Masih Relevankah Konsep Metafisika dalam

Masih Relevankah Konsep Metafisika dalam Sains? : Relasi Rumit antara Metafisika
dan Sains Dalam Filsafat Ilmu
Meitty Josephin B
Pendahuluan
Dalam sejarah, metafisika dan sains pernah memiliki hubungan yang erat dimana
keduanya dinilai sebagai suatu kesatuan dan berada dalam wilayah yang sama yakni, filsafat
alam (natural philosophy). Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi pemisahan antar
keduanya. Pemisahan ini sebenarnya sudah memiliki bibit sejak masa yunani kuno namun
diperkuat oleh berbagai pandangan pemikir sesudahnya mengenai relasi metafisika dan
sains. Salah satu pandangan yang memisahkan keduanya adalah pandangan kaum positivistik.
Kaum

positivistik

dipersatukan

oleh

ketidakpercayaan

terhadap


metafisika. 1

Ketidakpercayaan ini memunculkan usaha untuk memberikan pembatasan antara sains
dengan non-sains; secara lebih partikular, antara sains dengan metafisika spekulatif.2
Kritik terhadap metafisika tidak hanya datang dari para kaum positivistik sendiri
melainkan juga dari para penulis lain yang bergulat dengan filsafat ilmu. Menarik dicatat
bahwa para penulis ini justru tidak berangkat dari rasa anti terhadap metafisika; tidak
berangkat dari rasa curiga terhadap metafisika. Bahkan mereka dalam penulisannya,
memberikan ruang bagi beberapa pandangan metafisika.3
Dengan adanya berbagai perdebatan mengenai batasan tegas antara metafisika dan
sains maka muncul persoalan yang perlu dijawab, yang juga menjadi persoalan utama dalam
tulisan ini yakni: “apakah masih relevan penggunaan pandangan metafisika dalam sains?”
Dalam rangka menjawab pokok persoalan di atas, maka penulis mencoba membagi tulisan
ini ke dalam beberapa bagian; pertama, penulis akan memaparkan apa itu metafisika secara
umum. Kedua, penulis akan menunjukkan bagaimana perdebatan mengenai pembatasan
antara sains dan metafisika. Ketiga, bagaimana ditunjukkan bahwa metafisika masih
mengambil bagian dalam pergulatan sains. Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan
bagaimana relasi rumit antara sains dan metafisika tidaklah melepaskan fakta bahwa


1 Callender,Craige, Philosophy of Science, dalam The Continuum Companion to the Philosophy of Science, (ed.
Steven French dan Juha Saatsi), (London:Continuum Publishing (2011)), hlm. 33
2 Callender, Philosophy of Science, hlm.33
3 Callender, Philosophy of Science, hlm. 34

1

keduanya masih memiliki keterkaitan. Selain itu, tulisan ini akan menggambarkan bagaimana
keterkaitan tersebut dipahami.
1.

Pandangan Umum mengenai Metafisika
Sebelum masuk pada berbagai usaha pembatasan antara sains dan metafisika, ada

baiknya jika kita memahami terlebih dahulu pengertian metafisika. Kata metafisika sendiri
dikenal pertama kali dalam karya Aristoteles untuk merujuk pada persoalan Being qua Being,
Ada sejauh Ada. Kata metafisika sendiri tidak berasal dari Aristoteles sendiri melainkan dari
hasil penerjemahan yang merujuk pada dua kata yakni, “sesudah fisika” (me ta ta phusika).
Istilah metafisika diberikan kepada karya Aristoteles oleh Andronicos dari Rhodes. Namun,
secara kebetulan metafisika yang diartikannya sebagai “sesudah fisika” ini memiliki makna

yang lebih lanjut. Adapun makna metafisika menjadi “apa yang ada di atas atau yang
melampaui fisika terkait dengan objek kajiannya. 4 Bagi Aristoteles, persoalan metafisika
memiliki isi (konten) yang lebih abstrak ketimbang ilmu sains. Di sini ia mempertimbangkan
persoalan Ada dalam konteks yang umum dan abstrak; melampaui apa yang empiris. 5
Pemikiran Aristoteles ini mengandung bibit pemisahan antara sains dan metafisika.
Namun pemisahan tegas antar keduanya terjadi dalam rentang masa berikutnya baik
dari sudut filosofis maupun sains itu sendiri. Pemisahan ini berangkat dari berbagai
kecurigaan para pemikir terhadap metafisika. Ada dua hal yang patut diperhatikan berkaitan
dengan metafisika. Pertama, metafisika dan sains sama-sama memiliki objek kajian yang
sama meski dengan pendekatan berbeda terhadapan objek tersebut. Objek kajian keduanya
adalah realitas. Namun pada metafisika, investigasi terhadap realitas terealisasikan dengan
cara mencari jawaban atas pertanyaan:”apakah ada prinsip-prinsip yang dilekatkan kepada
seluruh realitas?”. Selain mencari jawaban atas berbagai prinsip dasar tersebut, metafisika
juga bekerja untuk menemukan apa kenyataan yang paling utama. Jawaban dari pertanyaan
mengenai “kenyataan yang paling utama” ini sering kali sangat berbeda dengan pengalaman
yang kita jumpai dalam dunia.6
Dilihat dari dua hal di atas, kita bisa saja mengambil kesimpulan bahwa fokus dari
metafisika sendiri bukanlah mengenai data-data empiris yang didapat melalui pengalaman.
Fokus metafisika adalah prinsip paling dasar dari realitas serta apa itu realitas yang
4 Mumford, Stephen, “Metaphysics” dalam The Routledge Companion to Philosophy of Science (ed. Stathis

Psilos dan Martin Curd), (London: Routledge (2008)) hlm. 27
5 Mumford, Metaphysics, hlm. 27
6 Craig, Edward, Routledge Encyclopedia of Philosophy (VOL. VI), (New York: Routledge (1998)), hlm. 338

2

sebenarnya. Dengan kata lain, fokus metafisika terletak pada apa yang melampaui data-data
empiris. Jika dikaitkan dengan persoalan sains, kita dapat dengan mudah melihat perbedaan
antara keduanya. Sains sangat lekat dengan data-data empiris sementara metafisika sering
dimasukkan dalam golongan “bukan empiris”. Bahkan pandangan mengenai perbedaan
keduanya juga menyangkut cara mendapatkan kebenaran. Pada sains, kebenaran diperoleh
lewat pengalaman a posteriori sementara metafisika mendapatkan kebenaran melalui
pengalaman a priori.
Dari penjelasan penjabaran di atas, apakah lantas metafisika dan sains adalah dua hal
yang benar-benar berbeda dan tak bisa didamaikan? Apakah mungkin metafisika memiliki
nilai positif dalam sains? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini melahirkan perdebatan
panjang. Dalam bagian selanjutnya akan dipaparkan perdebatan mengenai garis tegas antara
sains dan metafisika. Bagian ini tidak hanya akan menunjukkan perdebatan itu sendiri namun
akan menunjukkan bagaimana faktor metafisika itu sendiri memicu kesulitan dalam
pembatasannya dengan sains.

2.

Perdebatan mengenai suatu “Batas” : Usaha Menarik Garis Tegas antara Sains

dan Metafisika
Ketidak percayaan terhadap metafisika di dalam sains tidak hanya diakui oleh pihak
ilmuwan sebagai pelaku sains, melainkan juga dari para pemikir filsafat. Sebut saja I. Kant
yang menyatakan bahwa metafisika merupakan ketidakwajaran dalam pemahaman
(understanding). Bahkan bagi para pemikir yang terinspirasi oleh Kant, metafisika dianggap
telah kehilangan kontak dengan yang empiris:7
“Hampir semua persoalan kontroversial dalam metafisika tradisional muncul dihadapanku
sebagai sesuatu yang steril dan tidak bermakna. Ketika aku membandingkan jenis
argumentasi ini dengan investigasi serta diskusi dalam ilmu empiris atau (logika), saya
biasanya dibenturkan oleh ketidakjelasan konsep yang digunakan dan oleh argumen yang
tidak meyakinkan”8

Pandangan ini memuat konsekuensi logis dimana sains yang lekat dengan berbagai data
empiris sungguh bertolak belakang bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan
metafisika. Dengan demikian harus ada batas tegas antara sains dengan metafisika.


7 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 34
8 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 34

3

Namun perlu diketahui bahwa kritik terhadap metafisika itu tidak hanya dilancarkan
oleh pihak-pihak yang memang ingin memisahkan keduanya, tetapi juga datang dari beberapa
pemikir yang justru memberi ruang bagi metafisika dalam filsafat ilmu. Sebut saja nama
seperti Willard van Orman Quine. Terlepas dari kritiknya terhadap salah satu tema metafisika
yakni modalitas, Quine sebenarnya memberi ruang bagi pemikiran metafisika. Bagi Quine,
fokus dari para metafisikus tidaklah berbeda dengan fokus para ilmuwan 9 yakni persoalan
what there is. Pertanyaan ontologis seperti “apakah itu X?” merupakan pertanyaan masuk
akal. Hal ini berbeda dengan pandangan empirisisme yang melihat bahwa pertanyaan yang
muncul dari non-sains adalah tidak masuk akal. Pertanyaan ontologis di atas masuk akal
sejauh pernyataan tersebut dapat digolongkan ke dalam bentuk logis yang layak. 10 Pertanyaan
mengenai X dalam teori hanya bisa dikatakan masuk akal jika X masuk dalam wilayah
variabel teori tersebut. Lewat contoh di atas, kita bisa melihat bagaimana metafisika masih
bisa mengambil bagian dalam sains dengan beberapa kondisi yang diberlakukan dalam
wilayah sains.
Apabila dalam beberapa aspek, metafisika masih mengambil bagian dalam sains maka

apakah dapat dikatakan bahwa tidak ada batasan jelas antara sains dan metafisika? Di sini
perdebatan berpindah konteks yakni mengenai cakupan keduanya. Metafisika dinilai berbeda
dengan sains dalam hal luas cakupannya.11 Cakupan yang dimaksud adalah wilayah kerja
baik metafisika maupun sains. Para ilmuwan sibuk dengan berbagai penelitian lapangan serta
mengadakan eksperimen di laboratorium untuk menemukan apa yang aktual. Sementara
metafisikus berfokus pada apa itu aktual dan posibilitas secara metafisik. 12 Disinilah letak
batas antara metafisika dan sains. Sains menjadi lekat dengan persoalan empiris sementara
metafisika berdekatan dengan hal-hal yang muncul sebagai a priori.
Namun perdebatan mengenai batasan tegas antara metafisika dan sains tidak benarbenar menghasilkan batas yang tegas. Hal ini dapat dibuktikan dengan mempelajari salah satu
tema metafisika yakni, persoalan modalitas. Modalitas mengacu pada karakteristik dari
entitas dan pernyataan peristiwa yang dideskripsikan oleh proposisi pengandaian.13

9 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 35
10 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 35
11 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 36
12 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 36
13 Audi, Robert (ed.) , The Cambridge Dictionary of Philosophy, (New York: Cabridge University (1999)), hlm.
574

4


Persoalan mengenai modalitas metafisis dalam pemikiran Kripke merupakan salah satu
pandangan yang dapat membawa kita pada pemahaman akan sulitnya membatasi unsur
metafisika dalam sains. Kripke melihat bahwa kita memiliki intuisi yang kuat mengenai apa
yang mungkin (posibilitas) dan intuisi ini berasal dari wilayah modalitas metafisis. 14 Contoh
dari pemahaman ini adalah:”jika dikatakan bahwa air merupakan H 2O, maka air tidak bisa
lain daripada itu”. Pernyataan “maka air tidak bisa lain daripada itu” merupakan kepastian
metafisis, dimana gagasan air merujuk pada H2O. Dari pandangan Kripke kita bisa melihat
bahwa ada pengandaian mengenai keterkaitan erat antara metafisika dengan data hasil
pengalaman (data empiris). Fisika sendiri tidak memiliki kata “air” untuk merujuk pada
kasus H2O. Dari penjabaran ini kita bisa melihat bahwa tidak ada garansi bahwa posibilitas
metafisis bebas terhadap sains aktual.15
Seluruh pemaparan di atas sebenarnya ingin menunjukkan bagaimana para pemikir
berusaha untuk memberikan batasan-batasan terhadap sains dan metafisika. Ada yang benarbenar menolak metafisika tetapi ada juga yang memberikan ruang bagi unsur metafisika
tertentu. Setelah melihat usaha pembatasan antara sains dan metafisika maka kita bisa
menyimpulkan bahwa ada relasi antara metafisika dan sains. Relasi antara sains dan
metafisika akan dijabarkan pada bagian selanjutnya, dimana pandangan mengenai relasi
keduanya terbagi menjadi tiga yakni; pandangan Realisme, Rancangan Canberra, dan A
posteriorisme.
3.


Relasi Erat antara Metafisika dan Sains, mungkinkah? : Tiga Bentuk

Pandangan terhadap Relasi Keduanya
Kita sudah melihat bagaimana usaha untuk menarik batas antara sains dan metafisika
pada bagian sebelumnya. Pada bagian ini akan dibahas bagaimana pandangan terhadap relasi
antara sains dan metafisika itu sendiri. Pandangan terhadap relasi sains dan metafisika terdiri
dari beberapa bentuk. Adapun pembagian bentuk pandangan tersebut diambil dari penjabaran
Stephen Mumford yang tertuang dalam tulisan berjudul “Metaphysics”.
Menurut Mumford, terdapat setidaknya tiga bentuk pandangan yang memiliki
pemikiran berbeda terhadap relasi sains dan metafisika dengan berfokus pada penilaian
mereka terhadap metafisika itu sendiri. Adapun tiga pandangan tersebut meliputi realisme,
Rancangan Canberra (The Canberra Plan), dan A posteriorisme. Ketiganya memiliki posisi
14 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 36
15 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 44

5

tersendiri dalam menilai metafisika. Pandangan realisme dapat diwakilkan oleh pandangan
E.J Lowe. Lowe mengatakan bahwa “kita semua merupakan merupakan metafisikus terlepas

dari kita mengetahuinya atau tidak, dan terlepas dari apakah kita menyukainya atau tidak”.16
Apa maksud dari ucapannya ini?
Realisme yang diwakilkan oleh Lowe melihat metafisika sebagai disiplin yang
substansial dan utama. Metafisika tidak pertama-tama mengatakan kepada kita mengenai apa
yang ada (what there is) tetapi justru mengatakan kepada kita mana yang mungkin. Tugas
sains adalah mengatakan kepada kita dari segala apa yang dikatakan mungkin tersebut mana
yang aktual.17 Tanpa bantuan dari metafisika maka tidak mungkin sains dapat mengatakan
mana yang merupakan kemungkinan-kemungkinan. Untuk membuktikan anggapan ini maka
kita dapat melihat bagaimana sains menemukan secara empiris bahwa bintang pagi adalah
identik dengan bintang malam. Untuk dapat menemukan secara empiris, ilmuwan harus
pertama-tama menerima klaim metafisika yakni, dua objek material yang berbeda tidak dapat
menempati posisi yang sama dalam waktu bersamaan. Jadi, klaim empiris tidak bisa menjadi
suatu klaim kecuali jika a priori metafisika sudah menghasilkannya terlebih dahulu melalui
investigasi terhadap apa itu dan apa yang bukan itu; kemungkinan itu sendiri.18
Lewat pandangan di atas, Lowe ingin menunjukkan peran metafisika sebagai ilmu yang
utama dan fundamental. Namun pandangannya mengenai metafisika tidak serta-merta
menggeser apa yang empiris. Ia memberikan kelonggaran terhadap hal empiris. Baginya,
pertimbangan empiris dan metafisika bisa saling berinteraksi untuk membangun metafisika
yang diterangkan secara empiris.
Berbeda dengan pandangan realisme, Rancangan Canberra melihat bahwa metafisika

merupakan usaha untuk mengumpulkan berbagai anggapan atau pernyataan hambar yakni,
seluruh kebenaran a priori yang mengatakan apa itu beberapa fenomena yang ada dihadapan
kita. Misalnya, metafisika hanya berbicara mengenai hubungan sebab akibat yang
seharusnya, atau hukum alam. Metafisika hanya akan berbicara mengenai keterkaitan
berbagai kejadian yang terkait dalam proses pencarian hubungan sebab-akibat. Setelah
mendapatkan keterkaitan tersebut, metafisika mencoba membentuk rangkaian tetap diantara
berbagai kejadian, dan seterusnya. Bagi Frank Jackson yang adalah pencetus rancangan
Canberra, tahap metafisika hanyalah tahap awal. Tahap kedua yang penting dilakukan adalah
16 Mumford, Metaphysics, hlm. 32
17 Mumford, Metaphysics, hlm. 32
18 Mumford, Metaphysics, hlm. 32

6

melihat dan menemukan apa yang menjadi pembentuk fakta empiris. Atau dengan kata lain,
dalam tahap kedua, manusia perlu menemukan apa yang ada di balik dan menjadi
pembentuk realitas. Misalnya, pemindahan energi ataupun kekuatan kausal. Para ilmuwan
berperan pada tahap kedua ini.
Pandangan Rancangan Canberra ini menurut Mumford memuat dua persoalan. Pertama,
terkait dengan isi metafisika yang disebutkan hanya mencangkup tahap pertama melahirkan
perdebatan. Jika tugas metafisika hanya menyangkut pengumpulan kebenaran-kebenaran a
priori yang merujuk misalnya pada apa itu fenomena hubungan sebab akibat, maka
metafisika menjadi suatu tugas yang tidak menarik lagi. Hal ini disebabkan karena dengan
menyatakan bahwa metafisika hanya bergerak di tahap pertama, itu berarti penyelasaian
persoalan dalam tatanan metafisika tidak benar-benar selesai. Artinya, setiap persoalan yang
diselesaikan oleh metafisika sebenarnya hanya diasumsikan selesai, karena penyelesaian
persoalan selalu harus berada dalam tahap kedua. Para metafisikus sendiri enggan untuk
“memberikan” begitu saja tahap kedua kepada para ilmuwan.
Persoalan kedua yang muncul dari Rancangan Canberra adalah menyangkut keterkaitan
metafisika dengan cara berpikir alamiah. Dengan mengatakan bahwa metafisika hanya
sekedar mengumpulkan kebenaran-kebenaran a-priori pada tahap awal, maka pendapat ini
justru mereduksi metafisika menjadi hanya sekedar kumpulan dari pikiran praktis. Hal ini
mereduksi metafisika yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk berkembang,
memperbaiki dan mengorganisasikan cara kita untuk berpikir.19
Adapun bentuk pandangan mengenai relasi sains dan metafisika yang terakhir adalah
pandangan A posteriorisme. Pandangannya mengenai metafisika berangkat dari penolakkan
terhadap kepastian pengetahuan a priori. Pandangan ini diwakilkan oleh Putnam yang
berargumen bahwa kepastian pengetahuan a priori bisa saja menjadi salah. Ia sebenarnya
ingin secara umum ingin menguji pandangan mengenai kebenaran yang pasti dan abadi. 20
Jika memang benar ada kebenaran yang pasti dan abadi maka persoalan posibilitas dalam
metafisika tidak relevan lagi, sehingga dapat dipertanyakan apakah metafisika masih
diperlukan atau tidak.
Metafisika dalam pandangan a posteriorisme masih dimungkinkan jika berada dalam
kerangka studi a posteriori. Berada dalam kerangka a posteriori membawa konsekuensi
19 Mumford, Metaphysics, hlm. 33
20 Mumford, Metaphysics, hlm. 33

7

terhadap relasi antara metafisika dan sains. Relasi metafisika dan sains tidak lagi dipandang
sebagai relasi antara “yang berasal dari a priori” dan “yang berasal dari pengalaman empiris”.
Keduanya berada dalam satu bingkai yang sama yakni, a posteriori. Yang membedakan
keduanya adalah spektrum lebih-atau-kurang dari segi konkret maupun abstrak.21 Bisa
dikatakan bahwa tingkat abstraksi yang tinggi dimiliki oleh metafisika. Relasi keduanya
nampak jelas ketika manusia merefleksikan pengetahuan empirisnya dan berusaha
menyatukannya ke dalam satu bentuk pandangan global. Ketika kita menarik suatu
pandangan global maka pada saat itulah kita sudah berada pada spektrum metafisika.
Ketiga pandangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa meskipun memiliki
kelemahan dan menjadi sasaran kritik dari para pemikir, metafisika tetap memiliki kontribusi
terhadap perkembangan sains. Lewat tiga bentuk pandangan mengenai metafisika ini kita bisa
melihat bahwa penarikan batas tegas antara sains dan metafisika tidak menghilangkan relasi
antara keduanya.
4.

Rangkuman
Keseluruhan pemaparan di atas menunjukkan bagaimana metafisika dan sains tidak

bisa benar-benar dipisahkan. Ada relasi atau keterkaitan antar keduanya yang tertuang dalam
tiga bentuk pandangan yakni; realisme, rancangan canberra, dan a posteriori. Ketiga bentuk
pandangan ini berangkat justru dari batasan-batasan yang diberikan oleh para pemikir bagi
sains maupun metafisika.
Perdebatan mengenai batas antara metafisika dan sains dapat dirangkum dalam tiga
poin yakni;
Pertama, metafisika dan sains dipisahkan terkait dengan relasinya terhadap “yang empiris”.
Metafisika menurut para pengkritiknya merupakan suatu ketidakwajaran karena kehilangan
relasi dengan “yang empiris” sementara sains sangat lekat dengan data-data empiris.
Kedua, wilayah kerja antara metafisika dan sains memiliki perbedaan yang sangat
menyolok. Para ilmuwan bekerja di lapangan dan laboratorium untuk menemukan bentuk
aktual dari realitas sementara metafisikus berpikir untuk memahami dunia lebih luas dengan
posibilitas metafisis.

21 Mumford, Metaphysics, hlm. 33

8

Ketiga, perdebatan mengenai batasan antara metafisika dan sains justru tidak membuat
metafisika menjadi kajian yang tidak penting. Metafisika dan sains justru saling terkait. Hal
ini tertuang salah satunya dalam pandangan Kripke. “Air adalah H 2O”. Konsep mengenai
H2O memang merupakan bagian sains. Namun, air yang merujuk pada “seluruh apa yang
merupakan unsur H2O” hanya mungkin dikenali dalam wilayah metafisika.
Perdebatan mengenai batasan tegas antara metafisika dan sains dalam artian tertentu
ikut ambil bagian dalam pembentukkan relasi antar keduanya. Setidaknya ada tiga bentuk
pandangan yang mewakili berbagai pandangan mengenai relasi antara metafisika dan sains.
Relasi pertama dipahami dalam pandangan realisme. Pandangan realisme melihat
bahwa metafisika merupakan disiplin ilmu yang substansial dan utama. Metafisika memiliki
tugas untuk menentukkan posibilitas. Sementara sains bertanggung jawab untuk memilih
mana yang aktual dari antara posibilitas yang ada.
Pandangan kedua adalah Rancangan Canberra. Pendapat ini melihat bahwa metafisika
dan sains berada dalam tingkatan yang berbeda. Metafisika dinilai sebagai ilmu yang berada
di tingkat awal. Metafisika direduksi sebagai kumpulan dari pemikiran praktis. Sementara
sains berada di tingkat kedua dimana hanya dalam tingkat ini realitas dapat dipahami.
Pandangan ketiga mengenai relasi antara metafisika dan sains adalah pandangan a
posteriorisme. Pandangan ini menolak gagasan bahwa metafisika dan sains berada dalam
wilayah yang berbeda yakni; wilayah a priori dan a posteriori. Bagi pandangan ini, baik
metafisika maupun sains berada dalam satu wilayah yakni, a posteriori. Yang membedakan
antara keduanya adalah spektrum lebih-kurang dari segi abstrak ataupun konkret. Metafisika
berada pada spektrum abstrak yang lebih tinggi. Sementara sains merujuk kepada spektrum
konkret yang lebih tinggi. Ketiga pandangan di atas memperkuat anggapan bahwa berbagai
pandangan mengenai batasan metafisika dan sains tidaklah menghilangkan keterkaitan antara
keduanya.

9

DAFTAR PUSTAKA

Craige Callender, Philosophy of Science, dalam The Continuum Companion to the
Philosophy of Science, (ed. Steven French dan Juha Saatsi), (London:Continuum Publishing
(2011))
Robert Audi (ed.) , The Cambridge Dictionary of Philosophy, (New York: Cabridge
University (1999))
Stephen Mumford, “Metaphysics” dalam The Routledge Companion to Philosophy of
Science (ed. Stathis Psilos dan Martin Curd), (London: Routledge (2008))
Edward Craig, Routledge Encyclopedia of Philosophy (VOL. VI), (New York: Routledge
(1998))

10