Ery Khaeriyah Analisis Semantik Tentang Istri Istri Nabi SAW Dalam Al Qur'an.bak

STUDI TEMATIK TENTANG ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM AL-QUR’AN TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh: ERY KHAERIYAH NIM : 99.2.00.1.05.01.0108

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

: Ery Khaeriyah

NIM

Tempat, Tgl Lahir : Jakarta, 21 Februari 1975

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya yang berjudul Studi Tematik Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an adalah benar-benar karya asli saya. Apabila di kemudian hari terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis ini, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya pribadi.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya dan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, Juli 2005 Yang Menyatakan,

Ery Khaeriyah

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “STUDI TEMATIK TENTANG ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM AL-QUR’AN” yang ditulis oleh Ery Khaeriyah dengan NIM : 99.2.00.1.05.01.0108 disetujui untuk dibawa ke sidang ujian tesis.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A. Dr. A. Wahib Mu’thi, M. A.

Tanggal………………………………. Tanggal……….…………………..

iii

PENGESAHAN

Tesis yang berjudul “STUDI TEMATIK TENTANG ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM AL-QUR’AN” yang ditulis oleh Ery Khaeriyah dengan NIM : 99.2.00.1.05.01.0108 telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam sidang Munaqasyah Tesis tanggal 21 Juli 2005.

Penguji I

Penguji II

Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. Dr. Fuad Jabali, M. A.

Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A. Dr. A. Wahib Mu’thi, M. A.

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN

Pedoman Transliterasi yang digunakan dalam tesis ini mengacu kepada Buku Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 158 Tahun 1987, Nomor 0543 b/u/1987 Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama, Jakarta 2003. Namun dikarenakan hal teknis, maka terdapat modifikasi pada Pedoman Transliterasi dan Singkatan ini menjadi sebagaimana berikut:

I. Konsonan

th    ب = b    ظ  =

zh

gh

ث  = ts

خ   = kh

د  = d

ذ  = dz

ش = sy

ص = sh

ض = dh

II. Madd dan Diftong

a panjang

i panjang 

u panjang 

au

ai

III. Alif Lam ( لا )

Alif lam ( لا ) dalam sebuah kalimat yang bersambung dengan huruf

Qamariyah, tetap ditulis al- (misal al-kitab). Sedangkan alif lam ( لا ) dalam kalimat,

yang bersambung dengan huruf Syamsiyah, ditulis sesuai dengan bunyinya yaitu huruf l diganti dengan huruf yang sama dengan huruf awal kata tersebut (misal al- Sunnah menjadi as-Sunnah).

IV. Singkatan-singkatan swt

= subhânahu wata‘âla

saw

= shallallâhu ‘alaihi wasallam

r.a.

= radhiyallâhu ‘anhu/ha/huma

H = Hijriyah

= Al-Qur’ân Sûrah

h. = halaman

vi

Abstrak

Studi Tematik Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an.

Tesis ini pada dasarnya mencari pembahasan dalam Al-Qur'an yang mengupas tentang kehidupan istri-istri Nabi Muhammad SAW, khususnya mengkaji tentang kedudukan mereka dalam Al-Qur’an. Tentunya mereka terpilih menjadi istri Nabi Muhammad SAW dikarenakan keimanan dan ketakwaan mereka. Kehadiran mereka sebagai istri seorang Nabi yang mempunyai tugas menyampaikan wahyu sebagai sumber ajaran Islam tentunya membutuhkan keterlibatan dan peran serta mereka untuk mendukung peran Nabi dalam menyebarkan agama Islam. Karena itu, sebagai istri seorang Nabi utusan Allah yang harus menjadi teladan bagi manusia, maka selayaknya istri-istrinyapun menjadi teladan pula di samping menjadi penyambung lidah Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam.

Istri-istri Nabi Muhammad SAW yang dalam al-Qur’an mendapat gelar Ummahât al-Mu’minîn ternyata mempunyai beberapa keistimewaan dan keutamaan dalam Al-Qur’an. Di antara keistimewaan dan keutamaan mereka adalah mendapatkan balasan yang berlipat ganda dan rezeki yang mulia (surga), kedudukan yang tidak sama dengan wanita lain, dan rumahnya adalah tempat dibacakan wahyu Allah (Al-Qur’an) dan sumber Sunnah Nabi. Selain mendapatkan keistimewaan dan keutamaan, mereka juga mempunyai beberapa kewajiban serta hak sebagai istri Nabi dan teladan umat. Kewajiban mereka adalah memelihara kehormatan dan kesucian diri, melaksanakan kewajiban agama seperti mendirikan shalat, menunaikan zakat, ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan hak-hak yang didapat Ummahât al-Mu’minîn adalah jaminan mendapatkan pemeliharaan kesucian diri, Nabi tidak dibolehkan menikah lagi setelah menikahi Ummahât al-Mu’minîn, mereka haram dinikahi orang lain setelah Nabi saw wafat, dan adanya etika tertentu yang harus dipegang oleh kaum mu’minin apabila bergaul dengan istri-istri Nabi dalam rumah kenabian. Adanya keutamaan dan keistimewaan bagi Ummahât al-Mu’minîn dikarenakan mereka adalah para pendamping Nabi saw dalam menjalankan misi risalah dan dakwah Islam. Selain itu, mereka adalah wanita pilihan yang telah rela memilih keridhoan Allah dan rasul- Nya sehingga rela hidup dalam kesederhanaan.

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada pengetahuan ilmiah yang mengkaji tentang istri-istri Nabi saw, khususnya berdasarkan kajian Al-Qur’an secara tematik. Buku yang berjudul Nisâ’ an-Nabiy ‘Alaihi ash-Shalâh wa as-Salâm yang ditulis oleh ‘Âisyah ‘Abdurrahmân Bintusy Syâthi’, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki Alkaf, tidak menjelaskan kedudukan istri-istri Nabi secara khusus menurut pandangan Al-Qur’an. Sedangkan buku Istri-istri Para Nabi yang diterjemahkan oleh Fadhil Bahri, Lc. dari dua buah buku yang digabung menjadi satu: buku satu berjudul Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah karya Ahmad Khalîl Jam’ah, dan buku kedua berjudul Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu

vii

‘Alaihi Wa Sallam karya Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-Dimasyqi, merupakan buku yang membahas tentang istri-istri Nabi dari sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad yang pembahasannya lebih didasarkan kepada hadits-hadits Nabawi.

Maka tesis ini berupaya membahas tentang istri-istri Nabi saw berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, meskipun nama-nama mereka tidak disebutkan secara khusus dalam Al-Qur’an. Pembahasan tentang istri-istri Nabi saw ini dianggap penting mengingat tingginya derajat mereka dengan gelar Ummahât al-Mu’minîn yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka.

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah melalui lilbrary research (kajian pustaka) dengan mengacu kepada Al-Qur’an sebagai objek penelitian. Selain Al-Qur’an, sumber rujukan yang dipergunakan adalah kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang mendukung tema tersebut. Karena objek penelitian ini adalah Al-Qur’an, maka metode pembahasan dan analisis yang penulis gunakan adalah metode Tafsir. Adapun metode Tafsir yang digunakan dalam mengungkapkan penelitian ini adalah metode Tafsir Maudhu’i (tematik). Tafsir Maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an tentang tema tertentu, maka tafsir ini juga dinamakan tafsir tematik. Dalam hal ini, penelitian didasarkan pada data-data yang ada dalam ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema tersebut, di mana ayat-ayat tersebut dikumpulkan dahulu, kemudian dicari hadits- hadits yang mendukung tema tersebut. Selanjutnya, penulis mempelajari dan membaca data-data dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang relevan dengan masalah yang penulis teliti.

Dari data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, akan ditarik kesimpulan dari hal-hal yang dijadikan obyek penelitian. Kemudian penulis akan menganalisisnya agar dapat memberikan pemahaman yang optimal.

Adapun penulisan tesis ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan untuk Transliterasi, selain mengacu kepada buku tersebut, penulis memodifikasinya dikarenakan alasan teknis pengetikan.

viii

KATA PENGANTAR

Al-hamdulillah, Segala puji bagi Allah swt, karena atas nikmat dan karunia- Nya, Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, Rasul pilihan Allah swt.

Dalam keadaan yang penuh keterbatasan, tentunya tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan, saran, masukan, dorongan, support dan do’a dari banyak pihak dalam proses penulisan dan penyelesaiannya. Oleh karena itu, Penulis merasa perlu mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M. A. dan Bapak Dr. A. Wahib Mu’thi, M. A. yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan ketelitian.

3. Bapak Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. dan Dr. Fuad Jabali, M. A sebagai penguji yang telah memberikan saran, masukan, dan kritik dalam perbaikan tesis ini.

4. Para Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membekali ilmu kepada penulis dan memberikan bimbingan dan pengarahan.

5. Orang Tua Penulis yang telah memberikan kasih sayang, dorongan dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis untuk senantiasa menuntut ilmu. Begitu pula seluruh keluarga besar yang telah memberi dorongan dan dukungannya.

ix

6. Ketua STAIN Cirebon, Bapak Dr. H. Imron Abdullah, M. Ag. yang senantiasa mendorong penulis, begitu pula dengan keluarga besar Perpustakaan, Pusat Studi Gender (PSG), dan Pusat Pengembangan Tilawatil Qur’an (PPTQ) STAIN Cirebon yang telah memberikan dorongan, dukungan, dan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

7. Keluarga Besar Yayasan Al-Kamal di mana penulis pernah bernaung, yang telah mendampingi dan memberikan pengertian. Secara khusus kepada teman-teman terdekat Penulis yang telah membantu secara langsung, mendorong dan mendukung Penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang untuk

terselesaikannya tesis ini, serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu namun mempunyai peran yang sangat berarti.

Semoga Allah swt membalas kebaikan mereka dan mencatatnya sebagai amal sholeh. Tesis ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran penulis nantikan demi perbaikan. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Ciputat, Juli 2005 Penulis,

Ery Khaeriyah

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada manusia agar dijadikan pedoman dan tuntunan hidup. Bahkan Al-Qur’an menamakan dirinya “petunjuk bagi manusia” (hudan li an-nâs, Q.S. 2: 185). Al-Qur’an membimbing manusia dari kegelapan kepada terang benderang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. 1 Al-Qur’an berisi pesan-pesan yang sarat makna bagi kehidupan manusia

agar manusia berada pada jalan yang benar. Al-Qur’an sebagai kitab suci mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Pada setiap problem itu Al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan

landasan untuk langkah-langkah manusia, dan yang sesuai pula untuk setiap zaman. 2 Problem-problem itu akan terpecahkan apabila al-Qur’an dipelajari makna dan

1 Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâh its fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (t.tmp: Mansyurât al-‘Ashr al- Hadîts, 1973), h. 9

2 Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits, h. 19

2 kandungannya secara sungguh-sungguh dan mendalam, dan manusia melepaskan diri

dari ego yang membelenggunya. Bila dipelajari lebih jauh, Al-Qur’an mempunyai aspek pembahasan yang luas mencakup berbagai sendi kehidupan, duniawi maupun ukhrawi sehingga bila

diteliti, banyak sekali tema yang dibicarakan Al-Qur’an. Fazlurrahman 3 dalam bukunya yang berjudul “Tema-tema Pokok Al-Qur’an” 4 setidaknya mengungkapkan ada beberapa tema yang dibahas dalam al-Qur’an, yaitu Tuhan, manusia sebagai individu, manusia anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, dan lahirnya masyarakat Muslim. Sedangkan Quraish

Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an” 5 membagi 33 tema secara detail, terutama menyangkut aspek ketuhanan dan kehidupan manusia.

Kehidupan manusia banyak dibahas dalam Al-Qur’an. Selain menguraikan tentang asal usul manusia, kekuatan, kelemahan, dan kelebihan manusia, Al-Qur’an juga menguraikan kedudukan laki-laki dan perempuan, serta memberikan gambaran mengenai beberapa tokoh yang dapat dijadikan teladan yang terungkap dalam ayat- ayatnya secara tegas ataupun tidak terungkap secara langsung namun dapat difahami dari penyebab turunnya yang berkisar di antara mereka.

Di antara tokoh yang dapat dijadikan teladan adalah isteri-isteri Nabi Muhammad saw yang di dalam Al-Qur’an mendapat gelar kehormatan Ummahât al-

3 Ia adalah seorang guru besar tentang pemikiran Islam di University of Chicago. 4 Diterjemahkan dari Major Themes of the Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), Cet. 2, h. vii

5 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. XIV

3 Mu’minîn berdasarkan surat Al-Ahzâb ayat 6. Ummahât al-Mu’minîn 6 artinya ibu- ibu dari orang-orang yang beriman. Diungkapkan dalam bentuk jamak (ummahât), karena keseluruhan isteri yang pernah mendampingi Rasulullah sepanjang beliau hidup berjumlah 11 orang. Sebutan ini mengandung implikasi yang luar biasa baik secara hukum, sosial, politis dan etik bagi peran dan posisi isteri-isteri Rasulullah SAW di hadapan ummatnya. Firman Allah:

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka…” (Q. S. Al-Ahzab/33:6)

Ayat ini menjelaskan tentang posisi Nabi bagi orang-orang yang beriman. Ia adalah orang yang harus diutamakan oleh kaum Mu’minin, sebagaimana posisi

seorang bapak bagi anak-anaknya bahkan melebihi dari seorang bapak. 7 Karena jika seorang bapak mendidik dan membimbing anaknya di dunia saja, sementara Nabi

mendidik kaum Mu’min di dunia dan akhirat sehingga kedudukannya lebih utama. 8

6 Istilah ini menurut Imam as-Syâfi‘î dan Imam al-Ghazâlî sebagaimana dikutip al-Alûsî tidak berlaku bagi istri-istri yang sudah diceraikannya. Lihat Abû al-Fadhl Syihâb ad-Dîn as-Sayyid

Mahmûd Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab‘ al-Matsânî, (Beirut: Ihya at-Turâts al-‘Arabî, t.th.), Juz 21, h. 152.

7 Banyak hadits yang menerangkan gambaran posisi Nabi bagi kaum mu’minin, di antaranya Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawiyah dari Abu

Hurairah ra. Nabi berkata: “Tidaklah seorang mu’min kecuali akulah manusia yang paling utama baginya di dunia dan akhirat, bacalah oleh kamu (ayat 6 al-Ahzâb). Maka siapa saja seorang mu’min meninggal sementara ia meninggalkan harta, maka kerabatnya yang mewarisi harta tersebut. Dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak yang telantar, maka datanglah kepadaku karena aku adalah walinya”. Lihat Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr As-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), Cet. I, Juz 5, h. 350. Lihat pula al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 151

8 Perhatikan Muhammad Ar-Râzî Fakhr ad-Dîn ibn al-‘Allâmah Dhiyâ ad-Dîn, Tafsîr Fakhr ar-Râzî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Juz. 25, h. 196.

4 Karena demikian posisi Nabi, maka isteri-isterinya menempati posisi sebagai ibu bagi

kaum mu’minin (Ummahât al-Mu’minîn). 9 Posisi ini berkaitan dengan kewajiban untuk menghormati mereka dan

menghormati hak-haknya serta haram mengawininya sebagaimana mereka diharamkan mengawini ibunya. 10 Adapun selain itu seperti melihat, bergaul

diperlakukan sebagaimana hukumnya perempuan ajnabiyyât (orang lain di luar mahram). 11 Mereka ini adalah pendamping Nabi saw yang turut berperan dalam

dakwah Nabi saw dan pengembangan Islam serta memberikan teladan kepada umat Islam. Mereka banyak menyokong dan membantu Nabi saw dengan kekuatan pribadi

mereka, kebijaksanaan, kecerdasan, ketabahan, kesetiaan, harta, pengaruh dan pergaulan yang luas dalam mensyiarkan syariat Allah swt dan pengaruh kekuasaan Islam di muka bumi. Mereka ini adalah golongan yang dikatakan Allah swt melalui firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (syurga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” ( Q. S. Al Hajj/22 : 59 )

9 Karena ayat ini menegaskan Ummahât al-Mu’minîn, disinyalir menurut beberapa riwayat ada penggalan kalimat yang tercecer yaitu kalimat wa huwa abu lahum (dan ia adalah bapak kamu).

Perhatikan as-Sayûthî, Ad-Dur al-Mantsûr, Juz 5, h. 351. 10 as-Sayûthî, Ad-Dur al-Mantsûr, Juz 5, h. 351. Ibnu Sa‘îd, Ibnu Mundzir dan Imam al-

Baihaqî meriwayatkan dalam Kitab Sunannya bahwa ‘Âisyah ketika ditanya tentang ayat ini oleh seorang perempuan, ia mengatakan: “Aku adalah ibu bagi kaum pria di antara kamu dan aku bukanlah ibu bagi kaum wanita”. Sementara Ummu Salamah dalam riwayat Sa‘id mengatakan: “Aku adalah ibu bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan”.

11 Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz. 21, h. 151

5 Mereka ini, selain menjadi isteri Nabi saw juga menjadi tempat rujukan

ilmu kaum perempuan zaman itu. Bahkan, setelah Nabi saw wafat, beberapa di antara mereka terus menjadi sumber rujukan utama kaum Muslimin. Hal ini dapat dilihat

melalui peranan Saudah r.a., ‘Âisyah r.a. 12 , Hafshah r.a., Syafiyyah r.a., Ummu Habîbah r.a. dan Ummu Salamah r.a. 13 , di mana mereka termasuk bagian dari ahli

Ilmu dalam al-Qur’an, Hadis, Fikih, Sejarah, dan Bahasa Arab. Dalam sejarah tercatat bahwa ‘Âisyah r.a. termasuk salah seorang dari tujuh ahli Majlis Syura selain ‘Umar Ibn Khattâb r.a., ‘Ali bin Abî Thâlib r.a., ‘Abdullah Ibn Mas’ûd r.a., Zaid bin Tsâbit r.a., ‘Abdullah bin ‘Abbâs r.a., dan ‘Abdullah bin

Umar r.a.. ‘Âisyah r.a, Hafshah r.a. dan Ummu Salamah r.a. juga banyak meriwayatkan hadits dari Nabi saw yang menjadikan mereka sebagai golongan Muhadditsah. Kehadiran mereka ini sesungguhnya telah dapat membantu Nabi saw dalam menyampaikan pesan Islam ke seluruh alam.

Dalam hal ini, Islam telah mengangkat martabat perempuan yang pada awalnya dinilai sebagai golongan yang lemah dan berada pada taraf yang sangat rendah di mata masyarakat Arab Jahiliah saat itu. Ini membuktikan bahwa perempuan yang berilmu harus diberikan penghormatan yang tinggi dalam Islam karena telah

12 ‘Âisyah bahkan sangat menonjol dan mendalam ilmu pengetahuannya, sampai-sampai dikenal secara luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi

Muhammad saw: “Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira’ (‘Âisyah)”. M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. IX, h. 278

13 Lihat ‘Abdul Halîm Abû Syuqqah, Tahrîr al-Mar’ah fî ‘Ashr ar-Risâlah, (Kuwait: Dâr al- Qalam, 1990), Cet. I, Terjemah Bahasa Indonesia Kebebasan Wanita oleh Chairul Halim, (Jakarta:

Gema Insani Press, 2000), Jil. I, Cet. III, h. 233-236

6 memberikan kontribusi yang sangat besar dalam meneruskan kesinambungan

perjuangan Islam. Allah swt berfirman:

“Allah meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Q.S. Al Mujâdalah/58 : 11)

Di sisi lain, perjuangan Islam masa Nabi saw menunjukkan betapa pentingnya kemantapan daya dukung perempuan untuk menjaga dan meneruskan kelangsungan perjuangan. Nabi saw banyak dibantu oleh kemantapan dan keutuhan

jiwa raga Khadîjah binti Khuwailid r.a., dan juga materi yang dimilikinya. Sayyidah Khadîjah r.a.,, Ummul Mu’minin yang pertama dalam sejarah Islam adalah seorang wanita bangsawan dan hartawan yang gigih. Ia senantiasa memberikan dorongan besar terhadap perjuangan Nabi saw, di samping memainkan peranan sebagai penolong, pembela, dan pelindung Nabi saw dari setiap ancaman orang-orang musyrik Quraisy.

Mereka adalah wanita pilihan di mana Nabi saw dibolehkan menikahi mereka sebagai suatu kekhususan bagi beliau yang tidak diberikan kepada manusia lain. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah swt mengizinkan Nabi saw untuk menikahi wanita-wanita tersebut untuk suatu kebijakan tertentu.

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki- laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak- anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 50)

Sejarah mengenal bahwa rumah yang pernah ditinggali Nabi bersama istri- istrinya tidak hanya satu, tetapi dua rumah. Rumah pertama berada di Makkah, tempat Nabi hidup bersama istri pertamanya, Khadijah r. a. Ketika itu Nabi saw mengalami perubahan besar dalam kehidupannya sendiri, juga kehidupan bangsa Arab, dan kehidupan seluruh umat manusia. Sedangkan rumah Nabi saw yang kedua berada di Madinah. Di sana beliau hidup bersama semua istrinya, kecuali Khadijah

r. a. 14

14 ‘Âisyah ‘Abdurrahman Bint Asy-Syâthi’ (Selanjutnya disebut Bintusy Syâthi,), Nisâ’ an- Nabiy ‘Alaih ash-Shalâh wa as-Salâm, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Tth.), terjemah Bahasa

Indonesia Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), Cet. I, h. 17

8 Perkawinan Nabi saw dengan para isteri beliau bukanlah didasari atas

kehendak dan kepentingan nafsu. Sejarah telah membuktikan betapa di antara seluruh istri yang dinikahinya, hanya seorang saja yang berstatus gadis, yaitu ‘Âisyah

15 r.a. 16 , sedangkan yang lain berstatus janda. Di antaranya, ada yang merupakan janda dari para sahabat yang telah gugur di medan jihad. 17 Ada pula yang merupakan tawanan/tahanan perang, 18 dan ada juga yang telah diceraikan oleh suaminya terdahulu. 19 Dalam hal ini, Nabi saw menikahi mereka sebagai langkah untuk

menjaga kebajikan mereka, di samping tuntunan atau arahan wahyu Allah swt, seperti pernikahan beliau dengan ‘Âisyah r.a. dan Zainab binti Jahsy r.a. 20

Dalam kasus pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy r.a.yang dinikahi berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an surah al-Ahzâb/33: 36-38:

15 A. Khalîl Jam’ah, Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah (buku satu), (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, Tth). dan Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-Dimasyqi, Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu

‘Alaih Wa Sallam (buku dua), (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, Tth), Terjemahan Bahasa Indonesia: Istri- istri Para Nabi oleh Fadhli Bahri, Lc., (Jakarta: Darul Falah, 2002), Cet. II, h. 362, Bintusy Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 69

16 seperti Saudah binti Zam’ah yang merupakan janda dari Sakrân bin ‘Âmr dari Bani ‘Âmir bin Lu’ay. Ia dan suaminya termasuk dalam rombongan orang-orang Islam yang berhijrah ke Habasyah

pada hijrah yang kedua, kemudian suaminya meninggal di sana. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430

17 yaitu Ummu Salamah, Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb, dan Zainab binti Khuzaimah 18 yaitu Juwairiyah binti Al-Hârits dan Shafiyyah binti Huyay 19 yaitu Zainab binti Jahsy yang merupakan janda dari Zaid bin Hâritsah

20 Zainab binti Jahsy adalah salah seorang wanita yang dinikahi berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an surah al-Ahzâb/33: 36-38.

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (36) “Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus istrimu dan bertakwlah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya kepada istri-isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (37) “Tidak ada satu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (38) (Q S. Al- Ahzab/33: 36-38)

adalah mengandung hikmah tertentu, yaitu menghapus anggapan masyarakat pada saat itu yang menyamakan status anak angkat dengan anak kandung. Zainab adalah bekas istri anak angkat Nabi saw yaitu Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl bin Ka’ab dari Bani Zaid al-Lât.

Nama-nama para istri Nabi saw tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara langsung. Yang ada dalam al-Qur’an adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka

10 sebagai penyebab turunnya suatu ayat. Meskipun demikian, secara spesifik dan

pribadi, tidak semua istri-istri Nabi saw menjadi penyebab turunnya ayat. Akan tetapi, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan masalah mereka secara massal.

Ayat-ayat yang secara khusus berkaitan dengan peristiwa di lingkaran isteri- isteri Nabi, meskipun kasusnya bersifat personal dan insidentil (pada seorang atau dua orang isteri Nabi) tetapi memiliki implikasi hukum yang bersifat mengikat kepada seluruh ummat Islam (al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khushûsh as-sabab). Dengan demikian ayat serta kasus yang melatarbelakangi penurunannya (asbâb an- nûzûl) lebih bermuatan inspiratif bagi pengembangan gagasan serta konstruk

hubungan antara perempuan sebagai isteri, dan laki-laki sebagai suami, dengan mengaca kepada hubungan antara Nabi dengan isteri-isterinya seperti yang digambarkan oleh beberapa ayat.

Mereka menjadi wanita pilihan yang dinikahi Nabi saw dikarenakan mempunyai kelebihan iman dan takwa serta amal shaleh. Al-Qur’an menjelaskan betapa keimanan mereka telah membuat mereka selamat dari fitnah. ‘Âisyah dalam al-Qur’an dijelaskan mendapat fitnah dari orang-orang munafik yang berusaha mencari-cari kesalahan Umm al-Mu’minîn tersebut. Lalu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi saw dalam Q. S. An-Nûr/24: 11-19 yang menjelaskan tentang sucinya ‘Âisyah dari fitnah yang dituduhkan kepadanya.

Meskipun demikian, istri-istri Nabi saw yang mendapat gelar Ummahât al- Mu’minîn juga manusia biasa yang pernah melakukan kesalahan sehingga Allah swt menegur mereka melalui Nabi-Nya. Al-Qur’an surah at-Tahrîm/66: 1-5 menjelaskan

11 tentang adanya kecemburuan di antara para istri Nabi saw sehingga bersekongkol

untuk menjatuhkan istri yang lain. Begitu pula tentang adanya keinginan dari istri- istri Nabi saw untuk hidup layak dan menikmati keindahan duniawi.

Namun demikian, Allah menurunkan ayat-ayat al-Qur’an yang memberi peringatan, petunjuk, sekaligus janji dan ancaman kepada para istri nabi. Sebagai seorang pendamping manusia pilihan Allah, hendaknya mereka menjadi teladan bagi umat manusia khususnya bagi kaum muslimah. Demikian pula saat istri-istri Nabi meminta nafkah lebih kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang hidup dalam kesederhanaan dan bukan seorang Nabi yang hidup dalam

kekayaan yang melimpah, karena kehidupan beliau merupakan teladan dan tuntunan bagi umat yang beriman. Firman Allah:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Nabi itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 21)

Sehingga Allah swt menyuruh Nabi saw memberikan pilihan kepada istri- istrinya antara memilih kehidupan duniawi atau Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah:

12 “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: ‘Jika kamu mengingini

kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut‘ah 21 dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu

sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) negeri akhirat,maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar’.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 28-29)

Maka kemudian istri-istri Nabi saw sebagai orang-orang yang suci memilih Allah dan Rasul-Nya.

Memang, betapa berat beban mereka sebagai istri Nabi yang harus memberikan contoh dan teladan kepada manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an memberikan penjelasan betapa istimewanya mereka dengan gelar Ummahât al- Mu’minîn dan betapa keistimewaan mereka itu juga berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka sebagai seorang istri Nabi.

Yang jelas, istri-istri Nabi saw begitu banyak meninggalkan suri tauladan kepada kaum perempuan masa kini, baik dalam soal keilmuan, komunikasi, diplomasi, perdamaian, politik dan langkah-langkah strategi serta aspek yang lainnya. Pengorbanan mereka bukan sebatas membantu kaum perempuan saja, tetapi juga kaum Muslimin, khususnya perjuangan Nabi saw itu sendiri.

Oleh karena itu, wajarlah mereka mendapatkan kedudukan yang mulia di mana dalam Al-Qur’an disebut sebagai Ummahât al-Mu’minîn. Meskipun demikian, gelar kehormatan yang mereka sandang bukanlah gelar yang ringan, karena gelar tersebut mengandung konsekwensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus mereka emban di samping adanya hak-hak tertentu akibat gelar tersebut.

21 Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kemampuan suami. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramain asy-Syarifain, h. 671

13 Atas dasar inilah, penulis merasa tertarik untuk mengkaji keberadaan istri-

istri Nabi sebagai Ummahât al-Mu’minîn yang memegang peranan penting dalam dakwah Nabi dan pengembangan Islam kaitannya dengan kemuliaan dan kesucian mereka dalam al-Quran untuk diambil pelajaran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri Nabi saw tentang bagaimana relasi suami istri dalam sebuah keluarga. Untuk itu, penulis mengangkatnya dalam bentuk tesis yang berjudul: Studi Tematik

Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an.

B. Pembatasan Masalah

Bila dilihat secara umum, pembahasan Al-Qur’an tentang istri-istri Nabi sangat luas dari sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw, baik sebagai istri yang mendukung karir suaminya sebagai seorang Nabi dan rasul utusan Allah yang mendapat tugas menyampaikan ajaran agama samawi dari Allah, maupun yang tidak mendukung peran suaminya.

Melihat luasnya permasalahan, maka masalah yang akan dibahas penulis dalam tesis ini dibatasi pada pandangan Al-Qur’an tentang istri-istri Nabi Muhammad saw dan mengungkapkan tentang bagaimana kedudukan mereka dalam Al-Qur’an kaitannya tentang keistimewaan, kewajiban dan tanggung jawab, serta hak-hak mereka.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang hendak dibahas adalah bagaimana pandangan al-Qur’an tentang istri-istri Nabi Muhammad saw, dengan rincian masalah, apa keistimewaan, kewajiban dan tanggung jawab, serta hak-hak istri-istri Nabi saw dalam al-Quran?”.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan ini adalah untuk diketahui bagaimana relasi suami istri mempunyai peranan terhadap suami, rumah tangga dan anak-anak, bahkan umat

sehingga diharapkan bisa diketahui bagaimana eksistensi para istri Nabi saw berpengaruh terhadap kehidupan sosial keagamaan umat Islam saat ini. Sebab, bagaimanapun, peran mereka memiliki implikasi besar terhadap kelangsungan syiar agama dan masyarakat Islam saat itu. Hal itu tentunya akan ditelaah dan dianalisis dalam disiplin ilmu yang penulis pelajari, dikaitkan dengan kehidupan mereka saat itu.

Oleh karena itu, secara khusus, tujuan penulis mengangkat topik ini adalah sebagai berikut :

1. Dengan menggali ayat-ayat al-Qur’an, diharapakan pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an menjadi lebih berkembang, karena Al-Qur’an adalah petunjuk dan pedoman hidup bagi Umat Islam.

2. Umat Islam dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari kehidupan istri-istri Nabi saw, apalagi al-Qur’an memberikan kedudukan yang istimewa kepada mereka.

E. Kajian Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada pengetahuan ilmiah yang mengkaji tentang istri-istri Nabi saw, khususnya berdasarkan kajian Al-Qur’an secara tematik.

Buku yang berjudul Nisâ’ an-Nabiy ‘Alaihi ash-Shalâh wa as-Salâm yang ditulis oleh ‘Âisyah ‘Abdurrahmân Bintusy Syâthi’, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki Alkaf, tidak menjelaskan kedudukan istri-istri Nabi secara khusus menurut pandangan Al-Qur’an. Sedangkan buku Istri-istri Para

Nabi yang diterjemahkan oleh Fadhil Bahri, Lc. dari dua buah buku yang digabung menjadi satu: buku satu berjudul Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah karya Ahmad Khalîl Jam’ah, dan buku kedua berjudul Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu ‘Alaihi Wa Sallam karya Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-Dimasyqi, merupakan buku yang membahas tentang istri-istri Nabi dari sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad yang pembahasannya lebih didasarkan kepada hadits-hadits Nabawi.

Maka tesis ini akan berupaya membahas tentang istri-istri Nabi saw berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, meskipun nama-nama mereka tidak disebutkan secara khusus dalam Al-Qur’an. Pembahasan tentang istri-istri Nabi saw ini dianggap penting mengingat tingginya derajat mereka dengan gelar Ummahât al-Mu’minîn yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka.

F. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah melalui lilbrary research (kajian pustaka) dengan mengacu kepada Al-Qur’an sebagai objek penelitian. Selain Al-Qur’an, sumber rujukan yang dipergunakan adalah kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang mendukung tema tersebut. Karena objek penelitian ini adalah Al-Qur’an, maka metode pembahasan dan analisis yang penulis gunakan adalah metode Tafsir. Adapun metode Tafsir yang digunakan dalam mengungkapkan penelitian ini adalah metode Tafsir Maudhu’i (tematik). Tafsir Maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an tentang

tema tertentu, 22 maka tafsir ini juga dinamakan tafsir tematik. Dalam hal ini, penelitian didasarkan pada data-data yang ada dalam ayat al-Qur’an yang berkaitan

dengan tema tersebut, di mana ayat-ayat tersebut dikumpulkan dahulu, kemudian dicari hadits-hadits yang mendukung tema tersebut. Selanjutnya, penulis mempelajari dan membaca data-data dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang relevan dengan masalah yang penulis teliti.

Dari data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, akan ditarik kesimpulan dari hal-hal yang dijadikan obyek penelitian. Kemudian penulis akan menganalisisnya agar dapat memberikan pemahaman yang optimal.

Adapun penulisan tesis ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan untuk

22 ‘Abd al-Hayy al-Farmâwî, Al-Bidâyah fî at-Tafsîr al-Maudhû‘i, (Kairo: Al-Maktabah al- Jumhûriyah, 1977), h. 23

17 Transliterasi, selain mengacu kepada buku tersebut, penulis memodifikasinya

dikarenakan alasan teknis pengetikan.

G. Sistematika Penulisan

Masalah-masalah yang akan dibahas dalam tesis ini, penulis membaginya menjadi empat bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I berisi Pendahuluan yang mengemukakan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II menjelaskan Pengungkapan Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an yang meliputi Pembahasan Tentang Term/Lafaz yang Berkaitan Dengan/Digunakan untuk Istri-istri Nabi saw, Gelar Ummahât al-Mu’minîn bagi Istri-istri Nabi saw, serta Nama-nama Istri-istri Nabi saw yang berisi riwayat singkat kehidupan mereka.

Bab III membahas Istri-istri Nabi saw dalam al-Qur’an yang mengungkapkan landasan-landasan atau ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri Nabi saw. Dalam bab ini, diungkap persoalan Keistimewaan, Kewajiban dan Tanggung Jawab Istri-istri Nabi saw, serta Hak-hak istimewa mereka.

Bab IV Penutup, merupakan bagian akhir dari sebuah rangkaian tulisan karya ilmiah ini. Dalam bab ini, penulis akan menarik kesimpulan dan saran dari keseluruhan pembahasan yang dianggap perlu.

Di antara tokoh yang dapat dijadikan teladan adalah para istri Nabi yang di dalam Al-Qur’an mendapat gelar kehormatan Ummahât al-Mu’minîn. Dalam Al- Qur’an, selain digambarkan sebagai perempuan yang memiliki kelebihan sebagai jiwa yang dididik dalam lingkaran kenabian, mereka juga perempuan biasa yang mengalami pergulatan batin sebagai seorang istri dan manusia pada umumnya. Karena itu, Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada para istri Nabi melalui pendidikan Nabi terhadap mereka.

Sebagai istri dari seorang Nabi yang menjadi panutan umat dan mempunyai tugas menyampaikan misi ilahi, mereka mendapatkan kewajiban-kewajiban dan

19 tanggung jawab tertentu serta hak-hak istimewa jika mereka mampu menjalankan

tugas mereka mendampingi Nabi dan ikut menjadi teladan.

BAB II PENGUNGKAPAN ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM AL-QUR’AN

A. Term/Lafaz Yang Berkaitan Dengan/Digunakan Untuk Istri-istri Nabi saw

Dalam Al-Qur’an, ada dua lafaz yang digunakan untuk mengungkapkan istri-istri Nabi, yaitu Azwâj an-Nabiy dan Nisâ’ an-Nabiy. 1

1. Azwâj an-Nabiy

Ayat yang menyebut istri-istri Nabi dengan azwâj adalah:

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka…” (Q. S. Al-Ahzab/33: 6)

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah 2 dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. (Q.S. al-Ahzâb/33: 28)

1 Kedua term/lafaz tersebut, dalam terjemahnya diartikan sama, yaitu istri-istri Nabi. Lihat Al- Qur’an dan Terjemahnya, Khadîm al-Haramain asy-Syarîfain, h. 671-672

2 Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami. Khadîm al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 671

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri- istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu…” (Q. S. Al-Ahzab/33: 50)

“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabiullah dan tidak (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33: 53)

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya 3 ke

seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Ahzâb/33: 59).

3 Beragam pendapat yang menafsirkan makna jilbab. Dalam Al-Qur’an dan terjemahnya, h. 678, jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

Sedangkan dalam CD Holy Qur’an, jilbab adalah sesuatu yang menutupi aurat perempuan.

“Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari pada kamu…” (At-Tahrim/66: 5)

2. Nisâ’ an-Nabiy

Ayat-ayat yang mempunyai makna/menyebut “istri-istri” Nabi dengan menggunakan lafaz Nisâ’ an-Nabiy adalah:

“Hai isteri-isteri Nabi, baranga siapa di antara kamu mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q. S. al Ahzâb/33: 30)

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 32)

3. Persamaan dan Perbedaan Makna Keduanya

Dalam “Al-Qur’an dan Terjemahnya” yang diterbitkan oleh Khadim al- Haramain asy-Syarifain, lafaz azwâjuka, azwâjuhu, azwâjan 4 dan nisâ an-Nabiy pada

ayat-ayat di atas diartikan sama yaitu istri-istri Nabi saw, padahal bila melihat asal katanya, kedua lafaz di atas memiliki ma’na yang berbeda.

Kata azwaj merupakan bentuk jama’ dari zawj. Kata zawj berasal dari zâja- yazûju-zawjan yang secara etimologi berarti “menaburkan, menghasut” 5 Dalam

penggunaannya, kata zawj biasa diartikan dengan setiap pasangan dari sesuatu yang berpasang-pasangan, laki-laki atau perempuan, jantan atau betina bagi hewan (

), 6 misalnya pasangan (pair, couple, spouse) laki-laki/jantan dan perempuan/betina untuk makhluk biologis dan pasangan lainnya

dari benda-benda yang berpasangan, seperti pasangan sandal dan sepatu, langit dan bumi, musim dingin dan musim panas. 7 Khusus bagi manusia lebih sering disebut

suami-isteri. 8

Sedangkan kata nisâ/ءﺎﺴﻧ adalah bentuk jama’ dari mar’ah/ ﺮﻣ أة yang berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa, 9 berbeda dengan kata ﺜﻧأ ﻲ yang berarti

jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang berusia

10 lanjut. 11 Kata ءﺎﺴﻧ berarti jender perempuan, sepadan dengan kata لﺎﺟر yang berarti

4 idhâfah ke an-Nabiy karena kontek ayat sedang membahas tentang Nabi Muhammad saw

5 Lihat Al-Munjid, Al-Munjid Al-Abjadi, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1968), h.525, Ahmad Warson

Munawwir, Al-Munawwir, (Ttmp: Pustaka Progressif, 1984), h. 630, dan Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender Persfektif Al-Qur’ân, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. II, h. 173

6 Mufradât Alfâdz Al-Qur’ân, h. 220. Bandingkan dengan Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, Jilid II, h. 291

7 Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173 8 dalam kitab fiqh, isteri disebut ﺔﺟوز bentuk jamaknya تﺎﺟوز, sedangkan suami disebut جوز.

bentuk jamaknya جاوزا . Lihat misalnya Sayyid Quthb, Fiqh as-Sunnah, (Mesir: Maktabah Dâr al- Turâts, T. Th.), Jilid II, h. 100-110 . Lihat Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173

9 Lisân al-‘Arab, jilid XV, h. 321. Bandingkan dengan Mu’jam Mufradât Al-Fâdz al-Qur’ân, h.513

10 Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 159 11 Jender ialah Pembedaan Peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh masyarakat

berdasarkan jenis kelamin. Jender berbeda dengan jenis kelamin/sex. Jenis kelamin atau sex adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menghasilkan sel telur, hamil dan berdasarkan jenis kelamin. Jender berbeda dengan jenis kelamin/sex. Jenis kelamin atau sex adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menghasilkan sel telur, hamil dan

berarti isteri (zawj). 12 Lafaz zawj (azwâj) pada ayat-ayat di atas selalu diidhâfahkan dengan

dhamir hu dan ka --tanpa dibarengi/diikuti kata an-nabiy-- yang menunjukkan pada manusia (dia laki-laki dan kamu laki-laki) sehingga mempunyai ma’na istri (pasangan dia dan kamu laki-laki, berarti pasangan suami). Karena konteks ayat di atas pembahasannya tentang Nabi Muhammad saw, maka kata azwâj yang merupakan jama’ dari zawj berarti istri-istri Nabi saw. Sedangkan kata nisâ yang secara umum

berarti perempuan, pada ayat di atas selalu di-idhâfah-kan dengan kata an-nabiy sehingga ma’nanya menjadi istri-istri Nabi. Dengan demikian maka kedua lafaz tersebut mempunyai arti yang sama yaitu istri-istri Nabi.

Meskipun demikian, bila melihat asal kedua kata tersebut yang berbeda, Al- Alûsî dalam kitab tafsirnya Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab’

al-Matsânî, 13 mencoba mengungkapkan bahwa perbedaan lafaz tersebut mempunyai alasan. Dalam ayat 30 Q. S. Al-Ahzâb, istri-istri Nabi saw diungkapkan Al-Qur’an

dengan lafaz nisâ an-nabiy, bukan azwâj an-Nabiy, hal itu dikarenakan pengungkapan keadaan mereka sebagai nisâ dalam beberapa tempat itu lebih

melahirkan, sedangkan laki-laki menghasilkan sperma. Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 159

12 Munir Ba’labakkî, Al-Mawrid, (Beirut: Dâr al-‘Ilm lial-Malayain, 1986), h. 1070-1071. Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 160

13 Lihat Abû al-Fadhl Syihâbuddîn as-Sayyid Mahmûd al-Alûsî, selanjutnya disebut al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’ al-Matsânî, (Beirut: Ihya at-Turâts al-‘Arabî,

t.th.), juz. 21, h. 184 t.th.), juz. 21, h. 184

Selain itu, pengungkapan nisâ an-Nabiy pada ayat 30 dan 32 Q. S. Al- Ahzâb tersebut berisi pengajaran langsung dari Allah kepada istri-istri Nabi saw --

tanpa melalui Nabi saw-- menyangkut hukum-hukum yang berlaku bagi mereka, sedangkan pada Q. S. Al-Ahzâb ayat 28 dan 59 berisi pengajaran Allah bagi para istrinya melalui perantaraan Nabi saw. Hal ini menandakan jelasnya nasehat yang

dimaksudkan bagi mereka 14 karena mereka manusia biasa juga yang mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan sebagaimana perempuan-perempuan lain pada

umumnya, makanya lafaz yang digunakan adalah nisâ an-Nabiy .

B. Gelar Ummahât al-Mu’minîn Bagi Istri-istri Nabi saw

Dalam Al-Qur’an surah al-Ahzâb/33 ayat 6 Allah swt memberikan gelar kehormatan Ummahât al-Mu’minîn kepada istri-istri Nabi saw:

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang yang beriman dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka….” (Q. S. Al-Ahzab/33: 6)

Ummahât al-Mu’minîn adalah sebuah idiom/gramatikal yang terdiri dari dua kata, yaitu ummahât dan al-mu’minîn. Gabungan dua buah kata (isim) ini disebut

idhafah 15 Ummahât adalah bentuk jama‘ dari kata al-umm yang berarti “ibu” untuk

manusia. Sedangkan bentuk jamak al-umm untuk hewan adalah amât (تﺎﻣأ). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, ibu berarti orang yang melahirkan, sebutan untuk wanita yang sudah bersuami, panggilan kehormatan kepada wanita yang sudah/belum

16 menikah. 17 Selain berarti ibu, al-umm juga berarti asal, pangkal, sumber, induk. Dalam al-Qur’an, penggunaan kata al-umm bukan hanya berlaku bagi manusia dan hewan. Umm al-Qurâ yang berarti ibu negeri merupakan sebutan untuk Mekkah, 18 Umm al-Kitâb yang berarti pokok-pokok isi Al-Qur’an adalah nama lain

untuk Surah al-Fâtihah. Kepala atau pemimpin disebut imâm yang terambil dari kata ّمﺆﯾ 19 – ّمأ .

14 al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 184. 15 Idhafah adalah mencampurkan dua isim (kata benda) atas satu jalan yang memberi faidah