BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Merokok 2.1.1. Definisi Merokok - Hubungan Derajat Berat Merokok Dengan Karakteristik Gejala PPOK Yang Dinilai Berdasarkan Kriteria Diagnosis Grup Pada Penderita PPOK Di RSUP Haji Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Merokok

  2.1.1. Definisi Merokok

  Menurut Sitepoe (2000), merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihirup asapnya. Mainstream smoke adalah asap rokok yang dihisap melalui mulut, sedangkan sidestream smoke adalah asap rokok yang dihembuskan ke udara, yang dihirup oleh perokok pasif (Government of South Australia, 2006). Perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok (Sari dkk, 2003).

  Komasari dan Helmi (2010), mengartikan merokok sebagai aktivitas subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap yang dihasilkan dari tembakau yang dibakar, dengan menggunakan pipa ataupun langsung dari rokoknya, kemudian menghembuskan kembali asap tersebut ke udara.

  2.1.2. Jenis Rokok

  Menurut Sitepoe (1997), rokok berdasarkan bahan baku atau isi terbagi atas:

  1. Rokok Putih yaitu rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.

  2. Rokok Kretek yaitu rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.

  3. Rokok Klembak yaitu rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. Rokok berdasarkan penggunaan filter terbagi menjadi: 1. Rokok Filter adalah rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.

2. Rokok Non Filter adalah rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus.

  2.1.3. Derajat Berat Merokok Berdasarkan Indeks Brinkman

  Derajat berat merokok dapat dinilai menggunakan indeks Brinkman. Nilai indeks Brinkman didapat dari hasil perkalian antara jumlah batang rokok rata-rata yang dihisap dalam sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Klasifikasi berat merokok dengan Indeks Brinkman adalah:

  • ringan : 0-200
  • sedang : 200-600  berat : > 600 (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

  2.1.4. Efek Merokok Terhadap Kesehatan

  Tembakau bertanggung jawab atas 1 dari 5 kematian di Amerika Serikat. Karena

  • – merokok dan penggunaan tembakau merupakan kebiasaan yang didapat oranglah yang memilih untuk merokok
  • – maka merokok sebenarnya merupakan penyebab kematian yang paling dapat dicegah (American Cancer Society, 2012). Asap tembakau ialah gabungan berbagai bahan toksik atas lebih dari 7000 bahan kimia yang sebagian besar bersifat racun. Bahan-bahan kimia yang meresap hingga ke jaringan tubuh menyebabkan kerusakan dan menimbulkan berbagai macam penyakit. Zat-zat kimiawi yang terkandung dalam tembakau mencapai paru ketika kita menghirupnya, lalu memasuki aliran darah dalam arteri, kemudian tersebar ke seluruh jaringan tubuh dan menyebabkan inflamasi jaringan serta kerusakan sel (CDC, 2010). Bila paparan ini berulang, tubuh tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki jaringan dan sel yang mengalami inflamasi. Selain itu, beban kerja sistem imun juga meningkat. Tes darah menunjukkan kadar leukosit yang tinggi saat merokok.
Stres ini menganggu fisiologis tubuh dan akhirnya bisa mengakibatkan penyakit pada bagian tubuh manapun (CDC, 2010).

  Semakin lama merokok, semakin besar risiko-risiko kesehatan yang dihadapi seseorang. Namun penelitian menyatakan bahwa bila seseorang berhenti merokok pada usia 30 tahun, kesehatannya masih dapat kembali seperti orang yang tidak pernah merokok. Pada usia berapapun, semakin cepat berhenti merokok, semakin baik (CDC, 2010).

Tabel 1.1 Penyakit yang Berhubungan dengan Merokok

  Paru Laring Rongga Mulut

  Kanker (30%)

  Hidung & sinus Faring Esofagus Lambung Pankreas Serviks Ginjal Kandung kemih

  Ovarium (mucinous) Kolorektum Leukemia Trakea

  

Reproduktif Infertilitas Keguguran Prematuritas

  BBLR Cacat lahir Stillbirth SIDS

  Degeneratif Penyakit jantung Aneurisma Stroke

  Degenerasi makular PVD Katarak Ulkus peptikum

  Inflamasi Bronkitis Emfisema Asma

  Pneumonia Diabetes tipe II Psoriasis

  Beurger’s disease

  Data di atas berasal dari berbagai sumber: ACS 2012, CDC 2010, WHO 2009 Asap rokok (secondhand smoke/ environmental tobacco smoke) juga berpengaruh pada kesehatan perokok pasif (ACS, 2012). Berdasarkan National Health and Nutrition Examination Survey (2007-2008), 40,1% atau 88 juta orang bukan perokok berusia ≥ 3 tahun memiliki kadar kotinin serum (suatu metabolit nikotin) yang menandakan paparan secondhand smoke. Kadar yang lebih tinggi bahkan dijumpai pada mereka yang tinggal dengan orang yang merokok dalam rumah (American Lung Association, 2011). Asap rokok meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah (Fishman et all, 2008). Denyut jantung istirahat pada perokok 2-3 denyut lebih cepat dibandingkan bukan perokok (Department of Health Western Australia, 2013).

  Normalnya sistem imun akan melindungi tubuh dari sel kanker. Penelitian menunjukkan bahwa racun dalam rokok melemahkan sel-sel yang harusnya bekerja melawan tumor, sehingga rokok meningkatkan risiko untuk setiap kejadian kanker jenis apapun (CDC, 2010).

  Merokok bertanggung jawab atas 87% kematian akibat kanker paru. Kanker paru merupakan penyebab kematian akibat kanker yang paling banyak dan merupakan salah satu jenis kanker yang paling sulit diterapi (ACS, 2012).

  

Nikotin merupakan zat adiktif, sama halnya dengan heroin dan kokain, bersifat

  stimulansia (ACS, 2012). Nikotin akan menstimulasi sistem saraf simpatis, meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, serta menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer. Nikotin sangat toksik, dan sering dipakai sebagai pestisida di bidang industri. Perokok menginhalasi nikotin dalam dosis yang sangat kecil sehingga tidak berisiko keracunan. (GSA, 2006).

  

Karbon Monoksida (CO) tak berbau dan tak berasa sehingga kehadirannya tidak

  disadari. Kehadiran CO dalam darah mengganggu pengikatan oksigen pada hemoglobin (Hb) karena afinitas Hb terhadap CO lebih kuat daripada afinitasnya terhadap oksigen. Zat yang satu ini erat kaitannya dengan penyakit jantung koroner (GSA, 2006).

  

Tar adalah istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan campuran yang terbentuk

  dari partikel-partikel kecil pada asap rokok. Tar yang berwarna kecoklatan dan lengket, terdiri atas banyak sekali zat kimia, terutama N, O, H, CO

  2 dan CO, dan

  juga nitrosamin dan hidrokarbon polisiklik aromatik yang merupakan komponen yang karsinogenik. Setiap kali seseorang menghirup asap rokok, tar memasuki paru, sebagian keluar lagi, namun ada sebagian yang mengendap di jalan nafas dan refleks batuk pun dirangsang untuk mengeluarkannya. Akan tetapi, zat kimia dalam asap rokok memparalisis silia sehingga pengeluaran tar tidak maksimal. Zat ini jugalah yang menyebabkan jari perokok menjadi kecoklatan dan gigi kekuningan (GSA, 2006).

  Pada keadaan merokok, pembuluh darah dibeberapa bagian tubuh akan mengalami penyempitan, dalam keadaan ini dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi supaya darah dapat mengalir ke alat-alat tubuh dengan jumlah yang tetap. Untuk itu jantung harus memompa darah lebih kuat, sehingga tekanan pada pembuluh darah meningkat. Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 10-25 mmHg dan menambah detak jantung 5-20 kali per menit (Sitepoe, 1997 dalam Kurniati dkk, 2011).

2.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik

  2.2.1. Definisi PPOK

  Penggunaan istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik sesungguhnya kurang tepat, karena PPOK bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan penyakit (Seaton, 2000). PPOK adalah istilah untuk mendeskripsikan berbagai macam penyakit paru kronik yang ditandai obstruksi aliran udara sebagai ciri khasnya, dengan gejala utama sesak nafas, batuk, produksi sputum, dan mengi yang berkembang progresif (Harding et all, 2004). GOLD (2012) mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, biasanya progresif, dan berhubungan dengan abnormalitas respon inflamasi paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya. Meskipun PPOK sering dibagi menjadi bronkitis kronis dan emfisema di masa lalu, sekarang diakui bahwa sebagian besar pasien memiliki unsur-unsur dari kedua kondisi tersebut. Berikut dijelaskan secara ringkas mengenai kedua unsur dalam PPOK tersebut.

  1. Bronkitis Kronis : batuk dengan produksi sputum yang berlangsung setidaknya 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut, terkait dengan hipertrofi kelenjar lendir, peningkatan jumlah sel goblet pada sentral saluran udara dan fibrosis peribronkiolus di saluran udara perifer.

  2. Emfisema : pembesaran dan kerusakan dinding alveolus tanpa fibrosis yang siknifikan. Proses perubahan ini tidak sepenuhnya dipahami dan kemungkinan bersifat multifaktorial (Ali et all, 2010).

  2.2.2. Epidemiologi PPOK

  Sebagai penyebab kematian ke-4 di dunia (WHO, 2000), data prevalensi PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalensi PPOK pada individu berusia di atas 45 tahun di Amerika dan Eropa berkisar 5-9%. Data penelitian lain menunjukkan prevalensi PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1% di beberapa kota Amerika Latin. Prevalensi PPOK di

  Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi 6,7% di Vietnam.

  Untuk Indonesia, penelitian Regional COPD Working Group (2003) di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 5,6%. Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pola penyakit infeksi yang menurun sedangkan penyakit degeneratif meningkat, meningkatnya kebiasaan merokok, dan polusi udara (Riskesdas, 2010). Dari keseluruhan penyakit yang menjadi

  

penyebab kematian dominan, PPOK merupakan satu-satunya penyakit dengan laju

mortalitas yang melejit (Fishman, 2008). WHO (2010) meramalkan, PPOK yang

  saat ini merupakan penyebab kematian kelima di seluruh dunia diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia.

2.2.3. Faktor Risiko PPOK

  PPOK terjadi sebagai hasil dari akumulasi paparan berbagai faktor risiko selama periode waktu tertentu (GOLD, 2013). Faktor risiko PPOK terdiri dari:  Merokok

  Menurut Bourke (2003), PPOK disebabkan terutama oleh merokok dan prevalensi serta mortalitasnya mencerminkan riwayat merokok dalam populasi. Dalam penelitian di Amerika Serikat, mortalitas pada penderita PPOK yang pernah merokok rata-rata 24 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang bukan perokok (Thun, 2013). Merokok mencakup 80% sampai 90% dari risiko PPOK dan karena itu dianggap penyebab utamanya. Perokok pasif juga mengalami peningkatan risiko (Laurent dan Saphiro, 2006).

   Polusi Udara Partikel-partikel berbahaya di udara dapat memicu respon inflamasi pada paru dan berkorelasi langsung dengan lama paparan. Pencemaran lingkungan kini diakui beperan dan persentasenya cukup signifikan dari keseluruhan kasus PPOK di seluruh dunia (Ali et all, 2010). Partikel-partikel dan gas yang dimaksud mencakup asap rokok, debu, polutan dalam ruangan (Wilkins et all, 2007), asap dari pembakaran tidak sempurna, dan abu (Blackler, 2007). Kerusakan jaringan akibat polusi udara yang terinhalasi bergantung pada derajat paparan dalam jangka waktu tertentu, komposisi substansi yang terinhalasi, dan kemampuan penjamu (host) untuk mentoleransi. Sejauh ini polutan yang paling berpengaruh adalah asap rokok, menjadikan perokok pasif juga mengalami peningkatan risiko (Wilkins et all, 2007).  Usia

  Saluran nafas perifer pada orang bukan perokok berusia lanjut juga dapat menunjukkan perubahan patologi yang hampir sama dengan yang dijumpai pada penderita PPOK (Stockley, 2007).  Faktor Genetik

  Hampir semua penderita PPOK memiliki riwayat perokok berat, namun hanya 15% perokok yang akhirnya menderita PPOK, menandakan bahwa faktor-faktor lain turut berperan, salah satunya faktor genetik (Bourke, 2003). Beberapa gen yang menunjukkan hubungan peningkatan predisposisi kejadian PPOK ialah AAT (alpha-1 anti-trypsin) atau aPI (alpha-protease inhibitor), AACT (alpha-1-antichymotrypsin), IL8RA (IL-8 receptor alpha), ACE (angiotensin converting enzyme), TNF (tumour necrosis factor), dan masih banyak lagi (Harding et all, 2004).

  Kasus yang terbukti memiliki hubungan dengan gen AAT hanya 1%, tetapi individu dengan defisiensi gen ini ternyata terbukti mengalami emfisema onset dini (Ali et all, 2010). AAT atau aPI adalah protein serum yang diproduksi oleh hati yang bertanggung jawab untuk menghambat neutrofil elastase, enzim yang dilepaskan sel PMN untuk mendegradasi elastin pada suatu respon inflamasi (Wilkins et all, 2007).

   Jenis Kelamin Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, mungkin dikarenakan lebih banyak laki-laki yang merokok dibandingkan perempuan (Riskesdas, 2010). Selain itu, lebih banyak laki-laki yang bekerja di luar ruangan daripada perempuan, menyebabkan paparan polusi udara, apalagi di negara berkembang, menjadi faktor yang penting.

   Status Ekonomi Prevalensi merokok cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi namun prevalensi lebih tinggi pada masyarakat pedesaan dibandingkan pada masyarakat perkotaan (Riskesdas, 2010), dikarenakan tingkat pendidikan dan sarana kesehatan yang lebih baik menjadikan masyarakat perkotaan lebih peduli pada kesehatannya. Di sisi lain, PPOK sendiri lebih banyak dijumpai pada masyarakat dengan status ekonomi rendah dan pada daerah perkotaan (Bourke, 2003).

   Perkembangan Paru Fungsi paru maksimum yang dicapai pada masa perkembangan paru sejak usia muda dipengaruhi oleh kecukupan nutrisi saat berada dalam kandungan, paparan asap rokok dan polusi udara, dan penyakit paru saat kecil (Bourke, 2003).

   Pekerjaan Lingkungan pekerjaan yang rentan paparan polusi seperti penambang batu bara, pekerja logam, pabrik kapas, pabrik kertas, dan sebagainya, meningkatkan risiko PPOK. Kadmium dan silika juga meningkatkan risiko pada perokok (Blacker, 2007).

   Infeksi Peran infeksi virus pada saluran nafas atas dan bawah pada patogenesis PPOK masih belum dapat dipastikan. Infeksi pada masa kanak-kanak berhubungan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan masalah pernafasan saat dewasa, yang dapat berkembang menjadi PPOK. Begitu seseorang menderita PPOK, infeksi berulang mempercepat penurunan fungsi paru (Blacker, 2007).

   Asma/ Hiperaktivitas Jalan Nafas Pada suatu penelitian, orang dewasa dengan asma memiliki risiko 12 kali lebih mungkin menderita PPOK dalam hidupnya dibandingkan mereka yang bukan penderita asma. Studi lain juga menunjukkan 20% penderita asama mengalami pembatasan aliran nafas yang ireversibel (GOLD, 2013).

2.2.4. Patogenesis PPOK

  PPOK merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor risiko yang telah dibahas sebelumnya. Pada penderita PPOK proses inflamasi kronis berlangsung berbeda dari respon normal karena mengalami modifikasi yang diduga bergantung pada faktor genetik. Inflamasi paru tetap berlangsung meskipun setelah penderita berhenti merokok dan masih belum diketahui mengapa demikian, walaupun autoantigen dan mikroorganisme mungkin turut berperan (Cosio, 2009, dalam GOLD, 2013). PPOK umumnya dihubungkan dengan respon inflamasi derajat rendah pada epitel dan lapisan submukosa pada bagian bronkus sentral (Stockley, 2007). Berikut ini beberapa mekanisme yang berperan dalam inflamasi pada PPOK menurur GOLD (2013):

   Stres Oksidatif Pertanda stres oksidatif (hidrogen peroksida, 8-isoprostan) meningkat pada nafas yang diekshalasi, sputum, dan sirkulasi sistemik penderita PPOK.

  Saat eksaserbasi kadar marker stres oksidatif tersebut bahkan lebih tinggi. Spesies oksigen reaktif berasal dari asap rokok, patikel-partikel lain di udara, sel-sel inflamasi yang teraktivasi (makrofag dan neutrofil), bahkan dari hasil reduksi antioksidan endogen pada penderita PPOK sebagai akibat dari berkurangnya faktor transkripsi (Nrf2) yang meregulasi gen- gen aktioksidan.  Ketidakseimbangan Protease-Antiprotease

  Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease telah lama menjadi pusat perhatian pada perkembangan emfisema (Ali, 2010). Protease mencerna jaringan ikat (terutama elastin yang merupakan jaringan ikat utama pada paru) sedangkan antiprotease melindungi jaringan ikat dari protease. Beberapa protease yang dilepaskan sel-sel inflamasi dan epitel meningkat pada penderita PPOK dan protease ini dapat saling berinteraksi satu sama lain.  Sel-sel Inflamasi

  Asap rokok dan partikel-partikel berbahaya dalam udara akan memicu

  • infiltrasi sel-sel inflamasi (makrofag, neutrofil, dan limfosit CD8 sitotoksik) pada epitel saluan pernafasan (Stockley, 2007). Bersama dengan neutrofil dan makrofag sel-sel inflamasi ini akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti faktor-

  α, IL-8, leukotrien, (Saetta, 1994, dalam Mintz, 2006) dan enzim-enzim yang akan mempengaruhi sel- sel struktural di jalan nafas, parenkim paru, dan vaskularisasinya. Respon inflamasi kronis menginduksi kerusakan jaringan parenkim (menyebabkan emfisema) dan menghalangi mekanisme perbaikan dan pertahanan yang normal (menyebakan fibrosis). Eosinofil tidak dijumpai pada PPOK, kecuali selama eksaserbasi bronkitis akut, dan intensitas dari respon inflamasi pada emfisema jauh lebih rendah dari pada asma (Ali et all, 2010).

   Mediator-mediator Inflamasi Sel-sel inflamasi di sirkulasi akan terpanggil oleh faktor kemotaksis, memperbesar respon inflamasi (sitokin-sitokin proinflamasi), dan memicu perubahan struktural (oleh faktor-faktor pertumbuhan).

  Dalam saluran udara perifer, terjadi deposisi kolagen dan pembentukan jaringan parut. Di ruang alveolar yang terjadi adalah serabut elastin dan epitel rusak, apoptosis sel endotel, dan hilangnya dinding alveolar tanpa pembentukan jaringan parut. Perubahan vaskular paru terlihat jelas pada PPOK yang progresif. Hilangnya kapiler paru (capillary bed) berkorelasi dengan hilangnya luas permukaan alveolar pada emfisema. Vasokonstriksi paru mengakibatkan hipoksia, penebalan intima, hipertrofi otot polos sel, dan pembentukan jaringan ikat yang lebih lanjut memberikan kontribusi untuk terjadinya hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan (cor pulmonale).

Gambar 2.1 Skema Patogenesis PPOK (Ali et all, 2010)

  Stockley (2007) membedakan perubahan patologis pada PPOK menjadi:

1. Gangguan Saluran Pernafasan Sentral

  Kelenjar mukus tersebar di sepanjang bronkus sentral, berperan dalam mekanisme pertahanan imun, letaknya di antara membran epitel dan kartilago. Pembesaran volume kelenjar mukus 50-100% berkaitan dengan batuk dan produksi sputum berlebihan, dijumpai pada banyak pasien PPOK namun tidak semua penderita PPOK mengalaminya. Selain kelenjar mukus, sel-sel goblet penghasil mukus yang terdapat pada epitel saluran napas pada setiap tingkatan juga dapat mengalami peningkatan pada penderita PPOK. Metaplasia epitel dan hilangnya silia juga telah ditemui.

  Mengenai apakah proporsi otot polos dan kartilago pada penderita PPOK berubah belum diketahui dengan jelas.

2. Gangguan Saluran Pernafasan Perifer

  Perubahan patologis di bagian perifer pada PPOK cenderung multipel dan relatif tidak spesifik. Perubahan awal pada perokok muda yang ditemui hanyalah kumpulan fokal makrofag berpigmen kecoklatan pada bronkiolus proksimal. Pada pasien yang lebih tua, pada dinding membran bronkiolus sering ditemui inflamasi derajat rendah (neutrofil, makrofag, dan limfosit tersebar). Perubahan lain meliputi fibrosis, metaplasia sel skuamosa dan sel goblet, pembesaran otot polos dan agregasi mukus dalam lumen. Sebagian besar patologi ini mungkin sekali berhubungan langsung dengan efek toksik dari asap rokok. Dinding bronkiolus pada PPOK juga menebal karena peningkatan massa epitel, otot polos, dan jaringan ikat. Dinding saluran napas yang menebal ini menyebabkan volume paru mengecil, sebab saluran napas perifer memendek dan menyempit saat paru-paru mengempis (Stockley, 2007).

  Perubahan-perubahan patologis yang ditemukan pada jalan nafas, parenkim paru, dan vaskularisasinya ini mengakibatkan udara akan terperangkap dan pembatasan aliran udara progresif yang menjadi ciri khas PPOK (GOLD, 2013).

2.2.5. Gejala Klinis PPOK

  Pemahaman akan bagaimana perubahan patologis yang terjadi menimbulkan gejala-gejala yang dijumpai pada PPOK kini sudah jauh lebih baik (GOLD, 2013). Gejala utama yang dijumpai pada PPOK adalah sesak nafas dan batuk kronik berdahak. Gejala awal bersifat episodik dan eksaserbasi akut ditandai dengan peningkatan produksi sputum dan nanah. Kehadiran mengi tidak penting untuk diagnosis, dan sputum tidak perlu purulen (Ali et all, 2010).

   Pembatasan Aliran Udara & Terperangkapnya Udara Derajat inflamasi, fibrosis, dan eksudat dalam lumen saluran nafas perifer berkorelasi dengan penurunan VEP dan rasio VEP /KVP, kemungkinan

  

1

  1

  juga berhubungan dengan penurunan VEP 1 yang cepat, khas pada PPOK. Obstruksi jalan nafas perifer dan adanya emfisema secara progresif memerangkap udara saat ekspirasi, menimbulkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi, dan meningkatkan kapasitas residu fungsional, terutama saat latihan/ berolahraga (hiperinflasi dinamis), menimbulkan sesak nafas dan terbatasnya kapasitas latihan (GOLD, 2013). Bila obstruksi jalan nafas berat, mungkin terlihat pemakaian oto- otot pernafasan tambahan. Suatu studi bahkan mendemonstrasikan bahwa eksaserbasi memperberat kelemahan otot. (Fishman et all, 2008).

  Beberapa mekanisme lain yang dianggap berkontribusi pada obstruksi adalah fibrosis peribronkiolus (obstruksi saluran udara yang lebih kecil) dan edema mukosa (karena infiltrasi sel-sel inflamasi). Selain itu, semua saluran udara juga menunjukkan berbagai derajat tonus otot polos yang mungkin juga menjadi faktor dalam obstruksi. Obstruksi terutama jelas terlihat saat ekspirasi karena volume paru semakin kecil dan volume napas berkurang (Ali et all, 2010). Emfisema juga menyebabkan hilangnya

  

elastic recoil saluran nafas perifer, sehingga kolpas saat ekspirasi (Bourke,

  2003). Sesak nafas adalah karena peningkatan aktivitas kemoreseptor yang disebabkan hipoksia dan hiperkapnia (Booth dan Dudgeon, 2006).

Gambar 2.2 Mekanisme Pembatasan Aliran Udara pada PPOK

  Gangguan saluran nafas perifer Kerusakan parenkim paru

  Inflamasi pada saluran nafas Hilangnya perlekatan

  Fibrosis; sumbatan dalam lumen alveolus Peningkatan resistensi jalan nafas

  Penurunanan elastisitas

  2 Pembatasan Aliran Udara

   Abnormalitas Pertukaran Gas Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.

  Secara garis besar, pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida semakin terganggu seiring progesivitas penyakit. Ventilasi yang berkurang mungkin karena berkurangnya ventilatory drive. Obstruksi, hiperinflasi, dan kelemahan otot pernafasan mempersulit ventilasi dan akhirnya menimbulkan retensi karbon dioksida. Ditambah dengan vaskularisasi yang menurun, timbullah abnormalitas V A /Q (Rodrigues-Roisin R. et all, 2009 dalam GOLD, 2013)

   Hipersekresi Mukus Hipersekresi mukus pada PPOK terjadi sebagai akibat dari peningkatan jumlah sel goblet dan hipertropi kelenjar submukosa pada proksimal jalan nafas (Seaton et all, 2000) sebagai respon terharap zat iritan (GOLD, 2013). Hipersekresi lendir bersamaan disfungsi silia menyebabkan batuk kronis produktif yang sering menjadi tanda awal penyakit ini.

  Penumpukan lendir dapat berperan dalam menyebabkan obstruksi jalan nafas, namun ini hanya terjadi saat eksaserbasi akut (Ali et all, 2010). Sekresi mukus berlebihan pada awalnya diduga berperan penting dalam perkembangan obstruksi saluran pernapasan pada PPOK (Stockley, 2007). Namun pada kenyataanya tidak semua penderita PPOK mengalaminya.  Hipertensi Pulmonal

  Terjadi disebabkan terutama oleh vasokontriksi pembuluh darah kecil pada paru karena hipoksia, yang akhirnya menyebabkan perubahan struktural seperti yang sudah dijelaskan pada bagian patogenesis. Hipertensi pulmonal yang progresif dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan (cor pulmonal).  Eksaserbasi

  Eksaserbasi biasanya dipicu suatu infeksi (bakteri dan atau virus), polutan lingkungan, ataupun faktor lain yang tidak diektahui. Bila penyebabnya infeksi maka inflamasi akan meningkat. Saat eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan udara yang terperangkap semakin banyak, dengan berkurangnya aliran udara keluar, memperberat sesak nafas (dispnoe). Kondisi lain yang dapat menyertai (pneumonia, tromboemboli, dan gagal jantung akut) dapat terlihat seperi ataupun memperberat eksaserbasi PPOK.  Gejala Sistemik

  Hiperinflasi dan pembatasan aliran udara secara tidak langsung mempengaruhi fungsi jantung dan pertukaran gas. Mediator-mediator inflamasi di sirkulasi mungkin berkontribusi dalam menurunnya massa otot skelet (skeletal muscle wasting) dan kaheksia (penurunan berat bedan sekunder) yang akan memperberat komorbiditas seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, sindroma metabolik, dan depresi (GOLD, 2013). Penurunan hormon pertumbuhan, testosteron, dan insulin juga berkontribusi menyebabkan keadaam katabolik (Harding et all, 2004). Sebagai penyakit yang berkembang progresif, ada peningkatan frekuensi eksaserbasi, yang meliputi peningkatan batuk, hipoksemia, sputum purulen, dan dispnoe. Bila penyakit berat, hipoksemia kronis dan hiperkapnia juga dapat terjadi. Kondisi ini dapat menyebabkan eritrositosis, sakit kepala pagi hari (dari hiperkapnia), cor pulmonal, edema ekstremitas yang lebih rendah, dan penurunan berat badan sekunder karen peningkatan beban kerja pernapasan (Ali et all, 2010).

  Patofisiologi PPOK dikaitkan dengan sirkulasi berbagai mediator yang berpotensi merugikan, dikombinasikan dengan sering terjadinya hipoksia dan malnutrisi, berakibat pada proses penyakit sistemik yang ditandai dengan hipermetabolisme, miopati otot rangka, dan kejiwaan gangguan, bersama dengan penyakit jantung dan ginjal (Ali et all, 2010).

2.2.6. Diagnosis PPOK

  Prevalensi PPOK diduga jauh dari kenyataan akan dampak yang sebenarnya pada masyarakat. Luputnya diagnosis umum terjadi karena pasien jarang memeriksakan dirinya hingga fungsi paru sudah sangat menurun dan aktivitasnya terbatas sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya (Mintz, 2006) ataupun setelah suatu episode eksaserbasi akut telah terjadi (GOLD, 2013). Hal ini karena cadangan fisiologis sistem pernafasan besar sehingga masih ada kompensasi pada tahap awal penyakit (Ali et all, 2010). Diagnosis klinis harus dipertimbangkan pada pasien dengan sesak nafas, batuk kronis atau batuk berdahak, dan pasien dengan riwayat paparan faktor risiko (GOLD, 2013). Pemeriksaan juga harus dilakukan pada mereka dengan emfisema onset dini, pada mereka dengan PPOK tanpa faktor risiko dikenali, dan pada saudara kandung dari penderita (Ali et all, 2010).

Tabel 2.1 Indikator Kunci dalam Pertimbangan Diagnosa PPOK (GOLD, 2013)

  Pertimbangkan kemungkinan PPOK dan lakukan pemeriksaan spirometri bila dijumpai indikator kunci berikut pada individu berusia ≥ 40 tahun.

  Sesak nafas Progresif, memberat dengan olahraga, persisten Batuk kronik Dapat terjadi intermiten dan dapat pula tidak produktif Produksi sputum Produksi sputum kronik dengan pola apapun dapat menandakan kronik PPOK Riwayat pajanan Asap rokok, asap dari aktivitas memasak dalam rumah tangga, faktor risiko mesin pemanas, debu di lingkungan kerja, dan zat-zat kimia.

  Adanya riwayat PPOK dalam keluarga

  Anamnesis Dari anamnesis akan diketahui perkembangan dan gejala-gejala yang dijumpai.

   Sesak Nafas. Sesak nafas yang berkembang perlahan (Bourke, 2003) ialah gejala kardinal PPOK, juga penyebab disablitilas dan keresahan utama (GOLD, 2013). Pasien biasanya mengeluhkan sesak nafas sebagai kesulitan bernafas, dada terasa berat, air hunger, atau tergagap saat bernafas, adanya pursed lip breathing (Fishman et all, 2008) karena pasien berusaha mempertahankan patensi jalan nafas (Wilkins et all, 2007).  Batuk. Batuk kronik biasanya dianggap semata-mata akibat merokok dan/atau paparan polusi. Awalnya batuk hanya kadang-kadang, hingga kemudian berlangsung setiap hari, bahkan sering sepanjang hari.Batuk kronik dapat berlangsung tanpa produksi sputum. Pada beberapa kasus, pembatasan aliran udara yang siknifikan dapat terjadi tanpa adanya batuk.

Tabel 2.2 Diagnosa Banding Batuk Kronik Intratorakal : PPOK, asma, kanker paru, tuberkulosis, bronkiektasis,

  gagal jantung kiri, penyakit paru interstitium, cystic fibrosis, idiopatik

  

Ekstratorakal : rinitis alergi kronik, Upper Airway Cough Syndrome

  (UACS), refluks gastroesofageal, obat-obatan (mis: ACE Inhibitor)  Produksi Sputum. Produksi sputum umumnya bermula setelah batuk berlangsung selama waktu tertentu. Produksi sputum pada bronkitis kronis adalah selama ≥ 3 bulan selama dua tahun berturut-turut (tanpa penyebab lain yang dapat menjelaskannya). Sputum yang purulen mengindikasikan peningkatan mediator-mediator inflamasi dan perkembangannya mungkin menandakan onset eksaserbasi. Namun pada penderita PPOK produksi sputum sulit untuk dievaluasi karena pasien cenderung menelan sputum dan bukannya mengeluarkannya.  Mengi dan Chest Tightness. Kedua gejala ini tidak spesifik pada PPOK

  (tidak harus dijumpai) dan bervariasi dalam keseharian. Mengi terdengar pada laring dan tidak harus disertai abnormalitas lain saat auskultasi. Mengi dapat terdengar saat inspirasi maupun ekspirasi, namun biasanya lebih jelas saat inspirasi (Bourke, 2003). Sementara itu rasa berat di dada biasanya setelah suatu aktivitas fisik yang berat, lokalisasinya tidak jelas, dan kemungkinan terjadi akibat kontraksi isometrik otot-otot interkostal.  Gejala lain. Rasa lelah, penurunan berat badan, dan anoreksia umum dijumpai pada PPOK yang berat dan sangat berat. Gejala mempengaruhi prognosis dan bisa juga menandakan adanya penyakit lain (misalnya tuberkulosis, kanker paru). Pembengkakan lutut dapat merupakan satu- satunya penunjuk simptomatik cor pulmonal. Adanya depresi dan kerisauan berhubungan dengan peningkatan risiko eksaserbasi dan status kesehatan yang lebih jelek.  Riwayat Kesehatan. Perlu diketahui mengenai paparan faktor risiko, adakah kebiasaan merokok, lingkungan kerja, riwayat penyakit terdahulu

  (asma, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi paru pada masa kanak-kanak, ataupun penyakit pernafasan lain), riwayat PPOK dalam keluarga, pola perkembangan gejala, riwayat eksaserbasi, riwayat rawat inap akibat masalah pernafasan, adanya komorbiditas (penyakit jantung, osteoporosis, gangguan muskuloskeletal, keganasan), dampak PPOK terhadap kehidupan pasien (keterbatasan aktivitas, beban ekonomi, efek terhadap rutinitas dalam keluarga, kecemasan atau depresi, aktivitas seksual), dukungan sosial dan keluarga terhadap pasien.

  Pemeriksaan Fisik

  Penemuan pada pemeriksaan fisik dada adalah adanya obstruksi jalan nafas dan udara yang terperangkap. Penurunan suara nafas pada auskultasi yang disebabkan emfisema (Wilkins et all, 2007), mengi, dan bunyi jantung terdengar jauh, umum dijumpai pada pasien PPOK. Jika sangat parah, pasien mungkin menggunakan otot-otot bantuan respirasi dan mengerutkan bibir untuk meningkatkan efisiensi pernapasan. Sianosis juga dapat dijumpai (Ali et all, 2010). Tanda-tanda fisik PPOK biasanya hanya terlihat ketika gangguan fungsi paru sudah berat, dan nilai sensitivitas dan spesifisitas deteksi melalui pemeriksaan fisik tergolong rendah (GOLD, 2013).

  Pemeriksaan Tambahan

   Foto Polos Toraks Terlihat gambaran hiperinflasi dengan diafragma yang datar, pemanjangan siluet jantung, udara retrosternal meningkat dan tampilan hiperlusen. Jika ada, bula tampak sebagai daerah radiolusen dengan berbagai ukuran dan dikelilingi oleh garis tipis (Ali et all, 2010). Foto polos toraks juga berguna dalam mengeksklusikan diagnosa alternatif lain dan menilai adanya komorbiditas (GOLD, 2013).  Tes Fungsi Paru (Spirometri)

  Tes fungsi paru diperlukan untuk diagnosis dan penilaian keparahan penyakit. Diagnosis PPOK membutuhkan nilai perbandingan VEP : KVP

  1 setelah pemberian bronkodilator. Rasio <70% menunjukkan hasil positif.

  VEP

  1 adalah ukuran tingkat keparahan obstruksi saluran napas dan nilai

  normal didasarkan pada usia pasien, ras, jenis kelamin, tinggi, dan berat badan. (Ali et all, 2010). Penderita PPOK yang memiliki nilai spirometri yang hampir mirip bisa saja memiliki derajat patologi paru yang berbeda (Stockley, 2007).  CT (Computed Tomography) Scan Toraks

  Hanya dilakukan bila diagnosa PPOK diragukan, membantu dalam diagnosa banding, dan mampu menentukan komorbiditas lain. Bila ada indikasi untuk pembedahan (untuk mereduksi volume paru) diperlukan CT scan untuk menilai distribusi emfisema.  Tes Volume Paru & Kapasitas Difusi

  Kapasitas total paru meningkat karena hiperinflasi dan pembatasan aliran udara. Penilaian dapat dilakuakan dengan pletismografi ataupun pengukuran volume paru dengan dilusi helium. Kapasitas difusi (DL CO ) memberikan informasi mengenai dampak fungsional emfisema pada PPOK.  Oksimeter dan Analisa Gas Darah Arteri

  Pengukuran saturasi oksigen dilaksanakan untuk menilai kebutuhan terapi oksigen (Wilkins et all, 2007). Semestinya pasien dengan VEP <35% dari

  1

  yang diprediksikan atau dengan gejala klinis yang sugestif menunjukkan kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan harus diperiksa saturasi oksigennya. Bila saturasi oksigen perifer < 92%, gas darah arteri harus diperiksa (GOLD, 2013).

   Skrining Defisiensi Alfa-1 Antitrpsin WHO merekomendasikan pasien dengan PPOK berusia < 45 tahun dengan emfisema lobus bawah menjalani skrining ini. Skrining juga dapat dilakukan pada anggota keluaga penderita. Konsentrasi serum AAT < 15- 20% dari nilai normal menunjukkan kemungkinan defisiensi homozigot.

   Tes Latihan Penilaian kesulitan latihan harus objektif, dinilai melalui reduksi jarak tempuh, ataupun di laboratorium menggunakan sepeda atau treadmill.

  Penurunan laju aliran ekspirasi maksimal merupakan abnormalitas fisiologis utama yang dijumpai pada PPOK. Penilaian obstruksi aliran ekspirasi umumnya menggunakan nilai Volume Ekspirasi Paksa dalam selang waktu satu detik (VEP ) dan juga rasio VEP terhadap Kapasitas Vital Paksa (KVP) (Stockley,

  1

  2007). VEP

  1 biasanya menurun sekitar 20-30 mL per tahun dengan pertambahan

  usia (Ali et all, 2010). Kriteria GOLD (2012) untuk diagnosa PPOK disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Klasifikasi Keparahan Pembatasan Aliran Udara pada PPOK (GOLD) (Berdasarkan VEP

  1 setelah pemberian bronkodilator) Pada pasien dengan VEP 1 /KVP <0.70: GOLD 1 Ringan

  VEP 1 ≥ 80% dari yang diprediksikan GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP 1 < 80% dari yang diprediksikan GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP 1 < 50% dari yang diprediksikan GOLD 4 Sangat Berat

  VEP 1 < 30% dari yang diprediksikan

  Panduan GOLD (2013) merekomendasikan penilaian terpadu (combined assessment) untuk menilai keparahan gejala dan dampaknya dengan mempertimbangkan gejala dan risiko eksaserbasi (Tabel 2.5 dan Gambar 2.3). Penilaian terpadu ini terutama berfungsi sebagai panduan dalam terapi. Penilaian meliputi penilaian terhadap beberapa hal:

   Tingkatan gejala  Tingkatan abnormalitas spirometri  Risiko eksaserbasi

   Komorbiditas yang menyertai

  Tingkatan Gejala

  Ada beberapa kuisioner valid yang dapat digunakan untuk menilai gejala pada pasien PPOK. GOLD (2013) merekomendasikan penilaian dengan kuisioner

  

Modified British Medical Research Council (mMRC) atau COPD Assessment Test

  (CAT). Kuisioner mMRC yang bisa dilihat pada Tabel 2.4 hanya menilai diasbilitas akibat sesak nafas; sementara kuisioner CAT bisa dilihat pada bagian

  

lampiran mencakup dampak lebih luas dari PPOK terhadap keseharian penderita.

Tabel 2.4 Modified MRC Dyspnoea Scale

  Sesak nafas hanya bila berolahraga berat

  1 Nafas pendek bila terburu-buru di jalan yang menanjak Berjalan lebih lambat dari orang seusia karena sesak nafas ataupun harus 2 berhenti untuk bernafas saat berjalan dengan kecepatan sendiri

  Berhenti untuk bernafas setelah berjalan sekitar 100 meter atau setelah

  3 beberapa menit dengan kecepatan sendiri

4 Terlalu sesak untuk keluar dari rumah ataupun sesak nafas saat berpakaian

  Tingkatan Abnormalitas Spirometri

  Pembatasan aliran udara dinilai melalui pemeriksaan spirometri dan klasifikasinya disajikan pada Tabel 2.3. Spirometri dilakukan setelah pemberian bronkodilator inhalasi short-acting untuk meminimalisasi variabilitas.

  Risiko Eksaserbasi

  Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala saluran pernafasan pasien, di luar dari batas normal variasi harian dan membutuhkan perubahan tatalaksana. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antarindividu dan prediktor terbaik adalah adanya riwayat eksaserbasi sebelumnya.

  Komorbiditas yang Menyertai

  Karena PPOK sering terjadi pada perokok pada usia paruh baya, penderita biasanya juga memiliki penyakit-penyakit lain yang menyertai, entah sebagai akibat merokok maupun penuaan. PPOK sendiri juga memiliki banyak efek ekstrapulmonal (sistemik). Komorbiditas yang sering dijumpai sudah disebutkan pada bagian anamnesis.

Tabel 2.5 Penilaian PPOK Terpadu (GOLD 2013)

   Gejala

o Ringan (Less) (mMRC 0-1 atau CAT <10) : pasien grup (A) atau (C)

o Berat (More) (mMRC 0-1 atau CAT <10) : pasien grup (B) atau (D)

 Pembatasan aliran udara o Risiko tendah (GOLD 1 atau 2) : pasien grup (A) atau (B) Risiko tinggi (GOLD 4 atau 4) : pasien grup (C) atau (D)

  o

   Eksaserbasi o Risiko tendah (≤ 1 per tahun) : pasien grup (A) atau (B) Risiko tinggi (≥ 2 per tahun) : pasien grup (C) atau (D)

  o

  n

  4

  atasa b

  2 asi

  (C) (D) b em a

  3

  ar / P d saser D iko iko u ek an

  Ris Ris at

  2

  1

  alir asi GOL (A) (B) iway R

  1 Klasifik

  mMRC 0-1 mMRC ≥2

  Dari berbagai metode penilaian yang kemudian dirangkumkan, diagnosis pasien CAT <10

  CAT ≥10 Gejala

  akan dapat digolongkan ke dalam empat grup (A, B, C, atau D). Pada beberapa

  (nilai mMRC atau CAT)

  pasien, penilaian risiko berdasarkan klasifikasi GOLD dan berdasarkan riwayat

Gambar 2.3 Penilaian PPOK Terpadu (GOLD

  eksasaerbasi mungkin membingungkan bila hasilnya menempatkan pasien dalam grup yang berbeda. Bila demikian, maka risiko ditentukan oleh metoda yang mengindikasikan risiko yang lebih tinggi.

2.2.7. Penatalaksanaan PPOK

  Objektif penatalaksaan terbagi dua, yakni yang diarahkan kepada gejala (meringankan dan mengurangi dampak PPOK) dan objektif yang lain difokuskan pada usaha memperkecil risiko eksaserbasi (GOLD, 2013).

  Terapi ditujukan untuk mengurangi resistensi jalan nafas dan mengembalikan gas darah arteri ke keadaan normal (Fishman et all, 2008). Hingga saat ini, belum ada terapi yang mampu memodifikasi penurunan fungsi paru (Burge et all, 2000 dalam GOLD, 2013). Kelas obat-obatan yang umumnya dipakai tertera pada

Tabel 2.6. Pemilihan obat didasarkan pada ketersediaan, biaya, dan respon pasien

  terhadap pengobatan. Bila terapi diberikan dalam bentuk inhalasi, teknik pemakaian inhaler yang benar dan efektivitas pemberian obat perlu diperhatikan.

Tabel 2.6 Formulasi dan Dosis Obat pada Tatalaksana PPOK (GOLD, 2013) Durasi Kerja Obat (jam)

  Nama Obat Inhaler (mcg) Beta -Agonis

2 Short-acting

  4-6 Fenoterol 100-200 (MDI)

  6-8 Levalbuterol 45-90 (MDI)

  4-6 Salbutamol (albuterol) 100, 200 (MDI & DPI)

  4-6 Terbutaline 400, 500 (DPI)

  Long-acting

  12 Formoterol 4,5-12 (MDI & DPI)

  12 Arformoterol 0.0075 mg/ml (*nebulizer)

  24 Indacaterol 75-300 (DPI)

  12 Salmeterol 25-50 (MDI & DPI)

  24 Tulobuterol 2mg (*transdermal)

  Antikolinergik Short-acting

  6-8 Ipatropium bromida 20, 40 (MDI)

  7-9 Oxitropium bromida 100 (MDI)

  Long-acting

  12 Aclidinium bromida 322 (DPI)

  24 Glycopyrronium bromida 44 (DPI)

  24 Tiotropium 18 (DPI), 5 (SMI)

  Kombinasi Beta 2 -Agonis short-acting dan Antikolinergik dalam satu inhaler

  6-8 Fenoterol/Ipratropium 200/80 (MDI)

  6-8 Salbutamol/Ipratropium 75/15 (MDI)

  Methylxanthine

  bervariasi, hingga 24 jam Aminophylline 200-600 mg (pil) bervariasi, hingga 24 jam Theophylline (SR) 100-600 mg (pil)

  Kortikosteroid Inhalasi

  Beclomethasone 50-400 (MDI & DPI) Budesonide 100, 200, 400 (DPI) Fluticasone 50-500 (MDI & DPI)

  Kombinasi Beta -Agonis long-acting dan kortikosteroid dalam satu inhaler

2 Formoterol/Budesonide 4,5/160 (MDI), 9/320 (DPI)

  Formoterol/Mometasone 10/200, 10/400 (MDI) 50/100, 250, 500 (MDI)

  Salmeterol/Fluticasone 25/50, 125, 250 (MDI)

  Kortikosteroid Sistemik

  Prednisone 5-60 mg (pil) Methyl-prednisolone 4, 8, 16 mg (pil)

  Fosfodiesterase-4 Inhibitor

  24 Roflumilast 500 mcg (pil) MDI = metered dose inhaler; DPI = dry powder inhaler

  Bronkodilator

  Bronkodilator merelaksasi otot polos sehingga pada pemakaiannya aliran udara ekspirasi meningkat, dan nilai VEP

  1 akan meningkat pula. Karena lebih banyak

  udara yang bisa keluar, hiperinflasi dinamis akan berkurang, baik saat istirahat maupun latihan (O’Donnell D.E., 2006 dalam GOLD, 2013).

  2 -Agonis

   Beta yang

  2,

  Merelaksasi otot polos dengan menstimulasi reseptor adrenergik β diikuti peningkatan cAMP, lalu mengantagonis bronkokontriksi.  Antikolinergik

  Memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator bertahan lebih lama daripada Beta -Agonis.

  2

   Methylxanthine Kontroversi mengenai efek yang nyata dari derivat xanthine masih berlangsung hingga saat ini. Methylxanthine yang paling serig digunakan yaitu teofilin, dapat berperan sebagai inhibitor fosfodiesterase nonselektif.  Kortikosteroid

  Efek kortikosteroid terhadap inflamasi sistemik dan paru pada penderita PPOK masih dipertanyakan, pemakaian dibatasi untuk indikasi tertentu.  Fosfodiesterase-4 Inhibitor

  Cara kerja dasar obat ini adalah menekan inflamasi dengan menginhibisi degrdasi cAMP intraselular.

Tabel 2.7 Tatalaksana Awal pada PPOK Terapi lain

  Grup Pasien Pilihan Pertama Pilihan Alternatif

Antikolinergik Antikolinergik long-acting atau

Dokumen yang terkait

Hubungan Derajat Berat Merokok dengan Derajat Berat PPOK yang Dinilai dengan Kriteria GOLD pada Penderita PPOK Di RSUP Haji Adam Malik Medan

1 84 85

Hubungan Derajat Berat Merokok Dengan Karakteristik Gejala PPOK Yang Dinilai Berdasarkan Kriteria Diagnosis Grup Pada Penderita PPOK Di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 55 80

Hubungan Merokok dengan Kanker Paru di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2009

8 56 67

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vaginosis Bakterial 2.1.1. Definisi - Profil Skor Nugent Berdasarkan Pewarnaan Gram pada Pasien Vaginosis Bakterial di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dermatitis Kontak Alergi 2.1.1. Definisi - Hubungan Merokok dengan Kejadian Dermatitis Kontak Alergi

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Merokok 2.1.1. Definisi Merokok - Perbedaan Arus Puncak Ekspirasi pada Perokok dan Bukan Perokok

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi - Hubungan Psoriasis Dengan Profil Lipid Pasien Rawat Jalan Di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012-2013

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MENINGIOMA 2.1.1. Sejarah Dan Definisi Meningioma - Hubungan Kadar Fibroblast Growth Factor 2 (FGF-2) Serum Dengan Derajat Meningioma Pada Penderita Meningioma Intrakranial Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Retina 2.1.1. Anatomi Retina - Karakteristik Penderita Retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 – Desember 2013

0 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cutaneous Larva Migrans 2.1.1. Definisi - Karakteristik Penderita Cutaneous Larva Migrans di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2012

0 0 13