BAB II KEBIJAKAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL PASCA REFORMASI SAAT INI A. Reforma Agraria Pra Reformasi - Kajian Hukum Pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional Di Kabupaten Serdang Bedagai

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL PASCA REFORMASI SAAT INI A. Reforma Agraria Pra Reformasi Agenda Reforma Agraria di dalam sejarah bangsa Indonesia memiliki perjalanan yang panjang dan sejalan dengan agenda pembentukan bangsa dan negara. Sejak tahun 1946 (seribu sembilan ratus empat puluh enam) Indonesia sudah menjalankan program landreform. Landreform

  dapat dimaknai sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang karena faktor-faktor historis, politis dan ekonomis masih dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan semacam ini dilakukan dengan menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrarian baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara

  52 aktif oleh pemiliknya sendiri”.

  Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah. Landreform juga diharapkan dapat meningkatkan semangat kerja petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak pemilikan 52 Tampil Anshari Siregar, Op. Cit, hal. 90 atas tanahnya. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian yang menyebutkan bahwa “landreform bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.”

  Secara umum, ada enam elemen pokok program landreform sebagaimana

  53

  diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yaitu:

  1. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas (pembatasan pemilikan maksimum);

  2. Larangan pemilikan tanah secara absentee;

  3. Redistribusi tanah-tanah yang melampaui batas maksimum, tanah-tanah yang terkena ketentuan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara lainnya;

  4. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;

  5. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

  Implementasi kebijakan landreform ini pada masa lalu ternyata masih sangat terbatas dan belum dapat memenuhi tujuan-tujuan seperti yang diharapkan di atas karena pada intinya ada dua hambatan pokok dalam pelaksanaan program landreform ini. Pertama adalah hambatan hukum. Baik di pusat maupun di daerah, aparat hukum belum menguasai benar persoalan agraria. kedua, yaitu hambatan ilmiah. Berbeda dari negara berkembang lainnya, di Indonesia jumlah ilmuwan agraria amat terbatas. 53 Supriadi, Op.Cit, hal. 203 Akibatnya setiap kali membahas agraria, yang dibahas selalu “hukum agraria”. Padahal agraria itu mencakup hampir semua aspek kehidupan (sosial, ekonomi,

  54 budaya, lingkungan dan politik, bahkan juga pertahanan dan keamanan).

  Walf Ladejinsky, adalah seorang arsitek landreform di Jepang dan setelah tiga kali datang ke Indonesia pada tahun 1961-1963, memberi penilaian serupa mengenai pelaksanaan landreform yang saat itu sedang dilaksanakan. Ada dua kritik utama Ladejinsky yaitu: 1.

  Antara gagasan dan tindakan pelaksanaan landreform tidak konsisten.

  Gagasannya revolusioner, tetapi pelembagaan pelaksanaannya rumit, Birokrasi berbelit-belit dan data tidak akurat sehingga di lapangan pelaksanaan redistribusi menjadi sulit dan terhambat.

  2. Model redistribusinya tidak sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Batasan kepemilikan minimum 2 ha (dua hektar) yang diberlakukan secara menyeluruh menurut Ladejinsky tidaklah realistis dan juga tidak jelas siapa dan berapa jumlah orang yang berhak menerima redistribusi tanah (potential beneficiaries), dan berapa yang diperkirakan akan menjadi penerima nyata (real beneficiaries) serta

  55 tanah-tanah apa saja yang akan menjadi objek landreform.

  Pasca perubahan drastis politik sejak tahun 1965 (seribu sembilan ratus enam puluh lima), pelaksanaan reforma agraria mulai surut. Namun ini tidak berarti bahwa program distribusi tanah terhenti sama sekali, melainkan mengalami pergeseran makna yang signifikan. Tanah-tanah yang dibagikan, yang pada awalnya terutama berasal dari tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform, tanah kelebihan dari batas maksimum dan tanah absentee, bergeser menjadi tanah-tanah yang dikuasai 54 Shohibuddin dan Muhammad Nazir Salim, Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

  

2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan , Sekolah Tinggi Pertanahan Negara Press, Yogyakarta, 2012,

hal. 793. 55 Ibid, hal. 794

  langsung oleh negara. Hal ini dilakukan baik dengan cara pembagian tanah secara langsung kepada petani maupun melalui skema-skema program seperti: transmigrasi,

  56 Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan sebagainya.

  Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat dan pengaruhnya terhadap merebaknya angka kemiskinan dan pengangguran dipedesaan tidak terlepas dari faktor kebijakan pertanahan yang diorientasikan untuk mendukung kebijakan makro ekonomi nasional yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi semata akan tetapi kebijakan pertanahan bukannya didasarkan atas penataan aset produksi terlebih dahulu, melainkan langsung diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas. Akibat pembangunan semacam ini, maka rakyat kecilpun semakin

  57 terpinggirkan dan banyak petani yang kehilangan akses terhadap tanah.

  Selain itu juga telah melahirkan berbagai persoalan keagrariaan yang mendasar dalam bentuk kerusakan sumber-sumber agraria serta meluasnya konflik- konflik sosial terkait agraria. Kesemua permasalahan ini pada intinya dapat dijelaskan dari bagaimana proses peruntukan, penatagunaan dan alokasi pemanfaatan dari

  Secara khusus bisa dicatat bahwa pengadaan sumber-sumber agraria ternyata lebih sering diperuntukkan kepada segolongan masyarakat yang bermodal besar dan untuk jenis pemanfaatan dengan skala besar. Sementara di pihak lain, komunitas lokal seringkali justru merasa disingkirkan dan bahkan dihilangkan hak-haknya terhadap 56 Noer Fauzi dan Khrishna Ghimire, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama,

  Yogyakarta, 2001, hal. 142 57 www. Adisuara.blogspot.com, diakses pada tanggal 2 juli 2013 penguasaan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria yang selama ini melekat dalam kehidupan petani lokal tersebut. Kebijakan pemerintah semacam ini didasari pemikiran bahwa mereka yang memiliki modal besar diyakini akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, suatu asumsi yang hasilnya tidak pernah terbukti.

  Dari sini bisa disimpulkan bahwa kebijakan peruntukan, penatagunaan dan alokasi pemanfaatan sumber-sumber agraria dalam rangka memfasilitasi pertumbuhan ekonomi telah melahirkan hubungan yang tidak sesuai di antara pihak- pihak pelaku yang berkepentingan dengan sumber-sumber agraria. Seiring perkembangan waktu dan makin langkanya tanah maka hubungan ini menjadi kian kompleks.

  Keadaan inilah yang menimbulkan perselisihan tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang dan penatagunaan tanah yang tidak konsisten dan tumpang dikorbankan dari proses ini adalah sebagian besar masyarakat, pembangunan itu sendiri, maupun hal-hal mendasar bagi rakyat dan bangsa ini seperti: ketahanan pangan, infrastruktur sosial dan ekonomi masyarakat, perumahan rakyat, serta

  58 lingkungan hidup. 58 Shohibuddin, Op. Cit, hal. 803 Kesemuanya ini menghendaki dilaksanakannya reforma agraria yang merupakan kebijakan yang bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang pada akhirnya akan bermuara pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

  Bergulirnya reformasi pada tahun 1998 (seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan), membuat peluang politik untuk menata kondisi ekonomi, sosial dan politik bangsa Indonesia, termasuk di bidang pertanahan, terbuka kembali. Pada masa ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pasal 7 ayat (1) menyatakan: “Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan

  59

  usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas.” Ketetapan MPR ini telah mengawali komitmen seluruh bangsa Indonesia untuk menjalankan kembali reforma agraria demi mewujudkan distribusi penguasaan

B. Reforma Agraria Pasca Reformasi

  Terlepas dari upaya yang telah dilakukan di atas, namun sampai saat ini struktur penguasaan tanah di Indonesia masih amat timpang. Pelaksanaan dan redistribusi tanah di masa lalu belum pernah berhasil dilakukan sebagai sebuah 59 Ibid kebijakan yang menyeluruh dan konsisten sehingga belum berdampak signifikan terhadap pengurangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang dan tidak adil. Sebagai gambaran, saat ini ada sekitar 40% (empat puluh persen) rumah

  60

  tangga pedesaan yang merupakan petani tanpa tanah. Hal lain yang memperihatinkan adalah: banyak petani setelah menerima tanah melalui program

  landreform

  terpaksa melepaskan tanahnya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena kebanyakan petani, setelah diberi tanah, ternyata tetap tidak memiliki akses kepada sumber finansial, pasar, manajemen usaha, hingga teknologi pertanian. Akibatnya, tidak dapat memaksimalkan manfaat dari tanah yang dimiliki, dan melalui sistem pewarisan yang berlaku maka penguasaan tanah oleh petani generasi berikutnya semakin kecil dan tidak lagi mencapai skala ekonomi untuk menjalankan usaha tani yang berkelanjutan.

  Secara makro, saat ini bangsa Indonesia juga menghadapi permasalahan struktural yang mendasar berupa kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.

  Tekanan dalam sektor pertanian telah menyebabkan para petani yang tidak bukan pertanian dan ternyata pendapatan tambahan petani diluar sektor non pertanian

  61 juga belum mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga petani.

  Data peringkat kemiskinan dari BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2012 (dua ribu dua belas) menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 60 61 Sohibuddin, Op. Cit, hal. 797 Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup, Chandra

  Pratama, 1995, hal. 99

  29,13 (dua puluh sembilan koma tiga belas) juta jiwa atau 11,96% (sebelas koma sembilan puluh enam persen) dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan adalah 8,78% (delapan koma tujuh puluh delapan persen), sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 18,48% (delapan belas koma empat puluh delapan persen). Ini menunjukkan kemiskinan paling banyak dialami penduduk

  62 pedesaan yang umumnya petani.

  Selanjutnya pada tahun 2001 (dua ribu satu) MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

63 Alam, TAP MPR tersebut menyebutkan bahwa arah kebijakan pembaharuan agraria

  di Indonesia adalah melakukan mengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembaharuan agraria dan melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang

  64 berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

  mengenai arah kebijakan pembaruan agraria yang tersebut dalam Pasal 5 sebagai berikut:

1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan

  62 yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor 63

www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02 Januari 2013.pdf, diakses pada tanggal 04 Juni 2013 64 Noer Fauzi, Bersaksi Untuk Pembaharuan Agraria, Insist Press, Yogyakarta, 2003, hal. 120 Bernhard Limbong, Reforma Agraria, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hal. 290 demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip- prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

  2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

  3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

  4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

  5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria.

  6. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

  Sejalan dengan amanat konstitusi tersebut, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) sejak awal telah berkomitmen untuk melaksanakan reforma agraria ini.

65 Sejak tahun 2006 (dua ribu enam) pelaksanaan Reforma Agraria ini secara

  tegas dinyatakan sebagai program pemerintah, yaitu ditetapkan sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional. Perpres ini

  

harus dilihat sebagai penguatan kelembagaan di dalam kerangka pelaksanaan agenda

65 Dianto Bachriadi, jurnal keadilan “Pandangan Kritis Tentang Program Pembaharuan Agraria

  Nasional (PPAN) atau redistribusi tanah ala pemerintahan SBY ”, 2012, hal. 79 reforma agraria. Pada bagian menimbang, Perpres ini mencantumkan konsideran- konsideran sebagai berikut:

  1.

bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat

abadi dan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia 2.

bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, karenanya

perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara 3.

bahwa pengaturan dan pengelolaan pertanahan tidak hanya ditujukan untuk

menciptakan ketertiban hukum, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah, sengketa, dan konflik pertanahan yang timbul 4.

bahwa kebijakan nasional di bidang pertanahan perlu disusun dengan

memperhatikan aspirasi dan peran serta masyarakat guna dapat memajukan kesejahteraan umum.

  Berdasarkan pertimbangan itu, Perpres No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ini menempatkan BPN sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

  Sebelumnya, lembaga ini berada di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, Perpres No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ini menetapkan tugas pokok BPN adalah: “melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.” Sedangkan fungsinya mencakup

  66

  21 fungsi, beberapa poin di antaranya adalah: Butir a: perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan Butir c: koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan butir g:pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah butir f: reformasi agraria 66 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang

  Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 89 butir j: pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah butir m: pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan

  butir n: pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan Penetapan tugas pokok dan fungsi BPN sebagaimana tersebut di atas, maka

  Perpres No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ini memiliki beberapa signifikansi yang mendasar dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria

  67

  di Indonesia yaitu: 1.

  Perpres No. 10 Tahun 2006 ini mengangkat dan menekankan kembali acuan nilai yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 mengenai kesatuan hubungan abadi antara bangsa dan tanah air Indonesia.

  2. Perpres ini menegaskan lagi kedudukan tanah sebagai perekat kesatuan bangsa dan fungsi sosialnya sebagai landasan untuk memajukan kesejahteraan umum.

  3. Perpres ini juga menyatakan bahwa kebijakan pertanahan harus bersifat nasional dan tidak boleh terkotak-kotak oleh sekat-sekat sektoral dan regional.

  4. Perpres ini merevitalisasi kelembagaan BPN untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diperluas, di antaranya adalah untuk melaksanakan reforma agraria dan menangani sengketa, konflik dan perkara agraria.

  5. Fungsi dan struktur BPN RI yang baru ini juga ada penekanan mengenai fungsi pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan yang membuka ruang bagi dilaksanakannya program dukungan pasca redistribusi tanah sebagai kesatuan paket reforma agraria.

  Hal tersebut juga selaras dengan pidato Presiden Republik Indonesia pada awal tahun 2007 (dua ribu tujuh) dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengalokasikan lahan sebagai objek pelaksanaan reforma agraria. Melalui pelaksanaan reforma agraria diyakini bahwa pertanahan akan dapat berkontribusi secara nyata pada perwujudan keadilan sosial, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan serta dapat dijamin kontribusi pertanahan pada proses 67 Yusuf Nafiri, Op. Cit, hal. 33 revitalisasi pertanian, revitalisasi pedesaan, pembangunan perumahan rakyat, dan pembangunan infrastruktur serta proses pemenuhan hak-hak dasar rakyat.

  Pelaksanaan kebijakan redistribusi tanah ini dijalankan dalam sebuah kerangka program terpadu yang disebut Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN).

  Program Pembaharuan Agraria Nasional sebagaimana yang diatur dalam TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ini pada prakteknya hanya melanjutkan program PRONA atau LARASITA (Layanan Rakyat Untuk Sertifikat Tanah) dengan sampul PPAN, dimana pelaksanaan reforma agrarianya hanya di bidang pensertifikatan atas tanah-tanah pertanian yang dimiliki oleh para peserta PPAN saja tidak ada redistribusi tanah atau pembagian tanah-tanah yang berasal dari tanah negara, tanah obyek landreform seperti absentee, tanah kelebihan maksimum kepada para petani dan tidak ada juga pengalokasian lahan seluas 9,25 juta ha (Sembilan koma dua puluh lima juta hektar) kepada para petani seperti yang telah dipidatokan oleh Presiden Susilo Bambang direncanakan untuk dialokasikan tersebut belum diketahui berasal dari tanah apa dan letak tanah-tanah tersebut juga tidak diketahui didaerah mana saja.

  Pelaksanaan PPAN ini juga seharusnya dibarengi dengan tindak lanjut pelaksanaan access reform yang merupakan ciri utama dan pembeda antara PPAN ini dengan program landreform sebelumnya tapi pada kenyataannya dilapangan pelaksanaan access reform ini belum ditemukan pelaksanaannya, hal ini dikarenakan belum adanya kerjasama atau kemitraan yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) antara Badan Peratanahan Nasional dengan instansi-instansi lain seperti Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Kementerian Negara UKM (Usaha Kecil Menengah), Lembaga Keuangan dan instansi lainnya yang terkait.

  Di daerah Provinsi dan Kabupaten juga pelaksanaan access reform ini belum terealisasi karena Kantor Pertanahan di daerah belum ada yang menjalin kerja sama dengan instansi lain seperti kerja sama dengan pemerintah daerah setempat, lembaga keuangan dan instansi lainnya sehingga pelaksanaan PPAN ini hanya berakhir sampai diterbitkannya sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan setempat tanpa ada pelaksanaan dari access reform lagi, begitu juga pelaksanaan PPAN di Kabupaten Serdang Bedagai tidak ada pelaksanaan access reform sehingga PPAN ini sama saja dengan PRONA ataupun LARASITA (Layanan Rakyat Untuk Sertifikat Tanah) Cuma yang membedakan antara PPAN ini dengan PRONA ataupun LARASITA adalah dalam penerbitan sertifikat melalui PPAN peserta tidak dikenakan biaya dan khusus tanah-tanah pertanian yang belum memiliki sertifikat yang boleh mengikuti program ini sedangkan dalam PRONA dan LARASITA itu peserta diberi keringanan biaya untuk mengurus menerbitan sertifikat dan semua jenis tanah bisa disertifikatkan karena tidak ada patokan harus tanah apa yang harus disertifikatkan seperti bisa tanah yang ada bangunan, tanah pertanian, dan lain-lain.

  C.

  

Kebijakan Pembaharuan Agraria Berdasarkan TAP MPR Nomor:

  IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

  Ketetapan MPR Nomor: IX/MPR/2001 sebenarnya merupakan momentum

  68 sekaligus landasan legal formal untuk melakukan reformasi hukum agraria nasional.

  Pada Pasal 5 TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyebutkan bahwa pembaharuan agraria dan

  69

  pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: 1.

  Memelihara dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia 3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum

  4. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia

  5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi partisipasi rakyat

  6. Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber daya alam

  7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan 8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis, sesuai dengan kondisi sosial, budaya setempat

  9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan pelaksanaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam

  10. Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam 68 69 Bernhard limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hal. 361 Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era Otonomi Daerah,

  Tugujogja, Yogyakarta, 2005, hal. 162

  11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban Negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu 12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan ditingkat masional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan managemen sumber daya agrari dan sumber daya alam.

  Prinsip-prinsip tersebut sinkron dengan Pasal 6 TAP MPR Nomor:

  IX/MPR/2001 Tentang Reforma Agraria Dan Pengelolaan Sumber daya Alam yang menyebutkan bahwa arah kebijakan pembaharuan agraria adalah sebagai berikut:

  1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agrarian dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip- prinsip sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ketetapan ini

  2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan 3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform 4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 ketetapan ini

  5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan sumber daya agraria yang terjadi 6. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

  D.

  

Kebijakan Pembaharuan Agraria Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor:

34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan

  Pasal 1 Keppres ini menyebutkan bahwa Dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Suinber Daya Alam, Badan Pertanahan Nasional melakukan langkah- langkah percepatan: a. penyusunan Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-undang Nomor

  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Rancangan Undang-undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan.

  b. pembangunan sistim informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi: 1. penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/pemerintah/pemerintah daerah di seluruh Indonesia

  2. penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran dihubungkan dengan e-government, e-commerce dan e-payment

  3. pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah;

  4. pembangunan dan pengembangan pengelolaan pengunaan dan pemanfaatan tanah melalui sistim informasi geografi, dengan mengutamakan penetapan zona sawah beirigasi. dalam rangka memelihara ketahanan pangan nasional.

  Pasal 2 Keppres ini menyebutkan bahwa: (1)

  Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

  (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) adalah : a. pemberian ijin lokasi; b. penyelenggaraan pengadaan tanah inuuk kepentingan pembangunan c. penyelesaian sengketa tanah garapan d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong h. pemberian izin membuka tanah i. perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota;

  Berbicara masalah sumber daya agraria khususnya tanah, sejak memasuki

reformasi menjadi sangat dinamis khususnya sejak munculnya gaung “otonomi

daerah” yang mencapai klimaknya pada saat diterbitkannya Ketetapan MPR RI No.

  

XI/MPR/2001 tentang adanya Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumbet Daya

Alam, kemudian ditindak lanjuti dengan ditetapkannya Keputusan Presiden No. 34

Tahun 2003 tentang Kebijakan di Bidang Pertanahan. Namun kenyataan klimak dari

ketetapan MPR itu tidak sejalan pada saat di Undangkannya UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. Namun tidak banyak menyentuh permasalahan

dibidang pertanahan. Hanya terdapat pada satu pasal dengan menyebutkan bahwa

pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya kejelasan batasan dari

pelayanan pertanahan tersebut.

  Walaupun UU Otonomi Daerah tidak banyak menyentuh permasalahan

dibidang pertanahan, namun tidak dapat dipungkiri keberadaan otonomi daerah telah

menjadi pijakan oleh daerah untuk menyusun segala permasalahan-permasalahan

menyangkut dibidang pertanahan. Walaupun tetap saja segala ketentuan tersebut tetap

tersentralisasi pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Pusat, walaupun didaerah

terdapat Kantor Wilayah Pertanahan di tingkat Propinsi, dan Kantor Pertanahan

Kota/Kabupaten.

  E.

  

Kebijakan Pembaharuan Agraria berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

  Menurut Penjelasan Umum Pasal 2 PP ini menyebutkan bahwa Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.

  Menurut Penjelasan Umum Pasal 15 Ayat (1) PP ini juga menyebutkan bahwa Tanah negara bekas tanah terlantar merupakan tanah cadangan umum negara yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara, melalui reforma agraria.

  Reforma Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan asset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

  Penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar Sampai sekarang realisasi dari Peraturan Pemerintah ini untuk redistribusi tanah-tanah terlantar kepada penduduk miskin belum terlaksana

  F.

  

Kebijakan Pembaharuan Agraria Berdasarkan Perkaban Nomor 3 Tahun

2011

  Kebijakan Pembaharuan Agraria menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan mempunyai tujuan untuk memberikan kepastian hukum akan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang ruang lingkupnya meliputi: a.

  Pelayanan pengaduan dan informasi kasus pertanahan b.

  Pengkajian kasus pertanahan c. Penanganan kasus pertanahan d.

  Penyelesaian kasus pertanahan e. Bantuan hukum dan perlindungan hukum G.

  

Kebijakan Pembaharuan Agraria Berdasarkan Keputusan Kepala BPN RI

Nomor 34 Tahun 2007

  Kebijakan Pembaharuan Agraria menurut Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan mempunyai maksud dan tujuan: a.

  Petunjuk teknis ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi unit kerja di lingkungan Kantor Wilayah BPN dan seksi sengketa, konflik dan perkara Kantor Pertanahan se Indonesia dalam menyusun pemetaan masalah dan akan masalah pertanahan b.

  Tujuan penyusunan petunjuk teknis ini adalah agar terdapat standarisasi penyusunan pemetaan masalah dan akan masalah pertanahan di seluruh Indonesia.

  Ruang lingkup peraturan ini meliputi: a.

  Pemetaan masalah pertanahan b.

  Pemetaan akar masalah pertanahan H.

   Kebijakan Pemerintah Dalam PPAN

  Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah pertanahan sudah mendapatkan legitimasi yang sangat kuat yaitu dengan disahkannya TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Ketetapan tersebut memberikan perintah kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan peraturan dan perundang-undangan maupun penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang kesemuanya diletakkan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

  Upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi saat ini, Pemerintah Indonesia memandang perlu membangun suatu Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional yang mampu memberikan rujukan (pedoman atau acuan) untuk pengelolaan pertanahan bagi semua pihak baik pemerintah, pengusaha, dan masyarakat yang berkepentingan dengan masalah penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

  Presiden SBY sebagai pihak pemerintah telah menegaskan bahwa program reforma agraria akan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2007 (dua ribu tujuh) ini. Saat menyampaikan Pidato Politik Awal Tahun 2007 pada tanggal 31 Januari 2007 lalu, Presiden menyatakan arah kebijakannya mengenai pertanahan sebagai berikut:

  Program Reforma Agraria ... secara bertahap ... akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat... (yang) saya anggap

  70 mutlak untuk dilakukan.

  Dalam dokumen “Reforma Agraria: dinyatakan bahwa program reforma agraria ini merupakan bagian penting dari agenda pembangunan nasional yang dicanangkan Presiden SBY dalam rangka mengatasi problem kritikal kemiskinan dan pengangguran, Presiden SBY telah menetapkan tiga strategi pembangunan yang

  71

  disebut Triple Track Strategy sebagai berikut: 1. meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor; 3. melaksanakan revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan.

  Strategi pertama dan kedua dimaksudkan untuk memacu perekonomian agar tumbuh lebih cepat sekaligus mengatasi masalah pengangguran. Sedangkan strategi ketiga dimaksudkan untuk mengurangi masalah kemiskinan. Namun penerapan tiga 70 71 Shohibuddin dan Muhammad Nazir Salim, Op. Cit, hal. 810 Ibid, hal. 811 strategi ini secara nyata menyebabkan pencapaian hasil-hasil pembangunan tidak saling berkaitan satu sama lain sehingga stabilitas di tataran makro yang sudah baik tidak mampu untuk mengatasi dua masalah kritikal pengangguran dan kemiskinan di tataran mikro. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang sekaligus dapat menerapkan ketiga unsur triple track strategy ini. Mengingat kedua masalah kritikal ini berada pada tataran mikro, maka kebijakan dimaksud haruslah langsung menyentuh rakyat yang mengalami kemiskinan dan pengangguran yang sekaligus diyakini akan efektif meningkatkan pertumbuhan dan memperkuat stabilitas perekonomian di tingkat makro. Kebijakan yang dipandang dapat mewujudkan semua itu adalah restrukturisasi sumber-sumber kemakmuran terutama tanah secara lebih adil dan lebih mampu menjamin kesejahteraan rakyat, yaitu melalui pelaksanaan reforma agraria. Program ini yang akan mengalokasikan tanah dan layanan-layanan pendukungnya, dan diyakini akan berdampak signifikan pada pengurangan kemiskinan dan penciptaan tambahan kesempatan kerja.

  Untuk menciptakan dampak semacam itu, maka reforma agraria haruslah dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah, yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apabila makna ini

  72

  didekomposisi, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya yaitu: 1. restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity); 72 Ibid, hal. 812

  2. sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan(welfare); 3. penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal

  (efficiency); 4. keberlanjutan (sustainability); 5. penyelesaian sengketa tanah (harmony).

  Kebijakan Pertanahan Nasional dalam hal yang menyangkut hukum, kebijakan, dan pedoman dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Keputusan Presiden menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan

  73 Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonomi, yaitu mengenai: 1.

  penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah 2. penetapan persyaratan landreform 3. penetapan standar administrasi pertanahan 4. penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan 5. penetapan kerangka dasar kadastral nasional

  Komitmen pemerintah untuk menata kembali struktur dan sistem hukum pertanahan nasional inilah yang membuat pelaksanaan reforma agraria harus diarahkan untuk bisa mewujudkan distribusi/redistribusi aset yang dimiliki negara untuk rakyat yang tidak memiliki aset atau yang asetnya tidak memadai untuk menopang kehidupannya, terutama di dalamnya adalah aset tanah dan aspek-aspek agraria lainnya. Namun distribusi/redistribusi aset saja tidak cukup. Menyadari kekurangan program serupa di masa lalu, maka distribusi/redistribusi aset harus disertai dengan pengembangan akses terhadap berbagai hal yang memungkinkan 73 Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga

  Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 74-76 rakyat memanfaatkan asset secara baik. Hal ini antara lain mencakup akses rakyat untuk bisa berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan sosial dan politik, akses pada modal, teknologi, manajemen, pendampingan/pembinaan, peningkatan kapasitas dan kemampuan, bahkan juga penataan organisasi usaha serta akses-akses lain yang

  74 dibutuhkan para petani untuk dapat berkembang.

  Atas dasar ini, maka PPAN yang akan dilaksanakan oleh BPN didefinisikan sebagai landreform plus, yakni landreform untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, ditambah dengan access

  

reform . Atau secara mudah diringkaskan dalam rumusan sebagai berikut: PPAN=

Land Reform + Access Reform.

  Dengan pengertian yang menyeluruh semacam ini, maka pelaksanaan reforma agraria diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai

  75

  berikut: 1. menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil

  2. mengurangi kemiskinan 3. menciptakan lapangan kerja 4. memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah 5. mengurangi sengketa dan konflik pertanahan 6. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup 7. meningkatkan ketahanan pangan.

  Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah ini disebut sebagai Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Secara umum, pelaksanaan program ini akan mencakup empat lingkup kegiatan sebagai berikut ini: 74 75 Shohibuddin, Op. Cit, hal. 813 Ibid

  1. penetapan obyek 2. penetapan subyek 3. mekanisme untuk distribusi asset tanah, 4. pengembangan access reform.

  Program Pembaharuan Agraria Nasional ini pada teorinya sudah tepat namun pelaksanaannya dilapangan belum sesuai dengan teori yang ada seperti penetapan objeknya juga tidak seperti teorinya ada pengalokasian lahan seluas 9,25 juta ha (Sembilan koma dua puluh lima juta hektar) tetapi pada prakteknya objek itu belum terlihat, Mekanisme untuk distribusi asset tanah juga sampe sekarang belum terlihat realisasinya dan pengembangan access reformnya juga belum bisa terlaksana padahal

  access reform

  inilah ciri utama yang membedakan antara PPAN dengan program

  landreform terdahulu.

I. Obyek Program Pembaharuan Agraria Nasional

  Tanah-tanah yang ditetapkan sebagai obyek reforma agraria pada dasarnya kelebihan maksimum. Identifikasi tanah negara yang dapat menjadi obyek reforma

  76 agraria merupakan tahapan yang sangat penting.

  Tanah Negara adalah bidang-bidang tanah yang tidak dimiliki perorangan atau badan hukum dengan hak tanah tertentu yang ditetapkan dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya, dan dengan demikian dikuasai langsung oleh negara. Terhadap tanah 76 Ibid, hal 814 semacam ini kekuasaan negara bersifat penuh dan mutlak. Negara sebagai “Badan Penguasa” (bukan pemilik) dapat mengatur peruntukan tanah ini dan menentukan hubungan hukumnya dengan seseorang atau badan hukum dengan suatu hak tertentu sesuai dengan peruntukan yang telah ditentukan. Apabila tanah tersebut telah diberikan negara dengan suatu hak tertentu kepada perseorangan atau badan hukum,

  77 maka dengan sendirinya kekuasaan Negara telah dibatasi oleh isi dari hak itu.

  Meskipun demikian, dalam faktanya kekuasaan Negara atas tanah-tanah yang belum dipunyai oleh seseorang atau badan hukum ini sedikit banyak dibatasi pula, misalnya oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Bilamana menurut kenyataan masih terdapat hak-hak ulayat sedemikian ini, maka kekuasaan negara atas tanah-tanah tersebut tidak bebas sepenuhnya. Begitu juga terhadap kawasan hutan yang secara legal juga tanah negara, tidak bisa diberikan suatu hak tertentu sampai dilepaskan terlebih dulu dari status kawasan hutan. Sehingga dengan demikian, tidak semua tanah negara dapat dengan bebas dijadikan sebagai obyek reforma agraria (PPAN).

  Kecamatan yang berbeda sehingga si pemilik tanah tidak bisa mengusahakan tanahnya tersebut secara aktif dan hal ini menurut peraturannya dapat diambil alih oleh pemerintah, namun pada prakteknya pengambilalihan tanah absentee dan tanah kelebihan tersebut oleh pemerintah tidak pernah ada realisasinya dikarenakan tidak ada orang yang mau memberikan tanahnya kepada orang lain tanpa ada ganti 77 Ibid, hal. 815 kerugian yang layak dan pesatnya peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan terbatasnya sumber daya tanah sehingga hal tersebut merupakan ketentuan

  landreform

  yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat pada saat ini.

  Mengingat makna strategis reforma agraria ini adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, maka diperlukan penyediaan tanah yang memadai baik dari luasnya maupun kualitasnya guna menjamin terselenggaranya restrukturisasi tersebut. Sehingga untuk itu, diperlukan penyediaan tanah dalam jumlah luas yang berada pada wilayah-wilayah yang berpenduduk kurang padat. Di sisi yang lain, pemilihan obyek reforma agraria di wilayah yang berpenduduk padat juga dipandang amat strategis untuk dapat menjawab persoalan kemiskinan dan penguasaan tanah yang sempit, selain diharapkan bisa turut membantu menyelesaikan sengketadan konflik pertanahan yang umumnya terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang lebih padat penduduknya.

  Berdasarkan kesemuanya ini, maka persoalan mengenai lokasi yang akan penguasaannya ada pada negara sepenuhnya. Apabila masih terdapat hak-hak yang melekat pada tanah yang menjadi calon lokasi reforma agraria, atau yang haknya masih disengketakan oleh berbagai pihak, maka hal ini harus diselesaikan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melalui kesepakatan dari pihak- pihak yang terlibat.