BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang

  

  memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dengan sedikit perbedaan kondisi khusus yang secara manusiawi mesti ada (condisio sine qua non). Perbedaan itu sesungguhnya hanyalah sebatas beban kewajiban, tetapi prinsip-prinsip kemanusian lainnya tetap sama, anak sama manusiawinya dengan dewasa. All men

  , semua orang tercipta secara sama.

  are created equal Anak dan dewasa adalah dua kondisi manusia yang saling membutuhkan.

  Sebuah siklus kehidupan yang tetap berlangsung dan bergerak, saling menopang dan berkontribusi sesuai kodrati masing-masing. Peran strategis anak dapat menyentuh sisi-sisi kehidupan berbangsa dan bernegara dan lebih jauh dari itu ialah dimensi ukhrawi bagi yang mempercayainya sesuai agamanya yaitu keberlangsungan kita

  

  

  setelah mati. Secara lebih tegas Hadi Supeno menyebutkan bahwa nilai anak sangat baragam yang dapat dilihat dari sisi anak sebagai nilai sejarah, anak sebagai nilai 1 Lihat bagian menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 2 Pemilihan kata “mati” dalam tulisan ini sengaja dibuat untuk menghilangkan persepsi

masyarakat luas akan makna yang kasar dari kata “mati” tersebut. Kata “mati” adalah kata yang

  

mengandung makna terhormat terbukti kata “mati” tersebut dipergunakan didalam kalimat-kalimat

kitab suci Al-Qur’an dan didalam do’a-do’a yang sering dipanjatkan umat Muslim kepada Allah

menandakan bahwa kata “mati” tersebut adalah sebuah kata terhormat kalau tidak tentu kata “mati”

tidak pantas tertulis di dalam sebuah kitab suci dan tidak pantas diucapkan kepada Tuhan di dalam

berdo’a. 3 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa

  ekonomi dan anak sebagai nilai transenden. Perspektif anak sebagai nilai sejarah berarti anak harus meneruskan sejarah dinasti atau sejarah garis keturunan sedangkan sebagai nilai ekonomi yaitu kerena anak dipandang sebagai pembantu dalam menopang/ menyangga kehidupan ekonomi keluarga.

4 Teori Charles Darwin tentang species manusia merupakan evolusi dari

  hewan kera purba menjadi manusia hewan (homoerectus) kemudian menjadi manusia ternyata sebatas mitos berdasarkan realitas. Kontinuitas manusia akan terjamin hanya dengan kehadiran anak, tanpanya berarti kepunahan. Pelestarian kontinuitas itu karenanya syarat mutlak yang sangat diperlukan (sine qua non), patutlah kemudian

  

  jika Hadi Supeno menyatakan bahwa “berbicara soal perlindungan anak bukan sekedar bicara anak dalam kajian psikologis, pedagogis atau sosiologis, lebih dari itu semua, bicara soal perlindungan anak berarti bicara soal kelangsungan hidup sebuah komunitas, berbicara tentang rancang bangun sosial masa depan”.

  Upaya yang dilakukan oleh negara dalam melindungi anak diantaranya adalah dengan membuat berbagai peraturan perundang-undangan. Anak dengan demikian yang dimaksud disini adalah bukan dalam pengertian anak keturunan berdasarkan hubungan anak dengan orang tuanya (karena jika itu yang dimaksud maka setiap orang dapat disebut sebagai anak berapapun usianya bagi ayahnya) tetapi anak dalam

4 Teori ini tertuang dalam buku karangan Charles Darwin berjudul The Origin of Species

  

terbit tahun 1859 dan The Origin of Men terbit tahun 1871. Lihat Muhammad Qutub, Evolusi Moral, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 26. artian yuridis secara umum yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

   tahun termasuk anak dalam kandungan.

  Mewujudkan upaya negara dalam melindungi anak sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1979 bertepatan sebagai tahun yang ditetapkan sebagai ”Tahun Anak Internasional” dimana pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang pada pokoknya bertujuan menjamin kesejahteraan anak. Langkah pemerintah selanjutnya adalah menetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diharapkan dapat membantu anak yang berada dalam proses hukum tetap terjamin dan terlindungi untuk mendapatkan hak-haknya.

  Sebagai puncak upaya perlindungan anak, secara responsif dan progressif pemerintah menetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan disingkat Undang- Undang Perlindungan Anak) ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2002 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 109 sebagai payung hukum yang secara positif berlaku sejak tahun 2003 yang pada pokoknya juga bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak 6 Setiap negara memiliki definisi berbeda tentang anak. Batas umur di bawah 18 tahun

  

dianut dalam Convention on the Right of The Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak menetapkan

definisi anak berarti manusia di bawah umur 18 tahun, UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

juga menetapkan batas umur dibawah 18 tahun dan belum pernah kawin, UU No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia menetapkan hal yang sama, kecuali UU No. 4 Tahun 1979 Tentang sebagai penerus generasi bangsa yang harus dijamin hak-haknya dan perlindungannya dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.

  Merujuk kepada kata-kata “perlindungan” berdasarkan adagium titulus est lex (judul perundang-undanganlah yang menentukan) maka kebijakan aplikasi dan eksekusi undang-undangnya haruslah dibaca, dimaknai dan dipahami sebagai sebuah

   undang-undang yang berpihak pada semangat perlindungan anak.

  Instrumen regulasi di atas tidak saja berhenti ditingkat undang-undang tetapi komitmen perlindungan anak yang lebih tegas bahkan diletakkan setingkat konstitusi yaitu tepatnya Amandemen UUD RI 1945 pada Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi: ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

  Melindungi anak dalam segala bentuknya pada hakikatnya berarti melindungi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan negara bahkan manusia secara universal.

  Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Anak bagian Umum alinea kedua sampai keenam dinyatakan bahwa pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara bertanggung jawab untuk menjaga dan memeliharanya sebagai sebuah rangkaian

7 Asas-asas penting dalam upaya perlindungan anak adalah: a) non diskriminasi; b)

  kepentingan terbaik bagi anak; c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; d) kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus yang dimulai sedini mungkin sejak dari janin.

  Sejak lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak maka sejak saat itu segala bentuk perlindungan terhadap anak dan pelanggaran terhadapnya telah terformulasikan secara baik dalam undang-undang tersebut dan karenanya menjadi

  

  domain hukum yang pengaturannya dan penerapannya harus berdasarkan undang- undang tersebut. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta

  

  mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dapat dikatakan sebagai perlindungan yang diberikan dan dijamin oleh hukum sehingga dapat dikatakan juga

  

  sebagai perlindungan hukum terhadap anak. Maidin Gultom menyatakan, perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencipakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan

  

  pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Arif Gosita mengatakan bahwa hukum perlindungan anak adalah hukum (tertulis maupun tidak

8 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm. 324. Domain bermakna wilayah.

  9 10 Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

  Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia , (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hlm. 33. tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.

  Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin

  

  kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Perlindungan kearah yang konstruktif semakna dengan perlindungan tunas, potensi dan upaya perwujudan cita-cita generasi muda untuk perjuangan bangsa dan negara tetapi sebaliknya “pemanfaatan” secara menyimpang terhadap anak apapun itu termasuk eksploitasi seksual adalah semakna dengan destruksi terhadap tunas, tindakan impotensi,

  

  mematikan cita-cita perjuangan generasi muda dan ancaman kontinuitas eksistensi masa depan bangsa dan negara.

  Meskipun perlindungan anak telah diletakkan dalam sebuah tataran yuridis normatif positif (fakta yuridis), tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan-tindakan negatif terhadap anak masih saja marak terjadi jika tidak dapat dikatakan makin memanas (fakta empiris). Tindakan-tindakan negatif dimaksud seperti penelantaran, penyiksaan, diskriminasi, pencabulan, persetubuhan hingga pemerkosaan terhadap anak setiap hari menempati arus utama berita disamping tindakan korupsi dan penyalahgunaan psikotropika dan narkotika. Statistik secara realistik menunjukkan 12 Lihat bagian menimbang huruf c Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 13 Kata eksistensi dapat digunakan dalam arti umum untuk menandakan “apa yang ada”,

misalnya dikatakan: eksistensi negara Indonesia. Akan tetapi dalam kalangan sarjana-sarjana filsafat

  

kata eksistensi lazim digunakan untuk menandakan keberadaan manusia saja, yakni cara manusia

berada di dunia sebagai subjek yang konkrit. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: fakta itu. Penjatuhan hukuman bagi pelaku tindakan-tindakan dimaksud bahkan telah menyesakkan lembaga pemasyarakatan namun tindakan-tindakan negatif serupa selalu terulang kembali. Efektifitas hukum kembali dipertanyakan, teori-teori penjatuhan hukuman-pun kembali terkoreksi. Regulasi yang ada dengan berbagai harapannya ibarat panggang jauh dari api, persetubuhan terhadap anak tidak tereliminasi bahkan meminimalisasinya seperti terlalu utopis untuk jadi realis.

  Intensitasnya semakin tinggi. Anak terkesan barang produksi layak konsumsi.

  Eskalasi tindakan persetubuhan terhadap anak disinyalir karena pengaruh jejaring sosial, situs-situs porno lewat internet, pornografi, pornoaksi dan gaya hidup hippis dan serba permisif, tetapi ada satu pendapat yang paling tidak terbantahkan tingkat kebenarannya adalah bahwa korban sendirilah yang merupakan faktor kriminogen (turut menjadi penyebab terjadinya kejahatan berupa persetubuhan) atau

  

  dalam perspektif viktimologi sering disebut victim precipitation. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Cianjur, Jakarta Barat, telah merekam kasus kekerasan terhadap anak meningkat bahkan tendensius dari tahun ke tahun dan sepanjang tahun 2012 tercatat kasus pencabulan dan persetubuhan terhadap

  

  anak sebanyak 52 kasus. Statistik yang sama juga terjadi di Bali yang bahkan salah

14 Viktimologi dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan), bahasa Latin victim

  

(korban) dan logos (ilmu pengetahuan). secara sederhana viktimologi/ victimology artinya ilmu

pengetahuan tentang korban kejahatan. Lihat Bambang Walyuo, Viktimologi: Perlindungan Korban &

Saksi , (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9. 15

  

  satu pelakunya anggota Polri, di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur juga tidak

  

  berbeda yang justeru salah satu pelakunya adalah ayah kandung, di Samarinda berdasarkan rekapitulasi data Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Samarinda, pada periode Januari hingga November 2012 kekerasan terhadap anak tercatat 78 kasus dan terbanyak adalah kasus persetubuhan, yakni 21 kasus yang salah satu kasusnya adalah persetubuhan oleh ayah tiri terhadap anak tirinya 13 tahun

  

  dengan repetisi 3 (tiga) kali perminggu selama 5 bulan, di Kabupaten Tuban ditemukan data bahwa sejak awal tahun 2012 kasus persetubuhan di kalangan remaja

  

  jumlahnya terus mengalami peningkatan , di Depok menurut data Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Depok, rata-rata terdapat 10 kasus persetubuhan remaja di bawah umur setiap bulan bahkan jumlah itu terus meningkat, dimana pihak perempuan masih berusia 12 hingga 17 tahun, sementara pihak pria berumur sama . atau bahkan sudah usia dewasa Uniknya perbuatan itu rata-rata karena pergaulan bebas, usianya SMP bahkan ada yang SD, umumnya suka sama suka tanpa kekerasan

   hanya bermodus bujuk rayu dan janji rasa sayang.

  Provinsi Sumatera Utara sendiri lewat Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuniyanti Chuzaifah menyatakan bahwa 16

  iakses tanggal 15-02-2013. 17 diakses tanggal 15-02-2013. 18 diakses tanggal 15-02-2013. 19

   diakses tanggal 15-02-2013. 20 di Indonesia selama 10 tahun hingga 2010, tercatat ada 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan dan dari jumlah itu, sebanyak 91.311 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, dan “Sumatera Utara merupakan daerah 10 besar yang kasus

  

  kekerasan terhadap perempuannya tertinggi,” ucapnya. Secara umum Provinsi Sumatera Utara sebagai peringkat pertama dalam kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2012 karena tercatat 38 % kekerasan anak di Indonesia terjadi di Sumut menyusul di bawahnya Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menyumbang 28 %

  

  kemudian provinsi lain termasuk Jabodetabek. Indonesia sendiri menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan banyak aduan kekerasan pada anak pada tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan diantaranya adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar

   45,7 persen (53 kasus).

  Gejala tindakan-tindakan negatif di atas tidak saja regional tetapi juga universal. Afrika Selatan misalnya adalah tempat kasus pemerkosaan terbesar di dunia, pelecehan seksual terhadap anak di Amerika Serikat diperkirakan menembus angka 8 % hingga 71 % dan menurut Departemen Pendikan Amerika Serikat hampir 9,6 % dari siswa menjadi target tindak kejahatan seksual oleh pendidik kadang selama masa sekolah mereka, di Inggris pelecehan seksual terhadap anak mencapai

  21 diakses tanggal 15-02-2013. 22 diakses tanggal 15-02-2013.

  

  12 %, Finlandia berdasarkan survey tahun 1992 mengungkap kasus insestual yang sangat menyolok, di Taiwan berdasarkan satu survei, 2,5% dari remaja Taiwan melaporkan telah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, di India

   pelecehan seksual terhadap anak mencapai 53,22 %.

  Keseluruhan data di atas diasumsikan lebih kecil dari fakta yang sebenarnya yang diduga mancapai 10 kali lipat karena tidak semua kasus dapat diketahui atau dilaporkan sehingga data yang sebenarnya tetap menjadi terra incognita (wilayah gelap yang tidak diketahui pastinya). Artinya angka-angka di atas adalah kalkulasi

   batas prediksi bukan presisi sehingga masih merupakan posisi dark number crime.

  Merujuk angka di atas tidaklah berlebihan jika sementara pemerhati menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak dalam segala bentuknya benar-benar berada pada level kode merah (code red) termasuk diantaranya persetubuhan terhadap anak.

  Persetubuhan merupakan istilah yuridis yang dalam ilmu biologi lebih umum dikenal dengan istilah senggama. Persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota (kemaluan) laki-laki harus masuk kedalam anggota (kemaluan)

  24 Insestual berasal dari kata inses yang berarti hubungan seksual atau perkawinan antara

dua orang yang bersaudara kandung yang dianggap melanggar adat, hukum atau agama. Lihat

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT.

  

Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 539. Kata inses sehari-hari lebih dikenal dengan sebutan sumbang. 25 diakses tanggal 15-01- 2013. 26 Dark number crime dimaknai sebagai angka kajahatan yang belum diketahui jumlah perempuan, sehingga mengeluarkan air mani sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5

27 Pebruari 1912 (W.9292).

  Persetubuhan yang dimaksud dalam penelitian ini umumnya dimaknai sebagai perbuatan suka sama suka dan tanpa paksaan/ kekerasan sebagai lawan dari persetubuhan dengan paksaan/ ancaman dan tanpa kerelaan yang lebih dikenal sebagai pemerkosaan. Adanya unsur suka-sama suka, tanpa paksaan dan kekerasan

  

  sebagai dasar persetubuhan, jika merujuk pendapat Haskel dan Yablonsky itu tidak termasuk kategori kejahatan kekerasan, sebab yang menjadi dasar kategori kejahatan kekerasan menurut keduanya adalah pembunuhan (murder), perkosaan dengan penganiayaan (forcible rape), perampokan (robbery) dan penganiayaan berat

  

  (aggravated assault). Hal senada juga dianut oleh Clinard dan Quinney yang menyatakan bahwa kejahatan kekerasan meliputi perbuatan yang berakibat luka-luka secara fisik seperti pembunuhan (homicide), penganiayaan berat (aggravated assault ), perkosaan dengan kekerasan (forcible rape).

  Salah satu isu paling destruktif diantara isu-isu lainnya yang terkait dengan anak adalah perbuatan persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh pelaku yang umumnya telah berumur dewasa ataupun dalam kasus-kasus tertentu juga dilakukan oleh sesama anak. Ajaran agama Islam memandang persetubuhan atas dasar suka 27 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 209. 28 Martin R. Haskel & Lewis Yablonsky, dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy:

Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan

  Kekerasan , (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 34. sama suka diluar pernikahan adalah perzinahan terlepas apakah salah satu pelakunya

   atau keduanya terikat perkawinan atau tidak dengan orang lain.

  Persetubuhan pada dasarnya bukanlah perbuatan yang berkonotasi negatif tetapi perbuatan yang produktif positif bagi manusia bahkan hewan untuk kelangsungan eksistensi hidup. Persetubuhan adalah perbuatan biologis yang dapat bernilai positif dan juga negatif. Positifnya adalah ketika perbuatan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum, budaya ataupun agama tetapi negatifnya adalah ketika perbuatan itu terjadi secara menyimpang dari koridor hukum, budaya dan

  

  agama. Persetubuhan dengan demikian menjadi tindakan yang tergolong profan dan ilegal ketika di dalamnya ada motivasi dan deviasi yang kontra dengan hukum, budaya dan agama.

  Terminologi persetubuhan adalah terminologi yang secara tegas dipakai dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 81 sehingga persetubuhan adalah telah menjadi terminologi hukum dalam Undang-Undang dimaksud. Persetubuhan adalah delik (tindak pidana) yang tergolong kedalam delik kesusilaan.

   Delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan.

  Persetubuhan dengan demikian dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas nilai-nilai kesusilaan dan karenanya juga dikatakan sebagai pelanggaran hukum, sebab 30 Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 119. 31 Profan berarti tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan ; lawan sakral,

  

tidak kudus karena tercemar, kotor atau tidak suci. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit,

hlm. 1104. 32 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra

  

  dikatakan, tulis Barda Nawasi Arief bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das recht ist das ethische minimum)

  

  Persetubuhan terhadap anak potensial mengancam hak-hak anak secara keseluruhan yang pada akhirnya mengancam kepentingan psycologis, ekonomis, sosial, moralitas, agama dan kultur (budaya) tidak saja anak an sich tetapi dalam skala yang lebih massif yaitu bangsa dan negara bahkan lintas negara (internasional).

  Mengingat alasan inilah kemudian dalam Undang-Undang Perlindungan Anak persetubuhan terhadap anak diancam dengan sanksi berat yaitu diancam dengan

  

  hukuman penjara minimal 3 (tiga) tahun, maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

  300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Persetubuhan terhadap anak dengan demikian telah menjadi perbuatan yang dapat dipidana/ tindak pidana. Tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolelir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana. Perilaku atau perbuatan tersebut dapat berupa gangguan atau

   menimbulkan bahaya terhadap kepentingan atau objek hukum tertentu.

  33 34 Ibid.

  Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasa-Pasal Terpenting dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Penerapannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia , (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 25. 35 Hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu

norma hukum. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya , (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 12. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 K/PID.SUS/2009 tanggal 22 Juni 2009 adalah sebuah perkara yang berkaitan dengan perbuatan persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki bernama BHZ berumur 21 (dua puluh satu) tahun terhadap anak perempuan bernama VP yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun, atas dasar hubungan pacaran, suka-sama suka tanpa paksaan. Pengadilan Negeri Medan menyatakan perbuatan BHZ (terdakwa) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan sehingga menjatuhkan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 6 (enam bulan) kurungan sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn tanggal 18 Desember 2008, hukuman mana kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dalam Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN tanggal 5 Pebruari 2009 dan ditingkat kasasi hukuman itu dikurangi menjadi pidana pejara selama 4 (empat) tahun dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 6 (enam bulan) kurungan.

  Sewaktu pemeriksaan ditingkat Pengadilan Negeri Medan BHZ tidak didampingi penasihat hukum padahal ancaman hukuman atas perbuatan yang didakwakan yaitu Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman penjara minimal 3 (tiga) tahun maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juga rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) serta Pasal 293 ayat (1) KUHP ancaman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun.

  Level ancaman hukuman yang didakwakan telah memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang menegaskan : Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Merujuk ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP di atas, Pengadilan Negeri

  Medan yang memeriksa dan mengadili perkara dimaksud tanpa penasihat hukum adalah melanggar ketentuan hukum acara (undue process) yang terklasifikasi sebagai pelanggaran hak asasi terdakwa untuk diperiksa secara adil dan simbang di depan pengadilan disamping pembelaan diri secara maksimal sulit untuk terwujud.

  Penjatuhan pidana penjara selama 12 tahun dalam penilaian terdakwa tidak mencerminkan keadilan sehingga kemudian menjadi alasan tersendiri bagi keluarganya mendatangi kantor advokat dan meminta agar perkara tersebut dilakukan

   pembelaan melalui upaya hukum yang tersisa.

  Penasehat hukum terdakwa kemudian melakukan upaya hukum banding dan

  

  kasasi. Keberatan penasehat hukum dalam upaya hukum dimaksud adalah seputar pelanggaran proses hukum acara karena tidak didampingi penasehat hukum dan berat 37 Kantor dimaksud adalah Lembaga Bantuan Hukum dan Perlindungan Konsumen (LBH-

  

PK) “PERSADA”, tempat peneliti waktu itu bekerja sebagai advokat yang beralamat di Jalan Mesjid Raya Baru No. 5 Medan. 38 Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan

pengadilan yang dapat berupa banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan

peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam hal-hal serta menurut cara-cara yang diatur

dalam undang-undang. Lihat Redaksi Asa Mandiri, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, (Jakarta: Penerbit

Asa Mandiri, 2007), hlm. 17. Bandingkan dengan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun ringannya penjatuhan hukuman (strafmaat) yang dianggap kurang mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan diantaranya fakta seputar kematangan kognitif/ berfikir korban untuk dibujuk melakukan persetubuhan tanpa paksaan, berkali-kali dan atas dasar hubungan asmara serta adanya upaya damai dari pihak keluarga terdakwa. Terdakwa menilai bahwa sesungguhnya korban merupakan faktor kriminogen, berkontribusi dan memprovokasi sehingga turut menimbulkan tindakan persetubuhan yang seharusnya dinilai sama salahnya dengan terdakwa. Keberatan ini pada akhirnya mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung sehingga pada akhirnya terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun.

  Putusan Mahkamah Agung ini menarik karena terkandung di dalamnya pertimbangan hukum (motivering) yang mengandung ekstra juridis karena mempertimbangkan fakta-fakta sebagai alasan yang kemudian memperingan hukuman terdakwa, yang lazimnya pertimbangan fakta-fakta itu adalah domain judex

  factie .

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik dan terdorong untuk membahas persoalan ini menjadi sebuah penelitian tesis dengan judul “Penegakan

  

Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada Anak (Analisis Terhadap

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 K/PID.SUS/2009”.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

  1. Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana persetubuhan terhadap anak menurut hukum pidana di Indonesia?

  2. Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh hakim judex factie terhadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn

  juncto Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN ? 3.

  Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh hakim judex juris terhadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan menelaah hal- hal berikut yaitu untuk :

1. Mengetahui pengaturan tindak pidana persetubuhan terhadap anak menurut hukum pidana di Indonesia.

  2. Mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum oleh hakim judex factie terhadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn juncto Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN.

  3. Mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum oleh hakim judex juris terahadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009.

D. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat kepada semua pihak baik secara teoritis, akademis, terlebih secara praktis, setidaknya manfaat tersebut adalah : 1.

  Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbang sedikit masukan bagi para pembentuk undang-undang (legislatif), pemerintah (eksekutif), dan bagi akademisi untuk pengembangan teori ilmu hukum khususnya hukum pidana dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hal ihwal anak demi mencapai perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.

2. Secara Praktis

  Penelitian ini sesungguhnya lebih diharapkan memberikan manfaat kepada

  

  para penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan advokat sebagai aparat yang secara langsung potensial berhadapan dengan kasus-kasus serupa, tetapi tanpa mengurangi nilai manfaatnya bagi pemerhati/ pemangku kepentingan seperti lembaga atau komisi yang bergerak dibidang anak termasuk terutama sekali keluarga 39 Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

  

menyatakan: Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum sebagai pilar pertama dan utama untuk lebih memberikan atensi, pengawasan dan perlindungan terhadap segala aktifitas anak.

E. Keaslian Penulisan

  Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil penelusuran dimaksud tidak menemukan judul penelitian/ tesis yang memiliki kesamaan atau kemiripan judul dan permasalahan yang sama sebagaimana penelitian ini.

  Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ditemukan bebarapa Judul Thesis terdahulu yang membahas seputar tindak pidana kesusilaan terhadap anak yaitu :

  1. Rosmarlina Sembiring, dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Kejahatan Kesusilaan (Studi Kasus di Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Tarutung di Tapanuli Utara)”.

  2. Nanci Yosepin Simbolon, dengan Judul “Penanggulangan dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak”.

  3. Hanan, dengan Judul “Penanggulangan Kejahatan Eksploitasi Seksual Secara Komersial Terhadap Anak di Kabupaten Asahan”.

  4. Melita Berliana Br Meliala, dengan Judul “Penanggulangan Tindak Pidana Perbuatan Cabul Terhadap Anak Dalam Sudut Kebijakan Hukum Pidana (Studi di Kota Medan)”.

  5. Erwin Erizal, dengan Judul “Kebijaksanaan Hakim Dalam Perlindungan Korban Pada Kejahatan Pencabulan Anak di Pengadilan Negeri Medan”.

  6. Bob Sadiwijaya, dengan Judul “ Penegakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak (Studi Putusan No. 396/Pid.B/2012/PN-LP di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”.

  Meskipun demikian, substansi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini memiliki perbedaan dengan tesis-tesis tersebut di atas. Hal ini sangat logis mengingat objek penelitian tesis ini adalah spesifik Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009. Oleh karena itu, judul dan substansi pembahasan permasalahan penelitian ini, otentikasinya tergaransi dan jauh dari unsur plagiat.

F. Kerangkan Teori Dan Landasan Konsepsi

1. Kerangka Teori

   Kerangka secara etimologis bermakna garis besar atau rancangan. Teori

  secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan,

  

  didukung oleh data dan argumentasi. Kerangka teori adalah prinsip atau konsep 40 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 675.

  

  ilmiah yang digunakan dalam penelitian sebagai dasar analisis data. Kata teori

  

  berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan. Theoria juga dapat

  

  bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian terbaik. Pada umumnya, teori diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan

  

  dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu. Teori

  

  adalah keseluruhan pernyataan (klaim, beweringen) yang saling berkaitan. Menurut Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi

   bahan perbandingan atau pegangan toritis.

   Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil. Hukum

  

  

  dapat terdiri dari hukum tertulis dan tidak tertulis Proses untuk mewujudkan 42 43 Ibid, hlm. 675.

  Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yokyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm.

  4. 44 Bernad L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi , (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 41. 45 46 Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.

  J.J. H. Bruggink alih bahasa oleh Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 2. 47 48 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 27.

  L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001), hlm.

  16. 49 Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan.

  

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada

  

pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang

memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara

atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pada pasal 7 ayat (1) disebutkan: Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri

atas: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d)

Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 50 Hukum tidak tertulis (unstatutery law/ unwritten law) yaitu hukum yang dalam kenyataan

masih hidup dalam keyakinan dan pergaulan masyarakat tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut sebagai penegakan

  

  hukum. Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-

   undang.

  Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran norma-norma hukum pidana khususnya persetubuhan terhadap anak atas dasar suka sama suka dan tanpa paksaan. Tidak ada hukuman tanpa kesalahan merupakan asas penting dalam hukum pidana untuk sampai kepada penjatuhan hukuman bagi seorang yang didakwa melakukan tindak pidana. Kesalahan tidaklah otomatis selalu harus dianggap ada dalam setiap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi haruslah dibuktikan terlebih dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan maka pembuktian terhadap kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan.

  Mengingat itu maka teori pembuktian beserta teori kesalahan dan teori kesalahan korban memiliki relevansi yang urgen dengan penelitian ini.

  

Pustaka, 1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum,

(Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006), hlm. 127. 51 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24. 52 Frans H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi,

53 M. Yahya Harahap menulis bahwa “pembuktian merupakan masalah yang

  memegang peranan dalam proses pemeriksanaan sidang pengadilan. Melalui

  

  pembuktian ditentukan nasib terdakwa”. Secara lebih umum, tulis R. Subekti, fungsi pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi persengketaan atau perkara di pengadilan.

  Pembuktian (proof) dapat diartikan sebagai penetapan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-undang, maupun diluar undang-undang sedangkan bukti (bewijs: evidence) yaitu hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan

   pemeriksaan di sidang pengadilan.

   Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembuktian diartikan sebagai: 1)

  proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan; 2) usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan, sedangkan membuktikan diartikan sebagai: 1) memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti; 2) mendandakan, menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti; 3) menyaksikan dan bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata. Arti alat bukti dengan demikian adalah alat yang berguna untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa. 53 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan

  

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali , (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

(selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), hlm. 273. 54 55 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hlm. 7.

  Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), hlm. 27. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan dan merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dan juga ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

57 Pembuktian merupakan perbuatan membuktikan.

  Membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.

   Pengertian pembuktian dalam ilmu hukum

  

  secara lebih luas sebagaimana yang dinyatakan oleh Munir Fuady

60 Merujuk uraian diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan prinsipil antara

  bukti, membuktikan dan pembuktian yaitu bahwa bukti merujuk pada alat bukti adalah : Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan yang dianjukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.

  57 M. Yahya Harahap I , Loc.Cit. 58 Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985), hlm. 47. 59 Ilmu hukum atau disebut juga ajaran hukum (rechtsleer) atau disebut juga dogmatic

hukum yaitu mempelajari hukum positif (jus constitutum) atau hukum yang berlaku disuatu tempat dan

pada waktu sekarang. Ilmu hukum adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik hukum. Ilmu

hukum bersifat normatif dan mengandung nilai serta bersifat praktis-konkrit. Sedangkan Teori Hukum

adalah teorinya Ilmu Hukum, atau dengan kata lain Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Lihat

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 3. 60 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: PT. Citra

  

  termasuk barang bukti yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa sementara pembuktian dan membuktikan merujuk pada suatu proses atau cara untuk mengumpulkan bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut

   di sidang pengadilan.

  Hukum yang mengatur perihal alat bukti, pembuktian dan membuktikan disebut sebagai hukum pembuktian. Hukum pembuktian merupakan terminologi universal sehingga merupakan pengertian dan penggunaannya sifatnya umum dalam seluruh lapangan hukum baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum

  

  administrasi. Menurut Munir Fuady , hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum yang cukup tua umurnya, dan karena alasan rasa keadilan serta motivasi mencari kebenaran yang dimiliki manusia betapapun primitifnya kemudian menimbulkan hukum pembuktian guna menghindari putusan yang keliru dan atau tidak adil. Hukum pembuktian sebagaimana hukum pada umumnya tidak kedap terhadap segala dinamisasi (perobahan, pergerakan dan perkembangan) kehidupan manusia, maka itulah sebabnya salah satu karakter hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang ilmu hukum yang sangat technology 61 Pengertian barang bukti dalam praktek berbeda dengan pengertian alat bukti. Alat bukti

  

adalah alat yang secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk

menyatakan keterbuktian suatu perbuatan yang dituduhkan atau sebagai penyangkalan sebagaimana

diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, pentunjuk

dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah barang-barang apapun jenisnya yang

umumnya dijadikan oleh seseorang sebagai alat/ sarana melakukan kejahatan misalnya pisau atau

senjata api yang dipergunakan untuk melakukan pembunuhan atau kenderaan untuk mengangkut

ganja, atau sesuatu sebagai hasil kejahatan, maka pisau, senjata api, kenderaan dan ganja kesemuanya

merupakan barang bukti. 62 Eddy O.S. Hariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hlm.

  4.

  

oriented sehingga perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung terhadap

  

  perkembangan pembuktian di pengadilan. Pembuktian saintifik dengan mempergunakan tes DNA, mesin polygraph (lie detector), microscope, sidik jari dan data optic misalnya merupakan bagian tehnologi yang sekarang diterima dalam

  

  pembuktian di pengadilan. Munir Fuady, menulis bahwa hukum pembuktian adalah

  

  seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Eddy O.S. Hiariej mendefinisikan hukum pembuktian sebagai “ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian”. Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiarej mendefinisikan hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap barang bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk

  

  kepentingan peradilaan dalam perkara pidana. R. Wiyono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara

  64 65 Ibid, hlm. 8. 66 Ibid, hlm. 1.

  Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 5. untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam

   menjatuhkan suatu putusan.

  Menurut teori hukum pembuktian agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai

  

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

20 276 107

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

2 105 177

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/Pn.Dps)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2161 K/PDT/2011)

0 0 18

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 35