Konsep Pendidikan Esensialisme dalam Pan

Konsep Pendidikan Esensialisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam

Written By Warta Madani on Selasa, 12 Maret 2013 | 10.01
PENDAHULUAN
Fase awal dimulainya pengetahuan adalah pengenalan indrawi yang mencatat semua perkara
menurut urut-urutannya datang pada indera dengan bentuknya, warnanya, besarnya, letaknya dan
sebagainya. Akan tetapi kita segera kemudian mengetahui bahwa tiap-tiap perkara mempunyai
esensinya (mahiyyah) yang tetap, meskipun sifat-sifat yang indrawi berubah-ubah dan
keadaannya pun berbeda-beda, sedang fungsi esensi sesuatu ialah memegangi ciri-ciri khasnya
yang pokok ketika terjadi perobahan keadaan.1[1]
Setiap kemajuan yang dikembangkan dalam rangka mengejar keterpurukan, seringkali
dapat mengubah tingkat pemikiran hingga berwujud pada perkembangan yang akan dituju dan
menjadi tujuan akhir. Dunia pendidikan, misalkan, telah banyak menghasilkan bentuk, macam,
dan fungsi serta wujud dari pokok pondasi dasar yang mendasari (ranah filosofis), karena
pendidikan ditempatkan pada objek kajian.
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan
sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa
pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda.
Menurut para esensialis, dalam dunia pendidikan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat
menimbulkan pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Sehingga menyebabkan pendidikan kehilangan arah. Dengan demikian pendidikan harus

bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas yaitu nilai yang memiliki tata
yang jelas dan telah teruji oleh waktu. Prinsip esensialisme menghendaki agar landasan
pendidikan adalah nilai-nilai yang esensial dan bersifat menuntun.2[2]
Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada Al-Qur'an
dan al-Hadistsejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan.
Langkah yang ditempuh Al-Qur'an ini ternyata amat strategis dalam upaya
1[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990,
Cet. IV, hlm. 13-14.
2[2]
http://www.infogue.com/viewstory/2008/05/29/esensialisme/?
url=http://durrah-uin-bi-2b.blogspot.com/2008/05/esensialisme.html

mengangkat
pendidikan

martabat

kehidupan

merupakan


jembatan

manusia.
yang

Kini

diakui

jelas

menyeberangkan

bahwa

orang

dari


keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan
serta ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.3[3]
Dalam

makalah

ini,

akan

dibahas

tentang

konsep

pendidikan

esensialisme dalam pandangan filsafat pendidikan Islam. Dalam hal ini,
penting bagi penulis untuk membatasi wilayah mana yang akan bisa

dijadikan sumbu positif dan mana yang menjadi sumbu negatif dalam
perspektif ini, yakni filsafat pendidikan Islam –yang terangkum dalam
ontologi, epistemologi, dan aksiologi– dalam pelaksanaan sistem pendidikan
Islam (tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib).
I.

RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian pendidikan esensialisme.
B.

Bagaimana konsep pendidikan esensialisme dalam pandangan filsafat
pendidikan Islam?
PEMBAHASAN

A. Konsep Pendidikan Esensialisme
Esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang
berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam
memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di

mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang
memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang
jelas.
3[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997, Cet. I, hlm. 12-13.

Dengan demikian, Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya
konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada
zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir
modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap
simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah
konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam
semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.4[4]
Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen esensialisme,
titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan
idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya
bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam
adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan

dijadikan pangkal berfilsafat.
Penguatan kualitas esensialisme semakin terlihat dengan adanya
dukungan dari pandangan aliran yang berkualitas pula, karena esensialisme
mendapat dukungan dari kualitas-kualitas dari pengalaman yang terletak
pada dunia fisik dari aliran idealisme dan realisme. Di sana terdapat sesuatu
yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak sematamata bersifat mental. Dengan demikian di sini jiwa dapat diumpamakan
sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia
fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya
sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek
atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak
esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan
tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama
pada dirinya masing-masing.5[5]

4[4] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan
Pendidikan, Jakarta: Arruz Media, 2010, Cet. III, hlm. 99-100.
5[5] Ibid., hlm. 100.

Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama

dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini
ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya
kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan
kekuasaan

Tuhan.

Menurut

pandangan

ini

bahwa

idealisme

modern

merupakan suatu ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk

yang berpikir, dan semua ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada
pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan di
langit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta
gagasannya

maka

manusia

akan

mencapai

suatu

kebenaran

yang

berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.

Aliran esensialisme, dengan bercokol dari filsafat-filsafat sebelumnya, dapat memenuhi
nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang korelatif sejak empat abad ke
belakang, sejak zaman Renaisance sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme awal.
Sedangkan puncak dari gagasan ini adalah pada pertengahan abad ke-19,6[6] dengan munculnya
tokoh-tokoh utama yang berperan menyebarkan aliran esensialisme.
1. Tokoh-Tokoh Esensialisme
Tokoh utama esensialisme pada permulaan awal munculnya adalah
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel
mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama
menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah
penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada
teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang
dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa
sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan
mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia
dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber
dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
George Santayana, dengan memadukan antara aliran idealisme dan
aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu
6[6] Ibid.


tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian
dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun
idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas
dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).7[7]
Pada perkembangan selanjutnya, banyak tokoh-tokoh yang muncul dan
menyebarluaskan esensialisme, diantaranya adalah:
a.

Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan
permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak
pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar
kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga
bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.

b.

Johan Amos Comenius (1592-1670), adalah seorang yang memiliki
pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan

mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan,
karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.

c.

John Locke (1632-1704), sebagai pemikir dunia berpendapat bahwa
pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Locke
mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.

d.

Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), sebagai seorang tokoh yang
berpandangan naturalis Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat
alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat
kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan
bahwa manusia juga mempunyai transendental langsung dengan Tuhan.

e.

Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai tokoh yang berpandangan
kosmis-sintesis dengan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan
mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan, Frobel
memandang anak sebagai makhluk yang berprestasi kreatif, yang dalam
tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas
7[7] http://wahyudisy.blogspot.com/2008/01/aliran-esensialisme-aliran.html

pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri yang
murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
f.

Johann Friederich Herbert (1776-1841), sebagai salah seorang murid
Immanuel Kant yang berpandangan kritis, Herbert berpendapat bahwa
tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan
dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan
dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert
sebagai pengajaran yang mendidik.

g.

William T. Harris (1835-1909), tokoh dari Amerika yang pandangannya
dipengaruhi oleh Hegel dengan berusaha menerapkan idealisme obyektif
pada pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan
terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan
yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun
penyesuaian diri kepada masyarakat.8[8]

2. Beberapa Pandangan Esensialisme dalam Bidang Pendidikan
Pandangan esensialisme dan penerapannya di bidang pendidikan
antara lain:
a.

Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai
pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila
seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri,
terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos
menuju

ke

makrokosmos.

Pandangan Immanuel

Kant,

bahwa

segala

pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera memerlukan unsur
apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa
mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk,
8[8] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP
IKIP, 1982, hlm. 38-40. Lihat dalam Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 2009, Cet. V, hlm. 25-26.

ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman
atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda,
lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk,
mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir
tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada
sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri
sendiri.
Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney
menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa
mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada
umumnya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam.
Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah sosial. Jadi belajar adalah
menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan
baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan di teruskan kepada
angkatan berikutnya.
Dengan

demikian

pandangan-pandangan

realisme

mencerminkan

adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas. Pertama,
determinisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal
yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersamasama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian
supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis. Kedua, determinisme
terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.
Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini
berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun
kemampuan akan pengawas yang diperlukan.9[9]
b. Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah
berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel
Horne

dalam

bukunya

mengatakan

bahwa

hendaknya

kurikulum

itu

bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan
9[9] Jalaluddin dan Abdullah Idi, op.cit., hlm. 107-108.

ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan
dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau
keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamenfundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum
dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan
yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang
mempunyai empat bagian:
1)

Universum. Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan
segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatankekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini
adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.

2) Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat.
Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap
lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
3)

Kebudayaan. Kebudayaan merupakan karya manusia yang mencakup di
antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian
mengenai lingkungan.

4) Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil
yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum
hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan
ientelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis,
sesuai dengan kemanusiaan ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum
disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak,
fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan
alam semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan
dan kepastian. Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap
angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab
Suci. Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum berisikan
moralitas yang tinggi.

Realisme

mengumpamakan

kurikulum

sebagai

balok-balok

yang

disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana
sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat
sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen atau
dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi bila kurikulum disusun
atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.10[10]
B.

Konsep

Pendidikan

Esensialisme

dalam

Pandangan

Filsafat

Pendidikan Islam
Esensialisme dalam permulaannya, telah meletakkan ajarannya dalam hal-hal berikut: (a)
Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari
sepenuhnya tentang dunia di mana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya. (b)
Menekankan data fakta dengan kurikulum yang tampak bercorak vocational. (c) Konsentrasi
studi pada materi-materi dasar tradisional seperti: membaca, menulis, sastra, bahasa asing,
matematika, sejarah, sains, seni dan musik. (d) Pola orientasinya bergerak dari skill dasar menuju
skill yang bersifat semakin kompleks. (e) Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan
efisien. (f) Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri. (g) Disiplin
mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang didiami serta tertarik
progressivism.11[11]
Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar tujuan
ajaran Islam itu sendiri, keduanya berasal dari sumber yang sama, Al-Qur'an dan Hadits
Rasulullah.12[12] Menurut Al-Syaibani, filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat
pendidikan umum, merupakan pedoman bagi perancang dan orang-orang yang bekerja dalam
bidang pendidikan dan pengajaran Islam. Filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan
landasan dasar bagi penyusunan suatu sistem pendidikan Islam. Pemikiran-pemikiran filsafat
pendidikan Islam menjadi pola dasar bagi para ahli pendidikan Islam mengenai bagaimana
10[10] Ibid., hlm. 109-110.
11[11]
http://www.infogue.com/viewstory/2008/05/29/esensialisme/?
url=http://durrah-uin-bi-2b.blogspot.com/2008/05/esensialisme.html
12[12] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Pengembangan Pemikirannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 19.

sistem pendidikan Islam yang dikehendaki dan sesuai dengan konsep ajaran Islam yang
berhubungan dengan pendidikan.13[13]
Dalam kaitannya dengan pandangan filsafat pendidikan Islam pada konsep pendidikan
esensialisme ini, terdapat beberapa pandangan yang perlu mendapatkan perhatian serius,
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan dan alat ukur pada pengembangan ilmu pendidikan Islam
itu sendiri, pandangan yang dimaksudkan adalah:
1. Pandangan secara Ontologi
Ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai
oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula.
Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita
manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada.
Dalam pandangan ini, filsafat pendidikan Islam memberikan pandangan
bahwa prinsip yang mendasari dalam pendidikan adalah konsep mengenai
sang pencipta (Khalik), ciptaan-Nya (Makhluk), hubungan antara ciptaan-Nya
dan pencipta serta hubungan antara sesama ciptaan dan utusan yang
menyampaikan risalah (Rasul).
Dari pandangan ini juga, filsafat pendidikan Islam memiliki titik tolak
pada konsep the creature of God, yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta,
maka Allah yang telah mengatur di alam ciptaan-Nya. Maka lebih luas jauh
dalam pandangan ini, filsafat pendidikan Islam telah menguasai seluruh
aspek pendidikan, yakni Tuhan (Allah) sebagai pencipta, manusia (makhluk)
dan ciptaan lain, penghubung (Rasul) yang menghubungkan khalik dan
makhluk-Nya.14[14]
2. Pandangan secara Epistemologi
Epistemologi esensialisme adalah Teori kepribadian manusia sebagai
refleksi Tuhan, inilah jalan untuk mengerti. Sebab jika manusia mampu
menyadari realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia
pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu
13[13] Jalaluddin dan Abdullah Idi, op.cit., hlm. 38.
14[14] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2005, Cet. I, hlm. 123.

memikirkan kesemestaannya. Berdasarkan kualitas inilah dia memperoduksi
secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial,
dan agama.
Pada pandangan ini, filsafat pendidikan Islam lebih memberikan lingkup
yang semakin luas, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surat as-Syura
ayat 52;
y7Ï9ºx‹x.ur !$uZø‹ym÷rr& y7ø‹s9Î) %[nrâ‘ ô`ÏiB $tR̍øBr& 4 $tB |
MZä. “Í‘ô‰s? $tB Ü=»tGÅ3ø9$# Ÿwur ß`»yJƒM}$# `Å3»s9ur
çm»oYù=yèy_ #Y‘qçR “ωök¨X ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±®S ô`ÏB $tRÏŠ$t6Ïã
4 y7¯RÎ)ur ü“ωöktJs9 4’n