Teori Klasik Tentang Metal oleh Drude-Lorentz

  

Sifat Listrik Metal

Sudaryatno Sudirham

  Berbeda dengan jenis material yang lain, metal memiliki konduktivitas listrik dan konduktivivats thermal yang tinggi. Dalam upaya memahami mekanisme konduktivitas listrik Drude dan Lorentz mengembangkan teori yang secara quantitatif menerangkan tentang konduktivitas metal. Teori klasik ini belum memuaskan dalam memberikan estimasi jumlah elektron-bebas, namun kita akan membahasnya lebih dulu.

  Teori Klasik Tentang Metal oleh Drude-Lorentz

  Pada teori ini elektron dalam metal dianggap sebagai partikel elektron yang dapat bergerak bebas dalam potensial internal kristal yang konstan. Dinding potensial hanya terdapat pada batas permukaan metal, yang mencegah elektron untuk meninggalkan metal. Hal ini berarti bahwa energi elektron dalam metal haruslah lebih rendah dari dinding potensial di permukaan metal. Perbedaan energi ini merupakan fungsi-kerja sebagaimana dibahas dalam peristiwa photo-listrik.

  Elektron-bebas (elektron valensi) dalam metal dianggap berada pada tingkat-tingkat energi yang berubah secara kontinyu (tidak diskrit). Gerakan elektron hanya terhambat oleh benturan dengan ion metal sementara interaksi antar elektron tidak dipersoalkan. Elektron- bebas seperti ini berperilaku seperti gas ideal yang mengikuti prinsip ekuipartisi Maxwell- Boltzmann.

  Molekul gas ideal memiliki tiga derajat kebebasan. Energi kinetik rata-rata per derajat kebebasan adalah ½k T, sehingga

  B

  3 E k T .

  energi rata-rata per elektron adalah =

  B

  2 Konduktivitas Listrik.

  Pemberian medan listrik pada metal menyebabkan seluruh

  

elektron-bebas bergerak dalam metal, sejajar dan berlawanan arah dengan arah medan

  listrik. Gerakan elektron sejajar medan listrik ini merupakan tambahan pada gerak thermal yang acak, yang telah dimiliki elektron sebelum ada medan listrik. Gerak thermal yang acak tersebut memiliki nilai rata-rata nol sehingga tidak menimbulkan arus listrik. Jika terdapat medan listrik sebesar E x maka medan ini akan memberikan percepatan pada elektron sebesar

  E e F x a (1)

  = = x

m m

  dengan e adalah muatan elektron, m adalah massa elektron, dan F adalah gaya yang bekerja pada elektron. Percepatan pada elektron memberikan kecepatan pada elektron sebesar v yang kita sebut kecepatan hanyut (drift velocity). Dalam perjalanannya sejajar arah medan, elektron ini membentur ion; dan setiap kali terjadi benturan, elektron dianggap kehilangan seluruh energi kinetiknya sehingga ia mulai lagi dengan kecepatan nol sebelum mendapat percepatan lagi. Dengan demikian kecepatan hanyut elektron berubah dari nol (sesaat setelah benturan) sampai maksimum sesaat sebelum benturan.

  Jika jarak rata-rata antara satu benturan dengan benturan berikutnya adalah L, yang disebut jalan bebas rata-rata, dan kecepatan hanyut rata-rata adalah v , sedangkan

  r

  kecepatan thermal rata-rata adalah , maka waktu rata-rata antara dua benturan adalah

  µ L t = (2)

  µ + v

r

  Kecepatan hanyut rata-rata v r ini jauh lebih kecil dari kecepatan thermal. Oleh karena itu

  L t ≈ (3) µ

  Kecepatan hanyut berubah dari nol (sesaat setelah benturan) sampai maksimum sesaat sebelum benturan. Kecepatan hanyut rata-rata adalah

  

v a t E e E e

L

maks x x x

v = = = t = (4) r

  2

  2 2 m 2 m µ

  Jika kerapatan elektron per satuan volume adalah n, maka kerapatan arus listrik yang terjadi adalah

  2 E e ne LE L x x j = nev = ne = (5) r

  

2 m µ

2 m µ

  Menurut hukum Ohm, kerapatan arus adalah

  E x j E (6)

  = = σ x e

  ρ e

  dengan e adalah resistivitas material dan σ e = 1/ρ e adalah konduktivitas listrik. Dengan

  ρ

  membandingkan (5) dan (6) diperoleh

  2 2 m µ ne L

  ρ = ; σ = (7) e e

  2 2 m

  µ ne L Persamaan (7) adalah formulasi untuk resistivitas dan konduktivitas listrik metal.

  Dalam praktek diketahui bahwa resistivitas tergantung temperatur. Pengaruh temperatur pada formula (7) muncul pada perubahan kecepatan thermal . Relasi antara dengan

  µ µ

  temperatur, diambil dari relasi energi untuk gas ideal adalah

  2 m µ

  3 E = = k T (8) B

  2

  2

  dengan k adalah konstanta Boltzmann. Relasi (8) memberikan

  B 1 /

  2

 

  

3 k T

B

  

 

µ = (9)

m

  

 

  Dengan relasi (9) maka resistivitas (7) menjadi

  

1 /

  2  

  2 m 3 k T

  2 1 /

  2 B  

  3 mk T (10) ρ = =

e ( B )

  2

  2  mne L ne L Inilah relasi yang menunjukkan resistivitas metal yang merupakan fungsi dari temperatur.

  1/2

  Dari relasi (10) kita mengharapkan bahwa resistivitas merupakan fungsi dari T . Hal ini berbeda dengan kenyataan, yang memperlihatkan bahwa resistivitas metal, mulai dari temperatur tertentu, berbanding lurus dengan kenaikan temperatur. Walaupun formulasi ini tidak sesuai dengan kenyataan namun pada temperatur kamar perhitungan dengan

  e ρ menggunakan (10) tidak jauh berbeda dengan hasil eksperimen.

  

Catatan: Ketidak-sesuaian relasi (10) dengan kenyataan dapat kita fahami karena banyak

  pendekatan yang dilakukan dalam memperoleh relasi ini, seperti misalnya pada penghitungan jalan bebas rata-rata dan waktu tempuh antar benturan elektron dengan ion, t.

  Pendekatan Statistik

  Pada temperatur di atas 0 K, elektron-elektron mendapat tambahan energi sehingga sejumlah elektron yang semula berada di bawah namun dekat dengan energi Fermi naik ke atas dan meninggalkan beberapa tingkat energi kosong yang semula ditempatinya. Perhitungan distribusi elektron pada temperatur di atas 0 K dilakukan dengan pendekatan statistik.

  Pada 0 K, semua tingkat energi sampai dengan tingkat energi Fermi terisi penuh sedangkan tingkat energi di atas energi Fermi kosong. Suatu fungsi f(E,T), yang berlaku untuk seluruh nilai energi dan temperatur baik di bawah maupun di atas 0 K, dapat didefinisikan sedemikian rupa sehingga memberikan nilai 1 dan untuk E < E , dan

  F

  memberikan nilai 0 untuk E > E . Artinya pada T = 0 K tingkat energi di bawah E pasti terisi

  F F

  sedangkan tingkat energi di atas E F pasti kosong. Energi E dalam fungsi tersebut terkait dengan energi elektron dalam sumur potensial dan oleh karena itu prinsip ketidak-pastian Heisenberg serta prinsip eksklusi Pauli harus diperhitungkan. Pembatasan-pembatasan pada sifat elektron seperti ini tidak terdapat pada pendekatan klasik, yang memandang partikel-partikel dapat diidentifikasi, posisi dan energi partikel dapat ditentukan dengan pasti, dan tidak ada pembatasan mengenai jumlah partikel yang boleh berada pada tingkat energi tertentu.

  Statistik kuantum yang diaplikasikan untuk metal adalah statistik Fermi-Dirac. Walau demikian, berikut ini kita akan melihat statistik klasik lebih dulu sebagai introduksi, baru kemudian melihat statistik kuantum; statistik klasik tersebut dikenal sebagai statistik Maxwel-Boltzmann. Statistik kuantum yang lain yaitu statistik Bose-Einstein belum akan kita tinjau. Hal ini kita lakukan karena dalam pembahasan metal akan digunakan statistik Fermi- Dirac.

  Distribusi Maxwell-Boltzmann.

  Dalam statistik ini setiap tingkat energi dianggap dapat ditempati oleh partikel mana saja dan setiap tingkat energi memiliki probabilitas yang sama untuk ditempati. Mencari probabilitas penempatan partikel adalah mencari

  jumlah cara bagaimana partikel tersebut ditempatkan. Jika N adalah jumlah

  keseluruhan partikel yang terlibat dalam sistem ini, maka cara penempatan partikel adalah sebagai berikut:

  • untuk menempatkan partikel pertama ada N cara (karena ada N partikel yang terlibat);
  • untuk menempatkan partikel yang kedua ada (N – 1) cara (karena sesudah penempatan partikel pertama tinggal terdapat (N – 1) partikel);
  • untuk menempatkan partikel yang ketiga ada (N – 2) cara, dan seterusnya.

  Jumlah cara untuk menempatkan n 1 dari N partikel di tingkat E 1 adalah

  N ! N ( N − 1 )( N − 2 )( N − 3 )......( Nn ) atau

  1 ( N n )!

  −

  1 partikel ini

  Setelah n

  1 partikel menempati tingkat energi E 1 urutan penempatan n

  1

  tidak ada artinya lagi; sebagai misal, urutan tiga partikel abc, acb, bca, bac, cab, cba, memberikan keadaan yang sama dalam menempati tingkat E Jadi jumlah cara

  1.

  penempatan n

  1 partikel di tingkat E 1 yang telah diperoleh harus dibagi dengan n 1 ! N !

  menjadi . Jumlah cara ini diperoleh dengan asumsi bahwa setiap tingkat

  n ! ( N n )! −

  1

  1

  energi memiliki probabilitas yang sama untuk ditempati. Jika kita ambil asumsi bahwa tingkat energi E

  1 memiliki probabilitas intriksik g 1 untuk ditempati, maka jumlah cara

  untuk menempatkan n partikel di tingkat energi E menjadi

  1

  1

n

1 g N !

  

1

P (11) =

  1 n ! ( N n )!

  −

  1

  1 Jika tingkat energi ke dua, E

2 , ditempati oleh n

2 partikel sedangkan probabilitas

  intrinsiknya adalah g maka jumlah cara untuk menempatkan n partikel di tingkat E

  2

  2

  2

  ini adalah

  n

2 n

3 g ( Nn )! g ( Nnn )!

  2

  1

  1

  2

  3 P dan juga P = =

  2

  3 n ! ( Nnn )! n ! ( Nnnn )!

  2

  1

  2

  3

  1

  2

  3

  dan seterusnya sampai seluruh N menempati posisinya. Probabilitas untuk terjadinya distribusi yang demikian ini, yaitu n partikel menempati E , n partikel menempati E ,

  1

  1

  2

  2 n

  3 partikel menempati E 3 , n 4 partikel menempati E 4 dan seterusnya, adalah n n n 1 2 3 N ! g g g .....

  1

  2

  3 P = P P P ..... = (12)

  1

  2

  3 n ! n ! n !.....

  1

  2

  3 Sekarang diambil asumsi bahwa partikel-partikel adalah identik dan tidak dapat dibedakan, artinya pertukaran tempat partikel antar tingkat energi bisa saja terjadi

  tanpa mengubah distribusi yang sudah ada. Dengan asumsi ini maka (12) harus dibagi dengan N! sehingga diperoleh

  n n n 1 2 3 g g g .....

  1

  2

  3 P P P P ..... (13) = =

  1

  2

  3 n ! n ! n !.....

  1

  2

  3 Persamaan (13) inilah probabilitas distribusi dalam statistik Maxwell-Boltzmann.

  Keadaan keseimbangan, yang terkait dengan distribusi yang paling mungkin terjadi, dapat kita peroleh dengan mencari nilai maksimum dari P pada (13). Pencarian maksimum P tidak langsung dilakukan dengan membuat dP = 0 melainkan membuat

  dlnP = 0 karena d ln P = ( 1 / P ) dP sehingga jika dP = 0 maka juga dlnP = 0. n n n 1 2 3 g g g .....

  1

  2

  3 ln P ln n ln g ln n !

  

= = −

i i i

  ∑ ∑ n ! n ! n !.....

  1

  2

  3 i i

  Jika n i cukup besar, maka formula Stirling dapat digunakan untuk mencari pendekatan nilai lnn ! yaitu sehingga

  i ln n ! ≈ n ln nn i i i i

  ln P = n ln gn ln nn

i i ∑ ( i i i )

i i n ln g n ln n n (14)

  = −

i i ∑ ( i i ) ∑

  • i

    i i i

  = Nn ln( n / g ) ∑ i i i i

  dan (15)

  d (ln P ) = dN − ( dn ) ln( n / g ) − dni i ii i i

  Jika jumlah partikel N tidak berubah sehingga dN = 0, dapat dianggap pula

  dn = i

  ∑ i

  sehingga dari (15) diperoleh

  − d (ln P ) = ln( n / g ) dn = (16) ∑ ( i i ) i i

  Jika perubahan dn sembarang, persamaan (16) bisa terpenuhi jika ln(n / g ) = 0 yang

  i i i

  berarti n i = g i . Akan tetapi perubahan dn i tidaklah sepenuhnya sembarang; sebab jika kita pertimbangkan energi total E yang juga dapat kita anggap konstan, maka dn tidak

  i

  bisa sembarang. Jika E kita anggap konstan maka ada suatu nilai rata-rata E yang

  r

  konstan yaitu

  E E

  1 E = atau N n E sehingga

= =

ri i

  N E E r r i

  

1

dN E dn (17)

  = ∑ i i

  

E

r

i

  E

i adalah tingkat energi yang ditempati oleh n i . Dengan (17) ini maka (15) menjadi

  1 d (ln P ) = E dn − ( dn ) ln( n / g ) − dn (18)

  ∑ i ii i ii E r i i i

  Lagrange memasukkan parameter α dan β sedemikian rupa sehingga

  1 dn = α dn dan E dn = β E (19)

  ∑ i i ii i

  E r i i

  Untuk kondisi d (ln P ) = , dari (18) dan (19) didapatkan

  ln( n / g ) α β E dn = (20) + + ∑ ( i i i ) i i

  Keseimbangan distribusi tercapai bila apa yang berada dalam tanda kurung (20) sama dengan nol yaitu atau

  ln( n / g ) α β E = ln( n / g ) = − α − β E + + i i i i i i

  sehingga

  − α − β E i n = g e (21) i i

  Karena maka

  N = ni i

  E E − α − β − α − β i i

  

N = n = g e = e g e

iii i i i (22) − α

  = e Z E

  − β i

  dengan Z g e . Z ini disebut fungsi partisi. Dengan (22) ini kita dapat

  = i

  ∑ i

  − α

  menyatakan e N / Z sehingga (21) dapat kita tuliskan

  = N E

  − β i n = g e (23) i i

  Z

  Inilah formulasi distribusi Maxwell-Boltzmann. Parameter β terkait dengan energi rata- rata electron β ~ 1/E . Dari teori kinetik gas diambil E = k T dengan k adalah konstanta

  r r B B

  Boltzmann; maka dimasukkan β =

  1 / k T sehingga (23) menjadi B N

  E / k Ti B n = g e (24) i i

  Z Distribusi Fermi-Dirac.

  Dalam tinjauan ini partkel dianggap identik dan tak dapat dibedakan satu terhadap lainnya; partikel-partikel ini juga mengikuti prinsip eksklusi Pauli sehingga tidak lebih dari dua partikel berada pada status yang sama. Partikel dengan sifat demikian ini biasa disebut fermion (Enrico Fermi 1901-1954).

  Untuk gerak partikel dibawah pengaruh gaya sentral (lihat tinjauan pada aplikasi persamaan Schrödinger pada struktur atom), energi tidak tergantung dari orientasi momentum sudut di orbital sehingga terjadi degenerasi sebesar 2l + 1 dan ini merupakan probabilitas intrinksik dari tingkat energi yang bersangkutan. Jika partikel memiliki spin maka total degenerasi adalah 2(2l + 1). Prinsip eksklusi tidak memperkenankan lebih dari dua partikel berada pada satu status energi dengan bilangan kuantum yang sama, maka jumlah probabilitas intrinksik merupakan jumlah maksimum partikel (fermion) yang boleh berada pada tingkat energi tersebut. Pengertian mengenai probabilitas intrinsik yang kita kenal dalam pembahasan statisik klasik Maxwell-Boltzmann berubah menjadi status

  kuantum dalam pembahasan statistik kuantum ini. Jika g

  adalah jumlah status dalam suatu

  i

  tingkat energi E i , dan n i adalah jumlah partikel pada tingkat energi tersebut, maka haruslah

  n g . ii

  Cara penempatan partikel adalah sebagai berikut. Partikel pertama dapat menempati salah satu diantara g i ; partikel kedua dapat menempati salah satu dari (g i 1); partikel ketiga

  −

  dapat menempati salah satu dari (g 2) dan seterusnya. Jumlah cara untuk menempatkan

  ig !

  1 n

  1 partikel di tingkat E 1 , adalah . Karena partikel tidak dapat dibedakan satu sama ( g n )!

  −

  1

  1

  lain, maka jumlah cara untuk menempatkan n

  1 partikel di tingkat E 1 menjadi

g !

1 P (25)

  =

  1

n ! ( gn )!

  1

  1

  1 g ! g !

  2

  3 dan P = ; P = ; dan seterusnya sampai P i .

  2

  3 n ! ( g n )! n ! ( g n )!

  − −

  2

  2

  2

  3

  3

3 Jumlah keseluruhan cara untuk menempatkan partikel adalah

  g ! i

  P P P P ... (26) = =

  1

  2

  3

n ! ( g n )!

  − i i i

i

  Seperti halnya pada distribusi Maxwell-Boltzmann, kita cari maksimum P melalui lnP. Dengan menggunakan pendekatan Stirling kita peroleh

  ln x ! = x ln xx

  (27)

  

ln P = g ln gn ln n − ( gn ) ln( gn )

i i i i i i i i

  ∑ i d (ln P ) ln n ln( g n ) dn

  − = − − = ∑ i i i i

  [ ] i

  Dengan mengintroduksi parameter α dan β seperti pada distribusi Maxwell- Boltzmann, diperoleh

  n E i

  − α − β i ln n − α + β + ln( gn ) atau = e i i i g n

  − i i

  Dari sini diperoleh distribusi Fermi Dirac

  g

i

n (28)

  = i

  α β +

  e

  • E

    i

  1 T. Parameter

  Parameter β berperan sama seperti pada distribusi Maxwell-Boltzmann, β=1/k B α berkaitan dengan E melalui hubungan E = αk T sehingga (28) menjadi

  F F B g

i

n (29)

  = i

  −

  e

  • ( E E ) / k T i F B

  1 Jika kita perhatikan persamaan (29), kita lihat ( EE ) / k T i F B lim e untuk ( E E )

  = − < i F T

  → untuk ( E E )

  = ∞ − > i F

  Dengan demikian maka persamaan (29) ini menunjukkan bahwa jika T = 0 maka n = g yang

  i i

  berarti semua tingkat energi sampai E terisi penuh dan di atas E tidak terisi (n = 0). E

  F F i F inilah tingkat Fermi.

  Jika kita gambarkan kurva n /g terhadap E kita peroleh bentuk kurva seperti pada Gb.1.a.

  i i sedangkan Gb.1.b. memperlihatkan pengisian tingkat energi pada temperatur diatas 0 K.

  Bila dibandingkan dengan pengisian pada 0 K, terlihat bahwa pada temperatur > 0 K perubahan pengisian hanya terjadi di sekitar tingkat Fermi.

  n i /g i

N

E T = 0

1 T > 0

  T >> 0 tingkat energi yang terisi pada T > 0 K

  E E F E

  (a) (b) Gb.1. n i /g i pada tiga temperatur berbeda menurut statistik Fermi-Dirac dan pengisian tingkat-tingkat energi pada T > 0 K.

  Aplikasi Distribusi Fermi-Dirac Untuk Menghitung Emisi Thermal Pada Metal Pada temperature kamar, electron dalam metal tidak meninggalkan metal. Gb.2.

  memperlihatkan energi potensial didalam dan di luar metal. Sumur-sumur potensial terbentuk di sekitar inti atom. Di permukaan metal dinding sumur potensial jauh lebih tinggi dari dinding potensial di sekitar ion dalam metal. Oleh karena itu elektron yang bebas dalam metal tidak meninggalkan metal.

  

e

φ

  E F Energi Hampa

  • + + +

    Gb.2. Pengisian pita konduksi pada metal.

  Pada temperatur kamar elektron menempati tingkat energi di pita konduksi sampai di sekitar tingkat Fermi, seperti diperlihatkan pada Gb.1.b. Untuk mengeluarkan elektron dari dalam metal diperlukan tambahan energi; di Gb.2 tambahan energi ini ditunjukkan oleh e

  φ dan disebut work function dari metal. φ

  Pada temperatur yang tinggi, tambahan energi yang diterima elektron di sekitar energi Fermi cukup besar sehingga ia mampu melewati dinding potensial di permukaan metal. Peristiwa keluarnya elektron dari metal karena pengaruh thermal ini disebut emisi thermal. Menggunakan distribusi Fermi-Dirac untuk menghitung jumlah elektron yang mampu mencapai permukaan metal untuk kemudian meninggalkan metal, diperoleh relasi

  4 m π e

2 − e φ / k T

B − φ 2 e / kT j = ( k T ) e = AT e (30)

  B

  3 h

  dengan j adalah kerapatan arus. Persamaan (30) dikenal sebagai persamaan Richardson-

  

Dushman. Perlu kita ingat bahwa persamaan tersebut tidak sepenuhnya terpenuhi karena

  beberapa hal:

  a. emisi elektron di permukaan sangat sensitif terhadap kondisi permukaan;

  b. emisi elektron juga sensitif terhadap arah normal permukaan terhadap kisi kristal dalam metal;

  work function berubah terhadap temperatur; makin tinggi temperatur banyak elektron c.

  yang makin jauh dari tingkat Fermi.

  φ = + φ α T

  adalah work function pada 0 K; α adalah koefisien temperatur, α = d / φ dT

  φ

  Beberapa macam metal yang biasa digunakan sebagai katoda (yang dipanaskan) untuk memperoleh sumber elektron diberikan pada Tabel-1.

  Tabel.1. Beberapa metal sebagai katoda sumber elektron.[6].

  work function

  Material katoda titik leleh temperatur kerja konstanta A

  6

  2

  [K] [K] [eV] [10 amp/m2 K ]

  

W 3683 2500 4,5 0,060

Ta 3271 2300 4,1 0,4 – 0,6

Mo 2873 2100 4,2 0,55

Th 2123 1500 3,4 0,60

  

Ba 983 800 2,5 0,60

Cs 303 293 1,9 1,62

Konduktivitas dan Resistivitas Metal Murni

  Medan listrik, E , mempengaruhi status momentum dalam padatan. Elektron- elektron dengan energi tinggi (di sekitar energi Fermi) mendapat tambahan momentum sejajar E sehingga terjadilah pergeseran ruang momentum seperti diperlihatkan pada Gb.3.

  p p z z p p p p y y

  E dp E

  (a) (b) Gb.3. Pergeseran ruang momentum oleh medan listrik.

  E

  Setiap elektron yang menerima pengaruh medan akan menerima gaya sebesar

  F = e E (31) ∂ p

  Karena gaya F = maka (31) memberikan perubahan momentum sebesar

  ∂ t p e E t (32)

  ∂ = ∂

  Elektron yang semula bergerak acak dengan total momentum nol, dengan adanya tambahan momentum sejajar E ini gerak acak elektron memiliki total momentum neto tertentu, tidak lagi nol. Tambahan momentum ini menyebabkan terjadinya kecepatan neto sejajar E , namun kecepatan ini tidak terus-menerus bertambah menjadi tak-hingga. Dalam perjalanannya, jika kita bayangkan elektron sebagai partikel, akan membentur ion, serta bagian-bagian kristal yang tak sempurna sebagaimana dibahas di Bab-7. Akibatnya adalah bahwa sesaat setelah terjadi benturan kecepatan elektron akan turun drastis menjadi nol atau hampir nol.

  Untuk elektron sebagai gelombang, de Broglie memberikan relasi antara momentum

  h

  dan bilangan gelombang sebagai p k . Dengan relasi ini (32) akan memberikan

  =

  pergeseran bilangan gelombang di ruang bilangan gelombang sebesar

  

1 e E

k p t (33)

  

∂ = ∂ = ∂

h h Jika waktu rata-rata yang diperlukan oleh elektron, antara saat awal mendapat percepatan oleh E dan saat interaksinya dengan ion atau cacat-cacat kristal adalah

  F τ

  10 − 6 Ta 12,45

  10 − 6 Ti

  ×

  10 − 6 Rh 4,51

  ×

  10 − 6 Ca 3,91

  13 ×

  10 − 6 Th

  19,3 ×

  10 − 6 Re

  13,75 ×

  10 − 6 C (grafit)

  ×

  ×

  10 − 6 Cd

  10 − 6 Pt 10,6

  ×

  10 − 6 Bi 106,8

  8,55 ×

  10 − 6 Li

  10,8 ×

  10 − 6 Pd

  4 ×

  10 − 6 Be

  ×

  10 − 6 Ir 5,3

  ×

  42 ×

  6,83 ×

  ×

  10 − 6 W

  10 − 6 x

  46 ×

  10 − 6 Ge x )

  4,45 ×

  10 − 6 Mg

  ×

  10 − 6 Zn 5,916

  ×

  10 − 6 Fe 9,71

  ×

  10 − 6 Cu 1,6730

  5,65 ×

  11 ×

  10 − 6 Sb

  10 − 6 Sn

  12,9 ×

  10 − 6 Cr

  11 ×

  10 − 6 U

  10 ×

  10 − 6 Si x )

  ×

  10 − 6 Co 6,24

  18 ×

  10 − 6 Tl

  39,0 ×

  10 − 6 Pb 20,648

  10 − 6 Au 2,35

  , maka perubahan kecepatan elektron dapat didekati dengan

  F τ

=

  × σ = e j sehingga m e n j

  (36) Konduktivitas metal ditentukan melalui hukum Ohm E

  2

  E

  F F F τ = ∆ =

  m e n v e n j

  maka kerapatan arus adalah

  

F

  elektron e. Jika kerapatan elektron ini adalah n

  ∆ v kali muatan

  (35) Kerapatan arus listrik adalah kerapatan elektron yang berpartisipasi dalam timbulnya arus listrik, yaitu kerapatan elektron yang memiliki pertambahan kecepatan

  ∆ ≡ µ E

  m e v

  2 E

  , yaitu perubahan kecepatan elektron per satuan kuat medan

  µ

  Relasi (34) terkait dengan pengertian mobilitas elektron,

  dan ini merupakan waktu terjadinya pergeseran ruang momentum, yang semula simetris (bola) menjadi tak simetris dan kembali lagi menjadi simetris.

  ∂ ≈ τ

  t F

  disebut waktu relaksasi di mana

  F τ

  (34)

  ∆ = ∆ E

  F τ ≈

  m e m

p

v

  F F e τ = = σ

  (37) Resistivitas,

  8,37 ×

  Ω

  10 − 6 In

  6,84 ×

  10 − 6 Ni

  2,6548 ×

  10 − 6 Al

  ×

  10 − 6 Hg 98,4

  ×

  10 − 6 Na 4,2

  1.59 ×

  Ag

  .cm.]

  ρ e [

  ρ e

  .cm.] Unsur

  Ω

  

ρ

e [

  .cm.] Unsur

  Ω

  ρ e [

  Unsur

  ρ e ) unsur sekitar suhu kamar.[1].

  Tabel-2. Resistivitas (

  /

1 . Tabel-2. memuat resistivitas beberapa unsur pada suhu di sekitar suhu kamar.

  e e ρ = σ

  , adalah kebalikan dari konduktivitas, yang dapat kita peroleh dari (37)

  ) tidak murni

  Resistivitas Metal Tidak Murni

  Menurut teori mekanika gelombang, electron bebas dalam kristal dapat bergerak tanpa kehilangan energi. Akan tetapi karena adanya pengotoran, dislokasi, dan ketidak- sempurnaan kristal yang cukup banyak terjadi akan mengganggu pergerakan elektron sehingga material memiliki resistansi listrik. Adanya resistansi ini teramati sampai temperatur sangat rendah mendekati 0 K. Dalam metal, resistivitas listrik terdiri dari dua komponen, yaitu resistivitas thermal ( T ) yang timbul karena terjadinya hambatan

  ρ

  pergerakan elektron akibat vibrasi atom dalam kisi-kisi kristal, dan resistivitas residu ( )

  ρ r

  yang timbul karena adanya pengotoran dan ketidak sempurnaan kristal. Resistivitas thermal tergantung temperatur sedangkan resistivitas residu tidak tergantung pada temperatur. Resistivitas total menjadi

  1

  ρ = ρ ρ = T r

  • (38)

  σ e

  Persamaan (38) ini disebut kaidah Matthiessen. Verifikasi secara eksperimental atas kaidah ini telah dilakukan pada alloy Cu-Ni pada persentase Ni dari 0 sampai sekitar 3%. Hasilnya adalah bahwa resistivitas meningkat dengan meningkatnya persentase Ni. Namun pada persentase pengotoran yang tinggi, kaidah ini tidak akurat.

  hf D

  Di atas temperatur Debye θ = , komponen thermal berubah secara linier

  D k

  B

  terhadap temperatur, dan dapat dinyatakan dengan

  1 ( T T ...... (39) ρ = ρ α − + +

  R , T ( )

  dengan adalah resistivitas pada temperatur kamar. Nilai untuk metal murni adalah

  ρ α o

  sekitar 0,004 per C sedangkan untuk metal alloy pada umumnya lebih rendah. Persamaan (39) ini tidak berlaku untuk temperatur yang sangat tinggi.

  Pada temperatur sangat rendah (helium cair 4,2 K), komponen thermal tidak lagi berperan sehingga . Hal ini memberikan cara utnuk menilai kemurnian konduktor,

  ρ ≈ ρ r

  yaitu dengan memperbadingkan resistansi pada temperatur kamar dengan resistansi pada suhu 4,2 K. Pada material komersial nilai perbandingan itu cukup rendah, sampai di bawah 100 bahkan bisa mencapai 1 pada beberapa alloy. Makin tinggi pengotoran makin tinggi pula resistansi residu pada temperatur 4,2K sehingga makin rendah nilai perbandingan itu berarti persentase pengotoran makin tinggi.

  Resistivitas residu tergantung dari konsentrasi pengotor. Jika x adalah konsentrasi pengotor (pada pengotor tunggal), resistivitas residu dapat dinyatakan dengan formula

  ( x ) Ax ( 1 x ) (40) ρ = − r

  dengan A adalah konstanta yang tergantung dari jenis pengotor dan material induk. Relasi (40) disebut kaidah Nordheim. Pada campuran metal yang sangat lunak, di mana x << 1, relasi (40) menjadi

  (41)

  

ρ ( x ) ≈ Ax

r

  Resistivitas Larutan Padat

  Berikut ini kita akan melihat resistivitas listrik dari logam yang merupakan larutan padat dari dua komponen. (Tentang larutan padat dibahas dalam topik thermodinamika). Untuk logam seperti ini kita dapat membuat model untuk batang logam sebagai terdiri dari

  

filamen-filamen kecil. Sebatang logam dengan luas penampang A dan panjang L, terbangun

  dari filamen-filamen yang masing-masing mempunyai luas penampang A fil . Setiap filamen merupakan “sambungan” silih berganti antara komponen dan , seperti diperlihatkan

  α β

  pada Gb.4. Panjang total filamen adalah L sama dengan panjang batang logam, sedangkan panjang setiap bagian fasa adalah l dan l .

  α β β β β β

  

α α β α α α α β α

Gb.4. Filamen padatan campuran .

  • Resistansi filamen ini adalah resistansi seri dan , yaitu

  α β

  

α β

ρ l ρ l ρ L ρ L fil fil

  α ∑ α β ∑ β α α β β R

  (42)

  

= + +

= fil

  A A A A fil fil fil fil

  dengan dan masing-masing adalah resistivitas komponen dan , dan L dan L

  α β ρ ρ

  α β fil fil

  α β adalah panjang total setiap komponen dalam setiap filamen.

  Jika padatan merupakan campuran homogen, kita dapat melakukan pendekatan bahwa proporsi volume dan dalam setiap filamen sama dengan proporsi volume

  α β

  masing-masing komponen dalam keseluruhan padatan. Oleh karena itu proporsi panjang total setiap komponen di setiap filamen akan sama dengan proporsi panjang total setiap komponen terhadap panjang padatan. Karena filamen-filamen ini terhubung paralel dalam membentuk padatan homogen tersebut, maka jika terdapat N filamen dalam padatan dapat kita tuliskan resistansi padatan

  R ( L L ) ( L L ) ρ ρ ρ ρ + + fil

  α α β β α α β β R

  (43)

  = = = padat

  

N NA A

fil padat

  Relasi (43) ini mirip dengan relasi resistansi konduktor yang sudah kita kenal. Namun panjang masing-masing komponen L dan L tidak dapat diukur dan harus dihitung dengan

  α β

  relasi

  V V β α

  L = dan L = (44) α β

  

A A

padat padat

  Perlu diingat pula bahwa dalam pencampuran material biasanya dilakukan melalui perbandingan massa sehingga perlu dilakukan perhitungan ulang dengan mengingat massa jenis.

  

Beberapa Konstanta Fisika

8 Kecepatan rambat cahaya c 3,00 10 meter / detik × 23 Bilangan Avogadro 6,02 10 molekul / mole

  N × o Konstanta gas 8,32 joule / (mole)( K)

  

R

34 Konstanta Planck 6,63 10 joule-detik h × 23 o

  − Konstanta Boltzmann k 1,38 B × 10 joule / K 6

  − Permeabilitas 1,26 10 henry / meter

  µ × 12

  Permitivitas 8,85 10 farad / meter ε ×

  − 19 Muatan elektron 1,60 10 coulomb e × 31

  − Massa elektron diam m 9,11 10 kg

  × 24 2

  Magneton Bohr 9,29 10 amp-m µ B ×

  

Pustaka

(berurut sesuai pemakaian)

  1. Zbigniew D Jastrzebski, “The Nature And Properties Of Engineering Materials”, John Wiley & Sons, ISBN 0-471-63693-2, 1987.

  2. Daniel D Pollock, “Physical Properties of Materials for Engineers”, Volume I, CRC Press, ISBN 0-8493-6200-6, 1982

  3. William G. Moffatt, George W. Pearsall, John Wulf, “The Structure and

Properties of Materials”, Vol. I Structure, John Wiley & Sons, ISBN 0 471

06385, 1979.

  4. Marcelo Alonso, Edward J. Finn, “Fundamental University Physics”, Addison-Wesley, 1972.

  5. Robert M. Rose, Lawrence A. Shepard, John Wulf, “The Structure and

Properties of Materials”, Vol. IV Electronic Properties, John Wiley & Sons,

ISBN 0 471 06388 6, 1979.

  6. Sudaryatno Sudirham, P. Gomes de Lima, B. Despax, C. Mayoux, “Partial

Synthesis of a Discharge-Effects On a Polymer Characterized By Thermal

Stimulated Current” makalah, Conf. on Gas Disharge, Oxford, 1985.

  7. Sudaryatno Sudirham, “Réponse Electrique d’un Polyimide Soumis à une Décharge Luminescente dans l’Argon”, Desertasi, UNPT, 1985.

  8. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Bab-1 dan Lampiran-II, Penerbit ITB 2002, ISBN 979-9299-54-3.

  9. W. Tillar Shugg, “Handbook of Electrical and Electronic Insulating Materials”, IEEE Press, 1995, ISBN 0-7803-1030-6.