PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL BAGI MASY

PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL BAGI
MASYARAKAT DITINJAU DARI TEORI HUKUM RESPONSIF

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara Hukum.1 Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya
pengakuan atas hak asasi manusia. Pengakuan atas adanya hak asasi manusia di Indonesia
ditunjukan dengan dituangkannya pengakuan tersebut didalam batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 diatur pada
BAB XA dari Pasal 28A hingga 28J. Pasal 28A menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28A ini menjadi inti
dari pasal-pasal berikutnya yang mengatur tentang hak asasi manusia. Hak setiap orang dalam
mempertahankan hidup dan kehidupannya tersebut dituangkan secara lebih rinci dalam Pasal
28B UUD 1945 hingga Pasal 28J UUD 1945.
Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 mengatur tentang hak asasi manusia yang terkait dengan
hak masyarakat untuk memperoleh janiman sosial yang memungkinkan pengembangan diri
masyarakat sebagai manusia yang bermartabat. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib
menjalankan pemerintahannya berdasarkan pada konstitusi.2 Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 ini
kemudian diturunkan menjadi suatu undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan dari

penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut UU jaminan Sosial).
Sejak kemunculan UU jaminan Sosial, hingga tahun 2011 sebelum adanya UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya
1 Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945
2 Salah satu ciri negara hukum adalah Pemerintahan berdasarkan atas hukum atau dalam bentuk lain adalah
peraturan perundang-undangan. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006,
hlm 9.

disebut dengan UU BPJS) pelaksanaan jaminan sosial bagi masyarakat dilaksanakan oleh
beberapa

badan,

antara

lain:

Perusahaan

Perseroan


Jaminan

Sosial

Tenaga

Kerja

(JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN),
Perusahaan Perseroan Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia(ASABRI), serta
Perusahaan Perseroan Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). 3 Jika dilihat dari badan
penyelenggara jaminan sosial maka kesimpulan sementara dari penulis adalah jaminan sosial
yang selama ini dilaksanakan hanya sebatas pada jaminan atas kesehatan, kecelakaan kerja, dan
jaminan hari tua/pensiun.4 Meskipun penyelenggaraan jaminan sosial telah diatur, faktanya
penulis menemukan bahwa jaminan sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah pada saat itu
hanya dilaksanakan sebatas bagi sekelompok tertentu, misalnya JAMSOSTEK hanya untuk
pekerja, ASKES hanya untuk PNS dan masyarakat “tidak mampu”, TASPEN untuk dana pensiun
PNS, serta ASABRI yang diperuntukan sebagai jaminan hari tua bagi para pensiunan ABRI.5
Berdasakan fakta tersebut, adanya UU Jaminan Sosial senyatanya dapat dikatakan

belum mampu memberikan jaminan sosial yang semestinya dapat diberikan bagi seluruh lapisan
masyarakat. Belum lagi adanya persoalan lain yaitu apakah yang disebut jaminan sosial hanya
sebatas pada jaminan hari tua, kecelakaan kerja, dan kesehatan saja?
B. Rumusan Masalah
Atas berbagai permasalahan yang muncul pada latar belakang, maka penulis menyusun
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah dengan telah adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 jaminan sosial di
Indonesia telah dapat terselenggara dengan baik sebagaimana yang telah di harapkan dalam
pasal 28H ayat (3) UUD 1945?
2. Bagaimana seharusnya hukum dibentuk agar dapat mengatur pelaksanaan terjaminnya
jaminan sosial bagi masyarakat?

3 Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasioanl
4 Ternyata analisis penulis dikuatkan setelah melihat pada Pasal 18 yang mengatur tentang jenis progam
jaminan sosial dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
5 Fakta ini diketahui langsung oleh penulis berdasarkan pengalaman pengamatan dilapangan.

1

BAB II

ISI

A. Pengaturan Jaminan Sosial di Indonesia
Sistem Jaminan Sosial sebagaimana yang telah diuraikan secara singkat dalam latar
belakang masalah, telah diatur secara tegas di dalam batang tubuh UUD 1945. Bahkan Pasal 28H
ayat (3) menyebut dengan tegas terkait kata “jaminan Sosial” tersebut. lalu sesungguhnya apakah
jaminan sosial itu? Dan apa bentuk jaminan yang harus diberikan pemerintah kepada warganya
terkait jaminan sosial tersebut?
Untuk menjawab hal tersebut, pasal 28H ayat (3) turunkan dalam bentuk UndangUndang yaitu dengan di bentuknya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jaminan
Sosial. Pengertian terkait apa itu jaminan sosial tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU jaminan
Sosial yaitu sebagai berikut “Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.” Pasal
tersebut memberi penjelasan atas pemberian jaminan sosial atas kebutuhan dasar bagi seluruh
rakyat oleh masyarakat. Namun perlu diketahui mengenai maksud dari kebutuhan dasar tersebut?
Jika harus menerjemahkan kebutuhan dasar yang dijamin oleh pemerintah melalui UU Jaminan
Sosial, penulis hanya melihat adanya penjaminan atas hak kesehatan dan jaminan hari tua bagi
masyarakat.6
Kebutuhan dasar manusia dalam penjelasan Pasal 3 UU Jaminan Sosial adalah
kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Terhadap penjelasan tersebut penulis mengartikan bahwa jaminan

atas kebutuhan dasar masyarakat seharusnya adalah jaminan untuk masyakat agar dapat hidup
layak sebagai perwujudan dari kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kenyataannya,
ketika merujuk dalam penjelasan umum UU Jaminan Sosial tujuan yang ingin dicapai atas
6 Lihat kembali dalam latar belakang, penulis menjelaskan terkait bentuk jaminan sosial yang dijalankan
pemerintah dalam UU Jaminan Sosial

2

pemberian jaminan sosial dalam UU Jaminan Sosial tersebut hanya sebatas pada suatu progam
yang diharap dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila tejadi hal-hal yang
dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit,
mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.7 Huruf yang
bercetak miring menjadi penekanan penulis karena, menurut penulis kalimat tersebut dapat
diartikan sebagai alasan dasar dalam pemberian jaminan sosial terhadap masyarakat.
Pembatasan atas adanya ketentuan tersebut dinilai tidak sesuai dengan tujuan yang
terdapat Pasal 3 UU Jaminan Sosial yang menyatakan bahwa adanya sistem jaminan sosial
bertujuan untuk memberikan jaminan kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap peserta/ anggota
keluarga. Pasal 3 tersebut menegaskan pada pemberian jaminan atas kebutuhan dasar yang layak,
menurut pemahaman penulis kebutuhan dasar tersebut tidak hanya sebatas pada pada kesehatan,
kecelakaan, kehilangan pekerjaan, serta jaminan bagi yang telah memasuki usia pensiun saja.

Menurut pandangan ahli pada umumnya kebutuhan dasar manusia terdiri atas kebutuhankebutuhan seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, kebebasan, serta pekerjaan
yang layak.8 Jadi sesungguhnya kebutuhan dasar manusia sesungguhnya lebih luas dari cakupan
yang terdapat dalam UU Jaminan Sosial.
Selain adanya kelemahan mengenai hal yang dipenuhi atas jaminan kebutuhan dasar
manusia tersebut, Pasal 3 UU Jaminan Sosial juga menunjukan suatu kelemahan didalamnya.
Dalam akhir frasa pasal 3 menunjukan bahwa Jaminan Sosial diberikan hanya kepada peserta
maupun anggota keluarga dari peserta. Dengan kata lain, frasa tersebut membatasi bahwa
pemerintah hanya akan memberi jaminan sosial hanya kepada peserta dari progam jaminan sosial
yang dilaksanakan oleh badan pelaksana yang ditunjuk oleh UU Jaminan Sosial. Adanya dasar
alasan dalam pemberian jaminan sosial kepada masyarakat di dalam UU Jaminan Sosial tersebut
menurut penulis merupakan suatu “lubang” dalam sistem jaminan sosial bagi masyarakat yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan adanya pembatasan tersebut, dengan kata lain UU
Jaminan Sosial ini belum bisa memenuhi apa yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) UUD
1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
7 Uraian tersebut merujuk pada alinea 3 penjelasan umum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional.
8 Role of sociology in Indonesian development ; papers of the 1990 national seminar of HIPIIS, the
Indonesian Association for the Development of Sociology, Membangun Martabat Manusia:Peranan Ilmu Sosial
dalam Pembangunan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press bekerjasama dengan HIPIIS, 1992, hlm 477


3

memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Pasal
28H ayat (3) tersebut dengan tegas menyebutkan bahwa yang berhak atas jaminan sosial adalah
bagi setiap orang atau dengan kata lain adalah bagi seluruh warga negara tanpa pengecualian.
Fakta-fakta yang telah diuraikan tersebut dapat dikatakan bahwa keberadaan UU
Jaminan Sosial belum mampu menjawab kebutuhan atas jaminan sosial bagi seluruh masyarakat.
Jika merujuk pada apa itu hukum, dan jika hukum dikatakan berorientasi pada dua asas yaitu
keadilan dan merujuk pada daya guna,9 maka menurut pandangan penulis UU Jaminan Sosial
sebagai hukum yang mengatur tentang jaminan sosial dapat dikatakan belum memenuhi kedua
asas tersebut.
Tahun 2011, Pemerintah mengeluarkan teraturan perundang-undangan baru yang
mengatur terkait pelaksanaan jaminan sosial yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (selanjutnya disebut dengan UU BPJS). UU BPJS ini
secara khusus mengatur tentang pelaksanaan sistem jaminan sosial melalui suatu badan yang
baru sebagai bentuk pembaruan sistem pelayanan pemberian jaminan sosial bagi masyarakat.
Badan penyelenggara sistem jaminan sosial (yang disingkat BPJS) merupakan suatu pembaruan
yang tujuan utamanya mentransformasi empat badan penyelenggaraan jaminan sosial dalam UU
Jaminan Sosial (yaitu: JAMSOSTEK, ASKES, ASABRI, dan TASPEN) kedalam satu badan
denganh tujuan memperceat terselenggaranya jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.10

UU BPJS juga mengatur terkait bentuk jaminan sosial yang diberikan pemerintah
kepada masyarakat di dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Bentuk jaminan sosial yang diselenggarakan
terdiri dari dua jenis, yaitu BPJS kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang mencakup pada
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, serta jaminan kematian. Jika
merujuk pada bentuk jaminan sosial yang diberikan oleh pemerintah, dengan adanya undangundang baru terkait badan pelaksanaan jaminan sosial maka tidak ada bentuk baru yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Pemberian jaminan sosial masih saja hanya sebatas pada
kesehatan dan ketenagakerjaan. Padahal, bila merujuk kembali pada tujuan pemberian jaminan
sosial adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar maka jika jaminan sosial hanya diberikan sebatas
pada kesehatan dan ketenagakerjaan saja akan dirasa sangat kurang.
9 Penjelasan definisi Hukum berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna dirujuk dalam O.
Notohamidjojo (Tri Budiyono (edt)), Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm 14.
10 Huruf c Konsiderans Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.

4

Huruf a konsiderans UU BPJS, didalamnya disebutkan bahwa sistem jaminan sosial
adalah suatu progam negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat. Dari pernyataan tersebut maka dapat dikatakan tujuan pemberian
jaminan sosial adalah kesejahtearaan sosial bagi seluruh rakyat. Tercapainya kesejahteraan akan

terwujud apabila masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya, dan kebutuhan dasar manusia
itu sebagaimana pernah dijelaskan sebelumnya tidak hanya sebatas pada kesehatan dan
penjaminan ketenagakerjaan saja.
Jika pemerintah ingin mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
maka juga diperlukan suatu upaya untuk memberikan jaminan sosial yang dapat memenuhi
kebutuhan dasar manusia, seperti hal-hal yang terkait dengan kebutuhan atas pemenuhan tempat
tinggal, kebutuhan atas pendidikan dan pekerjaan yang layak. Pemenuhan tiga kebutuhan dasar
ini menjadi kurang diperhatikan karena pemerintah selama ini hanya fokus pada dua bentuk
pemberian jaminan sosial yang ada selama ini. Padahal sesungguhnya pemenuhan kebutuhan
atas tempat tinggal yang layak, pendidikan dan pekerjaan yang layak juga harus menjadi fokus
utama pemerintah, karena jika berbicara tiga hal itu maka sasaran utamanya adalah bagi
masyarakat ekonomi bawah. Justru hal ini harus menjadi suatu arah pemberian jaminan sosial,
jika memang tujuan dari pemberian jaminan sosial adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Meskipun dalam UU BPJS memiliki “lubang” dalam bentuk pemberi jaminan sosial
bagi pemerintah, namun UU BPJS juga telah mampu mengakomodir kekurangan dari
penyelenggaraan jaminan sosial dalam UU Jaminan Sosial. Dalam UU Jaminan Sosial, sasaran
dari pemberian jaminan sosial hanyalah kepada para peserta atau anggota keluarganya.
Sesungguhnya sasaran dalam UU BPJS ini sama, yang membedakan adalah pada siapa saja yang
dapat menjadi pesertanya. Peserta jaminan sosial dalam UU jaminan sosial yang dilaksanakan

oleh empat badan pelaksana yaitu JAMSOSTEK, ASKES, ASABRI, dan TASPEN sangatlah
terbatas, tidak semua masyarakat dapat menjadi pesertanya. Sebagai contoh: untuk menjadi
peserta jamsostek yang diperbolehkan adalah mereka yang bekerja disektor formal yang
kepesertaannya akan diurus oleh perusahaan tempat mereka bekerja, lalu bagaimana dengan
mereka yang hanya bekerja di sektor informal? Untuk kepesertaan ASKES, sepemahaman
penulis, pada saat itu kepesertaan ASKES hanya dapat dimiliki oleh pegawai negeri dan
keluarganya serta orang-orang miskin. Hal yang sama juga berlaku bagi kepesertaan pada
5

ASABRI dan TASPEN. UU BPJS pada akhirnya mampu menutup celah ini. Pasal 1 angka 4 UU
BPJS menyebutkan bahwa peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Dari pasal tersebut dipahami
bahwa UU BPJS mengakomodir kepesertaan jaminan sosial bagi seluruh masyarakat. Meskipun
dalam peryataan pasal tersebut di sebutkan terkait pembayaran iuran namun dalam pasal-pasal
berikutnya terdapat suatu penekanan bagi kewajiban pembayaran

iuran baik bagi individu

maupun kewajiban pembayaran iuran bagi pemberi kerja. UU BPJS mengakomodir pemberian
jaminan sosial bagi seluruh pekerja baik di sektor formal maupun informal. 11 Sebagai suatu

tindakan tegas agar seluruh masyarakat dapat merasakan manfaat dari pemberian jaminan sosial
maka memiliki kewenangan untuk menagih pembayaran iuran bagi peserta.12
Dari pembahasan diatas maka menjadi suatu kritik adalah dengan adanya dua undangundang yang mengatur tentang penyelenggaraan jaminan sosial bagi masyarakat pada
kenyataannya belum dapat secara penuh menjadi upaya pemenuhan kebutuhan jaminan sosial
yang menuju kearah kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Hal ini terutama ditunjukan bahwa
pemerintah belum secara utuh mengakomodir kebutuhan masyarakat.
Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, memang merupakan suatu pasal yang menegaskan
bahwa diperlukannya suatu jaminan sosial bagi masyarakat yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh dan bermartabat. Lalu bagaimana atau apa yang dimaksud dengan
mengembangkan diri secara utuh? Untuk melihat makna mengembangkan diri secara utuh maka
Pasal 28H UUD 1945 tidak dapat dilihat hanya pada 1 ayat yang berdiri sendiri, namun harus
dilihat juga kaitannya dengan ayat lainnya dalam pasal 28H UUD 1945 ini.
Pasal 28H ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak
memperoleh layanan kesehatan. Pasal 28 ayat (2), “setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
suatu persamaan dan keadilan”.

11 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 15 yang menyebutkan bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib
mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan progam jaminan sosial yang
diikuti.
12 Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Sistem Jaminan
Sosial

6

Jaminan bagi masyarakat untuk dapat mengembangkan diri secara utuh dapat dikaitkan
dengan pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yaitu hak bagi masyarakat untuk hidup sejahtera, memiliki
tempat tinggal, serta memperoleh layanan kesehata. Jika hal tersebut dapat dipenuhi maka
masyarakat dapat memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri mereka secara utuh. Maka
dari itu, penyelenggaraan jaminan sosial bagi masyarakat juga harus selalu mengarah pada
pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana yang telah ada dalam analisis sebelumnya,
UU jaminan sosial dan UU BPJS belum secara utuh dapat memberikan pemenuhan kesejahteraan
bagi masyarakat.
Selain itu, guna memenuhi amanat pasal 28H ayat (3) UUD 1945 juga harus
memperhatikan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Bahwa dalam penyelenggaraan sistem jaminan
sosial bagi masyarakat harus dapat memberi kemudahan serta perlakuan khusus agar setiap orang
memiliki kesempatan yang sama. Yang dimaksud perlakuan khusus dan kemudahan disini adalah
adanya suatu perlakuan khusus bagi mereka yang tidak mampu. Dalam UU BPJS khususnya
dalam BPJS kesehatan telah dapat melaksanakan hal tersebut. BPJS Kesehatan mengenal adanya
iuran bagi mereka yang mampu dan bagi yang tidak mampu mendapatkan suatu kekhususan
untuk mendapatkan fasilitas tersebut secara Cuma-Cuma. Kehususan dalam BPJS kesehatan
tidak hanya dirasakan bagi yang tidak mampu. Setiap orang merasakan perlakuan kemudahan
dan perlakuan khusus dalam pelaksanaan BPJS kesehatan. Terkait kepesertaan dalam BPJS,
iuran (premi) dapat disesuaikan dengan kehendak dan kemampuan dari setiap individu.

B.

Pembaruan hukum, sebagai upaya mewujudkan jaminan sosial
Dari penjelasan sub bab A, telah diketahui bahwa telah adanya UU Jaminan Sosial dan

UU BPJS senyatanya masih ditemukan kekurangan dalam pemberian bantuan hukum bagi
masyarakat. Sebagai suatu sistem norma dan untuk mewujudkan suatu keadilan maka hukum
yang dibentuk harus dapat menciptakan suatu persamaan dihadapan hukum bagi seluruh warga
negara.13Maka dari itu maka masih diperlukan suatu hukum yang dapat menjadi wadah untuk
memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.

13 H. Zainudin Ali, Sosiologi Hukum,Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm 101.

7

Jika merujuk pada pemikiran O. Notohamidjojo bahwa hukum berorientasi pada
keadilan dan daya guna14 maka dibutuhkan suatu hukum yang dapat mewujudkan keadilan yaitu
persamaan kesejahteraan pada masyarakat serta menciptakan suatu hukum yang memiliki daya
guna bagi masyarakat. Hukum yang berdaya guna disini maksudnya adalah hukum yang dapat
memberi kepuasan bagi masyarakat.15
Untuk menciptakan suatu hukum yang berdaya guna maka hal ini dapat pula
diwujudkan dalam bentuk pembangunan hukum yang responsif. Suatu hukum yang responsif
menurut konsep Philipe Nonet dan Philip Selznick adalah suatu hukum yang dapat memenuhi
tuntutan kebutuhan sosial terhadap masalah keadilan sosial dengan tetap mempertahankan hasilhasil pelembagaan yang telah dicapai kekuasaan berdasar hukum. 16 Suatu hukum yang responsif
memiliki tipe bahwa hukum merupakan fasilitator dari respon terhadap kebutuhan sosial.17
Suatu hukum yang responsif memiliki makna bahwa hukum diciptakan untuk melayani
kebutuhan serta kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan oleh rakyat.18 Dengan kata lain
maka, sumber dari pembentukan hukum yang responsif adalah berasal dari rakyat, yang diambil
dari kepentingan-kepentingan yang dibutuhkan masyarakat.
Dalam konteks pemberian jaminan sosial bagi masyarakat tersebut, pembaruan hukum
sistem jaminan sosial sangat diperlukan guna menjawab kebutuhan dalam masyarakat. Hukum
yang dibentuk sebagai upaya pemenuhan jaminan sosial harus mampu lebih responsif karena
jaminan sosial memiliki suatu hubungan yang sangat erat pada pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Pembentukan hukum yang terkait jaminan sosial harus berasal dari masyarakat,
menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat, sehingga kemudian hukum yang diciptakan akan
memberi suatu keadilan dan daya guna bagi masyarakat.
Pada konteks saat ini, Presiden jokowi telah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat
dengan menerbitkan tiga kartu yaitu kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Sejahtera, dan Kartu
Indonesia Pintar. Kebijakan Presiden jokowi dalam menerbitkan tiga kartu tersebut dapat
dipandang sebagai kebijakan pemerintah dalam menjalankan jaminan sosial yang lebih utuh
14 dalam O. Notohamidjojo (Tri Budiyono (edt)), Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media,
2011, hlm 14.
15 Ibid.,
16 A. Mukhtie Fajar, Teori Hukum Kontemporer, malang: Setara Press, 2013, hlm 49.
17 Ibid.,
18 Ibid, hlm 55.

8

yang belum terlihat atau lebih tepatnya belum terlihat sebagai satu kesatuan utuh dalam bentuk
sistem jaminan sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah yang lalu.
Meski kebijakan telah mulai diterapkan oleh pemerintahan kabinet kerja pada saat ini,
namun masih sangat perlu upaya pembentukan suatu hukum yang responsif, yang dapat
menjawab kebutuhan masyarakat, dan juga sebagai suatu bentuk kepastian hukum atas
pelaksanaan kebijakan tersebut. Jika kemudian hari hukum yang demikian dibentuk maka ia
akan terlihat sebagai hukum yang responsif karena dalam hukum responsif memiliki ciri-ciri
adanya pergeseran penekanan dari aturan ke prinsip-prinsip atau tujuan, serta hukum yang
memiliki karakter kerakyatan.19

19 Ibid., hlm 56.

9

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

Hingga saat ini pelaksaan jaminan sosial di Indonesia belum mampu menjalankan
amanat dari pasal 28H ayat (3) UUD 1945, karena pemberian jaminan sosial masih diberikan
sebatas pada jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan saja. Maka dari itu diperlukan sebuah
pembaruan hukum yang dapat menjamin adanya jaminan sosial bagi masyarakat di segala bidang
seperti pemenuhan kebutuhan perumahan, pendidikan serta pekerjaan yang layak bagi
masyarakat yang membutuhkan. Untuk dapat menciptakan hukum yang demikian maka
diperlukan suatu upaya untuk menciptakan hukum yang lebih responsif dengan melihat
kebutuhan dalam masyarakat itu sendiri.

Daftar Pustaka

A. Mukhtie Fajar, Teori Hukum Kontemporer, malang: Setara Press, 2013.
10

O. Notohamidjojo (Tri Budiyono (edt)), Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006
Role of sociology in Indonesian development ; papers of the 1990 national seminar of HIPIIS, the
Indonesian Association

for

the

Development

of

Sociology,

Membangun

Martabat

Manusia:Peranan Ilmu Sosial dalam Pembangunan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
bekerjasama dengan HIPIIS, 1992.
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum,Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Sistem Jaminan Sosial

11