BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kepatuhan Hukum Notaris/Ppat Di Kota Banda Aceh Terhadap Kewajiban Menyampaikan Spt Pph Pasal 21 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus

  dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu

  1 banyak memerhatikan masalah pembiayaan pembangunan.

  Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau Negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Salah satu tugas negara adalah melakukan pembangunan dengan tujuan akhir yaitu kesejahteraan rakyat yang merata. Tugas untuk melakukan pembangunan tersebut dapat terlaksana dengan adanya organisasi yang luas beserta segala cabang-cabang memungkinkan negara dapat menunaikan tugasnya itu dengan sempurna, di mana tentunya untuk hal itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber biaya untuk melaksanakan tugas negara tersebut berasal dari sektor pajak. Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara dipandang sangatlah perlu untuk terus ditingkatkan sehingga pembangunan dapat dilaksanakan dengan kemampuan

  2 sendiri berdasarkan prinsip kemandirian.

  1 Waluyo, Perpajakan Indonesia (Pembahasan Sesuai Dengan Ketentuan Perundang- undangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru), Jakarta, Edisi 6 Buku I, Salemba Empat, 2006, hal. 2. 2 Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Derah di Indonesia, Jakarta, Yellow Printing, 2007, hal.1.

  1 Setiap Negara yang melakukan pemungutan pajak dari rakyatnya pasti mempunyai tujuan, yaitu untuk menjalankan pemerintahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat. Seperti halnya dengan Negara Republik Indonesia, tujuan melakukan pemungutan pajak adalah untuk menjalankan pemerintahan dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut berpartisipasi menertibkan dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk itu Negara memerlukan dana dari rakyat, salah

  3 satu diantaranya adalah berupa uang pembayaran pajak dari rakyat.

  Pelaksanaan pemungutan pajak diharapkan dapat mencerminkan keadilan, dengan besarnya pajak yang dibebankan sesuai dengan objek pajak yang dimiliki rakyat. Sedangkan besarnya objek pajak dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, pelaksanaan pemungutan pajak juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, termasuk di dalamnya

  4 ekonomi rakyat secara individu.

  Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang sangat penting, di samping minyak dan gas bumi. Hal ini dapat dilihat dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bahwa setiap tahun pajak merupakan sumber penghasilan

  5 yang besar bagi pemerintah.

  Kontribusi pajak dalam APBN dari tahun ke tahun terus meningkat jumlahnya. Kenyataan ini membuktikan bahwa wujud partisipasi masyarakat 3 Boediono, Perpajakan Indonesia (Teori Perpajakan Kebijaksanaan Perpajakan Pajak

  Luar Negeri), Jakarta, Diadit Media, 2001, hal. 51 4 5 Ibid.

  Amin Widjaja Tunggal, Pelaksanaan Pajak Penghasilan Perseorangan, Jakarta, Rineka Cipta, 1995, hal. 1 wajib pajak nampak nyata dalam pembangunan. Wujud partisipasi ini harus dibarengi pula dengan jaminan akan hak-hak wajib pajak sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perpajakan. Hak dan kewajiban wajib pajak harus

  6 seimbang sehingga dapat diwujudkan dalam kenyataan.

  Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan Negara guna pembiayaan Negara baik bagi kegiatan rutin maupun kegiatan pembangunan di dalam APBN.

  Bahkan pajak sudah merupakan sumber pembiayaan utama, sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan. Kegiatan rutin dimaksud adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintah sehari-hari, sedangkan kegiatan pembangunan adalah kegiatan melakukan perbaikan dan pembaharuan baik fisik maupun mental serta mencerdaskan bangsa.

  Dasar hukum secara konstitusional dari sistem pemungutan pajak di Indonesia diletakkan dalam pasal 23 UUD 1945 Republik Indonesia yang berbunyi Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang. Jadi setiap pajak yang dipungut pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang.

  Rachmat Soemitro mengatakan, sebagaimana telah dikutip oleh Waluyo, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar

  7

  pengeluaran umum. Jadi, pemungutan pajak sendiri merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-

  6 7 H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 109 Waluyo, Op. Cit., hal. 3.

  sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

  S.R, Soemarso mengatakan, sebagaimana telah dikutip oleh Bastari dalam disertasinya, Pajak digolongkan menurut sifat dan cirinya. Menurut sifatnya pajak dapat dibedakan menjadi pajak atas pendapatan dan kekayaan, pajak atas kebendaan dan pajak atas pemakaian. Menurut cirinya pajak dibedakan menjadi pajak subjektif dan pajak objektif, pajak langsung dan pajak tidak langsung, pajak

  8 pusat dan pajak daerah.

  Salah satu pengenaan pajak yang diterapkan di Indonesia adalah Pajak Penghasilan. Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau Badan Hukum lainnya. Dilihat berdasarkan cirinya, pajak penghasilan ini termasuk dalam pajak subjektif dengan pengertian bahwa pemungutan pajak penghasilan ini berdasarkan pada keadaan subjek pajaknya.

  Jadi, besarnya pajak dipengaruhi oleh besarnya penghasilan yang diterima oleh subjek pajak.

  Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, menjelaskan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan yang disingkat dengan PPh terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima

  9

  atau diperolehnya dalam tahun pajak . Subjek pajak tersebut dikenai pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak 8 Bastari, Analisis Pengaruh Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak Terhadap

  Penerimaan Pemerintah Dan Perekonomian Daerah Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kota Medan, Disertasi Perencanaan Wilayah S3, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hal. 12. 9 Soemarso S.R, Perpajakan Pendekatan Komprehensif, Jakarta, Salemba Empat, 2007, hal.170 apabila kewajiban pajaknya tersebut dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Tahun pajak dapat berupa tahun kalender atau tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 bulan.

  Ada beberapa objek Pajak Penghasilan yang dikenakan pajak melalui pemotongan, bila dilihat dari cara pengenaannya. Salah satu jenis pajak tersebut adalah Pajak Penghasilan Pasal 21.

  Pengertian Pajak Penghasilan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh

  10 orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.

  Subjek Pajak dalam negeri pada Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pegawai tetap, penerima pensiun, penerima honorarium, dan penerima upah.

  Secara umum objek dari Pajak Penghasilan adalah penghasilan. Sedangkan secara

  11

  spesifik objek dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 antara lain adalah :

  1. Penghasilan yang diterima secara teratur berupa gaji, upah, uang pensiun bulanan, dan honorarium dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.

  2. Penghasilan yang diterima secara tidak teratur berupa jasa produksi, bonus dan tunjangan hari raya dan penghasilan tidak tetap lainnya.

  10 Didik Budi Waluyo, Petunjuk Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26, Jakarta, DBW Tax Center/PT Warta Mitra Mandiri, 2009, hal.1 11 Gunadi, Ketentuan Perhitungan Dan Pelunasan Pajak Penghasilan (berdasarkan atas

  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), Jakarta, Salemba Empat, 2002, hal.57

  Pemungutan pajak penghasilan yang dilakukan berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah menggunakan sistem pemotongan (with holding system).

  PPh Pasal 21 secara jelas menyebutkan perihal adanya pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang dilakukan oleh pemberi kerja. Jadi pasal tersebut memberikan wewenang pada pihak ketiga, baik bendaharawan, orang pribadi maupun badan sebagai pemberi kerja atau penyelenggara kegiatan untuk melakukan perhitungan pajak ,yang terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, melakukan pemotongan atasnya, menyetorkannya, dan melaporkannya pada waktu yang telah ditentukan.

  Pemotongan atas PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh pihak-pihak sebagai pemotong tersebut terutang pada setiap akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, pihak yang wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 adalah pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan.

  Maksud dari pegawai disini adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau tetap pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun secara tidak tertulis, untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan memperoleh imbalan berdasarkan ketentuan yang telah dibuat oleh pemberi kerja.

  Salah satu yang termasuk dalam kategori pemberi kerja tersebut diatas adalah Notaris/PPAT. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan

  12

  kepada pejabat atau orang lain. Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

  13 tanah atau hak milik atas rumah susun.

  Setiap Notaris/PPAT biasanya mempunyai satu atau beberapa pegawai yang membantu pekerjaan Notaris/PPAT dalam rangka kelancaran pekerjaannya tersebut dengan memperoleh gaji setiap bulannya. Besarnya penghasilan telah ditetapkan oleh Notaris/PPAT sebagai pemberi kerja dan telah disepakati bersama. Selain menjalankan fungsinya sebagai pejabat umum, Notaris/PPAT sebagai pemberi kerja juga ditunjuk sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh pegawainya tersebut.

  Notaris/PPAT sebagai pemotong PPh Pasal 21 mempunyai hak dan kewajiban. Hak-hak Notaris/PPAT sebagai pemotong adalah mengkompensasikan kelebihan penyetoran, dalam hal terdapat kelebihan setoran PPh Pasal 21 dalam satu bulan dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam satu 12 13 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga, 1992, hal. 31 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

  Tanah, PP No. 37 tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN 3746 Pasal 1 angka 1

14 Sedangkan kewajiban-kewajiban Notaris/PPAT sebagai pemotong

  tahun pajak.

  pajak antara lain :

  15

  1. Notaris/PPAT wajib menghitung, memotong dan menyetorkan PPh Pasal 21 yang terutang pada setiap bulan selambat-lambatnya pada tanggal 10 setiap bulannya.

  2. Notaris/PPAT juga wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 walaupun nihil.

  3. Notaris/PPAT wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak diminta saat melakukan pemotongan pajak atas penghasilan karyawannya.

  4. Membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 untuk masing- masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  Penghitungan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan oleh Notaris/PPAT sebagai pemberi kerja yang membayarkan penghasilan tersebut memerlukan kepatuhan perpajakan dari Notaris/PPAT yang merupakan salah satu pemotong pajak. Kepatuhan pajak merupakan pelaksanaan atas kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan sukarela dan bukan kepatuhan yang dipaksakan.

16 Secara umum, tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh di

  Indonesia masih rendah. SPT Tahunan PPh Badan yang disampaikan hingga

  14 Didik Budi Waluyo, Op.Cit., hal.16 15 Ibid, hal. 16 16 Chaizi Nasucha, Reformasi Administrasi Publik, Jakarta, Grasindo, 2004, hal. 131 Oktober 2011 baru mencapai 4 % (empat persen).17 Gambaran ini mencerminkan rendahnya tingkat kepatuhan penyampaian SPT secara umum, termasuk tingkat kepatuhan SPT Masa PPh Pasal 21.

  Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap bulan kalender tetap berlaku, meskipun jumlah pajak penghasilan yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.

  Terkait dengan masalah pelaporan, Notaris/PPAT wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 terdaftar

  18

  setelah masa pajak berakhir. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat

  19 pemberitahuan untuk suatu masa pajak.

  Batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 paling lama adalah 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Apabila tanggal batas waktu pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

  Adakalanya Notaris/PPAT sebagai pemotong PPh Pasal 21 melaporkan Surat Pemberitahuan Masa terlambat dari jangka waktu yang ditentukan. SPT Masa PPh Pasal 21 yang disampaikan setelah jangka waktu yang ditetapkan

17 Pernyataan dari Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi Informasi Direktorat Jenderal Pajak, Harian Analisa tanggal 1 Oktober 2011.

  18 19 Didik Budi Waluyo, Op.Cit, hal. 24 Billy Ivan Tansuria, Pokok-Pokok Ketentuan Umum Perpajakan,Yogyakarta, Graha Ilmu, , 2010, hal.xx dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah).

  Kenyataan yang banyak dijumpai di lapangan, pegawai kantor Notaris/PPAT yang memenuhi kewajiban pajak subjektif namun bukan kewajiban pajak objektif tidak dapat dikatakan sebagai wajib pajak, sehingga tidak dapat dilakukan pemotongan PPh

  Pasal 21 karena kewajiban sebagai wajib pajak objektif baru dapat dianggap bila penghasilannya sudah memenuhi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Dari fenomena inilah akan terlihat bagaimana tingkat kepatuhan hukum Notaris/PPAT dalam melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan pemotongan pajak atas penghasilan pegawainya walaupun pemotongannya nihil.

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, disusunlah tesis ini dengan bertitik tolak pembahasan pada kepatuhan hukum. Oleh karena itu, maka dilakukan penelitian dengan judul “Kepatuhan Hukum Notaris/PPAT Di Kota Banda Aceh Terhadap Kewajiban Menyampaikan SPT PPh Pasal 21 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan”.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti adalah :

  1. Bagaimana tingkat kepatuhan notaris/PPAT di kota Banda Aceh dalam menyampaikan SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008?

  2. Apakah faktor-faktor penyebab kepatuhan atau ketidakpatuhan notaris/PPAT dalam penyampaian SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008?

  3. Bagaimana akibat hukum bagi notaris/PPAT yang tidak mematuhi kewajiban dalam penyampaian SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang 36 Tahun 2008?

  C. Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui sejauh mana kepatuhan Notaris/PPAT di kota Banda Aceh dalam menyampaikan SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang 21 Nomor 36 Tahun 2008.

  2. Untuk mengetahui apa penyebab kepatuhan atau ketidakpatuhan Notaris/PPAT dalam penyampaian SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008.

  3. Untuk mengetahui akibat hukum bagi Notaris/PPAT yang tidak mematuhi kewajiban dalam penyampaian SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang- Undang Nomor 36 tahun 2008 .

  D. Manfaat Penelitian

  Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

  1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan konsep hukum di bidang perpajakan (hukum pajak) pada khususnya, terutama mengenai masalah PPh Pasal 21.

  2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengambil kebijakan di bidang perpajakan dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

  Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Kepatuhan Hukum Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh Terhadap Kewajiban Menyampaikan SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 berdasarkan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan” belum pernah dilakukan. Memang ada ditemukan penelitian sebelumnya tentang Pajak Penghasilan Pasal 21, namun permasalahan dan bidang kajiannya sangat berbeda, yaitu : Tesis atas nama Devi Meliza, Mahasiswa Magister Kenotariatan, program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara 2008, dengan judul “Analisis Yuridis Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Honorarium Yang Diterima Notaris/PPAT (Studi Penelitian di Kota Medan). Permasalahan yang diteliti adalah :

  1. Bagaimanakah sistem pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap honorarium Notaris/PPAT?

  2. Bagaimanakah sistem pelaporan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium Notaris/PPAT?

  3. Apakah pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium yang diterima oleh Notaris/PPAT telah memenuhi prinsip keadilan?

  Kesimpulan dari penelitian diatas adalah :

  1. Sistem pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap honorarium Notaris/PPAT dilakukan dengan asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Selain juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi. Sedangkan dalam pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dianut sistem self assessment.

  2. Sistem pelaporan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium Notaris/PPAT berbeda-beda, ada yang dilakukan saat pembayaran penghasilan dan ada juga dilakukan pada akhir bulan dilakukan pembayaran penghasilan.

  3. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium yang diterima oleh Notaris/PPAT telah memenuhi prinsip keadilan. Hal ini tercermin dari diterapkannya prinsip ability to pay dalam menentukan Pajak Penghasilan.

  Penerapan prinsip ability to pay dalam pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap Notaris, berhubungan dengan penggunaan taris progresif dalam menentukan Pajak Penghasilan terutang.

  Dari penelusuran kepustakaan atas penelitian yang pernah dilakukan tersebut diatas, maka penelitian yang dilakukan ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Seiring dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, peraturan hukum juga mengalami perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.

  Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research menjelaskan bahwa suatu teori adalah seperangkap konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variable dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala

  20 tersebut.

  Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan

  21 atau pegangan teoritis dalam penelitian.

  Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,

  22

  aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta

  23 yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 20 Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2004, Hal. 14 21 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Cetakan I, Mandar Maju, 1994, hal. 80. 22 23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986, hal. 6 M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta, UI Press, 1996 , Hal. 203

  Setiap penelitian yang dilakukan harus disertai dengan pemikiran- pemikiran teoritis. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa

  24

  gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan

  25 masalah tersebut.

  Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani

  26

  permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta

  27 menjelaskan gejala yang diamati.

  Kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat di atas adalah bahwa yang namanya teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari

  28 rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.

  Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan- penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu 24 25 Ibid, hal.122

  Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta, Andi, 2006, hal. 6. 26 Bintoro Tjokroamidjojo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta, CV. Haji Mas Agung, 1998, hal. 12 27 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 35 28 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hal. 134. penjelasan yang bersifat rasional serta harus sesuai dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya. Teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai ”pisau analisis” pembahasan tentang

  29 peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.

  Satjipto Raharjo mengemukakan pendapatnya bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya.

  Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya

  30 kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.

  Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan

  31

  umum) mempunyai sifat sebagai berikut :

  a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat- alatnya.

  b. Sifat Undang- Undang yang berlaku bagi siapa saja.

  Pembahasan mengenai kepatuhan hukum Notaris/PPAT terhadap Kewajiban Menyampaikan SPT PPh Pasal 21 Berdasarkan Undang-Undang 29 30 Ibid, Hal. 127 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke V, 2000, hlm.

  53 31 Ibid.

  Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, maka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori ketaatan hukum. Menurut H.C. Kelman, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ali, bahwa ketaatan hukum dapat

  32

  dibedakan kualitasnya dalam tiga jenis yaitu:

  a. Compliance Yaitu jika seseorang menaati suatu peraturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini karena ia membutuhkan pengawasan yang terus menerus.

  b. Identification Yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.

  c. Internalization Yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.

  Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh H.C. Kelman pada kenyataannya seseorang dapat menaati suatu aturan hukum hanya karena ketaatan salah satu jenis saja, misalnya hanya taat kepada compliance, dan bukan karena

  identification ataupun karena internalization. Tetapi juga dapat terjadi, seseorang

  menaati suatu aturan hukum berdasarkan dua jenis atau malah tiga jenis ketaatan sekaligus. Selain karena aturan hukum tersebut memang cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya, juga sekaligus ia dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan baiknya dengan pihak lain.

  Suatu aturan hukum atau perundang-undangan dianggap tidak efektif

  33

  berlakunya pada saat :

  a. Jika sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya ;

  b. Jika ketaatan sebagian besar warga masyarakat hanya ketaatan yang bersifat ‘compliance’ atau ‘identification’. Dengan kata lain, walaupun sebagian besar warga masyarakat terlihat menaati aturan hukum atau perundang-undangan, 32 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

  prudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009, hal.347-348. 33 Ibid.

  namun ukuran atau kualias efektivitas aturan perundang-undangan itu masih dapat dipertanyakan.

  Dengan mengetahui adanya tiga jenis ketaatan tersebut, maka tidak dapat sekedar menggunakan ukuran ditaatinya suatu aturan hukum atau perundang- undangan sebagai bukti efektifnya ukuran tersebut, tetapi paling tidak juga harus ada perbedaan kualitas efektivitasnya. Semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan hanya dengan ketaatan yang bersifat ‘compliance’ atau ‘identification’ saja, berarti kualitas efektifitasnya masih rendah, sebaliknya semakin banyak yang ketaatannya bersifat ‘internalization’, maka semakin tinggi kualitas efektifitas aturan hukum atau perundang-undangan itu.

  Terlepas dari adanya sanksi, pada umumnya orang menaati hukum yang ada. Menurut Utrecht, orang menaati hukum karena : a. Karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum.

  b. Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap peraturan sebagai peraturan hukum secara rasional (rationeele aanvaarding).

  Agar tidak mendapatkan kesukaran-kesukaran orang memilih untuk taat saja pada hukum, karena melanggar hukum mendapatkan sanksi.

  c. Karena masyarakat menghendakinya.

  d. Karena adanya paksaan atau sanksi sosial. Orang merasa malu atau khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila melanggar sesuatu kaidah

  34 sosial/hukum.

  Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang sangat penting, disamping minyak dan gas bumi. Hal ini dapat dilihat dari APBN bahwa setiap tahun pajak merupakan sumber penghasilan yang besar bagi pemerintah.

34 Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Ichtiar Baru, 1983, hal. 23-

  24

  Pemerintah dalam pemungutan pajak adalah berdasarkan keadilan dan kepastian

  35 hukum bagi para pembayar pajak.

  Pajak yang telah diatur dalam APBN, pada dasarnya digunakan untuk membiayai pembangunan negara baik bagi kegiatan rutin maupun kegiatan pembangunan. Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma hukum. Pajak ditetapkan oleh pemerintah, dapat dipaksakan tapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung.

  Undang-Undang pajak sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan ekonomi.

  Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan tersebut, bahkan pajak dalam suatu pemerintahan dianggap sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Jika tidak ada pemasukan dari sisi

  36

  pajak maka tidak ada kegiatan pemerintahan. Adapun definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan

  37

  untuk membayar pengeluaran umum. Sehingga hukum pajak merupakan suatu aturan yang ditetapkan oleh pemerintah guna mencukupi pengeluaran dalam anggaran belanja negara.

  MJH. Smeets seperti dikutip oleh Waluyo mengatakan, Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum yang dapat 35 36 Amin Widjaja Tunggal, Op.cit, hal. 1 37 Boediono. Ekonomi Makro, Yogyakarta, BPFE,Cetakan ke-20, 2001, hal.110 Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta, ANDI, Edisi Revisi XII, 2004, hal.1

  dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal

  38 yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

  Salah satu dari defenisi di atas menggunakan kata “iuran”. Ada juga yang menggunakan kalimat “prestasi” kepada pemerintah (MJH Smeets). Kalimat “dapat dipaksakan” terdapat pada hampir semua defenisi. Kalimat ini mengandung arti bahwa bila utang pajak tidak dibayar, ia dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, misalnya dengan surat paksa, sita, penyanderaan. Agar pengunaan istilah paksaan dapat dihindarkan, Dr. Soeparman Soemahamidjaja menggunakan kalimat “iuran wajib” untuk mendefenisikan pajak. Dengan kata

  39 “wajib” unsur kesadaran masyarakat ikut diperhatikan.

  Ada beberapa unsur yang dapat diperoleh dari beberapa defenisi pajak

  40

  tersebut adalah:

  1. A compulsory, merupakan suatu kewajiban yang dikenakan pada rakyat yang dikenakan kewajiban perpajakan. Jika tidak melaksanakan kewajibannya tersebut, maka dapat dikenakan tindakan hukum berdasarkan undang-undang. Dapat dikatakan bahwa kewajiban ini dapat dipaksakan oleh pemerintah.

  2. Contribution, diartikan sebagai iuran yang diberikan oleh rakyat yang memenuhi kewajiban perpajakan kepada pemerintah dalam satuan moneter.

  3. By individual or organizational, iuran yang dapat dipaksakan tersebut dibayar oleh perorangan atau badan yang memenuhi kewajiban perpajakan.

  4. Received by the government, iuran yang diberikan tersebut dibayarkan kepada pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan suatu Negara.

  5. For public purpose, iuran yang diberikan dari rakyat yang dapat dipaksakan yang merupakan penerimaan bagi pemerintah dijadikan sebagai dana untuk pemenuhan tujuan kesejahteraan rakyat banyak.

  Diketahui dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri atau unsur pokok yang terdapat pada

  41

  pengertian pajak, yaitu: 38 39 Waluyo, Op. Cit., hal. 2 40 Soemarso S.R, Op.Cit., hal. 2 Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan Konsep, Teori, dan Isu, Jakarta,

  Kencana, 2006, hal. 23

  1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang Merupakan hal yang sangat mendasar, dalam pemungutan pajak harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya yang memikul beban pajak adalah rakyat, masalah tax base dan tax rate harus melalui persetujuan rakyat yang diwakili oleh lembaga perwakilan rakyat.

  Hasil persetujuan tersebut dituangkan dalam suatu undang-undang yang harus dipatuhi oleh setiap pihak yang dikenakan kewajiban perpajakan.

  2. Pajak dapat dipaksakan Jika tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan maka wajib pajak dapat dikenakan tindakan hukum oleh Pemerintah berdasarkan undang-undang.

  Fiskus selaku pemungut pajak dapat memaksakan wajib pajak untuk mematuhi dan melaksanakan kewajiban perpajakannya. Tindakan hukum atas pelanggaran peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi administrasi maupun sanksi pidana fiskal (UU Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan). Sanksi administrasi merupakan sanksi yang ditujukan bagi wajib pajak yang terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)

42 Masa maupun Tahunan.

  3. Diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah Pemerintah dalam menjalankan fungsinya, seperti melaksanakan ketertiban, mengusahakan kesejahteraan, melaksanakan fungsi pertahanan, dan fungsi penegakan keadilan, membutuhkan dana untuk pembiayaannya. Dana yang diperoleh dari rakyat dalam bentuk pajak digunakan untuk memenuhi biaya atas fungsi-fungsi yang harus dilakukan pemerintah tersebut.

  4. Tidak dapat ditunjukkannya kontraprestasi secara lansung Wajib pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung dengan apa yang telah dibayarkannya pada pemerintah. Pemerintah tidak memberikan nilai atau penghargaan atau keuntungan kepada wajib pajak secara langsung. Apa yang

  41 42 Ibid SPT-Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. SPT Tahunan juga dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu SPT Tahunan untuk Wajib Pajak Perseorangan dan Wajib Pajak Badan.

  telah dibayarkan oleh wajib pajak kepada pemerintah digunakan untuk keperluan umum pemerintah.

  5. Berfungsi sebagai budgeter dan regulerend Fungsi budgetair (anggaran), pajak berfungsi mengisi kas Negara atau anggaran pendapatan Negara, yang digunakan untuk keperluan pembiayaan umum pemerintah baik rutin maupun untuk pembangunan. Fungsi regulerend adalah pajak berfungsi sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan yang ditetapkan Negara dalam bidang ekonomi sosial untuk mencapai tujuan tertentu.

  Terdapat 2 (dua) macam keadilan dalam perpajakan yaitu keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal menyangkut cakupan pengertian penghasilan, sedangkan keadilan vertikal berkenaan dengan struktur tarif pajak. Dengan demikian tidak ada lagi perbedaan perlakuan antara wajib

  43 pajak, artinya terkait dengan setiap orang mendapat perlakuan yang adil.

  Pajak penghasilan merupakan suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan Negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus

  44 dilaksanakan.

  Pajak atas penghasilan umumnya dipakai sebagai instrument redistribusi dan pemerataan penghasilan nasional. Salah satu indikasi daya bayar itu adalah penghasilan. Selain itu, dalam kebijakan pajak atas penghasilan melekat isu keadilan (equity) dan kewajaran (fairness). Keadilan sering diidentifikasikan dengan keadaan sama rata (horizontal equity) dan sama rasa (vertical equity). 43 44 Bastari, Intisari Perkuliahan, Pengantar Pajak Achmad Tjahjono, Perpajakan Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2001, hal.

  41

  Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Pajak Penghasilan, Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Atas ketentuan tersebut, setiap orang pribadi sebagai subjek pajak mempunyai kemungkinan (potensi) diwajibkan membayar pajak. Dipenuhinya syarat sebagai subjek pajak merupakan kewajiban pajak subjektif, sedangkan dalam hal seseorang sudah menerima atau memperoleh penghasilan pada suatu tahun pajak, berarti dipenuhinya kewajiban pajak objektif.

2. Konsepsi

  Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkominikasikannya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi

  45 menuntun peneliti sendiri di dalam menangani proses penelitian bersangkutan.

  Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

  46

  digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.

  45 Sanapiah Faisal, Format-Format penelitian Sosial, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 107-108 46 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hal.

  3

  Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan kepada proses penelitian ini. Suatu Kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-

  47 hubungan dalam fakta tersebut.

  Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum, diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan,

  48 analisa dan konstruksi data.

  Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini.

  Dipandang perlu untuk mendefenisikan beberapa konsep penelitian untuk menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik, yaitu: 47 48 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 132

  Ibid., hal. 137

  1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk kepentingan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.

  3. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

  4. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perUndang-Undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

  5. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah/hak milik atas satuan rumah susun dalam rangka melaksanakan tugas pokok.

  6. Kepatuhan adalah mengikuti suatu spesifikasi, standar atau hukum yang telah diatur dengan jelas yang biasanya diterbitkan oleh lembaga atau organisasi yang berwenang dalam suatu bidang tertentu.

  7. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.

  8. Pemotong Pajak adalah wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi.

  9. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu.

  10. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Dokumen yang terkait

Kepatuhan Hukum Notaris/Ppat Di Kota Banda Aceh Terhadap Kewajiban Menyampaikan Spt Pph Pasal 21 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

2 71 132

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) - Optimalisasi Penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai

0 0 9

BAB I I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Direksi Di Industri Keuangan Bank Oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Sebagai Upaya Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Tindak Pidana Merek Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Atas Lambang Palang Merah Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Mere

0 2 30

BAB II KEPATUHAN NOTARISPPAT BANDA ACEH TERHADAP KEWAJIBAN MEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 TERHADAP KARYAWAN A. Pajak Penghasilan dan PPh Pasal 21 - Kepatuhan Hukum Notaris/Ppat Di Kota Banda Aceh Terhadap Kewajiban Menyampaikan Spt Pph Pasal 21

0 1 44