Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma Cacao L.) Dengan Pemberian Pupuk NPK Dan Hayati

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kakao

  Dalam Poedjiwidodo (1996), klasifikasi tanaman kakao diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae , Divisi : Spermatophyta, Sub divisio : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Malvales, Family : Sterculiaceae, Genus : Theobroma, Spesies : Theobroma cacao L.

  Pada awal perkecambahan benih, akar tunggang tumbuh cepat, yakni mencapai 1 cm pada umur 1 minggu, 16-18 cm pada umur satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga bulan. Laju pertumbuhannya kemudian melambat dan untuk mencapai panjang 50 cm diperkirakan memakan waktu dua tahun. Kedalaman akar tunggang menembus tanah dipengaruhi oleh kondisi air tanah dan struktur tanah. Pada tanah yang jeluknya dalam dan berdrainase baik, akar tunggang kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0-1,5 m (Wahyudi, dkk, 2008).

  Kakao adalah tanaman dengan sebagian besar akar lateralnya (mendatar) berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada kedalaman tanah 0-30 cm.

  Jangkauan jelajah akar lateral dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk (Widya, 2008).

  Tanaman kakao yang berasal dari biji, setelah berumur sekitar satu tahun dan memiliki tinggi 0,9-1,5 m, pertumbuhan vertikalnya akan berhenti kemudian membentuk perempatan (jorket/jorquette). Tinggi rendah jorket tergantung pada kualitas bibit, kesuburan tanah, dan intensitas cahaya yang diterima. Jorket merupakan tempat perubahan pola percabangan, yakni dari tipe ortotrop ke plagiotrop (Wahyudi, dkk, 2008).

  Daun kakao berbentuk bulat memanjang, ujung daun meruncing, pangkal daun runcing dan berwarna hijau. Warna hijau daun disebabkan oleh kandungan kloroflas di dalam sel sel daun. Di dalam kloroflas terdapat klorofil. Secara morfologi, daun kakao memiliki bagian bagian helai daun dan tangkai daun. Pada tangkai daun terdapat bagian yang menempel pada batang yang disebut pangkal tangkai daun. Kakao hanya memiliki satu daun pada tangkainya, sehingga kakao sering disebut memiliki daun tunggal ( Widya, 2008 ).

  Tanaman kakao bersifat kauliflori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga (cushion). Bunga kakao disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun mahkota, 10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkar yang tersusun dari 5 tangkai sari tetapi hanya 1 tangkai sari yang fertil, dan 5 daun buah yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih, ungu atau kemerahan (Susanto, 1994).

  Buah kakao berupa buah buni yang daging bijinya sangat lunak. Kulit buah mempunyai 10 alur dan tebalnya 1-2 cm. pada waktu muda, biji menempel pada bagian dalam kulit buah, tetapi bila buah telah matang maka biji akan terlepas dari kulit buah. Buah yang semikian akan berbunyi bila digoncang (Siregar, dkk, 2008).

  Biji dibungkus oleh daging buah atau pulp yang berwarna putih dan rasanya manis. Pulp tersebut mengandung zat penghambat perkecambahan, namun karena biji kakao tidak memiliki masa dorman maka seringkali biji dalam buah pun dapat tumbuh bila terlambat dipanen. Biji kakao terdiri dari kulit biji atau testa, dua kotiledon yang saling melipat, dan embrio yang terdiri dari epikotil, hipokotil dan radikula (Susanto, 1994).

  Theobroma cacao dibagi kedalam dua subjenis yaitu T. cacao cacao dan T.cacao sphaerocarpum . Subjenis T.cacao sphaerocarpum anggotanya

  merupakan kakao lindak (bulk cocoa). Subjenis ini jauh lebih banyak diusahakan pekebun daripada subjenis T. cacao cacao. Bila dibandingkan dengan subjenis

  

T.cacao cacao , pertumbuhan tanamannya lebih gigas (vigorous), kuat, lebih tahan

hama dan penyakit, serta lazimnya menunjukkan produktivitas yang tinggi.

  Permukaan kulit buah relatif halus karena alur alurnya dangkal. Kulit buah ini tipis tetapi keras/liat. Bentuk biji anggota subjenis T.cacao sphaerocarpum adalah lonjong (oval), pipih dan kecil, serta kotiledon berwarna ungu gelap. Mutu biji beragam, tetapi lebih rendah daripada subjenis T.cacao cacao. Kelompok Forastero termasuk dalam subjenis ini (Wahyudi, dkk, 2008).

  Keunggulan kakao lindak antara lain : produksi tahun kelima dapat mencapai 1,5-3,0 ton/ha/tahun biji kering, mutu hasil sesuai dengan keinginan konsumen, berat biji kering kurang lebih 1,0 gram, kandungan lemak lebih dari 50% dan persentase kulit ari kurang lebih 12% , toleran terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora), penyakit antraknose (Colletotrichum), dan VSD (Oncobasidium theobromae), beradaptasi cukup luas terhadap ketinggian tempat dan dapat dibudidayakan dari 0-650 m dari permukaan laut (Susanto, 1994).

  Criollo termasuk kakao yang bermutu tinggi atau kakao mulia/edel cacao atau fine flavour cacao. Criollo memiliki cicri ciri sebagai berikut: (a) bentuk bijinya bulat, keping biji (kotiledon) putih, (b) daya hasil lebih rendah daripada jenis forastero, (c) pertumbuhan tanaman kurang kuat dan produksinya relatif rendah. Tunas-tunas muda umumnya berbulu, (d) relatif lebih gampang diserang hama dan penyakit, dan (e) masa berbuah lambat (Widya, 2008).

  Syarat Tumbuh Iklim

  Faktor suhu sangat berhubungan dengan tinggi tempat.Pada umumnya kakao diusahakan pada ketinggian kurang dari 300 m dpl. Suhu maksimal untuk kakao sekitar 30 C – 32

  C, sedangkan suhu minimum sekitar 18 C – 21

  C. bila suhu terlalu tinggi menyebabkan hilangnya dominansi apikal, dan tunas ketiak daun tumbuh menjadi daun kecil – kecil. Sedangkan suhu yang terlalu rendah menyebabkan daun seperti terbakar dan bunga mengering (Susanto, 1994).

  Tanaman kakao menghendaki lingkungan yang dengan kelembaban tinggi dan konstan, yakni diatas 80%. Nilai kelembapan ini merupakan mikroklimat hutan tropis yang dapat menjaga kestabilitas tanaman. Kelembapan tinggi bisa mengimbangi evapotranspirasi tanaman dan mengompensasi curah hujan yang rendah. (Wahyudi, dkk, 2008).

  Kakao tergolong sebagai tanaman C3 yang mampu berfotosintesis pada suhu daun rendah. Fotosintesis maksimun diperoleh pada saat penerimaan cahaya pada tajuk sebesar 20% dari pencahayaan penuh. Kejenuhan cahaya di dalam fotosintesis setiap daun kakao yang telah membuka sempurna berada pada kisaran 3-30 % dari cahaya matahari penuh atau pada 15 % dari cahaya matahari penuh. Hal itu berkaitan pula dengan pembukaan stomata yang menjadi lebih besar bila cahaya matahari yang diterima lebih banyak (Siregar, dkk, 2008).

  Sebagai tanaman C3, kakao memiliki laju fotorespirasi tinggi, yaitu 20- 50% dari hasil total fotosintesis. Fotorespirasi meningkat seiring dengan naiknya suhu udara. Di daerah tropis ideanya laju fotorespirasi mencapai 40%. Tidak seperti fotosintesis, fotorespirasi tidak menghsilkan energi energi yang bermanfaat bagi tanaman sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Oleh karena itu, upaya menekan laju fotorespirasi identik dengan upaya meningkatkan produktivitas, diantaranya dengan pemberian naungan. Di pihak ain 1 unit glukosa menghasilkan 0,85 unit selulosa atau 0,36 unit lipida (Wahyudi, dkk, 2008).

  Pada kondisi optimum, laju fotosintesis tanaman kakao mencapai 7,5 mg CO2 per dm2 luas daun atau ekuivalen dengan 60 mg per dm2 per hari dengan asumsi fotosintesis berlangsung dari pukul 08.00–16.00. Tanaman kakao memiliki kemampuan untuk menyerap CO2 sebesar 80.000 kg/ha/tahun dengan melepaskan CO2 sebesar 63.000 kg/ha/tahun sehingga serapan bersih tiap tahun mencapai 73.000 kg/ha/tahun untuk diubah menjadi karbohidrat. Dengan luas lahan kakao di Indonesia yang mencapai 1.563.423 ha akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan karbon di udara (Yuliasmara, Wibowo dan Prawoto, 2009).

  Curah hujan adalah faktor iklim terpenting dalam budidaya kakao. Tanaman kakao membutuhkan curah hujan yang sebaranya merata atau curah hujan tahunannya lebih besar dari evapotranspirasinya. Kisaran curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan tanaman kakao adalah 1500-2500 mm/tahun (Wahyudi, dkk, 2008).

  Tanah

  Tanaman kakao dapat tumbuh pada tanah yang memiliki kisaran pH 4,0 – 8,5. Namun pH yang ideal adalah 6,0 – 7,5 dimana unsur-unsur hara dalam tanah dapat tersedia bagi tanaman. pada pH yang tinggi misalnya lebih dari 8,0 kemungkinan tanaman akan kekurangan unsur hara dan akan keracunan Al, Mn dan Fe pada pH rendah, misalnya kurang dari 4,0 (Susanto, 1994).

  Tekstur tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30-40% fraksi liat, 50% pasir, dan 10-20% debu. Susunan demikian akan mempengaruhi ketersediaan air dan hara serta aerasi tanah. Struktur tanah yang remah dengan agregat yang mantap menciptakan gerakan air dan udara di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi akar (Siregar, dkk, 1997).

  Tanaman kakao dapat tumbuh dan berproduksi pada jenis tanah ultisol yang dikenal dengan solum tanahnya antara 1,3-5,0 m, tanah podsolik merah hingga kuning, teksturnya lempung berpasir sampai lempung liat, gembur, kandungan haranya rendah, tanah andosol dapat dikenal dengan solum tanah yang tebal antara 1-2 m, berwarna hitam kelabu sampai kakao tua (Widya, 2008).

  Media tanam

  Ada 4 fungsi media tanah yang harus mendukung pertumbuhan tanaman yang baik yaitu, sebagai tempat unsur hara, harus dapat memegang air yang tersedia bagi tanaman, dapat melakukan pertukaran udara antara atmosfer di atas media, dan terakhir harus dapat menyokong tanaman (Brady dan Weil, 2008).

  Lapisan tanah bawah (sub soil) akan muncul bila lapisan tanah atas (top soil) hilang. Secara kasar dapat dinyatakan bahwa subsoil ini tidak subur, selain karena bahan bahan organik dan sebagian zat mineral telah hilang, juga karena mikroflora dan mikrofauna tidak ada. Sebagian dari zat mineral yang tersisa hanyalah unsur unsur mineral tertentu yang belum bisa dimanfaatkan oleh tanaman dan ketersediaannya masih terikat oleh koloida-koloida pembentuk tanah (Kartasapoetra, 1988).

  Bahan organik merupakan sumber nitrogen yang utama di dalam tanah. Selain unsur nitrogen, bahan organik mengandung pula unsur-unsur lain terutama,

  C, P, S dan unsur-unsur mikro. Selain dari bahan organik, nitrogen dalam tanah juga berasal dari pengikatan oleh mikroorganisme dan nitrogen udara, antara lain: bersimbiosis dengan tanaman leguminosa, yaitu oleh bakteri bintil akar atau Rhizobium, dan bakteri yang hidup bebas (nonsimbiotik), yaitu: Azotobacter (aerobic) dan Clostridium (anaerobic), serta berasal dari pupuk, misalnya Urea, ZA dan lain-lain, dan juga hujan (Hardjowigeno, 2003).

  Menurut Soepardi (1983) dalam Jamilah (2003) menyatakan bahwa pupuk kandang merupakan campuran dari kotoran padat, kotoran cair, bahan amparan dan sisa makanan. Pemberian pupuk kandang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan ketersediaan hara. Di antara jenis pupuk kandang, pupuk kandang sapilah yang mempunyai kadar serat yang tinggi seperti selulosa, pupuk kandang sapi dapat memberikan beberapa manfaat yaitu menyediakan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman, menggemburkan tanah, memperbaiki tekstur dan struktur tanah, meningkatkan porositas, aerase dan komposisi mikroorganisme tanah, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, daya serap air yang lebih lama pada tanah.

  Adapun komposisi unsur hara yang terkandung dalam pupuk organik yang berasal dari kompos ternak sapi yaitu : N (0,7 – 1,3 %), P2O5 (1,5 – 2,0 %), K2O

  (0,5 – 0,8 %), C organik (10,0 – 11,0 %), MgO (0,5 – 0,7 %), dan C/N ratio (14,0 – 18,0) (BPTP, 2003).

  Dari hasil penelitian Banjarnahor (1998) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang berpengaruh sangat nyata terhadap C- tanah. Rataan total C- tanah menunjukkan bahwa semakin meningkatnya dosis perlakuan pupuk kandang yang diberikan akan semakin meningkatkan kandungan C tanah. Sedangkan penambahan bahan organik terhadap sifat biologi tanah akan meningkatkan aktifitas mikroorganisme, dalam menguraikan bahan organik juga meningkat, dengan demikian unsur hara yang terdapat dalam tanah menjadi tersedia bagi tanaman.

  Ultisol Tanah Ultisol memiliki ciri reaksi tanah sangat masam (pH 4,1-4,8).

  Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8-12 cm) umumnya rendah sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5-10). Kandungan P-potensial yang rendah dan K-potensial yang bervariasi sangat rendah sampai rendah, baik lapisan atas maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa tukar yang rendah, kandungan K- dd hanya berkisar 0-0,1 me/100g tanah di semua lapisan termasuk rendah, dapat disimpulkan potensi kesuburan alami tanah Ultisol sangat rendah sampai rendah (Subagyo, Nata dan Siswanto, 2000).

  Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik (Prasetyo, dan Suriadikarta, 2006).

  Tanah ini merupakan tanah yang mengalami pelapukan lanjut dan berasal dari bahan induk yang sangat masam. Mempunyai stabilitas tanah yang buruk sehingga peka terhadap erosi, permeabilitas lambat hingga sedang, mengalami pencucian liat yang tinggi, konsistensi teguh hingga gembur, semakin kebawah semakin pejal, agregat berselaput liat sering ada konkresi besi dan sedikit kwarsa, mempunyai suhu tanah yang cukup panas (lebih dari 80

  C) (Hardjowigeno, 1993).

  Pupuk NPK

  Pada masa vegetatif tanaman buah semusim sedang membentuk tubuhnya agar menjadi tanaman yang sehat dan kuat sehingga ia menyerap nutrien atau makanan sebanyak-banyaknya. Pertumbuhan ukuran lingkar batang, panjang dan jumlah tunas batang baru berlangsung dengan cepat. Dalam masa pertumbuhan tanaman buah, sepeti juga pada manusia dan hewan, membutuhkan protein untuk membangun tubuhnya. Protein dibentuk dari unsur nitrogen. Contoh pupuk yang banyak dibutuhkan untuk masa vegetatif adalah urea, NPK (15-15-15), pupuk kandang dan humus (Prihmantoro, 1997).

  Nitrogen diperlukan untuk prtumbuhan vegetatif (pertumbuhan daun dan batang), meningkatkan kadar protein tanaman, juga untuk berkembangnya mikroorganisme dalam tanah. Nitrogen diserap akar tanaman dalam bentuk nitrat atau amonium, yang berpengaruh mempercepat sintesis karbohidrat menjadi protein (Isnaini, 2006).

  Nitrogen adalah komponen utama dari berbagai substansi penting dalam tanaman. Sekira 40-50% kandungan protoplasma yang merupakan substansi hidup dari sel tumbuhan terdiri dari senyawa nitrogen. Senyawa nitrogen digunakan oleh tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah menjadi protein.

  Nitrogen juga dibutuhkan untuk membentuk senyawa penting seperti klorofil, asam nukleat, dan enzim. Karena itu, nitrogen dibutuhkan dalam jumlah relatif besar pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, khususnya pada tahap pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas, atau perkembangan batang dan daun. Memasuki tahap pertumbuhan generatif, kebutuhan nitrogen mulai berkurang. Tanpa suplai nitrogen yang cukup, pertumbuhan tanaman yang baik tidak akan terjadi (Novizan, 2002).

  Pemupukan Nitrogen akan menaikkan produksi tanaman, kadar protein, dan kadar selulosa, tetapi sering menurunkan kadar sukrosa, polifruktosa, dan pati. Hasil asimilasi CO

  2 diubah menjadi karbohidrat dan karbohidrat ini akan disimpan dalam jaringan tanaman apabila tanaman kekurangan unsur Nitrogen.

  Untuk pertumbuhan yang optimum selama fase vegetatif, pemupukan N harus diimbangi dengan pemupukan unsur lain. Pembentukan senyawa N organik tergantung pada imbangan imbangan ion lain, termasuk Mg untuk pembentukan klorofil dan ion fosfat untuk sintesis asam nukleat. Penyerapan N nitrat untuk

  • sintesis menjadi protein juga dipengaruhi oleh ketersediaan ion K (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Fosfor (P) penting untuk pertumbuhan akar, mempercepat pendewasaan tanaman, dan mempercepat pembentukan buah dan biji serta meningkatkan produksi. Sumber fosfat yang di dalam tanah sebagai fosfat mineral yaitu batu kapur fosfat, sisa-sisa tanaman dan bahan organik lainnya, pupuk buatan (double fosfat, super fosfat dan lainnya). Perubahan fosfor organik menjadi fosfor anorganik dilakukan oleh mikroorganisme (Isnaini, 2006).

  Di dalam metabolisme tanaman fosfor memegang peranan langsung sebagai pembawa energi. Fungsi ini dimungkinkan karena adanya beberapa ikatan yang melalui proses hidrolisis dapat menghasilkan energi. Senyawa fosfor yang mempunyai energi tinggi dan mempunyai potensi menyimpan dan melepaskan energi untuk proses proses metabolisme di dalam tanaman disebut Adenosin Tri Fosfat (ATP). Di dalam proses oksidasi terjadi pembebasan energi, dimana sebagian energi bebas berupa panas dan sebagian lagi ditangkap oleh molekul ADP yang kemudian menjadi ATP. Secara fisik ATP memegang peranan dalam hal mengahasilkan panas, cahaya dan gerak, secara kimia peranannya dapat dilihat dalam proses fotosintesis dan respirasi (Damanik, dkk, 2011).

  Fosfor terdapat pada seluruh sel hidup tanaman. Beberapa fungsi fosfor adalah membentuk asam nukleat, menyimpan serta memindahkan energi Adenosin Tri Phosphat dan Adenosin Di Phosphat, merangsang pembelahan sel, dan membantu proses asimilasi dan respirasi (Novizan, 2002).

  Kalium berperan meningkatkan resistensi terhadap penyakit tertentu dan meningkatkan pertumbuhan perakaran. Kalium cenderung menghalangi kerebahan tanaman dan melawan efek buruk akibat pemberian nitrogen yang berlebihan, dan berpengararuh mencegah kematangan yang dipercepat oleh hara fosfor. Secara umum kalium berfungsi menjaga keseimbangan, baik pada nitrogen maupun pada fosfor (Damanik, dkk, 2011).

  Kalium tergolong unsur yang mobil dalam tanaman baik dalam sel, dalam jaringan tanaman, maupun dalam xylem dan floem. Kalium banyak terdapat dalam sitoplasma; garam kalium berperanan dalam tekanan osmose sel. Dalam sitoplasma kisaran konsentrasi K relatif sempit, yaitu 100 – 120 mM dan dalam kloroplas lebih bervariasi, yaitu 20- 200 mM. Peranan K dalam mengatur turgor sel diduga berkaitan dengan konsentrasi K dalam vakuola (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

  Secara umum dapat disimpulkan bahwa kalium memegang peranan penting dalam peristiwa peristiwa fisiologis berikut : (1) metabolisme karbohidrat, pembentukan, pemecahan dan translokasi pati, translokasi (pemindahan) gula pada pembentukan pati dan protein (2) metabolisme protein dan sintesis protein, (3) mengawasi dan mengatur aktivitas berbagai unsur mineral, (4) mengaktifkan berbagai enzim, (5) mempercepat pertumbuhan jaringan meristematik, (6) mengatur membuka dan menutup stomata dan hal hal yang berkaitan dengan air (Damanik, dkk, 2011).

  Berdasarkan hasil analisis jaringan tanaman kakao pada beberapa tahap pertumbuhan, sekitar 200 kg N, 250 kg P, 300 kg K, dan 140 kg Ca per hektar dibutuhkan untuk membentuk kerangka dan kanopi kakao sebelum tanaman mulai berbuah. Rekomendasi dosis umum pemupukan tanaman kakao pada fase bibit (5- 6 bulan) adalah 2 gr/bibit N, 2 gr/bibit P2O5, 2 gr/bibit K2O dan 1 gr/bibit MgO (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2010).

  Pupuk Hayati

  Mikroba yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah dikenal sebagai pupuk hayati atau biofertilizer (pupuk mikroba= microbial fertilizer).

  Prinsip aplikasi pupuk hayati ialah menempatkan mikroba terpilih (inokulasi) pada biji (benih) atau perakaran (bibit) dalam jumlah banyak untuk menekan invasi mikroba pribumi (indigenous). Invasi dan kolonisasi awal dari mikroba yang berasal dari pupuk hayati (inokulan) akan meningkatkan daya saing mikroba tersebut terhadap mikroba pribumi, sehingga inokulan mempunyai kesempatan untuk membantu penyediaan hara dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Husen dan Saraswati, 2009).

  Pupuk hayati mempunyai perbedaan besar dibandingkan dengan pupuk kimia baik ditinjau dari respons terhadap tanaman maupun dampak lingkungan.

  Pupuk hayati tidak dengan segera memberika hara pada tanman sedangkan pupuk kimia dapat langsung menyediakan hara bagi tanaman. Respons tanaman terhadap pupuk hayati berlangsung lambat sedangkan respon tanaman terhadap pupuk kimia berlangsung cepat. Pupuk hayati tidak memberikan dampak yang berbahaya bagi lingkungan bila diberikan dalam jumlah banyak, sedangkan pupuk kimia dapat berbahaya bagi lingkungan apabila diberikan secara berlebihan (Damanik, dkk, 2011).

  Berbagai jenis pupuk hayati dengan beragam komposisi mikroba telah beredar di pasar. Mikroba perombak bahan organik telah tersedia secara komersial, seperti EM-4 dan M-Dec, demikian pula halnya pupuk mikroba penyubur tanah seperti BioNutrient, Emas, dan Biokom. Kemampuan mikroba yang terkandung pada pupuk hayati Biokom untuk menambat N, melarutkan P dan K tak tersedia menjadi tersedia, menghasilkan zat pemacu tumbuh, menghasilkan zat anti patogen dan mampu merombak bahan organik di dalam tanah sangat berperan dalam meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah dan meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk hayati Biokom mengandung mikroba

  7

  7 Azospirillum sp 7,0 x 10 cfu/ g, Azotobacter sp 5,0 x 10 cfu/ g, Rhizobium sp 2,6

  7

  6

  5

  x 10 cfu/ g, Bacillus sp 2,5 x 10 cfu/ g, dan Aspergillus niger 7,0 x 10 propagul/ g (Husen dan Saraswati, 2009).

  Mikroorganisme perombak bahan organik merupakan aktivator biologis yang tumbuh alami atau sengaja diberikan untuk mempercepat penomposan dan meningkatkan mutu kompos. Jumlah dan jenis mikroorganisme menentukan keberhasilan proses dekomposisi atau pengomposan. Mikroorganisme yang umum berasosiasi dalam tumpukan sampah ada yang berupa bakteri dan fungi. Dari golongan bakteri yakni Pseudomonas spp., Achromobacter spp., Bacillus spp.,

  Flavobacterium spp., Clostridium spp., Streptomyces spp . Dari golongan fungi

  yakni Alternaria Spp., Clasdosporium spp., Aspergillus spp., Penicillium spp.,

  Humicola spp. Kelompok cendawan menunjukkan aktivitas biodekomposisi

  paling nyata, yang dapat segera menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi senyawa organik sederhana yang berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan nutrien di sekitar tanaman (Simanungkalit, dkk, 2006).

  Kompleksitas mekanisme Rhizobakteria Pemacu Pertumbuhan Tanaman (RPPT) memacu pertumbuhan tanman banyak dilaporkan. Pada awalnya para ahli percaya bahwa peningkatan pertumbuhan tanaman yang diinokulasi dengan

  Azotobacter dan Azospirilium disebabkan semata mata oleh sumbangan nitrogen hasil penambatan N2. Namun kemudian diketahui bahwa ternyata ada faktor lain yang turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan tanaman yakni hormon AIA (asam indol asetat) yang dihasilkan bakteri tersebut (Simanungkalit, dkk, 2006).

  Salah satu mikroba yang dikenal mampu menambat N serta menghasilkan

  2

  substansi zat pemacu tumbuh AIA, sitokinin, dan giberelin sehingga dapat memacu pertumbuhan akar adalah Azotobacter sp. Kemampuan Azotobacter dalam menambat N2 dan menghasilkan zat pengatur tumbuh ini dapat memberikan keuntungan tersendiri. Keuntungan tersebut diantaranya adalah meningkatkan pertumbuhan akar tanaman dan produksi hasil (Xenia, 2010).