Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman

(1)

PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DAPAT

DIBEBASKAN DARI SANKSI HUKUMAN (TINJAUAN YURIDIS

PUTUSAN PN NO : 82/PID. B/2008/PN.JTH)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

SYAHKINARA

090200423

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

Diajukan untuk Melengkapi Tugas

Memperoleh Gelar Sarjan

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dosen Pembimbing I

Prof. Dr. Safruddin Kalo, S.H, NIP.195102061980021001

SKRIPSI

Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

SYAHKINARA

090200423

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana

DR. M.Hamdan, SH., MH NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing I

din Kalo, S.H,M.Hum Alwan,S.H,M.Hum

NIP.195102061980021001 NIP.196005201998021001

FAKULTAS HUKUM Syarat Guna

Dosen Pembimbing II

Alwan,S.H,M.Hum NIP.196005201998021001


(3)

ABSTRAKSI

Syahkinara * Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum **

Alwan, S.H., M.Hum ***1

Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi

dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra

ordinary crime sehingga harus diberantas.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menjelaskan tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dan Undang-Undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi pada putusan Pengadilan Negeri Jantho dengan nomor register 82/PID. B/2008/PN.JTH merupakan bentuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Dengan adanya hak untuk seorang terdakwa

untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka majelis hakim

mempertimbangkan keterangan seorang terdakwa beserta bukti-bukti dan saksi yang ada di dalam persidangan tersebut. Setelah majelis hakim mempertibangkan semuanya, dan seorang terdakwa tidak memenuhin unsur-unsur dari tindak pidana korupsi tersebut. Maka Putusan majelis hakim ini membebaskan seorang terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum, kemudian majelis hakim juga memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk membebaskan seorang terdakwa dari tahanan kota, dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

*Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staf pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Pembimbing II, Staf pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

dan rahmat-Nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan kemampuan untuk

dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman”, yang disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Universitas Sumatera Utara. Tak lupa pula penulis mengucapkan shalawat beriring salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengangkat kita dari alam kegelapan menuju alam terang benderang seperti sekarang ini yang safaatnya kita harapkan di hari akhir kelak.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi moral maupun material kepada penulis, demi terselesainya penulisan skripsi ini, diantaranya:

1. Kepada kedua orang tuaku, bapakku Drs, Fakhruddin, dan ibuku Siti Aisyah karena atas dorongan mereka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua penulis dalam membiayai dan membesarkan penulis maka penulis dapat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga penulis sampai kepada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini. 2. Kepada saudara-saudaraku Apriansyah, ST, Usumartina, S.pd, dan kakak iparku

DR, Amilia Frayanty yang telah turut serta memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

5. Kepada Bapak Dosen Pembimbing I Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum dan Bapak Dosen Pembimbing II Alwan, S.H., M.Hum penulis berterimakasih sebesar-besarnya atas bimbingan, ilmu-ilmu yang selama ini diberikan kepada penulis yang penulis yakin akan berguna di dalam kehidupan sekarang, esok dan seterusnya.

6. Kepada Bapak Dr. M, Hamdan SH., MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana dan Ibu Liza Erwina SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk membuat skripsi ini.

7. Kepada seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara, yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menyelesaikan studinya.

8. Kepada teman-teman dekat sekaligus sahabat dan senior Ari Lubis, SH, Ikhsan Fahmi, SH, Iwan R.Syah, ST, Surya Perdamen lingga, Wisman Goklas Siagian, Ivansyah, SH, Dina Krisyanti Rupang, SH, Windy Widya Utami, SH, Rahmat Arie Septiawan, karena atas bantuan motivasi dan dorongan yang telah kalian berikan maka penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

9. Kepada Abang Sepupu Win Rizkan Harahap, S.Kom yang juga telah memberi motivasi, dukungan serta gambaran dalam menyelesaikan penulisan ini.

10. Kepada semua orang yang berkecimpung di dunia hukum, khususnya para ahli hukum dan para penulis di bidang hukum maupun praktisi hukum yang hasil pemikirannya ataupun karya-karyanya digunakan penulis di dalam penulisan skripsi ini sehingga telah sangat membantu penulisan dalam menyelesaikan tulisan ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua yang telah disebutkan diatas maupun pihak-pihak yang tidak disebutkan diatas. Saya menyadari Skripsi ini masih sangat jauh dari bentuk sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik yang akan diajukan yang mana kritik tersebut akan membuat saya menjadi lebih baik, semoga penulisan ini dapat


(6)

Medan, Oktober 2013


(7)

DAFTAR ISI

Abtraksi ……… i

Kata Pengantar ………. ii

Daftar Isi ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah ………... 8

C. Tujuan dan manfaat penulisan ……… 8

D. Keaslian penulisan ………... 9

E. Tinjauan pustaka ………. 9

1. Pelaku tindak pidana ………. 9

2. Korupsi ..………. 12

3. Sanksi hukum ..……….. 13

F. Metode penulisan ………... 17

G. Sistematika penulisan ………. 18

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Pengaturan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia …... ... 20

B. Rumusan delik dan pertanggungjawaban tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No 20 tahun 2001 ……….. 27

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ..……….. 36


(8)

1. Kronologis .……… 43

2. Dakwaan jaksa penuntut umum ……… 49

3. Fakta hukum ………. 51

4. Tuntutan ……… 65

5. Pertimbangan hakim ………. 67

6. Putusan ……….. 81

B. Analisa putusan ……….. 83

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan …...………. 87

B. Saran ………. 88


(9)

ABSTRAKSI

Syahkinara * Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum **

Alwan, S.H., M.Hum ***1

Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi

dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra

ordinary crime sehingga harus diberantas.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menjelaskan tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dan Undang-Undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi pada putusan Pengadilan Negeri Jantho dengan nomor register 82/PID. B/2008/PN.JTH merupakan bentuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Dengan adanya hak untuk seorang terdakwa

untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka majelis hakim

mempertimbangkan keterangan seorang terdakwa beserta bukti-bukti dan saksi yang ada di dalam persidangan tersebut. Setelah majelis hakim mempertibangkan semuanya, dan seorang terdakwa tidak memenuhin unsur-unsur dari tindak pidana korupsi tersebut. Maka Putusan majelis hakim ini membebaskan seorang terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum, kemudian majelis hakim juga memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk membebaskan seorang terdakwa dari tahanan kota, dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

*Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staf pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Pembimbing II, Staf pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

Latar Belakang

Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi

dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra

ordinary crime sehingga harus diberantas.

Pemberantasan korupsi harus selalu dijadikan prioritas agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak serta sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka

meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Transparency

International menggunakan defenisi korupsi sebagai: “menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi”. Dalam defenisi korupsi tersebut, terdapat tiga unsur: Menyalahgunakan kekuasaan: kekuasaan yang di percayakan (baik di sektor publik maupun swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi dan keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya).

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “coruptio” atau “corruptus” yang

berarti kerusakan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi mempergunakan bahan kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin “corruption” yang berarti perbuatan yang tindak baik, buruk, curang, dapat disuap, tindak normal, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental dan hukum.


(11)

2

pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-bats hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela”. Jadi pandangan tentang korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum apa

tindak dan sebagai perbuatan tercela.2

Masalah penanggulangan tindak pidana korupsi di indonesia sepertinya akhir-akhir ini semakin marak, bahkan dengan mencuatnya pemberitaan beberapa oknum penegak hukum yang diduga melakukan perbuatan tercela terkait dengan tugas dan wewenangnya menambah ramainya pemberitaan di media cetak maupun eletronik.

Tidak berlebihan apabila oleh sebagian kalangan dianggap tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime karena telah dilakukan secara sistematis dan

meluas (widespread) serta telah merasuki keseluruh lini kehidupan (deep-rooted).

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana bagi kehidupan perekonomian dan pembangunan nasional. Oleh karena itu pendekatan pemberantasan korupsi kedepan, jangan hanya semata-mata menerapkan instrumen hukum pidana, mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi dengan mengandalkan instrumen hukum pidana akhir-akhir ini oleh masyarakat dipandangan masih belum memenuhi harapan karena belum menujukkan trend menurunnya perilaku yang koruptif tersebut.

Berdasarkan fenomena ini, maka pemberantasan tindak pidana korupsi melalui tindakan hukum berdasarkan instrumen pidana yang merupakan bagian dari

kebijakan hukum pidana (penal policy) harus dilakukan secara integral dan

komprehensif, yaitu harus dipadukan dengan upaya yang “non penal”, terutama

melalui instrumen pencegahan, yaitu dengan cara menyeimbangkan tindakan represif dengan tindakan yang bersifat preventif, meningkatkan keberhasilan penanggulangan

2IGM. Nurdjana, Drs. SH., M.Hum, dkk,

Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 20-21


(12)

tindak pidana korupsi itu bukan terletak pada banyaknya perkara yang diajukan ke pengadilan, tetapi terletak pada keberhasilan menggugah kesadaran untuk tindak

melakukan korupsi.3

Dalam pasal 1 Undang-Undang no. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan tentang Pengertian korupsi, bahwa:

a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian Negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

b. Barang siapa dengan tujuan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tindak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

c. Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209,

210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 435 KUHP.

d. Barang siapa memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.

e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya

setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib


(13)

4

Kemudian pengertian korupsi dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi yang mencabut Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 di atas, disebutkan bahwa:

a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (pasal 2 ayat 1).

b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntukan diri sendiri atau orang lain atau

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (pasal 3).

Unsur korupsi menurut Kurniawan adalah: tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan, merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung, dilakukan oleh pejabat publik atau penyelenggaraan negara maupun masyarakat. Berdasarkan beberapa pengertian tetang korupsi, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara yang dari segi materil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai

keadilan masyarakat.5

Berdasarkan dari pengertian maupun penjelasan tentang tindak pidana korupsi, Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Selain itu Indonesia masih sangat sulit mengatasi kasus tindak pidana korupsi. Dikarenakan belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas korupsi. Para penegak hukum khususnya jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas dan wewenang mereka

4

IGM. Nurdjana, Drs, SH., M.Hum, Korupsi & Illegal Loging Dalam Sistem Desentralisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 23

5


(14)

sesuai bunyi undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak

pidana korupsi huruf b.6

Seperti halnya tindak pidana korupsi sekarang di Indonesia beberapa tahun kebelakang ini sudah mengalami kerusakan atau sistem yang salah dalam penegakkan

hukumnya, dimana sekarang ini para penegak hukum di Indonesia

pencampuradukkan antara hukum dengan dengan politik, dimana sebenarnya kedua sistem ini sangat berbeda dan tidak bisa di satukan. Apabila kedua sistem ini di satukan maka hukum pun akhirnya dapat di goyangkan. Tetapi karena adanya para hakim dan anggotanya maka setiap kasus yang di ajukan olek jaksa ke pengadilan maka hakimlah yang menimbah dan mengadili seadil-adilnya setiap kasus yang di jalankan.

Kasus ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dimana si terdakwa di politisir oleh orang-orang yang tidak senang dengannya, dimana jaksa melakukan pentuntutan kepada terdakwa karena menurut bukti dan kesaksiannya terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, yang pada dasarnya sebenarnya ia tidak sama sekali melakukan tindak pidana korupsi, karena tindak terpenuhnya unsur-unsur korupsi.

Salah satu kasus yang terjadi di kota Jantho Kabupaten Aceh Besar dimana seorang selaku Kepala Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Mustaqim Lhoong (PD. BPRM Loong) yang bernama Ismail AF, SE Bin Affan berumur 41 Tahun yang bertempat tinggal di Desa Mon Mata, Kecamatan Loong, Kabupaten Aceh Besar mengingat pasal 191 ayat (1) dan pasal 97 KUHAP serta


(15)

6

- Menyatakan Terdakwa ISMAIL AF, SE BIN AFFAN tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

- Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut.

- Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum segera membebaskan Terdakwa dari

tahanan Kota.

- Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta

martabatnya.

- Menetapkan barang bukti berupa:

1. Perjanjian kerja sama (Memorandum Of Understanding) antara pemerintah

Kabupaten Aceh dengan PD Bank Perkreditan Rakyat Mustaqim Lhoong dalam rangka penyaluran Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) Kabupaten Aceh Besar tahun 2004 Nomor 412.5/415/BPM-AB/2004 tanggal 5 Mei 2004.

2. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 61 Tahun 2004 Tanggal 1 april 2004

tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaa Kegiatan Dana Pembangunan

Desa/Kelurahan (DPD/K) tahun 2004 dalam Kabupaten Aceh Besar.

3. Keputusan Gubernur Provinsi NAD Nomor : 50/133/2005 tanggal 31 Mei 2005

tentang pengangkatan/penunjukan Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan (PD. BPR) Mustaqim Provinsi NAD.

4. Surat bupati Aceh Besar Nomor 412.5/9502 tanggal 4 November 2004 tentang

Rekomendasi Pencairan DPD/K Tahun 2004.

5. Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Nomor 412.6/956 Tanggal 20

Oktober 2004 tentang Pencairan DPD/K tahun 2004.

6. Laporan Realisasi dana pembangunan Desa/Keluahan (DPD/K) Kabupaten

Aceh Besar bulan September 2005 tanggal 6 Oktober 2005.

7. Tanda terima transfer dana pembangunan Desa ke rekening Nomor :

010.02.02.000785-3 pada Bank BPD atas nama ISMAIL. AF.

8. Tanda Penerimaan dari kepada BPM Aceh Besar kepada Ismail AF.


(16)

10. Surat Perintah membayar Nomor : 632/PK/2004 tanggal 2 September 2004. 11. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor : KU.920/193/2004 tentang otorisasi

anggaran belanja daerah.

12. Surat perintah Pembayaran Pengisian Kas tahun anggaran 2004 bulan Mei 2004 tanggal 29 September 2006.

13. Daftar nasabah kredit PD BPR Lhoong Realisasi Bulan September 2004 tanggal 29 September 2006.

Dan seluruh bukti-bukti tambahan,berupa :

1. Surat Pernyataan dari Terdakwa Ismail AF, SE. Tanggal 15 Januari 2006.

2. Surat Camat Kecamatan Lhoong tanggal 31 Mei 2005 tentang pencairan dana

pembangunan Desa tahun 2004.

3. List saldo tabungan di PD BPRM Lhoong, per tanggal 31 Mei 2008.

4. Foto copy buku rekening 28 Kades dan 28 Ketua Tim Penggerak PKK

Desa-desa di Kecamatan Lhoong,per tanggal 31 Mei 2008.

5. Daftar rekap rekening Kades dan PKK Kecamatan Lhoong di PD BPRM Suka

Makmur Cabang Lhoong per 31 Juni 2008. Tetap terlampir dalam berkas perkara ini.

- Membebankan biaya perkara kepada Negara.

Dengan adanya kasus di atas telah ada bukti bahwasannya kinerja Kejaksaan masi belum bisa di percayai sepenuhnya, walaupun tetap ada beberapa kasus tindak pidana korupsi yang belum terungkap. Masih banyak lagi kasus korupsi yang akan dibahas. Yang khususnya akan di bahas yang terjadi di kota Jantho Kecamatan Lhoong Aceh Besar. Alasan mengapa saya membahas masalah tindak pidana korupsi di Kota Jantho adalah ingin memberikan sedikit atau banyaknya gambaran


(17)

8

Kasus tindak pidana korupsi yang ada saat ini di kota Jantho sudah di campuradukkan dengan politik, tetapi dengan ada pertimbangan hakim maka si terdakwa bebas dari tuntutan jaksa penutut umum di kota Jantho. Salah satunya contoh kasus korupsi yang dapat dibebaskan dari tindak pidana korupsi yang di lakukan oleh seorang Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Mustaqim Lhoong di kota Jantho. Dimana ia sudah dapat di bebsakan dari tuntutan hukum atau pun jaksa penuntut umum. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meninjau serta membahas lebih luas lagi mengenai masalah kasus korupsi yang dapat di bebaskan dari sanksi hukum dalam skripsi yang berjudul “PELAKU TINDAK PIDANA YANG DAPAT DI BEBASKAN DARI SANKSI HUKUM.”

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakanag diatas Penulisan mengangkat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi

2. Bagaimana pelaku tindak pidana korupsi yang dapat dibebaskan dari ancaman

pidana

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN 1. Tujuan penulisan

Berdasarkan membahasan permasalahan diatas, maka penulis memiliki tujuan yang antara lain bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku di

Negara Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagimana seorang pelaku yang di dakwa melakukan tindak


(18)

2. Manfaat

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat dapat memberikan manfaat berupa gambaran atau bahan pemikiran yang berguna untuk semua pihak.

1. Diharapkan agar skripsi ini mampu menjadi bahan informasi dan pemikiran

bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Dan penulis juga dapat menjadi bahan bacaan dan menambah ilmu pengetahuan tentang hukum khususnya hukum pidana tentang tindak pidana korupsi.

2. Diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi

semua pihak, khususnya bagi para penegak hukum yang memiliki cita-cita luhur dalam memajukan perkembangan hukum di Indonesia.

D. KEASLIAN PENULISAN

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukum” ini adalah merupakan penulisan yang berdasarkan pada fakta dan sumber yang bersifat otentik. Judul skripsi ini diambil atas tinjauan putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH. ini di susun dengan cara membaca, mempelajari, mengaji data-data yang ada. Penelitian judul ini juga berdasarkan pada surat pengesahkan dari perpustakaan Hukum Universitas Sumatra Utara sama sekali belum ada mengangkat judul ini. Dengan kata lain penulisan ini merupakan hasil karya penulisan sendiri.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pelaku Tindak Pidana


(19)

10

Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentukan kata,

yaitu straafbaar dan feit. Perkara feitdalam bahasa Belanda diartikan “sebagain dari

kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat hukum”, sehingga secara harifah

perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang

sudah tentu tidak dapat. Oleh karena itu, kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagian pribadi bukan kenyataan, perbuatan, atau tindakan.

Pengertian dari perkataan straafbaarfeit.

1. Simons

Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah “ tindakan melawam hukum

yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tindakan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakkannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.

Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas

karena :

a. Untuk adanya suatu straafbaarfeitdisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu

tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;

c. Setiap straafbaarfeit sebagian pelanggaran terhadap suatu larangan atau

kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan

tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.8

Jadi, setiap melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sehingga pada

8


(20)

dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.

Menurut E.utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa

pidana yang seiring juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen

atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan

yang di timbulkan karena perbuatan atau melalaiktan itu). Peristiwa pidana

merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang

membawa akibat yang diatur hukum. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum dan adanya seorang pembuat dalam arti

kata bertanggung jawab.9

Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih

dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege

(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:


(21)

12

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.10

2. Korupsi

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:

corruptio= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfah dari korupsi dapat berupa:

a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan

ketidakjujuran (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, kamus lengkap

Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit: Hasta, Bandung).

b) Perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit: Balai Pustaka, 1976).

c) 1. Korup (busuk; suka menerima uang suap/sogok; memakai kekuasaan untuk kepeningan sendiri dan sebagainya);

a. Korupsi (perbuatan busuk perti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya);

b. Koruptor (prang yang korupsi).11

Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian,

10

www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html diakses tanggal 5 mei 2013

11


(22)

secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

2. Korupsi: busuk, rusak. Suka memakai uang yang di percayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaanya untuk kepentingan pribadi).

Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus Hukum, yang

dimaksud curruple adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan

keuangan Negara.12

3. Sanksi Hukum

Berdasarkan ketentuan undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.

Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

1. Pidana Penjara

1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian


(23)

14

2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)

3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)

4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang tidak benar.(pasal 22)

2. Pidana Mati

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut


(24)

dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat Negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).

3. Pidana Tambahan

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20


(25)

16

tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana

tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.13

4. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.

4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.

5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus

berkantor.14

13

Ibid, hal 12-14 14


(26)

F. METODE PENULISAN

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat

dipertanggungjawabkan maka digunakan metode penulisan, lalu melakukan penelitian dengan cara-cara yang telah di tentukan.

1. Jenis Penulisan

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian yuridis normative yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan dan peraturan atau undang-undang yang ada di lengkapi dengan studi putusan. Dimana metode ini penulis memokuskan kepada penelitian studi kepustakaan. Dimana penulis memokuskan kepada undang-undang tindak pidana korupsi.

2 . Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data

a. Sumber

Sumber penelitian ini diambil penulis skripsi melalui data sekunder. Data sekunder ini adalah bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan. Terutama dari buku-buku dan literature yang sudah ada yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan hukum yang mengikat dan mengatur berdasarkan peraturan perundangan-undangan.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku dan literature lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini.

3. Bahan hukum tertier, yaitu berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum.


(27)

18

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang di lakukan oleh penulis ini adalah dengan pengumpulan data melalui studi pustaka, dimana penulis memperoleh data atau bahan-bahan yang ada dengan cara mengumpulkan dan membahasnya melalui bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam suatu karya ilmiah atau pun penulisan skripsi sistematika penulisan sangat di perlukan. Ini bertujuan untuk mempermudah para membaca dan memahami isi dari dalam karya ilmiah. Sistematika ini sendiri memberikan gambaran singkat mengenai karya ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini akan di bagi menjadi 4 (Empat) bab, yaitu:


(28)

BAB I

Bab 1 berisi tentang pendahuluan dan latar belakang bagaimana penulis mengambil topik atau judul yang akan dibahas di bab berikutnya oleh penulis. Bab ini terdiri dari rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II

Dalam bab ini menguraikan tentang pengaturan hukum bagi tindak pidana korupsi baik dilihat dari segi pasif maupun aktif, rumusan delik dan pertanggungjawaban tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi tersebut.

BAB III

Dalam bab ini membahas tentang bagaimana pelaku tindak pidana korupsi dapat di bebaskan dari ancaman pidana dalam putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH.

BAB IV

Ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran atas permasalahan yang telah dikemukakan. Dalam hal ini penulis skripsi memberikan jawaban terhadap tindak pidana korupsi yang di bebaskan dari sanksi hukum.


(29)

BAB II

PENGATURAN HUKUM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (

extra-ordinary crimes), sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat di elakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat bahkan rakyat sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia.

Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum dan penegak hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum, sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerintah kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit

disembuhkan.15

Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian hukum pidana khusus, di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara.

15Ermansjah Djaja, Dr. S.H, M.Si.

Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Sinar Grafika, 2010. Hal 28


(30)

Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum posif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van Strafrecht) 1 Januari 1918, kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van Strafecht) sebagai suatu kodifikasi atau unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asa konkordansi dan diundangkan dalam staatbland 1915

Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.16

Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 keberadaan tindak pidan korupsi juga diatur dalam hukum positif Indonesia, pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang berdasarkan Undang Nomor 74 Tahun 1957 jo Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957 tentang penyelesaian pernyataan keadaan perang sebagai yang telah dilakukan dengan keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor 225 tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957, yang mana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterbitkan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu peraturan penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara, karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa Peraturan penguasa perang pusat tersebut segera digantikan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.

Dalam keadaan yang mendesak dan perlunya diatur segera tentang tindak pidana korupsi, dengan berdasarkan pada pasal 96 ayat 1 undang-undang dasar sementara 1950, penggantian peraturan penguasa perang pusat tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk pemerintah pengganti undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan


(31)

22

Nomor 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang pengusutan penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaanya undang-undang Nomor Prp Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga 11 (sebelas) tahun kemudian digantikan dengan undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Setelah selama 28 (dua puluh delapan) tahun berlaku ternyata undang-undang Nomor 3 tahun 1971 telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dn kebutuhan hukum mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada waktu itu, dengan menetapkan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidan korupsi yang dilakukan dengan tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang

Tindak Pidana Korupsi.17

Dengan berdasarkan kepada ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut, telah ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999, undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Selanjutnya pada tanggal 16 agustus 1999 telah ditetapkan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pengganti undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dinyatakan telah dilakukan perubahan untuk pertama kalinya dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 31 Tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150), yang disahkan dan mulai berlaku sejak tanggal 21 Nopember 2001.

17


(32)

Karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka pada tanggal 27 Desember 2002 telah diundangkan undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan

Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4250).18

Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.

Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :

- Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah) dan paling bnyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Dalam ayat (2) yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat di jatuhkan”.

- Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 3 yang berbunyi, “ setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan


(33)

24

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau pearekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling lama sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

- Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).

- Percobaan pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

- Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001).

- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).


(34)

- Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

- Setiap orrang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).

- Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :

- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)

- Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun


(35)

26

- Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia, atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001)

- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)

- Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20 tahun 2001)

- Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat uang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)

- Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau

tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20 tahun 2001).19

19http://rezkirasyak.blogspot.com/2012/04/korupsi-dan-jenis-jenis-korupsi.html diakses tanggal 12 juni 2013


(36)

B. Rumusan Delik Dan Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001

a. Rumusan Delik

1. Memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum

Perumusan Tindak Pidana Korupsi menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “setiap orang”, tidak ada keharusan pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri attau korporasi, yang dapat berbentuk badan

hukum atau perkumpulan.20

2. Delik pasal 3 ( penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atauu sarana).

Bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni orang-perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Oleh karena itu, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 haruslah seorang pejabat atau pegawai negeri.21

3. Menyuap pegawai Negeri atau penyelenggara Negara.

Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menyangkut suap aktif, yang menghukum setiap orang ( perseorangan dan korporasi) yang mamberikan atau menjadikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada


(37)

28

pegawai Negeri atau penyelenggara Negara. Jadi, pelaku dari tindak pidana korupsi menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 ini

adalah setiap orang, yakni orang perseorangan dan korporasi.22

4. Menyuap Hakim dan Advokat

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang suap pasif. Maksudnya ketentuan tersebut melrang Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Hukumannya adalah sama dengan pelaku suap aktifnya, yakni yang

memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim atau Advokat.23

5. Perbuatan curang.

Adapun perbuatan yang dilarang oleh pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini adalah Perbuatan Curang. Yaitu, tipu daya, memakai nama

palsu, atau keadaan tertentu yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya.24

6. Penggelapan Dalam Jabatan.

Perbuatan yang dilarang disini adalah dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain, bahwa

perbuatan itu menjadi niat dari pelaku. Ini diatur dalam pasal 56 KUHP.25

7. Memalsu Buku atau Daftar Khusus Pemeriksaan Administrasi.

Menurut pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perbuatan yang dilarang oleh pasal ini adalah dengan sengaja memalsu buku-buku atau

daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.26

22Ibid, hal 35 23

Ibid, hal 40 24

Ibid, hal 42 25Ibid,hal 44 26


(38)

8. Menggelapkan, Menghancurkan, Merusakkan Barang.

Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 pasal 10 mengatakan “ dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Dan paling banyak Rp 350.000.000,00 ( tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selai pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk menyakini atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut; atau

c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut.27

9. Menerima Hadiah atau Janji

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengatakan “ Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau


(39)

30

10. Gratifikasi.

Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 tahun2001 mengatakan sebagai berikut;

a. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara begara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tgasnya dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi:

2) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh Penuntut Umum.

b. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).29

11. Tindak Pidana Korupsi (TPK) pasal 13.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini tidak mengkualifikasikan sebagai pelaku pejabat atau pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji itu. Akan tetapi, sebaliknya hanya menghukum orang yang menyuap atau

menyogok pejabat atau pegawai negeri itu.30

29Ibid,hal 56 30


(40)

Subjek delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua kelompok, yang kedua-duanya jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik

tersebut adalah manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang.31

Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk yaitu:

1. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang, pengaturannya diatur dalam pasal 7 ayat 1 huruf a undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu pemborongan berbuat curang.

2. Korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, ada diatur dalam pasal 12 huruf 1 undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya.

3. Korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan Negara.

a. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dapat merugikan keuangan Negara, diatur dalam pasal 2 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

b. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat merugikan keuangan Negara, diatur dalam pasal 3 undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.32

4. Korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap

a. Menyuap pegawai negeri, diatur dalam pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 tahun 2001, dimana dalam pasal ini dijelaskan bahwa, seseorang menjanjikan sesuatu kepada


(41)

32

orang lain, dimana apa yang di janjikan tersebut akan diberikan apabila orang lain tersebut (pegawai negeri) telah berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

b. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya, diatur dalam pasal 11 undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

c. Hakim dan advokat menerima suap, diatur dalam pasal 6 ayat 2 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang-undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. 5. Member hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, diatur dalam pasal 13

undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.33

b. Pertanggungjawaban tindak Pidana Korupsi

Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian.

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

33R. Wiyono,

Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, 2006


(42)

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.34

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Berdasarkan ketentuan undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.

Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi. 1. Pidana Penjara

Merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan social sesuai yang ia kehendaki. Namun, waktu pemidanaannya

dipergunakan demi kepentingan reclassering(permasyarakatan atau pembinaan).

Pengaturan pidana penjara menurut KUHP adalah sebagian berikut: a. Seumar hidup (tanpa minimal atau maksimal)

b. Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas maksium umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 Tahun dalam hal :

c. Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara 20 tahun.


(43)

34

d. Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara 20 tahun.

e. Ada pemberantasan umum yaitu, concursus/ pembarengan yang diatur dalam

pasal 65 hingga pasal 70, reseidve/ pengulangan yang diatur dalam pasal 486

hingga pasal 488, pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang jabatan, dan pasal 52a tentang menyalgunakan bendera.

f. Ada pemberantan khusus, seperti pasal 355 ja pasal 356 mengenai

penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya.35

2. Pidana Mati

Berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar-benar berat yang diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan pidana mati selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak serta merta pasti

menjatuhkan hukuman mati kepala pelanggar pasal yang diancam pidana mati.36.

di dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati disini diancam apabila tindak pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 undang-udang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana

35

Evi hartanti, Op.Cit, hal 12-14 36Efi Laila Kholis,

Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010, hal 7


(44)

nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu Negara

dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter.37

3. Pidana Tambahan

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan memiliki terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 Tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintahan kepada terpidana.

e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, maka harta bendanya dapat disita olek jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang penggantimaka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana


(45)

36

4. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya

Dalam hal ini terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian Negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara siding tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan

untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.39

5. Terhadap tindak pidana yang berlaku oleh atas nama suatu korporasi, di mana pidana pokok yang dapat dijatuhkankan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3.

Berdasarkan kententuan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidan korupsi,.40

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 (disingkat KAK 2003) ada 4 macam bentuk tindak pidana korupsi sebagai berikut :

1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery of

National Public Officials)Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam

ketentuan Bab III tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization

and Law Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Pada ketentuan Pasal 15 diatur mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of National Public Officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak langsung

39

Ibid, hal 15

40Jur. Andi Hamzah, korupsi Di Indonesia Malasah Dan Pemecahannya. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. 1991. Hal 111-112


(46)

suatu keuntungan yang tidak pantas (layak), untuk pejabat tersebut atau orang lain atau badan hukum agar pejabat yang bersangkutan bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya. Kemudian, terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pajabat-pejabat

dari organisasi internasional publik (bribery og foreign public officials and

officials of public international organization) diatur dalam ketentuan Pasal 16 dan pengelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik diatur dalam ketentuan Pasa 17 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003.

2. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan di Sektor Swasta (Bribery in the private

Sector). Tipe tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam ketentuan Pasal 21, 22 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Ketentuan tersebut menentukan setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan dan perdagangan menjanjikan, menawarkan atau memberikan, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya kepeda seseorang yang memimpin atau berkerja pada suatu badan disektor swasta untuk diri sendiri atau orang lain melanggar tugasnya atau secara melawan hukum. Apabila dibandingkan, ada korelasi erat antara tipe tindak

pidana korupsi penyuapan disektor publik maupun swasta.41

3. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan Memperkaya Secara Tidak Sah

(Ilicit Enrichment). Pada asasnya, tindak pidana korupsi perbuatan memperkaya

secara tidak sah (Ilicit Enrichment) diatur dalam ketentuan Pasal 20 Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Ketentuan Pasal 20 Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 mewejibkan kepada setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan dalam prinsip-prinsip


(47)

38

dasar sistem hukumnya untuk menetapkan suatu tindak pidana bila dilakukan dengan sengaja, memperkaya secara tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah. Apabila dijabarkan, kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri mempunyai implikasi terhadap ketentuan Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 khususnya unsur kerugian negara yang bukan sebagai anasir esensial dalam Pasal 3 butir 2 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun2003.

4. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Memperdagangkan Pengaruh (Trading in

Influence). Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Tipe tindak pidana

korupsi baru dengan memperdagankan pengaruh (Trading in Influence) sebagai

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepeda seseorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakan, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli tindakan tersebut atau

untuk orang lain.42

Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut:

1. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai, pemersan dan penyuapan.

2. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan

42http://fayusman-rifai.blogspot.com/2011/02/bentuk-bentuk-tindak-pidana-korupsi.html diakses tanggal 23 juni 2013


(48)

pangkat, punggutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan dijalan,pelabuhan dan sebagainya.

3. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu punggutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.

4. Penyuapan, yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.

5. Pemerasan, yaitu orang yang mememang kekuasaan menuntut pembayaran uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan. 6. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan

mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.

7. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau berhak bila dilakuka secara adil.

Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.43


(49)

40

D. Alasan-Alasan Pembebasan dari Tuntutan dan Dakwaan

Didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantas tindak pidana korupsi Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gezetzlich). Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya sebagaimana para sarjana yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang materil ialah :

a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan terhadap kepentingan hukum hanyalah

bersifat melawan hukum materiil (materiel rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan dengan tujuan ketertiban hukum (den Zwecken der das Zusammenleben regelnden Recht sordnung widerspricht); kalau tidak bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak bersifat melawan hukum.

b) Zevenbergen : Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif yang berdiri

sendiri, yang biasanya ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan mengenai sifat melawan hukum maka tidak boleh ada penjatuhan pidana.44

44www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/file/asas-asas%20hukum%20pidana.doc. Hal 95, Diakses tanggal 12 oktober 2013


(50)

Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka itu menjadikan tanda atau indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila

diterobos dengan adanya alat pembenar (recht vaar- digingsgrond). Bagi mereka

yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang tertulis.

Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam perkara kongkrit yang sedang dihadapi harus mempertimbangkan :

a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga dipandang adil atau benar oleh seluruh masyarakat pada umumnya.

b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menghapuskan kekuatan berlakunya peraturan yang tertulis dsb.

c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan masyarakat dapat

menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah.45

Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap-tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar


(51)

42

Indonesia yang dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya putusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun secara materiil.

Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan :

- dalam fungsinya yang negatif

Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.

- dalam fungsinya yang positif

Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi

disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.46

46www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/file/asas-asas%20hukum%20pidana.doc. Hal 98, Diakses tanggal 12 oktober 2013


(52)

A. Posisi Kasus

1. Kronologis Kasus

Adapun identitas dari Terdakwa yaitu:47

Nama : ISMAIL AF, SE. Bin AFFAN.

Tempat lahir : Mon Mata.

Umur/tanggal lahir : 41 Tahun / 04 Januari 1967.

Jenis kelamin : Laki-laki.

Kebangsaan : Indonesia.

Tempat tinggal : Desa Mon Mata, Kecamatan Lhoong, Kabupaten

Aceh Besar.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Direktur PD. BPRM Lhoong.

Pendidikan : : S 1 (Sarjana Ekonomi).


(1)

saat menerima uang yang ditransfer saja. Kemudian tindakan Terdakwa untuk mengalihkan dengan cara memindahbukukan DPD/K Tahun 2004 ke dalam masing-masing rekening Kepala Desa dan Ketua Tim Penggerak PKK, maka menjadikan ”penguasaan” dana tersebut secara hukum telah beralih pada Kepala Desa dan Ketua Pim Penggerak PKK sebagai tabungannya, keberadaan DPD/K bukan lagi dalam kekuasaan Terdakwa.

Menimbang, bahwa DPD/K Tahun 2004 secara hukum tidak lagi berada dalam kekuasaan Terdakwa dan lagi pula di persidangan telah tidak terbukti dana tersebut dipergunakan Terdakwa untuk kebutuhan lain dari yang telah ditentukan sesuai MoU dan Petunjuk Tehnis, maka unsur menggelapkan sebagai yang dimaksud dalam pasal ini, juga tidak terbukti adanya

Menimbang, bahwa dengan tidak terbuktinya unsur ini secara sah dan meyakinkan, maka terhadap unsur-unsur selebihnya tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut dan Terdakwa harus dibebaskan pula dari dakwaan alternatif ketiga tersebut.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, maka Majelis tidak sependapat dengan analisis yuridis dalam tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti bersalah melanggar Pasal 8 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP tersebut.

Menimbang, bahwa berhubung seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum i.c. telah ternyata tidak terbukti menurut hukum secara sah dan meyakinkan, sehingga Terdakwa harus dibebaskan atas dakwaan tersebut, maka kepada Terdakwa, Majelis memulihkan dan merehabilitasi haknya dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya.


(2)

Menimbang, bahwa terhadap barang bukti sebagaimana tersebut dalam surat ijin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jantho, Nomor: 143/Pen.Pid/2006/PN-JTH. tanggal 16 Oktober 2006 serta seluruh bukti-bukti tambahan, tetap terlampir dalam berkas perkara.

Dari pembuktian yang telah diuraikan, penulis berpendapat bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP tersebut. Penulis sependapat bahwa terdakwa tidak bersalah dan harus di bebaskan dari dakwaan jaksa penuntut umum, juga di bebaskan dari tahanan kota dan memulihkan hak dakwaan dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat dari seorang terdakwa.


(3)

87

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam penulisan ini, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian terbalik secara berimbang dan sebagai kontrol. 2. Dalam pasal 193 ayat (1) KUHAP disebut bahwa jika pengadilan berpendapat

bahwa terdakwa besalah melakukan tindakan pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Oleh sebab itu, harus dibuktikan bahwa semua unsur pidana yang didakwakan terbukti.


(4)

Pembebasan pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan dakwaan yang berdasarkan fakta-fakta yang telah terungkap di persidangan, Hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang melanggar Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang menurut hakim tidak memenuhi unsur-unsur seperti memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu korporasi dan yang dapat merugikan keuangan negara ataupun perekonomian negara.

B. Saran

1. di dalam pengaturan Undang-Undang tindak pidana korupsi sudah banyak mengalami revisi atau di perbaharui sampai membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akan tetapi, pengunaan peraturan hukumnya perlu ditingkatkan fungsionalnya dalam memberantas tindak pidana korupsi di indonesia, sehingga masyarakat dapat mendapatkan hukuman seadil-adilnya. 2. Dalam putusan bebas yang di lakukan oleh hakim negeri Jantho di harapkan

dapat berkesinampungan, sistematis, dan lebih terbuka untuk partisipasi serta pengawasan masyarakat luas agar lebih terbentuknya ataupun terwujudnya hukum yang di inginkan oleh masyarakat Indonesia.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

IGM. Nurdjana, Drs. SH., M.Hum, dkk, Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005,

Marwan Effendy, DR. S.H, M.Hum, Pemberantasan Korupsi Dan Good Governance, Penerbit Timpani Tublishin, Jakarta, 2010,

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. 2006

Ermansjah Djaja, Dr. S.H, M.Si. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Sinar Grafika, 2010.

Darmawan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,

Pusat info data Indonesia, Tindakan atau kebijakan yang dianggap korupsi, (Jakarta Pusat Info Data Indonesia),

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, 2006

Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010,

Jur. Andi Hamzah, korupsi Di Indonesia Malasah Dan Pemecahannya. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. 1991.

B. Undang- Undang

Himpunan peraturan Perundang-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Fokus Media, tahun 2008.,

Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945


(6)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak Tindak Pidana Korupsi

Pasal 1 Undang-Undang no. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan tentang Pengertian korupsi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana C. Internet

www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html http://rezkirasyak.blogspot.com/2012/04/korupsi-dan-jenis-jenis-korupsi.html http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia