Akselerasi Patologi Normalitas atau meng

Akselerasi Patologi Normalitas
Atau mengapa psikoanalisis harus merayakan DSM -V1
Hizkia Yosie Polimpung
Minerva Co-Lab, Koperasi Riset Purusha

“ The self is a belief injected int o t he unconscious, it is w hat gives us fait h as it robs us of pow er,
it is w hat teaches us t o desire our ow n repression. Everybody has been neurot icized at home,
at school, at w ork. Everybody wants t o be a fascist .”
~ M ark Seem2
“ DSM 5 w ill result in t he mislabeling of pot ent ially millions of people who are basically normal.”
~ Allen Frances3

Semenjak pertama kali diresmikan WHO pada 10 Okt ober 1992, maka sampai t ahun ini Hari
Kesehat an Jiwa Sedunia sudah dirayakan selama 24 kali. Salah sat u “ capaian” upaya yang menjadi
t ujuan peringat an, yait u unt uk “ raising aw areness of ment al healt h issues around t he w orld and
mobilizing ef f ort s in support of ment al healt h,” adalah diluncurkannya bibel psikiat ri dunia t eranyar

pada 2013 lalu: Diagnost ic & Stat ist ical Manual of Ment al Disorders ke-V. Dikat akan bibel, karena
hampir seluruh prakt isi kesehat an jiw a (psikiat er, psikot erapis, support group, dst .) menggunakan
DSM sebagai pedomannya dalam mendiagnosis. Berbeda dari sebelumnya, DSM -V kali ini
mengundang banyak kont roversi t erut ama dalam upayanya memahami variasi gangguan

kejiw aan yang dianggap malah berakibat melabeli orang normal sebagai sakit jiw a. Tulisan ini akan
memaparkan garis besar kont roversi t ersebut dan memberikan koment ar dari sudut pandang
psikoanalisis. Berbeda dari psikoanalis pada umumnya yang ikut mengut uk, saya malah
mengusulkan untuk merayakan DSM -V dengan argumen sederhana: semakin banyak yang dilabeli
sakit jiw a, semakin rezim normalit as nampak sakit secara kejiw aan.
DSM pert ama kali diluncurkan pada 1952 dengan dilat ar-belakangi kebut uhan pemerint ah
AS unt uk mengumpulkan dat a t ent ang “ reaksi” (t erma mereka saat it u unt uk “ simt om” )

digolongkan ke dalam t ujuh kat egori—mania, melancholia, monomania, paresis, dement ia,
1 Makalah unt uk diskusi “ Alam Baw ah Sadar dan Kesehat an Jiwa” yang diselenggarakan oleh Int o t he Light Indonesia
dan Gereja Komunitas Anugerah, Jakart a, 26 Okt ober 2016.
2 Mark Seem, “ Int roduct ion,” dlm. Deleuze, G., & Guattari, F., Ant i-Oedipus: Capit alism and Schizophrenia, terj. R. Hurley,
M. Seem, and H.R. Lane (Uni Minnesot a Press, 1983).
3 Sebagaimana disampaikan dalam: “ DSM-5 Officially Launched, but Cont roversy Persists,” Medscape Medical New s, 18
Mei 2013. URL: ht t p://w ww .medscape.com/viewart icle/804410.

Hal.

“ normal” at au “ idiot /gila” (idiot /insane). Yang t erakhir ini dit ermakan “ def isiensi kejiaw aan” dan


1

gangguan kejiw aan. Klasifikasinya t ergolong sederhana, di dunia ini hanya ada dua jenis orang:

dipsomania and epilepsi—yang muncul dalam 106 bent uk gangguan. Tahun 1968, DSM -II
memperbanyak ident ifikasi gangguan kejiw aan t ersebut sampai 182. Dengan DSM -III, angka
t ersebut naik lagi hingga 265 dan t erus melew at i angka 300 saat DSM -IV dan V muncul. Kit a juga
melihat peningkat an dramat is dari segi halaman: DSM -I muncul dengan 145 halaman, dan dengan
DSM -V kit a memegang buku set ebal 992 halaman berisi deskripsi dan ceklis simt om-simt om
gangguan kejiw aan lengkap dengan durasinya. Secara paradigmat ik, semenjak DSM -III diagnost ik
kejiw aan bergeser dari psikodinamika ke deskripsi empirik. Dan semakin hari, semakin kat egorisasi
it u menjadi rigid dan rigid. Pendekat an kat egoris ini semakin memuncak dengan DSM -V yang
mengakhiri sist em mult i-aksial (yi. 5 aksis mult idimensi) yang dibaw a DSM -IV. Singkat nya, orang
gangguan jiw a hari ini jauh lebih “ presisi” simt omnya ket imbang sebelumnya.
Nyat anya, klien jarang sekali cocok pada sat u kat egori. Bahkan, sepert i sinisme beberapa
pakar, seorang klien bisa nampak sepert i “ kolekt or” diagnosis gangguan dan obat -obat an yang
dipreskripsikan. Tidak jarang obat -obat t ersebut bereaksi negat if sat u sama lainnya. Neurosains
pun t idak mendukung kat egorisasi rigid ini, pasalnya, misalnya, gangguan kecemasan (anxiet y
disorder) dan gangguan mood menunjukkan respon dan akt ivit as amigdala yang sama. Begit u juga


dengan skizofrenia dan PTSD, keduanya sama-sama menunjukkan akt ivit as t ak biasa di Kort eks
Pre-front al.4 St udi genet ika pun menyangsikan banyak kat egorisasi-kat egorisasi DSM ini.5 Inilah
yang juga membuat Nat ional Inst it ut e of Ment al Healt h mencabut dukungan dananya persis dua
minggu sebelum peluncuran DSM -V. Thomas Insel melihat perkembangan DSM yang konon
empiris ini malah semakin jauh dari validit as empirik yang kokoh. Insel mengharapkan suat u
nosologi yang memiliki basis biologi dan neurologi yang memerhat ikan fakt or “ kognit if, sirkuit
neuronal dan genet ika.” 6
Penolakan paling keras just ru muncul dari orang dalam, yait u Allen Francis, yang
sebelumnya menget uai kelompok kerja penyusunan DSM -IV. Dalam pengamatan saya, kemarahan
Francis ini represent at if bagi seluruh krit ik t erhadap DSM -V. Francis melihat bahw a dengan DSM V, semakin banyak orang “ normal” menjadi t erdiagnosis gangguan jiw a. St andar ukuran diagnosis
pun semakin banyak dan semakin rigid, dan hal ini lebih didorong oleh maksud yang sama sekali
bukan unt uk t ujuan penanganan, melainkan bagi kepent ingan Big Pharma dan Asuransi. Dengan
pendekat an dimensional, asuransi akan kesulit an menent ukan nasabahnya “ benar-benar” sakit
at au t idak; namun t idak dengan pendekat an kat egori, seseorang bisa t erdiagnosis secara jelas.
bisa dipungkiri bahw a ini menjadi semakin meresahkan karena memang banyak anggot a panel

2

penyusunan DSM -V yang berkonflik kepent ingan. Sebagaimana riset Lisa Cosgrove dan Sheldon


Hal.

Begit u pula dengan bisnis farmasi, semakin banyak penyakit , maka semakin laku suat u obat . Tidak

4 Dichter, G.S., Damiano, C.A. & Allen, J.A. “ Reward circuit ry dysfunct ion in psychiat ric and neurodevelopment al
disorders and genet ic syndromes: animal models and clinical findings” , Journal of Neurodevelopm ent al Disorders, 4, 19, 2012.
5 Craddock, N. & Ow en, M.J., “ The Kraepelinian dichot omy - going, going... but st ill not gone,” Brit ish Journal of
Psychiat ry, 196, 2010.
6 Insel, T., “ Transforming Diagnosis,” NIMH, 29 April 2013 htt ps://w w w .nimh.nih.gov/about /direct or/2013/t ransformingdiagnosis.sht ml.

Krimsky: 69% anggot a pokja DSM -V memiliki ikat an dengan indust ri farmasi, 83% dari anggot a
panel gangguan mood t erident if ikasi sebagai konsult an dan/at au juru bicara perusahaan obat , dan
bahkan 100%anggot a panel gangguan t idur diisi oleh mereka yang bekerja kepada perusahaan
yang memroduksi obat -obat a unt uk gangguan ini.7
Sebenarnya t uduhan Frances bahw a DSM -V berpot ensi melabeli sakit jiw a jut aan orang
normal t idaklah berlebihan kalau kit a mengamat i halaman-halaman di bibel t ersebut . Kesedihan
biasa akan rawan jat uh pada Major Depressive Disorder. Orang yang lebih banyak makan dari
biasanya dalam periode t ert ent u (karena alasan apapun) akan raw an jat uh pada kat egori Binge
Eat ing Disorder (klasifikasi baru). Jika kit a memut uskan unt uk berhent i mengonsumsi kopi,
kemungkinan besar kit a perlu konsultasi kejiw aan karena kit a sudah past i mengalami Caffeine

Wit hdraw al Syndrome dalam kat egori Caffeine-relat ed Disorder. Jika merasa semakin t ua dan
semakin sering lupa, jangan anggap it u normal karena menurut DSM -V anda t erkat egorikan Mild
Neurocgnit ive Disorder. Anda dit inggal mat i oleh orang t erkasih at au peliharaan t ercint a anda?—
segera konsult asikan diri anda karena anda resmi t ergolong penderit a Major Depressive
Disorder.8 DSM -V nampaknya melarang kit a unt uk bersedih. Malahan, bat asan ant ara
kekhaw at iran sehari-hari dengan Generalized Anxiet y Disorder juga makin t ipis. Lainnya, mereka
yang melakukan operasi plast ik kini raw an t erkat egorikan Body Dysmorphic Surgery. Seseorang
bisa dikat egorikan Skizofrenia apabila ia memiliki “ unusual t hought s, experiences, f eelings &
behaviour” — t api, sepert i apakah yang unusual; siapa yang menilai unusual mana yang skizofrenik?

Jika anda sedang sakit dan anda memaksimalkan akses int ernet anda unt uk menget ahui apa
penyebab penyakit anda, maka anda punya bakat unt uk menderit a Somat ic Sympt om Disorder.
Singkat nya, overdiagnosis adalah yang dikhaw at irkan, karena ia akan berdampak pada mislabeling
dan overmedication.
“ M any millions of people w it h normal grief, glut t ony, distract ibility, w orries, react ions t o st ress,
t he temper tantrums of childhood, t he forget t ing of old age, and ‘behavioral addict ions’ w ill
soon be mislabeled as psychiat rically sick and given inappropriat e t reat ment. … Don't buy it ,
don't use it , don't t each it.” 9

M erayakan DSM -V


Hal.

DSM -V kali ini, psikoanalis nampak lebih marah dari biasanya. Di Perancis bahkan mereka

3

Psikoanalisis memiliki permusuhan hist oris dengan DSM manapun t ent unya.10 Terkait

7 Cosgrove, L., & Krimsky, S., “ A Comparison of DSM-IV and DSM-5 Panel Members’ Financial Associat ions w ith Indust ry:
A Pernicious Problem Persists,” PLoS Medicine, 9, 3, 2012.
8 Menarik di sini bahwa dalam DSM-IV diagnosis baru boleh diberikan apabila simt om berlangsung selama dua bulan
pasca kemat ian. Dalam DSM-V, sedari awal just ru sudah didiagnosiskan.
9
Allen Frances, “ DSM-5 Is a Guide, Not a Bible,” Huffingt on Post , 12 Maret 2012, URL:
htt p://w w w.huffingt onpost .com/ent ry/dsm-5_b_2227626.
10 Uraian komprehensifnya, bisa lihat, mis. St ijn Vanheule, Diagnosis and t he DSM: A Crit ical Review (Palgrave, 2014)

mengajukan pet isi unt uk menolak DSM -V.11 Namun demikian, nampaknya para psikoanalis ini luput
dalam membaca sit uasi ini secara st rat egis. M emang benar, persoalan yang dikemukakan Allen

Frances dan pengrit ik DSM -V t erkait overdiagnosis, overmedikalisasi, dan konflik kepent ingan
indust ri farmasi adalah persoalan yang pent ing. Namun t erlebih dari ini semua, perspekt if
psikoanalisis—dan hanya psikoanalisis saja—mampu unt uk menyikapi lebih progresif, dan jauh
dari sekedar hal-hal yang reaksioner sepert i it u. Psikoanalisis seharusnya bisa sensit if dan st rat egis
dalam melihat bahw a perkembangan DSM dalam mempat ologisasi (dan memedikalisasi) hampir
seluruh aspek kehidupan ini just ru membaw a psikoanalisis semakin dekat pada t ujuan ut ama yang
digariskan oleh Freud, yait u membebaskan umat manusia dari sist em sosial (dan peradaban) yang
membuat nya menderit a secara kejiw aan. Tujuan progresif dari psikoanalisis, yang nampaknya
t idak dimiliki oleh cabang psikologi, psikiat ri at au psikot erapi manapun adalah bahwa psikoanalisis
berupaya menjadikan dirinya psychot herapy f or t he people.
“ At present we can do not hing for the w ider social strata, w ho suffer extremely seriously from
neuroses. [ T]he poor man should have just as much right t o assistance for his mind as he now
has t o t he life-saving help offered by surgery; and t hat t he neuroses t hreaten public healt h no
less than tuberculosis. [ ] When this happens, inst itut ions or out -pat ient clinics w ill be started,
t o w hich analyt ically-t rained physicians w ill be appoint ed, so that men, w omen, and children
for w hom there is no choice but betw een running w ild or neurosis, may be made capable, by
analysis, of resistance and of efficient w ork. Such t reat ments w ill be free. [ ] We shall probably

discover t hat the poor are even less ready to part w ith their neuroses than the rich, because
the hard life that awaits them if they recover offers them no at t ract ion, and illness gives t hem


one more claim t o social help. [ O]ur therapy w ill compel us t o alloy t he pure gold of analysis
freely w it h t he copper of direct suggest ion; and hypnot ic influence, t oo, might find a place in it
again, as it has in t he t reat ment of w ar neuroses. But , what ever form t his psychotherapy for
the people may take, w hatever t he element s out of which it is compounded, its most effect ive

and most important ingredient s w ill assuredly remain t hose borrowed from strict and
untendent ious psycho-analysis.” 12

Lalu apa hubungannya kont roversi DSM -V dengan t ujuan progresif psikoanalisis? Pert ama,
kit a harus melihat bahw a norma sosial masyarakat (yang berkait an dengan apa yang normat if dan
bukan, yang normal dan bukan, pant as at au bukan, boleh dan t idak, dst .) adalah hasil dari represi
hasrat manusia. Dalam Civilizat ion and It s Discont ent s, Freud sangat t egas mengenai ini: peradaban
t ersusun dari upaya pengalihan “ hasrat seksual” manusia ke hal-hal yang lain yang akumulasi skala
global dan milenialnya mampu mencipt akan peradaban. Hasrat seksual yang dimaksud sama

11

Christ opher Lane, “ Ant i-DSM Sent iment Rises in France,” Psychology Today, 28 Sept 2012, URL:
htt ps://w ww .psychologyt oday.com/blog/side-effect s/201209/ant i-dsm-...1

12 Sigmund Freud, “ Lett er from Sigmund Freud t o Oskar Pfister, Oct ober 9, 1918,” dlm. Psychoanalysis and f ait h: The
Let t ers of Sigmund Freud and Oskar Pf ist er (Internat ional Psychoanalysis Library, 1918), h. 61-63. Saduran dan penekanan dari
penulis.

Hal.

Freud yang umum disampaikan. Tent ang seks ini akan dibahas lain kali. Namun poinnya adalah

4

sekali berbeda dari imaji orang mengenai seks, dan t uduhan-t uduhan panseksual simplist ik kepada

bahwa masyarakat dan peradaban itu sendiri adalah manifestasi dari hasrat, psike kolektif .13
Sebagai hasil dari represi hasrat, peradaban adalah sebuah represi yang dihasrati. Kegiat an

represi hasrat secara berjamaah adalah yang menyusun t at anan sosial.14
Sama sepert i simt om yang dialami individu klien, bagi Freud, suat u simt om gangguan
bukan unt uk disembuhkan, m elainkan diint egrasikan ke kesadaran. Simt om adalah hasil proses t ak

sadar yang mengemuka di kesadaran yang, karena t idak disadari dan dimengert i, ia menjadi suat u

gangguan/keluhan bagi sang empunya sadar: ego. Proses analisis berlangsung dengan mengajak
klien mengakui kepemilikannya sendiri at as simt om-simt om t ersebut melampaui ceracau-ceracau
vikt imisasinya (narasi korban). Dengan mengakui dan bert anggung-jaw ab akan simt om-simt om
t ersebut , sang subyek mengint egrasikan ket aksadarannya ke kesadaran, dan menjadikannya
subyek yang baru. Cat herine Malabou, seorang filsuf dan neuropsikoanalis, menyebut subyeksubyek ini sebagai post -t raumat ic subject .15
Jacques Lacan mengelaborasi lebih lanjut dan sampai pada formulasi yang lebih presisi
t erkait proses t erminasi dan t ujuan akhir analisis ini, yait u apa yang disebut nya sebagai
‘penerabasan fant asi’ (t raversing of t he f ant asy; f ranchir le f ant asme). Dalam t eorisasi hasrat
Lacan, suat u simt om berkait an erat dengan upaya pencapaian hasrat yang t idak berhasil. Analisis
masuk dengan mereposisi posisi subyek t erkait keluhan dan hasrat ini. Ia berupaya merekt ifikasi
(mengoreksi) seluruh narasi dari sang subyek t erkait kedua ini. Tujuannya bukan unt uk
menunjukkan benar at au salah dari narasi it u, melainkan semat a unt uk menyent ak-sadarkan sang
subyek bahwa selama ini keluhan yang ia rasakan adalah sesuat u yang dit opangkan pada apa yang
disebut Lacan fant asi fundament al, yang adalah kepunyaannya sendiri.16 Bagi Lacan, kesadaran
adalah saat ia t ersadarkan bahwa selama ini ia t idak sadar. Seseorang dikat akan sadar saat ia
fant asi fundament al yang menopang “ kesadarannya selama ini” diront okkan oleh suat u kejadian
gilirannya memampukan subyek unt uk “ mengint egrasikan ket aksadarannya” dan membuat

5


seluruh gangguan dan keluhan yang dirasakannya hilang. Simt om bisa jadi t et ap ada, namun ia

Hal.

at au penget ahuan yang sifat nya t raumat ik. Menerabas fant asi fundament al inilah yang pada

13 Unt uk t idak dicampuradukkan dengan konsep “ ket idak-sadaran kolekt if” yang not abene sudah berkont radiksi sedari
mula. Ket idaksadaran, sudah selalu kolekt if. Demikian pula fantasi, ia sudah selalu sosial; dan yang int im dan privat, sudah
selalu polit is dan idiologis.
14 Persoalan yang menjadi poin krit is kemudian adalah apa yang mendasari proses represi hasrat tersebut ? Bagaimana
ia bisa berskala sosietal, global, bahkan sivilisasional? Mengapa hasrat yang “ it u” dan bukan lainnya yang harus direpresi?
Mengapa orang mau merepresi hasratnya? Apa dan siapa yang diunt ungkan dari proses represi hasrat tersebut ? Pertanyaanpertanyaan ini bisa berlanjut yang tent unya menarik unt uk membahasnya dari st udi-st udi kasus empirik, yang t ent unya bukan
kompet isi makalah singkat ini.
15 Catherine Malabou, The New Wounded: From Neurosis t o Brain Dam age, t erj. S. Miller (Fordham Uni Press, 2012)
16 Di sini, batasan ant ara kesadaran dan ketaksadaran menjadi rapuh. Met afora gunung es yang membagi secara rapi
ant ara sadar – prasadar – tak-sadar t ent unya rontok dengan sendirinya. (Freud pun pada akhirnya juga membuang met afora
ini—cukup aneh mengapa sampai hari ini ia masih direproduksi dan diacukan sebagai “ Freudian” ). Lacan menunjukkan
hubungan kesdaran-ketaksadaran ini sebagai t opologis—terutama mengikut i pit a möebius, yang mana di antara kedua
sisinya t erdapat kesinambungan dialekt is ket imbang t erpisah secara m ut ually exhaust ive. Sadar – t ak-sadar; personal – sosial;
klinik – masyarakat ; fant asi personal – idiologi berkuasa; dst . juga t idak terkecualikan dalam t opologi Lacanian ini. Lih. Ellie
Ragland & Dragan Milovanovic, Lacan: Topologically Speaking (Other Press, 2014).

bukan lagi sebagai gangguan; keadaan mungkin t et ap sama, namun cara pandang sang subyek
t elah sepenuhnya berubah. Dengan kata lain, simt om bukan unt uk dit olak, bukan dit obat kan
(misalnya karena ia adalah dark side, dalam t erma Jung), bukan diinsafi, melainkan diaf irmasi dan
diakselerasi.
“ Le désir ne peut faire que d'aller à sa rencont re, et , pour la rencont rer, il ne doit pas seulement
comprendre, mais franchir le fantasme même qui le sout ient et le const ruit ” [Hasrat t idak bisa begit u saja
dijumpai, dan, unt uk menjumpainya, t idak bisa kita hanya memahaminya, melainkan menerabas fant asi
yang juga menopangnya dan membent uknya] 17

Kembali ke DSM -V. Sebagai suat u norma dalam psikiat ri, ia juga t idak t erkecualikan dari
analisis Freudian-Lacanian barusan. DSM -V adalah simt omat ik bagi suat u kondisi psike kolekt if.
Psike kolekt if, singkat nya, adalah suat u psike yang t erbent uk sebagai hasil dari dinamika
pengelolaan hasrat (atau kepent ingan) dan ket akut an dalam skala masyarakat .18 (It ulah mengapa
bagi Lacan, seluruh fenomena kejiw aan t erst rukt ur secara t opologis: yang di dalam dan yang di
luar memiliki kesinambungan). Aspek represent asi dan dominasi kelompok dominan t idak akan
bisa lepas di sini. Hal ini sekaligus menunjukkan bet apa simt om yang sifat nya sangat personal,
memiliki akar yang t ak t erlepaskan di ranah sosial. Anat omi, kat a Lacan, t idak selalu menent ukan
t akdir seseorang ; t aut an sosial (dan linguist ik) punya peran signifikan.
Menganalisis (dalam art ian t reat ment ) masyarakat , dengan demikian, mensyarat kan
penerabasan DSM -V sebagai obyek hasrat berikut seluruh t opangan fant asmat iknya. Dengan
menganalisis ini, psikoanalisis harus mampu mengaw al masyarakat unt uk mengafirmasi DSM -V
dan segala hasrat unt uk menglasifikasikan kegilaan secara rapi yang not abene adalah hasrat yang
direpresi. Prosesnya persis sepert i yang digariskan Freud di Int erpret at ion of Dream. Freud
bert anya, “ mengapa orang bermimpi?” ; jaw ab: karena orang ingin melarikan diri dari realit as yang
penat dan berat dalam t idurnya; orang mengonst ruksikan mimpi unt uk memperpanjang t idurnya.
Kalau begit u, lant as “ mengapa orang bangun dari mimpinya?” Jaw ab Freud: karena pada saat ia
melarikan diri ke dunia mimpi, ia just ru menjumpai kebenaran mengenai hasrat nya yang jauh lebih
mengerikan dari realit as yang darinya ia melarikan diri. Akhirnya, t ersent ak-sadarlah ia dan
t erbangun. Namun demikian, kit a harus memert imbangkan pembacaan yang jauh lebih ekst rim
lagi: orang t erbangun dari t idur just ru unt uk melanjut kan mimpinya di realit as! Bangun – t idur –
mimpi adalah serial pelarian diri manusia dari suat u kebenaran t raumat ik mengenai dirinya dan

Demikian pula dengan DSM -V ini: ia adalah upaya kit a dan para psikiat ri unt uk melarikan

6

diri dari realit as kegilaan masyarakat , dengan mencipt akan mimpi unt uk menundukkan,

Hal.

hasrat nya.

17 Lacan, Seminar X: L’angoisse (Seuil, 2004), h. 383. Terjemahan bebas, sekaligus penekanan dari penulis. Lainnya, lih.
Lacan, Sem inar XI: Four Fundam ent al Concept s of Psychoanalysis, terj. A. Sheridan (W.W. Nort on & Co., 1981), h. 273.
18 Cont oh analisis Lacanian yang menarik terkait ini, lih. Lorenzo Chiesa, “ Topology of Fear,” Subject ivit y, 24, 2008.

mendomest ifikasi, merehabilit asi, memfungsikan dengan baik di masyarakat , dst . Sejarah
perkembangan DSM adalah manifest asi-manifest asi mimpi t ersebut . Namun demikian, saat ia
bermimpi, just ru ia menjumpai kembali hal yang lebih mengerikan dalam perkembangan DSM -V:
yait u bahw a adalah benar yang dikat akan kucing Chessire dalam Alice in Wonderland , bahw a “ w e
are all mad here.” Kebenaran ini adalah suat u hal yang just ru berusaha t erus direpresi kembali,

t erus dit ekan dan didomest if ikasikan dengan narasi-narasi yang berusaha menyelamat kan
sejumput konsepsi nost algik mengenai normalit as dari gempuran DSM. Persis sebagaimana yang
dilakukan Allen Frances dan lainnya.19 Dengan t erus mencoba memert ahankan t erit ori normalit as
yang semakin didesak oleh DSM , sebenarnya yang dilakukan Frances ini hanyalah upaya unt uk
meneruskan mimpi dan menolak unt uk bangun dari t idur. Tidak ada yang progresif dan krit is

sebenarnya dalam t indakan reaksioner dan emosional Frances ini. Pasalnya, apa yang dilakukan
Frances dan krit ikus arus ut ama DSM dengan para penyusun dan " dalang" DSM sebenarnya
menyerupai sat u koin dengan dua sisi berbeda. Keduanya t etap mengukuhkan konsepsi rezimik
mengenai normalit as it u sendiri. Keduanya harus dit erabas.
Dilihat secara demikian, sebenarnya kat egorisasi gangguan kejiw aan ala DSM sebenarnya
juga t urut menginvest asikan hal yang sebaliknya: yait u pat ologisasi normalit as. It ulah mengapa,
sebagaimanapun seluruh psikiat er dan psikot erapis di jagad raya ini berusaha “ menyembuhkan”
kegilaan, ia t et ap akan t erus berdat angan. Pasalnya, fant asi fundament al (yang merupa dalam
st rukt ur sosial mat erial dan imat erial) yang menopang hasrat -hasrat yang gagal diraih para subyek
ini, oleh para psikiat er, dibiarkan t et ap ada. Kapit alisme, misalnya, sebagai suat u st rukt ur dan
sirkuit hasrat , adalah suatu sist em yang mensyaratkan orang merasa memiliki kebebasan, kont rol
dan ekspresi dirinya, namun beroperasi just ru dengan mengoridorisasikan it u semua dalam
st andar-st andar hukum permint aan pasar.20 Kapit alisme neoliberal but uh supaya orang t idak
memiliki kont rol t erhadap diri dan hidupnya (bahkan jam t idur dan mimpi-mimpi basahnya)
sendiri,21 dan melihat it u sebagai hal normal! Kut ipan dari Mark Seem di bagian pembuka di at as
jelas menyasar ke sini. Konsekuensinya, seluruh reaksi t erhadap ket impangan dan ket idakadilan
semat a-mat a dilihat sebagai impot ensi personal, penyakit biologis dan sakit jiw a. Ya, seringkali
juga para penopang sist em ini mencoba merepresi dan menet ralisir efek linguist ik dari t ermat erma mereka dengan yang lebih halus sepert i “ ket idaknyamanan” ket imbang “ sakit ” , at au

Hal.

7

“ problem kognit if” ket imbang “ idiot .”

19 Misalnya, lih., Allen Frances, Saving Norm al: An Insider’s Revolt Against Out -of-Cont rol Psychiat ric Diagnosis, DSM-5, Big
Pharm a, and t he Medicalizat ion of Ordinary Lif e (Wililam Morrow , 2013)
20 Lacan memberi perhat ian khusus unt uk kapitalisme, bahkan menahbiskannya sebagai suat u diskurus baru, yaitu
diskursus kelima dalam empat macam diskursus Lacanian (universit as, mast er, histeris, dan analis). Jacques Lacan, “ Discourse
of Jacques Lacan at t he University of Milan on May 12, 1972,” terj. J. St one, dlm. Lacan in It alia, 1953-1978 (Milan: La Salmandra,
1978).
21 Lih. Erik Ringmar, “ Lucid dreams, perfect night mares: consciousness, capitalism and our sleeping selves,” Dist inkt ion:
Journal of Social Theory, First View, 2016.

Sayangnya seluruh t ujuan t erapi pada umumnya t idak diarahkan unt uk menerabas fantasi
fundament al ini. Terapi pada umumnya abai t erhadap st rukt ur-st rukt ur yang menurot isisasi,
mempsikot isiasi dan menghist erisisasikan subyek ini. Terhadap ini, jurus-jurus sugest i yang
dikombinasikan dengan manipulasi kimiaw i oleh pil-pil obat yang kemudian dikerahkan. Problem
psikis pun pada akhirnya menjadi dipersonalisasi yang juga pada gilirannya mengukuhkan suat u
mimpi mengenai kedirian yang kukuh dan ut uh, suat u jat i diri yang ot ent ik, kepribadian yang
“ normal,” dan segala macam gangguan kejiw aan lainnya yang serupa. Bukankah hal-hal ini yang
selalu dijumpai oleh, misalnya, kaum milenials di TV, di kelas, di t empat ibadah, di nasihat orang
t ua, di novel-novel, di seminar mot ivasi, dst ., dan sekaligus yang t idak mampu mereka capai dalam
hidupnya, yang membuat mereka menjadi korban bully, dan yang menjadikan mereka t erbuka
pada despresi dan pikiran bunuh diri? Sebaliknya, psikoanalisis just ru t egas menolak sikap
t erapet ik sepert i ini. Seruan Lacan jelas,
“ To make oneself the guarant or of t he possibilit y that a subject w ill in some way be able t o find
happiness even in analysis is a form of fraud. There's absolut ely no reason w hy we should make
ourselves the guarant ors of t he bourgeois dream.” 22

It ulah mengapa kit a mest i jelas di sini bahw a pada dasarnya psikoanalisis adalah suat u
analisis, ket imbang suat u t erapi, apalagi pengobat an/penyembuhan. Psikoanalisis t idak melihat

bahwa ada it u yang disebut “ penyakit .” Kalaupun ada, maka seluruh umat manusia pada dasarnya
“ sakit .” Pasalnya, neurosis adalah st atus st rukt ur psikis def ault bagi seluruh umat manusia
semenjak t idak ada sat upun yang t idak melalui proses Kompleks Oedipus. St rukt ur psikis berikut
simt om-simt om keluhannya hanya akan muncul saat ada yang t erlew at kan dalam proses
Kompleks Oedipus ini. Psikoanalisis sama sekali t idak berniat “ menyembuhkan” klien; ia just ru
mengajak klien unt uk mengejar kebenaran—kebenaran mengenai simt omnya, hasrat nya, dan
fant asinya. “ The only sense is t he sense of desire, [ ...] t he only t rut h is t he t rut h of w hat t he said
desire hides of it s lack, so as t o make light of w hat he does f ind.” 23 Saat kebenaran mengenai hasrat

ini t elah dijumpai melalui analisis, t elah diakui, dan t elah dit erabas seluruh fant asi yang mencoba
mengaburkan dan merepresi kebenaran t ersebut , maka seluruh keluhan sang subyek akan hilang.
Pada t it ik ini, sang subyek t elah mampu mengint egrasikan simt om-simt omnya ke kesadarannya
yang baru.
Dengan pert ama-t ama mengafirmasi DSM -V dan kemudian mengakselerasi seluruh
kont radiksinya, psikoanalisis memiliki peluang besar unt uk menyiapkan jalan bagi kebenaran
unt uk muncul dan membaw a kit a kepada semacam, meminjam Malabou, post -t raumat ic societ y

dan akhirnya di law an. Dengan mengeksplorasi t it ik-t it ik kont radikt if dan memet akan simt om-

22 Lacan, Seminar
23

Ibid., hal. 61.

VII: Et hics of Psychoanalysis, t erj. D. Port er (Tavistock/Rout ledge, 1992), h. 303. Penekanan dari penulis.

Hal.

kondisi-kondisi yang memungkinkan supaya normalit as ini semakin dipert anyakan, diint erogasi

8

yang lebih progresif. Ini bisa dilakukan dengan semakin mempert ebal dan mengint ensifikasi

simt om (baik klinis dan sosial) t empat kont radiksi t ersebut muncul, maka rezim normalit as yang
berlalu akan semakin keropos dan menunjukkan w ajah t ak w arasnya. Normalit as adalah dan akan
selalu sebuah rezim, benar. Namun hal ini bukan unt uk dirat api, melainkan ia harus diafirmasi, dan
diakselerasi. M engafirmasi normalit as sebagai sebuah rezim berart i mengakui bahwa t idak ada
akan pernah ada yang namanya “ normal” yang sejat i; bahwa yang “ normal” adalah selalu bent uk
hasrat yang terproyeksikan secara sosial; yang normal adalah selalu simt om yang pada dirinya
sendiri pat ologis.
Namun demikian, mengakselerasi normalit as pat ologis ini t idak cukup hanya dengan
mengafirmasi. Dengan mengafirmasi konsekuensi-konsekuensi ini, t ugas psikoanalisis just ru
adalah mengonst ruksikan suat u rezim normalit as yang baru, yang t ent unya t idak mengulang
mimpi-mimpi pat ologis DSM . Psikoanalisis harus mampu melihat bahw a persoalan normalit as
bukan t erlet ak pada st at us aksiomat ik dan st rukt uralnya, melainkan pada pembent ukannya:
apakah hasil konsensus psike kolekt if, at au hanyalah refraksi dari kepent ingan dan idiologi kelas
berkuasa. Jika yang t erakhir, maka psikoanaisis bisa melihat dengan jelas bahw a mereka-mereka
yang dilabeli sakit jiw a, just ru pada dirinya sendiri adalah simt om bagi kont radiksi-kont radiksi
int ernal dari rezim normalit as t ersebut , suat u penanda bahwa sang rezim it u juga t erbelah. It ulah
mengapa st at us klien psikoanalisis bukanlah sekedar klien, melainkan ia adalah aliansi (bahkan
kamerad) psikoanalisis unt uk mengekspos pat ologi normalit as dan ment ransfromasikannya.
M aka akhirnya t idak ada seruan psikoanalit is yang lebih progresif dari ini: neurot ik sedunia,

Hal.

9

bersat ulah! [ HYP]