Nasionalisme desa dalam pusaran Globalisasi

ARTIKEL ILMIAH

Untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata kuliah Nasionalisme dan
Karakter Bangsa
“Nasionalisme

dalam pusaran Globalisasi dan Sosial
Media“

Oleh:
Oni Andhi Asmara
1303117410003

FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017

Nasionalisme dalam pusaran Globalisasi dan Sosial
Media
A. Indonesia dalam pandangan Nasionalisme
Nasionalisme merupakan proyek abadi setiap bangsa dan negara yang

merdeka.

Nasionalisme

merupakan

sebuah

proses

ytang

panjang

dan

membutuhkan sebuah kedewasaan dalam menyikapinya. Nasionalisme di
Indonesia masih sangat prematur, masih membutuhkan sebuah desain khusus dan
tetap yang membedakan dengan bangsa yang lain seperti layaknya Ideologi
Pancasila sebagai sebuah Ideologi yang indpenden. Nasionalisme kita juga harus

memiliki keunikan dan kekhususan yang membedakan dengan bangsa yang lain,
sebab hal tersebutlah yang memperkokoh identitas bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang merdeka dan bermartabat. Politik luar negeri Indonesia juga
memiliki perspektif yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain secara umum yakni
politik luar negri bebas-aktif. Perkembangan Nasionalisme Indonesia yang sudah
menginjak usia 72 tahun harus diluruskan dengan benar mengingat arus
globalisasi yang bagaikan abrasi yang menggerus bangsa ini dengan kuat dan
masif.
Nasionalisme memiliki pandangan tersendiri, nasionalisme tumbuh
melalui banyak faktor. Sebagai gerakan sosiopolitik, secara prinsip, nasionalisme
tidak berbeda dengan gerakan-gerakan lainnya dalam hal khusus: penekanannya
pada pembentukan dan representasi budaya.

1

Nasionalisme yang banyak

berkembang di dunia adalah nasionalisme simbolik, yakni menggunakan simbolsimbol tertentu sebagai sebuah bangunan pandangan mengenai nasionalisme.
Indonesia juga memiliki simbol-simbol yang mempersatukan rakyatnya. simbolsimbol di Indonesia seperti di antaranya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang
artinya berbeda-beda namun tetap satu. Bendera Merah Puitih juga merupakan

sebuah simbolik besar dimana bendera ini sangat dicintai oleh rakyatnya yang
secara awam oleh masyarakat biasa dipandang bahwa simbol merah adalah darah
dan keberanian sedangkan putih adalah tulang yang melambangkan kesucian.
Simbol yang lain yang mampu mempersatukan bangsa ini adalah Lagu
1 Anthony D

Smith. “Nasionalisme Teori, Ideologi Sejarah”(Erlangga.2003) hlm.8

Kebangsaan Indonesia raya, dimana ketika tim olahraga nasional Indonesia
sedang menjalani kompetisi suporter Indonesia dengan lantang menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia raya dengan semangat menggelora meskipun diluar negeri.
Nasionalisme simbolik yang lain adalah lambang negara Garuda Pancasila yang
mampu membuat bangsa Indonesia sendiri bangga memakai atribut tentang
simbol-simbol garuda, demam nasionalisme gambar garuda ini kemudian
diadaptasi oleh artis sekaligus pengusaha muda Daniel Mananta yang membuat
usaha dengan simbol dan desain lambangt-lambang atau simbol-simbol pemersatu
negara.
B. Paradigma Nasionalisme
Nasionalisme yang lain menurut Anthony D Smith yakni nasionalisme
genetik dan etnosentrisme. yakni semangat untuk mencintai negara Indonesia

karena lahir di Indonesia dan merasa sebagai bagian dari Indonesia misalkan
orang jawa yang merantau ke Malaysia maka karena kejawaan dan lahir di
wilayah Indonesialah yang membuat perantau tersebut merasa memiliki Indonesia
sebagai ibu pertiwinya. Semangat nasionalisme etnosentrisme ini memiliki
genealogi-historis yang kuat, ketika leluhurnya merasa bagian dari Indonesia
maka keturunannya juga merasa menjadi bagian dari Indonesia, hal ini sejalan
dengan pemikiran orang-orang etnis tionghoa yang meski dimanapun mereka
berada, mereka tetap masih merasa menjadi bagian dari China. Paradigma yang
muncul dalam buku Anthony D Schmidt ada empat kategori paradigma dalam
nasionalisme yang pertama adalah Perenialisme yakni sebuah pandangan yang
menganggap suatu bangsa terdiri atas “ras” dan “bangsa”, pandangan ini
menyatakan bahwa sebuah bangsa telah ada semenjak dahulu kala yang tidak
terdefinisikan awal mulanya, bahkan banyak orang yang menyamakan antara
“bangsa” dan “ras”. Kedua adalah pandangan Primordialisme, pandangan
primordialisme ini bisa dipandang dari sudut genetis atau akar genetik dan
“karunia budaya”, semangat primordialisme ini lebih masuk akal dibandingkan
dengan perenialisme, ini memeang, seringkali mungkin, hanya dengan melakukan
proyeksi sentimen-sentimen identifikasi eksistensial sejati tanah air”kecil”
seseorang pada tanah air besar, yang terekam dalam perluasan kebahasaan dari


cakup kata-kata seperti”pays”,”paese”,”pueblo”, atau bahkan “patrie”suatu kata
yang pada akhir 1776 didefiniskan terkait dengan masalah-masalah lokal oleh
akademisi Perancis, “Negara seorang perancis hanya merupakan bagian dari
tempat dimana ia dilahirkan”.2 Ketiga, adalah Kritik Instrumentalis yakni
paradigma mengenai instrumen etnisitas sebagai penentu sebuah nasionalisme hal
ini bisa diambil contoh dari bangsa Yahudi yang meskipun mereka terpencarpencar dalam kondisi yang sangat jauh akan tetapi karena mereka merasa sebagai
Orang Yahudi maka mereka tetap bersatu dan memiliki organisasi yang ikatannya
sangat kuat. Keempat, Etno-simbolisme yakni pemangku dari ketiga paradigma
awal mengenai nasionalisme etno-simbolisme mengambil unsur-unsur obyektif
dari ras, etnisitas dan simbolisme dan merupakan kombinasi dari ketiga
pandangan awal mengenai Nasionalisme. Perdebatan diantara penganut keempat
paradigma tersebut telah berlangsung dalam dua tataran:teori dan sejarah.3
C. Globalisasi dan Nasionalisme
Globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan global yang membuat
kehidupan manusia tidak saling terbatas ruang dan waktu lagi, globalisasi telah
mengubah paradigma awal yang disampaikan oleh Anthony D Schmid yakni
terbatas dari segi etnisitas, ras dan simbol. Globalisasi telah menggerus semua
paradigma tersebut dan membuat paradigma baru yakni manusia universal bukan
manusia atau rakyat dari sebuah negara lagi. Globalisasi secara masif telah
mengancam eksistensi sebuah negara dan nasionalisme rakyatnya. Tatanan global

telah didesain oleh negara adikuasa sebagai penguasa teknologi agar menghapus
pagar betis kenegaraan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia dan digantikan
dengan negara universal dengan negara adidaya sebagai penguasa tunggalnya,
penguasa teknologi telah membuat masyarakat

dunia terindoktrinasi melalui

kecanggihan teknologi sehingga melupakan jati dirinya dan asal-usulnya sebagai

2 J.M

. Thompson, the French Revolution(Oxford 1944) hal.121. dalam E.J
Hobsbawm”Nasionalisme menjelang AbadXXI”(Tiara Wacana 1992).hlm.103.
3 Anthony D

hlm.76

Smith. “Nasionalisme Teori, Ideologi Sejarah”(Erlangga.2003)

sebuah etnis, ras, kesatuan budaya dan simbolisme yang dinanungi oleh sebuah

negara.
Pandangan Ilmu Pengetahuan saat ini yang dipakai adalah ilmu
pengetahuan bebas nilai, yang utama adalah nominal keuntungan yang
diperjuangkan sehingga dampak negatif yang ditimbulkan diabaikan oleh
produsen teknologi saat ini meracuni masyarakat dan membuat masyarakat
kecanduan dengan teknologi, ironisnya masyarakat Indonesia terbiasa sebagai
konsumen bukan produsen. Globalisasi teknologi yang kini menjamur dan telah
mngindoktrinasi masyarakat dunia terutama Indonesia adalah Sosial Media,
Media Sosial telah merambah ke seluruh elemen masyarakat lintas profesi, lintas
golongan dan lintas usia.
Persoalan nyata dari kelompok-kelompok etnik dan komunal khususnya
kelompok-kelompok yang menghadapi perubahan-perubahan sosio-ekonomik
yang dramatis dimana sejarah mereka tidak mempersiapkan mereka(untuk
menghadapi perubahan itu), adalah sangat berbeda. 4Gadget atau dalam kosa kata
baru bahasa Indonesia Gawai, telah menyentuh seluruh elemen masyarakat dan
menghubungkan masyarakat Indonesia yang terpisah oleh jarak dan lautan.
Kecanggihan teknologi dan menjamurnuya teknologi saat ini yang telah
merambah ke seluiruh elemen masyarakat Indonesia bisa seperti filsafat “Dua
Mata Pedang” yang disampaikan oleh Thomas Hobbes, meskipun ilmu
pengetahuan ini bebas nilai akan tetapi tidak selamanya dipandang negatif,

kecanggihan teknologi dapat dimanfaaatkan untuk membangun nasiuonalisme
kebangsaan.
Kecepatan Internet dan mudahnya aplikasi dapat dimanfaaatkan untuk
kepentingan bangsa dan negara, sebelum bangsa dan negara ini terkikis oleh
globalisasi tidak ada salahnya kekuatan negara melalui konstitusi dimanfaatkan
oleh penyelenggara negara untuk membuat kebijakan mengenai produk-produk
yang masuk ke Indonesia yang telah melalui standarisasi Nasional diberi simbolsimbol dan falsafah-falsafah kenegaraan misalkan logo burung Garuda setelah
laptop atau smartphone melalui proses booting. Meskipun hal ini sepele akan
tetapi mampu membuat bangsa ini menjadi terbiasa dengan simbol-simbol
E.J Hobsbawm. Nasionalisme menjelang Abad XXI(1992 Tirta Wacana)
hlm.175.
4

negaranya sendiri. Tanpa kita sadari proses nasionalisasi produk impor dengan
menggunakan bahasa Indonesia juga merupakan sebuiah proses nasionalisasi yang
tanpa disadari keberadaannya, dalam hal ini pandangan Hobsbawm mengenai
bahasa sebagai pemersatu utama dalam proses nasionalisme bisa diterima,
membahasa indonesiakan produk-produk gawai ini juga secara tidak langsung
telah menyebarluaskan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa
Indonesia menyebar ke seluruh pelosok nusantara, sehingga awalnya masyarakat

yang buta bahasa Indonesia menjadi melek bahasa Indonesia, karena mau tidak
mau masyarakat harus mempelajari bahasa Indonesia untuk mengoperasikan
gawainya.
D. “Dua Mata Pedang” Sosial Media bagi Nasionalisme
Kekuatan sosial media yang kini menjadi kekuatan potensial nasionalime
adalah proses “viralisasi”, sebagai contoh adalah kasus yang saat ini sedang
menjadi tajuk utama dalam pemberitaan media nasional yakni”RIP Tiang Listrik:
Tersangka Korupsi E-KTP Setya Novanto yang mobilnya menabrak tiang listrik”
dengan viral atau populernya berita tersebut membuat nasionalisme genetis keluar
tanpa disadari yakni kepekaan dan kepedulian masyarakat akan kondisi negara
yang darurat korupsi, hal ini menampik pemberitaan kaum pesimis mengenai
apatisnya generasi saat ini. Tradisi copy paste juga selalu dipandang negatif oleh
masyarakat cendekiawan, tak selamanya anggapan itu benar, terbukti dengan
sosial media masyarakat saling mengingatkan antar pengguna media sosial
mengenai peristiwa penting kenegaraaan yang terjadi pada suatu waktu sehingga
semua pengguna media sosial yang kecanduan media sosial mengingat peristiwa
penting yang terjadi pada bangsa dan negaranya.Contoh lain adalah dengan
mengungkapkan semangat kata-kata nasionalisme kemudian status dari kata-kata
mutiara tersebut menjadi viral akhirnya banyak pengguna media sosial yang
membaca, secara tidak langsung terindoktrinasi oleh kata-kata tersebut.

Negara dan rejim masing-masing memiliki alasan untuk, jika mereka
mampu, memperkuat patriotisme negara dengan sentimen- sentimen dan simbolsimbol”komunitas yang dibayangkan”, darimana pun dan bagaimana pun asalnya,

dan mengkonsentrasikan semua itu pada dirinya. 5Negara memiliki kekuatan
untuk membendung pengaruh negatif dari globalisasi dan kemajuan teknologi,
negara juga bisa memanfaaatkan kecanggihan teknologi untuk menyebarkan
semangat nasionalisme kepada masyarakat Indonesia. kebermanfaatan teknologi
dan globalisasi merupakan sebuah bentuk media baru untuk menyebarkan
semangat nasionalisme kepada rakyatnya, negara juga memiliki kekuatan secara
konstitusi untuk mengatur penyedia layanan teknologi agar mendukung gerakan
nasionalisme dan patriotisme bangsa dan negara. Hal yang terlupakan adalah
nasionalisme saat ini tidak sadar, bahwasannya penjajahan dan penderitaan di negeri ini
belum berahir. Penjajahan yang telah berkamuflase dalam bentuk eksploitasi

terhadap SDA oleh asing beserta pribumi yang mirip asing sebagaimana
penjajahan belanda dahulu. Penderitaan buruh dan rakyat miskin kota tidak lagi
dirasakan oleh seluruh bangsa ini dimana nasionalisme hanya cukup dengan
mengikuti upacara dan membuat caption di sosmed dengan tetap mengiyakan
ekploitasi besar-besaran di negeri ini.6Media Sosial adalah sebuah mesin
pembunuh yang bisa dimanfaaatkan sebagai penyelamat negara ditengah derasnya

arus globalisasi, memanfaatkan media sosial adalah solusi untuk membendung
pengaruh globalisasi itu sendiri.

E.J Hobsbawm.nasionalisme menjelang abad XXI(1992 Tiara Wacana).hlm.
103-104
6 http://penelehnews.com/id-1109-post-kritik-terhadap-nasionalismekekinian.html.” Kritik Terhadap Nasionalisme Kekinian”.
5

DAFTAR PUSTAKA
1.

D Smith, Anthony.2003. Nasionalisme Teori Ideologi Sejarah. Jakarta;
Penerbit Erlangga

2.

Hobsbawm, E.J.1992. Nasionalisme Mewnjelang abad XXI.Yogyakarta;
Tiara Wacana

3.

http://penelehnews.com/id-1109-post-kritik-terhadap-nasionalisme
kekinian.html.” Kritik Terhadap Nasionalisme Kekinian”. diunduh pada
Rabu, 28 Juni 2017 07:55 WIB