BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Perilaku Politik Guru (Studi Kasus: Perilaku Politik Ermalina Purba Sebagai Guru PNS di Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang dalam Pemilihan Bupati Dairi Tahun 2013)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Pemilihan umum yang kemudian disebut sebagai pemilu dan pemilihan kepala daerah atau pilkada yang merupakan sarana kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil dalam Negara

   Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 . Sama halnya dengan pemilu,

  Pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan dengan tujuan menentukan pemimpin atau kepala dari pemerintahan di suatu daerah yang ditentukan oleh rakyat, karena rakyatlah yang memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemilihan kepala daerah terjadi karena adanya pemberian kekuasaan sepenuhnya kepada pemerintahan daerah oleh pusat agar daerah tersebut dapat lebih signifikan di dalam mengatur rumah tangga daerahnya, atau yang disebut sebagai suatu pola pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik. Adanya desentralisasi tersebut, maka daerah dapat mengatur rumah tangganya sendiri serta mengambil dan membuat keputusan di pemerintahan daerah maupun membuat Peraturan Pemerintahan Daerah.

  Mengambil, membuat dan menerima keputusan ataupun melaksanakan keputusan dari peraturan pemerintahan daerah merupakan bagian dari perilaku 1 politik yang baik. Tingkah laku maupun kebiasan sehari-hari masyarakat di dalam

  

Undang-Undang No. 10 Tahun 2001 Bab 1 Pasal 1 Ayat (1), tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. bermasyarakat seperti turut serta di dalam proses bernegara, turut serta di dalam organisasi maupun perkumpulan di masyarakat yang terjadi secara alami, berperan serta dalam pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada), melaksanakan kewajiban sebagai warga negara yang baik dan sebagainya, merupakan sebagai bentuk perilaku politik dari masyarakat. Selain masyarakat yang memiliki sikap dalam berperilaku politik di masyarakat, para kaum birokrat yang disebut sebagai orang atau pelaksana dari birokrasi termasuk di dalamnya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), juga memiliki sikap perilaku politik seperti membuat proses keputusan, menerima keputusan dan melaksanakan keputusan politik juga

   termasuk ke dalam perilaku politik .

  Perilaku politik yang diartikan sebagai suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Perilaku politik juga merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum karena disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Dalam kehidupan politik masyarakat sehari- hari, adanya interaksi antar individu baik individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok tersebut dengan hubungan secara vertikal dan horizontal. Dikeluarkannya perintah oleh satu pihak atau instansi dan perintah itu ditaati oleh pihak lain, merupakan suatu kondisi dimana terdapatnya keberatan 2 dan penolakan perintah atau keputusan tersebut. Kondisi tersebut menggambarkan

  

Ramlan, Surbakti. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 1992, hal 131

dalam kutipan Sastroatmodjo, Sudijono. Perilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995, hal 2 berbagai perilaku yang berhubungan satu sama lain, baik itu dilakukan oleh satu lembaga tertentu maupun individu dalam beperilaku politik.

  Turut berpartisipasi dalam Pilkada memperlihatkan bentuk perilaku politik masyarakat secara langsung. Akan tetapi peran serta dalam Pilkada disini adalah dengan memberikan suara pada saat pemilihan, baik masyarakat yang bekerja di sebuah lembaga pemerintahan (PNS) maupun yang non-pemerintahan. Sebuah lembaga yang non-pemerintahan yaitu para kelompok pengusaha atau wiraswasta yang telepas dari ikatan peraturan pemerintah. Kelompok tersebut dapat melibatkan diri di dalam politik sebagai tim sukses atau menjadi pendukung calon/kandidat kepala daerah seperti pemilihan bupati. Namun, bagi masyarakat yang bekerja sebuah lembaga pemerintahan (PNS) yang memiliki keterikatan dengan Undang-Undang dan peraturan pemerintah, dilarang dan tidak diperbolehkan terlibat di dalam kampanye Pilkada atau berpolitik praktis, sebab mereka dituntut untuk mengabdi kepada negara bukan kepada satu pihak atau pada suatu lembaga.

  Perilaku politik Pegawai Negeri Sipil maupun guru PNS dituntut harus bersikap netral di dalam pemerintahan, seperti tidak turut serta di dalam politik maupun partai politik. Sikap netral yang dituntut dari PNS tersebut dapat dilihat dari pengertian pegawai negeri menurut Pasal 1 (a) Undang-Undang No. 8 Tahun

  

  1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian . Oleh sebab itu PNS yang telah 3 diangkat oleh negara dituntut untuk mengabdi kepada negara dan bersikap netral

  

C. S. T Kansil, Christine S. T Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hal 160 dalam pemerintahan daerah. Di dalam PP No. 53 Tahun 2010 mengatur tentang disiplin pegawai dalam Bagian Kedua Larangan Pasal 4 ayat (14) yaitu, dilarang memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda

   Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan dan dalam Pasal 4 ayat (15) .

  Peran serta PNS pada satu pihak, kepada suatu lembaga maupun pada masa kampanye dan masa menjelang Pilkada sudah melanggar peraturan MENPAN No.

  SE/08.A/M.PAN/5/2005 tentang netralitas PNS di dalam Pilkada yang berisikan bagi PNS dan Pegawai Honorer yang bukan Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, dilarang terlibat dalam kegiatan kampanye, untuk mendukung salah satu Partai Politik, Calon Presiden dan Wakil Presiden, serta Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kampanye, serta dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan dan merugikan salah satu Partai Politik atau pasangan calon

  

  selama kampanye . Seperti halnya pada Pasal 28 huruf a UU No.32/2004, yaitu kepala dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 4 Terutama merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat,

  

diakses pada hari Sabtu 29 Maret 2014 pukul

  10.40

  

  atau mendiskriminasikan warga negara dan golongan lain . Adapun tujuan dibuatnya Pasal 28 huruf a UU No.32/2004 tersebut adalah untuk mencegah terjadinya pemutasian pada masa-masa Pilkada.

  Kabupaten Dairi telah melaksanakan dua kali pemilihan kepala daerah yaitu pada tahun 2009, yang dimenangkan oleh Kra. Johnny Sitohang Adinegoro dan Irwansyah Pasi, SH dan pada tahun 2013 pasangan tersebut kembali mencalonkan diri pada Pilkada 2013 untuk menjadi bakal calon bupati/wakil bupati pada periode 2013-2018. Pilkada Dairi pada periode berikutnya yang berlangsung di Kabupaten Dairi pada 10 Oktober 2013 tersebut, kembali dimenangkan oleh pasangan petahana dengan nomor urut satu yaitu Kra. Johnny Sitohang Adinegoro dan Irwansyah Pasi, SH. Hal ini memperlihatkan perilaku politik masyarakat Dairi pada Pilkada sangat tinggi. Namun, berdasarkan sumber berita dan praktik dilapangannya pilkada di Kabupaten Dairi yang diikuti oleh empat pasangan calon ini, dinilai sebagai sebuah Pilkada yang tidak sehat. Di dalam setiap rangkaian menjelang Pilkada ini banyak ditemukannya berbagai permasalahan yang dilakukan oleh para calon maupun para tim sukses. Berbagai permasalahan yaitu permasalahan, seperti penyusunan DPT yang bermasalah, yakni penggelembungan suara dan ada ditemui keterlibatan Pegawai Negeri Sipil di

  

  dalam tahapan pilkada Dairi dan yang paling menonjol adalah turut melibatkan

   7 Dairi Pers, Nomor 391 Tahun VII Tanggal 03-09 November 2013. Gugatan MK Bertabur Video Kampanye PNS.

  

  beberapa oknum PNS dan pemutasian terhadap PNS, hal inipun diakui juga oleh beberapa masyarakat di Dairi. Adapun pendapat dari masyarakat yang

  

  menyatakan adanya peran serta PNS tersebut adalah sekda Dairi JG , Dra. ALS, RLS, Drs. JSG, dan EP yang mempunyai jabatan pada institusi pemerintahan.

  Perilaku politik Pegawai Negeri Sipil maupun guru PNS dituntut harus bersikap netral di dalam pemerintahan, seperti tidak turut serta di dalam politik maupun partai politik. Sikap netral yang dituntut dari PNS tersebut dapat dilihat dari pengertian pegawai negeri menurut Pasal 1 (a) Undang-Undang No. 8 Tahun

  

  1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian . Oleh sebab itu PNS yang telah diangkat oleh negara dituntut untuk mengabdi kepada negara dan bersikap netral dalam pemerintahan daerah. Di dalam PP No. 53 Tahun 2010 mengatur tentang disiplin pegawai dalam Bagian Kedua Larangan Pasal 4 ayat (14) yaitu, dilarang memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda

   Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan .

  Sebagai warga negara yang baik PNS memang memiliki hak untuk memberikan suara pada saat pemilihan, akan tetapi tidak berarti dapat turut 8 terlibat di dalam memberikan dukungan terhadap kepada pasangan calon

  

Dairi Pers, Nomor 391 Tahun VII Tanggal 03-09 November 2013. Video PNS Terlibat Pilkada

9 Diadukan Ke Mendagri dan Menpan. 10 Ibid

C. S. T Kansil, Christine S. T Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara,

  11 2008, hal 160 Lihat PP No. 53 Tahun 2010, Bagian Kedua Larangan Pasal 4 ayat (14) bupati/wakil bupati yang mereka dukung. Selain displin tentang pegawai negeri dalam memberikan dukungan, larangan terhadap PNS juga dapat dilihat dalam pasal 2 PP No. 37 Tahun 2004, yang melarang PNS menjadi anggota partai politik ataupun menjadi pengurus partai politik dan dituntut untuk netral. Apabila PNS yang tidak menaati ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada PP No. 53 Tahun

  

  2010 Pasal 4 ayat (14), maka akan dijatuhi hukuman dispilin PNS .Akan tetapi, implementasi Undang-Undang PP No. 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri dan aturan pada Pasal 28 Huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di dalam praktiknya tidak dijalankan secara serius.

  Sehingga disetiap momen Pilkada terutama di Dairi selalu diwarnai oleh adanya dugaan turut serta PNS di dalam Pilkada dan pemutasian bagi PNS yang tidak mendukung pasangan petahana.

  Pemutasian yang marak pada setiap momen Pilkada terutama pada Pilkada Dairi yang banyak memutasi guru PNS, telah banyak meresahkan warga masyarakat Dairi terutama kalangan guru PNS dan hal ini secara hukum tidak dijalankan secara serius. Sehingga pemutasian terutama pada guru sebagai pejabat fungional saat enam bulan menjelang Pilkada mengandung sifat politisasi.

  Pengungkapan mengenai pemutasian hingga kepada sistem peradilan maupun Pengadilan Tata Usaha Negara tidak pernah terjadi. Oleh sebab itu kasus-kasus tersebut hanya dapat dirasakan tetapi sulit untuk dibuktikan. Guru yang 12 seharusnya melakukan fungsinya seperti dalam UU RI Nomor 14 Tahun 2005,

  

PP No. 53 Tahun 2010 Bab III tentang hukuman disiplin bagian kedua, pasal tujuh, dalam

Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Ketentuan Pelaksanaan, Bandung: Fokus Media, 2011, hal 8 menjadi waspada karena adanya ancaman mutasi. Kedudukan guru di dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005, Bab 1 tentang ketentuan umum, pasal 1 ayat (1) tertulis bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan

  

  dasar dan pendidikan menengah dan di dalam Bab II mengenai kedudukan,

  

  fungsi, dan tujuan, pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) . Kini, di dalam Pilkada Dairi guru turut menjadi korban politik praktis dan pelaksanaan kedudukan guru tersebut tidak berjalan dengan baik.

  Guru sebagai tenaga pendidik diwajibkan untuk memberikan pengajaran bagi anak bangsa dan sebagai tenaga pendidik yang bertujuan untuk memajukan pendidikan tanpa memandang suku, agama dan ras. Guru yang memiliki status sebagai Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu bagian dari birokrasi pemerintah dibidang pendidikan yang memiliki status netral didalam pemerintahan, dilarang untuk ikut berpolitik, ikut serta di dalam partai politik dan sebagai tim sukses di dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah atau tidak diperbolehkan untuk memihak kepada satu pihak, sebab tugas mereka adalah mengabdi kepada negara. Walaupun di dalam praktiknya masih ada terdapat beberapa dari antara guru PNS tersebut yang mendukung secara terselubung di dalam Pilkada, hal demikian juga dinyatakan oleh masyarakat di 13 Dairi.

  

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, 2008, Guru dan Dosen, Indonesia

14 Legal center Publising, hal 2 ibid , hal 4

  Keterlibatan guru PNS dalam Pilkada Kabupaten Dairi 2013, bisa dilihat dalam contoh kasus guru PNS Ermalina Purba yang telah dimutasi yang oleh karena suami dari Ermalina Purba tersebut berprofesi sebagai wiraswasta dan merupakan tim sukses dari salah satu calon/kandidat Bupati Dairi yang

  

  didukungnya yaitu Luhut Matondang dan Maradu Gading Lingga . Adapun alasan mereka mendukung calon/kandidat bupati tersebut, karena mereka menilai calon/kandidat Bupati Dairi tersebut memiliki visi misi yang benar-benar membangun dan membawa perubahan untuk Kabupaten Dairi. Mengingat bahwa posisi ataupun kedudukan dari Ermalina Purba tersebut adalah seorang guru PNS, maka hal itu sangat berpengaruh dan berdampak luas kepada status PNS yang disandangnya. Hal ini dilihat dari adanya baliho yang terpampang di pekarangan rumah Ermalina Purba, menguatkan bahwa ia turut serta mendukung ataupun menjadi TS pada pasangan calon/kandidat Pasangan Nomor Urut 4 (empat) Luhut Matondang-Maradu Gading Lingga.

  Hal tersebut dapat dimasukkan ke dalam politik kekerabatan, yaitu lebih mengutamakan kepentingan keluarga dekat atau lebih mementingkan hubungan kerabat untuk mencapai kepentingan kelompok, karena suami dari Ermalina Purba tersebut turut mendukung calon/kandidat bupati Dairi maka dapat disimpulkan bahwa Ermalina Purba juga turut menudukung calon/kandidat bupati tersebut. Hubungan kekerabatan di dalam politik dinilai sangat merusak citra demokrasi dan menimbulkan berbagai permasalahan baik di dalam hubungan keluarga dan di

  

diakses pada hari Sabtu 22 Maret 2014 pukul 11.54 dalam hubungan dengan lingkungan politik. Oleh sebab itu Ermalina Purba dimutasi dengan dugaan bahwa telah mendukung calon/kandidat Bupati Dairi.

  Akan tetapi, menurut Ermalina Purba itu sendiri pemutasian yang dialami olehnya tersebut dirasakan bahwa sebagai pemutasian yang tidak biasa atau ada unsur politisasi. Ermalina Purba selaku guru PNS menengarai, bahwa mutasi dilakukan karena suaminya menjadi tim sukses dari pasangan calon/kandidat bupati yang mereka dukung. Pemutasian tersebut dinyatakan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan diterima melalui kepala sekolah di tempat guru PNS tersebut mengajar sebelumnya.

  Berdasarkan penjelasan dari latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melihat perilaku politik Ermalina Purba sebagai guru PNS di Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang, sehingga hal inilah yang menjadi masalah yang diteliti apakah memang benar ada keterlibatan Ermalina Purba sebagai guru PNS dalam Pilkada dan peneliti mengangkat judul skripsi ini tentang “Perilaku Politik Guru, Studi Kasus: Perilaku Politik Ermalina Purba sebagai guru PNS di Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang dalam Pemilihan Bupati Dairi Tahun 2013”.

1.2 Perumusan Masalah

  Pilkada secara langsung telah dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Dairi pada tahun 2009 dan tanggal 10 Oktober 2013 yang lalu, banyak ditemui berbagai permasalahan. Adanya pemutasian yang terjadi pada masa menjelang pilkada turut mewarnai pilkada di Kabupaten Dairi. Kerabat ataupun suami dari Ermalina Purba yang merupakan tim sukses ataupun pendukung pasangan calon/kandidat yang didukung mereka, menyebabkan ada anggapan guru PNS tersebut dimutasi dalam bentuk pemindahan SMA 1 Sidikalang ke SMAN Silalahi yang berjarak 75 km ke arah pinggiran Danau Toba. Adapun bukti pemutasian tersebut adalah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) dengan nomor pada bulan Agustus 2013 kepada Ermalina Purba oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) saat menjelang Pilkada. Oleh sebab itu dengan berpijak pada rumusan

  

masalah, maka pertanyaan peneliti yang hendak dijawab dan dianalisis

dalam penelitian ini adalah apakah Ermalina Purba diberikan SK mutasi

dengan nomor 820/326/VIII/2013 oleh BKD, terkait dengan dukungan

kepada salah satu pasangan calon bupati dalam pemilihan kepala daerah di

Kabupaten Dairi tahun 2013?

1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, adalah:

  1. Melihat bagaimana perilaku politik Ermalina Purba sebagai guru PNS di Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang di dalam pemilihan Bupati Dairi 2013.

  2. Mengetahui hal-hal yang menyebabkan Ermalina Purba sebagai guru PNS dapat dimutasi.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bermanfaat kepada semua pihak yang secara umum, yaitu:

  1. Secara teoritis maupun metodologis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pemahaman tentang kedudukan ataupun peranan dari PNS dan menambah pengetahuan yang baru dalam bidang politik khususnya dalam kajian perilaku politik.

  2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada para guru PNS dalam bersikap maupun berperilaku di dalam Pilkada.

  3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi manfaat bagi kalangan mahasiswa Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

  1.5 Kerangka Teori

1.5.1 Teori Perilaku Politik

  Kehidupan sehari-hari masyarakat maupun setiap individu akan selalu berhubungan dengan persoalan politik, seperti menaati peraturan pemerintah. Perilaku politik berkaitan erat dengan perilaku pemilih. Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan alasan seseorang untuk menggunakan ataupun tidak menggunakan hak pilihnya, pada pemilihan umum. Namun, jika seseorang itu menggunakan hak pilihnya maka yang akan dilihat adalah alasan yang mendasari seseorang itu untuk memilih

  

  partai ataupun calon yang dipilihnya . Perilaku politik diartikan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Pelaku dari kegiatan tersebut adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan fungsi-fungsi

   pemerintah dan fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat .

  Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antarlembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum karena disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain yaitu, seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Perilaku politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik. Perilaku sehari-hari warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya merupakan perilaku ekonomi. Perilaku warga masyarakat mengirimkan anak-anaknya ke sekolah merupakan perilaku budaya dan kegiatan menjalankan ibadah yang dilakukan oleh para pemeluk agama merupakan perilaku keagamaan.

  Perilaku politik berhubungan dengan suatu tujuan masyarakat, 16 kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang

  

Rolas Nainggolan, Skripi: Perilaku Pemilih Etnis Batak Toba pada Pemilihan Umum

Gubenur/Wakil Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2008, Studi Kasus: Kelurahan Toba,

17 Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar , Medan: 2009, hal 14

  

Ramlan Surbakti.. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Widiaswara Indonesia, 1982, hal

  16 memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat ke arah pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Perilaku politik juga merupakan tindakan yang dilakukan oleh suatu subjek. Subjek dapat berupa pemerintah dan dapat juga masyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah berupa pembuatan keputusan-keputusan politik dan upaya pelaksanaan keputusan politik tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat berupaya untuk dapat mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik oleh pemerintah sesuai dengan kepentingannya.

  Seorang individu/kelompok masyarakat diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik,

  

  diantaranya adalah :

  1. Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin,

  2. Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik, mengikuti organisasi masyarakat/LSM,

  3. Ikut serta dalam pesta politik,

  4. Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas,

  5. Berhak untuk menjadi pemimpin politik,

  6. Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik yang bertujuan untuk melakukan perilaku politik yang telah 18 disusun secara baik oleh UUD dan perundangan hukum yang berlaku.

  hhtp://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik

  Perilaku politik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, seperti ada pihak yang memerintah dan ada pihak lain yang diperintah. Tanggapan yang diberikan oleh pihak yang diperintah seperti terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ada yang setuju dan ada yang kurang setuju dan hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat menolak dan menerima suatu kebijakan. Keluarga sebagai suatu kelompok melakukan berbagai kegiatan, termasuk di dalamnya adalah kegiatan politik. Para anggota suatu keluarga secara bersama memberikan dukungan pada organisasi politik tertentu, memberikan iuran, ikut berkampanye menghadapi pemilu, keluarga yang bersangkutan telah berperan dalam kegiatan politik dan disamping kegiatan lain.

  Perilaku politik tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, akan tetapi memiliki hubungan atau keterikatan dengan hal-hal lain. Perilaku politik yang ditunjukkan oleh individu merupakan hasil pengaruh beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal yang menyangkut lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Perilaku politik berhubungan erat dengan sikap politik, walaupun keduanya memiliki kaitan yang erat, perilaku politik dan sikap politik memiliki perbedaan. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut. Sikap belum tentu merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan kecenderungan atau pre-disposisi. Sebab, dari sikap tertentu dapat dikatakan tentang tindakan yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud. Sikap memiliki tiga komponen yaitu kognisi, afeksi dan konasi:

  1. Kognisi berkenaan dengan ide dan konsep,

  2. Afeksi menyangkut kehidupan emosional dan 3. Konasi merupakan kecenderungan bertingkah laku.

  Sehingga sikap politik dapat dinyatakan sebagai kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu, dengan menerima ataupun ketidaksetujuan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah seperti ketidaksetujuan dan keberatan akan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) mengenai pemutasian

  

  (pemindahan) . Sehingga di dalam kehidupan politik kita bisa melihat adanya berbagai macam gejala akan terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang sering muncul berbagai macam reaksi, misalnya ada yang menerima kebijakan tersebut, ada yang menolak, ada yang melakukan protes secara halus, ada yang melakukan unjuk rasa dan ada yang memilih untuk berdiam diri tanpa memberikan reaksi apa-apa.

  Ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan pajak

   pendapatan, juga merupakan suatu sikap politik .

  Perilaku politik aktor politik seperti perencanaan, pengambilan keputusan dan penegakan keputusan dipengaruhi oleh berbagai dimensi latar 19 belakang yang merupakan bahan dalam pertimbangan politiknya. Warga

  

Mar’at. Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya, Jakarta: Gramedia Widya Sarana,

1992. Hal 131 dalam kutipan Sastroatmodjo, Sudijono. Perilaku Politik, Semarang: IKIP

20 Semarang Press, 1995, hal 4 Ibid , hal 5

  negara biasa dalam berperilaku politik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan latar belakang. Ada empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik

  

  aktor politik, yaitu:

  1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa.

  2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Lingkungan sosial politik langsung memberikan bentuk-bentuk sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat pada aktor politik, serta memberikan pengalaman- pengalaman hidup.

  3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Ada tiga basis atau dasar fungsional sikap dalam memahami struktur kepribadian tersebut. Pertama, didasarkan pada minat dan kebutuhan seseorang terhadap objek itu. Kedua, atas dasar penyesuaian diri, yaitu penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi keinginan untuk menjaga keharmonisan dengan objek itu. Ketiga, ialah sikap yang didasarkan pada fungsi eksternalisasi diri dan pertahanan diri. Pada basis ini penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang 21 mungkin berwujud mekanisme pertahanan diri dan eksternalisasi diri.

  Ibid, hal 13-14

  4. Faktor sosial politik langsung yang berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melakukan suatu kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, kehadiran seseorang, keadaan ruang, suasana kelompok dan ancaman dengan segala bentuk.

  Keempat faktor diatas saling mempengaruhi aktor politik dalam kegiatan dan perilaku politiknya, baik langsung maupun tidak langsung.

  Oleh sebab itu, perilaku politik seseorang tidak hanya didasarkan pada pertimbangan politik saja, tetapi juga disebabkan banyak faktor yang mempengaruhinya.

1.5.2 Teori Pilkada

  Wujud dari perjalanan demokrasi ditandai dengan adanya proses pemilu dan pilkada. Pasca reformasi pada tahun 1998, yang dimana otonomi daerah merupakan asal mula lahirnya Pilkada secara langsung. Otonomi daerah berasal dari bahasa latin yaitu, kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah. Oleh sebab itu defenisi dari otonomi daerah itu adalah sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom oleh pusat untuk mengatur dan mengurus sendiri urusadan kepentingan masyarakat setempat menurmasyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan

   peraturan perundang-undangan .

  Pada pasca reformasi tersebut, demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat baik dan pesat. Peningkatan partisipasi publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara disalurkan melalui pengaturan mekanisme yang semakin mencerminkan prinsip keterbukaan dan

  

  persamaan bagi segenap warga negara . Mekanisme pilkada adalah bertujuan untuk melahirkan para pemimpin yang benar-benar menjadi impian rakyat kebanyakan, yaitu pemimpin yang kuat, jujur, bersih dan dapat memberikan pelayanan secara prima (phylosopher-king) dalam rangka

   menuju cita-citanya, hidup dibawah payung keadilan dan kemakmuran .

  Keberhasilan pilkada di daerah menjadi titik tolak terhadap peningkatan kualitas demokrasi itu dan menjadi modal dasar yang berharga ,

  

  bagi proses-proses pembangunan di segala bidang . Pilkada dapat menjadi jaminan penguatan demokrasi yaitu dengan menguatkan kelembagaan (birokrasi, partai politik dan DPRD) secara serius. Demokrasi hanya akan

  

diakses pada hari Sabtu 08 Februari

23 2014 pukul 15.00 24 Janedjri M. Gaffar. Politik Hukum Pemilu. Jakarta: Konstitusi Press. 2012, hal 92

  

Republika , 18 Mei 2005, dalam kutipan Hery, Susanto, dkk. Menggugat Demokrasi, Jakarta 25 Selatan: Republika, 2005, hal 64 Hery, Susanto, dkk. Menggugat Demokrasi, Jakarta Selatan: Republika, 2005, hal 64 menjadi berkualitas bila publik dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan.

  Pilkada langsung sebagai proses pembelajaran demokrasi di tingkat lokal harus seiring dengan bergulirnya kebijakan otonomi daerah. Sehingga pilkada langsung dan otonomi daerah harus maksimal, karena pilkada langsung adalah pintu masuk terciptanya demokrasi dengan adanya

  

  pemberdayaan semua potensi masyarakat . Salah satu wujud dari demokrasi tersebut adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan itu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa intervensi (otonom), seperti memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Wakil- Wakilnya di lembaga legislative (Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)) dalam Pemilu 2004. Hal tersebut merupakan salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung.

  Pilkada merupakan sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan 26 bahwa pemilih adalah masyarakat yang ada di daerah. Ketentuan tentang

  Ibid, hal 65

  Pilkada diatur di dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Ketentuan tersebut ditetapkan dalam Perubahan Kedua UUD 1945. Rumusan Pilkada secara demokratis dicapai dengan maksud agar bersifat fleksibel atau lebih teratur. Pilkada memiliki tiga fungsi penting di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu:

  1. Memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di daerah sehingga ia diharapkan dapat memahami dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah.

  2. Melalui Pilkada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada misi, visi, program serta kualitas dan integritas calon kepala daerah yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

  3. Pilkada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol secara politik terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik yang menopang. Melalui Pilkada, masyarakat di daerah dapat memutuskan apakah akan menghentikan atau memperpanjang mandat seorang kepala daerah apabila kepala daerah tersebut kembali mencalonkan pada Pilkada berikutnya, maka visi, misi dan program yang dimiliki dapat dilanjutkan apabila masyarakat daerah masih dapat percaya atau tidak. Oleh karena itu, Pilkada harus dapat dijalankan dan dilaksanakan secara demokratis sehingga benar-benar dapat memenuhi peran dan fungsi tersebut. Namun, apabila hal tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan menciptakan berbagai pelanggaran-pelanggaran dan konflik yang bahkan dapat menganggu jalannya Pilkada. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan Pilkada tentu mempengaruhi kualitas demokrasi dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas calon terpilih dan penyelenggaraan

   pemerintahan daerah .

  Adapun bentuk pelanggaran dan kecurangan yang pada umumnya terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan Pilkada, yaitu:

  1. Pada tahap pendaftaran pemilih yang dimana sering data pemilih tetap tidak valid (sah). Seperti adanya warga yang memiliki hak pilih yang tidak terdaftar, adanya nama yang terdaftar sebagai pemilih tetapi pemilih yang bersangkutan tidak ada atau telah meninggal, pemilih yang terdaftar lebih dari satu dan terdapatnya pemilih yang belum cukup umur dari batas usia. Aturan batas usia tersebut diatur dalamUU No.42 Tahun 2008 Pasal 27 ayat (1) UU Pilpres dan UU No. 8 Tahun 2012 Pasal 19 ayat (1) UU Pemilu Legilatif. Pasal 27 ayat (1) UU Pilpres, berisikan tentang Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 tahun atau sudah lebih atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Pasal 19 ayat 27 (1) UU Pemilu Legilatif, berisikan Warga Negara Indonesia yang pada

  Ibid, hal 85 dan 87 hari pemungutan suara telah genap berumur 17 tahun atau sudah lebih atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Pelanggaran seperti ini, dapat mempengaruhi hasil dan juga merupakan sebuah

   pelanggaran terhadap hak konstitusi warga negara untuk memilih .

  2. Pada tahap awal juga terjadi pelanggaran dalam tahap verifikasi pasangan calon yang menentukan pasangan yang akan lolos menjadi pasangan calon peserta Pilkada. Pelanggaran jenis ini adalah memanipulasi data persyaratan bakal calon, baik berupa syarat administratif maupun syarat dukungan termasuk meloloskan pasangan bakal calon tertentu yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat atau sebaliknya tidak meloloskan pasangan calon tertentu yang sesungguhnya telah memenuhi semua persyarat.

  3. Adanya politik uang, merupakan sebuah bentuk pelanggaran yang paling banyak didalilkan atau dirumuskan dan menjadi materi pemeriksaan persidangan di MK. Pelanggaran ini terjadi bahkan sebelum pendaftaran pasangan bakal calon kepala daerah dan terutama sering terjadi pada masa-masa kampanye, dengan tujuan untuk membentuk persepsi masyarakat bahwa keberhasilan program itu adalah atas jasa orang tertentu yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

   diakses pada hari Kamis 20 Maret 2014 pukul 08:00

  4. Pelanggaran berupa pengerahan atau mobilisasi organisasi pemerintahan untuk memenangkan pasangan calon tertentu.

  Mobilisasi dalam hal ini dapat terjadi terhadap pegawai pemerintahan, baik mulai dari tingkat atas hingga tingkat bawah di kelurahan atau desa, maupun mobilisasi sarana dan prasarana untuk kepentingan pemenangan pasangan calon tertentu. Pelanggaran seperti ini hanya dapat dilakukan oleh pasangan calon yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap organisasi pemerintahan di daerah.

  5. Pelanggaran berupa ancaman atau intimidasi untuk memaksa warga masyarakat memilih pasangan calon tertentu dan hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk yang dilakukan oleh banyak pihak. Intimidasi dapat dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah dalam bentuk ancaman tidak akan mendapatkan layanan pemerintahan. Intimidasi juga dapat dilakukan oleh kelompok tertentu berupa ancaman kekerasan.

  6. Pelanggaran berupa pemberian hak suara oleh orang yang tidak berhak, baik di tempat pemungutan suara. Hal tersebut sudah jarang ditemui dan dilakukan sebab ketatnya pengawasan baik itu dari pengawas, antar pasangan calon, maupun oleh masyarakat. Akan tetapi, hal demikian juga masih dapat ditemui pada daerah-daerah tertentu meskipun dengan mudah dapat diketahui.

  7. Pelanggaran berupa manipulasi penghitungan hasil perolehan suara.

  Penghitungan suara secara bertingkat memungkinkan terjadinya manipulasi dengan mengurangi atau menambah perolehan suara calon tertentu. Model pelanggaran ini dapat dikatakan sebagai model klasik yang saat ini sudah jarang terjadi karena tuntutan keterbukaan dan saling kontrol antar pasangan calon. Pelangaran-pelanggaran Pilkada tersebut sangat jelas telah merusak tatanan demokrasi dan merusak kualitas demokrasi di daerah. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih bukan dari kehendak rakyat, akan tetapi menimbulkan pemimpin yang haus akan kekuasaaan dan dengan sewenang- wenang menyalahgunakan kekuasaan. Hal tersebut sangat berdampak kepada penyelenggaraan pemerintahan daerah dan orientasi pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, bukan untuk rakyat di daerah akan tetapi untuk kekuasaan belaka. Hal ini tidak dapat dibiarkan dengan demikian, perlunya mengambil tindakan untuk memperbaikinya, baik dari sisi electoral system maupun electoral process. Penataan kelembagaan penyelenggara serta peningkatan kesadaran peserta Pilkada dan warga negara tidak terjebak pada permainan dan pragmatisme kekuasaan yang

   merugikan bangsa .

29 Janedjri M. Gaffar, Op. Cit, hal 88-91

1.6 Metode Penelitian

  1.6.1 Jenis Penelitian Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.

  Metode kualitatif lebih didasarkan filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan. Oleh sebab itu penelitian ini, peneliti ingin melihat dan menganalisis fenomena ataupun hal-hal yang terjadi pada perilaku politik Ermalina Purba sebagai guru PNS di Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang dalam pemilihan Bupati Dairi 2013 dengan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan dan menganalisisnya dengan peraturan PNS berdasarkan kepada Badan Kepegawaian Daerah di Kabupaten Dairi. Analisis kasus menggunakan teori-teori, data-data dan Undang-Undang sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian dan menjawab persoalan penelitian. Penelitian kualitatif dilakukan dengan tujuan atau dalam situasi yang wajar dan data yang dikumpulkan bersifat kualitatif.

  1.6.2 Lokasi Penelitian

  Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Dairi, di Ki Hajar Dewantara Nomor 1 di samping kantor SMP Negeri 2 Sidikalang dan disamping kantor Kesejahteraan Sosial Sidikalang, Kabupaten Dairi, di SMA Negeri 1 Sidikalang dan di rumah Ermalina Purba di Jalan F.L Tobing, Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini dengan menggunakan data primer dan sekunder.

  1. Data Primer Pada penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara yang dilakukan pada responden maupun narasumber kepada pihak terkait yaitu Ermalina Purba sebagai guru PNS di Kelurahan Batang Beruh, kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Dairi, Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Dairi dan Kepala Sekolah SMAN 1 Sidikalang.

  2. Data Sekunder Pada penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penelaan berbagai data atau sumber berupa literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, peraturan, Undang- Undang, media online dan bahan-bahan lainnya yang relevan dalam penelitian ini.

1.6.4 Teknik Analisis Data

  Dalam menganalisis data pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif dengan menggunakan tipologi, yaitu dengan mengumpulkan data dan kemudian data yang telah dikumpulkan dianalisis dan dikelompokkan, sehingga dari semua informasi ataupun data telah terkumpul secara lengkap, maka dibuatlah suatu kesimpulan dari jawaban permasalahan dalam penelitian ini.

1.7 Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas ataupun penjabaran mengenai rencana penelitian, untuk mempermudah di dalam penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu, penulis membagi penulisan ke dalam 4 (empat) bab, yaitu:

  BAB 1 : PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, perumusan

  masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB 2 : DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN Pada bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai profil dari Kabupaten Dairi, Kecamatan Sidikalang, Kelurahan Batang Beruh

  yang terdiri dari Sejarah singkat Kelurahan Batang Beruh, Sarana dan Prasarana, Struktur Organisasi dalam Kelurahan Batang

  Beruhdan profil dari Ermalina Purba sebagai guru PNS di dalam pemilihan Bupati Dairi.

  BAB 3 : PERILAKU POLITIK GURU PNS DI DALAM PEMILIHAN BUPATI DAIRI 2013 Pada bab ini, akan membahas secara garis besar permasalahan dari

  hasil penelitian yang diperoleh tentang perilaku politik Ermalina Purba sebagai guru PNS yang menerima Surat Keputusan mutasi oleh BKD Kabupaten Dairi terkait asumsi pemberian dukungan terhadap salah satu calon/kandidat bupati dalam pemilihan Bupati Dairi 2013 dan hal-hal apa yang menyebabkan Ermalina Purba dimutasi dengan berdasarkandata dari lapangan dengan berlandaskan kepada teori-teori, perundang-undangan dan menyajikan pembahasan dan analisis dari data serta fakta yang ada.

  BAB 4 : PENUTUP Bab terakhir ini, akan memuat kesimpulan dan saran dari keseluruhan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.

Dokumen yang terkait

Perilaku Politik Guru (Studi Kasus: Perilaku Politik Ermalina Purba Sebagai Guru PNS di Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang dalam Pemilihan Bupati Dairi Tahun 2013)

3 65 96

Partisipasi Politik Dan Pemilihan Umum (Suatu Studi tentang Perilaku Politik Masyarakat di Kelurahan Dataran Tinggi Kecamatan Binjai Timur Pada Pemilihan Presiden tahun 2009)

1 46 105

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Game-Online Terhadap Perilaku Remaja Di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Kota Medan

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Perilaku Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Balita di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung

0 1 8

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Perilaku Perempuan Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan 2014

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Jejaring Sosial Terhadap Pilihan Politik Masyrakat (Studi Kasus: Pemilu Politik Pada Masyarakat Toba Samosir Tahun 2014

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah - Preferensi Politik Buruh Tebu dalam Pemilukada 2010 Kota Binjai (Studi Kasus Perilaku Buruh Tebu PTPN 2 Kebun Sei Semayang dalam Pemilihan Walikota Binjai Tahun 2010)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Jejaring Sosial Terhadap Pilihan Politik Masyrakat (Studi Kasus: Pemilu Politik Pada Masyarakat Toba Samosir Tahun 2014

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pola Kaderisasi Partai Golongan Karya Kotamadya Pematangsiantar (Studi Etnografi Antropologi Politik tentang Kekuasaan)

0 0 38

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN 2.1 Deskripsi Lokasi Penelitian - Perilaku Politik Guru (Studi Kasus: Perilaku Politik Ermalina Purba Sebagai Guru PNS di Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang dalam Pemilihan Bupati Dairi Tahun 2013)

0 0 19