BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemiskinan - Analisis Tingkat Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Petani Padi Sawah di Desa Sidodadi Ramunia Kecamatan Deli Serdang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemiskinan

  Saat ini banyak terdapat cara pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbeda- beda. Ada dua kategori tingkat kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kondisi di mana tingkat pendapatan seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan relatif adalah perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan daerah. Kemiskinan jenis ini dikatakan relatif karena lebih berkaitan dengan distribusi pendapatan antar lapisan sosial (Sukino, 2013).

  Menurut Syaifullah (2008), penyebab kemiskinan sangat banyak, antara penyebab dan akibat sering berbalik misalnya miskin disebabkan oleh pendidikan yang rendah dikarenakan kemiskinan. Sekurang-kurangnya terdapat dua faktor utama penyebab timbulnya kemiskinan, yaitu :

  1. Kemiskinan kebudayaan (cultural) terjadi disebabkan adanya kesalahan pada subjek. Misalnya, malas, apatis, tidak percaya diri, gengsi, tidak memiliki jiwa wirausaha, serta tidak mempunyai kemampuan dan keahlian.

  2. Kemiskinan struktural (structural) biasanya terjadi disebabkan oleh faktor eksternal. Faktor ini secara tidak langsung menyebabkan seseorang menjadi miskin. Misalnya, pemerintah yang tidak adil, birokrasi yang lemah, serta minimnya kesadaran hukum.

  Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup: 1.

  Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.

  2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat.

  Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.

  3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

  Gejala kemiskinan disebabkan oleh indikator keluarga yaitu rata-rata kelahiran dan kematian, angka pengangguran meningkat, tingkat pendapatan rendah, status gizi rendah, status perumahan kumuh, tingkat pendidikan rendah, pengeluaran konsumsi pangan tidak mencukupi dan sebagainya. Sedangkan indikator kemiskinan ditandai oleh pendapatan perkapita wilayah yang rendah, persentase rawan gizi yang tinggi, umur harapan hidup rendah disertai rata-rata tingkat pendidikan rendah. Disamping itu, kondisi pemukiman, transportasi, sarana air bersih, jalan, fasilitas kesehatan, sarana pendidikan dan fasilitas umum lainnya tidak mencukupi (Supriatna, 2000). Pengukuran kemiskinan menurut BPS telah menghitung jumlah persentase penduduk miskin. Metode yang digunakan dalam penentuan penduduk miskin adalah dengan menggunakan metode batas atau garis kemiskinan melalui data Modul Konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Batas kemiskinan ini merupakan besarnya rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan (BPS, 2010). Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per-kapita dalam sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dengan acuan yang digunakan adalah 2.100 kalori per-hari. Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Dengan menggunakan standar kemiskinan tiap provinsi yang dibedakan menurut daerah perkotaan dan perdesaan dapat dihitung. Batas garis kemiskinan ini dibedakan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Berikut ini akan digambarkan melalui Tabel 1 mengenai indikator garis kemiskinan, jumlah penduduk serta persentase penduduk miskin di Indonesia dalam kurun waktu Maret 2011 s/d Maret 2012 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada 2012.

  

Tabel 1. Garis Kemiskinan Miskin Menurut Daerah dan Komponennya

(Kurun Waktu : Maret 2011

  • Maret 2012).

  Garis Kemiskinan (Rp. / Kapita / Bulan) Daerah / Tahun Bukan Makanan Total Makanan Perkotaan Maret 2011 177.342 75.674 253.016 Maret 2012 187.194 80.123 267.408 Perdesaan Maret 2011 165.211 48.674 213.395 Maret 2012 177.521 51.705 229.226

  Perkotaan + Perdesaan Maret 2011 171.834 61.906 233.740 Maret 2012 182.796 65.910 248.707

  Sumber : Badan Pusat Statistik 2012.

  Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa Garis Kemiskinan untuk daerah perkotaan pada Maret 2012 adalah Rp.267.408/kapita/bulan dan untuk daerah perdesaan pada Maret 2012 adalah Rp.229.226/kapita/bulan. Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin (PM) (BPS, 2012).

  Pada saat ini, dunia usaha lapangan pekerjaan menggunakan standard Upah Minimum Regional (UMR) untuk menetapkan standard terendah pendapatan yang diterima oleh buruh atau pekerja suatu perusahaan. Dimana Upah Minimum Regional yang berlaku pada saat penelitian adalah sebesar Rp.1.290.000,00/bulan.

2.2 Distribusi dan Ketimpangan Pendapatan

  Untuk menghitung biaya dan pendapatan dalam usahatani dapat digunakan tiga jenis pendekatan yaitu pendekatan nominal (nominal approach), pendekatan nilai yang akan datang (future value approach), dan pendekatan nilai sekarang (present

  

value approach ). Namun pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah

  pendekatan nilai sekarang (present value approach), yaitu, pendekatan yang memperhitungkan semua pengeluaran dan penerimaan dalam proses produksi pada saat dimulainya proses produksi (Suratiyah, 2009). Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Barangkali ukuran yang sangat berguna untuk menilai penampilan usahatani kecil adalah penghasilan usahatani. Angka ini diperoleh dari pendapatan usahatani dengan mengurangkan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman (Soekartawi, 1995).

  Selanjutnya Soekartawi (1995) menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut,

  

TR = Y . Py

  dimana, TR = Total penerimaan (Rp.) Y = Produksi (kg) Py = Harga jual per-kg

  Menurut Soekartawi (1995), pendapatan petani dari usahatani dapat dihitung dengan menggunakan rumus,

  

π = TR – TC

  dengan, π = Pendapatan (Rp.) TR = Total penerimaan (Rp.) TC = Total biaya produksi (Rp.) Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Oleh karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran. Dalam analisis ini akan digunakan empat ukuran untuk merefleksikan ketimpangan pendapatan yaitu koefisien Gini (Gini Ratio ), Ukuran Bank Dunia, Indeks Theil dan Indeks-L (BPS, 2012).

  Distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator pemerataan. Pemerataan akan terwujud jika proporsi pendapatan yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat tertentu sama besarnya dengan proporsi kelompok tersebut. Misalnya jika sekelompok masyarakat yang proporsinya sebesar 40% dari total penduduk maka seharusnya mereka juga menguasai pendapatan sebesar 40% dari total pendapatan. Ada sejumlah alat untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Alat yang lazim digunakan adalah Gini Ratio dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia (Hasrimi, 2010). Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Koefisien

  

Gini merupakan keseluruhan bobot atau ukuran ketidakmerataan dan dapat bervariasi mulai dari nol (kesamarataan sempurna) sampai dengan satu (ketidakmerataan sempurna). Untuk menghitung besarnya nilai Gini Ratio dapat digunakan rumus berikut :

  • = – ∑ - ( )

  − =

  dengan, GR = Angka koefisien Gini (Gini Ratio)

  x

  f = Proporsi jumlah RT

  i

  Y = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif i = Index yang menunjukkan nomor sampel Nilai indeks Gini ada diantara 0-1. Semakin tinggi nilai indeks Gini menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai indeks gini adalah 0 maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi pendapatan, sedangkan

  Kategori jika bernilai 1 berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan yang sempurna.

tingkat ketimpangan berdasarkan nilai dari indeks Gini (Gini Ratio) dibagi kedalam

tiga kriteria sebagaimana tertera pada

  Tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Indikator Ketimpangan Gini Ratio.

  Nilai Gini Ratio Tingkat Ketimpangan

  < 0,35 Rendah 0,35 Sedang

  • – 0,5 > 0,5 Tinggi

  Sumber :

  Todaro (1995) menyatakan bahwa koefisien Gini (Gini Ratio) dapat dijelaskan dengan menggunakan kurva Lorenz yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi seragam yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin sampai terkaya) digambar pada sumbu horizontal dan persentase pendapatan digambar pada sumbu vertikal. Kurva Lorenz dapat dilihat pada Gambar 1 :

  Sumber : Todaro (1995) Gambar 1. Bentuk Kurva Lorenz

  Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase jumlah pendapatan sama dengan persentase jumlah penerimanya (penduduk). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50% pendapatan telah didistribusikan secara tepat kepada 50% jumlah penduduk. Titik yang terletak pada posisi ¾ garis diagonal menunjukkan 75% pendapatan telah didistribusikan secara tepat kepada 75% jumlah penduduk. Garis diagonal tersebut merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect equality) dalam distribusi pendapatan. Sebagai contoh, titik A menunjukkan bahwa 10% kelompok penduduk terbawah (termiskin) dari jumlah penduduk menerima 1,8% dari jumlah pendapatan. Titik B menunjukkan bahwa 20% kelompok penduduk terbawah menerima 5% dari jumlah pendapatan, demikian seterusnya bagi setiap delapan kelompok lainnya. Perhatikanlah titik tengah menunjukkan bahwa 50% penduduk hanya menerima

  19,8% dari jumlah pendapatan. Semakin tinggi derajat ketimpangan maka kurva

  

Lorenz akan semakin melengkung (cembung) dan semakin mendekati sumbu

horizontal sebelah bawah (Todaro,1995).

  Menurut BPS (2012), selain penggunaan koefisien Gini (Gini Ratio) yang dilengkapi dengan kurva Lorenz, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan juga dapat diukur dengan menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World

  

Bank ). Ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan kriteria Bank Dunia

  (World Bank) ini diperoleh dengan menghitung persentase jumlah pendapatan dari 40% kelompok penduduk berpendapatan terendah dibandingkan dengan total pendapatan seluruh penduduk. Bank Dunia (World Bank) mengklasifikasikan tingkat ketimpangan berdasarkan tiga kategori seperti yang terlihat pada Tabel 3 berikut ini :

  Tabel 3. Indikator Ketimpangan Menurut Bank Dunia (World Bank). Klasifikasi Distribusi Pendapatan

  40% penduduk berpendapatan rendah menerima < 12% Ketimpangan Tinggi dari total pendapatan

  40 % penduduk berpendapatan rendah menerima 12% Ketimpangan Sedang

  • –17% dari total pendapatan Ketimpangan 40% penduduk berpendapatan rendah menerima > 17% Rendah dari total pendapatan

  Sumber : Badan Pusat Statistik 2012

2.3 Penelitian Sebelumnya 1.

  Menurut penelitian Rifai (2005), yang dilakukan di desa Kuok kecamatan Bangkinang Barat kabupaten Kampar, menyatakan bahwa distribusi pendapatan keluarga petani di daerah penelitian pada kategori ketimpangan tinggi dengan koefisien Gini sebesar 0,437. Pendapatan dari sekor pertanian memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap terjadinya ketimpangan pendapatan.

2. Menurut penelitian Prida (2009), yang dilakukan di Lingkungan 9 Kelurahan

  Pulo Brayan Kota kecamatan Medan Barat kota Medan, menyatakan bahwa tingkat kemiskinan pengolah ikan rebus di daerah tersebut menurut kriteria Sayogyo 360 kg beras per orang/tahun adalah berada di atas garis kemiskinan dan berdasarkan kriteria Upah Minimum Regional sebesar Rp 1.048.000 adalah berada dibawah garis kemiskinan.

  3. Menurut penelitian Halim (2012), yang dilakukan di desa Tanjung Beringin kecamatan Sumbul kabupaten Dairi, menyatakan bahwa Pendapatan petani dari usahatani kopi Arabika mampu memberikan kontribusi terbesar yakni sebesar 65,68%. Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani di daerah tersebut menurut indikator koefisien Gini (Gini Ratio) berada dalam kategori menengah dengan nilai Gini Ratio sebesar 0,36. Sedangkan menurut indikator Bank Dunia (World Bank), tingkat ketimpangan distribusi pendapatan berada dalam kategori rendah sekitar 19,26%. Sedangkan menurut kriteria garis kemiskinan Sajogyo (1988), proporsi petani kopi Arabika miskin di desa Tanjung Beringin sebanyak 9 keluarga atau sekitar 21,43%. Sementara itu menurut kriteria garis kemiskinan BPS (2010), proporsi petani kopi Arabika miskin di desa Tanjung Beringin selama 2011 adalah sebanyak 7 keluarga atau sekitar 16,67%, sedangkan selebihnya sebanyak 35 keluarga atau sekitar 83,33% berada dalam kategori tidak miskin.

2.4 Kerangka Pemikiran

  Pada umumnya masyarakat desa yang mayoritas petani memiliki keragaman matapencaharian untuk memenuhi kebutuhan keluarga, artinya walaupun suatu keluarga telah memiliki usahatani utama namun tetap berupaya untuk mengusahakan berbagai jenis cabang usahatani yang lain maupun kegiatan bukan usahatani. Sumber pendapatan usahatani non padi sawah meliputi, palawija (jagung, ubikayu, kelapa, kelapa sawit, karet, dan lainnya), hortikultura (kacang tanah, kacang kedelai, sawi, tomat, timun dan lainnya), beternak, nelayan.

  Sumber pendapatan yang berasal dari luar usahatani terdiri dari sektor formal seperti pegawai negeri, ABRI, dan sector informal seperti berdagang, usaha industry, pekerja bangunan dan jasa. Sumber pendapatan non usahatani di desa penelitian meliputi buruh, pedagang atau wiraswasta.

  Untuk memperoleh suatu pendapatan dari usahatani padi sawah, terlebih dahulu petani padi sawah harus menghitung berbagai jenis biaya pengeluaran dari proses prapanen hingga pascapanen dari usahatani padi sawah mereka. Biaya pengeluaran ini disebut juga dengan biaya produksi, yang terdiri dari:  penyusutan peralatan pertanian  upah tenaga kerja  penggunaan sarana produksi  biaya PBB, pengairan, sewa lahan dan lainnya Setelah menghitung jumlah biaya produksinya, barulah petani padi sawah dapat menghitung pendapatannya dengan mengurangi penerimaan petani padi sawah terhadap jumlah biaya produksinya.

  Pendapatan petani dari usahatani padi sawah ini kemudian ditambahkan dengan pendapatan yang berasal dari usahatani lain dan dari luar usahatani. Sehingga menghasilkan sebuah perhitungan baru yang disebut dengan total pendapatan petani padi sawah. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Untuk lebih jelas lagi mengenai kerangka pemikiran yang digunakan dapat dilihat pada skema kerangka pemikiran pada Gambar 2 dibawah ini :

  PETANI Usahatani Padi Sawah Usaha Non Padi Sawah

  Dan Kegiatan Non Usahatani

  Produksi Padi Sawah Total

  Biaya Produksi Pendapatan Pendapatan Tambahan

  Total Pendapatan Tingkat Ketimpangan

  Pendapatan Kemiskinan

  Keterangan : : hubungan

  

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Tingkat Ketimpangan

Pendapatan dan Kemiskinan Petani Padi Sawah

2.5 Hipotesis Penelitian

  Adapun hipotesis penelitian yang dapat diajukan adalah sebagai berikut : 1.

  Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani padi sawah didaerah penelitian berada pada ketegori tinggi, baik menurut indikator ketimpangan Gini

  Ratio maupun indikator ketimpangan Bank Dunia.

  2. Sumber-sumber pendapatan petani padi sawah cukup beragam dan pendapatan dari usahatani padi sawah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% terhadap total pendapatan petani padi sawah didaerah penelitian.