BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Tindak Pidana Merek Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merek merupakan tanda yang dapat berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,

   daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

  Pengertian merek tersebut merupakan pengertian merek yang dimaksud secara yuridis dalam Pasal 1 angka 1 UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek (disingkat UU Merek).

  Merek telah lama dikenal manusia sejak zaman purba yang masih diartikan

  

  berupa tanda-tanda sederhana untuk dapat membedakan kepemilikan. Merek saat ini digunakan sebagai tanda pembeda antara produk yang dihasilkan oleh seseorang atau badan hukum dengan produk yang dihasilkan oleh pihak lain dengan cara didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI) yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dirjen HKI yang dimaksud khusus membidangi urusan Merek.

  Pentingnya merek sebagai tanda kepemilikan atas barang dan atau jasa dalam lalu lintas perdagangan dan lebih penting dari itu terutama di bidang industri dan

  

  perdagangan baik nasional maupun internasional. Dengan didaftarkannya suatu 1 2 Pasal 1 angka 1 UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.

  Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap persaingan Curang , (Bandung: Alumni, 2009), hal. 1. 3 Dwi Rezki Sri Astarini, Penghapusan Merek Terdaftar, (Bandung: Alumni, 2009), hal. 1.

  merek pada lembaga pendaftaran merek yang berwenang, maka pemilik merek telah memperoleh perlindungan hukum secara yuridis atas merek barang dan atau jasa yang dmilikinya.

  Persepsi terhadap merek merupakan gengsi bagi kalangan tertentu dan sudah menjadi gaya hidup. Menggunakan merek barang-barang terkenal merupakan produk asli yang sulit didapat dan dijangkau oleh kebanyakan konsumen. Gengsi seseorang terletak pada barang dan jasa yang digunakannya dengan alasan yang sering muncul kerana kualitas, bonafiditas, atau investasi sehingga merek sudah menjadi gaya hidup. Merek juga dapat membuat seseorang menjadi percaya diri atau bahkan menentukan kelas sosialnya.

  Pentingnya untuk melindungi kepemilikan atas merek karena merek barang dan atau jasa tertentu dalam era perdagangan bebas saat ini dapat menembus lintas

  

  batas antara negara. Dengan terbukanya era perdagangan bebas dewasa ini membuat merek tertentu beredar di mana-mana bahkan dapat menjangkau seluruh pelosok penjuru dunia khususnya untuk merek terkenal.

  Para konsumen umumnya membeli produk tertentu (yang terlihat dari mereknya) karena menurut para konsumen tersebut merek yang demikian memiliki kualitas tinggi untuk dikonsumsi dikarenakan reputasi dari merek tersebut. Jika sebuah perusahaan menggunakan merek perusahaan lain, maka para konsumen 4 Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam rangka WTO, TRIPs) , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 5-6. mungkin merasa tertipu karena telah membeli produk dengan kualitasnya yang

   rendah.

  Publik cenderung mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek tertentu di mana merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial, dan karena adanya merek tersebut, dapat membuat harga- merek perusahaan lainnya.

  Didaftarkannya suatu merek secara yuridis pemilik merek memperoleh perlindungan hukum atas merek yang didaftarkan tersebut. Perlindungan hukum dimaksud meletakkan hak kepemilikan sah kepada pihak yang mendaftarkan merek pada Dirjen HKI Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini berarti negara memberikan hak eksklusif kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek (DUM) untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut

   atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

  Dalam perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights

  

  (TRIPs) yang ditandatangani Indonesia sekalipun hak atas merek terdaftar memiliki 5 Eddy Damian, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), (Bandung: Alumni, 2003), hal.

  131. 6 Pasal 3 UU Merek, menentukan “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu

dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya”. 7 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam ekonomi, (Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia, 2008), hal. 113. Pasal 7 TRIPs disebutkan tujuan dari perlindungan dan

penegakan HKI untuk mendorong timbulnya inovasi, pengalihan, penyebaran teknologi, dan

diperolehnya manfaat bersama antara penghasil dan penggunaan pengetahuan teknologi, menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban. hak eksklusif untuk melarang pihak ketiga tanpa seizin dan sepengetahuan pemilik merek terdaftar tersebut untuk memakai merek yang sama untuk barang dan atau jasa

   yang telah didaftarkan terlebih dahulu.

  Namun perlu diketahui bahwa perlindungan hukum terhadap merek terdaftar tersebut bukan merupakan jaminan bahwa pihak lain tidak akan melakukan tindakan jika terdapat cukup alasan-alasan, pendaftaran merek di Dirjen HKI dapat dihapus atau dibatalkan karena alasan-alasan tertentu.

  Tindakan pemalsuan atas merek jelas dapat mengurangi pemasukan bagi pemilik merek terdaftar karena volume penjualan menurun atau bilamana penjualan barang yang diproduksi si pemalsu merek tidak memadai, sehingga pada akhirrnya nama baik merek itu akan tercemar. Begitu juga bagi konsumen akan kehilangan

   jaminan (kepercayaan atau reputasi) atas kualitas barang yang dibelinya.

  Perbuatan pihak lain (pihak ketiga) yang menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, menurut Pasal 94 ayat (2) UU Merek adalah perbuatan yang dilarang dan termasuk jenis pelanggaran. UU Merek hanya mengenal jenis perbuatan pelanggaran di bidang merek tetapi tidak mengenal kejahatan di bidang merek.

  8 Sudargo Gautama, Hak Merek Dagang Menurut Perjanjian TRIPs-GATT dan Undang- Undang Merek RI , (Bandung: Citra Aditya Bakti: 1994), hal. 19. 9 O.C. Kaligis, Teori & Praktik Hukum Merek Indonesia, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 19.

  Bahkan dalam Pasal 95 UU Merek dengan jelas ditentukan bahwa “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan”. Konsekuensi dari delik aduan berarti dalam perkara- perkara merek khususnya menyangkut tindak pidana pemalsuan merek sifatnya hanya menunggu adanya aduan dari pihak yang dirugikan. Dengan kata lain jika tidak ada dapat saja mengabaikan atau membiarkan pelaku bebas tanpa diproses secara hukum.

  Sehubungan dengan ketentuan pidana sebagaimana yang ditentukan dalam

  Pasal 95 UU Merek yang menentukan, “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan”, maka terhadap beberapa Putusan Mahkamah Agung berikut ini terdapat penegakan hukum merek yang dinilai kurang memberikan perlindungan hukum terhadap pihak pemilik merek terdaftar karena mesti ada aduan dari pihak pemilik yang dirugikan. Beberapa kasus tindak pidana merek tersebut adalah sebagai berikut: 1.

  Kasus Tindak Pidana Memperdagangkan Suku Cadang Mobil Merek Daihatsu (Putusan MA Tahun 2006) Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengeluarkan Putusan Nomor

  1198/Pid.B/2004/PN.JKT.BAR, tanggal 28 Desember 2004 atas nama terdakwa Oyong Liza Huslin alias Oyong diputus karena memperdagangkan barang yaitu berupa suku cadang (spare part) motor/mobil merek Daihatsu, melanggar Pasal 91

10 UU Merek. Kemudian terdakwa Oyong Liza Huslin mengajukan banding ke

  Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 133/PID/2005/PT.DKI tanggal 14 September 2005 menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1198/Pid.B/2004/PN.JKT.BAR.

  Kemudian terdakwa Oyong Liza Huslin mengajukan kasasi ke Mahkamah JKT.BAR, dan No. 133/PID/2005/PT.DKI, yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 27 Januari 2006. Pada tanggal 25 April 2007 Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Nomor 873 K/Pid/2006 yang memutuskan terdakwa Oyong Liza Huslin alias Oyong telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “memperdagangkan suatu barang yang diketahui atau patut diketahui merupakan hasil pelanggaran atas merek dagang”.

  Mahkamah Agung menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan menetapkan bahwa hukuman tersebut tidak perlu dijalani, kecuali dikemudian hari ada perintah lain dengan 10 Terdakwa Oyong Liza Huslin alias Oyong diketahui telah memperdagangkan barang pada

  hari Kamis tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Toko Kimberly Motor yang terletak di Duta Mas Blok

E.III No. 44 Jakarta Barat. Padahal merek Daihatsu sudah terdaftar di Direktorat Merek Ditjen HAKI

Dep.Keh dan HAM RI: a.

  Atas nama Daihatsu Motor Co.Ltd berkedudukan di 1-1 Daihatsu Cho, Ikeda, Osaka, Japan, Nomor: 495197, tertanggal 5 Desember 2001, kelas 12 dan jenis barang mobil-mobil dan alat bagiannya.

  b.

  Atas nama Daihatsu Motor Co.Ltd berkedudukan di 1-1 Daihatsu Cho, Ikeda, Osaka, Japan, Nomor: 410851, tertanggal 10 Maret 1998, kelas 7 dan jenis bagian untuk motor dan mesin kendaraan darat.

  c.

  Atas nama Daihatsu Motor Co.Ltd berkedudukan di 1-1 Daihatsu Cho, Ikeda, Osaka, Japan, Nomor: 410852, tertanggal 10 Maret 1998 kelas 7 dan jenis barang bagian-bagian untuk motor dan mesin kendaraan darat. keputusan hakim, oleh kerena terpidana sebelum lewat masa percobaan 1 (satu) tahun telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum.

2. Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Lem CASTOL (Putusan MA Tahun

  2007) Terdakwa memalsukan merek lem CASTOL padahal berdasarkan data yang merek CASTOL telah terdaftar pada Daftar Umum Merek dengan Nomor 524734 tanggal 3 Desember 2002 dan Daftar Nomor 524738 tanggal 3 Desember 2002 atas nama Rachmat Basuki yang beralamat Jl. Dr. Sutomo No. 58 Surabaya.

  Terdakwa Tarmono bin Brojo Utomo bersama-sama dengan Mingsan pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi, pada bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Oktober 2005 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2005 di Gudang 22 D Jl. Husen Sastranegara Kelurahan Jurumudi Kecamatan Benda Kota Tangerang yang termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Tangerang, melakukan tindka pidana pemalsuan dengan merk terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan.

  Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 514/Pid.B/2006/PN.TNG, tanggal 9 Agustus 2006 memutuskan terdakwa Tarmono bin Brojo Utomo terbukti dengan sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana “pemalsuan merk terdaftar yang dilakukan secara bersama-sama”. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) yang apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Dalam putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 67/PID/2006/PT.BTN, tanggal 16 Oktober 2006 atas permintaan banding yang diajukan oleh Penuntut Umum dan Terdakwa, membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 514/Pid.B/2006/PN.TNG, tanggal 9 Agustus 2006 tersebut. Pada tanggal 29 Oktober membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 67/PID/2006/PT.BTN, tanggal 16 Oktober 2006 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 514/Pid.B/2006/PN.TNG, tanggal 09 Agustus 2006.

3. Memperdagangkan Merek Penyedap Rasa (Vitsin) Milik PT. Sasa Inti

  (Putusan MA Tahun 2008) Terdakwa Pengkuh Mintardja Sentosa alias Mensen pada bulan Juni 2005 dengan sengaja tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan.

  PT. Sasa Inti telah melaporkan tentang adanya pemalsuan merek Sasa pada tanggal 14 September 2005 kepada pihak Kepolisian. Pihak Kepolisian melakukan razia atas penyedap rasa Sasa dengan menyita berupa 21 (dua puluh satu) pcs penyedap rasa Sasa disita dari Toko Didin dan 4 (empat) pcs penyedap rasa Sasa disita dari Toko Nur Hidayat yang masing-masing semuanya didistribusikan oleh Terdakwa dan berasal dari terdakwa.

  Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1167/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel., tanggal 4 Oktober 2006 menyatakan terdakwa Pengkuh Mintardja Sentosa alias Mensen, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana memperdagangkan barang yang diketahui hasil pelanggaran

  Pasal 90, 91 dan 92 UU Merek dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 321/PID/2007/PT.DKI tanggal 17 Desember 2007 yang menerima permintaan banding yang diajukan oleh Penuntut Umum dan Terdakwa, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1167/Pid.B/2006/ PN.Jak.Sel. tanggal 4 Oktober 2006. Kemudian pihak terdakwa mengajukan kasasi yang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 941 K/PID.SUS/2008 memutuskan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa Pengkuh Mintardja Sentosa alias Mensen tersebut.

4. Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Pisau Serut (Putusan MA Tahun

  2008) Terdakwa Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang, selaku pimpinan CV. Kurnia

  Abadi pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak PT. Inax Internasional Corporation untuk barang dan atau jasa sejenis yang di produksi dan atau di perdagangkan yaitu barang berupa pasah kayu/pisau serut.

  Sertifikat yang dimiliki terdakwa adalah sertifikat merek cap Kelinci untuk barang pasah kayu dengan Nomor pendaftaran 472118 tanggal pendaftaran 5 April

  2001. Sedangkan merek Rabbit Brand, merek Kelinci, Plene Irone telah terdaftar dengan Nomor Sertifikat Merek No.IDM 0000 15532 untuk jenis barang pisau serut yang dipasarkan oleh PT. Inax Internasional Corporation yang dilindungi oleh Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Depkeh HAM.

  Merek cap Kelinci milik terdakwa tidak memiliki tulisan ”Rabbit Brand” pada Internasional Corporation. Terdakwa merubah tulisan sendiri dengan menambahkan tulisan ”Rabbit Brand: ke cap Kelinci tersebut dan terdakwa tidak memberitahukan kepada Direktorat Merek Departemen Kehakiman dan HAM RI Dirjen HKI.

  Dalam kasus ini Pengadilan Negeri Semarang Nomor 557/Pid/B/2007/PN.SMG., pada tanggal 19 Nopember 2007 menyatakan dalam putusannya, terdakwa Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan pada dakwaan primair dan subsidair. Para pihak tidak menempuh banding tetapi langsung melakukan upaya kasasi yang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 501 K/Pid.Sus/2008 mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sermarang dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 557/Pid/B/2007/PN.SMG.tanggal 19 Nopember 2007.

  Mahkamah Agung menyatakan terdakwa Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan merek denagn menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang tersebut pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.

5. Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Busi NGK di Pengadilan Negeri

  Medan Dalam Putusan Nomor 378/Pid.B/2010/PN.Mdn, tuntutan Jaksa Penuntut terpadu” yang dibuktikan JPU adalah membandingkan Merek Busi NGK yang asli dengan Merek Busi NGK (aquo) yang dipalsukan terdakwa. Merek busi NGK yang asli menurut kesaksian dari pihak JPU berdasarkan desain tutup kepala besi terbuat dari berbagai jenis, ring atau gasket yang tidak dapat dilepas, di metal sel terdapat kode produksi yang menunjukkan tanggal, bulan dan tahun produksi, cetakan dikeramik dicetak rapi dan simetris, warna tulisan hitam untuk yang standar sedangkan warna tulisan biru untuk resistor (NGK R), ujung besi tempat terminal Nut merekat sangat kuat.

  Sedangkan Merek busi NGK yang dijadikan sebagai barang bukti dalam persidangan (aquo) memiliki ”desain industri dan tata letak sirkuit terpadu” dengan menggunakan tutup kepala besi yang terbuat dari plastik, ring atau gasket dapat dilepas, di metal sel tidak terdapat kode yang menunjukkan tanggal, bulan dan tahun produksi. Sehingga dengan mendasarkan ”desain industri dan tata letak sirkuit terpadu” membedakan Merek busi NGK yang asli dan Merek busi NGK yang diperkarakan tersebut semakin memberatkan terdakwa.

  Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 378/Pid.B/2010/PN.Mdn memutuskan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 94 UU Merek. Jika diperhatikan dalam UU Merek sama sekali istilah ”desain industri dan tata letak sirkuit terpadu” tidak dapat ditemukan melainkan ketentuan itu dapat ditemukan di dalam UU No.31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (UUDI) dan UU No.32 Tahun 2000 tentang Desain Tata

  JPU mendalilkan pembuktian dalam dakwaannya berdasarkan Pasal 94 UU Merek sementara JPU juga mendalilkan dengan keterangan ahli yang dihadirkannya dengan mendasarkan pada ”desain industri dan tata letak sirkuit terpadu”. Seharusnya jika JPU mendalilkan dakwaannya berdasarkan ”desain industri dan tata letak sirkuit terpadu” maka semestinya pasal yang dikenakan kepada terdakwa juga termasuk ketentuan sebagaimana yang diatur dalam UUDI dan UUDLST bukan hanya bersandar pada UU Merek saja.

  Selanjutnya aspek hukum yang menarik dalam Putusan Nomor 378/Pid.B/2010/PN.Mdn adalah terkait dengan pembuktian unsur perbuatan melawan hukum tindak pidana di bidang merek. Pada faktanya terdakwa sama sekali tidak memiliki unsur niat (mens rea) untuk memalsukan Merek busi NGK melainkan terdakwa sama sekali tidak mengetahui bahwa Merek tersebut adalah palsu yang diperolehnya dari salah seorang sales yang ia tidak ketahui identitasnya.

  Selanjutnya adalah masalah yang terkait dengan kewenangan yurisdiksi mengadili dalam perkara pemalsuan Merek Busi NGK (aquo) di Pengadilan Negeri Medan. Di mana pengadilan berpendapat bahwa pada umumnya saksi-saksi dalam perkara ini berada di luar yurisdiksi PN Medan bahkan locus delicti perkara juga berada di luar PN Medan yakni di Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Pasal 84 ayat (2) KUHAP membenarkan untuk diadili oleh Pengadilan Negeri di tempat kediaman sebahagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat, namun yang menjadi persoalan di sini adalah Pengadilan Negeri yang mengadili adalah PN Medan tetapi hanya 1 (satu)

  Berdasarkan beberapa contoh kasus tindak pidana merek sebagaimana di atas, setelah berlakunya UU Merek tampak penegakan hukum terhadap merek kurang memberikan perlindungan hukum terhadap pihak pemilik merek terdaftar terlebih dahulu. Sebab dalam Pasal 95 UU Merek menentukan, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan delik aduan.

  EY Kanter dan SR Sianturi menegaskan, pelaku dari delik aduan hanya dapat dituntut karena adanya aduan. Berbeda dengan delik biasa seperti contoh dalam delik tindak pidana pencurian atau delik jabatan dan lain-lain. Dalam delik biasa pelakunya dituntut oleh petugas tanpa harus menunggu aduan dari pihak tertentu dengan perkataan lain tidak perlu ada aduan langsung aparat Kepolisian melakukan

   penyelidikan dan penyidikan.

  Persoalan selanjutnya adalah bahwa delik aduan sering diselesaikan secara ”nepung tawari” atau ”berdamai” di luar daripada proses hukum pidana. Padahal pada 11 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 241. prinsipnya unsur pidana khususnya kejahatan tidak dibenarkan dapat dilakukan secara damai walaupun pihak pelaku telah meminta maaf atau telah membayar ganti rugi namun unsur pidana tetap dijalankan sebab dalam hal ini ada pihak lain yang

   dirugikan di sini yaitu Negara.

  Pengaturan delik aduan demikian dalam UU Merek sebenarnya dapat telah ada namun proses hukum tidak akan berjalan jika pihak yang dirugikan tersebut tidak mengadukan perbuatan pelanggaran tersebut kepada aparat Kepolisian. Sepanjang tidak ada yang dirugikan dalam hal ini, maka pihak aparat tidak dapat disalahkan jika tidak menjalankan tugasnya.

  Berdasarkan beberapa Putusan Mahkamah Agung di atas terdapat penegakan hukum merek yang dinilai kurang memberikan perlindungan hukum terhadap pihak pemilik merek terdaftar karena mesti ada aduan dari pihak pemilik yang dirugikan. Di samping itu penjatuhan sanksi sebagaimana yang diancamkan bagi pelaku sesuai dengan UU Merek kurang memberikan efek jera dan perlindungan terhadap merek terdaftar sebab sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92,

  Pasal 93, dan Pasal 94 UU Merek paling maksiamal hanya 5 (lima) tahun penjara. Tentu dengan sanksi demikian delik ini termasuk dalam kategori tindak pidana pelanggaran bukan tindak pidana kejahatan sebagaimana yang dianut dalam KUH Pidana (menganut pelanggaran < 5 tahun dan kejahatan > 5 tahun). 12 Ibid.

  Hukum merek di Indonesia kurang berpihak kepada pelaku-pelaku bisnis khususnya pelaku usaha yang memiliki merek terdaftar di Direktorat Merek Dirjen HKI Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keadilan akan pemberian perlindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar masih terasa jauh dari yang diharapkan di negara hukum seperti di Indonesia saat ini. delik tindak pidana pemalsuan merek dan persoalan-persoalan penegakan hukum terhadap tindak pidana merek pada kasus-kasus di atas, maka dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang, ”Sistim Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Merek Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek” sebagai judul dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah

  Permasalahan yang yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini dirumuskan sebagaimana berikut:

  1. Bagaimanakah karakteristik tindak pidana pemalsuan merek yang terjadi pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek?

  2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan merek pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek?

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap kedua permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami karakteristik tindak pidana pemalsuan merek yang terjadi pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.

  Untuk mengetahui dan memahami penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan merek pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.

  D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini memberikan beberapa manfaat yang berguna baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis antara lain:

  1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat pihak akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bagi masyarakat umum khususnya pelaku bisnis yang memiliki merek barang dan/atau jasa yang dimilikinya.

  2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat lembaga-lembaga aparatur penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Advokat/Pengacara, dan Lembaga Pemasyarakatan serta bermanfaat bagi lembaga Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

  E. Keaslian Penelitian

  Penelitian ini memiliki keaslian dan tidak dilakukan plagiat dari hasil karya penelitian pihak lain. Sebab sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan ataupun ceking judul dan permasalahan dari tesis-tesis yang ada baik di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran di situs-situs resmi perguruan tinggi lainnya melalui internet dan diperoleh: 1.

  Penetapan Sementara Pengadilan Dalam Rangka Penegakan Hukum Merek di penelitian ini masalah penetapan sementara pengadilan.

2. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Pelanggaran Hak Merek

  Sebagai Kejahatan di Bidang Ekonomi, oleh Budiman Bostang Panjaitan, NIM: 097005106. Fokus kajian dalam penelitian ini masalah kebijakan hukum pidana (criminal policy) untuk menanggulangi kejahatan di bidang merek. Berdasarkan permasalahan kedua penelitain di atas bahwa tidak memiliki kesamaan terhadap judul dan permasalahan dengan penelitian ini. Oleh sebab itu, penelitian ini baru pertama kali dilakukan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi antara lain kejujuran, rasional, objektif, terbuka, serta sesuai dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

  Sebagai grand theory dalam penelitian ini digunakan adalah teori negara hukum (rechstaat). Dalam teori negara hukum, negara melindungi hak asasi warga negaranya sebagaimana negara hukum diakui dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang dalam konstitusi UUD 1945 ini mengandung asas persamaan di hadapan hukum bagi setiap warga negara Indonesia untuk diakui hak-hak di hadapan hukum.

  Hak asasi manusia setiap orang dilindungi yang dalam konsep negara hukum (rechstaat) menjamin segala hak warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan

  

  hukum dan pemerintahan sekaligus menjadi salah satu ciri negara hukum. Ciri

  

  negara hukum antara lain: a.

  Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan.

  b.

  Adanya jaminan terhadap HAM warga negara.

  c.

  Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.

  d.

  Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.

  Sebagai midle theory dalam penelitian ini digunakan adalah teori sistem hukum (legal system theory) yang memandang hukum tersusun atas tiga komponen 13 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di

  

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya (amandemen kedua). 14 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 29.

  

  yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Ketiga komponen ini akan menentukan berjalannya suatu hukum dalam masyarakat. Jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan terganggunya rangkaian dalam sistem.

  Ketiga elemen ini sekaligus sebagai faktor penentu penegakan hukum yang penegakan hukum yang diharapkan. Lawrence M. Friedman memandang ketiganya sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak, menekankannya pada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum

   itu sendiri, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku.

  Struktur hukum terdiri dari lembaga-lembaga dalam proses penegakan hukum. Ruang lingkup struktur hukum (penegak hukum) sangat luas, mencakup mereka yang secara langsung atau tidak langsung turut bertanggung jawab dalam penegakan hukum. Namun dalam arti sempit, penegak hukum mencakup mereka yang bertugas di lembaga Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat, atau Lembaga

17 Kemasyarakatan.

  Substansi hukum menyangkut produk hukum yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, produk yang dikeluarkan, aturan-aturan baru yang disusun. Dalam hal ini undang-undang mempunyai peranan yang penting dalam 15 16 Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9. 17 Lawrence M. Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Loc. cit.

  Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) , (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204. mengarahkan masyarakat menuju ketertiban, kedamaian, dan keadilan. Sedangkan budaya hukum merupakan bagian dari kekuatan-kekuatan sosial yang memberi

  

  Budaya hukum sebagai perwujudan dari pemikiran masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai dengan perubahan sikap, pandangan, nilai yang dihayati dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang

   terjadi didalamnya.

  Struktur yang ketiga ini mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Nilai-nilai ini merupakan konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga diikuti dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Nilai-nilai ini lazimnya merupakan pasangan nilai yang mencerminkan dua keadaan yang ekstrim yang harus diserasikan.

  Nilai-nilai budaya masyarakat berkaitan erat dengan hukum karena hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Wujud yang lebih kongkrit dari nilai itu adalah dalam bentuk norma. Dari norma-norma yang ada, maka norma hukum adalah norma yang paling kuat

   karena dapat dipastikan pelaksanaanya oleh aparat penegak hukum. 18 Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975), hal. 6. 19 Lawrence. M. Friedmen, American Law, (New York: W.W. Norton and Company, 1984), hal. 7. 20 Lili Rasjidi dan Ira Rasjid, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 80. Berfungsinya hukum dalam praktik sehari-hari dapat dirasakan jika ketiga elemen Sistem Peradilan Pidana (SPP) di atas berfungsi dengan baik dan menjunjung tinggi norma hukum sebagaimana norma yang memperlakukan orang sama di setiap proses hukum acara pidana. Pentingnya norma persamaan di hadapan hukum dalam kerangka SPP yaitu prosedur pembuktian perbuatan pidana. Menurut Soeharto, saling tumpang tindih jika aparatur penegak hukum menerapkan asas persamaan di

  

hadapan hukum dengan sungguh-sungguh.

  Oleh sebab itu, sebagai aplied theory digunakan sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah teori pembuktian. Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu (communis opinio). Hakim harus mengkonstatir peristiwa dan mengkualifisirnya sehingga tujuan pembuktian adalah apa yang disebutkan dalam putusan hakim yang

  

  didasarkan atas pembuktian tersebut. Tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu

  21 H. Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistim Peradilan Pidana Indonesia , (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 12. 22 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberti, 1988), hal.

  105. benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya hubungan

   antara para pihak.

  Jenis-jenis pembuktian dalam teori pembuktian hukum pidana diuraikan berikut ini. Teori pembuktian yang semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim (conviction in time). Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya

   Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.

  Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati

   dalam sistem pembuktian ini.

  Teori pembuktian dengan keyakinan hakim dibatasi (conviction raisonee). Jenis pembuktian ini di mana keyakinan hakim dibatasi artinya peran keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Alasan-alasan tersebut harus logis dan benar-

  23 A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 140. 24 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali , Edisi Kedia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hal. 277. 25 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 260. benar dapat diterima akal, tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa

   uraian alasan yang masuk akal.

  Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (formele

  bewijstheorie ). Jenis pembuktian ini secara positif harus ditentukan dalam undang-

  undang yang ada atau pembuktian alat-alat bukti harus didasarkan pada ketentuan bukti yang disebutkan di dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

  Jenis pembuktian ini sangat bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time). Keyakinan hakim dalam formele

  

bewijstheorie tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa,

  melainkan berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang.

  Penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang dengan asas legalitas di Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, bahwa seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti

   berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

  Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk

  

stelsel ). Jenis pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan

26 27 M. Yahya Harahap, Loc. cit.

  Ibid, hal. 278. kombinasi antara jenis pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Jenis pembuktian menurut undang- undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem.

  Dikatakan seimbang karena menggabungkan secara terpadu jenis pembuktian Dari hasil penggabungan keduanya yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu jenis pembuktian baru yaitu pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang memandang salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-

   undang.

  Hukum acara pidana Indonesia menganut teori pembuktian menurut undang- undang secara positif (formele bewijstheorie). Hal ini tampak dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang menentukan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas jelas diketahui bahwa ketentuan tersebut mengandung dua unsur penting yakni: sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan hakim. Dengan demikian, model pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah pembuktian menurut undang-undang 28 Ibid, hal. 278-279. secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Menggabungkan secara terpadu jenis pembuktian menurut keyakinan dengan jenis pembuktian menurut undang-undang secara positif.

  Norma yang terkandung dalam pengaturan demikian adalah untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang- undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah jika kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi

   dengan keyakinan hakim.

  Pasal 183 KUHAP memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.

  Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Di antara kedua komponen tersebut harus saling mendukung. 29 Ibid, hal. 279.

  Pembuktian dalam hukum acara pidana dikenal dengan sistem negatif di mana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang materil, sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif di mana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil. Jenis pembuktian secara negatif ini benar-benar diakui berlakunya secara eksplisit dalam Pasal 183 KUHAP. tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil (hukum acara pidana). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan

   perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.

  Hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinannya dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti yang sah. Tetapi dalam menjatuhkan putusan tersebut, hakim harus benar-benar yakin bahwa terdakwa bersalah. Sehingga dengan seminimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum.

  Sehingga dapat dimengerti bahwa pembuktian merupakan suatu rangkaian proses dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang mempergunakan atau mengajukan atau mempertahankan alat-alat bukti di muka persidangan sesuai dengan hukum acara 30 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 ), (Jakarta: C.V. Mandar Maju, 2001), hal. 98. yang berlaku (dalam hal tindak pidana pencucian uang berlaku hukum acara pidana) sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap kebenaran dari alat-alat bukti yang menjadi dasar tuntutan, atau alat-alat bukti yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran alat-alat bukti yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.

2. Landasan Konsepsional

  dasar konseptual, bertujuan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda serta memberikan pedoman dan arahan yang sama, antara lain: a.

  Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

  b.

  Tindak pidana di bidang merek adalah perbuatan melawan hukum yang termasuk semua tindak pidana yang diatur dalam UU Merek.

  c.

  Tindak pidana pemalsuan merek adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada ”keseluruhannya” atau ”pada pokoknya” atau ”pada keseluruhan dengan indikasi geografis” milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.

  d.

  Delik biasa adalah perbuatan pidana yang tanpa ada pihak yang dirugikan dapat dilakukan proses hukum yang didasarkan pada terpenuhinya unsur delik pidana yang diatur dalam undang-undang. e.

  Delik aduan adalah perbuatan pidana yang didasarkan pada adanya aduan (pihak yang dirugikan) kepada pihak aparat Kepolisian.

  f.

  Penegakan hukum adalah proses pelibatan semua unsur penagak hukum dan termasuk peran masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan pemalsuan merek terdaftar. Pembuktian adalah suatu rangkaian proses proses meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil dan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam suatu perkara.

G. Metode Penelitian

  1. Jenis dan Sifat Penelitian

  Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah yang terdapat dalam perundang-undangan di bidang merek dan putusan-putusan pengadilan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta dengan analitis dan

   sistematis.

  2. Sumber Data

  Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang meliputi: 31 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 96. a.

  Bahan hukum primer yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek), Putusan Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Nomor 873 K/Pid/2006 tentang Kasus Tindak Pidana Memperdagangkan Suku Cadang Mobil Merek Daihatsu, Putusan Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Lem CASTOL, Putusan Mahkamah Agung Nomor 941 K/PID.SUS/2008 tentang Kasus Memperdagangkan Merek Penyedap Rasa (Vitsin) Milik PT. Sasa Inti, Putusan Mahkamah Agung Nomor 501 K/Pid.Sus/2008 tentang Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Pisau Serut, dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 378/Pid.B/2010/PN.Mdn tentang Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Busi NGK di Pengadilan Negeri Medan.

  b.

  Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasan- ulasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari: buku-buku, makalah, majalah, jurnal ilmiah, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan objek penelitian ini.

  c.

  Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dapat berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Hukum serta Kamus Bahasa Inggris.

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library research) di perpustakaan akademisi dan studi dokumen pada putusan-putusan pengadilan terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang relevan dengan objek yang ditelaah untuk mendapatkan teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), memperkuat argumentasi-argumentasi normatif di dalam penelitian ini dilakukan pula wawancara kepada terpidana pemalsuan Merek Busi NGK (aquo), Advokat, Penyidik Polisi, dan Masyarakat.

  Baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tertier, maupun hasil wawancara atau bahan non hukum semuanya diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar dan materi kuliah serta mendownload data melalui internet. Data yang diperoleh akan dipilah-pilah guna memperoleh pengumpulan data yang sesuai dengan teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah yang terdapat dalam perundang-undangan

   di bidang merek.

  4. Analisis Data

  Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menganalisis data berdasarkan kualitasnya bukan berdasarkan kuantitasnya (jumlahnya). Analisis data yang dimaksud di sini yakni mengalaisis data berdasarkan teori-teori, asas-asas, norma- 32 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 160. norma, kaidah-kaidah, doktrin-doktrin yang terdapat di dalam pasal-pasal perundang- undangan terpenting dan relevan dengan masalah tindak pidana pemalsuan merek.

  Memberikan argumentasi-argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan, penilaian benar atau salah atau apa dan bagaimana yang semestinya menurut asas, norma-norma hukum, kaidah, dan doktrin. menghubungkan kerangka teori tersebut dengan permasalahan yang diteliti melalui analisis yang tajam dan mendalam. Data yang dianalisis diungkapkan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus) dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data sehingga permasalahan akan dapat dijawab.

Dokumen yang terkait

Penegakan Hukum Tindak Pidana Merek Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

1 57 149

Tinjauan Hukum Terhadap Kemiripan Merek Pada Produk Makanan Dan Minuman Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

4 81 87

Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Industri Rumahan yang Memproduksi Barang Menggunakan Merek Orang Lain Tanpa Izin dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

0 6 97

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tindak Pidana Judi Menurut Hukum Positif (Kuhp) Dan Qanun Nomor 13 Tahun 2003

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Perdagangan Barang Tiruan yang Menggunakan Merek Terkenal BerdasarkanUU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Studi di Kota Medan)

0 1 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 0 52

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Kesamaan Merek Terdaftar Dalam Kelas Yang Berbeda Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 699k/Pdt. Sus/2009)

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemindahan Hak Atas Kekayaan Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 JO Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan Undang-Undang Kepabeanan

0 0 18