Pengaruh Perceived Organizatio nal Suppor

Jurnal Manajemen Kinerja

Pengaruh Perceived Organizational Support (POS) dan Affective
Commitment (AC) terhadap Intentions to Quit
Rizki Rismawan
rizkirismawan.sr@gmail.com
Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pendidikan Indonesia

2017
ABSTRACT
Organizational commitment is important especially for the organization that exists
today by looking at the extent of an employee's alignment with the organization, and the
extent to which the employee intends to maintain its membership of the organization. One
perspective of an approach to organizational commitment is based on the affective
association of employees to their organization. In an effort to increase employee
commitment, many organizations provide organizational support, the goal is to satisfy and
motivate employees to work harder according to the company's commitment to the
organization's own benefits. In fact, not all employees feel the support of the organization.
Perceived Organizational Support (POS) is a perceived organizational support
with a global belief about the extent to which the organization assesses contributions,

concerns about welfare, complaints, considers life and considers objectives to be achieved
and can be trusted to treat employees fairly
ABSTRAK
Komitmen organisasional menjadi penting khususnya bagi organisasi yang ada saat ini
dikarenakan dengan melihat sejauh mana keberpihakan seorang karyawan terhadap organisasi, dan
sejauh mana karyawan tersebut berniat untuk memelihara keanggotaannya terhadap organisasi. Salah
satu perspektif pendekatan pada komitmen organisasional adalah berdasarkan pada ikatan afektif
karyawan terhadap organisasinya. Dalam usahanya meningkatkan komitmen karyawan, banyak
organisasi yang memberikan dukungan organisasional, tujuannya untuk memuaskan dan memotivasi
karyawan untuk bekerja lebih keras sesuai komitmen perusahaan terhadap manfaat organisasi itu
sendiri. Padahal, tidak semua karyawan merasakan dukungan organisasi.
Perceived Organizational Support (POS) merupakan dukungan organisasi yang dipersepsikan
dengan keyakinan global mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi, memperhatikan
kesejahteraan, mendengar keluhan, memperhatikan kehidupan dan mempertimbangkan tujuan yang
akan dicapai serta dapat dipercaya untuk memperlakukan karyawan dengan adil.
Keywords : e-recruitment, recruitment, paper based recruitment, traditional recruitment.
LATAR BELAKANG
Dewasa ini, suatu organisasi harus memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dalam
menghadapi persaingan global. Karyawan yang mempunyai komitmen tinggi untuk organisasi memiliki
kecenderungan untuk tetap bertahan dalam organisasi (Allen dan Meyer, 1996 dalam jurnal (Kyoo, B.,

& Jeung, 2006). Banyak perusahaan yang menyadari betapa pentingnya meningkatkan komitmen
organisasi pada karyawan serta memahami komitmen organisasi yang telah dibangun oleh para
pendahulunya (Kyoo, B., & Jeung, 2006). Menumbuhkan komitmen organisasi pada karyawan menjadi
perhatian utama bagi organisasi untuk mempertahankan karyawan berbakat yang mempunyai skill dan
pengetahuan yang tinggi (Kyoo, B., & Jeung, 2006).
Komitmen organisasional merupakan salah satu topik yang akan selalu menjadi tinjauan baik
bagi pihak manajemen dalam sebuah organisasi maupun bagi para peneliti yang khususnya berfokus
pada perilaku manusia. Komitmen organisasional menjadi penting khususnya bagi organisasi yang ada

Jurnal Manajemen Kinerja

saat ini dikarenakan dengan melihat sejauh mana keberpihakan seorang karyawan terhadap organisasi,
dan sejauh mana karyawan tersebut berniat untuk memelihara keanggotaannya terhadap organisasi
maka dapat diukur pula sebaik apa komitmen seorang karyawan terhadap organisasinya (Kartika, 2011).
Newstrom (2007) mengatakan bahwa Komitmen organisasional dapat juga dikatakan sebagai loyalitas
karyawan, yang merupakan sebuah derajat yang mana seorang karyawan mengidentifikasikan diri
terhadap organisasi dan ingin untuk melanjutkan berpartisipasi secara aktif dalam organisasi tersebut.
Hal ini juga dapat untuk mengukur keinginan karya- wan untuk tetap bertahan di masa yang akan
datang, dan kecenderungan positif yang muncul dari karyawan adalah catatan kehadiran yang baik,
ketaatan pada kebijakan organisasi, dan menurunnya tingkat perputaran karyawan.

Salah satu perspektif pendekatan pada komitmen organisasional adalah berdasarkan pada ikatan
afektif karyawan terhadap organisasinya yang mana sudut pandang komitmen organisasional ini
terkarakteristikan pada sebuah kepercayaan yang kuat dan penerimaan atas tujuan dan nilai yang
dimiliki organisasi oleh karyawan; keinginan untuk menggunakan usaha yang lebih dengan
mengatasnamakan organisasi; dan keinginan yang kuat untuk menjaga keanggotaan.

Data Ketidakhadiran Karyawan Bank BJB Cabang Utama Bandung
Periode 2010-2012
Tahun
2010
2011
2012

Jumlah
Karyawan
70
74
80

Sakit

15
18
21

Izin

21.43%
24.32%
26.25%

7
8
10

Mangkir

10.00%
10.81%
12.50%


2
2
4

2.86%
2.70%
5.00%

TOTAL
24
28
35

34.29%
37.84%
43.75%

Grafik Absensi Karyawan Bank BJB
30
25

20
15
10
5
0

2010

2011

2012

Sakit

21,43

24,32

26,25


Izin

10

10,81

12,5

2,86

2,7

5

Mangkir

TAHUN
2014-2015
2015-2016
JUMLAH


JUMLAH KARYAWAN RESIGN
2
3
5

Data diatas dapat mencerminkan komitmen organisasi yang menurun atau bahkan cerminan
dari rendahnya komitmen yang dimiliki karyawan dari Bank BJB Cabang Utama Bandung, faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi karyawan dapat berasal dari personal factors, situational factors,

Jurnal Manajemen Kinerja

positional factors. Personal factors berhubungan dengan faktor-faktor personal yang terdapat di dalam
diri individu. Situasional factors berhubungan dengan situasi di dalam organisasi. Sedangkan Positional
factors berhubungan dengan masa jabatan seseorang dalam lingkungan kerjanya (Menurut Van Dyne
dan Graham dalam Supriadie, 2013). Data yang disajikan diatas menunjukan bahwa komitmen
organisasi karyawan masih menjadi suatu permasalahan yang dihadapi perusahaan. Apabila hal ini terus
diabaikan oleh perusahaan maka akan menjadi penghambat perusahaan dalam mencapai tujuannya dan
pada akhirnya perusahaan tersebut akan kehilangan daya saing dengan perusahaan lain atau akan
berdampak pada menurunnya produktivitas perusahaan.

Padahal menurut Shore (1989), dalam sebuah organisasi, karyawan bukan hanya sekedar alat
tetapi merupakan suatu personalitas (manusia) yang kompleks dan rumit yang mampu berinteraksi,
personalitas (manusia) tersebut perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dalam penanganannya,
sehingga karyawan tidak punya keinginan untuk keluar dari perusahaan. Salah satu indikator keinginan
karyawan untuk keluar ditunjukkan oleh pikiran untuk keluar, keinginan untuk mencari pekerjaan yang
baru serta keaktifan dalam mencari pekerjaan baru. Beberapa efek dari level intention to quit yang tinggi
yaitu produktivitas karyawan menurun, aktivitas usaha perusahaan terganggu, timbul masalah moral
kerja para karyawan lain, biaya perekrutan, wawancara, serta tes yang tinggi, biaya administrasi dalam
memproses karyawan baru, tunjangan serta biaya pelatihan karyawan dalam mempelajari keahlian baru
(Pareke, 2004; Zagladi, 2008; dalam jurnal (Pratiwi & Ardana, 2015).
Dalam usahanya meningkatkan komitmen karyawan, banyak organisasi yang memberikan
dukungan organisasional, tujuannya untuk memuaskan dan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih
keras sesuai komitmen perusahaan terhadap manfaat organisasi itu sendiri. Padahal, tidak semua
karyawan merasakan dukungan organisasi. Ada beberapa perusahaan yang kurang memberi reward,
atau karyawan yang berkinerja baik dan tidak dengan harga yang sama, sehingga secara tidak langsung
mengurangi kemauan karyawan untuk memberikan performa terbaiknya, rendahnya tingkat disiplin
karyawan, ada beberapa karyawan yang datang terlambat, ada juga karyawan yang meninggalkan
kantor, dan seterusnya. Masalah ini merupakan indikasi bahwa karyawan kurang mendapat dukungan
organisasional dalam pekerjaan mereka.
Perceived Organizational Support (POS) merupakan dukungan organisasi yang dipersepsikan

dengan keyakinan global mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi, memperhatikan
kesejahteraan, mendengar keluhan, memperhatikan kehidupan dan mempertimbangkan tujuan yang
akan dicapai serta dapat dipercaya untuk memperlakukan karyawan dengan adil (Arshadi, 2011).
Dengan adanya Perceived Organizational Support (POS) yang diberikan organisasi kepada karyawan
menjadikan karyawan merasa lebih puas dan lebih berkomitmen dengan pekerjaannya (A. L. Dewi,
Chandra, & Nugroho, n.d.).
Konsep komitmen organisasi hingga saat ini masih menjadi perhatian penting penelitian dalam
bidang manajemen, khususnya sumber daya manusia (SDM) dan perilaku organisasi (Cohen, 2007; Yi‐
Ching Chen, M., Shui Wang, Y., & Sun, 2012). Komitmen organisasi berpengaruh dalam mengubah
perilaku karyawan (Lambert, 2003 dalam jurnal (Crow, M. S., Lee, C., & Joo, 2012)). Banyak peneliti
yang menemukan jika keberhasilan sebuah organisasi ditentukan oleh karyawan yang memiliki
komitmen organisasi yang tinggi (Jassawalla & Sashittal, 2003; Brooks, 2002; McElroy, 2001 dalam
jurnal (Keskes, 2014)).
Sementara tingkat paling rendah dari komitmen organisasi yang terkait dengan pekerjaan
berhubungan dengan sikap dan perilaku negatif seperti tingkat besar kecilnya niat karyawan tersebut
untuk bertahan ataupun keluar dari organisasi ( Gaither, 2009; Bayarçelik & Findikli, 2016). Disaat
karyawan memiliki komitmen yang rendah dan dibiarkan seara berlarut-larut tentunya akan
memunculkan keinginan untuk keluar atau memiliki kecenderungan untuk meninggalkan organisasi
tersebut (intention to quit), Keinginan keluar seorang karyawan rendah adalah jika organisasi
memberikan perhatian yang lebih pada karyawannya.

Penelitian mengenai komitmen organisasi telah dilakukan pada beberapa industri, yaitu
perhotelan dan pariwisata (Ipekc, E., & Irmak, 2009), Usaha Kecil Menengah (UKM) (Yi‐Ching Chen,
M., Shui Wang, Y., & Sun, 2012), Rumah Sakit (Bobbio & Manganelli, 2015; Dyo, Kalowes, &

Jurnal Manajemen Kinerja

Devries, 2016; Zhang et al., 2014), serta asuransi dan perbankan (Arshadi & Hayavi, 2013; Abdullateef
et al., 2014; Tzafrir, Gur, & Blumen, 2015; Bayarçelik & Findikli, 2016).
Berdasarkan data dan penejelasan singkat yang telah dipaparkan di atas, komitmen organisasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, serta dapat mempengaruhi perasaan keinginan keluar dari karyawan.
Rumusan ini dapat dijabarkan kedalam pertanyaan penelitian sebagai berikut.
A. Bagaimana pengaruh Perceived Organizational Support (termasuk kedalam situasional factors)
terhadap Affective Commitment/komitmen organisasi
B. Bagaimana pengaruh Affective Commitment/komitmen organisasi terhadap Intentions to
Quit/Keinginan untuk keluar
C. Bagaimana pengaruh Perceived Organizational Support terhadap Intention to Quit.
STUDI LITERATUR DAN HIPOTESIS
Rendahnya komitmen organisasi dapat disebabkan oleh perilaku karyawan yang di dukung oleh
faktor personal, faktor situasional, faktor posisional yang terlihat selama karyawan bekerja di
perusahaan, rendahnya komitmen organisasi dapat dilihat dari tingginya tingkat absensi, keterlambatan,
dan tingkat turnover. Cara sederhana untuk membuat individu/karyawan mempunyai komitmen
organisasi adalah dengan melihat dukungan yang diberikan perusahaan serta tujuannya dan
memberikan apa yang diperlukan oleh karyawan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Kinerja
meningkat jika pendekatan yang berorientasi pada kontrol dihilangkan dan diganti dengan komitmen
organisasi. Karyawan yang menghargai dan berpegang teguh pada misi perusahaan akan bersedia untuk
tidah hanya berusaha sepenuh hati atas nama perusahaan tetapi juga akan berkorban bilamana
diperlukan, karyawan yang terinspirasi oleh sasaran bersama seringkali tingkat komitmennya lebih
tinggi dibandingkan komitmen yang timbul dari insentif finansial ataupun faktor lainnya.
Perceived Organizational Support
Karyawan dalam sebuah organisasi akan cenderung untuk membentuk sebuah kepercayaan
secara umum terkait sejauh mana organisasi menghargai kontribusi karyawan dan peduli atas
kesejahtera- annya, persepsi yang dimiliki oleh karyawan inilah yang sering juga disebut dengan
Perceived Organizational Support (POS), yang mana POS juga dinilai sebagai jaminan bahwa bantuan
akan tersedia dari organisasi pada saat dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan seseorang secara efektif
dan pada saat menghadapi situasi yang sangat menegangkan (Arshadi, 2011)
Perceived Organizational Support (POS) mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh
mana organisasi menghargai kontribusi dan peduli tentang kesejahteraan karyawan. Perceived
Organizational Support (POS) ditemukan memiliki pengaruh penting terhadap kinerja (Krishnan &
Mary, 2012). Perceived Organizational Support (POS) yang dimaksud dapat berupa penghargaan
kontribusi karyawan, mendengarkan keluhan, perasaan bangga akan hasil kinerja atau prestasi karyawan
serta memenuhi kebutuhan karyawan. Dengan adanya Perceived Organizational Support (POS) yang
diberikan organisasi kepada karyawan menjadikan karyawan merasa lebih puas dan lebih berkomitmen
dengan pekerjaannya (Arshadi, 2011).
Berikut adalah delapan poin item atau indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
Perceived Organizational Support (POS), yaitu:
1. Organisasi menghargai kontribusi karyawan
2. Organisasi menghargai usaha ekstra yang telah karyawan berikan.
3. Organisasi memperhatikan segala keluhan dari karyawan.
4. Organisasi sangat peduli tentang kesejahteraan karyawan
5. Organisasi memberitahu karyawan yang tidak melakukan pekerjaan dengan baik.
6. Organisasi peduli dengan kepuasan secara umum terhadap pekerjaan karyawan.
7. Organisasi menunjukan perhatian yang besar terhadap karyawan.
8. Organisasi merasa bangga atas keberhasilan karyawan dalam bekerja

Jurnal Manajemen Kinerja

Eisenberger dan Rhoades (2002) menyimpulkan bahwa Perceived Organizational Support
mencerminkan kepercayaan karyawan terhadap seberapa banyak organisasi mendukung kerja dan
kesejahteraan karyawan. Sementara itu, Wendel (1994: 91) mendefinisikan dukungan organisasi
sebagai semua hal yang terkait dengan bantuan dan hubungan antara rekan kerja dan rekan kerja, yang
melibatkan perasaan saling membantu dan perasaan membutuhkan antara atasan dan bawahan.
Selanjutnya, Robbins (1996: 150) menjelaskan bahwa "orang mendapatkan lebih dari sekedar uang,
atau prestasi, dari pekerjaan mereka". Bagi sebagian besar karyawan, pekerjaan juga memenuhi
kebutuhan mereka akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa rekan kerja yang
baik dan mendukung dapat menyebabkan peningkatan kepuasan kerja. Selain itu, perilaku atasan juga
merupakan penentu utama kepuasan kerja karyawan mereka.
Dengan dukungan dari organisasi, juga individu-individu di dalam organisasi tersebut,
diharapkan karyawan dapat berpartisipasi secara aktif dalam mencapai tujuan organisasi. Davis (1985:
179) berpendapat bahwa, "partisipasi adalah keterlibatan emosional dan mental dari karyawan dalam
situasi kelompok yang memungkinkan mereka memberikan kontribusi terhadap tujuan kelompok dan
juga bertanggung jawab untuk itu". Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Perceived
Organizational Support adalah ketika karyawan merasa yakin bahwa organisasi mereka peduli terhadap
mereka dan mendukung sepenuhnya mereka untuk mengembangkan diri di dalam organisasi.
Mengenai hal-hal penting yang harus hadir dalam Perceived Organizational Support, Strauss
and Sayles (1990: 126) berkomentar bahwa ada tiga (tiga) faktor penting yang mendukung, yaitu: (1)
membangun rasa persetujuan. Keseluruhan kualitas perilaku atasan terhadap karyawan, terutama
kepercayaan, dapat lebih penting daripada tindakan atau kombinasi tindakan; (2) mengembangkan
hubungan pribadi untuk mengenal bawahan dan juga untuk membantu memecahkan masalah mereka
di dalam, dan di luar, bekerja; (3) memberikan perlakuan yang adil dengan membiarkan setiap karyawan
mengetahui apa yang diharapkan dari mereka dan dengan menerapkan disiplin di tempat.
Fleishman dan Harris (1992) berpendapat bahwa dukungan organisasi terhadap karyawan dapat
ditawarkan dalam banyak cara. Masalahnya adalah bagaimana organisasi dapat memberikan dukungan
yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan karyawannya. Ada tiga peran kunci yang diberikan oleh
Mintzberg (1973) di Sofo (1999; 237) karena menggambarkan peran manajemen terhadap karyawan
mereka, yaitu Peran Interpersonal (melibatkan, mengarahkan, menghubungkan dan menjadi sosok),
Peran Informasional (pemantauan, diseminasi, dan menjadi pembicara), juga Peran Keputusan (alokasi
sumber daya, negosiasi, penanganan kekacauan dan menjadi pengusaha).
Dukungan dari atasan tentu bisa mempengaruhi tugas yang perlu dilakukan oleh karyawan dan
diharapkan bisa mendapat umpan balik, jadi bila ada kesalahan, koreksi kesalahan itu bisa dilakukan
dengan cepat. Selanjutnya, dapat diharapkan bahwa dengan memberikan dukungan organisasi,
karyawan dapat meningkatkan prestasi dalam melakukan tugas pokoknya dan pada akhirnya dapat
melakukan pekerjaan mereka secara lebih efektif dan efisien. Eisenberger, Huntingon, Hutchison dan
Sowa (1986: 53-54) mengemukakan bahwa teori dukungan organisasi adalah proses psikologis sebagai
konsekuensi persepsi dukungan organisasi.
1) Berdasarkan norma timbal balik, dukungan organisasi dapat membangun tanggung jawab karyawan
untuk selalu menjaga kesejahteraan organisasi dan kemauan untuk membantu mencapai tujuan
organisasi. Alasannya adalah para karyawan merasa bahwa mereka memiliki investasi yang tak
ternilai harganya dan mereka bertanggung jawab untuk itu.
2) Dukungan organisasi dapat memenuhi kebutuhan sosial dan emosional para karyawan, dan
kemungkinan karyawan tetap sebagai anggota organisasi dapat ditingkatkan. Kebutuhan sosial dan
emosional dapat terpenuhi karena organisasi tempat karyawan bekerja selalu peduli terhadapnya
dan memberi keadilan dan penghargaan.
3) Dukungan organisasi dapat meningkatkan kepercayaan dari karyawan mengenai penghargaan dari
organisasi jika produktivitas karyawan meningkat (performance-reward expectancies).
Proses tersebut menguntungkan bagi organisasi dan karyawannya. Bagi karyawan, prosesnya
dapat meningkatkan kepuasan kerja dan meningkatkan mental positifnya. Bagi organisasi, prosesnya
dapat meningkatkan komitmen efektif karyawan, meningkatkan produktivitas karyawan, dan

Jurnal Manajemen Kinerja

mengurangi omset. Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat dinyatakan bahwa dukungan
merupakan faktor penting dalam menentukan kepuasan dan kemauan karyawan untuk bekerja sama
dalam mencapai target manajemen. Sebagai bentuk manajemen bottom up, dukungan membantu
mengurangi kekecewaan dan tekanan yang dirasakan oleh banyak karyawan saat menghadapi tekanan,
kekakuan, dan pekerjaan yang steril. Dengan mengurangi frustrasi, dukungan tersebut membantu
menciptakan kondisi di mana orang akan menerima struktur organisasi dengan sedikit keengganan dan
antusiasme yang lebih tinggi.
Affective Commitment
Komitmen organisasi pertama kali dikemukakan oleh Porter, dkk. (1974:604), sebagai
kemungkinan bahwa seseorang akan memberikan nilai-nilai organisasi, akan mengerahkan upaya untuk
mengikuti nilai-nilai yang ada dalam organisasi, serta berkeinginan untuk mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi (Porter, et al., 1974; dalam jurnal (Yi‐Ching Chen, M., Shui Wang,
Y., & Sun, 2012; Kumasey, A. S., Bawole, J. N., & Hossain, 2016).
Dalam menumbuhkan komitmen organisasi, perusahaan diharapkan mampu memberikan
pemenuhan dari faktor personal, situasional maupun positional baik itu kebutuhan yang disadari atau
yang tidak disadari, berbentuk materi ataupun non materi. Sehingga karyawan senantiasa memiliki rasa
ingin bekerja yang tinggi. Dukungan organisasi (Organizational Support) dipersepsikan dengan
keyakinan global mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi, memperhatikan kesejahteraan,
mendengar keluhan, memperhatikan kehidupan dan mempertimbangkan tujuan yang akan dicapai serta
dapat dipercaya untuk memperlakukan karyawan dengan adil. Dengan adanya Perceived
Organizational Support (POS) yang diberikan organisasi kepada karyawan menjadikan karyawan
merasa lebih puas dan lebih berkomitmen dengan pekerjaannya(A. L. Dewi et al., n.d.).
Tingkat paling rendah dari komitmen organisasi yang terkait dengan pekerjaan berhubungan
dengan sikap dan perilaku negatif seperti tingkat besar kecilnya niat karyawan tersebut untuk bertahan
ataupun keluar dari organisasi. Disaat karyawan memiliki komitmen yang rendah dan dibiarkan seara
berlarut-larut tentunya akan memunculkan keinginan untuk keluar atau memiliki kecenderungan untuk
meninggalkan organisasi tersebut (intention to quit). Pendekatan yang terkemuka dalam mempelajari
komitmen organisasi yaitu model tiga komponen komitmen organisasi, yaitu komitmen afektif,
komitmen kontinyu, dan komitmen normatif (Cohen, 2007; Crow, M. S., Lee, C., & Joo, 2012; Meyer
et al., 2012).
Komitmen Afektif merupakan bagian dari Komitmen Organisasional yang mengacu kepada
sisi emosional yang melekat pada diri seorang karyawan terkait keterlibatannya dalam sebuah
organisasi. Terdapat kecenderungan bahwa karyawan yang memiliki Komitmen Afektif yang kuat akan
senantiasa setia terhadap organisasi tempat bekerjaoleh karena keinginan untuk bertahan tersebut
berasal dari dalam hatinya. Komitmen Afektif dapat muncul karena adanya kebutuhan, dan juga adanya
keter- gantungan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan oleh organisasi di masa lalu yang
tidak dapat ditinggalkan karena akan merugikan. Komit- men ini terbentuk sebagai hasil yang mana
organisasi dapat membuat karyawan memiliki keyakinan yang kuat untuk mengikuti segala nilai-nilai
organisasi, dan berusaha untuk mewujudkan tujuan organisasi se- bagai prioritas pertama, dan karyawan
akan juga mempertahankan keanggotaannya (Han, Nugroho, Kartika, & Kaihatu, 2011).
Affective Commitment (AC) merupakan proses sikap dimana seseorang berpikir tentang
hubungannya dengan organisasi dengan mempertimbangkan kesesuaian antara nilai dan tujuannya
dengan nilai dan tujuan organisasi. Affective Commitment (AC) terbentuk sebagai hasil dari sebuah
organisasi berhasil menanamkan keyakinan yang kuat terhadap seorang karyawan untuk mengikuti
nilai-nilai dan tujuan dari organisasi sebagai prioritas utama (Kartika, 2011). Affective Commitment
(AC) yang timbul dalam diri karyawan cenderung membantu organisasi untuk memberikan layanan
yang berkualitas (Allen & Grisaffe, 2001). Kualitas layanan dapat dinilai dari hubungan antara
manajemen, persepsi karyawan dan ekspektasi dari konsumen (Hoffman and Bateson, 2006; dalam
jurnal M. P. Dewi & Rahyuda, 2015).

Jurnal Manajemen Kinerja

Menurut Meyer, Allen & Smith (1993), Affective Commitment merupakan ikatan emosional
yang melekat pada seorang karyawan untuk mengidentifikasi dan melibatkan dirinya dalam organisasi.
Dalam penelitian Meyer et al., (2002) mengatakan bahwa komitmen tersebut timbul karena di fasilitasi
oleh pengalaman kerja yang diberikan oleh organisasi. Dalam konteks layanan, Affective Commitment
(AC) yang timbul dalam diri karyawan cenderung membantu organisasi untuk memberikan layanan
yang berkualitas (Allen & Grisaffe, 2001). Komitmen afektif ini juga dapat dikatakan sebagai penentu
yang penting atas dedikasi dan loyalitas seorang karyawan. Kecen- derungan seorang karyawan yang
memiliki komitmen afektif yang tinggi, dapat menunjukkan rasa memiliki atas perusahaan,
meningkatnya keterlibatan dalam aktivitas organisasi, keinginan untuk mencapai tujuan organisasi, dan
keinginan untuk dapat tetap bertahan dalam organisasi(Han et al., 2011).
Menurut Eisenberger et al., (2001) menggambarkan bahwa Affective Commitment (AC) sebagai
suatu kecenderungan untuk terikat dalam aktivitas organisasi secara konsisten sebagai hasil dari
akumulasi investasi yang hilang jika aktivitasnya dihentikan. Dari beberapa definisi Affective
Commitment di atas menunjukkan adanya keterikatan psikologis (psychological attachment) individu
dan organisasinya, sehingga individu yang sangat komit terhadap organisasinya, akan melibatkan
dirinya secara mendalam pada aktivitas organisasi dan menikmati setiap kegiatan dalam organisasi.
Dengan kata lain, ini berarti seseorang bertahan di organisasi karena mereka memang menginginkannya
(want to).
Berikut merupakan indikator dari Affective Commitment (He, 2008, p. 25):
a. Memiliki makna yang mendalam secara pribadi
b. Rasa saling memiliki yang kuat dengan organisasi
c. Bangga memberitahukan hal tentang organisasi dengan orang lain
d. Terikat secara emosional dengan organisasi
e. Senang apabila dapat bekerja di organisasi sampai pensiun
f. Senang berdiskusi mengenai organisasi dengan orang lain di luar organisasi
Intentions to Quit
Para karyawan yang tidak puas dengan pekerjaannya lebih mudah keluar atau berpindah kerja
dibandingkan tenaga kerja yang puas. Perilaku penarikan diri tenaga kerja biasanya mempunyai akibat
yang tidak diinginkan bagi organisasi. perpindahan kerja dapat merusak kelancaran perusahaan.
Menurut Riley (2006), adapun faktor yang berpengaruh sehingga terjadi intention to quit meliputi faktor
eksternal, yakni pasar ketenagakerjaan, faktor intuisi yakni keadaan ruangan, keterampilan dalam
bekerja, karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kecerdasan emosional, jenis kelamin, dan
pengalaman kerja, minat, umur, serta sikap karyawan dalam pekerjaanya. Keinginan untuk keluar
sangat dipengaruhi oleh ketidakpuasan kerja, rendahnya tingkat komitmen organisasi dan tingginya
stres kerja yang disebabkan oleh job stressors (Firth, 2004). Karyawan yang mengundurkan diri
mencerminkan karyawan yang merasakan ketidakseimbangan dalam pekerjaanya (Bunderson, 2001).
Dapat disimpulkan bahwa intention to quit adalah suatu perilaku dan keinginan yang dimiliki oleh
karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya.
Intention to quit mengacu pada perkiraan subjektif individu mengenai kemungkinan
meninggalkan sebuah organisasi dalam waktu dekat. Niat untuk pergi dianggap sebagai keinginan sadar
dan disengaja untuk meninggalkan organisasi dalam waktu dekat dan mempertimbangkan bagian
terakhir dari sebuah rangkaian dalam proses kognisi penarikan (Gaither, 2009). Intention to quit atau
intention to leave atau niatan untuk keluar merupakan persepsi negatif karyawan terhadap pekerjaannya
yang mana memiliki potensi untuk meninggalkan organisasi apabila mereka merasakan
ketidaksenangan dan kelelahan dalam bekerja (Khan et al., 2014). Intention to leave atau biasa disebut
‘Niat untuk meninggalkan’ hanya terpaku pada kecenderungan karyawan untuk meninggalkan
organisasinya sekarang dimana konsep ini sering disalahpahamkan dengan istilah turnover(Akova,
Cetin, & Cifci, 2015). Intention to leave mengacu pada kecenderungan karyawan untuk berhenti
menjadi bagian dari keanggotaan dalam organisasi. Menurut Jaros et al (1993) dalam Sumarto (2009)

Jurnal Manajemen Kinerja

menyebutkan bahwa intention to leave merupakan awal dari perilaku perputaran karyawan (turnover)
yang secara langsung dan menceminkan suatu gabungan dari sikap keluar dari organisasi. Setyanto dkk
(2013) mengatakan perusahaan merasakan dampak rugi besar ketika perusahaan telah berhasil merekrut
karyawan yang kompeten, namun pada akhirnya karyawan tersebut memilih untuk meninggalkan
organisasinya. Sejumlah besar biaya akan banyak dikeluarkan oleh perusahaan dalam merekrutmen
ulang karyawan (Islam et al., 2013).

Hubungan Perceived Organizational Support terhadap Affective Commitment
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh POS terhadap Komitmen Afektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Shore & Tetrick (1991) membuktikan bahwa POS berkolerasi dengan
Komitmen Afektif, yang mana berdasarkan teori pertukaran sosial Komitmen Organisasional akan
terbentuk sebagai efek dari POS. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Meyer et al. (2002) yang
menyatakan bahwa POS memiliki korelasi paling kuat terhadap Komitmen Afektif, penemuan ini juga
konsisten dengan hasil yang dikemukakan oleh Eisenberger et al. (1986) yang menyatakan apabila
sebuah organisasi ingin memiliki karyawan dengan Komitmen Afektif yang tinggi maka organisasi
harus menunjukkan komitmen terlebih dahulu dengan menyediakan lingkungan kerja yang kondusif
(Han et al., 2011).
Dawley et al. (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa perceived organizational support
memiliki keterkaitan kuat yang menyebabkan timbulnya komitmen organisasi pada karyawan, bahkan
perceived organizational support lebih kuat pengaruhnya daripada mentoring dan persepsi dukungan
pengawas. Yahya et al. (2012) dengan menggunakan alat uji yaitu analisis regresi menemukan bahwa
perceived organizational support sangat berpengaruh signifikan terhadap komitmen afektif dan
komitmen normatif namun tidak terlalu signifikan pada komitmen berkelanjutan. Eisenberger et al.
(2001) pada penelitiannya menemukan bahwa perceived organizational support berpengaruh positif
terhadap kewajiban karyawan untuk terus berkontribusi terhadap organisasi dan membantu organisasi
untuk mencapai tujuannya.
Arshadi (2011) meneliti dengan menggunakan alat uji SEM menemukan hasil bahwa perceived
organizational support berpengaruh positif terhadap komitmen afektif serta berpengaruh negatif
terhadap turnover intention yang terjadi di perusahaan tersebut. Hal serupa juga dikemukakan oleh
Settoon et al (1996) dalam penelitiannya dengan menggunakan alat uji SEM menyebutkan bahwa
perceived organizational support memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap komitmen organisasi
ketimbang leader-member exchange(M. P. Dewi & Rahyuda, 2015).
Berdasarkan landasan teori dan penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H1 : Perceived organizational support berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen
organisasi.
Hubungan Affective Commitment terhadap Intentions to Quit
Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan pengaruh komitmen organisasi terhadap
intention to leave karyawan di berbagai negara. Seonghee et al. (2009) dengan menggunakan alat uji
SEM menyebutkan bahwa komitmen organisasi yang tinggi dapat menurunkan keinginan untuk
meninggalkan organisasi. Khan et al. (2014) menemukan bahwa komitmen organisasi yang rendah akan
berpengaruh signifikan terhadap meningkatnya keinginan untuk meninggalkan organisasi. Sejalan
dengan itu, Khan et al. (2014) juga menyebutkan bahwa komitmen organisasi berdampak negatif
signifikan terhadap keinginan untuk meninggalkan organisasi pada staf akademik Institusi perguruan
tinggi Khyber Pakhtunkhwa di Pakistan. Bhakti (2005) dengan menggunakan alat uji analisis regresi
linier berganda mendapatkan hasil bahwa komitmen organisasi yang tinggi dapat menurunkan
keinginan keluar (Intention to Quit). Sejalan dengan beberapa penelitian tersebut. Loi et al.(2006)
dengan menggunakan alat uji analisis regresi hierarki juga menyebutkan bahwa komitmen organisasi
berpengaruh negatif terhadap intention to quit.
Berdasarkan landasan teori serta hasil penelitian diatas maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:

Jurnal Manajemen Kinerja

H2 : Komitmen Organisasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap intention to quit.
Hubungan Perceived Organizational Support terhadap Intention to Quit
POS mengacu pada persepsi individu mengenai sejauh mana organisasi menghargai
kontribusinya dan peduli terhadap kesejahteraannya (yaitu, sejauh mana organisasi berkomitmen
terhadap karyawannya) (Eisenberger et al., 1986) . Dengan demikian, karyawan cenderung mencari
keseimbangan dalam hubungan pertukaran mereka dengan organisasi mereka dengan memiliki sikap
dan perilaku mereka berdasarkan komitmen majikan mereka terhadap mereka secara individual
(Eisenberger et al., 1990). Berdasarkan norma timbal balik, peningkatan POS membuat karyawan
merasa berkewajiban untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasi dan untuk membantu organisasi
mencapai tujuannya (Eisenberger et al., 2001). POS meningkatkan harapan hasil kerja karyawan, yang
membuat karyawan percaya bahwa usaha mereka akan dihargai di masa depan (Eisenberger et al.,
1986). Karyawan yang menganggap POS tinggi cenderung berafiliasi dengan dan loyal terhadap
organisasinya (Loi et al., 2006). Berdasarkan harapan hasil usaha yang tinggi dan kesediaan karyawan
untuk mempertahankan keanggotaan dengan organisasi karena peningkatan POS. Loi dkk. (2006)
selanjutnya mengusulkan bahwa peningkatan POS akan menurunkan niat karyawan untuk
meninggalkan organisasi. Hubungan negatif yang signifikan juga ditemukan antara POS dan niat untuk
pergi (Wayne, Shore, Liden, & Wayne, 2013; Cho et al., 2009)
Perceived organizational support memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan harapan akan
upaya dan hasil karyawan sehingga membuat karyawan percaya bahwa usaha mereka telah dihargai di
masa yang akan datang oleh organisasinya sendiri (Eisenberger et al., 1986). Pada dasarnya perceived
organizational support yang tinggi cenderung menurunkan keinginan karyawan untuk meninggalkan
organisasinya (Ariani, 2011). Salah satu cara karyawan untuk membayar organisasi apabila mereka
telah dihargai adalah melalui partisipasi lanjutan dimana akan mendorong timbulnya perasaan
keanggotaan organisasi sebagai bagian penting dari identitas diri karyawan (Eisenberger et al., 1990).
Allen et al. (2003) meneliti dengan alat uji analisis SEM pada penelitiannya menemukan bahwa POS
(Perceived Organizational Support) berpengaruh negatif signifikan terhadap keinginan untuk
meninggalkan organisasi.Penelitian yang dilakukan oleh Newman et al.(2012) dengan menggunakan
alat uji SEM (Structured Equation Modeling) menemukan bahwa POS (Perceived Organizational
Support) berpengaruh negatif signifikan terhadap keinginan untuk meninggalkan organisasi. Loi et al.
(2006) menyebutkan karyawan yang menginterpretasikan perceived organizational support yang tinggi
cenderung sangat berafiliasi dan setia kepada organisasi serta perceived organizational support akan
menurunkan keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasinya.
Berdasarkan landasan teori dan penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H3 : Perceived organizational support berpengaruh negatif dan signifikan terhadap intention to
leave, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui komitmen organisasi

Jurnal Manajemen Kinerja

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa POS berkolerasi dengan
Komitmen Afektif, yang mana berdasarkan teori pertukaran sosial Komitmen Organisasional akan
terbentuk sebagai efek dari POS, bahkan POS lebih kuat pengaruhnya daripada mentoring dan persepsi
dukungan pengawas. POS memiliki korelasi paling kuat terhadap Komitmen Afektif, hal ini sejalan
dengan penelitian Eisenberg (1986) yang menyatakan apabila sebuah organisasi ingin memiliki
karyawan dengan Komitmen Afektif yang tinggi maka organisasi harus menunjukkan komitmen
terlebih dahulu dengan menyediakan lingkungan kerja yang kondusif (Han et al., 2011).
Berdasarkan norma timbal balik, peningkatan POS membuat karyawan merasa berkewajiban
untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasi dan untuk membantu organisasi mencapai tujuannya.
Komitmen organisasi yang rendah akan berpengaruh signifikan terhadap meningkatnya keinginan
untuk meninggalkan organisasi, begitu pula jika komitmen organisasi yang tinggi akan menurunkan
tingkat keinginan keluar dari karyawan. POS berpengaruh positif terhadap komitmen afektif serta
berpengaruh negatif terhadap keinginan keluar serta POS berpengaruh negatif signifikan terhadap
keinginan untuk meninggalkan organisasi. Sebab, karyawan yang menginterpretasikan POS yang tinggi
cenderung sangat berafiliasi dan setia kepada organisasi serta POS akan menurunkan keinginan
karyawan untuk meninggalkan organisasinya.

Jurnal Manajemen Kinerja

DAFTAR PUSTAKA
Abdullateef, A. O., Muktar, S. S. M., Yusoff, R. Z., & Ahmad, I. S. B. (2014). Effects of Customer
Relationship Management Strategy on Call Centre’s Employee Intention to Quit: Evidence from
Malaysia Call Centers. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 130, 305–315.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.04.036
Akova, O., Cetin, G., & Cifci, I. (2015). The Relation between Demographic Factors and the
Turnover Intention in Pre-opening Hotel Businesses. Procedia - Social and Behavioral Sciences,
207, 377–384. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.10.177
Arshadi, N. (2011). The relationships of perceived organizational support (POS) with organizational
commitment, in-role performance, and turnover intention: Mediating role of felt obligation.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 30, 1103–1108.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.10.215
Arshadi, N., & Hayavi, G. (2013). The Effect of Perceived Organizational Support on Affective
Commitment and Job Performance: Mediating Role of OBSE. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 84, 739–743. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.06.637
Bayarçelik, E. B., & Findikli, M. A. (2016). The Mediating Effect of Job Satisfaction on the Relation
Between Organizational Justice Perception and Intention to Leave. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 235(October), 403–411. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.11.050
Bobbio, A., & Manganelli, A. M. (2015). Antecedents of hospital nurses’ intention to leave the
organization: A cross sectional survey. International Journal of Nursing Studies, 52(7), 1180–
1192. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2015.03.009
Cho, S., Johanson, M. M., & Guchait, P. (2009). Employees intent to leave: A comparison of
determinants of intent to leave versus intent to stay. International Journal of Hospitality
Management, 28(3), 374–381. https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2008.10.007
Cohen, A. (2007). Commitment before and after : An evaluation and reconceptualization of
organizational commitment. Human Resource Management Review, 17(336–354), 2007.
https://doi.org/10.1108/09564230910978511
Crow, M. S., Lee, C., & Joo, J. (2012). Organizational justice and organizational commitment among
South Korean police officers. Policing: An International Journal of Police Strategies &
Management, 35, 2012. https://doi.org/10.1108/13639511211230156
Dewi, A. L., Chandra, D. O., & Nugroho. (n.d.). ANALISA PENGARUH PERCEIVED
ORGANIZATIONAL SUPPORT (POS) TERHADAP EMPLOYEE PERCEIVED SERVICE
(EPSQ) QUALITY DENGAN MEDIASI AFFECTIVE COMMITMENT (AC) PADA
RESTORAN “X” DI SURABAYA, (2006), 124–138.
Dewi, M. P., & Rahyuda, A. G. (2015). PERAN PEMEDIASIAN KOMITMEN ORGANISASI
PADA PENGARUH PERCEIVED ORGANIZATIONAL SUPPORT TERHADAP
INTENTION TO LEAVE. E-Jurnal Manajemen Unud, 4(10), 2928–2954.
Dyo, M., Kalowes, P., & Devries, J. (2016). Moral distress and intention to leave: A comparison of
adult and paediatric nurses by hospital setting. Intensive and Critical Care Nursing, 36, 42–48.
https://doi.org/10.1016/j.iccn.2016.04.003
Gaither, C. A. (2009). Job satisfaction and intention to leave the profession: Should we care?
Research in Social and Administrative Pharmacy, 5(2), 91–93.
https://doi.org/10.1016/j.sapharm.2009.04.001
Han, S. T., Nugroho, A., Kartika, E. W., & Kaihatu, T. S. (2011). KOMITMEN AFEKTIF DALAM
ORGANISASI YANG DIPENGARUHI PERCEIVED ORGANIZATIONAL SUPPORT DAN
KEPUASAN KERJA. JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN, 14(2), 109–117.

Jurnal Manajemen Kinerja

Ipekc, E., & Irmak, S. (2009). Path analysis of organizational commitment , job involvement and job
satisfaction in Turkish hospitality industry, 64(4–16), 2009.
https://doi.org/10.1108/16605370910948821
Islam, T., Khan, S. ur R., Ungku Ahmad, U. N. B., Ali, G., Ahmed, I., & Bowra, Z. A. (2013).
Turnover Intentions: The Influence of Perceived Organizational Support and Organizational
Commitment. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 103, 1238–1242.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.10.452
Keskes, I. (2014). Relationship between leadership styles and dimensions of employee organizational
commitment: A critical review and discussion of future directions., 10, 2014.
Kumasey, A. S., Bawole, J. N., & Hossain, F. (2016). Organizational commitment of public service
employees in Ghana: do codes of ethics matter? International Review of Administrative
Sciences., 33, 2016. https://doi.org/10.1177/0020852316634447
Kyoo, B., & Jeung, J. H. J. Y. C.-W. (2006). The effects of core self-evaluations and transformational
leadership on organizational commitment. Leadership & Organization Development Journal,
33(6), 2006. https://doi.org/10.1108/09564230910978511
MacIntosh, E. W., & Doherty, A. (2010). The influence of organizational culture on job satisfaction
and intention to leave. Sport Management Review, 13(2), 106–117.
https://doi.org/10.1016/j.smr.2009.04.006
Meyer, J. P., Stanley, D. J., Jackson, T. A., McInnis, K. J., Maltin, E. R., & Sheppard, L. (2012).
Affective, normative, and continuance commitment levels across cultures: A meta-analysis.
Journal of Vocational Behavior, 80(2), 225–245. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2011.09.005
Pratiwi, I. Y., & Ardana, I. K. (2015). Pengaruh Stres Kerja Dan Komitmen Organisasional Terhadap
Intention To Quit Karyawan Pada Pt . Bpr Tish Batubulan. E-Jurnal Manajemen Unud, 4(7),
2036–2051.
Supriadie, I. F. (2013). Pengaruh Faktor Personal, Faktor Situasional, Faktor Posisional Terhadap
Komitmen Organisasi (Studi Kasus pada Karyawan Bank bjb Cabang Utama Bandung), 1–11.
Tzafrir, S. S., Gur, A. B. A., & Blumen, O. (2015). Employee social environment (ESE) as a tool to
decrease intention to leave. Scandinavian Journal of Management, 31(1), 136–146.
https://doi.org/10.1016/j.scaman.2014.08.004
Wayne, S. J., Shore, L. M., Liden, R. C., & Wayne, S. J. (2013). PERCEIVED ORGANIZATIONAL
SUPPORT AND LEADER-MEMBER EXCHANGE : A SOCIAL EXCHANGE
PERSPECTIVE, 40(1), 82–111.
Yi‐Ching Chen, M., Shui Wang, Y., & Sun, V. (2012). Intellectual capital and organizational
commitment. Personnel Review, 41(321–339), 2012.
https://doi.org/10.1108/00483481211212968
Zhang, L. feng, You, L. ming, Liu, K., Zheng, J., Fang, J. bo, Lu, M. min, … Bu, X. qing. (2014). The
association of Chinese hospital work environment with nurse burnout, job satisfaction, and
intention to leave. Nursing Outlook, 62(2), 128–137.
https://doi.org/10.1016/j.outlook.2013.10.010