BAB II PENGATURAN HUKUM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia - Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman

BAB II PENGATURAN HUKUM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-

  ordinary crimes), sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar

  biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat di elakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat bahkan rakyat sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia.

  Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum dan penegak hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum, sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerintah kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit

  15 disembuhkan.

  Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian hukum pidana khusus, di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, 15 yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara.

  Ermansjah Djaja, Dr. S.H, M.Si. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Sinar

  21

  Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum posif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van Strafrecht) 1 Januari 1918, kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van Strafecht) sebagai suatu kodifikasi atau unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asa konkordansi dan diundangkan dalam staatbland 1915

16 Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.

  Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 keberadaan tindak pidan korupsi juga diatur dalam hukum positif Indonesia, pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang berdasarkan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 jo Undang- Undang Nomor 79 Tahun 1957 tentang penyelesaian pernyataan keadaan perang sebagai yang telah dilakukan dengan keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor 225 tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957, yang mana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterbitkan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu peraturan penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara, karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa Peraturan penguasa perang pusat tersebut segera digantikan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.

  Dalam keadaan yang mendesak dan perlunya diatur segera tentang tindak pidana korupsi, dengan berdasarkan pada pasal 96 ayat 1 undang-undang dasar sementara 1950, penggantian peraturan penguasa perang pusat tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk pemerintah pengganti undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya berdasarkan undang-undang

  22

  Nomor 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang pengusutan penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

  Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaanya undang-undang Nomor Prp Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga 11 (sebelas) tahun kemudian digantikan dengan undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Setelah selama 28 (dua puluh delapan) tahun berlaku ternyata undang-undang Nomor 3 tahun 1971 telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dn kebutuhan hukum mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada waktu itu, dengan menetapkan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidan korupsi yang dilakukan dengan tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang

17 Tindak Pidana Korupsi.

  Dengan berdasarkan kepada ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut, telah ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999, undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Selanjutnya pada tanggal 16 agustus 1999 telah ditetapkan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pengganti undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dinyatakan telah dilakukan perubahan untuk pertama kalinya dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 31 Tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150), yang disahkan dan mulai berlaku sejak tanggal 21 Nopember 2001.

  23

  Karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka pada tanggal 27 Desember 2002 telah diundangkan undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4250).

  18 Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor

  20 tahun 2001, maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.

  Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :

  • Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah) dan paling bnyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Dalam ayat (2) yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat di jatuhkan”.
  • Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 3 yang berbunyi, “ setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan,
  • 18 Ibid, hal 31

  24

  kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau pearekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling lama sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

  • Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).
  • Percobaan pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
  • Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
  • Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001). Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk - mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).

  25

  • Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional

  Indonesia atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

  • Setiap orrang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
  • Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

  Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :

  • Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
  • Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun 2001)

  26

  • Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia, atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
  • Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
  • Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
  • Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat uang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
  • Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau

  19 19 tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20 tahun 2001). http://rezkirasyak.blogspot.com/2012/04/korupsi-dan-jenis-jenis-korupsi.html diakses tanggal 12

  27

B. Rumusan Delik Dan Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001

a. Rumusan Delik

  1. Memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum Perumusan Tindak Pidana Korupsi menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “setiap orang”, tidak ada keharusan pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri attau korporasi, yang dapat berbentuk badan

  20 hukum atau perkumpulan.

  2. Delik pasal 3 ( penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atauu sarana).

  Bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni orang-perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Oleh karena itu, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 haruslah seorang pejabat atau pegawai

  21 negeri.

  3. Menyuap pegawai Negeri atau penyelenggara Negara.

  Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menyangkut suap aktif, yang menghukum setiap orang ( perseorangan dan korporasi) yang 20 mamberikan atau menjadikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada

  Darmawan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 29

  28

  pegawai Negeri atau penyelenggara Negara. Jadi, pelaku dari tindak pidana korupsi menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 ini

  22 adalah setiap orang, yakni orang perseorangan dan korporasi.

  4. Menyuap Hakim dan Advokat

  Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang suap pasif. Maksudnya ketentuan tersebut melrang Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Hukumannya adalah sama dengan pelaku suap aktifnya, yakni yang

  23 memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim atau Advokat.

  5. Perbuatan curang.

  Adapun perbuatan yang dilarang oleh pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor

  20 Tahun 2001 ini adalah Perbuatan Curang. Yaitu, tipu daya, memakai nama

  24 palsu, atau keadaan tertentu yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya.

  6. Penggelapan Dalam Jabatan.

  Perbuatan yang dilarang disini adalah dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain, bahwa

  25 perbuatan itu menjadi niat dari pelaku. Ini diatur dalam pasal 56 KUHP.

  7. Memalsu Buku atau Daftar Khusus Pemeriksaan Administrasi.

  Menurut pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perbuatan yang dilarang oleh pasal ini adalah dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-

  26 daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

  22 23 Ibid, hal 35 24 Ibid, hal 40 25 Ibid, hal 42 Ibid,hal 44

  29

  8. Menggelapkan, Menghancurkan, Merusakkan Barang.

  Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 pasal 10 mengatakan “ dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Dan paling banyak Rp 350.000.000,00 ( tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selai pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk menyakini atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut; atau

  c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau

  27 membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut.

  9. Menerima Hadiah atau Janji

  Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengatakan “ Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau

  28 27 janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

  Ibid, hal 46

  30

  10. Gratifikasi.

  Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 tahun2001 mengatakan sebagai berikut; a. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara begara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tgasnya dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi:

  2) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh Penuntut Umum.

  b. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

  29 11. Tindak Pidana Korupsi (TPK) pasal 13.

  Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini tidak mengkualifikasikan sebagai pelaku pejabat atau pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji itu. Akan tetapi, sebaliknya hanya menghukum orang yang menyuap atau menyogok pejabat atau pegawai negeri itu.

  

30

29 Ibid,hal 56

  31

  Subjek delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua kelompok, yang kedua-duanya jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik tersebut adalah manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang.

  31 Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa

  bentuk yaitu:

  1. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang, pengaturannya diatur dalam

  pasal 7 ayat 1 huruf a undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu pemborongan berbuat curang.

  2. Korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, ada diatur dalam pasal 12 huruf 1 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya.

  3. Korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan Negara.

  a. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dapat merugikan keuangan Negara, diatur dalam pasal 2 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

  b. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat merugikan keuangan Negara, diatur dalam pasal 3 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

  32

  4. Korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap

  a. Menyuap pegawai negeri, diatur dalam pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 tahun 2001, dimana dalam pasal ini dijelaskan bahwa, seseorang menjanjikan sesuatu kepada 31 Evi Hartanti, Op.cit, hal 21 32 Pusat info data Indonesia, Tindakan atau kebijakan yang dianggap korupsi, (Jakarta Pusat Info Data

  32

  orang lain, dimana apa yang di janjikan tersebut akan diberikan apabila orang lain tersebut (pegawai negeri) telah berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

  b. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya, diatur dalam pasal 11 undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

  c. Hakim dan advokat menerima suap, diatur dalam pasal 6 ayat 2 undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

  5. Member hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, diatur dalam pasal 13 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun

  33 2001.

b. Pertanggungjawaban tindak Pidana Korupsi

  Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:

  1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

  2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

  a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian.

  b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang 33 Hukum Pidana.

  R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika,

  33

  c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

  d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

  34 mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

  3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

  Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang- undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut. Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi.

  1. Pidana Penjara Merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan social sesuai yang ia kehendaki. Namun, waktu pemidanaannya dipergunakan demi kepentingan reclassering (permasyarakatan atau pembinaan).

  Pengaturan pidana penjara menurut KUHP adalah sebagian berikut:

  a. Seumar hidup (tanpa minimal atau maksimal)

  b. Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas maksium umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 Tahun dalam hal :

  c. Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup 34 atau penjara sementara 20 tahun.

  http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia diakses

  34

  d. Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara 20 tahun.

  e. Ada pemberantasan umum yaitu, concursus / pembarengan yang diatur dalam

  pasal 65 hingga pasal 70, reseidve / pengulangan yang diatur dalam pasal 486 hingga pasal 488, pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang jabatan, dan pasal 52a tentang menyalgunakan bendera.

  f. Ada pemberantan khusus, seperti pasal 355 ja pasal 356 mengenai

  35 penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya.

  2. Pidana Mati Berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar-benar berat yang diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan pidana mati selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak serta merta pasti

  36 menjatuhkan hukuman mati kepala pelanggar pasal yang diancam pidana mati. .

  di dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati disini diancam apabila tindak pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 undang-udang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan 35 bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana 36 Evi hartanti, Op.Cit, hal 12-14 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing,

  35

  nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu Negara

  

37

dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter.

  3. Pidana Tambahan

  a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan memiliki terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

  b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

  c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 Tahun.

  d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintahan kepada terpidana.

  e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, maka harta bendanya dapat disita olek jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

  f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang penggantimaka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana

  38 tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

37 Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Fokus

  Media, Bandung 2008, hal 87 dan 109

  36

  4. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya Dalam hal ini terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian Negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara siding tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.

  39

  5. Terhadap tindak pidana yang berlaku oleh atas nama suatu korporasi, di mana pidana pokok yang dapat dijatuhkankan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3. Berdasarkan kententuan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidan korupsi,.

40 C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

  Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

  Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 (disingkat KAK 2003) ada 4 macam bentuk tindak pidana korupsi sebagai berikut :

  1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery of

  National Public Officials)Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam

  ketentuan Bab III tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization

  and Law Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 Konvensi Perserikatan

  Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Pada ketentuan Pasal 15 diatur mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of National Public Officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak langsung 39 Ibid, hal 15 40 Jur. Andi Hamzah, korupsi Di Indonesia Malasah Dan Pemecahannya. Penerbit PT. Gramedia

  37

  suatu keuntungan yang tidak pantas (layak), untuk pejabat tersebut atau orang lain atau badan hukum agar pejabat yang bersangkutan bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya. Kemudian, terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pajabat-pejabat dari organisasi internasional publik (bribery og foreign public officials and

  officials of public international organization) diatur dalam ketentuan Pasal 16

  dan pengelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik diatur dalam ketentuan Pasa 17 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003.

  2. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan di Sektor Swasta (Bribery in the private

  Sector). Tipe tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam ketentuan Pasal 21, 22

  Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Ketentuan tersebut menentukan setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan dan perdagangan menjanjikan, menawarkan atau memberikan, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya kepeda seseorang yang memimpin atau berkerja pada suatu badan disektor swasta untuk diri sendiri atau orang lain melanggar tugasnya atau secara melawan hukum. Apabila dibandingkan, ada korelasi erat antara tipe tindak

  41 pidana korupsi penyuapan disektor publik maupun swasta.

  3. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan Memperkaya Secara Tidak Sah

  (Ilicit Enrichment). Pada asasnya, tindak pidana korupsi perbuatan memperkaya

  secara tidak sah (Ilicit Enrichment) diatur dalam ketentuan Pasal 20 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Ketentuan Pasal 20 Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 mewejibkan 41 kepada setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan dalam prinsip-prinsip

  http://fayusman-rifai.blogspot.com/2011/02/bentuk-bentuk-tindak-pidana-korupsi.html diakses tanggal 23 juni 2013

  38

  dasar sistem hukumnya untuk menetapkan suatu tindak pidana bila dilakukan dengan sengaja, memperkaya secara tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah. Apabila dijabarkan, kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri mempunyai implikasi terhadap ketentuan Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 khususnya unsur kerugian negara yang bukan sebagai anasir esensial dalam Pasal 3 butir 2 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun2003.

  4. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Memperdagangkan Pengaruh (Trading in

  Influence). Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 Konvensi

  Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Tipe tindak pidana korupsi baru dengan memperdagankan pengaruh (Trading in Influence) sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepeda seseorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakan, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli tindakan tersebut atau

  42 untuk orang lain.

  Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut:

  1. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai, pemersan dan penyuapan.

  2. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan

  42 http://fayusman-rifai.blogspot.com/2011/02/bentuk-bentuk-tindak-pidana-korupsi.html diakses

  39

  pangkat, punggutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan dijalan,pelabuhan dan sebagainya.

  3. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu punggutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.

  4. Penyuapan, yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.

  5. Pemerasan, yaitu orang yang mememang kekuasaan menuntut pembayaran uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.

  6. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.

  7. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau berhak bila dilakuka secara adil. Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan

  Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.

  43

  43 http://fayusman-rifai.blogspot.com/2011/02/bentuk-bentuk-tindak-pidana-korupsi.html diakses

  40

D. Alasan-Alasan Pembebasan dari Tuntutan dan Dakwaan

  Didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantas tindak pidana korupsi Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan- aturan yang tidak tertulis (uber gezetzlich). Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya sebagaimana para sarjana yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang materil ialah :

  a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan terhadap kepentingan hukum hanyalah bersifat melawan hukum materiil (materiel rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan dengan tujuan ketertiban hukum (den Zwecken der das Zusammenleben regelnden Recht sordnung widerspricht); kalau tidak bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak bersifat melawan hukum.

  b) Zevenbergen : Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan mengenai sifat melawan hukum maka tidak boleh ada penjatuhan pidana.

  44

  44 www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/file/asas-asas%20hukum%20pidana.doc. Hal 95, Diakses

  41

  Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka itu menjadikan tanda atau indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya alat pembenar (recht vaar- digingsgrond). Bagi mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang tertulis.

  Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam perkara kongkrit yang sedang dihadapi harus mempertimbangkan : a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga dipandang adil atau benar oleh seluruh masyarakat pada umumnya.

  b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menghapuskan kekuatan berlakunya peraturan yang tertulis dsb.

  c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan masyarakat dapat

  45 menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah.

  Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap-tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar 45 mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat lebih-lebih keadaan masyarakat

  www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/file/asas-asas%20hukum%20pidana.doc. Hal 96, Diakses

  42

  Indonesia yang dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat yang dicita- citakan, ialah masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya putusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun secara materiil.

  Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan :

  • dalam fungsinya yang negatif Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.
  • dalam fungsinya yang positif Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

  46

  46 www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/file/asas-asas%20hukum%20pidana.doc. Hal 98, Diakses

Dokumen yang terkait

Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman

0 36 99

Pelaksanaan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Ilmu Hukum Pidana Di Indonesia

1 1 8

BAB II PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengaturan Hukum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putus

0 0 13

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

0 1 34

BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Perkembangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P

0 0 25

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33

BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

0 0 47