PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATENKOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH Abstract - 154 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN
DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH

Abstract
The implementation of regional autonomy to give authority to local
governments in managing of the local potentials to allocate revenues to fulfill
the public interest and enhance public welfare. The public welfare can be seen
from the increasing of Human Development Index of the region through the
allocation of capital expenditures.
The objective of the research is to recognize the effects of the Local Reneue
(PAD), the General Allocation Fund (DAU) and the Special Allocation Fund
(DAK) towards the Capital Expenditures and the Quality of Human
Development (which is measured by Human Development Index HDI). The
sampling method used in this research is purposive sampling method, with
total sample of 24 regencies/municipalities in Central Java. The data used is
the secondary data of the Regional Revenues and Expenditures Budget of
regional government of regencies/municipalities in Central Java, which
includes Local Reneue (PAD), General Allocation Fund (DAU), Special
Allocation Fund (DAK), Regional Expenditures Actual Report and Human
Development Index (HDI) in the fiscal years of 2010-2012.

The results of this research shows that the Local Revenue (PAD), the General
Allocation Fund (DAU) and Special Allocation Fund (DAK) have
simultaneously influence on the Human Development Index. Partially, only the
Local Revenue (PAD) has positively influences to Human Development Index.

Keywords: Capital Expenditures, General Allocation
Development Index, Local Revenue, Special Allocation Fund

Fund,

Human

I. PENDAHULUAN
Dalam publikasi UNDP (United Nations Development Programme) melalui Human
Development Report tahun 1996 tentang Konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM),
pembangunan manusia didefinisikan sebagai “a process of enlarging people’s choices”
atau suatu proses yang meningkatkan aspek kehidupan masyarakat. Aspek terpenting
kehidupan ini dilihat dari usia yang panjang dan hidup sehat, tingkat pendidikan yang
memadai serta standar hidup layak. Secara spesifik, UNDP menetapkan empat elemen
utama dalam pembangunan manusia, yaitu produktivitas (productivity), pemerataan

(equity), kesinambungan (sustainability) dan pemberdayaan (empowerment).
Pencapaian tujuan pembangunan manusia bukanlah hal yang baru bagi Indonesia
dan selalu ada penekanan pada pemenuhan tujuan tersebut, yaitu pemenuhan pendidikan
universal, peningkatan kesehatan serta pemberantasan kemiskinan. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Titik berat pembangunan nasional Indonesia sesungguhnya sudah menganut konsep IPM
yang dipublikasi oleh UNDP di atas, yakni konsep pembangunan manusia seutuhnya yang
menghendaki peningkatan kualitas hidup penduduk baik secara fisik, mental maupun
spiritual.
Untuk meningkatkan IPM semata-mata tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi
karena pertumbuhan ekonomi baru merupakan syarat perlu. Agar pertumbuhan ekonomi
sejalan dengan pembangunan manusia, maka pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan
syarat cukup, yaitu pemerataan pembangunan. Dengan adanya pemerataan pembangunan,
terdapat jaminan bahwa semua penduduk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan.
Berdasarkan pengalaman pembangunan di berbagai negara, diperoleh pembelajaran bahwa
untuk mempercepat pembangunan manusia dapat dilakukan antara lain melalui dua hal,
yaitu distribusi pendapatan yang merata dan alokasi belanja publik yang memadai
(Marhaeni, et al., 2008).
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan
penuh bagi masing-masing daerah, baik di tingkat provinsi, maupun di tingkat

kabupaten/kota untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dengan sedikit
mungkin intervensi pemerintah pusat. Kebijakan tersebut dikenal dengan nama Otonomi
Daerah. Dengan adanya desentralisasi atau otonomi daerah, diharapkan pembangunan
lebih berhasil sehingga salah satu indikator pembangunan, yaitu Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) dihipotesiskan akan meningkat pula (Rondinelli dan Cheema, 1983;

Davoodi dan Zou 1998; Syaukani dan Rasyid, 2001; Fisman dan Gatti, 2002; Devas dan
Grant 2003).
Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah
permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan
bahwa setiap kewenangan yang diberikan kepada daerah harus disertai dengan pembiayaan
yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan tersebut. Dengan kata lain, pemerintah
pusat berkewajiban untuk menjamin sumber keuangan atas pendelegasian tugas dan
wewenang dari pusat ke daerah. Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah
menerbitkan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana perimbangan yang dimaksud terdiri dari Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dana
perimbangan tersebut bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan
antardaerah (horizontal imbalance). Sumber pembiayaan lainnya adalah Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi, laba perusahaan/BUMD dan

lain-lain pendapatan daerah yang sah. Kuncoro (2007) juga menyebutkan bahwa PAD
hanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20%. Ini
menunjukkan bahwa kemandirian daerah belum sepenuhnya terlaksana.
Strategi dalam pengalokasian belanja daerah memainkan peranan yang tidak kalah
penting guna meningkatkan penerimaan daerah. Dalam upaya untuk meningkatkan
kontribusi publik terhadap penerimaan daerah, alokasi belanja modal sudah selayaknya
lebih ditingkatkan sehingga masyarakat juga menikmati manfaat dari pembangunan
daerah. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi
anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin (Abimanyu, 2005).
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi di Indonesia telah merasakan dampak dari
diberlakukannya kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), khususnya dalam menyusun
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses penyusunan APBD seringkali
bercampur dengan kepentingan politis yang menyebabkan belanja modal menjadi tidak
efektif. Alokasi belanja modal ini sebaiknya didasarkan pada kebutuhan daerah akan
sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun
untuk fasilitas publik (Darwanto dan Yustikasari, 2007 dalam Setyowati dan Suparwati,
2012).
Berbagai teori mengenai kemungkinan dampak desentralisasi terhadap IPM telah
dibahas oleh Scott (2006) dan Brassard (2008). Sementara itu, dari penelitian dalam negeri,
Brata (2005) menguji bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah daerah, khususnya


bidang pendidikan dan kesehatan, investasi swasta dan distribusi pendapatan proksi Indeks
Gini terhadap IPM dalam konteks regional (antarprovinsi) di Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa variabel pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan
memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan manusia, variabel investasi swasta
berpengaruh negatif terhadap IPM dan variabel Indeks Gini berpengaruh positif terhadap
IPM.
Christy dan Adi (2009) meneliti kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah (20042006) dengan hasil penelitiannya menyatakan bahwa DAU mempunyai pengaruh positif
terhadap belanja modal serta belanja modal berpengaruh signifikan terhadap kualitas
pembangunan manusia. Selanjutnya, Syahril (2011) melakukan penelitian dengan judul
“Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan
Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara”. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal secara simultan
berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Secara parsial,
Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Pembangunan
Manusia, sedangkan Belanja Modal tidak berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan
Manusia. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Lugastoro (2013) di Jawa Timur
menemukan bahwa rasio PAD dan DAK terhadap belanja modal berpengaruh positif
signifikan, sedangkan variabel DAU berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan

untuk menganalisis kebijakan pemerintah daerah dalam menggunakan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk
kepentingan belanja modal serta menganalisis dampak penggunaan belanja tersebut
terhadap peningkatan kualitas pembangunan manusia (yang dalam penelitian ini diukur
melalui IPM). Tujuan penelitian tersebut diharapkan dapat menjawab research question
berikut: “Apakah fenomena-fenomena desentralisasi di atas juga berlaku di Provinsi Jawa
Tengah?”.

II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
a.

Teori Keagenan (Agency Theory)
Menurut Jensen dan Meckling (1976), masalah keagenan dapat muncul karena

setiap individu diasumsikan akan mempunyai preferensi untuk memaksimalkan utilitas
pribadi yang kemungkinan besar berlawanan dengan kepentingan individu lain.
Permasalahan hubungan keagenan ini mengakibatkan terjadinya asimetri informasi
(information asymmetry) dan konflik kepentingan (conflict of interest). Menurut Scott
(2011), asimetri informasi dibedakan menjadi dua, yakni adverse selection dan moral
hazard. Adverse selection, yaitu jenis asimetri informasi di mana ada pihak yang terkait

dengan transaksi perusahaan yang memiliki manfaat informasi sedangkan pihak lain tidak
memiliki manfaati nformasi yang sama. Hal ini dapat dilakukan oleh manajer atau orang
dalam perusahaan dengan mengendalikan penyerahan informasi kepada investor sesuai
dengan kepentingannya. Untuk mengatasi permasalahan adverse selection, manajer harus
menyebarkan informasi dalam kepada pihak lain secara bersamaan dan merata. Sedangkan
moral hazard adalah jenis asimetri informasi di mana ada pihak yang terkait dengan
transaksi perusahaan yang dapat mengamati secara langsung berjalannya transaksi tersebut,
sedangkan pihak lain tidak dapat melakukan yang sama. Hal ini dapat terjadi karena
adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian terhadap perusahaan. Pemilik dan
kreditor tidak mungkin dapat secara langsung mengamati berjalannya transaksi
perusahaan. Ada dua cara untuk mengendalikan masalah moral hazard, yaitu: (1)
laba bersih dapat dijadikan sebagai dasar penentuan kompensasi manajer dan (2) laba
bersih dapat menggambarkan kondisi pasar sekuritas dan pasar tenaga kerja perusahaan
sehingga manajer yang lalai akan mengakibatkan laba bersih perusahaan menurun, reputasi
manajer yang jelek dan nilai pasar sekuritasnya menurun.
Asimetri informasi tersebut akan menyebabkan munculnya masalah fundamental
teori akuntansi keuangan, yaitu tentang bagaimana melakukan rekonsiliasi perbedaan
relevansi dan reliabilitas informasi akuntansi (Scott, 2011). Informasi yang relevan adalah
informasi yang membuat investor mampu untuk menilai prospek ekonomi masa depan
perusahaan. Sedangkan informasi yang reliabel adalah informasi yang bebas dari bias atau

manipulasi manajemen. Kedua hal tersebut di atas harus dapat direkonsiliasi.
Keterkaitan teori keagenan (agency theory) dalam penelitian ini dapat dilihat
melalui hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam penyaluran
dana perimbangan dan juga hubungan antara masyarakat yang diproksikan oleh DPRD
(prinsipal) dengan pemerintah daerah (agen). Pemerintah pusat mendelegasikan wewenang

kepada pemerintah daerah dalam mengelola rumah tangga daerahnya sendiri. Oleh karena
itu, sebagai konsekuensi dari pendelegasian wewenang tersebut, pemerintah pusat
menurunkan dana perimbangan yang tujuannya adalah membantu pemerintah daerah, baik
dalam mendanai kebutuhan pemerintahan sehari-hari maupun dalam memberi pelayanan
publik yang lebih baik kepada masyarakat. Selain itu, teori keagenan juga tersirat dalam
hubungan pemerintah daerah dengan masyarakat. Masyarakat sebagai prinsipal telah
memberikan sumber daya kepada daerah berupa pembayaran pajak daerah, retribusi dan
sebagainya untuk dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Pemerintah daerah selaku
agen dalam hal ini, sudah seharusnya memberikan timbal balik kepada masyarakat dalam
bentuk pelayanan publik yang memadai, yang didanai oleh pendapatan daerah itu sendiri.

b. Pendapatan Asli Daerah
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah
penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang

dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pendapatan asli daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh
karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang
diberikan oleh pendapatan asli daerah terhadap APBD, semakin besar kontribusi yang
dapat diberikan oleh pendapatan asli daerah terhadap APBD berarti semakin kecil
ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat. Dalam UU Nomor
33 Tahun 2004 Pasal 6, sumber-sumber PAD terdiri dari: (1) pajak daerah, (2) retribusi
daerah, (3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan (4) lain-lain PAD yang
sah.

c.

Dana Perimbangan
Berdasarkan UU Nomor 32 dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah, mengandung pengertian bahwa kepala daerah diberikan
kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri serta didukung dengan
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan
antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan
pengeluaran yang akan menjadi tanggungjawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber

penerimaan yang ada.

Menurut Permendagri No. 13 tahun 2006, dana perimbangan dibagi menjadi:
1) Dana Alokasi Umum
Menurut UU Nomor 33 tahun 2004, Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. DAU berperan dalam pemerataan horizontal (horizontal
equalization), yaitu dengan menutup celah fiskal (fiscal gap) yang berada diantara
kebutuhan fiskal dan potensi ekonomi yang dimiliki daerah. DAU sering disebut bantuan
tak bersyarat (unconditional grants) karena merupakan jenis transfer antartingkat
pemerintah yang tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu.

2) Dana Alokasi Khusus
Menurut UU Nomor 33 tahun 2004, Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana
yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan
khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional dengan tetap
memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN. DAK dapat juga disebut dana infrastuktur
karena merupakan belanja modal untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau perbaikan
sarana dan prasarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Namun dalam keadaan

tertentu, DAK dapat juga membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan sarana dan
prasarana tertentu untuk periode terbatas.

3) Dana Bagi Hasil
Menurut UU Nomor 33 tahun 2004, Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang
bersumber dari

pendapatan

APBN,

yang

dialokasikan

kepada

daerah

dengan

memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan utama dari
pemberian DBH adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal vertikal antara pemerintah
pusat dan daerah. Dana Bagi Hasil itu sendiri dapat bersumber dari pajak dan sumber daya
alam. Dana Bagi Hasil merupakan dana perimbangan yang bersifat block grants seperti
DAU sehingga pengelolaan maupun penggunaanya merupakan wewenang pemerintah
daerah. Khusus untuk DBH, istilah block grants sebenarnya kurang tepat karena ada
beberapa komponen DBH yang penggunaannya ditentukan oleh negara berdasarkan
peraturan terkait (earmarking). Komponen tersebut antara lain DBH Kehutanan yang
berasal dari Dana Reboisasi yang digunakan untuk RHL (rehabilitasi hutan dan lahan),

DBH Migas yang digunakan untuk tambahan anggaran pendidikan dasar dan DBH Cukai
yang digunakan untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan
lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan pemberantasan barang kena
cukai ilegal. Porsi yang tidak terlalu besar dan adanya earmarking dari ketiga komponen
DBH di atas membuat total DBH yang dapat digunakan secara fleksibel melalui output
belanja modal membuat DBH menjadi tidak signifikan dalam mempengaruhi IPM. Oleh
karena itu, dana perimbangan berupa DBH ini tidak dimasukkan sebagai variabel dalam
penelitian ini.

d. Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ini dibentuk berdasarkan empat indikator,
yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan
daya beli (Marhaeni, et al., 2008). Indikator angka harapan hidup merepresentasikan
dimensi umur panjang dan sehat. Selanjutnya, angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah mencerminkan output dari dimensi pengetahuan. Adapun indikator kemampuan
daya beli digunakan untuk mengukur dimensi hidup layak. IPM dinyatakan dalam skala 0
(tingkat pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat pembangunan
manusia yang tertinggi). Perlu dicatat bahwa IPM mengukur tingkat pembangunan
manusia secara relatif, bukan absolut.

e.

Pengembangan Hipotesis
Beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini seperti

penelitian yang dilakukan oleh Christy dan Adi (2009). Christy dan Adi meneliti
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah (2004-2006) dengan hasil penelitiannya
menyatakan bahwa DAU mempunyai pengaruh positif terhadap belanja modal serta
belanja modal berpengaruh signifikan terhadap kualitas pembangunan manusia.
Syahril (2011) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pendapatan Asli
Daerah dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota
di Provinsi Sumatera Utara”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Pendapatan Asli
Daerah dan Belanja Modal secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia. Secara parsial, Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh secara
signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan Belanja Modal tidak
berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

Penelitian yang dilakukan oleh Lugastoro (2013) di Jawa Timur menemukan bahwa
rasio PAD dan DAK terhadap belanja modal berpengaruh positif signifikan, sedangkan
variabel DAU berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, maka hipotesis
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
H 1 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan
Manusia.
H 2 : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan
Manusia.
H 3 : Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan
Manusia.
H 4 : Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

III. METODA PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah semua kabupaten dan kota di Provinsi Jawa
Tengah. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive sampling method
(Ghozali, 2012). Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Menerbitkan Laporan Realisasi Anggaran secara berturut-turut per 31 Desember dari
tahun 2010-2012.
2) Memiliki data IPM yang lengkap dan konsisten selama 2010-2012.
3) Memiliki data lengkap dan konsisten berupa PAD, DAU, DAK, Belanja Modal dan
IPM.

Sumber data penelitian ini adalah data sekunder. Penelitian ini menggunakan data
panel (gabungan data cross section dan time series). Data tersebut berupa softcopy Laporan
Realisasi Anggaran dan softcopy Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah diperoleh dari website resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
(www.djpk.kemenkeu. go.id) dan Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id). Dengan
mengacu pada kriteria penentuan sampel di atas, maka terpilihlah 24 kabupaten/kota dari
total 36 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
Metoda analisis data menggunakan multiple regression analysis yang merupakan
metoda regresi berganda linear, dengan model matematis sebagai berikut:
IPM it = β 1 + β 2 PAD it + β 2 DAU it + β 2 DAK it + ε
di mana:
IPM it
PAD it
DAU it
DAK it

= indeks pembangunan manusia
= rasio pendapatan asli daerah terhadap belanja modal (PAD/BM)
= rasio dana alokasi umum terhadap belanja modal (DAU/BM)
= rasio dana alokasi khusus terhadap belanja modal (DAK/BM)

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 18.
Pengujian yang dilakukan meliputi uji asumsi klasik (normalitas, multikolonieritas,
autokorelasi dan heteroskedastisitas), uji t dan uji F serta uji koefisien determinan (R2).

IV.
a.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Statistik Deskriptif Variabel
INSERT TABLE 1
Berdasarkan tabel di atas, variabel DAU mempunyai standar deviasi terbesar

(276,36825) dibandingkan dengan variabel-variabel yang lain. Standar deviasi merupakan
cerminan dari rata-rata penyimpangan data dari nilai mean.

b. Hasil Uji Asumsi Klasik
Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik yang
meliputi uji normalitas, autokorelasi, heterokedastisitas dan multikolinearitas dengan hasil
yang disajikan pada tabel berikut:
INSERT TABLE 2
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa pengujian normalitas dengan
Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data terdistribusi normal yang dibuktikan dengan nilai
signifikansi sebesar 0,517 (>0,05). Hasil pengujian autokorelasi menunjukkan nilai DW
(Durbin-Watson) yang dihasilkan adalah sebesar 1,734, sementara dengan jumlah N = 72
diperoleh nilai dU = 1,709 sehingga 4-dU = 2,291. Nilai DW sebesar 1,734 tersebut
terletak di antara nilai dU (1,709) dan 4-dU (2,291), yang merupakan daerah bebas
autokorelasi. Ini berarti data penelitian tidak mengandung gejala autokorelasi. Selanjutnya,
hasil pengujian multikolinieritas pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai tolerance
(0,660; 0,138; 0,161) untuk semua variabel lebih besar dari 0,1 dan begitu juga nilai VIF
(1,516; 7,253; 6,196) untuk semua variabel lebih kecil dari 10. Hal ini berarti model-model
regresi yang digunakan tidak terjadi gejala multikolinieritas. Dan terakhir, hasil pengujian
heterokedastisitas menunjukkan bahwa titik-titik pada grafik scatterplots terlihat menyebar
secara acak, baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala heteroskedastisitas pada model regresi.

c.

Hasil Uji Hipotesis
Hasil pengujian hipotesis penelitian ini secara ringkas disajikan sebagai berikut:
INSERT TABLE 3
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada tabel 3, PAD berpengaruh positif

signifikan terhadap IPM. Dengan demikian, H 0 ditolak dan H 1 diterima. Variabel PAD
atau rasio PAD/BM mempunyai koefisien positif sebesar 5,139, yang berarti setiap
kenaikan 1 unit rasio PAD/BM mampu menambah IPM sebesar 3,43.

Selanjutnya untuk variabel DAU atau rasio DAU/BM diperoleh hasil yang berbeda
dibandingkan variabel independen yang lain. Dari tabel 3 terlihat bahwa variabel DAU
merupakan satu-satunya variabel yang berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap IPM,
di mana nilai signifikansinya sebesar 0,981 (>0,05) dan nilai koefisien sebesar -0,24.
Dengan demikian, H 0 diterima dan H 2 ditolak. Hal ini berarti setiap kenaikan 1 unit rasio
DAU/BM tidak akan menyebabkan kenaikan/penurunan IPM. Karena variabel DAU tidak
signifikan, pembahasan yang lebih penting adalah mengetahui mengapa variabel DAU
tidak signifikan mempengaruhi IPM. DAU sebagian besar digunakan untuk belanja
pegawai, bukan belanja modal. Ini bisa dilihat dari formulasi DAU yang memasukkan
komponen alokasi dasar sebagai komponen utama yang mendominasi keseluruhan DAU
yang diterima oleh daerah. Alokasi dasar merupakan alokasi anggaran yang digunakan
untuk belanja pegawai.
Hasil pengujian berikutnya menunjukkan bahwa variabel DAK atau rasio DAK/BM
berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM. Nilai signifikansi yang didapat sebesar 0,013
(