Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir)

(1)

HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA

(STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN – KABUPATEN

SAMOSIR)

TESIS

O l e h

T I O R I S T A 067011100/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA

(STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN - KABUPATEN

SAMOSIR)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada

Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara

O l e h

T I O R I S T A

067011100/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN

SAMOSIR) Nama Mahasiswa : T i o r i s t a

Nomor Pokok : 067011100

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum)

K e t u a

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN) (Syafnil Gani, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal, 28 Agustus 2008

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS.,C.N.

2. Syafnil Gani, S.H., M.Hum.

3. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A.


(5)

ABSTRAK

Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kematian akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal. Pewarisan terjadi, bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan mereka yang sah. Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia dibedakan tiga kelompok yaitu: Susunan kekeluargaan patrilineal, kekeluargaan matrilineal kekeluargaan parental. Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender, yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”. Pada masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Dalam hukum adat Batak Toba, anak perempuan tidak memperoleh hak untuk mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan Batak Toba ?. Permasalahan yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan ?, Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba ?, Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba ?.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Empiris dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, dilakukan guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti anak perempuan tidak berhak berbicara dan


(6)

mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). Kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki secara bersama-sama telah mendapat hak/bagian atas harta peninggalan dari orangtuanya. Namun terhadap harta pusaka, anak laki-laki lebih berhak atas harta pusaka karena sebagai penerus marga bapaknya. Dalam masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, sistem pembagian warisannya telah mengalami perubahan di mana sebelumnya anak perempuan tidak mewaris terhadap harta peninggalan orangtuanya, namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta warisan dari orangtuanya.


(7)

ABSTRACT

A marriage can be terminated because of death, divorce and court decision. Death will result in the transfer of right and obligation in terms of property. The right and obligation which were initially in the hands of the deceased will legally move to those the deceased has left, namely, the heirs of the deceased. Inhereting exists if one or both of the legally married couple dies. The distribution of the inheritance is very closely relaed to the exiting family kinship in traditional communities in Indonesia. Traditional communities in Indonesia are grouped into three categories such as patrilineal, matrilinela, and parental communities. In case of inheritance, patrilineal adat/customary law still distinguishes gender stating that the male group in the family is the ones who have the right to inherit the inheritance or the heirs are only men. “The struggle to create gender equalization is not an easy job to do. Women understanding and empathy in this modern era is frequently still imprisoned by the patriarchy way of thinking. In the patrilineal communities found in the areas Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, and Lombok and in other areas in Indonesia, their sons are still regarded more precious and have higher position than their daughters. The sons are regarded as the ones who bring the descendants that pass the marga (family name) og their father to the next generation. In the adat law of Batak Toba, their daughters do not have the right ti inherit their parent’s inheritance. Is this discriminative treatment still accepted by all the daughters of Batak Toba families ? The problems to be discusesd are how the structure of kinship of Batak Toba community is related to the posistion of women (their daughters), what the position of women (their daughters) in the in heritance law in the community of Batak Toba, and whether or not there is a shift in the system of inheritance distribution in the community of Batak Toba.

This descriptive study with empirical juridical method describes and explains and to find the answer concerning the questions about the stucture of kinship in the Batak Toba community in its relation to the position of women (their daughters) in the inheritance law in Batak Toba community, and the shift in the system of inheritance distribution in Batak Toba community in Pangururan Sub-district, Samosir District.

The result of the this study shows the position of women in the structure of kinship in Batak Toba community which is basically still different compared to that of men. As seen in the Batak parties, women are hardly seen sitting in the front row, getting involved in a discussion, and making decision. In the scope of smaller family meeting, the women (their daughters) have been allowed to talk but only in terms of introduction such as in the tardidi ceremony (giving a name to their child), and the mangapuli ceremony (amusing a grief family). The position of both sons and daughters has together got the right/share of the parants’ inheritance. Only, in terms


(8)

of inherited wealth, the sons as the ones who pass their father’ family name to the next generation have more right. In Batak Toba community in Pangururan Sub-district, the inheritance distribution system has changed. Before, the women (theis daughters) did not inherit their fathers’ inheritance but now they do have it.


(9)

RIWAYAT HIDUP

I.

Identitas Pribadi

Nama : T I O R I S T A

Tempat / Tanggal lahir : Rantauprapat / 24 Desember 1969

Status : Kawin

Alamat : Jl. Mistar, Gang Johar No. 14, Medan

II. Keluarga

Nama suami : Hayata Monro Munthe, ST

Nama anak : 1. Joy Ophelia Munthe

2. Rafael Bagasta Munthe

3. Davin Leonardo Munthe

Nama ayah : Jansen Sihaloho (Alm)

Nama ibu : Rosinim br. Simarmata (Alm)

III. Pendidikan

Tamat tahun 1982, SD Negeri No.112134, di Rantauprapat. Tamat tahun 1985, SMP Negeri No. 1, di Rantauprapat. Tamat tahun 1988, SMEA Negeri, di Rantauprapat.

Tamat tahun 2004, S1 Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, di Medan.


(10)

KATA PENGANTAR

Sembah sujud dan puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa di tahta-Nya yang Maha Kudus. Penulisan ini dapat diselesaikan bukan karena kemampuan dan kepintaran saya, tapi hanya karena kasih karunia-Nyalah yang menolong saya, sebab Dia-lah sumber pengetahuan dari segalanya.

Penulisan tesis ini berjudul “HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir)”, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan masuk, masukan dan saran. Untuk itu disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat dan amat terpelajar kepada Bapak Komisi Pembimbing:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, sebagai Anggota Komisi

Pembimbing.

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., merupakan Ketua Program

Pascasarjana Magister Kenotariatan. sebagai Anggota Komisi Pembimbing. 3. Syafnil Gani, SH.,M.Hum, sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Atas kesediaannya memberikan bimbingan penulisan yang baik, juga arahan juga petunjuk demi kesempurnaan penulisan tesis ini mulai pemilihan judul hingga hasil penelitian, di mana berkat bimbingan yang diberikan hingga dapat diperoleh hasil yang maksimal.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen penguji yang terhormat dan amat terpelajar yaitu:

1. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A.


(11)

Atas kesediannya untuk memberikan bimbingan arahan serta masukan maupun saran terhadap penyempurnaan penyelesaian tesis ini, sejak tahap kolokium, selesainya seminar hasil, sehingga penyelesaian tesis ini menjadi lebih terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku rektor

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan para Asisten Direktris, beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan studi pada program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua program Magister

Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi pada program Magister Kenotariatan (MKN).

4. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, selaku mantan Ketua Program

Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana, atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Pada Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya pada Magister Kenotariatan yang telah memberikan pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

6. Para Pegawai / karyawan pada program Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh hati, terutama untuk memperlancar wawasan administrasi yang diperlukan.


(12)

7. Bapak Christo Efrest Sitorus, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Tarutung, yang telah memberikan bantuan dan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini.

8. Bapak Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Kartolo

Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Djohan Naibaho

(dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), selaku penetua adat, yang telah banyak memberikan bantuan dan informasi tentang adat Batak yang diperlukan dalam penulisan tesis ini dan responden yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Kepada Sahabatku dan rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Teristimewa ucapan terima kasih kepada suami tercinta Hayata Monro

Munthe, ST, yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta doa yang tak

henti-hentinya, serta menemani dan membantu pengetikan serta mencari bahan literatur kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya, dan juga kepada anak-anakku yang tersayang Joy Ophelia Munthe, Rafael Bagasta

Munthe dan Davin Leonardo Munthe. Tak lupa ucapan terima kasih dan sayang

penulis kepada orangtuaku Jansen Sihaloho (Alm) dan Rosinim br. Simarmata

(Alm), dan ibu mertuaku S.br. Siringo-ringo, juga saudara dan iparku: R.br.Haloho/Ir.T.Sitanggang, A.Sihaloho/N.br.Simorangkir, P.Sihaloho/ SW. br.Simarmata, AO.Sihaloho/R.br.Simarmata, PH.Sihaloho, Amd/ D.br.Saragih, SS, FH. Sihaloho, SH, karena berkat doa dan dorongan merekalah, penulis bisa

melanjutkan studi S2 (strata dua) pada Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dan akhirnya dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.

Medan, 28 Agustus 2008 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR ISTILAH ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pemasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi... 9

1. Kerangka Teori... 9

2. Konsepsional ... 15

G. Metode Penelitian... 20

BAB II STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR ... 25

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 25


(14)

2. Penduduk... 39

B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba ... 40

1. Sejarah Batak ... 40

2. Sistem Kekerabatan... 41

BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR... 54

A. Kedudukannya Dalam Keluarga. ... 54

B. Hak Mewaris Anak Perempuan... 62

BAB IV PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR ... 81

A. Perkembangan Saat ini... 81

B. Penyelesaian Sengketa Warisan... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran... 105


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005 ... 31

2 Struktur Kekerabatan Batak Toba... 46

3 Kedudukan Anak Perempuan... 61

4 Alasan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris... 70

5 Warisan Yang Diberikan Kepada Anak Perempuan... 76

6 Anak Perempuan Termasuk Sebagai Ahli Waris... 88

7 Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan... 89

8 Pembagian Harta Warisan Terhadap Harta Pusaka ... 92


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


(17)

DAFTAR ISTILAH

Anak : anak laki-laki/putra.

Arta panjaean : harta yang diterima/dibawa anak sewaktu mau menikah.

Boru : anak perempuan/putri.

Boruki : putriku

Dalihan Na Tolu : tiga tungku.

Dongan tubu : kelompok saudara dalam satu marga.

Elek marboru : bersikap mengasihi atau menyayangi putri dari

semarga.

Hagabeon : punya banyak anak.

Hamoraon : punya kekayaan.

Hasangapon : punya kedudukan.

Hasomalon : kebiasaan.

Hela : menantu laki-laki.

Manat mar dongan tubu : bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga menurut garis keturunan bapak.

Maranak : mempunyai anak putra.

Marhata sinamot : membicarakan berapa nilai jual dari seorang anak perempuan yang akan dinikahkan. Martarombo/martutur : menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi. Matrilineal : garis keturunan dari pihak perempuan (ibu).

Parental : garis keturunan dari pihak kerabat bapak maupun dari

kerabat ibu.

Patrilineal : garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak); Raja parhata : juru bicara dalam adat.

Sari matua : sebutan untuk seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga.

Saur matua : sebutan untuk seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu.

Somba mar hula hula : bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu.

Taruhon : mengantar.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang berasaskan hukum menjunjung tinggi hukum baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam meningkatkan taraf hidup yaitu menuju suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dibutuhkan pembangunan di berbagai bidang diantaranya di bidang ekonomi dan hukum.

Pembangunan di bidang hukum yang dirumuskan dalam Tap MPR Nomor 4 Tahun 1999 adalah:

1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.

2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender1 dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian

hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.

Pembangunan di bidang hukum, berawal dari norma-norma yang hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga hukum nantinya mengabdi kepada kepentingan

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga, Jakarta, 2005, hal. 353, gender berarti jenis kelamin.


(19)

masyarakat Indonesia. Dari hasil seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di mana salah satu butir yang dirumuskan, menyebutkan:

”Bahwa Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Nasional yang menuju Unifikasi Hukum dan terutama yang akan dilakukan melalui perbuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuh dan berkembangnya Hukum Kebiasaan dan Pengadilan dalam Pembinaan Hukum”.2

Namun saat ini negara Indonesia belum mempunyai hukum khusus yang mengatur tentang pewarisan secara nasional, karena negara Indonesia terdiri dari beragam suku, adat istiadat, bahasa, agama, sehingga menyulitkan unifikasi hukum waris secara nasional. Oleh karena itu, berlakunya hukum waris tersebut tergantung pada golongan penduduk yang ada terhadap hukum mana penduduk tersebut menundukkan diri. Menurut Hilman Hadikusuma bahwa:

”Pada kenyataannya sampai saat ini bagi Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan Timur Asing (Cina) masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII-Bab XVIII. Sedangkan bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat, yang bersifat patrilinial, matrilineal dan parental/bilateral. Di samping itu bagi keluarga-keluarga Indonesia yang mentaati hukumnya melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing”.3

Lebih jauh Von Savigny mengatakan bahwa ”manusia di dunia ini terdiri atas berbagai bangsa dan tiap-tiap bangsa itu mempunyai jiwa bangsa sendiri yang disebut

2

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum

Nasional, 1976, hal. 251. 3

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum


(20)

volksgeist, jiwa bangsa ini berbeda satu dengan yang lain menurut tempat dan waktu. Semangat atau jiwa bangsa itu terjelma dalam bahasa, adat istiadat dan organisasi sosial”.4 “Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat”.5

”Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi”.6

Bertambah dewasa umurnya maka semakin berkembang pula daya pikirnya, sehingga pada suatu waktu ia akan memerlukan seseorang sebagai pasangan untuk hidup bersama dan untuk membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan yang mengikat seorang pria dengan seorang wanita menyatukan mereka secara lahir dan batin. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat, yang mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. “Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang

4

H. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 41.

5 Ibid. 6

Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3.


(21)

telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin”.7

Ikatan lahir ini disebut sebagai hubungan formal yang bersifat nyata baik bagi kedua mempelai, orang lain, atau masyarakat umum. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UUP) telah mengatur bahwa seorang pria terikat perkawinan secara sah dengan seorang wanita apabila perkawinan mereka tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Setelah pelaksanaan perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya kemudian dalam ayat (2) nya perkawinan tersebut dimohonkan untuk dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tali perkawinan yang mengikat kedua mempelai secara lahir akan memiliki kekuatan hukum yang pasti dengan terpenuhinya ketentuan dasar perkawinan seperti yang dimaksud di atas.

Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kematian merupakan hal yang tak terelakkan bagi manusia. Pada saat kematian itu datang, maka akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal.

7

Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan 1, 1988, hal. 97.


(22)

Pewarisan bisa terjadi terjadi bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan mereka yang sah seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUP bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan harus memenuhi Pasal 2 ayat (2) UUP yang menghendaki tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indoenesia dibedakan tiga kelompok yaitu:

1. Susunan kekeluargaan patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak);

2. Susunan kekeluargaan matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu);

3. Susunan kekeluargaan parental, yaitu dimana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu.8

Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender9, yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang

8

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1987, hal. 129-130.

9

Sr. Alfocine Idarmeiaty Sianturi, Kesetaraan Jender Dalam Semangat Habitus Baru, WKRI, PPU, 2008, hal. 1., Jender adalah suatu konsep tentang perempuan atau laki-laki yang dikonstruksikan (dibentuk) budaya sehingga tidak bersifat universal. Oleh sebab jender tidak universal maka ia dapat berbeda menurut tempat, waktu, golongan masyarakat, perubahan kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan agama. Perbedaan jender antara lain: perempuan lemah, laki-laki kuat; perempuan sabar dan peka, laki-laki berani; perempuan emosional, laki-laki rasional.


(23)

gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”.10

Masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Sebaliknya, anak perempuannya nantinya akan ”dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga suaminya.

Dalam masyarakat patrilineal khususnya di masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, bahwa anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki nantinya dianggap sebagai generasi penerus marga/clan. Dengan sistem patrilineal ini jelas anak laki-laki sebagai generasi penerus. Sedangkan anak perempuan nantinya akan ikut suaminya kelak, tidak mendapat hak waris, karena dia juga akan menikmati hak dari keluarga suaminya. Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan Batak Toba ?.

Maka dalam perkembangan saat ini perlu dilakukan penelitian tentang hak mewaris anak perempuan terhadap harta peninggalan orangtuanya, khususnya di masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

10

James P. Pardede, Berbagi Peran Dalam Mengurangi Angka Kekerasan Terhadap


(24)

B. Permasalahan

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu :

1. Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?

2. Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?

3. Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

2. Untuk mengetahui kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

3. Untuk mengetahui pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.


(25)

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk ilmu pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya tentang hukum waris adat pada masyarakat Batak Toba.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada tokoh adat, masyarakat serta kepada dunia akademisi dan pemerintah, terkait dalam kedudukan anak perempuan dalam memperoleh harta warisan dalam masyarakat Batak Toba.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi di Kecamatan Pangururan-Kabupaten Samosir), belum pernah dilakukan.

Namun pada tahun 2003, Herlina Mariaty P., mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan penelitian mengenai “Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan dan Janda Pada Masyarakat Batak Toba di Perkotaan (Suatu Penelitian Di Kelurahan Sudi Rejo II Kecamatan Medan Kota- Kota Medan) yang membahas:


(26)

1. Bagaimana prinsip dan asas hukum keluarga adat Batak Toba terhadap hak waris anak perempuan dan janda ?

2. Bagaimana perkembangan hak waris anak perempuan dan janda dalam hukum adat keluarga adat Batak Toba dewasa ini ?

3. Bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam menentukan hak mewaris anak perempuan dan janda terhadap harta peninggalan ?

Dalam penelitian ini, ada persamaan pembahasan pada butir 2, namun karena penelitian ini bersifat penelitian lapangan (field research) maka hasil penelitian ini akan berbeda.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah “untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi”11, dan “satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya”.12 “Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis”13 bagi peneliti tentang Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi di Kecamatan Pangururan-Kabupaten Samosir).

11

J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

12

Ibid., hal. 16. 13


(27)

Penelitian ini adalah penelitian yang menyangkut masalah sosial dalam penerapannya dapat menjadi suatu penelitian hukum, sebab penelitian ini berdasarkan penelitian lapangan yang dilihat secara empiris dalam kerangka acuan hukum yaitu hukum waris adat yang hidup14 dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.

Dalam kerangka konsepsionalnya adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan atau konsep-konsep khusus yang akan diteliti yaitu mengenai struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan dalam hak mewaris dan pergeseran hak mewaris dalam masyarakat Batak Toba khususnya di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa: “Suatu kerangka konsepsional, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti”.15 Oleh karena itu, pewarisan berhubungan erat dengan harta perkawinan.

Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum dan biasa disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa

14

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988, hal. 16, menurut Soerjono Soekanto bahwa setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan lambat, ada yang berjalan dengan sangat cepat, ada pula yang direncanakan, dan seterusnya. Bagi seseorang yang sempat melakukan penelitian terhadap susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau, akan tampak perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.

15

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indnesia (UI Press), Jakarta, 1984, hal. 132.


(28)

hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia.

Dalam pewarisan masyarakat Batak Toba, anak16 sejak dalam kandungan sudah dianggap ahli waris, hanya status si anak ditentukan pada saat lahir apakah laki-laki atau perempuan, sebab dalam pewarisan di Batak Toba hanya dikenal ahli waris adalah anak laki-laki, tetapi anak perempuan tidak. Anak perempuan tidak mewaris baik terhadap harta peninggalan/pencaharian maupun harta pusaka.

Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada umumnya”.17 Titik tolak anggapan tersebut adalah:

a. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.

b. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang meninggal.

c. Perempuan tidak mendapat warisan.

16

Bandingkan, HFA. Vollmar, (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum

Perdata, Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989, hal.29 mengatakan: ” ... dalam Hukum Waris;

anak yang belum lahir, tetapi diharapkan akan lahir, haruslah diperlakukan sebagai ahli waris juga (Pasal 2 KUH Perdata) .” juga lihat Pasal 836 dan Pasal 899 KUH Perdata.

17

Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka


(29)

Walaupun demikian, kenyataannya anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat patrilineal dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut:

a. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki (anak perempuan tidak melanjutkan silsilah).

b. Dalam keluarga, istri bukanlah kepala keluarga.

c. Anak perempuan tidak dapat mewakili orangtuanya karena ia nantinya masuk dalam anggota keluarga suaminya.

Di dalam masyarakat patrilineal khususnya Batak Toba, apabila anak perempuan sudah kawin, ia dianggap tergolong kelompok suaminya. Dalam masyarakat Batak Toba, anak perempuan yang sudah kawin menjadi golongan parboru (contohnya: bila ada acara adat, yang salah satu pihak semarga dengan anak perempuan tersebut maka dia menjadi pihak parboru).

Namun dalam perkembangannya saat ini, peranan anak perempuan/kaum wanita sudah terlihat di dalam masyarakat baik dalam lapangan keagamaan, lapangan ekonomi, pertanian perdagangan, bahkan menteri dan lapangan lainnya. Akan tetapi walau bagaimanapun masalah tinggi rendahnya kedudukan seorang wanita dapat dilihat dalam peranannya di dalam masyarakat.

Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan Batak Toba yang mamakai marga itu berlaku keturunan patrilienal, maka orangtua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orangtuanya. Akan tetapi anak laki-laki


(30)

tidak dapat membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian sebaliknya. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa orangtua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orangtua yang tidak membedakan kasih sayang kepada anak-anaknya.

Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris pada masyarakat Patrilineal, terdiri atas:

a. Anak laki-laki.

Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan, baik harta pencarian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan istri, maka harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun istri seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya.

b. Anak angkat.

Anak angkat hanya berhak atas harta pencaharian/harta bersama orangtua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.

c. Ayah dan ibu serta saudara-sudara sekandung si pewaris.

Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris yang mewaris bersama-sama.


(31)

Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

e. Persekutuan Adat.

Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.

Berkaitan dengan hukum adat waris yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember 1961 No.179 K/Sip/1961 telah terjadi upaya ke arah persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan di Tanah Karo, meskipun putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal tersebut.

Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut, antara lain:

a. “Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas

anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup, bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orangtuanya”.

b. “Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa

prikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak


(32)

perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas warisan, dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengan anak perempuan”.

c. “Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orangtuanya”.

2. Konsepsional

Konsepsi adalah :

Salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu kebenaran”.18

Pengertian hukum waris sampai saat ini baik dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia dan pendapat para ahli hukum Indonesia menggunakan istilah untuk hukum waris masih berbeda-beda. Seperti Wirjono Prodjodikoro, menggunakan istilah “hukum warisan”.19 Hazairin, mempergunakan istilah “hukum kewarisan”20 dan Soepomo menyebutkannya dengan istilah “hukum waris”.21

Dari istilah yang dikemukakan ketiga para ahli hukum Indonesia, baik tentang penyebutan istilah maupun berkenaan dengan pengertian hukum waris itu sendiri,

18Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 15.

19

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, hal. 8.

20

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur,an, Tintamas, Jakarta, hal. 1

21


(33)

maka dalam penulisan ini lebih cenderung mengikuti istilah dan pengertian dari hukum waris sebagaimana yang digunakan oleh Soepomo.

Beberapa pengertian hukum waris sebagai berikut:

Soepomo menerangkan bahwa “hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”.

Menurut Pitlo bahwa hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun dalam hubungan mereka dengan pihak ketiga.22

Sedangkan menurut J. Satrio bahwa:

Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peratutan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaannya yang berwujud; perpindahan dari kekayaan dari si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.23

Lebih jauh lagi, B. Ter Haar Bzn memberikan rumusan hukum waris sebagaimana yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebekti Poesponoto, sebagai berikut “hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari

22

A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1990, hal. 1.

23


(34)

ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.24

Dari uraian di atas masalah pewarisan terjadi karena: 1) adanya orang yang meninggal,

2) adanya harta yang ditinggalkan, 3) adanya ahli waris.

Istilah “hukum waris” mengandung pengertian yang meliputi kaedah-kaedah dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dalam rangka memahami kaedah-kaedah serta seluk beluk hukum waris perlu diuraikan beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum waris, antara lain:

a. Waris, istilah ini berarti orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.

b. Warisan, berarti sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka.

c. Pewaris, berarti orang yang mewariskan.

d. Ahli waris, berarti orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka). e. Mewarisi, berarti memperoleh warisan.

f. Proses pewarisan, berarti cara atau perbuatan mewarisi atau mewariskan.25

Berdasarkan hukum adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri meskipun masih terdapat variasi, misalnya di dalam masyarakat yang patrilineal harta kekayaan yang berasal dari kerabat isteri dalam kawin ambil anak tidak dibenarkan hukum untuk dijadikan

24

K. Ng. Soebakti Poesponoto, Azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960, hal. 197.

25


(35)

sebagai lembaga kekayaan bersama. Misalnya kebiasaan di daerah Jawa, seorang laki-laki yang miskin kawin dengan seorang wanita yang kaya, maka dalam hal ini juga tidak terwujud lembaga kekayaan bersama. Sebab kekayaan yang timbul dalam perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri.

Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Harta benda tersebut juga diatur dalam Pasal 35 UUP sampai dengan Pasal 37 UUP. Ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan menurut UUP, yaitu:

1) Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami-isteri. 2) Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri

kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan.

Berdasarkan definisi ayat (1) Pasal 35 UUP yang disebut harta bersama ialah harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama ini pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang biasa disebut harta syarikat.

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditemukan, yaitu :


(36)

a. Menurut Undang-Undang Perkawinan, ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan, yaitu :

1) Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami-isteri.

2) Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan.

b. Ahli waris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak berhak mewaris.

c. Menurut UUP Pasal 65 ayat (1) huruf b menentukan bahwa isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya.

d. Kedudukan anak tersebut dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UUP selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

e. Menurut UUP, yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42), anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43).

f. Harta warisan dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. (Pasal 35 UUP).


(37)

g. Pewaris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah seseorang yang telah meninggal dunia.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah maka “penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya”.26 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas. Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif 27, deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris,28 dilakukan guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian

26

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984, hal. 43.

27

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 36 : Penelitian Deskripsi pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu..

28

Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 14.


(38)

harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan dan ditetapkan di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, dengan alasan serta pertimbangan sebagai berikut:

a. Kecamatan Pangururan merupakan ibukota Kabupaten Samosir yang baru dimekarkan pada tahun 2002. Kecamatan Pangururan berada di tengah-tengah pulau Samosir (dikelilingi danau toba).

b. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan masih menjunjung tinggi hukum adat termasuk hukum waris adat.

c. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan relatif banyak melakukan urban29 ke Kota Medan dan kota besar lainnya.

3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh orang Batak Toba yang bertempat tinggal di Kecamatan Pangururan dari 28 desa/kelurahan yang ada di kecamatan tersebut diambil 5 desa/kelurahan sebagai desa sampel.

Responden penelitian adalah orang yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan permasalahan di atas. Dari jumlah populasi 28.428 jiwa yang dijadikan responden sebanyak 30 orang.

29

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 1252, urban berarti perpindahan penduduk dari desa ke kota.


(39)

Responden tersebut di 5 (lima) Desa. Penetapan responden tersebut dilakukan melalui penarikan sampel yang bersifat purposive sampling30, yaitu berdasarkan pertimbangan peneliti antara lain data responden dianggap dapat terwakili dan lokasi penelitian yang luas, adanya keengganan masyarakat untuk dijadikan responden. Tehnik ini dipergunakan untuk memperoleh informasi dan data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, oleh karena itu dari 5 (lima) desa diambil responden secara merata. Penetapan lokasi dilakukan berdasarkan pada pertimbangan dana, tenaga dan waktu yang terbatas.

Dalam mendukung data primer, diperlukan informan yaitu:

a. Hakim Pengadilan Negeri 1 (satu) orang : Christo Efrest Sitorus,

b. Tokoh Adat 3 (tiga) orang: Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho).

4. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan 2 (dua) cara yaitu :

30

Ronny Hamitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 51, Purposive sampling atau penarikan sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.Harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama,

b.Subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi,

c.Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi pendahuluan.


(40)

a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Penelitian lapangan (field research), yaitu dilakukan dengan menghimpun

data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada responden maupun informan, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas terstruktur, agar lebih mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.

5. Alat Pengumpulan Data

Alat untuk mengumpulkan data dilakukan dengan:

a. Studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi dokumen dilakukan atas dokumen seperti segala peraturan, buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan hukum waris adat Batak Toba.

b. Wawancara langsung, yaitu dengan menjumpai pihak-pihak yang terkait yang berhubungan dengan permasalahan ini seperti hakim, dan tokoh adat. Sebelum dilakukan wawancara maka terlebih dahulu membuat pedoman wawancara agar pelaksanaan di lapangan menjadi lancar.

c. Kuisioner yaitu dengan mempergunakan pedoman pertanyaan yang diberikan kepada responden.


(41)

6. Analisis Data

Data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan tersebut dianalisis dengan cara kualifikasi sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang dapat diamati.31 Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis. Maka diketahui struktur kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka diperoleh suatu kesimpulan sebagai jawaban atas segala permasalahan hukum yang diteliti.

31

Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal. 3.


(42)

BAB II

STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN

KABUPATEN SAMOSIR A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Van Vollenhoven merupakan peletak dasar ilmu Hukum Adat, menjadi pembangun dan pembina sistem pelajaran Hukum Adat. Ada 3 (tiga) hal penting karya van Vollenhoven di bidang Hukum Adat yaitu:

1. menghilangkan kesalahan faham yang melihat Hukum Adat identik dengan Hukum Agama (Islam).

2. membela Hukum Adat terhadap usaha pembuat undang-undang untuk

mendesak atau menghilangkan Hukum Adat, dengan menyakinkan badan tersebut bahwa Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, mempunyai jiwa dan sistem sendiri.

3. membagi wilayah Hukum Adat Indonesia dalam 19 (sembilan belas)

lingkungan Hukum Adat (adatrechtskringen).32

Adapun pembagian wilayah Lingkungan Hukum Adat dalam 19 (sembilan belas) wilayah yang dibuat oleh van Vollenhoven tersebut adalah:

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue). 2. Tanah Gajo, Alas dan Batak:

a. Tanah Gajo (Gajo Lueus); b. Tanah Alas;

c. Tanah Batak (Tapanuli): 1). Tapanuli Utara:

a). Batak Pakpak (Barus); b). Batak Karo;

c). Batak Simalungun;

d). Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Djulu). 2). Tapanuli Selatan:

a). Padan Lawas (Tano Sapandjang); b). Angkola;

c). Mandailing (Sayurmatinggi).

32


(43)

2.a Nias (Nias-Selatan).

3. Tanah Minangkabau (Padang Agam, Tanah Dadatar, Lima piluhu Kota, Tanah Kampar, Korintji).

3.a Mentawai (orang Pagai).

4. Sumatera Selatan:

a. Bengkulu (Redjang);

b. Lampong (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulung Bawang);

c. Palembang (Anak Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Semendo); d. Jambi (Batin dan Penghulu).

4.a Enggano.

5. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumaterea Timur, orang Bandjar). 6. Bangka dan Belitung.

7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam Hulu, Pasir, Dayak Kenja, Dayak Klemanten, Dajak Landak dan Dayan Tajan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timai, Long Glatt, Dayak Maanjan Patai, Dayak Maanjan Siung, Dayak Ngadju, Dayak Ot Danun, Dayak Penjabung Punan).

8. Minahasa (Menado).

9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo).

10. Tanah Toradja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat,

Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai). 11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,

Makasar, Salaiar, Muna).

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan Sula). 13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Aru, Kisar).

14. Irian.

15. Kepulauan Timur (Gugus Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sawu, Bima). 16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Djembrana, Lombok, Sumbawa).

17. Djawa Tengah, Djawa Timur serta Madura (Djawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Djawa Timur, Surabaya, Madura). 18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).

19. Djawa Barat (Priangan, Sunda, Djakarta, Banten).33

Pembagian tersebut bersifat sementara, karena dewasa ini telah terjadi tukar menukar anggapan para anggota berbagai persekutuan Hukum Adat makin lama

33


(44)

makin bertambah, dan dengan sendirinya perbedaan antara hukum berbagai persekutuan hukum adat akan hapus atau berkurang.

“Di berbagai belahan dunia, banyak komunitas-komunitas adat harus tersungkur di tanah leluhur mereka. Demikian juga dengan nasib hidup jutaan masyarakat adat di bumi Indonesia. Kita lihat masyarakat Jumma People di Chittagong Hill, Bangladesh; Chin dan Karen di perbatasan Thailand, Kamboja dan Burma; Cordilera di Philipina; Orang Asli di Malaysia; Orang Monk di Thailand; dan komunitas-komunitas masyarakat adat dari Sumatera sampai Papua, penindasan dan pelecahan atas hak-hak meerka masih terus berlangsung sampai detik ini”.34

Menurut Iman Sudiyat hal ini terjadi “karena pengaruh kota-kota besar dan makin meresapnya keinsafan serta kesadaran nasional sebagai warga dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, di samping juga resepsi hukum eropa dan keinginan untuk mengadakan unifikasi hukum di Indonesia”.35 Lebih jauh, Iman Sudiyat mengatakan bahwa “perbedaan tersebut bukanlah suatu perbedaan asasi, melainkan hanya perbedaan kedaerahan (lokal) belaka”.36

1. Sejarah Berdiri37

Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, telah mendorong munculnya aspirasi masyarakat di daerah untuk membentuk Kabupaten/Kota baru yang bersifat otonom. Sebab dengan status

34

The International Day of World’s Indigenous Peoples: Momentum Pemajuan Hak

Masyarakat Adat di Indonesia, 9 Agustus 2006, tanpa hal. 35

Iman Soediyat, Ibid, hal. 53.

36

Iman Soediyat, Ibid, hal. 53.

37


(45)

daerah otonom baru, diharapkan akan memperoleh peluang untuk mengurus daerahnya sendiri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu Kabupaten yang menjadi agenda pemekaran Kabupaten Toba Samosir adalah membentuk Kabupaten Samosir, yang berada di tengah-tengah Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu kajian peningkatan pemekaran Kabupaten Toba Samosir dengan melahirkan calon Kabupaten Samosir perlu segera dilakukan, mengingat sudah waktunya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Oleh karena itu, kajian dan penelitian data perlu dilakukan untuk mendapatkan penilaian objektif dengan berdasar pada ketentuan yang berlaku mengingat bahwa pengelolaan potensi kekayaan yang ada di daerah memerlukan kajian dan pengaturan yang rasional, profesional dan bertanggung jawab sesuai dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing.

Aspirasi masyarakat untuk memekarkan Kabupaten Samosir menjadi 2 (dua) Kabupaten, didasarkan pada desakan masyarakat wilayah Samosir dan DPRD Kabupaten Toba Samosir, maka Kabupaten Toba Samosir diusulkan dan direncanakan pemekarannya yaitu:

a. Kabupaten Toba Samosir (Induk) terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan yaitu Kecamatan Balige, Laguboti, Silaen, Habinsaran, Porsea, Lumbanjulu, Uluan, Pintu Pohan Meranti, Ajibata, dan Kecamatan Borbor.


(46)

b. Kabupaten Samosir (Calon) terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan yaitu Kecamatan Pangururan, Sianjur, Mulamula, Simanindo, Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Ajibata, dan Sitio-tio.

Sesuai dengan aspirasi dan argumentasi masyarakat yang disampaikan kepada DPRD Kabupaten Toba Samosir dan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir serta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah ditindaklajuti aspirasi masyarakat tersebut dengan:

Keputusan DPRD Kebupaten Toba Samosir Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir tanggal 20 Juni 2002. Surat Bupati Toba Samosir Nomor 1101/Pem/2002 tanggal 24 Juni 2002 yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara. Surat Bupati Toba Samosir Nomor 135/1187/Pem/2002 tanggal 3 Juli 2002 perihal laporan tentang aspirasi masyarakat Samosir untuk membentuk Kabupaten Samosir, yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara. Setiap argumentasi dan usulan DPRD dan Bupati Toba Samosir, usulan ini diakomodir dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai tanggal 18 Desember 2003.

Terbentuknya Samosir sebagai kabupaten baru merupakan langkah awal untuk melalui percepatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih sejahtera. Tujuan pembentukannya adalah untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam rangka perwujudan sosial, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan untuk merespon serta merestrukturisasi jajaran pemerintahan daerah dalam rangka mempercepat proses pembangunan sehingga dalam waktu yang cukup singkat dapat sejajar dengan kabupaten lainnya, sehingga secara langsung akan mengangkat harkat hidup


(47)

masyarakat yang ada di Kabupaten Samosir pada khususnya, Provinsi Sumatera Utara pada umumnya.

Luas wilayah Kabupaten Samosir secara keseluruhan mencapai 254.715 Ha, terdiri dari daratan seluas 144.455 Ha dan perairan danau seluas 110.260 Ha. Luas dan batas perairan di kawasan Danau Toba belum ada ketentuan yang pasti. Namun mengingat Pulau Samosir tepat berada dan dikelilingi oleh Danau Toba, secara proporsional luas perairan Danau Toba yang menjadi bahagian daerah Kabupaten Samosir sewajarnyalah merupakan bahagian yang terluas dibandingkan dengan enam kabupaten-kabupaten lainnya di sekeliling perairan Danau Toba.

Posisi geografis Kabupaten Samosir berada pada 2°24’ - 2°45’ Lintang Utara dan 98°21’- 99°55’ BT. Secara administratif wilayah Kabupaten Samosir diapit oleh tujuh kabupaten, yaitu:

Sebelah Utara : Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun, Sebelah Timur : Kabupaten Toba Samosir,

Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbahas, Sebelah Barat : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat.

Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan, 6 kecamatan berada di Pulau Samosir di tengah Danau Toba dan 3 kecamatan di daerah lingkar luar Danau Toba tepat pada punggung pegunungan Bukit Barisan.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini, Kecamatan Pangururan yang merupakan bagian dari Wilayah Kabupaten Samosir ( juga merupakan salah satu dari 19 (sembilan belas) Lingkungan Hukum Adat di atas).


(48)

Berdasarkan data statistik luas wilayah Kabupaten Samosir yang dibagi menurut daerah masing-masing adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005

No. Kecamatan LuasWilayah

(km2)

Rumah Tangga (KK)

Penduduk (jiwa)

Kepadatan (org/km2)

1 Sianjur Mula-mula 140,24 2.131 10.367 74

2 Harian 394,60 2.354 11.556 29

3 Sitio-tio 249,31 2.250 10.960 61

4 Nainggolan 87,86 2.920 18.153 207

5 Onan Runggu 59,14 2.566 14.164 239

6 Palipi 143,40 2.189 12.086 161

7 Pangururan 84,65 5.369 24.817 293

8 Ronggur Nihuta 87,15 1.717 7.350 84

9 Simanindo 198,20 4.158 20.625 104

JUMLAH 1.444,25 25.654 130.078 90

Sumber: Kantor Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005.

a. Kondisi Sosial Budaya

Kondisi kependudukan maupun keadaan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Samosir mempunyai karakter yang khas yang memegang teguh kebudayaan dan agama serta adat istiadat yang ada di daerah tersebut. Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan dengan jumlah penduduk Tahun 2004 sebanyak 130.078 jiwa (63.741 orang laki-laki dan 66.337 orang perempuan).

Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Samosir secara umum adalah sekitar 90 jiwa/km2, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Pangururan sebanyak 293 jiwa/km2, sedangkan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Harian sebesar 29 jiwa/km2.

b. Pertumbuhan Penduduk.

Berdasarkan angka hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Samosir berjumlah


(49)

119.254, sedangkan jumlah penduduk tahun 2004 berjumlah 130.078, dengan demikian laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 2003 - 2004 adalah 9 persen.

c. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin.

Berdasarkan kelompok umur, penduduk Kabupaten Samosir tergolong dalam struktur umur muda. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk usia muda (0-14 tahun ) yang cukup besar, yaitu 36,72 persen. Besaran penduduk usia muda dan usia lanjut (65 + tahun ) merupakan beban tanggungan bagi penduduk usia produktif (14-64 tahun ), di mana persentase penduduk usia produktif tahun 2003 sebesar 55,46 persen. Hal ini memberikan implikasi bahwa kelompok umur muda perlu mendapatkan perhatian dan pengembangan sehingga mampu menghasilkan tenaga-tenaga terampil dan mandiri untuk mengisi pembangunan di masa yang akan datang.

Besarnya jumlah penduduk usia muda ini, berimplikasi pada beban tanggungan penduduk usia produktif juga semakin besar. Secara kasar angka ini dapat digunakan sebagai indikator pengukur kemajuan ekonomi suatu daerah. Rasio ini menyatakan perbandingan penduduk berusia dibawah 15 tahun dan diatas 65 tahun yang dianggap tidak produktif secara ekonomi dengan jumlah penduduk berusia 15 sampai 65 tahun yang dianggap produktif secara ekonomi. Makin tinggi rasio beban tanggungan berarti semakin kecil jumlah penduduk produktif dan semakin banyak sumber daya yang harus dibagikan kepada kelompok tidak produktif. Beban tanggungan anak di Kabupaten Samosir pada tahun 2003 sebesar 75,08 dan beban tanggungan usia lanjut sebesar 5,21. Hal ini bahwa setiap 100 orang penduduk


(50)

usia produktif menanggung sekitar 75,08 orang anak dan 5,21 orang usia lanjut. Dengan kata lain bahwa beban tanggungan di Kabupaten Samosir masih cukup besar yaitu mencapai 80,29. Tingginya beban tanggungan ini diduga akibat adanya perpindahan penduduk usia produktif ke daerah lain dengan tujuan bekerja atau melanjutkan sekolah.

d. Distribusi menurut Tingkat Pendidikan.

Rendahnya tingkat pendidikan dapat dirasakan sebagai penghambat dalam pembangunan. Dengan demikian, tingkat pendidikan sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Keadaan seperti ini sesuai dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yakni merupakan usaha sadar untuk pengembangan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup.

Keadaan tingkat pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Samosir berdasarkan hasil Susenas 2003, menunjukkan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang berhasil menamatkan pendidikan SD sampai dengan perguruan Tinggi sebesar 76,40 persen, selebihnya sekitar 23,60 persen adalah mereka yang berpendidikan SD ke bawah (3,60 persen yang tidak/belum pernah bersekolah dan 20,00 persen yang tidak/belum tamat SD). Dari mereka yang telah menamatkan paling tidak SD tersebut, hanya sekitar 1,50 persen yang tamat diploma/Sarjana dan 50,80 persen tamat pendidikan menengah (21,20 persen tamat SMTP dan 29,60 persen tamat SMTA). Di satu sisi, dari setiap 1.000 orang berusia 10 tahun ke atas, sekitar 15 orang diantaranya berpendidikan Tingkat Diploma hingga sarjana.


(51)

Keadaan ini dapat dianggap rendah, hal ini sangat mungkin disebabkan oleh migrasi penduduk yang telah menyandang gelar Diploma atau sarjana untuk mencari pekerjaan atau penghidupan yang lebih layak ke daerah/kota lain. e. Agama.

Walaupun Mayoritas jumlah penduduk di Kabupaten Samosir adalah Agama Kristen Protestan dan Agama Katolik, namun kerukunan antara umat beragama tumbuh dan berkembang dengan baik untuk menunjang Pembangunan Daerah Kabupaten Samosir, serta diupayakan perbaikan prasarana dan sarana ibadah keagamaan sesuai dengan perkembangan umat beragama di Kabupaten samosir. f. Etnis dan Suku.

Jumlah Etnis dan Suku yang ada di Kabupaten Samosir adalah 6 etnis (Batak Karo, Batak Simalungun, Nias, Jawa, Minang, Batak Toba).

g. Angka Kemiskinan.

Jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2000-2004. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, keadaan ini mengalami kenaikan menjadi 41 % pada tahun 2004 atau naik sekitar 18 %. Secara absolut jumlah penduduk miskin pada periode 2000-2004 mengalami kenaikan sebesar 20.070 Jiwa.

h. Angka Pengangguran.

Untuk memberikan gambaran mengenai ketenagakerjaan di Kabupaten Samosir, maka secara singkat keadaan ketenagakerjaan dilihat dari penduduk usia


(52)

kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Penduduk usia kerja (10 keatas) digolongkan sebagai:

1) Angkatan kerja, bila mereka bekerja atau mencari pekerjaan dan secara

ekonomis berpotensi menghasilkan out-put atau pendapatan, dan;

2) Bukan angkatan kerja, bila mereka bersekolah, mengurus rumah tangga, dan

lainnya. Semakin tinggi Tingkat Partipasi Angkatan Kerja (TPAK) berarti semakin besar keterlibatan penduduk usia 10 tahun keatas dalam pasar kerja. “Persentase penduduk usia kerja di Kabupaten Samosir yang bekerja adalah

sebesar 80,16 %, dimana pria sebesar 79,71 % dan wanita sebesar 80,57 % sedangkan penduduk usia kerja yang mencari kerja adalah sebanyak 0,83 %. TPAK Samosir berdasarkan hasil Susenas 2003 adalah sebesar 81,82 %. TPAK laki-laki lebih tinggi dari TPAK wanita, hal ini berarti bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat dalam pasar kerja.

Adapun TPAK Laki-laki sebesar 81,18 dan TPAK wanita 80,80. Tingkat pengangguran terbuka penduduk laki-laki sebanyak 1,85 % dan penduduk wanita sebesar 0,29 %, sehinggga tingkat pengangguran terbuka secara umum sebesar 1,04%”.38

i. Kinerja Sektor 1). Pertanian.

Salah satu pilar pembangunan Pemerintah Kabupaten Samosir adalah terciptanya “pertanian yang maju” Hal ini menunjukan tekad dan kemauan Pemerintah Kabupaten Samosir dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagian besar penduduk Kabupaten Samosir menggantungkan hidupnya dari sector ini. Sektor pertanian menjadi andalan dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Tahun

38


(53)

2003 sektor peretanian memberi kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Samosir, yaitu 55,47 persen.

Untuk luas lahan sawah dan lahan kering menurut kecamatan di Kabupaten Samosir tahun 2002, Pangururan merupakan kecamatan dengan luas lahan sawah dan lahan kering terluas, yaitu mencapai 21.972 Ha. Sedangkan Simanindo merupakan yang memiliki luas lahan baik sawah dan lahan kering terkecil, yaitu 1.183 Ha. 2). Perikanan.

Kegiatan usaha perikanan umumnya dikelola dan diusahakan masyarakat sebagai usaha rumah tangga. Budidaya ikan merupakan salah satu usaha perikanan yang cukup potensial di Kabupaten Samosir. Kegiatan budidaya ini biasanya dilakukan di kolam, sawah, kolam air deras, jaring apung dan usaha tempat pembenihan. Di Kabupaten Samosir jenis budi daya yang memiliki lahan terluas adalah jaring apung dengan luas 2.808 ha. Sedangkan untuk produksi ikannya, dari jaring apung dihasilkan ikan sebanyak 615,06 ton, dari sawah sebanyak 9,10 ton dari kolam sebanyak 4,88 ton.

3). Perkebunan.

Untuk mengopotimalkan hasil perkebunan rakyat perlu adanya peningkatan usaha peremajaan dan rehabilitasi perkebunan rakyat, peningkatan intensifikasi tanaman perkebunan, pengadaan bibit unggul, pengendalian hama dan penyakit terpadu, mengadakan penyuluhan secara terpadu, perluasan areal perkebunan, meningkatkan pemasaran hasil perkebunan.


(54)

“Kopi merupakan komoditi yang diminati masyarakat, hal ini terlihat dari luasnya areal yang ditanami dibanding dengan tanaman perkebunan lainnya. Tahun 2003 luas tanaman kopi seluas 835,7 Ha, dengan produksi yang dihasilkan sebesar 469,2 ton dan produktivitas 561,4 kg/ha. Luas tanaman kelapa tahun 2003 seluas 348,5 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 41,38 ton dan produktivitas 118,7 kg/ha. Luas tanaman kulit manis tahun 2003 seluas 6,74 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 3,45 ton dan produktivitas 511,9 kg/ha. Luas tanaman kemiri tahun 2003 seluas 341 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 102,2 ton dan produktivitas 299,7 ka/ha. Sedangkan luas tanaman kakao tahun 2003 seluas 2,15 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 0,932 ton dan produktivitas 433,5 kg/ha. Industri dan Perdagangan”.39

Dari struktur organisasi lembaga dinas dan teknis di Kabupaten Samosir untuk sector industri dan perdagangan di tangani langsung oleh Dinas Perindustrian, Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Samosir. Sesuai dengan rencana strategis, maka prioritas pembangunan adalah Penataan dan pengembangan sektor industri, perdagangan, pertambangan, jasa, koperasi, usaha kecil dan usaha menengah dalam rangka penumbuhan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat. Serta penataan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui pemanfaatan ruang dan wilayah serta pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan terutama kawasan hutan dan perairan Danau Toba.

Dari penjelasan di atas, yang telah dan akan dilakukan Instansi terkait khususnya Dinas Perindustrian, Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Samosir adalah mengembangkan industri hasil hutan (Agroforestri), meningkatkan pembinaan

39


(55)

industri kecil dengan mengadakan pelatihan kepada pelaku usaha yang tergabung dalam UKM dan Koperasi dengan pemanfaatan tehnologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas dan mendatangkan para Pakar dari Departemen dan Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk memberikan pemahaman tentang perencanaan usaha dan melakukan studi kelayakan usaha. Untuk menjaga kelestarian alam lingkungan kawasan hutan dan perairan Danau Toba perlu mengadakan penataan pembuangan air limbah, pengendalian dan pemanfaatan enceng gondok di kawasan Danau Toba, penanggulangan lahan kritis/gundul, pencegahan penebangan liar, penataan sanitasi perkotaan.

4). Pariwisata.

Potensi yang dimiliki Kabupaten Samosir, seperti kekayaan sumber daya alam (hutan, barang tambang), panorama yang indah dan keunikan Danau Toba serta kekayaan seni budaya dapat dijadikan objek pariwisata yang menguntungkan. Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata untuk menggalakkan kegiatan perekonomian, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat serta penerimaan devisa bagi kabupaten. Pemerintah Kabupaten Samosir sangat peduli terhadap pembangunan sektor ini untuk menjadikan “Pariwisata yang indah di Samosir”.

Tersedianya prasarana seperti hotel dan akomodasi menjadi faktor yang sangat penting dalam mendukung pembangunan kepariwisataan. Jumlah hotel di Kabupaten Samosir tahun 2003 sebanyak 86 buah, dengan 1.365 kamar dan 2.803 tempat tidur. Konsenterasi hotel dan akomodasi terbanyak terdapat di Kecamatan


(56)

Simanindo dengan 77 hotel dengan 1.241 kamar dan 2.553 tempat tidur. Hal ini karena Kecamatan Simanindo merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang menarik di Kabupaten Samosir. Berikut data Jumlah Hotel dan akomodasi di Kabupaten Samosir.

Untuk menarik daya minat wisatawan dalam dan luar negeri (mancanegara) perlu melakukan pemanfaatan tempat bersejarah sebagai tempat wisata, penggalian cagar budaya sebagai objek wisata, pembinaan seni tradisionil sebagai hiburan bagi wisatawan lokal dan asing/mancanegara, pemeliharaan rumah ibadah inkulturatif batak, dan melakukan peningkatan pesona wisata.

Salah satu diantaranya adalah Kecamatan Pangururan yang berada di pulau Samosir.

2. Penduduk

Wilayah Kecamatan Pangururan yang luasnya 121,43 km2, yang terbagi dalam 25 desa dan 3 kelurahan. Wilayah ini berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Kecamatan Simanindo.

Sebelah Selatan : Kecamatan Palipi.

Sebelah Barat : Kecamatan Sianjur Mulamula.

Sebelah Timur : Kecamatan Ronggur Nihuta.

Penduduk di Kecamatan Pangururan adalah mayoritas Batak Toba, yang kebanyakan beragama Kristen Protestan dan Agama Katolik, yang berdasarkan tahun 2006 jumlah penduduk diperkirakan 28.428 jiwa40, dengan perbandingan jumlah

40


(57)

penduduk laki-laki 49,09 % dan perempuan 50,91%, sedangkan jumlah rumah tangga diperkirakan 5.635 rumah tangga.

B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba

1. Sejarah Batak

Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara para penulis sejarah mengenai pengertian nama “Batak”. Menurut Batara Sangti bahwa “bila ada buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya secara subyektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).41

“Perkataan nama “Negeri Batak” telah kedapatan juga dahulu kala di tanah Melayu (sebelum ada terjadi Kesultanan Malaka, BS). Asal kata Batak lebih besar kemungkinannya datang dari kata “Bataha”, sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/Siam dahulu kala sebagai kampung/negeri asal orang Batak sebelum berserak kekepulauan nusantara. Dus dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata “Batak”.”42

Menurut sejarah Batak bahwa tempat perkampungan leluhur suku bangsa Batak yang pertama adalah berada di tepi sungai danau Toba yang bernama Si Anjur Mula-Mula, dari tempat ini tersebar turunan suku bangsa Batak ke seluruh penjuru tanah Batak.

Orang Batak Toba menganggap bahwa mereka berasal dari satu keturunan nenek moyang (geneologis) yang sama yaitu Si Raja Batak, bahwa Si Raja Batak ini adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, yang mula-mula tinggal di Si Anjur Mula-Mula pada Gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.

41

Batara Sangti, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997, hal. 17.

42


(58)

Anak dari Si Raja Batak ada 2 orang yaitu: a.Guru Tatea (Satia) mempunyai 9 anak yaitu:

1) Putra 5 orang, yaitu: a). Saribu Raja, b). Limbong Mulana, c). Sagala Raja, d). Malau Raja, e). Raja Biak-biak 2) Putri 4 orang, yaitu:

a). Boru Paromas, b). Boru Pareme, c). Boru Bidang Laut, d). Nan Tijo.

b.Raja Isombaon (Naga Sumba) mempunyai 3 orang putra, yaitu: 1) Tuan Sori Mangaraja,

2) Raja Asi-asi,

3) Sangkar Som-Alidang.

Maka dari turunan Si Raja Batak sudah mulai memakai marga, pada mulanya nama itulah yang kemudian menjadi marganya sehingga banyak terdapat marga-marga pada orang Batak.

2. Sistem Kekerabatan

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan menganut sistem garis keturunan patrilineal (garis keturunan pihak ayah). Dari garis keturunan ayah tersebut dikenal kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga43 merupakan suatu bentuk kelompok yang turun-temurun mulai dari 1 (satu) kakek yang terikat dengan pertalian darah. Lebih jauh, J.C. Vergouwen bahwa: ”marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang-orang kakek bersama, dan garis keturunan

43

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, 2005, hal. 715. Menyebutkan marga adalah kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal.


(1)

pemberian. Namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta warisan dari orangtuanya seperti tanah, ladang, sawah.

B. Saran

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Disarankan kepada tokoh-tokoh adat dan kaum laki-laki, mulai memberi kesempatan kepada perempuan untuk bersuara dan mengambil keputusan dalam acara pesta-pesta Batak tanpa menghilangkan rasa hormat kepada laki-laki dan ataupun mengubah struktur kekerabatan Batak Toba yaitu “Dalihan Na Tolu”. 2. Persamaan hak itu merupakan tuntutan rasa keadilan dan hukum, karena

yurisprudensi tentang waris telah ada dan dijadikan acuan untuk menyelesaikan mengatur persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan. Maka disarankan perlu adanya sosialisasi ditengah-tengah masyarakat (tokoh adat, pemerintah setempat) untuk memberi pemahaman yang sama “kedudukan anak perempuan sama dengan anak laki-laki” sehingga tidak terjadi perselisihan pewarisan dalam satu keluarga.

3. Perkembangan hak mewaris bagi anak perempuan dari tidak mewaris menjadi mewaris, perlu disikapi secara positif. Untuk itu pemerintah disarankan membuat peraturan perundang-undangan tentang pembagian warisan yang bersifat nasional, sehingga tidak ada lagi keanekaragaman pembagian warisan. Maka terciptalah kepastian hukum dan kepastian pembagian warisan bagi para ahli waris.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku.

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, 1976.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga, Jakarta, 2005.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980.

---, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an, Tintamas, Jakarta.

Ihromi, Tapi Omas, Inheritance and Equel rights for Toba Batak Daughters,” Law and Society Review Vol. 28. No. 3, 1994.

Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005.

Kartasapoetra, Rien G., Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan 1, 1988.

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES (terjemahan), Jakarta.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Malik, Rusdi, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta.

Manan, H. Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004.

Meliala, Djaja S. dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978.


(3)

Moleong, Lexy. J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001

Pitlo, A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1990.

Poesponoto, K.Ng. Soebakti, Azas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta 1990.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung.

Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976.

Sangti, Batara, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997.

Saragih, Djaren, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980.

Satrio, J., Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992.

Sianturi, Sr. Alfocine Idarmeiaty, Kesetaraan Jender Dalam Semangat Habitus Baru, WKRI, PPU, 2008.

Sihombing,T.M., Filsafat Batak (tentang kebiasasan-kebiasaan adat istiadat), Balai Pustaka, Jakarta 1986.

Sihotang, Jailani, dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan di Toba), Mars 26, Jakarta, 1988.

Soediyat, Iman, Asas-Asas Hukum Adat, Gajah Mada, Yogyakarta, 1969.

Soemitro, Ronny Hamitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984.

---, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,


(4)

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas, Jakarta, 1996.

Subagio, Joko P., Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

Subekti, R., Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 1983.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Suparman, Erman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Vergouwen, J.C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta, 1986.

Vollmar, HFA., (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989.

Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1987.

Wuisman, J.J.J. M., dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996.

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. ---, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.


(5)

C. Media Cetak dan Elektronik

Harian Analisa., 27 April 2008.

Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor.8. 1996.

Magazine The International Day of World’s Indigenous Peoples, 9 Agustus 2006. www.elisa.lumbantoruan@gmail.com

www.google.com www.law.ui.com www.samosir.go.id


(6)

Lampiran 1