemuan hukum adanya persamaan hak mewaris antara anak laki-laki dan anak perempuan pada masyarakat Patrilineal Batak.

  Dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179/ K/SIP/1961 tersebut dalam perkembangannya telah menjadi suatu yurisprudensi tetap 23 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999),

  hal 104 24 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal 13

  dari Mahkamah Agung. Melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.179/K/Sip/1961

  25

  , tanggal 23 Oktober 1961 telah terjadi upaya ke arah persamaan hak pewarisan antara anak laki-laki dengan anak perempuan (suatu putusan atas kasus di Tanah Karo), meskipun putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal tersebut kemudian diikuti beberapa putusan-putusan Mahkamah Agung yang subtansinya mengakui dan memberikan kedudukan hak mewaris bagi anak perempuan pada masyarakat Patrilineal Batak, seperti :

  1. Pambaenan (penyerahan tanpa melepaskan hak milik) harus dianggap sebagi usaha untuk memperlunak Hukum Adat di masa sebelum perang dunia ke II, dimana seorang anak perempuan tiada mempunyai hak waris. Hukum Adat di daerah Tapanuli juga telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak laki-laki, perkembangan mana sudah diperkuat pula dengan sutu yurisprudensi tetap mengenai Hukum Waris di daerah tersebut.

  26

  2. Di Tapanuli Selatan terdapat “Lembaga Holong Ate” yaitu pemberian sebahagian dari harta warisan menurut rasa keadilan kepada anak perempuan apabila seseorang meninggal dunia tanpa keturunan laki-laki.

  27 Bahwa ini semua merupakan gejala pergeseran hak mewaris anak perempuan

  pada masyarakat suku Batak Toba dan yang menjadi tonggak perubahan persamaan hak mewaris didalam hukum waris adat Batak Toba adalah Yurisprudensi MA-RI Nomor 179/K/SIP/1961 seperti yang disebutkan di atas.

  Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak mempunyai kapasitas dalam hukum adat, namun bagaimanapun kehadirannya mempengaruhi 25 Putusan Hakim yang memberi hak mewaris kepada anak perempuan Batak pertama kali

  adalah putusan Mahkamah Agung untuk suatu kasus tanah pada tahun 1961 di Tanah Karo 26 Yurisprudensi Keputusan MA-RI No. 415/K/SIP/1970, tanggal 30 Juni 1971 27 Yurisprudensi Keputusan MA-RI No. 528/K/SIP/1972, tanggal 17 Januari 1973 hukum adat tersebut, yaitu memberi hak mewaris bagi anak perempuan, sehingga memberi pengaruh bagi masyarakat Patrilineal, karena dengan adanya Yurisprudensi tersebut meningkatkan bargaining power (nilai tawar) anak perempuan, sehingga saudara laki-lakinya tidak menyepelekan saudara perempuannya.

  Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung Nomor 179/K/SIP/1961 dalam putusan tersebut, antara lain:

  1. Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup, bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orangtuanya.

  2. Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa prikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas warisan, dalam arti bahwa anak laki-laki sama dengan anak perempuan.

  3. Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari MahkamahAgung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orangtuanya.

  Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 di dalam persamaan hak mewaris antara anak laki-laki dan anak perempuan pada masyarakat suku Batak Toba Perkotaan ini ingin diteliti di Kecamatan Medan Baru, karena daerah tersebut mempunyai kultur plural tanpa kultur dominan. Seiring dengan berkembangnya zaman telah mendapat pengaruh penting dalam perubahan identitas, dimana orang Batak Toba sekarang lebih mengorientasikan diri kepada perubahan dalam masyarakat sehingga di dalam adat budaya banyak dari orang Batak Toba sudah menerima adanya perubahan dalam hal pelaksanaannya. Karena pengaruh kehidupan kota, kebanyakan dari mereka bersedia untuk mempersingkat acara adat dan meninggalkan beberapa kewajiban.

  28 Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas maka penelitian mengenai

  Efektivitas Penerapan Yurisprudensi MA-RI Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan Terhadap Hukum Waris Adat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Medan Baru ) ini menarik untuk diangkat menjadi judul penelitian tesis ini.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut :

  1. Bagaimana penyelesaian sengketa waris adat pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru?

  2. Bagaimana penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru?

  3. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah : 28 Togar Nainggolan, Op.cit, hal 109

  1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penyelesaian sengketa waris adat pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru.

  2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru.

  3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 pada masyarakat suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru.

D. Manfaat Penelitian

  Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoretis

  Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum dan dapat memberi manfaat guna menambah khasanah Ilmu Hukum secara umum dan Hukum Waris Adat secara khusus yang diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan penelitian tentang Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam

  Persamaan Hak Mewaris Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru.

2. Manfaat Praktis

  Pembahasan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yaitu masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Medan yang memiliki permasalahan, sehingga dapat memberikan jalan keluar terhadap masalah pembagian warisan, dan juga bagi para pihak ketua adat untuk mengetahui perkembangan dalam pembagian Warisan Adat Batak Toba.

E. Keaslian Penelitian

  Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan hak Mewaris Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi di Kecamatan Medan Baru), belum pernah dilakukan.

  Namun pada tahun 2003, Herlina Mariaty P. mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan penelitian mengenai “Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan dan Janda Pada Masyarakat Batak Toba” (Suatu Penelitian Di Kelurahan Sudi Rejo II Kecamatan Medan Kota- Kota Medan) yang membahas:

  1. Bagaimana prinsip dan asas hukum keluarga adat Batak Toba terhadap hak waris anak perempuan dan janda ?

  2. Bagaimana perkembangan hak waris anak perempuan dan janda dalam hukum adat keluarga adat Batak Toba dewasa ini ?

  3. Bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam menentukan hak mewaris anak perempuan dan janda terhadap harta peninggalan ? Kemudian pada tahun 2008, Tiorista, NIM 067011100, mahasiswa Magister

  Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan penelitian juga mengenai Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi di Kecamatan Panguruan-Kabupaten Samosir) yang membahas :

  1. Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir?

  2. Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?

  3. Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dalam pengalaman empiris, sehingga teori tentang ilmu merupakan penjelasan rasional yang sesuai dengan objek penelitian dijelaskannya dan untuk mendapat verifikasi, maka harus didukung oleh data empiris yang membantu

  29 dalam mengungkapkan kebenaran.

  Penelitian ini adalah penelitian yang menyangkut masalah sosial dalam penerapannya dapat menjadi suatu penelitian hukum, sebab penelitian ini berdasarkan penelitian lapangan yang dilihat secara empiris dalam kerangka acuan hukum yaitu Hukum Waris Adat yang hidup dan berkembang di tengah-tengah

  30 masyarakat itu sendiri.

  Teori yang digunakan sebagai pisau analitis dalam penelitian ini adalah teori

  

Sociological Jurisprudence . Teori Sociological Jurisprudence adalah teori yang

  mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat, hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaharuan dapat berupa undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi keduanya dan yang menjadi inti pemikiran dalam sociological jurisprudence adalah hukum yang baik adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat sebab jika ternyata

  31 tidak maka akibatnya secara efektif akan mendapat tantangan.

  Teori ini dikemukan oleh Roscoe Pound yang menyatakan bahwa “ terdapat perbedaan antara hukum positif disatu pihak dengan hukum yang hidup didalam masyarakat dipihak lain yang mana perkembangan hukum itu tidak hanya terletak

  29 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung:CV. Mandar Maju, 1994), hal 27

  30 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1988), hal 16 31 R.Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico Cetakan Ke 3, 1999), hal 52 pada undang-undang, ilmu hukum ataupun putusan hakim tetapi pada masyarakat itu

  32

  sendiri.” Kesadaran hidup dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum yang meliputi pemahaman, pemghayatan, dan kepatuhan atau ketaatan pada hukum, agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum perundang- undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat

  33 tersebut.

  Bahwa masyarakat Batak Toba khususnya yang sudah merantau ke perkotaan dan berpendidikan, selain dari pengaruh Hukum Perdata Nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak dan adanya persamaan hak antara anak laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan pada saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan.

  Adanya perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat adat inilah diantaranya mengakibatkan pembagian warisan tidak lagi banyak dilakukan lagi secara hukum adat, walaupun masih ada pembagian warisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku, hal ini juga didukung dengan persamaan kedudukan dalam hukum antara wanita dengan pria yang dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) menyatakan, segala warga negara bersamaan kedudukannya 32 W.Friedmann, Legal Theory, Terjemahan Muhammad Arifin: Teori dan Filsafat Hukum,

  (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cetakan II,1994), hal 191 33 Ibid , hal 191

  di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini berarti menjamin persamaan kedudukan

  34

  antara pria, wanita di muka hukum dan di dalam segala peraturan perundangan. Di samping itu didukung dengan azas kesamaan dalam Hukum Waris Nasional. Menurut Hilman Hadikusuma azas kesamaan hak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang modern, terutama bagi keluarga-keluarga yang telah maju dan bertempat tinggal di kota-kota dimana alam pikirannya cendrung pada sifat-sifat yang individualistis

  35 telah mempengaruhi dan ikatan kekerabatan sudah mulai renggang.

2. Konsepsi

  Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori observasi, antara abstrak dengan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

  36 digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.

  Terlihat dengan jelas, bahwa suatu konsepsi pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoretis (tinjauan pustaka), yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsi belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisi-

  37 defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit didalam proses penelitian.

  34 35 Bambang Sunggono, dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM (1994), hal 88-89 36 Hilman Hadikusuma, Op.cit ,hal 3 37 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal 31 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), hal 298 Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis perlu didefenisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep itu adalah sebagai berikut : a. Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat dengan sistem kekerabatan

  38 patrilineal yang bermukim di Medan Baru.

  b. Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh penggunaan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 di dalam persamaan hak mewaris anak laki-laki dan anak perempuan dalam Hukum Waris Adat Batak Toba secara kuantitas dan waktu yang banyak digunakan pada masyarakat Suku Batak Toba perkotaan di Kecamatan Medan Baru, semakin tinggi presentase masyarakat yang menggunakan Yurisprudensi ini maka semakin tinggi efektivitasnya.

  c. Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang dikualifikasi yang dipergunakan sebagai acuan bagi para hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang 38 memiliki kekuatan mengikat secara relatif.

  Togar Naingglan, Op.cit, hal 208 d. Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 adalah putusan Majelis Hakim Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam mengatur persamaan hak mewaris anak laki-laki dan anak perempuan di dalam Hukum Waris Adat Batak.

  e. Waris adalah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang

  39 masih hidup.

  f. Pewaris adalah menunjukkan orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan

  40 harta peninggalan yang diteruskan kepada waris.

  g. Harta Warisan adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan dari yang

  41 meninggal dunia setelah dikurangi dengan semua hutangnya.

G. Metode Penelitian

  Secara Etimologi metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa yunani “Methodos” yang artinya “jalan menuju”, bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal

  42 menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.

  39 40 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal 21 41 Ibid , hal 17 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta:Rineka Cipta,1997), hal 7 42 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal 13

  Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang

  

43

timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

  Pemilihan suatu metodologi yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian

  44 Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis , berarti

  menggambarkan serta menjelaskan Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba dalam kaitannya tentang persamaan hak mewaris anak laki-laki dan anak perempuan di Medan khususnya di Kecamatan Medan Baru.

  45 yuridis empiris

  Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah , untuk mengetahui sejauh mana hukum itu dapat mengakibatkan perubahan sosial dilakukan maka diperlukan suatu pengkajian bagaimana hukum bekerja dapat mengubah 43 44 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2007), hal 43 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo

  Persada 2001), hal 36 45 Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia 1990), hal 14 kehidupan sehari-hari yaitu dengan adanya persamaan gender maka menguatkan keinginan untuk persamaan hak dalam hukum waris adat Batak Toba guna mendapatkan jawaban tentang penyelesaian pembagian warisan pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan khususnya di Kecamatan Medan Baru.

  2. Metode Pendekatan

  Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, didahulukan dengan meneliti tentang keberlakuan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya berlaku suatu aturan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat, yang berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan

  46 penelitian dan penulisan hukum.

  3. Lokasi Penelitian

  Lokasi penelitian dilakukan dan ditetapkan di Kecamatan Medan Baru, dengan pertimbangan di kecamatan Medan Baru selain masyarakat Batak Toba yang bermukim di Kecamatan Medan Baru cukup banyak, masyarakatnya bersifat heterogen, telah mengalami migrasi, dan meskipun telah menetap lebih dari 10 tahun di Kota Medan namun dalam berintegrasi terikat pada adat leluhur dan masyarakatnya termasuk kuat menjunjung tinggi adat.

  4. Populasi dan Sampel Penelitian

  Populasi penelitian adalah masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di Kecamatan Medan Baru. Responden dalam penelitian adalah keluarga (suami atau 46 Zanuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 105 istri) yang tergabung dalam anggota lintas jemaat Gereja Huria Kristen Batak

  

Protestan (atau disingkat gereja HKBP). Kehadiran komunitas suku Batak Toba di

  suatu tempat pada umumnya ditandai oleh berdirinya Gereja HKBP. Di Kecamatan Medan Baru sendiri gereja ini banyak, namun penelitian akan dibatasi dengan 6 gereja yang berada di masing-masing kelurahan. Tidak semua populasi yang diteliti diambil. Populasi yang dipilih adalah 30 responden, dengan pertimbangan bertempat tinggal di Kecamatan Medan Baru lebih dari 10 tahun (1 kelurahan diwakili oleh 5 responden dalam 1 jemaat gereja), memiliki anak, telah mengalami pembagian warisan, baik secara kekeluargaan, secara adat, maupun lembaga pengadilan, dan mereka juga mengetahui tentang bagaimana pelaksanaan hukum waris adat Batak Toba.

  Responden penelitian diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan permasalahan diatas. Penetapan responden tersebut dilakukan melalui penarikan sampel dengan tehnik Non probality sampling yang cirinya adalah bahwa tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang

  47

  sama untuk menjadi responden yang bersifat purposive sampling, yaitu berdasarkan pertimbangan/penelitian subyektif dari penelitian, jadi dalam hal ini penelitian menentukan sendiri responden mana yang dianggap dapat mewakili

  48

  populasi. Tehnik ini dipergunakan untuk memperoleh informasi dan data yang

  47 48 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal 87 Ibid , hal 91

  berkaitan dengan masalah yang dibahas, oleh karena itu dari 6 (enam) kelurahan masing-masing diambil 5 responden.

5. Sumber Data

  Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber data tersebut terdiri dari : a. Studi dokumen yaitu yang terdiri dari bahan hukum yang berkaitan dengan hukum waris adat yang ditunjang dengan bahan hukum lainnya. Dalam penelitian ini jenis data yang diperlukan, yaitu data sekunder, data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya data sudah dalam bentuk jadi,

  49

  yang terdiri dari: 1) Bahan hukum primer, yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang Dasar

  1945, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan hasil wawancara.

  2) Bahan hukum sekunder, yang merupakan bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer berupa buku-buku yang berhubungan dengan objek yang diteliti, berupa buku-buku, makalah, disertasi, dan berbagai tulisan lainnya. 49 I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta:

  Andi, 2006), hal 34

  3) Bahan hukum tersier, yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus besar hukum bahasa Indonesia.

  b.

  Wawancara yaitu dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dengan nara sumber yaitu dua orang Hakim Pengadilan Negeri Tingkat I Medan, dan 10 orang Ketua adat yang ada di Kecamatan Medan Baru.

  c. Daftar Kuisioner yaitu dengan mempergunakan pedoman pertanyaan yang telah ditetapkan sebanyak 30 responden, yang telah mengalami peristiwa pembagian warisan dalam keluarganya dan juga mengetahui tentang bagaimana pelaksanaan hukum waris adat Batak Toba.

6. Analisis Data

  Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka dianalisa secara kualitatif yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisa secara kualitatif, menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan kemudian ditarik

  50

  kesimpulan. Metode penarikan kesimpulan yang dipakai adalah metode deduktif yaitu data primer yang diperoleh setelah dihubungkan dangan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan hukum waris sehingga akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari 50 Rommy Hanitidjo Soemitro, Op.cit, hal 119 hasil penelitian mengenai Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 di dalam Persamaan hak Mewaris Anak Laki-laki dan Anak Perempuan pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan yang ada di Kecamatan Medan Baru.

Dokumen yang terkait

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir)

3 77 127

Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan Dan Janda Pada Masyarakat Batak Toba Di Perkotaan (Suatu Penelitian di Kelurahan Sudi Rejo II, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan)

0 28 127

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam

0 1 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 46

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Ekspresi Peran Perempuan Pekerja Pengasuh Anak di Dalam Masyarakat (Studi Pada Perempuan Pengasuh Anak Etnis Batak Toba) di Kelurahan Sei Agul, Kecamatan Medan Barat, Medan

0 0 15