Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)
1
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN (STUDI PADA APOTEK YAKIN SEHAT)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
CATHLIN TOINANDO
110200234
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARAMEDAN 2015
(2)
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.
Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan, yaitu “Tanggung Jawab Hukum pelaku usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)”, disusun guna melengkapi dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala hormat dan rasa bahagia, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(3)
ii
4. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Sumatera Utara
5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M. Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus juga sebagai Dosen Pembimbing I, untuk segala dedikasi serta kesabaran dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
6. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, untuk segala kebaikan serta kesabaran membimbing penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini
7. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
8. Ibu Sinta Uli, SH, M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
9. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga dan membantu penulis dalam menjalani perkuliahan hingga penulisan skripsi ini
10.Teristimewa kepada Papa, Mama, dan Adik, selaku orang tua dan saudara yang tiada henti-hentinya mendukung dan
(4)
iii
mendoakan penulis dalam menjalani kehidupan, termasuk juga dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
11.Orang-orang kesayangan penulis, yang memberikan dukungan langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
12.Sahabat-sahabat Stambuk 2011, khususnya Grup E, yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis beruntung bisa kenal dan menimba ilmu bersama kalian semua
13.Pihak Apotek Yakin Sehat, yang telah mengizinkan penulis melakukan wawancara untuk memperkaya pengetahuan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
14.Pihak BPOM Medan, terutama Bapak Drs. Ramses, yang sangat murah hati dan sabar mengizinkan penulis melakukan wawancara untuk memperkaya pembahasan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
15.Seluruh pihak terkait lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah mendukung serta mendoakan penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakan skripsi ini.
(5)
iv
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amin.
Medan, 5 April 2015 Penulis
(6)
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...v
ABSTRAK...viii
DAFTAR GAMBAR...ix
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang...1
B.Permasalahan...9
C.Tujuan Penulisan...9
D.Manfaat Penulisan...10
E. Metode Penelitian...10
F. Keaslian Penelitian...13
G.Sistematika Penulisan...15
BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN PENJUALAN OBAT A.Aspek Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia...18
2. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha...21
3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha...22
4. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen...31
B.Pengawasan Penjualan Obat 1. Kementerian Perdagangan...38
2. Kementerian Kesehatan...39
3. BPOM...39
(7)
vi
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI BARANG CACAT TERSEMBUNYI DAN MEKANISME PERDAGANGAN OBAT OLEH APOTEK
A.Tinjauan Umum Mengenai Barang Cacat Tersembunyi
1. Pengertian Barang Cacat Tersembunyi...45 2. Bentuk-bentuk dan Ciri-ciri Barang
Cacat Tersembunyi...48 B.Mekanisme Perdagangan Obat oleh Apotek
1. Pengertian Apotek dan Dasar Hukum Pengaturannya...49 2. Mekanisme Pembelian Obat oleh Apotek...51 3. Pembatasan-pembatasan Perdagangan Obat
oleh Apotek kepada Konsumen...52 BAB IV TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA APOTEK TERHADAP
OBAT YANG MENGANDUNG CACAT TERSEMBUNYI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A.Pengaturan dan Bentuk-bentuk Obat
yang Mengandung Cacat Tersembunyi...64 B.Bentuk Kerugian Konsumen Terkait
Obat yang Mengandung Cacat Tersembunyi...72 C.Tanggung Jawab Apotek Terhadap Obat yang
Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Undang-Undang No 8 Tahun 1999
(8)
vii
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan...85 B.Saran...86 DAFTAR PUSTAKA
(9)
viii
ABSTRAK
* Hasim Purba ** Dedi Harianto *** Cathlin Toinando
Pada realitanya di dunia ini tidak ada yang sempurna selain Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam transaksi jual-beli dapat saja ditemui produk yang cacat sifatnya. Hal tersebut dapat terjadi pula pada produk obat yang dalam jual-belinya bisa saja ditemui adanya cacat, baik cacat yang tidak tersembunyi maupun cacat yang tersembunyi. Adapun pokok permasalahan yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan dan bentuk obat yang mengandung cacat tersembunyi, kerugian yang dialami konsumen atas terbelinya obat yang mengandung cacat tersembunyi, serta tanggung jawab pelaku usaha Apotek terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut menurut KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif, yang bersifat deskriptif-analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara dengan Apotek Yakin Sehat dan BPOM Medan. Selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan pendekatan kualitatif dan pada akhirnya akan ditarik kesimpulan secara deduktif.
Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa pengaturan terkait obat yang mengandung cacat tersembunyi secara umum dapat ditinjau dari Pasal 1504-1512 KUH Perdata, Pasal 7 UUPK, Pasal 8 ayat 3 UUPK, Pasal 19 UUPK, Pasal 24 UUPK, ditambah Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bentuk obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut dapat dilihat ketika kondisi obat tersebut tidak sesuai semestinya, dan kondisi tersebut tidak mudah dilihat dengan sekedar kasat mata. Adapun kerugian konsumen atas obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah kerugian materi, tidak sembuhnya penyakit tertentu, memperparah, dan/ atau memunculkan penyakit baru. Atas obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut, pelaku usaha Apotek Yakin Sehat bertanggung jawab karena obat yang diperjualbelikan mengandung cacat tersembunyi, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut menurut UUPK dan KUH Perdata, tanggung jawab untuk menanggung segala kerugian itu ada pada pabrik pembuat obat tersebut. Namun jika sudah ada
“public warning” dari BPOM mengenai obat yang mengandung cacat
tersembunyi, tetapi tidak diindahkan oleh pelaku usaha Apotek, ataupun obat tersebut sebelumnya telah diubah oleh pelaku usaha Apotek, barulah segala kerugian atas obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut juga menjadi tanggung jawab pelaku usaha Apotek.
(10)
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Obat Tradisional yang Mengandung
Cacat Tersembunyi...69 Gambar 2. Obat Kandungan 500mg yang Dapat
Mengandung Cacat Tersembunyi...70 Gambar 3. Obat Hisao yang Dapat Mengandung
(11)
viii
ABSTRAK
* Hasim Purba ** Dedi Harianto *** Cathlin Toinando
Pada realitanya di dunia ini tidak ada yang sempurna selain Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam transaksi jual-beli dapat saja ditemui produk yang cacat sifatnya. Hal tersebut dapat terjadi pula pada produk obat yang dalam jual-belinya bisa saja ditemui adanya cacat, baik cacat yang tidak tersembunyi maupun cacat yang tersembunyi. Adapun pokok permasalahan yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan dan bentuk obat yang mengandung cacat tersembunyi, kerugian yang dialami konsumen atas terbelinya obat yang mengandung cacat tersembunyi, serta tanggung jawab pelaku usaha Apotek terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut menurut KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif, yang bersifat deskriptif-analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara dengan Apotek Yakin Sehat dan BPOM Medan. Selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan pendekatan kualitatif dan pada akhirnya akan ditarik kesimpulan secara deduktif.
Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa pengaturan terkait obat yang mengandung cacat tersembunyi secara umum dapat ditinjau dari Pasal 1504-1512 KUH Perdata, Pasal 7 UUPK, Pasal 8 ayat 3 UUPK, Pasal 19 UUPK, Pasal 24 UUPK, ditambah Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bentuk obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut dapat dilihat ketika kondisi obat tersebut tidak sesuai semestinya, dan kondisi tersebut tidak mudah dilihat dengan sekedar kasat mata. Adapun kerugian konsumen atas obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah kerugian materi, tidak sembuhnya penyakit tertentu, memperparah, dan/ atau memunculkan penyakit baru. Atas obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut, pelaku usaha Apotek Yakin Sehat bertanggung jawab karena obat yang diperjualbelikan mengandung cacat tersembunyi, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut menurut UUPK dan KUH Perdata, tanggung jawab untuk menanggung segala kerugian itu ada pada pabrik pembuat obat tersebut. Namun jika sudah ada
“public warning” dari BPOM mengenai obat yang mengandung cacat
tersembunyi, tetapi tidak diindahkan oleh pelaku usaha Apotek, ataupun obat tersebut sebelumnya telah diubah oleh pelaku usaha Apotek, barulah segala kerugian atas obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut juga menjadi tanggung jawab pelaku usaha Apotek.
(12)
1
A. Latar Belakang
Perlindungan konsumen dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dirumuskan sebagai “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”1. Namun tampaknya kehadiran Undang-Undang ini tidak serta merta menyelesaikan segala masalah menyangkut perlindungan konsumen. Masalah perlindungan konsumen masih menjadi isu penting hingga saat ini. Diperlukan suatu perhatian lebih cermat lagi mengingat masih banyaknya kasus pelanggaran konsumen yang belum terselesaikan cenderung merugikan konsumen2
Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah. Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan
.
1 Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1, Angka 1
(13)
hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen.
Perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti masing-masing pihak puas, karena kadang-kadang pihak penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya3. Prinsip yang digunakan para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat mungkin konsumen akan dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung4
Ditambah lagi kini transaksi menjadi semakin beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finansial,
dan lain-lain. Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati batas-batas negara, meningkatkan intenstas persaingan. Gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi teknologi
.
5
3 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 1-2 4 Happy Susanto, op.cit., hal. 4
5 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 4-5.
(14)
media-media promosi, iklan, dan penawaran yang canggih membuat posisi konsumen semakin sulit jikalau tidak diberikan informasi yang memadai, sehingga konsumen pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menerima, dan menjadi objek yang pasif6
Transaksi jual-beli merupakan suatu perjanjian timbal-balik dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut
.
7. Sahnya transaksi jual-beli tersebut adalah
saat terjadinya kesepakatan antara penjual dengan pembeli 8 . Sifat konsensual (kesepakatan) ditegaskan sesuai dengan bunyi Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”9
6 Happy Susanto, op.cit., hal. 29-30.
7 R.Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1. 8 Ibid., hal. 2
9 Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
.
Pada dasarnya dalam hubungan transaksi jual-beli ini, baik pihak penjual maupun pihak pembeli tidak ada yang mau mengalami kerugian apapun. Namun realitanya di dunia ini tidak ada yang sempurna selain Tuhan Yang Maha Esa, sehingga tentunya dalam transaksi jual-beli dapat saja ditemui barang atau produk yang cacat sifatnya.
(15)
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian barang adalah “setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”10. Sedangkan produk dapat diartikan sebagai semua benda bergerak atau tidak bergerak/tetap11. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dipergunakan istilah barang sebagai pengganti istilah produk sebagaimana yang sudah lazim digunakan, sehingga penggunaan istilah produk tersebut mengandung makna yang sama dengan pengertian barang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen12
Tidak dapat dipungkiri bahwa barang-barang yang tersedia untuk konsumen tidak selamanya berada dalam kondisi yang sempurna. Dengan kata lain, suatu barang tersebut bisa saja mengandung cacat. Cacat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “kekurangan yang menyebabkan berkurangnya nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna”
.
13. Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak
dapat memenuhi tujuan pembuatannya) karena : 14
1. Cacat produk atau manufaktur, dimana keadaan produk yang umumnya berada di bawah tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula
10 Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
11 Ahmadi Miru, op.cit., hal. 24-25. 12 Ibid., hal. 25
13 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 249.
(16)
cacat itu demikian rupa sehingga dapat membahayakan harta bendanya;
2. Cacat desain, dimana desain produk tidak dipenuhi sebagaimana semestinya, sehingga merugikan konsumen;
3. Cacat peringatan atau industri, dimana produk tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu.
Jadi pengertian produk cacat adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang15. Barang cacat ada yang sifat cacatnya kelihatan dan ada yang sifat cacatnya tersembunyi. Cacat tersembunyi mengandung sifat bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah dilihat oleh seseorang pembeli yang terlampau teliti, sebab adalah mungkin sekali bahwa orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut16
Obat dengan berbagai macam jenis dapat dijumpai dengan mudah di Apotek. Salah satu tugas dan fungsi Apotek adalah sebagai tempat penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi obat,
.
Dalam kaitannya dengan penjelasan mengenai barang atau produk di atas, obat dapat dikategorikan sebagai barang atau produk lainnya yang sifatnya tidak dapat dipungkiri bisa mengalami cacat, baik cacat yang terlihat maupun cacat tersembunyi.
15 Az.Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Diadit Media, 2001), hal. 248.
16 R. Subekti, et.all, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya
(17)
bahan obat, obat asli Indonesia, kosmetik, alat-alat kesehatan, dan sebagainya17
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait
. Dengan kata lain, Apotek merupakan tempat terjadinya transaksi jual-beli dengan mendistribusikan obat-obatan kepada masyarakat.
Dalam transaksi jual-beli di Apotek layaknya transaksi jual-beli pada umumnya, bisa saja ditemui adanya obat yang mengandung cacat, baik cacat yang dapat dilihat dengan mata maupun cacat tersembunyi. Apabila obat tersebut di beli konsumen, pembeli cenderung akan kembali untuk meminta pertanggungjawaban kepada penjual (pelaku usaha Apotek) karena tidak mau mengalami kerugian atas obat cacat yang dibelinya.
18. Adapun dalam hal
perlindungan konsumen ditemui terminologi ‘‘product liability“ yang
diterjemahkan sebagai ‘‘tanggung gugat produk“19 atau ‘‘tanggung jawab produk‘‘20
17 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik, Pasal
2.
18 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 59.
19 Az. Nasution, et.all, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan dalam Hal
Makanan dan Minuman, (Jakarta: BPHN, 1994), hal. 44. 20 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal. 100
. Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum
(18)
manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses
untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang
atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk
tersebut21
Salah satu contoh kasus mengenai obat yang mengandung cacat tersembunyi dapat dilihat di tulisan dari Bali Post, yaitu masih banyaknya apotek, toko dan warung kecil menjual obat tradisional dengan bahan baku zat kimia secara leluasa. Jenis produk yang melanggar antara lain obat keras daftar G seperti analgetika, hormon, dan antibiotika. Dicontohkan, Sase Buyer atau obat pegalinu dan rematik yang beredar di lapangan ternyata mengandung Bahan Kimia Obat (BKO)
.
22
Contoh lainnya mengenai obat yang mengandung cacat tersembunyi ini adalah berasal dari Consumer Reports yang meninjau
beberapa label dari 14 jenis suplemen yang terdiri dari 233 produk dari sejumlah toko di New York City dan menemukan banyak inkonsistensi. Beberapa suplemen memberikan peringatan jika anda pernah mengidap suatu jenis kondisi medis tertentu tertentu namun tidak memberikan keterangan spesifik mengenai kondisi medis tertentu itu. Label suplemen
.
21 Ibid., hal. 101.
22 Bali Post, “Obat Bermasalah Disita, Proses Hukum Nihil”, diakses dari
(19)
lainnya menyebutkan adanya efek samping yang mungkin terjadi tanpa memberikan detail efek samping apa yang mungkin terjadi23
23
Dokter Sehat, “Bahaya Tersembunyi dari Vitamin”, diakses dari
.
Apotek Yakin Sehat adalah apotek yang menjual barang-barang medis, termasuk obat-obatan. Setiap tahun Apotek ini melakukan pengecekan jumlah stok beserta tanggal kadaluarsa dan kelayakan penjualan barang-barang termasuk obat-obatan di Apotek tersebut. Namun karena pengecekan stok menggunakan system manual, bisa saja terjadi
human error dimana beberapa barang-barang medis termasuk obat-obatan
yang mengandung cacat yang sangat sulit terlihat tidak terlihat saat pengecekan tahunan tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dianggap penting untuk mengangkat topik penulisan skripsi dengan judul:
“ Tanggung Jawab Hukum Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Apotek Yakin Sehat)”
(20)
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan dan bentuk-bentuk cacat tersembunyi pada obat?
2. Apa saja bentuk kerugian yang dialami konsumen atas terbelinya obat yang mengandung cacat tersembunyi?
3. Bagaimana tanggung jawab hukum Apotek Yakin Sehat terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang diungkap sebelumnya, maka tujuan dalam menyusun tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan dan bentuk-bentuk cacat tersembunyi pada obat.
2. Untuk mengetahui apa saja bentuk kerugian yang dialami konsumen atas terbelinya obat yang mengandung cacat tersembunyi.
3. Untuk memahami tanggung jawab hukum Apotek Yakin Sehat terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
(21)
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah: 1. Secara teoritis, hasil kajian dapat dijadikan sebagai bahan kajian
kepustakaan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya mengenai hukum perlindungan konsumen yang berkaitan dengan barang cacat tersembunyi.
2. Secara praktis, hasil kajian dapat dijadikan sebagai pedoman dan masukan bagi Apotek Yakin Sehat terhadap masalah seputar perlindngan konsumen yang berkaitan dengan barang cacat tersembunyi.
E. Metode Penelitian
Dalam rangka mencari dan menemukan suatu kebenaran ilmiah dan mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi penulisan skripsi ini, maka metode yang dilakukan meliputi:
1. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis-normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legis-positivis yang menyatakan
bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang
(22)
bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat24. Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma hukum sebagaimana terdapat dalam Undnag-Undang, kitab hukum, maupun putusan pengadilan25
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden sacara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh
.
26
2. Sumber data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari tangan pertama atau secara langsung dari narasumber, seperti wawancara. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media massa, dan kamus serta data yang terdiri atas:27
a. Bahan Hukum Primer, yaitu norma-norma atau kaedah-kaedah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar seperti Peraturan Perundang-Undangan yang meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku yang
24 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 11.
25 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hal. 139.
26 Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 180. 27 Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit., hal. 24.
(23)
menguraikan materi yang tertulis yang dikarang oleh para sarjana, bahan-bahan mengajar dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu kamus, ensklopedia, bahan dari internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3. Metode pengumpulan data
Penelitian perpustakaan (library research), yaitu penelitian yang
menunujukkan perpustakaan sebagai tempat dilaksanakannya suatu penelitian. Sebenarnya suatu penelitian mutlak menggunakan kepustakaan sebagai sumber data sekunder. Di tempat inilah diperoleh hasil-hasil penelitian dalam bentuk tulisan yang sangat berguna bagi mereka yang sedang melaksanakan penelitian. Peneliti dapat memilih dan menelaah bahan-bahan kepustakaan yang diperlukan guna dapat memecahkan dan menjawab permasalahan pada penelitian yang dilaksanakan28
Penelitian lapangan, yaitu tempat para peneliti untuk mendapatkan data primer. Peneliti seyogianya tidak hanya mencukupkan data sekunder yang telah diperoleh dari kepustakaan, tetapi juga didukung oleh data lapangan wawancara dengan informan, yaitu pihak Apotek Yakin Sehat dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kelengkapan data sangat menentukan hasil penelitian yang diperoleh
.
29
28 Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum, (Medan:Pustaka Bangsa Press,
2005), hal. 21.
29 Ibid., hal. 21
. Dalam skripsi ini, lokasi penelitian dilakukan di Apotek Yakin Sehat.
(24)
4. Analisis data
Analisis data dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia30
5. Penarikan kesimpulan .
Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu proporsi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus31
F. Keaslian Penelitian
. Dalam skripsi ini digunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif, yaitu suatu kesimpulan akan ditarik melalui tinjauan pustaka dan kebenaran yang ada.
Penulisan skripsi ini didasarkan kepada ide dan pemikiran secara pribadi dari awal hingga akhir penyelesaian. Ide maupun pemikiran yang ada muncul karena melihat kondisi yang berkembang saat ini mengenai ketidakjelasan nasib konsumen khusunya terhadap barang cacat yang sifatnya tersembunyi. Dengan kata lain, tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan ataupun penulisan orang lain. Oleh karena itu, keaslian dari penulisan ini terjamin adanya. Kalaupun ada judul penulisan yang hampir menyerupai, seperti:
30 Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 16. 31
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 11.
(25)
1. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Farmasi Di Indonesia, Studi pada PT. Mutiara Mukti Farma Medan (Robert, 100200115);
Rumusan masalah:
a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen yang memakai produk farmasi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
b. Apakah syarat yang harus dipenuhi oleh suatu produk farmasi agar produk tersebut bisa dijual di masyarakat dan bagaimana penyelesaiannya jika terjadi sengketa konsumen dibidang produk farmasi?
c. Bagaimanakah menentukan standarisasi harga produk farmasi di Indonesia sebagai bentuk perlindungan konsumen?
2. Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Kerugian atas Penggunaan Barang yang Mengandung Cacat Tersembunyi, Ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen dan KUH Perdata (Nopika Sari Aritonang, 100200365);
(26)
Rumusan masalah:
a. Bagaimana perlindungan hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
b. Bagaimana peranan Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dalam mengawasi peredaran barang yang mengandung cacat tersembunyi?
c. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa atas kerugian konsumen terhadap penggunaan barang yang mengandung cacat tersembunyi?
Akan tetapi substansi pembahasan dalam skripsi ini sangatlah berbeda sehingga keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.
3. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara sistematis dan terperinci agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dibuat sebagai berikut:
(27)
Bab I, Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, Perlindungan Konsumen dan Pengawasan Penjualan Obat, terdiri dari aspek hukum perlindungan kosumen yang meliputi pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia, pengertian konsumen dan pelaku usaha, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, bentul-bentuk perlindungan konsumen; pengawasan penjualan obat yang meliputi kementerian perdagangan, kementerian kesehatan, BPOM, LPKSM.
Bab III, Tinjauan Umum Mengenai Barang Cacat Tersembunyi dan Mekanisme Perdagangan Obat oleh Apotek, terdiri dari pengertian barang cacat tersembunyi, bentuk-bentuk dan ciri-ciri barang yang mengandung cacat tersembunyi, pengertian apotek dan dasar hukumnya, mekanisme pembelian obat oleh apotek ke pabrik, pembatasan-pembatasan perdagangan obat oleh apotek kepada konsumen.
Bab IV, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, merupakan pembahasan pokok dan utama dalam penulisan skripsi ini yang terdiri dari pengaturan dan bentuk-bentuk obat yang mengandung cacat tersembunyi, bentuk kerugian konsumen terkait
(28)
obat yang mengandung cacat tersembunyi, tanggung jawab apotek terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi.
Bab V, Penutup, terdiri dari kesimpulan penulisan skripsi ini dan saran-saran yang berkaitan.
(29)
18
BAB II
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN
PENJUALAN OBAT
A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia
Sebelum Indonesia merdeka, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan pada zaman Hindia-Belanda tersebut dapat disebutkan antara lain:32
a. Reglement Industriele Eigendom, S.1912-545, jo. S.1913 Nomor 214,
b. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S.1931 Nomor
28,
c. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S.1926-226
jo.S.1927-449, jo.S.1940-14 dan 450,
d. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S.1931-509,
e. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S.1932-143,
f. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S.1932-143,
g. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih),
S.1936-671,
h. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat
Keras), S.1937-641,
i. Bedrijfsrelementerings Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran
Perusahaan), S.1938-86,
j. Ijkodonnantie (Ordonansi Tera), S.1949-175,
k. Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya),
S.1949-377, dan
l. Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonnantie, S.1955-660.
32 Gunawan Widjaja dan A. Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
(30)
(31)
(32)
Selain itu, dalam Burgerlijk Wetboek juga terdapat
ketentuan-ketentuan yang bertendensi melindungi konsumen, khususnya dalam Buku III tentang Perikatan33. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) juga ditemukan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, misalnya tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim, dan sebagainya. Demikian pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), misalnya tentang pemalsuan, penipuan, persaingan curang, pemalsuan merk, dan sebagainya. Dalam hukum adat pun ada dasar-dasar yang menopang hukum perlindungan konsumen, seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat adat yang tidak berorientasi pada konflik, yang memposisikan setiap warganya untuk saling menghormati sesamanya, pinsip terang pada pembuatan transaksi (khususnya transaksi tanah) yang mengharuskan hadirnya kepala adat/kepala desa dalam transaksi tanah, dan prinsip adat lainnya34
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa Undang-Undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
.
35
33 Ahmadi Miru, op.cit., hal. 71 34 Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 19 35 Ibid., hal. 20
(33)
a. Undang-Undang Nomor 10 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang;
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; g. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; h. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri;
i. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
j. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
k. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseoan Terbatas; l. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; m. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
n. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
o. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
p. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
q. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
r. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran; s. Undang-UndangNomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan; t. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Perkembangan baru di bidang perlindungan konsumen terjadi setelah pergantian tampuk kekuasaan di Indonesia, yaitu tatkala Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. UUPK ini masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. UUPK dihasilkan dari
(34)
hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang notabene hak itu tidak
pernah digunakan sejak Orde Baru berkuasa pada 196636
2. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
.
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan’’. Di Belanda, oleh Hondius disimpulkan bahwa arti konsumen adalah pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa37, sedangkan di Spanyol, pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas, yaitu konsumen bukan hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir38
Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi’’. Ruang lingkup yang
.
36
Shidarta, op.cit., hal. 52 37 Ibid., hal. 3
(35)
diberikan sarjana ekonomi yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonsia (ISEI) mengenai pelaku usaha adalah sebagai berikut :39
3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan seperti perbankan, usaha leasing, “tengkulak”, penyedia dana, dan sebagainya;
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan /atau jasa-jasa yang lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Pelaku usaha dalam kategori ini dapat terdiri dari orang dan/ badan yang memproduksi sandang, orang dan/badan usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/badan yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/badan yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, dan sebagainya;
c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat. Pelaku usaha pada kategori ini misalnya pedagang retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, klinik, usaha angkutan (darat, laut dan udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
Pada dasarnya jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka harus berfokus kembali kepada undang-undang. Undang-undang ini, dalam hukum perdata, selain dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum satu dan yang lainnya. Perikatan tersebutlah yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan atau yang tidak bolek dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam perikatan40
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen yang diakui secara internasional, yaitu:
.
39 Az. Nasution, op.cit., hal. 23
(36)
a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
c. Hak untuk memilih (the right to choose);
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)41
Di dalam Undang-Undang Perlindungan Kosumen Bab III Pasal 4, hak konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan barang dan / atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain memperoleh hak, konsumen juga memiliki kewajiban, seperti tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
(37)
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai penyeimbang atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan konsumen, maka kepada pelaku usaha diberikan juga hak dan kewajiban yang tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen42
a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Hak pelaku usaha dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, meliputi:
b. Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selanjutnya kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban seperti yang tertera pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunanaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
(38)
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak seseuai dengan perjanjian.
Selain adanya kewajiban, pelaku usaha juga dilarang melakukan hal-hal seperti yang tertera di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
Ayat (1):
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistiewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
(39)
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat; j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2):
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Ayat (3):
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi lengkap dan benar.
Ayat (4):
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
Ayat (1):
Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potonga harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa lain;
(40)
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Ayat (2):
Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
Ayat (3):
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Dalam hal ini, konsumen dapat dipersamakan dengan para pembeli obat-obatan dan pelaku usaha Apotek dapat dipersamakan dengan penjual, sehingga hak dan kewajiban konsumen, serta hak dan kewajiban pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan dasar hak dan kewajiban pembeli obat-obatan, serta dasar hak dan kewajiban pelaku usaha Apotek.
Apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat43
43 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/Menkes/SK/X/2002
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
. Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu “meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya, pekerjaan
(41)
kefarmasian tersebut dilakukan oleh seorang Apoteker, yaitu seorang sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker44. Apoteker atau Apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana Apotek dapat melakukan kegiatan usaha di luar sediaan farmasi, sehingga kegiatan usaha Apotek tidak berbeda dengan badan usaha lainnya, yaitu menjual komoditinya untuk mendapatkan profit45
a. Pelaku usaha Apotek berhak menerima pembayaran atas barang yang dibeli di Apotek sesuai kesepakatan dengan pembeli;
.
Secara lebih khusus, hak dan kewajiban pelaku usaha Apotek menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
b. Pelaku usaha Apotek berhak mendapat perlindungan hukum atas tindakan pembeli yang beritikad tidak baik;
c. Pelaku usaha Apotek berhak melakukan pembelaan diri di dalam penyelesaian sengketa konsumen bilamana terjadi sengketa antara pelaku usaha Apotek dengan pembeli;
d. Pelaku usaha Apotek berhak menerima rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian pembeli tidak diakibatkan oleh barang yang diperdagangkan di Apotek;
e. Pelaku usaha Apotek wajib beritikad baik dalam melakukan usahanya;
f. Pelaku usaha Apotek wajib memberikan informasi yang akurat mengenai barang yang diperjualbelikan di Apotek secara terperinci;
g. Pelaku usaha Apotek wajib melayani pembeli tanpa diskriminasi; h. Pelaku usaha Apotek wajib menjamin mutu barang yang
diperdagangkan;
44 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
45 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 992/Menkes/Per/X/1993, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek Menteri Kesehatan, pasal 6
(42)
i. Pelaku usaha Apotek wajib memberikan ganti rugi / penggantian atas barang yang dibeli apabila barang tersebut pemanfaatannya tidak sesuai dengan perjanjian.
Selanjutnya, hak dan kewajiban pembeli di Apotek menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
a. Pembeli berhak mendapatkan kenyaman dan keselamatan dalam menggunakan atau mengkonsumsi barang yang dibeli di Apotek; b. Pembeli berhak mendapatkan informasi yang lengkap atas barang
yang dibelinya di Apotek;
c. Pembeli berhak mendapatkan perlindungan hukum dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha Apotek dengan pembeli;
d. Pembeli berhak dilayani tanpa diskriminasi oleh pelaku usaha Apotek;
e. Pembeli berhak mendapatkan ganti rugi / penggantian atas barang yang penggunaanya tidak sesuai yang diperjanjikan;
f. Pembeli wajib membaca dan mengikuti informasi prosedur pemakaian yang ada;
g. Pembeli wajib beritikad baik dalam membeli barang di Apotek h. Pembeli wajib membayar sesuai harga yang disepakati di Apotek; i. Pembeli wajib mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Hak dan kewajiban pelaku usaha Apotek sebagai penjual ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
a. Pelaku usaha Apotek berhak menerima pembayaran atas barang yang dijualnya kepada pembeli (Pasal 1457 KUHPerdata);
b. Pelaku usaha Apotek sebagai penjual wajib menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli (Pasal 1474 KUHPerdata);
c. Pelaku usaha Apotek sebagai penjual berhak tidak menyerahkan barang yang bersangkutan, jika pembeli belum membayar harganya (Pasal 1478 KUHPerdata);
d. Pelaku usaha Apotek sebagai penjual wajib menjamin bahwa barang yang dijual baik kondisi maupun jenis dan jumlahnya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian jual-beli (Pasal 1483 KUHPerdata)
e. Pelaku usaha Apotek sebagai penjual wajib menjamin pembeli untuk dapat memiliki barang itu dengan aman dan tentram, serta bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian (Pasal 1491, 1504, 1506, 1508, 1509 dan 1510 KUHPerdata), akan
(43)
tetapi pelaku usaha Apotek sebagai penjual tidak diwajibkan menanggung cacat yang kelihatan oleh pembeli (Pasal 1505 KUHPerdata).
Hak dan kewajiban konsumen sebagai pembeli ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
a. Pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang yang telah disepakati (Pasal 1513 KUHPerdata);
b. Pembeli berhak mendapatkan jaminan untuk dapat memiliki barang itu dengan aman dan tentram. Serta jaminan terhadap cacat yang tersembunyi dan sebagainya, yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian (Pasal 1491, 1504, 1506, 1508, 1509 dan 1510 KUHPerdata).
4. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen
Bentuk-bentuk perlindungan konsumen ada dua macam, yaitu bentuk perlindungan konsumen yang berbentuk preventif dan bentuk perlindungan konsumen yang berbentuk represif.
Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengamanatkan pembentukan lembaga yang akan menyelenggarakan perlindungan konsumen, yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), sehingga melalui fungsi, tugas dan wewenang dari kedua lembaga tersebut diharapkan dapat mewujudkan perlindungan konsumen yang bersifat preventif.
Sedangkan yang bertindak dalam memberikan perlindungan konsumen yang bersifat represif yaitu melalui pengaturan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberi ganti rugi kepada konsumen, sebagaimana
(44)
diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 yang lebih dikenal dengan sebutan tanggung jawab perdata dan lembaga yang diamanatkan oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)46
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) .
Bentuk perlindungan konsumen yang bersifat preventif meliputi:
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk berdasarkan amanat Pasal 43 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan PP No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Lembaga ini dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan kosumen.
BPKN berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia dan bertanggungjawab kepada Presiden, dan apabila diperlukan BPKN dapat membentuk perwakilan di Ibukota Daerah Provinsi untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mempunya fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen. Untuk menjalankan fungsinya BPKN mempunyai fungsi:
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;
46 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
(45)
b. Melakukan penelitian dan pengkajjian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d. Mendorong berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM);
e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keperpihakan kepada konsumen;
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lebaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; dan
g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, anggota BPKN terdiri sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang yang mewakili semua unsur, dengan seorang ketua dan wakil merangkap anggota. Unsur keanggotaan BPKN terdiri dari:
a. Pemerintah b. Pelaku Usaha
c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat d. Akademisi
e. Tenaga Ahli
Anggota BPKN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, atas usul Menteri Perdagangan, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan masa jabatan sebagai anggota BPKN selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya47
47
Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
.
(46)
2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) LPKSM merupakan lembaga perlindungan konsumen yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
Dalam rumusan Pasal 44 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dikatakan bahwa LPKSM mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:48
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Selain bentuk perlindungan konsumen yang bersifat preventif, adapula bentuk perlindungan konsumen yang bersifat respresif yaitu adanya Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen (BPSK). Dalam hal ini, peran BPSK dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen merupakan ujung tombak di lapangan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen yang telah dirugikan atau yang telah menderita sakit. Perlindungan yang diberikan oleh lembaga BPSK kepada konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dan juga melalui pengawasan terhadap setiap pencantuman perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang
(47)
merugikan konsumen. BPSK berfungsi ganda, disatu sisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen dan disisi lain diberikan kewenangan eksekutif kepada BPSK untuk mengawasi pencantuman klausula baku yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.
BPSK berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota yang berfungsi menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, khusus untuk Ibukota DKI Jakarta BPSK berkedudukan daerah tingkat I/Provinsi.
Keanggotaan BPSK diwakili dari 3 (tiga) unsur, yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur pelaku usaha, dan unsur konsumen. Unsur pelaku usaha berasal dari perkumpulan/organisasi atau asosiasi pelaku usaha, sedangkan unsur konsumen berasal dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang telah terdaftar dan diakui oleh Bupati atau Walikota atau Dinas setempat.
Tugas dan fungsi BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi, atau konsiliasi, atau arbitrase;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undang-undang;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
(48)
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap
orang yang dianggap mengetahui pelanggaran undang-undang;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaiamana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat dokumen, atau
alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang.
Konsumen dapat mengadu ke BPSK sepanjang dipenuhi persyaratan berikut:
a. Konsumen sebagai pihak yang mengajukan permohonan pengaduan atau gugatan, hanya dapat diterima jika diajukan oleh konsumen akhir.
Terhadap pengertian konsumen akhir, juga meliputi warga negara asing yang berada di Indonesia, maka dapat menggugat pelaku usaha di BPSK. Gugatan sekelompok orang/konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, yang dikenal dengan sebutan gugatan class action tidak dapat diterima di BPSK demikian juga dengan pengajuan gugatan yang diajukan oleh LPKSM. Kedua gugatan tersebut hanya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. b. Yang dapat diadukan konsumen ke BPSK adalah pelaku usaha,
baik orang perserorangan, badan usaha berbentuk hukum maupun bukan badan hukum, termasuk BUMD dan BUMN, bukan instansi atau lembaga pemerintah.
c. Yang dapat diadukan ke BPSK adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan 5 (lima) parameter perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu: barang yang tidak memenuhi standar, informasi yang mengelabui, cara menjual yang merugikan, cidera janji, klausula baku
(49)
Proses penyelesaian sengketa konsumen secara perdata melalui BPSK dilakukan dengan konsiliasi atau mediasi atau arbitrase, yang bersifat non litigasi. Sedangkan proses penyelesaian sengketa perdata melalui badan peradilan umum, bersifat litigasi.
Prinsip dasar penyelesaian, di BPSK antara lain49
a. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Bilamana para pihak telah sepakat memilih BPSK sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka para pihak untuk kedua kalinya  harus sepakat untuk memilih salah satu dari cara penyelesaian sengketa yang berlaku di BPSK, yakni dengan cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase.
:
b. Bukan berjenjang, Jika konsumen dan pelaku usaha telah sepakat
memilih cara penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi dan ternyata tidak terdapat penyelesaian, maka sengketa tidak dapat diajukan penyelesaiannya dengan cara mediasi atau arbitrase.
c. Penyelesaian oleh Para Pihak, Bilamana para pihak telah sepakat
memilih cara penyelesaian secara konsiliasi atau mediasi, maka penyelesaian sepenuhnya berada ditangan para pihak baik mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi secara pembayaran tunai atau cicilan. Majelis BPSK hanya bersifat fasilitator yang wajib memberikan masukan, saran, dan menerangkan isi Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
d. Penyelesaian oleh Majelis, Bilamana para pihak sepakat memilih
penyelesaian secara arbitrase, maka penyelesaian sepenuhnya penyelesaian diserahkan kepada Majelis BPSK baik bentuk dan besarnya ganti rugi.
e. Tanpa Pengacara, Pada prinsipnya penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tanpa lawyer (pengacara), hal ini mengingat yang ditonjolkan dalam proses penyelesaian sengketa adalah musyawarah kekeluargaan, bukan masalah aspek hukum yang ketat, kaku karena putusan yang diharapkan di BPSK adalah win-win solution.
f. Murah, Cepat dan Sederhana, Penyelesaian sengketa di BPSK
tidak dipunggut biaya, baik kepada konsumen maupun pelaku usaha, sedangkan waktu penyelesaiaannya relatif cepat, yakni
49
Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
(50)
selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja sudah diterbitkan putusan BPSK.
B. Pengawasan Penjualan Obat 1. Kementerian Perdagangan
Berkaitan dengan pengawasan penjualan obat, Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan perlindungan konsumen bersama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan, beserta Kementerian terkait lainnya berdasarkan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tahun 1999. Kemendag juga bertugas mengawasi produk non pangan, sementara BPOM mengawasi produk obat dan pangan olahan50. Rapat koordinasi (Rakor) antara Menteri Perdagangan dan Menteri Kesehatan dilakukan untuk membahas standarisasi kesehatan produk obat, salah satunya terkait produk jamu lokal yang memiliki standar kesehatan serta produk herbal lainnya yang nantinya akan diatur standarisasinya sesuai regulasi yang ditangani oleh Kemenkes, BPOM dan Kemendag51.
50 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Pemusnahan Produk
Ilegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen”, diakses dari
51 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, diakses dari
(51)
2. Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan memiliki peran penting dalam penjualan obat oleh Apotek. Salah satu wujud perlindungan konsumen yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan terhadap penjualan obat adalah dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek . Pengawasan penjualan obat oleh Kementerian Keseahatan tampak jelas pada Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yaitu “Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kementerian Kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.
3. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga pengawas peredaran obat dan makanan di Indonesia. BPOM bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti yang tertera dalam Pasal 67 Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, selanjutnya Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan, yang
(52)
meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya seperti yang tertera dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan POM No. 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan52
Adapun visi dan misi BPOM meliputi .
53
a. Melakukan Pengawasan Pre-Market dan Post-Market Berstandar
Internasional.
: Visi:
Menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarakat.
Misi:
b. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten. c. Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di
Berbagai Lini.
d. Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari Obat dan Makanan yang Berisiko Terhadap Kesehatan.
e. Membangun Organisasi Pembelajar (Learning Organization).
Dalam menjalankan visi dan misinya, BPOM memiliki beberapa nilai luhur sebagai budaya organisasinya, yaitu:
a. Profesional
Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektifitas, ketekunan, dan komitmen yang tinggi
b. Kredibel
52 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Tugas Utama Badan POM dan Tugas Balai
Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis)”, diakses dari
53 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Visi dan Misi Badan POM), diakses dari
(53)
Dapat dipercaya dan diakui masyarakat luas, nasional, dan internasional.
c. Cepat tanggap
Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah. d. Kerjasama tim
Mengutamkan keterbukaan, saling percaya, dan komunikasi yang baik.
e. Inovatif
Mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
BPOM berfungsi dalam hal sebagai berikut:54
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM;
d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bindang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
Adapun wewenang BPOM menurut Pasal 69 Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 meliputi tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen:55
a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro;
c. Penetapan sistem informasi di bidangnya;
54 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Fungsi badan POM”, diakses dari
22.14
55 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Kewenangan Badan POM”, diakses dari
(54)
d. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman peredaran obat dan makanan;
e. Pemberi izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi;
f. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat.
4. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM)
LPKSM merupakan lemabaga perlindungan konsumen yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen56
Untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum, keterbukaan dan ketertiban dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia, setiap LPKSM wajib melakukan Pendaftaran pada Pemerintah Kabupaten atau Kota, untuk memperoleh Tanda Daftar LPKSM (TDLPK) sebagai bukti bahwa LPKSM yang bersangkutan benar-benar bergerak di bidang Perlindungan Konsumen, sesuai dengan bunyi Anggaran Dasar dan atau Rumah Tangga dari Akta Pendirian LPKSM tersebut. Tanda Daftar LPKSM dapat dipergunakan oleh LPKSM yang bersangkutan untuk melakukan kegiatan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen di seluruh Indonesia, dan pendaftaran tersebut dimaksudkan sebagai pencatatan dan bukan merupakan suatu perizinan. Setelah LPKSM yang bersangkutan memperoleh Tanda Daftar LPKSM, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi landasan hukum
.
(55)
bagi LPKSM, untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen di Indonesia, baik melalui kegiatan upaya pemberdayaan konsumen dengan cara pembinaan, pendidikan konsumen maupun mampu melalui pelaksanaan tugas LPKSM sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berikut peraturan pelaksanaannya.
LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitas kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh LPKSM yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum (Pasal 46 Undang-undang Perlindungan Konsumen)57
Dalam rumusan Pasal 44 Angka (3), dikatakan bahwa LPKSM mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
.
58
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
57
Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
15 Februari 2015 pukul 14.10 58
(56)
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
(57)
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI BARANG CACAT
TERSEMBUNYI DAN MEKANISME PERDAGANGAN OBAT
OLEH APOTEK
A. Tinjauan Umum Mengenai Barang Cacat Tersembunyi 1. Pengertian Barang Cacat Tersembunyi
Terminologi cacat tersembunyi dapat dijumpai dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Perkataan “tersembunyi” ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah dapat dilihat oleh seseorang konsumen yang normal, bukan seorang konsumen yang terlampau teliti, sebab sangat mungkin sekali orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut59
Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi. Mengenai masalah apakah pelaku usaha mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui atau tidak, penjual/atau pelaku usaha harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya. Yang dimaksud dengan cacat
.
59 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
(58)
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI BARANG CACAT
TERSEMBUNYI DAN MEKANISME PERDAGANGAN OBAT
OLEH APOTEK
A. Tinjauan Umum Mengenai Barang Cacat Tersembunyi 1. Pengertian Barang Cacat Tersembunyi
Terminologi cacat tersembunyi dapat dijumpai dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Perkataan “tersembunyi” ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah dapat dilihat oleh seseorang konsumen yang normal, bukan seorang konsumen yang terlampau teliti, sebab sangat mungkin sekali orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut59
Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi. Mengenai masalah apakah pelaku usaha mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui atau tidak, penjual/atau pelaku usaha harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya. Yang dimaksud dengan cacat
.
59 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
(59)
(60)
tersembunyi adalah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai dengan tujuan pemakaian dari yang semestinya60
Pelaku usaha harus menjamin barang terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu. (Pasal 1506 KUH Perdata)
.
Dalam Pasal 1505 KUH Perdata dinyatakan bahwa pelaku usaha tidak wajib menjamin barang terhadap cacat yang kelihatan dan dapat diketahui sendiri oleh pembeli.
61
1. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga;
.
Selanjutnya, dalam Pasal 1507 KUH Perdata, pembeli dapat memilih akan mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali uang harga pembelian atau akan tetap memiliki barang itu sambil menuntut kembali sebagian dari uang harga pembelian.
Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan Pasal 1508 KUH Perdata :
2. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos) yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang;
60 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 76
(61)
3. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka pelaku usaha tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen. Dalam Pasal 1509 KUH Perdata dijelaskan bahwa jika pelaku usaha tidak mengetahui adanya cacat-cacat barang, maka ia hanya wajib mengembalikan uang harga barang pembelian dan mengganti biaya untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan, sekedar itu dibayar oleh pembeli.
Apabila barang yang mengandung cacat-cacat tersembunyi itu musnah karena cacat- cacat itu, maka kerugian dipikul oleh penjual yang terhadap pembeli wajib mengembalikan uang harga pembelian dan mengganti segala kerugian lain yang disebut dalam Pasal 1508 dan Pasal 1509 KUH Perdata, tetapi kerugian yang disebabkan kejadian yang tak disengaja, harus dipikul oleh pembeli. Pernyatan ini sesuai dengan Pasal 1510 KUH Perdata.
Sesuai dengan Pasal 1511 dan Pasal 1512 KUH Perdata, tuntutan yang didasarkan atas cacat yang dapat menyebabkan pembatalan pembelian, harus diajukan oleh pembeli dalam waktu yang pendek, menurut sifat cacat itu dan dengan mengindahkan kebiasaan-kebiasaan di tempat persetujuan pembelian dibuat. Tuntutan itu tidak dapat diajukan dalam hal penjualan-penjualan yang dilakukan atas kuasa Hakim.
2. Bentuk-Bentuk dan Ciri-Ciri Barang Cacat Tersembunyi
Sebuah barang/produk dikatakan cacat apabila produk itu tidak aman dalam penggunaannya serta tidak memenuhi syarat-syarat keamanan
(1)
Daftar Pertanyaan ke Apotek Yakin Sehat Medan
- Apakah definisi obat yang mengandung cacat tersembunyi menurut
Apotek Yakin Sehat?
- Adakah peraturan tertentu dari Apotek Yakin Sehat mengenai obat yang
mengandung cacat tersembunyi?
- Bagaimanakah bentuk-bentuk maupun contoh obat yang mengandung
cacat tersembunyi?
- Apa saja bentuk kerugian konsumen atas obat yang mengandung cacat
tersembunyi?
- Bagaimana pendapat pihak Apotek Yakin Sehat menyangkut tanggung
jawab pelaku usaha Apotek terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi dan adakah peraturan yang mengatur tanggung jawab tersebut?
(2)
Ringkasan Jawaban Wawancara
Wawancara dijawab oleh Mimi Wong, pengelola Apotek Yakin Sehat Medan
- Pengertian obat yang mengandung cacat tersembunyi menurut
pengelola Apotek adalah kondisi dimana obat yang dibeli pembeli itu tidak sesuai semestinya dan pembeli tidak dapat mengetahuinya langsung saat pembelian, kecuali benar-benar dilihat dengan seksama atau dicoba langsung.
- Contoh obat yang mengandung cacat tersembunyi juga diberikan oleh
pengelola Apotek untuk memaparkan bentuk-bentuk obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah obat inhaler (obat hirup), yang biasanya termasuk golongan obat keras.
Obat inhaler merupakan obat hirup yang biasanya digunakan oleh penderita asma. Pernah obat inhaler ini ditemukan tidak memiliki isi di dalamnya yang ditandai dengan tidak adanya cairan-gas yang terhirup saat digunakan oleh pengguna, sehingga atas dasar inilah pengguna datang kembali ke Apotek untuk menukarnya. Cacat dari obat tersebut sifatnya tidak mudah diketahui sampai benar-benar digunakan oleh pengguna, cacat tersebut sangat tidak mudah dilihat dengan kasat mata.
- Bentuk kerugian konsumen atas obat yang mengandung cacat
tersembunyi adalah:
a. Bagi pasien yang memerlukan pengobatan jangka panjang, obat
yang mengandung cacat tersembunyi itu bisa mengakibatkan sasaran pengobatan tidak tercapai. Misalnya saja, suatu obat
(3)
dalam data statistik disebutkan bisa mengurangi serangan asma sampai 25 (dua puluh lima) persen atau mengurangi kemungkinan asma hingga 30 (tiga puluh) persen. Namun, karena adanya penggunaan obat yang mengandung cacat tersembunyi itu, persentase tersebut tidak tercapai.
b. Dalam hal antibiotik yang mengandung cacat tersembunyi, bisa
mengakibatkan resistensi.
c. Obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut dapat pula
menimbulkan penyakit lain pada pengguna, misalnya alergi. d. Kerugian yang paling fatal dari obat yang mengandung cacat
tersembunyi adalah dapat merenggut nyawa pengguna.
e. Dapat pula menyebabkan kerugian materi pada konsumen
- Tanggung jawab pelaku usaha Apotek terhadap obat yang
mengandung cacat tersembunyi adalah ketika obat tersebut diserahkan dalam kondisi bersegel kepada pembeli, maka segala kondisi yang terjadi di kemudian waktu, bukan merupakan tanggung jawab pelaku usaha Apotek lagi. Alasan pembatasan tanggung jawab demikian adalah karena pihak pelaku usaha Apotek tidak jarang menemui pembeli yang beritikad tidak baik, yaitu dengan menukar obat yang dibeli dalam kondisi baik di Apotek dengan obat dalam kondisi tidak baik ketika mereka meninggalkan Apotek. Namun apabila obat tersebut dibuka di hadapan pelaku usaha Apotek, maka pelaku usaha Apotek bisa berusaha membantu proses pengklaiman kembali obat tersebut ke pabrik obat yang bersangkutan dengan memberikan pengganti yang baru terlebih dahulu. Pelaku usaha Apotek senantiasa berusaha bersikap fair dalam berjualan.
(4)
Daftar Pertanyaan ke BPOM Medan Medan
- Apakah definisi obat yang mengandung cacat tersembunyi menurut
BPOM Medan?
- Adakah peraturan tertentu dari BPOM Medan mengenai obat yang
mengandung cacat tersembunyi?
- Bagaimanakah bentuk-bentuk maupun contoh obat yang mengandung
cacat tersembunyi?
- Apa saja bentuk kerugian konsumen atas obat yang mengandung cacat
tersembunyi?
- Bagaimana pendapat pihak BPOM Medan menyangkut tanggung jawab
pelaku usaha Apotek terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi dan adakah peraturan yang mengatur tanggung jawab tersebut?
(5)
Ringkasan Jawaban Wawancara
Wawancara dijawab oleh Drs. Ramses, Kepala Seksi Penyidikan BPOM Medan
- Istilah ataupun pengaturan tertentu atas obat yang mengandung cacat
tersembunyi itu belum ada, yang ada adalah istilah ataupun pengaturan atas obat yang sifatnya sub-standar, mungkin Penulis dapat menafsirkannya sebagai cacat tersembunyi.
Definisi obat yang sifatnya sub-standar adalah kondisi obat yang kenyataannya tidak sesuai yang dijanjikan, baik secara mutu, komposisi, maupun keamanan obat tersebut, ataupun kondisi obat yang pada saat peredarannya di masyarakat tidak sesuai dengan kondisi obat pada saat pendaftaran untuk izin edarnya.
- Obat yang sifatnya sub-standar ini diatur dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam kaitannya dengan pengawasan obat dan makanan digunakan sebagai pelengkap dengan acuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai dasar utama. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen bersifat delik aduan, dimana harus ada pengaduan terlebih dahulu dari korban agar masalahnya dapat diproses secara hukum, sedangkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tetap bekerja mengawasi peredaran obat dan makanan meskipun tidak ada aduan apapun dari konsumen, sehingga acuan dasar atas obat yang
(6)
sifatnya sub-standar lebih didasarkan dahulu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
- Contoh obat yang sifatnya sub-standar (obat yang mengandung cacat
tersembunyi), yaitu obat tradisional (Jamu Jawa Dwipa Cap “Tawan Klanceng” Pegal Linu Husada)*Penulis berkesempatan melihat dan mengambil foto obat tersebut.
Obat tradisional tersebut dikatakan bersifat sub-standar karena pada saat pendaftaran obat tersebut didaftarkan tidak mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), namun pada kenyataannya obat tradisional tersebut diedarkan dengan mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), yaitu Piroxicam dan Phenilbutazol. Pada dasarnya obat tradisional bersifat terapi, bukan mengobati, namun agar obat tradisional cepat laku di pasaran dan diminati, maka ditambah Bahan Kimia Obat (BKO) tertentu supaya khasiatnya dapat dirasakan dengan cepat.
Contoh lainnya adalah komposisi obat tidak sama dengan seharusnya
- Bentuk kerugian terkait obat yang sub-standar adalah pengkonsumsian
atas obat tersebut bisa menyebabkan pemunculan penyakit baru yang sebelumnya tidak ada, karena obat yang mengandung cacat tersembunyi pada dasarnya tidak sesuai dengan mutu, komposisi dan mutu sebagaimana semestinya.
- Tanggung jawab atas obat yang sub-standar adalah di pabrik pembuat obat
tersebut. Setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengetahui adanya pabrik pembuat obat yang sifatnya sub-standar, maka