Pemanfaatan Ikan Koan sebagai Pengendali

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH EKOLOGI PERAIRAN

PEMANFAATAN IKAN KOAN (Ctenopharyngodon idella ) SEBAGAI
PENGENDALI POPULASI ECENG GONDOK (Eichornia crassipes)

Oleh :
Taufiq Ahmad Romdoni
NIM. H1G014034

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2015

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Perairan memiliki potensi dan peranan yang cukup besar bagi keberlangsungan

kehidupan makhluk hidup. Fungsi dan peranan perairan yang sering dimanfaatkan oleh
manusia diantaranya adalah sebagai sumberdaya air, sumberdaya pangan, kegiatan
perikanan, transportasi, dan pariwisata. Namun perairan tidak luput dari permasalahan
seperti menurunnya kualitas perairan. Salah satu penyebab menurunnya kualitas suatu
perairan ialah peristiwa peledakan populasi (blooming) dari spesies gulma air.
Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan salah satu gulma di suatu perairan.
Eceng gondok memiliki pertumbuhan yang cepat, oleh sebab itu eceng gondok dapat
menutupi permukaan air dan menimbulkan persoalan lingkungan. Kecepatan tumbuh dari
Eceng Gondok yang tinggi menyebabkan tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang
dapat merusak perairan (Juwitanti, Ain, dan Soedarsono, 2013). Tertutupnya permukaan
air oleh eceng gondok dapat menyebabkan penetrasi cahaya berkurang. Adanya gulma air
di suatu perairan merupakan bagian dari masalah yang perlu penanganan dalam
manajemen sumberdaya perairan (Bhukaswan, 1980). Menurut Gerhard (2013), kegiatan
masyarakat yang membuang limbah organik di suatu perairan menyebabkan adanya
eutrofikasi. Dengan adanya eutrofikasi sehingga terjadi pengayaan nutrien dalam air
sehingga pertumbuhan tanaman air Eceng Gondok sangat cepat. Setelah tanaman ini mati
maka akan tenggelam dan mengendap menjadi lumpur atau sedimentasi. Gulma air di
perairan tergenang dapat menyebabkan menurunnya produktivitas perairan, mengganggu
estetika perairan, menghalangi jalur pelayaran, menghalangi operasi penangkapan ikan dan
berkurangnya volume air sebagai akibat transpirasi (Shofawie, 1990). Kerugian yang

ditimbulkan oleh eceng gondok pada suatu perairan, maka harus diupayakan suatu
pengendalian. Pengendalian yang tepat untuk mengatasi blooming Eceng Gondok adalah
pengendalian secara biologi yaitu menggunakan mahkluk hidup.
Metode pengendalian gulma air secara biologi dengan menggunakan ikan koan telah
menjadi perhatian para ahli biologi dan masyarakat, karena kemampuan ikan koan yang
dapat mengendalikan gulma air dibandingkan dengan ikan herbivor lainnya. Pengendalian
secara biologi dianggap lebih mendekati proses alami (Shofawie, 1990). Selain itu,
pengendalian Eceng Gondok secara biologis menggunakan ikan Koan merupakan cara
yang paling efektif (Krismono dkk, 2010). Pengendalian Eceng Gondok menggunakan ikan

Koan merupakan hal yang berguna bagi ikan Koan karena berpotensi untuk dijadikan
pakan ikan herbivor (Babo, Sampekalo, dan Pangkey, 2013). Di Danau Kerinci Propinsi
Jambi pada tahun 1995 penebaran dilakukan dengan tujuan pengendalian/pembasmian
gulma air eceng gondok dengan cara melepaskan sekitar 48.500 benih ikan grass carp/ikan
koan ukuran 5 – 8 cm ke beberapa daerah pinggiran danau selama tiga tahun berturut-turut.
Benih yang direstocking berasal dari hasil pemijahan hatchery BBI Sentral di Kerinci.
Pada tahun 1998 populasi eceng gondok di Danau Kerinci berkurang secara nyata (Asyari,
2011).

1.2. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui apakah ikan Koan dapat menanggulangi
permasalahan peledakan populasi tumbuhan Eceng Gondok pada suatu perairan.

II.

2.1.

ISI

Ikan Koan

Klasifikasi Ikan Koan menurut Saanin (1968) ialah sebagai berikut:
Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata


Kelas

: Pisces

Subkelas

: Teleostei

Ordo

: Ostariophysi

Subordo

: Cyprinoidea

Familia

: Cyprinidae


Subfamilia

: Cyprininae

Genus

: Ctenopharyngodon

Spesies

: Ctenopharyngodon idella

Gambar 1. Morfologi Ikan Koan (Resmikasari, 2008)
Ikan koan (Ctenopharyngodon idella ) atau grass carp berasal dari Cina bagian timur,
didatangkan pertama ke Indonesia pada tahun 1915 di Sumatera dan ke Jawa pada tahun
1949. Merupakan ikan herbivora yang rakus pemakan tumbuhan air seperti Hydrilla,
Salvinia dan rumput-rumputan, sehingga ikan ini dapat sebagai pengendali gulma baik di
kolam maupun di perairan umum. Tiga jenis ikan dari famili Salmonidae (trout dan
salmon) yaitu Salmo trutta , Salmo salar dan Salmo gairdneri yang diintroduksi dari negeri
Belanda gagal berkembang setelah diintroduksikan, karena tidak cocok dengan iklim

daerah tropik. Tiga jenis ikan ditujukan untuk kegiatan memancing yang terkenal di
kawasan beriklim sedang (Asyari, 2011).

Ikan Koan adalah ikan liar penghuni lapisan permukaan perairan tawar terutama di
sungai-sungai besar yang berarus dan danau yang kaya akan vegetasi air. Selain itu, ikan
Koan dapat hidup di perairan payau dengan kadar garam 7 ppt. Ikan koan hidup dan
berkembangbiak di wilayah perairan beriklim sedang sampai dingin. Di wilayah iklim
panas, kan koan hidup sampai temperatur 360 C. Ikan ini mempunyai gerakan yang lincah
dan berenang dengan cepat, bahkan jika diganggu dapat meluncur dan meloncat keluar
kolam (Wahyuni, 2001).
Aktivitas makan ikan koan dimulai pada umur 3-4 hari setelah menetas, pada ini
larva ikan koan memakan protozoa dan rotifera. Setelah 2 minggu menetas ukuran larva
mencapai 12-17 mm dan mulai memakan makanan yang lebih besar diantaranya larva
insekta dan pada umur 3 minggu ikan koan mulai memakan tumbuhan, diantaranya alga
dan makrofita, dan secara nyata terjadi pada 1-1,5 bulan setelah penetasan. Ikan yang
termasuk herbivora ini mempunyai usus yang pendek yaitu 2-3 kali panjang badannya,
sehingga 50 % dari bahan makanan yang dicerna akan keluar dalam keadaan tidak tercerna
secara sempurna. Bahan kasar sisa pencernaan tersebut merupakan pupuk organik yang
dapat merangsang pertumbuhan fitoplankton, sehingga dapat menyebabkan blooming
(Resmikasari, 2008).


2.2. Eceng Gondok
Menurut Pancho dan Soerjani (1978), tumbuhan eceng gondok diklasifikasikan
sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledone
Ordo : Farinosae
Famili : Pontederiaceae
Genus : Eichhornia
Spesies : Eichhornia crassipes
Eceng gondok (Eichornia crassipes) dikenal dari bunganya yang ungu sangat
popular sebagai tanaman hias di kolam. Eceng gondok tumbuh sangat cepat, dapat berlipat
dua kali dalam 12 hari. Tumbuhan ini mendominasi saluran, sungai, danau, dan waduk
sehingga mengarah pada perubahan ekosistem suatu perairan, yang pada gilirannya
memengaruhi antara lain kegiatan perikanan, navigasi, dan pariwisata (rekreasi).
Tumbuhan ini berasal dari Amerika Selatan. Tumbuhan ini sekarang ditemukan di lebih 50
negara pada lima benua. Lowe et al. (2000) mencatat tumbuhan ini termasuk kedalam

kelompok 100 spesies asing invasif yang sangat merusak. Contoh eceng gondok sebagai
gulma terjadi antara lain di Rawa Pening dan Danau Limboto. Dampak negatif eceng

gondok ialah menghambat gerak perahu (transportasi), menghalangi sinar matahari masuk
ke kolom air di bawahnya, dan mengurangi keanekaragaman hayati (Rahardjo, 2011).

Gambar 2. Tumbuhan Eceng Gondok (Resmikasari, 2008)
Tanaman ini dapat berkembang biak dengan cepat di alam bebas dengan sinar
matahari yang kuat. Proses pertumbuhannya dimulai pada gumpalan tanah humus yang
mengapung. Stolon kemudian tumbuh diatasnya dengan akar baru yang melindungi
tanaman dari tenggelam. Eceng gondok menyebar secara cepat dengan stolon dan tetap
mengapung karena banyaknya ruang udara pada tanaman tersebut dan hidup di tempat
tergenang. Tanaman ini tidak tahan terhadap kondisi salinitas tinggi. Pada air hangat yang
kaya akan nutrien/unsur hara, eceng gondok mampu memperbanyak diri 8-10 individu/hari
(Resmikasari, 2008).
Eceng gondok memiliki toleransi dan daya adaptasi terbesar terhadap pengaruh
faktor-faktor lingkungan dibanding dengan tumbuhan air lainnya. Pertumbuhan eceng
gondok dikendalikan oleh pH, suhu, kedalaman air, kekeringan, aliran air, gelombang, dan
kompetesi dengan tumbuhan air lain. Suhu optimum untuk eceng gondok adalah 27-30 0C.
Eceng gondok tidak tumbuh pada suhu di bawah 10 0C atau di atas 40 0C. Kemudian
derajat keasaman yang baik bagi eceng gondok yaitu 4,5-10,5. Kemudian kedalaman bagi
pertumbuhan eceng gondok berada pada kedalaman 0-30 cm yang tumbuh pada perairan
dangkal sehingga dapat mengapung dengan akar yang mencapai dasar perairan yang

berlumpur (Wahyuni, 2011).

2.3. Pengendalian Populasi Eceng Gondok
Keberadaan eceng gondok sebagai gulma dapat merugikan suatu perairan.
Pertumbuhan Eceng gondok yang sangat cepat dapat menyebabkan ledakan populasi eceng
gondok yang tidak terkendali. Adanya gulma air seperti eceng gondok dapat mengganggu
transportasi air, menurunnya hasil tangkapan ikan, mempercepat pendangkalan karena
evaporasi (Krismono dkk, 2010).
Menurut Resmikasari (2008), pengendalian gulma air dapat diakukan dengan upaya
pengedalian sebagai berikut:
a.

Pengendalian Mekanis
Pengendalian secara mekanis merupakan pengangkatan gulma air secara massal ke

tepi perairan. Pada perairan luas seperti danau, pengendalian secara mekanis tidak
memberikan pengaruh residu, bahkan dapat merangsang kecepatan tumbuh kembali, oleh
sebab itu pengendalian mekanis harus secara terus menerus dilakukan, karena dengan
pengurangan kepadatan dengan


pengendalian ini secara tidak langsung memberikan

kesempatan gulma untuk tumbuh kembali secara cepat. Umumnya pengendalian secara
mekanis pada perairan luas bersifat tidak efektif. Hal ini dikarenakan biaya yang
diperlukan cukup banyak akan tetapi hasil yang diperoleh hanya bersifat sementara. Akan
tetapi bagi perairan yang tidak luas seperti kolam, pengendalian ini akan bersifat lebih
efektif.
b.

Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi dapat memunculkan pengaruh sampingan yang

merugikan, yaitu pencemaran lingkungan. Pencemaran terjadi akibat adanya bahan
beracun dan berbahaya dalam limbah lepas yang masuk ke lingkungan perairan sehingga
terjadi perubahan kualitas lingkungan perairan. Bahan pencemar yang masuk ke dalam
lingkungan akan bereaksi dengan satu atau lebih komponen lingkungan. Apabila bahan
pencemar berakumulasi secara terus menerus dalam lingkungan dan lingkungan tersebut
tidak mempunyai kemampuan alami untuk menetralisir, maka akan mengakibatkan
perubahan kualitas air. Selain dapat mematikan gulma, bahan kimia tersebut juga dapat
mematikan atau mengurangi jasad-jasad renik makanan ikan dalam perairan, serta dapat

membahayakan tanaman budidaya serta masyarakat dan hewan peliharaan maupun satwa
liar yang menggunakan air bagi keperluan hidupnya.
c.

Pengendalian Biologi
Pengendalian secara biologi adalah pengendalian dengan menggunakan mahluk

hidup, diantaranya serangga, bakteri, jamur, virus dan ikan sebagai sarana pengendalian.

Pengendalian ini merupakan penghambatan atau pengurangan populasi terhadap suatu
organisme oleh organisme lain. Pada prinsipnya pengendalian pertumbuhan menjadi tujuan
pengendalian, yaitu dikendalikannya blooming gulma air. Beberapa syarat bagi
pengendalian gulma secara biologi adalah: (1) dapat memakan beberapa jenis tumbuhan,
(2) daya pengendaliannya tinggi, (3) tidak menjadi kompetisi bagi organisme lain di
perairan, (4) mudah dikendalikan, (5) tidak menjadi hama, dan (6) secara ekonomis dapat
menambah produktivitas perairan.
d.

Pengendalian secara bersamaan
Pengendalian secara bersamaan ini adalah pengendalian dengan secara mekanis,

kimiawi dan biologi. Pengendalian ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang dapat
memberikan pengaruh residu karena dari ketiga cara pengendalian yaitu mekanis, kimiawi
dan biologi tidak dapat dipastikan keunggulannya dalam pengendalian gulma air. Cara
yang baik dalam pengendalian blooming alga/gulma air adalah cara pengendalian menurut
keperluannya. Untuk menekan agar populasi senantiasa berada dibawah ambang ekonomi,
maka upaya yang dilakukan adalah upaya yang dilakukan agar hasilnya berada dibawah
batas kerugian yang nyata secara ekonomis sehingga kelestarian perairan dapat dijaga.
Pengendalian

secara

biologi

merupakan

pengendalian

yang

tepat

untuk

menanggulangi ledakan populasi Eceng Gondok. Penggunaan ikan untuk mengendalikan
pertumbuhan gulma air pada umumnya menggunakan ikan-ikan pemakan tumbuhan
(herbivor) dan ikan pemakan segala (omnivor) (Wahyuni, 2011). Menurut Shofawie
(1990), metode pengendalian gulma air secara biologi dengan menggunakan ikan koan
telah menjadi perhatian para ahli biologi dan masyarakat, karena kemampuan ikan koan
yang dapat mengendalikan gulma air dibandingkan dengan ikan herbivor lainnya.
Pengedalian secara biologi dianggap lebih mendekati proses alami.
Kemampuan ikan Koan dalam menanggulangi blooming tumbuhan air telah banyak
diteliti. Berdasarkan Chaniago dalam Asyari (2011), penggunaan ikan Koan untuk
menanggulangi ledakan populasi Eceng Gondok pernah dilakukan di Danau Kerinci
Propinsi Jambi pada tahun 1995. Penebaran dilakukan dengan melepaskan sekitar 48.500
benih ikan grass carp/ikan koan ukuran 5 – 8 cm ke beberapa daerah pinggiran danau
selama tiga tahun berturut-turut. Benih yang direstocking berasal dari hasil pemijahan
hatchery BBI Sentral di Kerinci. Pada tahun 1998 populasi eceng gondok di Danau Kerinci
berkurang secara nyata.
Berdasarkan evaluasi metode pengendalian eceng gondok secara biologis dengan
ikan Koan di Mesir, menganjurkan penebaran ikan koan lebih besar dari 100 kg/ha dengan

ukuran ikan paling kecil sekitar 10-20 gr/ekor. Ikan Koan yang memakan eceng gondok
sekresinya akan mempengaruhi kualitas air karena sebagai ikan herbivora pada umumnya
akan mengekskresikan 43% dari sisa makanannyake perairan, tetapi ekskresi ikan Koan
mencapai 74% (Krismono, 2010).
Kurangnya oksigen terlarut akibat penutupan eceng gondok disebabkan ikan koan
memakan eceng gondok. Ketika eceng gondok membusuk, kandungan oksigen dalam air
menurun dengan cepat karena oksigen diperlukan oleh mikroorganisme dalam proses
dekomposisi sehingga mengakibatkan eceng gondok mati dan akan tenggelam ke dasar
perairan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi densitas eceng gondok maka akan
semakin rendah kandungan oksigen terlarutnya (Resmikasari, 2008).

Gambar 3. Ikan Koan memakan akar eceng gondok (Soerjani dalam Resmikasari, 2008)
Ikan Koan sebagai ikan herbivor memiliki kriteria yang memenuhi syarat sebagai
pengendali gulma air. Ikan tersebut memiliki kelebihan pada kemampuan mengkonsumsi
berbagai jenis tumbuhan air, daya pengendalian yang tinggi, dan secara ekonomis bisa
menambah produksi ikan. Ikan koan memakan akar eceng gondok, sehingga keseimbangan
gulma air itu di bagian permukaan hilang, daunnya jatuh kepermukaan air dan terjadi
pembusukan (dekomposisi) dan kemudian dimakan ikan (Asyari, 2011). Akar Eceng
Gondok mengandung serat kasar sebesar 16, 74 %. Selain memiliki serat kasar yang tinggi,
sistem perakaran Eceng Gondok biasanya lebih dari 50% dari total biomassa Eceng
Gondok (Juwitanti, Ain, dan Soedarsono, 2013).
Ikan koan biasanya memakan gulma air pada bagian permukaan dan dasar perairan.
Kemampuan ikan koan di dalam memakan dan memanfaatkan tumbuhan air bergantung

pada kedua ukuran yaitu ukuran tumbuhan air dan ikan koan itu sendiri. Pada ikan koan
kecil dengan panjang 6-15 cm yang dibiakkan pada suhu 21-260 C memakan tumbuhan air
6-10 % dari berat badannya per hari, ikan koan dengan berat 1 kg dapat memakan 0.8-1.5
kg tumbuhan air per harinya dan ikan koan dengan berat 1 kg atau lebih dapat memakan
seluruh bagian eceng gondok sedangkan ikan dengan ukuran yang lebih kecil hanya dapat
memakan bagian akar eceng gondoknya. Disamping kemampuannya untuk mengendalikan
gulma air, ikan ini juga mempunyai nilai penting dalam aspek budidaya ikan baik langsung
maupun tidak langsung. Adanya ikan ini dalam suatu perairan juga dapat meningkatkan
produksi ikan secara total, karena kotoran ini dapat menjadi pupuk (Resmikasari, 2008).

III.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini adalah penggunaan ikan Koan sebagai ikan herbivor
yang dapat memakan akar tumbuhan Eceng Gondok sehingga dapat digunakan sebagai
pengendali populasi Eceng Gondok sebagai gulma air pada suatu perairan.

DAFTAR PUSTAKA
Asyari. 2011. Dampak Introduksi dan Penebaran Ikan Terhadap Populasi Speises Ikan Asli
di Perairan Umum Daratan. Prosiding, dalam Prosiding Forum Nasional Pemacu
Sumberdaya Ikan III.
Bambo, Sampekalo, dan Pangkey. 2013. Pengaruh beberapa Jenis Pakan Hijauan terhadap
Pertumbuhan Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella ). Jurnal. Budidaya Perairan. 1
(3): 1-6.
Gerhard, Indah Susilowati. 2013. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Rawa Pening dan
Strategi Pelestarian di Kabupaten Semarang. Jurnal. Diponegoro Journal of
Economics. 2 (2): 1-9.
Juwitanti, Eko., Ain, Churun., dan Soerdarsono, Prijadi. 2013. Kandungan Nitrat dan
Fosfat Air pada Proses Pembusukan Eceng Gondok (Eichornia crassipes). Jurnal.
Diponegoro Journal of Maquares. 2 (4): 46-52.
Krismono dkk. 2010. Pengaruh Padat Tebar Ikan Koan (Ctenopharyngodon idella )
terhadap Laju Perambahan dan Luas Tutupan Eceng Gondok (Eichornia crassipes)
di Danau Limboto, Gorontalo. Jurnal. Berita Biologi. 10 (3): 369-374.
Lowe S., M. Browne, S. Boudjelas, M. De Poorter. 2000. 100 of the World’s Worst
Invasive Alien Species a Selection from the Global Invasive Species Database.
IUCN, Switzerland, 12 p.
Pancho, J.V. dan M. Soerjani. 1978. Aquatic Weeds of Southest Asia. National Perspectives
for Developing Countries. NAS. Washington DC.
Rahardjo, M.F. 2011. Spesies Akuatik Asing Invasif. Prosiding, dalam Prosiding Forum
Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III.
Resmikasari, Yuni. 2008. Tingkat Kemampuan Ikan Koan (Ctenopharygodon idella Val.)
Memakan Gulma Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms.). Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci identifikasi ikan Jilid I dan II. Bina Cipta.
Bandung. Halaman 250.
Shofawie, Achmad Tantan. 1990. Studi tentang Kemampuan Konsumsi Harian Ikan Koan
(Ctenopharyngodon idella ) terhadap Ganggang (Hydrilla verticillata ). Karya Ilmiah.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wahyuni, Wida Widiyanti. 2001. Pertumbuhan Ikan Koan (Ctenopharygadon idella CV)
pada Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.