Pandangan Hidup Urang Sunda Ungkapan Tra

Pandangan Hidup Urang Sunda: Ungkapan Tradisional
sebagai Unsur Kearifan Lokal Budaya Daerah
Oleh
Silvia Rahmelia
silviarahmelia@gmail.com
Abstrak
Pada hakikatnya setiap masyarakat akan selalu mengalami
perubahan, namun salah satu akar kehidupan yang hampir
dikatakan tidak mengalami perubahan tetapi sedikit terkikis
oleh arus globalisasi dan moderniasai ialah pandangan hidup
dalam suatu budaya daerah. Pola hidup yang tertuang dalam
keberadaan bahasa yang mewakili jati diri dan pandangan
hidup semestinya dijaga sebagai warisan budaya yang sarat
nilai dan berfungsi sebagai refleksi dari setiap tingkah laku.
Sebab merujuk pada hakikat individu sebagai mahluk sosial
dalam berbagai ruang lingkup harus bertitik tolak pada nilai
moral dalam konteks agama, kearifan lokal daerah, serta nilainilai universal yang telah melembaga. Salah satu wujud
kelestarian tersebut adalah keberadaan ungkapan tradisional
yang menjadi kearifan lokal pada kehidupan masyarakat
Sunda.
Pendahuluan

Di era global, sebagai bangsa yang berprinsip
Indonesia tidak boleh lekas pasrah terhadap gempuran budaya
asing. Potensi-potensi lokal daerah harus tetap dipelihara
sebagai bekal untuk menghadapi tantangan global. Untuk itu
revitalisasi budaya merupakan langkah tepat dalam rangka
menghidupkan potensi lokal yang dimaksud. Adapun
revitalisasi kebudayaan menurut Alwasilah (2006, hlm. 18)
ialah “upaya yang terencana, sinambung, dan diniati agar
nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh pemiliknya,
melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas
dalam menghadapi berbagai tantangan”. Demi revitalisasi,
maka ayat-ayat kebudayaan perlu dikaji ulang dan diberi tafsir

baru. Tafsir baru ini akan mencerahkan dan memberi
parameter terhadap keberhasilan suatu upaya revitalisasi
kebudayaan. Seperti halnya sejauh mana ayat budaya Sunda
“caina hérang laukna beunang” terinternalisasi dalam pola
pikir masyarakat Sunda. Atau bagaimana undak usuk basa
Sunda dapat terus hidup dan dilestarikan dalam proses belajar
mengajar di persekolahan.

Etnopedagogi sebagai praktik pendekatan berbasis
kearifan lokal dalam pendidikan memandang pengetahuan
atau kearifan lokal ini sebagai sumber inovasi dan
keterampilan yang dapat diberdayakan untuk kesejahteraan
masyarakat. Menurut Alwasilah (dalam Zuriah, 2012, hlm.
171) yang dimaksud kearifan lokal ialah
koleksi fakta, konsep, keyakinan, dan persepsi
masyarakat terhadap lingkungan mereka. Ini termasuk
cara mengamati dan mengukur lingkungan,
memecahkan masalah, dan memvalidasi informasi.
Singkatnya, kearifan lokal adalah proses bagaimana
pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan,
dikelola, dan diwariskan.
Mencermati makna kearifan lokal sebagai unsur dari
etnopedagogik, dewasa ini kearifan lokal (local wisdom)
kerapkali dianggap ketinggalan jaman. Padahal jika ditelaah
dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, nilai tradisi
yang terkandung dalam kearifan lokal suatu daerah
menyentuh persoalan pokok dalam kehidupan individu,
kelompok, masyarakat, hingga kehidupan berbangsa dan

bernegara.
Adapun nilai-nilai yang terkandung dan dianggap
sebagai kearifan lokal tersebut biasanya didapatkan dalam
benda-benda atau artefak prasejarah seperti prasasti, naskahnaskah historis pada permukaan daun lontar, cerita rakyat
turun temurun hingga komitmen dan pandangan hidup yang

ditrunkan oleh leluhur di suatu daerah. Sementara itu Flynn
(2005, hlm. 619) mengintisari philosophy as way of life atau
kita artikan pandangan hidup, ke dalam latihan spiritual
(pandangan Hadot) dan mekanisme dari dalam diri
(pandangan Foucault) sebagai unsur norma dan nilai moral.
Norma-norma diciptakan agar mengatur tata laksana
hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat. Norma
ini dikenal dengan cara (usage), kebiasaan (folkways), tata
kelakuan (mores), dan adat istiadat (customs) (Suryani, 2011,
hlm. 115). Norma ini merupakan salah satu aspek dari
pandangan hidup yang dimiliki oleh setiap kelompok
masyarakat. Pandangan hidup menjadi persoalan yang sangat
fundamental
Pembahasan

A. Pandangan Hidup sebagai Unsur Kearifan Lokal
Budaya Sunda
Arti pandangan hidup suatu bangsa berlaku baik bagi
bangsa Indonesia sebagai suatu keseluruhan maupun bagi
setiap suku bangsanya. Dalam hal ini, masyarakat Sunda
menurut Darmayanti (2016) adalah “kelompok etnis adat
terbesar di bagian barat Pulau Jawa. Budaya Sunda
berhubungan erat dengan animisme, Hindu-Budha, dan
filsafat Islam”. Sunda sebagai kelompok masyarakat budaya
yang sudah tua dan mampu bertahan hingga kini kiranya
memiliki pandangan hidupnya sendiri dan dapat hidup dalam
kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat modernis.
Pandangan hidup sendiri menurut Kaelan, 2013, hlm.
51) adalah
suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang
terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur yang
berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan
manusia dengan abadi, lingkungan, dan mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya.


Pola hidup masyarakat adat Sunda yang
direpresentasikan oleh masyarakat Kampung Naga contohnya,
memiliki karakter sederhana, kebersamaan, dan damai.
(Ningrum, 2012, hlm. 49).
“Teu saba, teu soba, teu banda, teu boga, teu weduk,
teu bedas, teu gagah, teu pinter” (Satu ungkapan yang
menyatakan kerendahan diri, tidak punya pengalaman apaapa, tidak punya apa-apa, tidak punya kekuatan apa-apa, tidak
gagah, tidak juga pintar)
Cuplikan prinsip hidup di atas merupakan salah satu
kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat
adat Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat
(Sya, 2014, hlm. 90; Ninigrum, 2012, hlm. 50). Pada awalnya
sangat dimungkinkan pandangan hidup ini berasal dari
kearifan Illahi (perennial wisdom), hasil kontemplasi, ijtihad,
proses berpikir kritis, penalaran, dan logika. Anggapan lain
tentang latar belakang prinsip atau pedoman hidup orang
Sunda ini kemungkinan muncul dari interaksi keseharian yang
menghasilkan construct berupa nilai-nilai luhur dan ideal
untuk kesejahteraan hidup bermasyarakat.
Eksistensi perilaku yang dibelajarkan dari prinsip

hidup yang tertuang dalam tata bahasa menunjukkan
komponen filsafat pendidikan yang membaur dalam sistem
sosial budaya. Sudaryat (2014, hlm. 120) mengungkapkan
One of language behavior existences showing the
truth of Sundanese culture educational philosophy or
inheritance is traditional idiomatic expression. It
contains the values of local wisdom that can be used
as a mirror, should be done, and should not be
forgotten.

Keberadaan bahasa yang mewakili jati diri dan
pandangan hidup semestinya dijaga sebagai warisan budaya
yang sarat nilai dan berfungsi sebagai refleksi dari setiap
tingkah laku. Sebab merujuk pada hakikat individu sebagai
mahluk sosial dalam berbagai ruang lingkup harus bertitik
tolak pada nilai moral dalam konteks agama, kearifan lokal
daerah, serta nilai-nilai universal yang telah melembaga.
Salah satu wujud kelestarian tersebut adalah keberadaan
ungkapan tradisional yang menjadi kearifan lokal pada
kehidupan masyarakat Sunda.

B. Ungkapan Tradisional Masyarakat Sunda
Ungkapan tradisional disampaikan oleh penuturnya
agar pendengarnya mengetahui mana nilai-nilai yang baik dan
mana nilai-nilai yang dianggap tidak baik. Ungkapan atau
dalam makna lain diartikan idiomatik jika itu terdiri atas dua
atau tiga kata yang dapat memperkuat diksi (pilihan kata) di
dalam sebuah tulisan. Berdasarkan tata bahasa, ungkapan
idiomatik juga memiliki makna konotatif dan denotatif. Akan
tetapi ekspresi idiomatik tradisional khususnya ungkapan
tradisional sunda, secara estetis dan fleksibel cenderung
memiliki makna yang konotatif.
Hal ini diungkapkan Sudaryat (2014, hlm. 119).
“Traditional idiomatic expression are plastic-aesthetic words
having connotative meaning”. Ungkapan tradisional ini
sangat estetis karena mengandung unsur irama dan kekuatan
bunyi kata (Suryani, 2011, hlm. 116). Secara umum
ungkapan-ungkapan tradisional baik di daerah Sunda, Jawa,
Sumatra, maupun daerah lain di seluruh pelosok tanah air,
mengandung pesan nasihat, terselubung makna dan nilai-nilai
moral yang tinggi serta mencerminkan kearifan lokal dari

masyarakat yang memegang teguh pandangan hidup yang
terkandung di dalamnya.

1) Ungkapan Hubungan Antara Manusia dengan
Sesama Manusia
Hubungan antara manusia dengan sesama manusia
dalam masyarakat Sunda dikenal dengan “silih asih, silih
asah, dan silih asuh”. Artinya adalah harus saling mengasihi,
mengasah atau mengajari, dan mengasuh hingga tercipta
suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban,
kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan. Sikap
saling menyayangi atau memperhatikan kebutuhan
direpresentasikan dalam ungkapan “manajemen kolektif aktif”
(Suradisastra, 2008, hlm. 86).
Ungkapan silih asah, silih asih, silih asuh juga
merupakan tritangtu populer urang sunda. Adapun tritangtu
sendiri menurut Sumardjo (2011, hlm. 279) merupakan
filosofi masyarakat dan kebudayaan Sunda. Tritangtu tersebut
di atas berarti juga tekad, ucap, lampah.
Disamping ungkapan di atas, terdapat beberapa

ungkapan lain sebagai berikut
“Kawas gula jeung peueut (seperti gula dengan nira yang
matang), artinya hidup rukun sayang menyayangi, tidak
pernah berselisih”.
Kita melakukan suatu kebajikan ataupun kebaikan
terhadap orang lain atau seseorang harus merupakan
kesadaran diri kita sendiri, jangan sekedar terbawa-bawa saja.
Mengingat wacana etika moral mengacu pada individu yang
mesti berinisiasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik
(knowing good, desiring good, dan acting good) sebagai
sebuah wujud karakter yang positif. Dengan demikian
ungkapan ini benar adanya dengan diperkuat pernyataan
Warnke (2000, hlm. 66) bahwa “Both ethical and moral
discourse are motivated by the question of what one ought to
do, whether as an individual or as a community”. Pertanyaan

tentang apa yang harus dilakukan sebagai individu atau
sebagai masyarakat merujuk pada wacana etika dan moral,
maka jawabannya khusus dalam konteks falsafah masyarakat
Sunda, diwakili dengan ungkapan di atas. Hidup rukun sayang

menyayangi dan menghindari perselisihan.
“Ulah rubuh-rubuh gedang (jangan rebah seperti papaya),
artinya janganlah mengerjakan pekerjaan tanpa mengetahui
apa maksud dan tujuannya, hanya karena orang lain
melakukannya)”.
Penampilan tingkah laku orang Sunda dalam
pergaulan hendaknya saling mencintai, saling menghargai,
sopan-santun, saling setia dan jujur disertai kerelaan, sesuai
‘folkways’ yang mencakup aturan hidup/kehidupan sosial,
sopan santun, dan kesusilaan.
“Ngadeudeul ku congo rambut (memberi bantuan dengan
ujung rambut), artinya memberi sumbangan atau bantuan
kecil, tetapi disertai kerelaan atau dengan ikhlas hati”
Masyarakat Sunda sering menghindari hal-hal
perselisihan, menghindari menghasut dan melibatkan orang
lain dalam perselisihan.
“Ulah marebutkeun balung tanpa eusi (jangan
memperebutkan tulang tanpa isi), artinya jangan
memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya”.
Hidup rukun dan damai akan tercapai apabila dalam

kehidupan bermasyarakat kita saling sayang-menyayangi,
saling hormat-menghormati, dan tidak memancing keresahan
dan kemarahan orang lain. Secara kompleks kemunculan
globalisasi dan modernisasi kian mengikis rasa solidaritas dan
kohesivitas antar warga masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh
bentuk-bentuk solidaritas tradisional yang dilupakan, sebab
manusia saat ini cenderung lompat pada implementasi di

lingkungan nasional dan global. Padahal kesatuan sosial
masyarakat tradisional meningkatkan etika yang padu dengan
nilai-nilai komunitas yang sama baiknya. Solidaritas sosial ini
mesti didukung juga oleh pemahaman terhadap isu-isu sosial
sebagaimana dikatakan Nelson (1998, hlm. 56).
Mencermati filosofi masyarakat Sunda di atas, Juul
(2010, hlm. 255) mengungkapkan bahwa terutama dalam
masyarakat yang ditandai dengan perbedaan budaya dengan
nilai individualisme dan pluralisme yang kerapkali
dikedepankan, dibutuhkan konsep solidaritas inklusif.
Solidaritas inklusif ini mencakup orang-orang yang berbeda
dari kelompok minoritas.
“Ulah ngaliarkeun taleus ateul (jangan menyebarkan talas
gatal), artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat
menimbulkan keburukan/keresahan”
Selain itu di dalam proses interaksi sosial antara
individu yang satu dengan individu lainnya, dalam
masyarakat Sunda tidak boleh menyinggung perasaan orang
lain yang akan mengakibatkan perpecahan di antara anggota
masyarakat itu sendiri.
“Ulah nyolok mata buncelik (jangan mencolok mata yang
melotot), artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang
lain, dengan maksud mempermalukan orang lain”
Data ungkapan yang telah disajikan, merupakan
pencerminan dari adanya hubungan antara manusia dengan
sesama manusia dalam masyarakat, sesuai dengan pandangan
hidup orang sunda, juga dengan folkways, solidarity social,
juga tentang fungsi keluarga dan tata sosial dalam masyarakat
Sunda.

2) Ungkapan Hubungan Antara Manusia dengan
Negara dan Bangsanya
Hubungan antara manusia dengan negara dan
bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda,
hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi
hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat.
Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk
mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan,
dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini
dalam masyarakat Sunda terpancar dalam ungkapan berikut
ini.
“Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat
ka balarea (harus mengarah kepada hukum, mengarah ke kaki
negara, bermupakat kepada orang banyak), artinya harus
menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara,
dan bermufakat kepada kehendak rakyat
Kesepakatan kata atau permufakatan bersama
diistilahkan sebagai konsensus. Konsensus bisa berarti
memiliki tujuan langsung bahwa anggota musyawarah harus
mencapai kesepakatan satu sama lain dalam suatu
pembahasan. Tidak diperkenankan menyalahgunakan
kebenaran dan mempromosikan kepentingan tertentu
(Landemore dan Page, 2015, hlm. 232).
Masyarakat Sunda mementingkan kerja sama dalam
kekeluargaan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup
masyarakatnya.
“Bengkung ngariung bongkok ngaronyok
(melingkar/lengkung dalam berkumpul bungkuk dalam
berhimpun), artinya bersama-sama dalam suka dan duka
Dalam hidup bermasyarakat, di dalam masyarakat
Sunda kita dituntut agar dapat mengerjakan sesuatu itu lebih

mementingkan masyarakat, bangsa, dan negara. Masalah yang
tidak kurang pentingnya dalam kehidupan masyarakat Sunda
ialah bahwa kita harus menjunjung tinggi keadilan dan
kebenaran.
“Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju
(memohon pertimbangan), artinya memohon pertimbangan
dan kebijaksanaan yang seadil adilnya, memohon ampun
Dari hubungan antara manusia dengan negara dan
bangsanya, kita dituntut agar taat dan patuh terhadap normanorma dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh agama atau
pemerintah. Sejatinya sebagai seorang warga negara yang
baik seorang individu merupakan pemimpin bagi dirinya
sendiri. Dalam hal ini segala pertimbangan dan kebijaksanaan
dalam kerangka prinsip kepemimpinan dan konsep diri,
terutama prinsip-prinsip kepemimpinan tradisional dapat
membantu kita bertransformasi menjadi individu yang
berkarakter. Disamping itu berkontribusi pada efektifitas
untuk memfasilitasi tujuan-tujuan kolektif. “The point of
leadership (challenging traditional leadership) is to help
others move toward common goals” (Milstead, 2004, hlm. 8).
Kesimpulan
Dengan demikian keberadaan ungkapan-ungkapan
tradisional masyarakat Sunda sangatlah penting dilestarikan
sebagai kearifan lokal budaya. Baik itu dibiasakan dalam
kehidupan sehari-hari di rumah, maupun diinternalisasikan
dalam proses belajar mengajar di sekolah. Urgensi pemilihan
pendekatan etnopedagogik dalam melestarikan ungkapanungkapan Sunda ini selayaknya mampu turut serta
menciptakan karakter positif meliputi kesederhanaan,
kekuatan solidaritas sosial, kerendahan hati, adil dan
berimbang, serta budaya musyawarah yang mulai luntur oleh
liberalisasi demokrasi dewasa ini.

Disamping itu manusia dan kebudayaan harus
berimbang. Sebagaimana dikemukakan Alwasilah (2006, hlm.
19) selain pemahaman objektif yang diperoleh lewat
pengamatan (explicit knowledge), masyarakat Sunda juga
semestinya lebih banyak memiliki tacit knowledge, dengan
parameter perasaan dan pemahaman terhadap khazanah
budaya terutama pandangan hidup orang Sunda sendiri yang
dikristalisasi menjadi beberapa idiomatik, ungkapan, atau
tritangtu yang selalu membentuk pola hubungan kausalitas
yang membentuk kesatuan kualitas.
Daftar Pustaka
Alwasilah, C. A. (2006). Pokoknya Sunda Interpretasi Untuk
Aksi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Darmayanti, T. E. (2016). The Ancestral Heritage: Sundanese
Traditional Houses Of Kampung Naga, West Java,
Indonesia. MATEC Web of Conferences. 66 (6). DOI:
10.1051/matecconf/20166600108.
Flynn, T. (2005). Philosophy as A Way of Life. Philosophy
and Social Criticism. Vol. 31(5). Hlm. 609-622.
[Online] Tersedia: http://www.sagepublication.com
(diakses pada 27 September 2016).
Juul, S. (2010). Solidarity and Social Cohesion in Late
Modernity: A Question of Recognition, Justice, and
Judgement in Situation. European Journal of Social
Theory. Vol. 13(2). Hlm. 235-269. [Online] Tersedia:
est.sagepub.com (diakses pada 27 September 2016).
Kaelan. (2013). Negara Kebangsaan Pancasila. Sleman:
Penerbit Paradigma.
Landemore, H., dan Page, S. E. (2015). Deliberation and
Agreement: Problem Solving, Prediction, and Positive

Dissensus. Journal of Politics, Philosophy, and
Economics. Vol. 13(3). Hlm. 229-254.
Milstead, J.A. (2004). Challenging Five Traditional
Leadership Principles. Journal of Policy, Politics, and
Nursing Practice. Vol. 5(1). Hlm. 5-9. Sage
Publications.
Nelson, P.S., dan Grimes, P.W. (1998). The Social Issues
Pedagogy VS. The Traditional Principles of
Economics: An Empirical Examination. The American
Economist Journal. Vol. 42(1). Hlm. 56-64. Tersedia:
JSTOR (diakses pada 27 September 2016).
Ningrum, E. (2012). Masyarakat Tradisional Kampung Naga
Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Mimbar. Vol.
XXVIII(1). Hlm. 47-54.
Sudaryat, Y. (2014). The Interpretation of Sundanese
Educational Philosophy in Traditional Idiomatic
Expression. EDUCARE: International Journal for
Educational Studies. Vol. 6(2). Hlm. 119-127.
Sumardjo, J. (2011). Pola Rasionalitas Budaya. Bandung:
Penerbit Kelir
Suradisastra, K. (2008). Farmer’s Institutional Empowerment
Strategy. Journal Forum Penelitian Agro Ekonomi.
Vol. 26(2). Hlm. 82-91.
Suryani, E. (2011). Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia.
Sya, A. (2014). Kontribusi Nilai-Nilai Tradisi Sunda dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa Indonesia di Era
Globalisasi. Prosiding The 4th International
Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity,
and Future”. Bandung: Universitas BSI Bandung.

Warnke, G. (2000). Feminism and Democratic Deliberation.
Journal of Philosophy and Sodial Criticism. Vol.
26(3). Hlm. 61-74. Tersedia: http://sagepub.com.
(Diakses pada 24 September 2016)
Zuriah, N. (2012).
Kajian Etnopedagogi Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa di Perguruan Tinggi
Muhammadiyah. Jurnal Humanity Vol. 8 (1), hlm.
170-185. Tersedia:http://ejournal.umm.ac.id/index.php
(Diakses pada 23 September 2016)