PASAR GULA DUNIA MENUJU KESEIMBANGAN BAR

PASAR GULA DUNIA MENUJU KESEIMBANGAN BARU:
INDUSTRI GULA INDONESIA BERPELUANG KEMBALI KE
ERA KEJAYAANNYA

IDEALS
2006

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendahuluan
1) Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian
Indonesia. Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005,
industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi
sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai
sekitar 1.3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok
masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah.

Karena merupakan

kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh
langsung terhadap laju inflasi.

2) Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an
dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi mencapai 179 pabrik gula
(PG), produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11%-13.8%.
Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, ekspor gula pernah
mencapai sekitar 2.4 juta ton. Kini, Indonesia merupakan salah satu
importir gula terbesar di dunia dengan volume impor rata-rata sekitar 1.5
juta ton pada dekade terakhir.
3) Dinamika industri gula nasional mempunyai keterkaitan yang erat dengan
industri industri gula dunia.

Ketika industri gula dunia terpuruk dan

mencapai titik nadir pada akhir tahun 1990-an, industri gula nasional juga
mengalami tekanan sehinga sekitar 12 PG harus ditutup. Harga gula dunia
pada periode tersebut mencapai titik terendah, pernah dibawah US$
200/ton. Produksi dan rendemen mencapai titik terendah, dengan impor
meningkat pesat, mencapai lebih 50% dari total konsumsi. Di samping
karena keterpurukan pasar gula dunia, keterpurukan industri gula nasional
juga disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait seperti penurunan
areal tebu, inefisiensi di tingkat usahatani, inefisiensi di tingkat pabrik gula

(PG), dan distorsi yang tinggi di pasar interansional.
Pasar Gula Dunia Menuju Keseimbangan Baru
4) Semenjak tahun 2004, industri gula dunia mulai mengalami perubahan.
Selama tiga tahun secara berturut-turut (2004-2006), industri gula dunia

mengalami defisit yaitu total konsumsi lebih besar dari total produksi.
Sebagai akibatnya, harga gula terus merambat naik dan mencapai
puncaknya pada awal Februari 2006 denga harga gula putih diatas US$
400/ton. Kondisi ini diperkirakan akan menjadi kecendrungan jangka
panjang sehingga industri gula dunia diduga akan menuju pada
keseimbangan baru. Situasi ini dinilai sebagai awal kebangkitan kembali
industri gula dunia.
5) Ada tiga faktor yang bersifat fundamental yang melandasi pemikiran bahwa
industri gula dunia akan menuju pada keseimbangan baru. Faktor pertama
adalah keberhasilan Hongkong Minesterial Meeting pada Desember 2005
yang menyepakati penghapusan subsidi ekspor pada tahun 2013.
Penghapusan ini jelas akan mengurangi kemampuan ekspor gula dari
negara maju, khususnya Uni Eropa (EU), yang ekspornya dibantu oleh
subsidi. Kedua, negara-negara maju, khususnya EU dan Amerika sedang
dalam tekanan untuk mereformasi industri gulanya dan reformasi dalam

bentuk pengurangan proteksi dan dukungan domestik yang diperkirakan
akan efektif mulai tahun 2006/2007. Hal ini akan mengurangi kemampuan
produksi dan ekspor negara negara tersebut. Faktor ketiga adalah
kecenderungan kenaikan harga minyak bumi sebagai bahan bakar.
Kecenderungan kenaikan ini untuk jangka panjang tampaknya tidak dapat
dihindarkan karena minyak bumi adalah sumberdaya yang tidak dapat
diperbaharui sehingga harganya dalam jangka panjang meningkat,
diperkirakan dapat menembus US$ 80/barrel. Cadangan minyak bumi
Indonesia diperkirakan hanya tersisa untuk 17 tahun. Hal ini akan membuat
lebih banyak lagi tebu di dunia akan dikonversi menjadi ethanol sebagai
bahan bakar alternatif. Ketiga faktor tersebut diperkirakan akan mendorong
kenaikan harga jangka pajang dan sekaligus mendorong perubahan
posisi/pangsa negara dalam produksi dan perdagangan gula dunia. Untuk
jangka panjang, secara kasar harga gula diduga berkisar antara US$ 300400/ton. Defisit secara beruntun selama tiga tahun terakhir, harga gula
yang mulai meningkat sejak tahun 2004 dan melonjak diatas US$ 400/ton
pada awal tahun 2006 dinilai sebagai gejala awal menuju keseimbangan
baru tersebut.

2


Momentum Kejayaan Kembali Industri Gula Nasional
6) Skenario akan terbentuknya keseimbangan baru pergulaan di pasar
internasional dapat menjadi momentum kebangkitan kejayaan pergulaan
nasional.

Jika skenario tersebut bisa terwujud, maka sasaran untuk

mencapai swasembada gula sebelum tahun 2009 lebih mudah dapat
diwujudkan. Bahkan, dengan upaya yang lebih substansial dan sinergis,
Indonesia berpeluang kembali sebagai negara eksportir yang berarti
Indonesia meniti kembali jalan menuju era kejayaan yang pernah dicapai
pada tahun 1930-an.
7) Dalam mewujudkan hal tersebut, industri gula nasional masih harus
menyelesaiakan berbagai masalah yang saling terkait.

Masalah secara

garis besar mencakup penurunan luas areal tanaman tebu yang beririgasi,
banyaknya tanaman keprasan, inefisiensi di tingkat usahatani, inefisiensi di
tingkat pabrik, distorsi perdagangan gula di pasar internasional yang masih

tinggi, serta fluktuasi harga di pasar domestik.
Strategi dan Kebijakan
8) Berdasarkan potensi yang ada serta masalah yang dihadapi, maka strategi
pembangunan industri gula nasional difokuskan pada

(i) peningkatan

produktivitas dan efisiensi baik pada tingkat usahatani maupun pengolahan
(PG); (ii) perluasan industri gula ke luar jawa; (iii) pengembangan industri
berbasis tebu secara terintegrasi; (iv) penciptaan medan persaingan yang
fair bagi industri gula nasional; (v) stabilitas harga dalam negeri.
9) Beberapa indikator yang digunakan untuk memonitor keberhasilan strategi
tersebut adalah (i) produktivitas gula nasional rata-rata 8 ton hablur/ha; (ii)
rata-rata biaya produksi gula nasional dibawah Rp 3000/kg; (iii) minimal
75% kelembagaan petani sudah kuat dan mandiri; (iv) terbangunnya
minimal 2 PG di luar Jawa; (v) terbangunnya minimal 2 PG yang sudah
mengembangkan PPGT secara terintergrasi; (vi) pendapatan petani
minimal Rp 8 juta/ha.
10) Untuk kembali ke masa kejayaan, industri gula nasional memerlukan
dukungan investasi yang cukup substansial. Untuk mencapai swasembada

saja, diperlukan investasi lebih dari Rp 8.25 triliun yang digunakan untuk
3

investasi di sektor hulu sekitar Rp 1 triliun dan sekitar Rp 7 triliun untuk
membangun industri berbasis tebu.

Untuk kembali menjadi negara

eksportir produk berbasis tebu, investasi yang diperlukan sekitar Rp. 20
triliun.
11) Agar program dan investasi yang substansial itu dapat terwujud, dukungan
kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor kunci.

Beberapa

dukungan kebijakan yang diperlukan mencakup:
a.

Stabilitas dan konsistensi kebijakan pergulaan nasional;


b.

Penciptaan medan persaingan yang fair yang antara lain dapat
dilakukan dengan mempertahankan kebijakan yang sekarang berlaku,
namun harus dinamis mengikuti perkembangan kebijakan pergulaan
di pasar internasional;

c.

Stabilisasi dan pengendalian harga tertinggi di tingkat konsumen
yang dapat dilakukan oleh eksportir terdaftar, investor, dan badan
penyangga sebagai wakil pemerintah;

d.

Pemberian insentif untuk pengembangan industri di luar jawa dan
produk derivatif gula;

e.


Dukungan pendanaan untuk rehabilitasi atau konsolidasi PG;

f.

Dukungan untuk memudahkan privatisasi.

12) Sebagai kesimpulan, di hadapan industri gula nasional saat ini kini terbuka
peluang emas untuk bangkit kembali, bahkan untuk berjaya seperti era
tahun 1930-an. Oleh karena itu, sinergi dari seluruh stakeholder industri
gula nasional kini sangat dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut.
Inilah saatnya bagi mereka untuk dicatat dengan tinta emas sejarah
kebangkitan industri gula nasional.

4

BAB 1
PENDAHULUAN

Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian
Indonesia. Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri

gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu
petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang.
Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori
yang relatif murah. Karena merupakan kebutuhan pokok, maka dinamika harga
gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi, suatu indikator
ekonomi makro yang selalu menjadi pusat perhatian, baik pemerintah, dunia usaha,
dan juga masyarakat secara umum.
Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an
dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula (PG),
produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11%-13.8%. Dengan produksi
puncak mencapai sekitar 3 juta ton, ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta
ton (Sudana et al., 2000). Kini, Indonesia merupakan salah satu importir gula
terbesar di dunia dengan volume impor rata-rata sekitar 1.5 juta ton pada decade
terakhir.
Industri dan perdagangan gula memang merupakan salah satu yang paling
dinamis. Pada tahun 1970-an, harga gula pernah mencapai diatas US$ 600/ton;
namun pada akhir tahun 1990-an, harga gula mencapai titik terendah dan pernah
berada dibawah US$ 200/ton. Kebijakan pergulaan, baik domestik maupun di
pasar internasional juga sangat dinamis, dimana distorsi pada perdagangan dan
industri gula adalah terbesar kedua setelah distorsi pada pasar beras.

Memasuki awal abad ke 21, industri dan perdagangan gula dunia
diperkirakan akan mengalami perubahan yang cukup fundamental dengan dampak
bersifat jangka panjang.

Keberhasilan Hongkong Minerterial Meeting di

Hongkong pada 13-18 Desember 2005 dalam kerangka Doha Development Round
yang menyepakati penghapusan subsidi pertanian pada tahun 2013, merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh pada industri gula dunia. Rencana reformasi
kebijakan industri gula pada tahun 2007 di Eropa Barat dan Amerika sebagai dua

pemain besar, diperkirakan akan mengurangi produksi gula dunia sehingga
mendorong kenaikan harga gula pada masa mendatang. Selanjutnya, kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai sumber energi yang tidak dapat
diperbaharui juga meningkatkan penggunaan tebu untuk ethanol sebagai bahan
bakar alternatif. Semua ini akan menekan sisi penawaran sehingga akan
mendorong kenaikan harga gula secara substansial dan bersifat jangka panjang.
Indonesia sebagai salah satu pemain besar dalam industri gula dunia perlu
secara cepat dan tepat mengantisipasi perubahan tersebut.


Tekanan pada sisi

penawaran yang akan berakibat pada peningkatan harga gula pada masa mendatang
dapat dijadikan sebagai salah satu momentum terbaik kebangkitan industri gula
nasional.

Ditambah dengan kebijakan pemerintah saat ini yang kondusif,

kebangkitan industri gula nasional untyuk mencapai swasembada, bahkan kembali
sebagai negara eksportir gula, bukanlah merupakan sebuah mimpi, tapi merupakan
suatu sasaran yang potensial untuk diwujudkan.
Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba membahas
bagaimana perubahan dinamika industri dan pasar gula internasional dapat
dijadikan momentum untuk kebangkitan industri gula nasional.

Untuk itu,

organisasi tulisan ini disusun sebagai berikut. Setelah Pendahuluan ini, sekilas
akan dibahas perkembangan industri gula nasional dan dunia yang dikaitkan
dengan berbagai kebijakan di pasar domestik maupun internasional. Selanjutnya,
pembahasan ditekankan pada perubahan lingkungan strategis yang diperkirakan
akan terjadi serta dampaknya pada pasar gula internasional. Berdasarkan hal ini,
berbagai upaya antisipasi dan kebijakan pemerintah yang perlu dibahas pada
bagian selanjutnya. Selanjutnya, tulisan diakhiri dengan catatan penutup.

6

BAB 2
DINAMIKA INDUSTRI GULA DUNIA DAN DOMESTIK

2.1

Dinamika Terkini Industri Gula Dunia
Kinerja industri gula dunia merupakan salah satu yang paling dinamis yang

dicirikan dengan surplus dan defisit yang silih berganti diikuti dengan fluktuasi
harga yang cukup tajam. Situasi terkini (periode 2004/05) dapat dikatakan
merupakan periode yang cukup menggembirakan industrui gula dunia, khususnya
dari sisi produsen.

Pada periode tersebut, rata-rata harga gula mencapai US$

261.92./ton untuk white sugar dan US$193.78/ton untuk raw sugar, atau meningkat
sekitar 9.8% untuk white sugar dan 24% untuk raw sugar dari rata-rata harga tahun
2003/04. Hal ini disebabkan pada periode 2004/05, untuk kedua kalinya pasar gula
dunia kembali mengalami defisit sekitar 3 juta ton. Pada periode 2004/05, produksi
gula dunia mencapai 142.5 juta ton atau meningkat sekitar 1% dari periode
sebelumnya Disisi lain, konsumsi meningkat lebih pesat yaitu 1.3%, dari 143.3 juta
to pada tahun 2004 menjadi 145.1 juta ton pada tahun2005 (FAO, 2006).
Perkembangan kinerja industri gula dunia pada tiga tahun terakhir dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Situasi pergulaan dunia untuk periode 2005/06 diperkirakan masih mengikuti
kondisi periode 2004/05. Untuk ketiga kalinya, industri gula dunia diperkirakan
akan mengalami defisit, walaupun volume defisit menjadi semakin mengecil. Pada
periode 2005/06, produksi gula dunia diperkirakan meningkat menjadi 147.8 juta
ton, atau meningkat dengan laju 3.7%. Konsumsi diperkirakan meningkat dengan
laju 2.0% pada periode tersebut, menjadi sekitar 148 juta ton. USDA (2005)
memberikan proyeksi yang lebih rendah dibandingkan FAO (2006).

Untuk

produksi tahun 2005/06, USDA (2005) memproyeksikan sekitar 144.1 juta ton
dengan konsumsi sekitar 142.781 juta ton. Namun demikian, baik FAO dan USDA
sama-sama memperkirakan masih akan terjadi defisit untuk periode 2005/06.
Peningkatan produksi gula dunia kembali dimotori oleh Brazil sebagai negara
produsen terbesar.

Pada periode 2005/06, produksi gula Brazil diperkirakan

mencapai 30 juta ton atau meningkat sekitar 3.5% bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Kondisi iklim yang baik merupakan salah satu faktor pendukung

peningkatan produksi tersebut. Kondisi iklim yang baik juga terjadi di Mexico
sehingga negara tersebut diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi
dengan volume produksi sekitar 6.1 juta ton. Setelah mengalami penurunan
produksi selama dua tahun, India diperkirakan akan mengalami proses pemulihan
sehingga produksi diperkirakan kembali meningkat, mencapai 18.5 juta ton pada
tahun 2005/06. Peningkatan tersebut terkait dengan perluasan areal sebagai akibat
harga gula yang cukup tinggi pada periode 2004/05. China sebagai salah satu
produsen besar juga diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi cukup
signifikan (6%) sehingga produksinya diperkiraka mencapai sekitar 10.7 juta ton
pada tahun 2005/06.
Walaupun secara agregat, produksi gula dunia meningkat, ada beberapa negara
yang mengalami penurunan produksi. Secara umum, negara-negara maju akan
mengalami penurunan produksi.

Walau didukung cuaca baik dan peningkatan

produktivtas, produksi gula di Eropa Barat (EU) diproyeksikan menurun menjadi
sekitar 2.7% atau menjadi sekitar 20 juta ton, karena penurunan luas areal.
Penurunan ini tampaknya merupakan respon produsen terhadap perubahan regim
kebijakan pergulaan di negara tersebut, yang diperkirakan akan efektif pada tahun
2006/07. Dengan kebijakan tersebut, dukungan harga gula akan diturunkan sebesar
36%, walau mereka mendapat paket kompensasi sebesar 64.2% dari penurunan
harga tersebut, dalam bentuk decoupled payment, yang dikaitkan dengan lingkungan
dan standar pengelolaan lahan. Australia juga diperkirakan mengalami penurunan
produksi menjadi 5.3 juta ton atau sekitar 3.5%. Hal ini diduga berkaitan dengan
restrukturisasi industri gula Australia yang menyiapkan dana sekitar AUS$ 444 juta
paket program pada tahun 2004, termasuk AUS$ 96 juta untuk petani yang tidak
efisien agar bisa keluar dari industri gula (FAO, 2005).
Cuba diperkirakan mengalami penurunan produksi dengan tingkat produksi
turun menjadi 1.3 juta ton. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh kemarau
yang parah ketika musim tanam serta kebijakan restrukturisasi industri gula di
negara tersebut. Kebijakan diversifikasi produk dari gula ke beberapa komoditi
seperti buah-buahan tropis, umbi-umbian, dan peternakan merupakan penyebab
penurunan produksi gula di negara tersebut. Afrika secara agregat juga mengalami
penurunan produksi sekitar 4.% dengan volume produksi tahun 2005/06
diperkirakan mencapai 5 juta ton.

Beberapa negara Afrika yang mengalami

penurunan produksi adalah Swazilan, Kenya, dan Malawi. Thailand kembali
8

diperkirakan akan mengalami penurunan produksi sebagai akibat kemarau yang
dihadapi negara tersebut. Produksi Thailand pada tahun 2005/06 hanya sekitar 4.6
juta ton, atau mengalami penurunan sebesar 16% dibandingkan dengan periode
sebelumnya. Amerika sebagai salah satu produsen utama, produksinya diperkirakan
relatif stabil pada kisaran 7.9 juta ton.
Pada periode 2005/06, konsumsi gula secara global diproyeksikan mencapai
148

juta ton, atau mengalami peningkatan sekitar 2%. Peningkatan konsumsi

terutama terjadi di negara berkembang. Sebagai kebutuhan pokok, konsumsi gula
meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan pendapatan, khususnya di
negara berkembang.

Dengan pangsa konsumsi sebesar 67%, konsumsi gula di

negara berkembang pada tahun 2005/06 diperkirakan mencapai 100.1 juta ton atau
meningkat sekitar

2.7% dari konsumsi periode sebelumnya.

Negara maju

mengalami peningkatan konsumsi secara marginal, yaitu sekitar 0.4%, dengan
volume konsumsi pada tahun tersebut diproyeksikan mencapai 48.0 juta ton. (FAO
2005)
Diantara 10 konsumen utama, India, Brazil, Rusia, Pakistan dan Indonesia
diperkirakan mengalami peningkatan konsumsi yang cukup signifikan.

India

sebagai konsumen terbesar dengan pangsa konsumsi lebih dari 13%, diperkirakan
akan mengalami kenaikan konsumsi sekitar 1.5% pada tahun 2005/06 (Tabel 2).
China sebagai konsumen kedua terbesar mengalami kenaikan konsumsi sekitar
0.9%. Rusia, Pakistan, dan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan
lebih dari 2%. Diantara 10 besar konsumen gula dunia, hanya negara yang termasuk
Uni Eropa yang diperkirakan akan mengalami penurunan konsumsi sebesar 0.6%.
Setelah mengalami pertumbuhan sekitar 1% pada tahun 2004/2005, volume
perdagangan (ekspor/impor) gula di pasar internasional diperkirakan kembali
mengalami peningkatan sekitar 1.5% pada periode 2005/06. Dengan pertumbuhan
tersebut, volume perdagangan gula dunia diperkirakan berdasarkan rata-rata volume
impor dan ekspor mencapai 45.217 juta ton.
Dari sisi ekspor, diantara 10 besar eksportir gula dunia, Brazil diperkirakan
semakin dominan di perdagangan gula dunia. Dengan pangsa ekspor sekitar 38%,
volume ekspor Brazil pada tahun 2005/06 diperkirakan mencapai 18.250 juta ton,
atau meningkat sekitar 1.3% dibandingkan dengan ekspor pada tahun 2004/05. India
diperkirakan juga akan menambah volume ekspor gula dunia karena Negara
tersebut merencanakan re-ekspor dari gula yang diimpor pada periode sebelumnya.
9

Di sisi lain, beberapa Negara seperti Eropa Barat, Cuba dan Thailand diperkirakan
akan mengalami penurunan ekspor. Reformasi industri gula di Eropa Barat yang
menyebabkan penurunan produksi menjadi faktor menurunnya ekspor Eropa Barat,
sementara penurunan di Thailand berkaitan dengan penurunan produksi sebagai
akibat kemarau yang panjang Australia mengalami penurunan ekspor berkaitan juga
dengan penurunan produksi di Negara tersebut.
Dari sisi impor, China merupakan salah satu Negara besar yang diperkirakan
mengalami peningkatan impor sebesar 4% sehingga volume impor China
diperkirakan mencapai 1.3 juta ton pada tahun 2005/06. Negara lain yang
mengalami peningkatan ekspor adalah Afrika Selatan (6.5%) dan Amerika Serikat
(USDA, 2005).
2.2

Kebijakan Pergulaan di Pasar Dunia
Industri dan perdagangan gula dunia dinilai sangat distortif dengan tingkat

distorsi nomor dua tertinggi setelah pasar beras. Sebagai contoh, nilai domestic
support untuk gula mencapai US$ 6.4 miliar per tahun. Negara produsen dan
konsumen utama melakukan subsidi dan proteksi yang sangat tinggi sehingga
perdagangan gula dunia menjadi sangat distortif (Noble, 1997; Devadoss dan Kropf,
1996; Kennedy, 2001; Groombridge, 2001). Rata-rata harga gula dunia pada dekade
terakhir sebesar US$¢ 8.36/lb yang jauh di bawah biaya produksi yang rata-rata
mencapai US$¢ 17.46/lb, merupakan indikator distortifnya industri dan perdagangan
gula di pasar internasional.
Hasil-hasil studi seperti yang dilakukan oleh Kennedy

(2001) dan

Groombridge (2001) menyebutkan bahwa industri gula merupakan industri dengan
tingkat distorsi tertinggi yang bersumber dari intervensi pemerintah. Berbagai negara
utama melakukan berbagai intervensi kebijakan untuk melindungi industri gula
masing-masing (Tabel 1).
Amerika Serikat secara historis menggunakan berbagai kebijakan untuk
mendukung/melindungi industri gulanya. Kebijakan tersebut menyebabkan sekitar
67% dari pendapatan produsen gula di US merupakan komponen dari kebijakan harga
subsidi atau price support. Landasan hukum terbaru yang digunakan US untuk
mendukung kebijakan tersebut adalah Farm Security and Rural Investment Act of
2002 (2002 Farm Act). Beberapa kebijakan penting yang diterapkan adalah kebijakan
10

bantuan domestik (price support loan), tariff-rate quota, subsidi ekpsor (export
subsidy), program re-ekspor (re-export programs), dan kebijakan pembayaran dalam
bentuk natura atau payment-in-kind. Untuk gula mentah, perbedaan antara harga di
pasar internasional dan US rata-rata sekitar US$c 12/lb atau 126%. Sedangkan untuk
gula putih, perbedaan mencapai sekitar US$c 13/lb atau sekitar 104% (USDA 2003).
Tabel 1. Kebijakan Pergulaan di Beberapa Negara
Negara

Kebijakan Dasar

Brazil

Domestic/price
(US$ 743 juta/tahun)

India

Essential
1955

Thailand
Jepang

Eropa Barat

Amerika Serikat

Esensi Kebijakan
Support

Commodities

Dukungan harga (1998)

ACT

Produksi

Alokasi dan kontrol produksi
(levy sugar)

Distribusi

Harga terjangkau oleh konsumen
(ration card)

Partial Price Control

Jaminan harga tebu dan gula
(levy price dan market price)

Price support

Dukungan harga

Production management

Pengendalian/quota produksi

Jaminan harga
(Y71 miliar)

Kepastian harga

Tarif impor yang tinggi

Membatasi impor

CAP
Price support

Jaminan harga

Production management

Pengendalian/quota produksi

TRQ

Pengendalian impor

Safe guards Mechanism

Pengendalian impor

Export Subsidy

Penurunan penawaran di pasar
domestik

2002 Farm Act dan FAIR ACT
of 1996 (US$ 1.9 miliar)
Price Support Loan

Jaminan harga dan kredit

Tariff-Rate Quota

Pengendalian impor

Export Subsidy
Re-export pragrams

Kompensasi ke industri berbahan
baku gula

Payment-in-Kind

Mengurangi
keterkaitan
kebijakan dengan distorsi yang
ditimbulkan

Sumber : Susila (2005)

11

Eropa Barat (EC) dikenal sebagai kelompok negara yang tingkat distorsinya paling
tinggi. Intervensi yang tinggi tersebut dilakukan hampir pada semua aspek industri
dan perdagangan gula. Untuk melindungi tekanan dari pasar internasional, tingkat
tarif impor yang tinggi merupakan salah satu instrumen kebijakan yang digunakan.
Sebelum Putaran Uruguay ditandatangani, instrumen tarif impor berupa kebijakan
variable levies. Dengan perkataan lain, mereka dapat menaikkan tarif impor jika
harga gula di pasar internasional turun secara signifikan.

Setelah PU

ditandatangani, EC menerapkan binding tariff yang relatif masih tinggi yaitu 146%
dengan pendekatan fixed tariff.
2.3

Dinamika Industri Gula Nasional
Setelah mengalami masa kejayaan pada tahun 1930-an dengan produksi

mencapai 3.1 juta ton dan ekspor 2.4 juta ton, industri gula mengalami pasang
surut. Pada saat ini, luas areal tanaman tebu Indonesia mencapai 344 ribu hektar
dengan kontribusi utama adalah Jawa Timur (43.29%), Jawa Tengah (10.07%),
Jawa Barat (5.87%), dan Lampung (25.71%). Pada lima tahun terakhir, areal tebu
Indonesia secara keseluruhan mengalami stagnasi pada kisaran sekitar 340 ribu
hektar (Tabel 2). Jika dilihat pada sepuluh tahun terakhir, luas areal tebu Indonesia
secara umum mengalami penurunan sekitar 2% per tahun dengan luas areal
tertinggi dicapai tahun 1996 dengan luasan 446 ribu ha, walaupun pada tahun 2004
mulai menunjukkan peningkatan.
Perkembangan produksi pada sepuluh tahun terakhir juga mengalami
penurunan dengan laju penurunan sekitar 1.8% per tahun. Namun demikian,
semenjak tahun 2004, produksi gula mulai menunjukan peningkatan. Pada tahun
1994, produksi gula nasional mencapai 2.435 juta ton, sedangkan pada tahun 2004
hanya 2.051 juta ton. Pada dekade terakhir, produksi terendah terjadi pada tahun
1998 dengan volume produksi 1.494 juta ton. Berbagai kebijakan pemerintah
seperti

kebijakan

tataniaga

impor

dan

program

akselerasi

peningkatan

produktivitas berdampak positif guna meningkatkan kembali produksi gula
nasional, khususnya sejak tahun 2004.

12

Tabel 2. Beberapa Indikator Kinerja Industri Gula Nasional

Tahun
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005

Luas
Areal
(ha)

Produksi
(ton
hablur)

Rendemen
(%)

428736
436037
446533
386878
377089
342211
340660
344441
350722
336257
344000
365893

2453881
2059576
2094195
2191986
1488269
1493933
1690004
1725467
1755354
1634560
2051000
2336250

8.02
6.97
7.32
7.83
5.49
6.96
7.04
6.85
6.88
7.21
7.67
7.72

Konsumsi
(ton hablur)
3343058
3073765
3333522
2736002
2778943
3200000
3250000
3300000
3350000
3400000
3600000

Sumber: DGI (2005)

Impor
(ton
hablur)
15207
687963
975830
1364563
1730473
1500000
1500000
1500000
1500000
1500000
1348349
1200000
* : perkiraan

Di samping penurunan areal, penurunan produktivitas merupakan faktor
utama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Jika pada tahun 1990-an
produktivitas tebu/ha rata-rata mencapai 76.9/ha, maka pada tahun 2000-an hanya
mencapai sekitar 62.7 ton/ha. Rendemen sebagai salah indikator produktivitas
juga mengalami penurunan dengan laju sekitar –1.3% per tahun pada dekade
terakhir.

Pada tahun 1998, rendemen mencapai titik terendah (5.49%).

Selanjutnya, rendemen mulai meningkat dan pada tahun 2004 rendemen mencapai
7.67 % .
Perkembangan produksi yang cenderung menurun sebelum tahun 2004 tidak
bisa juga terlepas dari kinerja Pabrik Gula (PG) dan berdampak pula pada
keberadaan PG. Berdasarkan data sampai dengan tahun 2004, jumlah PG yang
beroperasi cenderung menurun, baik dari segi jumlah PG maupun hari giling.
Sampai dengan tahun 2004, PG yang beroperasi adalah 58 PG yang terdiri dari 50
PG BUMN dan 7 PG swasta.
Pada dekade terakhir, kinerja PG cenderung menurun.

Di samping

disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling PG
cenderung tidak mencapai standar. Sebagai contoh, PG-PG yang ada di Jawa
mempunyai kapasitas giling 23.8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling). Bahan

13

baku yang tersedia hanya sekitar 12.8 juta ton sehingga PG-PG di Jawa
mempunyai idle capacity sekitar 46.2%.

Selanjutnya, PG diluar Jawa yang

mempunyai kapasitas 14.2 juta ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8.6
juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39.4%. Hal ini memberikan indikasi
bahwa PG-PG di Jawa perlu melakukan konsolidasi dan rehabilitasi.
Berkaitan dengan produk derivat tebu (PDT), pabrik gula di Indonesia
sebenarnya sudah sejak awal merintis produksi produk derivat tebu (PPDT) ,
namun pengembangannnya kalah cepat dengan investor swasta. Sebelum berbagai
jenis PPDT berkembang seperti saat ini, pada tahun 1960 telah ada 4 pabrik
alkohol/spiritus yang dimiliki industri gula. Pada saat ini sudah ada sekitar 45
buah pabrik PDT dengan 14 jenis produk derivat tebu. Diantara jumlah tersebut
sekitar 9 buah pabrik yang dimiliki industri gula. Adapun jenis produk PDT yang
diproduksi secara komersial saat ini meliputi 1 jenis produk dari kelompok produk
pucuk tebu, 5 jenis produk dari kelompok produk ampas tebu dan 8 jenis produk
dari kelompok produk tetes.

2.4

Kebijakan Pergulaan Nasional
Sampai dengan tahun 2005, pemerintah pernah menerapkan berbagai

kebijakan, yang secara langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap
industri gula Indonesia (Tabel Lampiran 2.). Kebijakan pemerintah tersebut
mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi,
dan kebijakan harga. Diantara berbagai kebijakan produksi dan kebijakan input,
kebijakan yang paling signifikan dari pemerintah adalah kebijakan TRI yang
tertuang dalam Inpres No. 9/1975, pada tanggal 22 April 1975.

Tujuan dari

kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi gula serta pendapatan
petani tebu. Esensi dari kebijakan tersebut adalah membuat petani menjadi manajer
pada lahannya sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas,
bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD, serta
menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik gula.
Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan
kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan
harga

gula

di

pasar

domestik.

Beberapa

kebijakan

terpenting

adalah

14

Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli pada
BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula. Ketika
harga gula domestik terus merosot pada pertengahan tahun 2002 dan tekanan
produsen semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk
mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya pada importir produsen
dan importir terdaftar. Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk
diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT
minimal

75%

berasal

dari

petani.

Kebijakan

ini

dituangkan

dalam

Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Esensi lainnya
yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila
harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg.

Kebijakan ini

diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga memperbaiki
pendapatan produsen. Kebijakan ini direvisi dengan Kepmenperindag No.
527/MPP/Kep/9/ 2004 yang mewajibkan IT untuk menyangga harga di tingkat
petani pada tingkat Rp 3410/kg. Pada Mei 2005, harga ditingkat petani yang
merupakan harga minimum dengan mekanisme dana oleh investor ditetapkan Rp
3800/kg.
2.5

Perkembangan Harga
Harga gula dunia secara umum mengalami fluktuasi dengan harga terendah

tejadi pada periode 1998 - 2003 yaitu sekitar US$200/ton (Gambar 1). Kemudian,
karena pasar dunia terus mengalami defisit, harga gula perlahan meningkat dan
mencapai puncaknya pada awal tahun 2006 yang mencapai diatas US$ 400/ton.
Defisit produksi selama tiga tahun berturut-turut serta peningkatan produksi
ethanol di Brazil adalah argumen kenaikan harga tersebut.
Walaupun pemerintah menerapkan berbagai kebijakan impor gula, harga
gula di pasar internasional berpengaruh cukup signifikan terhadap harga gula di
Indonesia, baik pada tingkat petani maupun konsumen. Hal ini terutama terjadi
ketika semenjak tahun 1998, Bulog tidak lagi melakukan monopoli impor.
Perkembangan harga gula di pasar domestik secara umum dapat dilihat pada
Gambar 1. Harga gula di tingkat petani sering diatur oleh pemerintah dengan
menetapkan sejenis harga dasar (harga provenue). Pada saat ini, harga provenue

15

tersebut dimodifikasi menjadi harga talangan, sejenis harga minimum yang dijamin
oleh investor (pihak swasta). Jika harga gula petani melalui lelang lebih tinggi dari
harga talangan, maka kelebihan tersebut dibagi antara petani dengan investor
dengan pembagian 50% untuk petani dan 50% untuk investor. Pada musim giling
2005, harga talangan ditetapkan pemerintah sebesar Rp 3800/kg.

Gambar 1. Perkembangan Harga Gula di Pasar Internasional

Gambar 2. Perkembangan Harga Eceran Gula di Pasar Domestik.

16

BAB 3
PASAR GULA DUNIA MENUJU KESEIMBANGAN BARU

Setelah mengalami masa suram pada akhir tahun 1990-an, industri dan
perdagangan gula dunia diperkirakan sudah mengalami titik balik pada awal tahun
2000-an. Salah satu indikator kebangkitan industri gula dunia adalah kecendrungan
kenaikan harga semenjak tahun 2004. Jika pada tahun 2003 harga gula putih di
London masih sekitar US$ 200/ton, harga gula pada tahun 2004 menjadi US$
240/ton. Bahkan pada awal tahun 2006 (Februari 2006), harga gula sudah diatas
US$ 420/ ton, rekor harga tertinggi selama dua dekade terakhir.

3.1

Indikator Awal Kebangkitan Industri Gula Dunia
Banyak analisis menunjukkan bahwa industri gula dunia akan bangkit pada

masa mendatang. Secara lebih spesifik, dalam jangka panjang, harga gula dunia
akan cendrung meningkat, dan diperkirakan akan diatas rata-rata biaya produksi
gula dunia yang mencapai US$ 340/ton.
Tanda-tanda awal kebangkitan industri gula dunia adalah kecendrungan
volume konsumsi yang lebih besar dari produksi (defisit). Defisit ini telah terjadi
secara beruntun sejak tahun 2004 dan diperkirakan belanjut sampai dengan 2006.
Defisit yang secara beruntun terjadi selama tiga tahun secara berturut, patut dinilai
sebagai tanda-tanda awal kebangkitan kembali industri gula dunia. Pada tahun
2004, pasar gula dunia ditandai oleh terjadinya defisit sekitar 2.2 juta ton sehingga
mendorong terjadinya kenaikan harga menjadi sekitar US$ 19.1/kg, khususnya
pada enam bulan terakhir tahun 2004. Produksi pada tahun 2004 adalah sekitar
141.1 juta ton, sedangkan konsumsi mencapai 143.3 juta ton. Pada tahun 2005,
produksi gula dunia kembali diperkirakan akan mengalami penurunan sekitar 0.4%
sehingga produksi mencapai 141.5 juta ton. Pada tahun 2006, defisit diperkirakan
antara 0.2 juta ton (FAO 2005), sedangkan USDA (2005) memperkirakan defisit
sebesar 2.0 juta ton.

3.2

Faktor Fundamental Kebangkitan Industri Gula Dunia
Dengan tanda-tanda awal kebangkitan tersebut, industri gula dunia

diperkirakan akan mengalami perbaikan yang bersifat jangka panjang. Dengan
perkataan lain, industri gula dunia diperkirakan akan mengarah pada suatu
keseimbangan baru. Keseimbangan baru tersebut akan ditandai oleh rata-rata harga
gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode 1990-2000, serta perubahan
substansial yang terjadi pada beberapa pemain utama gula dunia, khususnya Eropa
barat (EC) dan Amerika.
Keseimbangan baru tersebut paling tidak bersumber dari tiga faktor
fundamental (pilar perubahan) yaitu (i) kesepakatan yang dicapai pada Hongkong
Ministerial Meeting pada bulan Desember 2005; (ii) perubahan internal atau
reformasi kebijakan pergulaan di EU dan Amerika; dan (iii) kecendrungan jangka
panjang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Keberhasilan Hongkong Ministerial Meeting
Hongkong Ministerial Meeting pada 13-18 Desember 2005 merupakan salah
satu tahapan penting dari Doha Development Round. Pertemuan tersebut dinilai
berhasil terutama dalam mengembalikan agenda atau arah perundingan yang
sebelumnya mengalami kebuntuan. Salah satu butir penting yang dicapai adalah
kesepakatan untuk mengakhiri semua bentuk subsidi ekspor produk pertanian
selambat-lambatnya pada tahun 2013.
Seperti disebutkan sebelumnya, EU dan Amerika menggunakan instrumen ini
sebagai salah satu bentuk dukungan pada industri gulanya. Sebagai contoh, nilai
subsidi ekspor EU yang mencapai US$ 499 juta/tahun atau bernilai sekitar
EU$391.9/ton, harus dicabut paling lambat pada tahun 2013. Pencabutan subsidi
ekspor tersebut jelas akan mengurangi kemampuan negara-negara yang melakukan
subsidi ekspor untuk melakukan ekspor.

Hal ini berarti secara agregat akan

mengurangi volume ekspor dan sekaligus mengurangi penawaran/pasokan gula di
pasar dunia. Dengan laju pertumbuhan konsumsi yang relatif stabil, maka situasi
ini dalam jangka panjang akan mendorong kenaikan harga gula di pasar
internsional.

18

Reformasi Kebijakan Pergulaan di Negara Maju
Faktor kedua adalah tekanan yang semakin menguat dihadapi negara maju
khususnya Eropa Barat dan Amerika Serikat agar mereformasi kebijakan industri
gulanya, baik karena faktor internal maupun eksternal. Secara internal, dorongan
untuk mengurangi berbagai bentuk subsidi dan proteksi yang merugikan pembayar
pajak dan konsumen serta industri berbahan baku gula di negara tersebut, semakin
menguat. Dengan nilai dukungan domestik lebih dari US$ 4.5 miliar per tahun di
kedua negara tersebut, nilai tersebut dinilai kurang adil bagi pendukung reformasi
gula di negara tersebut.
Industri dan perdagangan gula dikenal memiliki tingkat distorsi tertinggi
kedua setelah beras. Sebagai contoh, total nilai bantuan domestik dari industri gula
dunia mencapai sekitar US$ 6.4 miliar per tahun, yang nilainya hampir sama dengan
nilai ekspor semua negara berkembang. Berbagai kebijakan distortif seperti bantuan
domestik, dukungan harga, tarif yang tinggi, tariff–rate quota, dan subsidi ekspor
mewarnai industri dan perdagangan gula pada hampir semua negara produsen dan
konsumen utama.

Sebagai akibatnya, terjadi kegagalan pasar yan berimplikasi

harga tidak lagi mencerminkan biaya produksi. Sebuah studi oleh Beghin dan
Aksoy (2003) menyebutkan bahwa kesejahteraan yang hilang akibat distrosi
tersebut mencapai US$ 4.7 miliar per tahun.
EU tampaknya sudah tidak mampu lagi mempertahankan kebijakan
pergulaannya sehingga harus melakukan reformasi kebijakan secara substansial.
Walaupun perubahan tersebut tidak bersifat total, perubahan tersebut cukup
signifikan sehingga berpengaruh secara substansial terhadap industri gula dunia.
Ada 18 butir penting dari proposal reformasi kebijakan yang akan efektif mulai
tahun 2007 (Talks, 2005). Tiga butir penting dari kebijakan tersebut adalah:
1. Dukungan harga gula akan diturunnkan sebesar 36%. Sebagai contoh, harga
referen untuk white sugar yang semula EU$ 631.9 pada periode 2005/06
akan terus ditutunkan sampai mencapai EU$ 385.5/ton pada tahun 2009/10.
2. Petani akan diberi kompensasi terhadap perubahan kebijakan tersebut
sebesar 64.2% dari penurunan harga yang diterimanya dalam bentuk direct
income payment, bukan sebagai dukungan harga.

19

3. Kebijakan intervensi harga akan dihapus dan diganti dengan kebijakaan
reference price yang dijadikan landasan untuk memberikan bantuan.
Jika butir-butir reformasi kebijakan tersebut diterapkan, produksi gula di EU
akan turun menjadi sekitar 12 juta ton, dari sebelumnya seebsar 20 juta ton
per tahun. Ditambah penghapusan subsidi ekspor, maka kemampuan EU
untuk melakukan ekspor dikhawatirkan akan menurun dan dalam jangka
panjang EU dapat berubah menjadi negara net importir gula.
Amerika untuk jangka panjang akan secara bertahap melakukan reformasi
gulanya, terlebih jika EU benar-benar melaksanakan reformasinya tahun 2007.
Intervensi untuk industri gula memerlukan biaya yang cukup mahal.

Sebagai

contoh, pada tahun 1998 biaya intervensi mencapai US$ 1.9 miliar. Pemerintah
harus menyiapkan dana sekitar US$ 1.68 miliar per tahun untuk pembelian gula.
Kesejahteraan yang hilang (welfare loss) sebagai akibat kebijakan tersebut
diperkirakan mencapai sekitar US$ 1 miliar per tahun (Groombridge, 2000).
Sejalan dengan tekanan tersebut, kebijakan pergulaan Amerika diperkirakan
akan mengalami perubahan-perubahan. Beberapa kebijakan yang dapat menjadi
pilihan pada masa mendatang antara lain kebijakan marketing loan, fixed direct
payment, PIK, dan sugar buy-out program (Kennedy, 2001). Kebijakan marketing
loan pada dasarnya merupakan variasi dari kebijakan price support loan dengan
memberikan tambahan perhatian pada kepentingan konsumen. Esensi dari kebijakan
tersebut adalah bahwa pemerintah memberikan jaminan harga, baik pada produsen
maupun konsumen.
Kebijakan lain yang mungkin diterapkan adalah fixed direct payment. Esensi
dari kebijakan ini adalah pemberian kompensasi kepada produsen yang besarnya
didasarkan pada tingkat produksi secara historis (produksi sebelumnya), bukan
tingkat produksi terkini. Kebijakan ini tidak akan merangsang produksi karena
besarnya kompensasi tidak ada kaitannya dengan tingkat produksi terkini dari
petani. Kebijakan ini termasuk kategori “decouple” yaitu melepaskan tingkat
intervensi dari kegiatan produksi. Kebijakan ini sejalan dengan pasal-pasal yang
berkaitan dengan apa yang disepakati sebagai “green box” yang masih
diperbolehkan dalam era liberalisasi perdagangan.

20

Kebijakan yang lebih radikal yang mungkin diterapkan adalah kebijakan
sugar ”buy-out” program.

Dikatakan agak radikal karena kebijakan ini dalam

jangka panjang bermaksud menghapuskan proteksi/subsidi pada industri gula atau
membuat tingkat proteksi/subsidi adalah minimal. Esensi kebijakan ini adalah
dengan memberi kompensasi hanya sekali. Besarnya kompensasi adalah senilai
“present value” dari perkiraan total aliran bantuan yang akan diterima petani pada
masa mendatang. Selanjutnya, berbagai intervensi pemerintah ditiadakan atau
pada tingkat yang minimal.
Kenaikan Harga BBM
Faktor ketiga yang juga besifat fundamental adalah kecendrungan harga BBM
yang semakin tinggi. Sebagai sumber bahan bakar yang bersifat tidak diperbaharui,
kecendrungan kenaikan harga produk tersebut tampaknya tidak dapat dihindarkan,
khususnya dalam perspektif jangka panjang. Para ahli sepakat bahwa pada suatu
saat, persediaan BBM tersebut aka habis; yang belum dapat dipastikan adalah
waktunya. Sebagai ilustrasi, persediaan minyak bumi Indonesia diperkirakan hanya
cukup untuk 17 tahun ke depan. Dengan situasi tersebut, harga BBM dalam jangka
panjang diperkirakan akan terus meningkat dan diperkirakan dapat menembus US$
80/barrel.

Oleh sebab itu, sangat masuk akal bahwa bahan bakar alternatif

pengganti BBM pada masa mendatang akan memegang peran semakin penting.
Etahnol sebagai salah satu bahan bakar alternatif sudah menunjukkan
perannya. Brazil dengan kebijakan switch policy, mengubah tebu menjadi gula atau
ethanol dengan perbandingan sesuai dengan perkembangan harga gula dan BBM.
Jika harga BBM tinggi seperti sekarang ini, Brazil akan lebih banyak memproses
tebunya menjadi ethanol relatif terhadap gula.
Jika dalam jangka pajang harga BBM naik, hal ini akan mendorong lebih
banyak lagi tebu yang diproses untuk ethanol sebagai bahan bakar alternatif. Brazil
yang secara tradisional menerapkan swicth policy merupakan faktor penentu utama
dalam kasus ini. Sebagai produsen gula dan ethanol terbesar dari tebu, ketika harga
minyak bumi tinggi, Brazil jelas akan lebih banyak lagi mengolah tebunya menjadi
ethanol sehingga akan mengurangi potensi produksi/ekspor gula negara tersebut.
Jika dalam situasi harga minyak belum tinggi sekitar 52% tebunya diolah menjadi
ethanol dan 48% untuk gula, maka ketika harga minyak bumi yang tinggi seperti
sekarang ini, proporsi yang diolah untuk ethanol akan meningkat, dan sebaliknya
21

untuk gula. Dalam jangka panjang, situasi ini secara ekonomis dan psikologis akan
mendorong harga gula pada kisaran tinggi atau akan ada harga keseimbangan baru
antara BBM dan gula.
Ketiga faktor yang bersifat fundamental tersebut akan sangat berpengaruh
pada dinamika industri gula dalam jangka panjang. Pasar gula dunia diperkirakan
kini sudah mulai memasuki tahap awal keseimbangan baru. Dengan berkurangnya
distorsi pasar gula dunia diperkirakan akan tercipta medan persaingan baru yang
lebih fair serta lebih efisien. Pada keseimbangan baru tersebut, produsen yang
tidak efisien, khusunya di negara maju akan mengurangi produksi dan eskpor
sehingga mengurangi penawaran gula di pasar dunia. Situasi tersebut akan
mendorong kenaikan harga gula dunia menju keseimbangan baru, baik karena
mekanisme pasar (permintaan-penawaran) gula maupun keseimbangan baru
kaitannya dengan persaingan penggunaan tebu untuk gula dan ethanol.
Tingkat harga gula pada keseimbangan baru memang masih sulit di perdiksi.
Dari sisi mekanisme pasar gula sendiri, studi oleh Beghin dan Aksoy (2003)
memperkirakan harga gula dunia akan meningkat antara 20%-40%. Kenaikan
tersebut belum mempertimbangkan dorongan harga sebagai akibat kenaikan harga
BBM untuk jangka panjang.

Dengan pengamatan faktor fundamental tersebut

masih bersifat dini, secara kasar harga gula pada keseimbangan barunya
diperkirakan berkisar antara US$ 300-400/ton.

22

BAB 4
MENUJU KE ARAH KEJAYAAN INDUSTRI GULA NASIONAL

4.1

Momentum Kebangkitan
Berdasarkan perubahan strategis yang sudah dan akan terjadi serta

dampaknya terhadap pergulaan dunia, Indonesia sebagai salah satu pemain besar
perlu mengantisipasi secara cepat, tepat, dan sistematis.

Dengan perkiraan

keseimbangan baru harga gula dunai akan lebih tinggi dari pada era tahun 1990-an,
maka perubahan tersebut dapat menjadi momentum baru bagi kebangkitan bahkan
kejayaan industri pergulaan nasional baik.
Terhadap skenario keseimbangan baru dari industri gula dunia, ada dua
konsekeuensi yang dapat merefleksikan momentum kebangkitan industri gula
nasional, yaitu:
(i)

Memudahkan pencapaian sasaran program swasembada gula;

(ii)

Berpeluang untuk kembali sebagai negara eksportir gula.

Indonesia mentargetkan untuk mencapai swasembada gula dalam arti
dinamis gula paling lambat tahun 2009. Tingkat swasembada yang ingin dicapai
total produksi gula domestik dapat memenuhi sekitar 90%-95% dari total konsmsi.
Hasil analisis Tim Departemen Pertanian dan Dewan Gula Nasioal (2005) memberi
indikasi bahwa swasembada tersebut dapat diwujudkan. Perkiraan perwujudan
seasembada tersebut belum memperhitungkan akan terjadinya perkiraan kenaikan
harga gula di pasar nternasional yang bersifat jangka panjang. Jika ketiga faktor
fundamental

tersebut

benar-benar medorong

kenaikan

harga

gula

pada

keseimbangan yang baru, pencapaian swasembada gula nasional akan lebih mudah
dapat diwujudkan. Sebagai contoh, dengan harga gula dipasar internasional sekitar
US$ 200/ton dan harga gula di tingkat petani antara Rp 3800-4200/kg, produksi
gula pada tahun 2004 dan 2005 meningkat masing-masing dengan laju 25% dan
14%. Jika harga gula pada kisaran US$ 300-400/ton atau harga tingkat petani
antara Rp 4000-5000/kg, produksi akan meningkat lebih pesat.

Di sisi lain,

kenaikan harga akan menghambat kenaikan konsumsi. Resultan dari semua ini
adalah lebih memuluskan upaya pemerintah dalam pencapaian swasembada gula
nasional.

Jika harga keseimbangan baru benar-benar tewujud pada kisaran US$ 300400/ton, Indonesia tidak hanya berpeluang berswasembada gula, tetapi dapat kembali
menjadi negara eksportir gula dan produk berbasis tebu, mengulang kembali kejayan
industri gula Indonesia tahun 1930-an. Di samping didukung oleh faktor pasar gula
akan berada pada keseimbangan baru, kondisi internal industri gula Indonesia juga
sedang dalam posisi yang kondusif. Iklim yang kondusif yang bersifat internal
tersebut paling tidak dapat dilihat dari tiga sisi yaitu (i) menguatnya political will dan
dukungan kebijakan pemerintah; (ii) menguatnya kelembagaan petani, dan (iii) hasil
proses belajar PG.
Pertama, menguatnya political will dan dukungan kebijakan pemerintah harus
diakui

sebagai suatu pemacu dimulainya kebangkitan industri gula yang sudah

hampir gulung tikar pada periode 1998-2001. Semenjak tahun 2002, pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan yang dikenal dengan kebijakan promotif dan
protektif, dengan wajah yang lebih tegas mendukung pembangunan industri gula
nasional. Karena tingkat distorsi perdagangan internasional yang tinggi, yaitu nomor
dua setelah beras dengan nilai dukungan domestik mencapai US$ 6.4 miliar pertahun,
kebijakan pemerintah yang protektif masih dapat dijustifikasi, baik dengan argumen
ekonomi mapupun non-ekonomi.
Dukungan political will yang lebih kuat dari pemerintah tercermin langsung
dari tekad Preseiden SBY yang menargetkan tercapainya swasembada gula pada tahun
2008. Dukungan langsung dari orang nomor satu di Indonesia ini merupakan suatu
dukungan yang sangat mendasar dan diperkirakan mempunyai daya implementasi
yang cukup kuat. Hal ini antara lain tercermin dari beberapa departemen dan lembaga
terkait, seperti Departemen Pertanian dan Dewan Gula Indonesia, yang sudah mulai
menindak-lanjuti tekad Presiden tersebut.
Terlepas dari masih adanya beberapa kelemahan kebijakan pergulaan yang ada
sekarang, kebijakan-kebijakan tersebut sudah sangat memadai sebagai landasan untuk
kebangkitan kembali industri gula nasional. Sebagai contoh, Kepmenperindag No.
643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002, tentang kebijakan tataniaga impor gula
bertujuan untuk mengendalikan impor dengan membatasi hanya importir produsen
dan importir terdaftar. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah
bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal
Rp

3100/kg.

Kebijakan

ini

direvisi

dengan

Kepmenperindag

No.

527/MPP/Kep/9/2004 yang mewajibkan importir terdaftar untuk menyangga harga di
24

tingkat petani pada tingkat Rp 3410/kg. Pada Mei 2005, harga ditingkat petani yang
merupakan harga minimum dengan mekanisme dana oleh investor ditetapkan Rp
3800/kg. Kebijakan ini sangat efektif dalam pengendalian impor dan harga didalam
negeri sehingga membangkitkan kembali gairah industri gula nasional.
Dukungan kebijakan lainnya yang diberikan oleh pemerintah adalah melalui
program-program yang sering disebut sebagai program akselerasi pembangunan
industri gula Indonesia.

Terkait dengan program tersebut, pemerintah telah

mengalokasikan dana sekitar Rp 220 miliar sampai dengan tahun 2004. Pemerintah
bahkan berkeinginan untuk meningkatkan anggaran tersebut pada masa mendatang
untuk mewujudkan swasembada gula.
Kedua, makin menguatnya organisasi petani seperti Asosiasi Petani Tebu
Rakyat (APTR) juga merupakan momentum yang baik untuk kebangkitan industri
gula Indonesia. Makin solidnya organisasi tersebut memudahkan dalam melakukan
perencanaan, monitoring, dan upaya-upaya koordinasi baik antar petani, petani
dengan PG, dan petani dengan pemerintah. Di samping itu, solidnya organisasi petani
juga memungkinkan peningkatan bargaining position industri gula, tidak hanya pada
aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek politis.
Ketiga, tekanan yang bertubi-tubi yang sempat dialami oleh pabrik gula (PG)
juga mulai mengajarkan PG untuk beorperasi secara lebih efisien, responsif, dan
dinamis. Beberapa PG sudah mulai melakukan berbagai pembenahan, seperti
dalam hal pembenahan efisiensi