korelasi tingkat pendidikan orang tua da (2)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan buah cinta dari orang tua yang dengan adanya anak
maka orang tua mempunyai keinginan dan harapan yang besar kepada anak atau
buah hati untuk bisa melanjutkan dan meneruskan cita-cita dari para orang tua,
sehingga anak adalah investasi masa depan bagi orang tua, anak sebagai pelanjut
keturunan yang disebabkan oleh naluri (insting) makhluk manusia untuk
melanjutkan keberadaan dan anak akan meneruskan atau menggantikan cita-cita
dan ide-ide dari orang tua. Anak adalah orang terdekat dengan orang tua sehingga
dapat mewarisi pandangan-pandangan dan ide-ide atau cita-cita orang tua.
Sehingga orang tua akan melakukan suatu usaha untuk memberikan yang terbaik
untuk anak dengan fasilitas yang menunjang tumbuh kembangnya anak baik
secara materi atau fisik. Salah satu fasilitas tersebut adalah pendidikan, mereka
akan memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya, bagi orang tua
pendidikan adalah yang utama sehingga mereka memilihkan sekolah-sekolah atau
lembaga pendidikan yang favorit yang paling bagus untuk anaknya.
Menurut Fatchul Mu’in (2013:372), “memberi makanan materi saja
tentunya tidak cukup karena mereka hanya akan menjadi manusia yang hanya
diatur oleh materi dan tidak dapat memahami bagaimana ide atau pandangan itu
hendak diwujudkan dalam kehidupannya, biasanya orang tua semacam itu adalah

mereka para pemikir dan intelektual, filsuf dan lain-lain”.

1

Para orang tua yang mempunyai pemikiran dan ide-ide untuk masa
yang akan datang dan mereka mempunyai pemikiran bagaimana cara untuk
mengembangkan dan merealisasikan ide tersebut sehingga bisa diturunkan kepada
anak. Para orang tua tersebut adalah orang tua yang berpikir dan intelektual
karena cara pandang mereka yang maju juga akan ditularkan kepada anak-anak
mereka. Anak-anak dan cucu mereka juga akan mewarisinya meskipun tidak
sepenuhnya atau tidak sehebat pemikiran orang tua itu.
Pada dasarnya para orang tua menginginkan anaknya tumbuh dan
berkembang menjadi anak yang baik, cerdas, terampil serta mereka mempunyai
harapan-harapan yang baik untuk anak-anaknya. Setiap orang tua berkeinginan
untuk mendidik anaknya secara baik dan berhasil. Sejak dari bayi anak sudah
dididik dengan cara yang baik dan benar, dihindarkan dari kesalahan baik dari
kesalahan dari orang tua atau keluarga ataupun dari lingkungan sekitar dimana
anak tinggal.
Menurut Ahmad Tama Nst, terkadang orang tua terlalu sibuk dengan
aktivitasnya, sehingga anak kurang dapat perhatian yang lebih dari orang tua

masing-masing. Karena orang tua sekarang kebanyakan hanya sibuk mencari uang
biar

bisa

memberikan

pendidikan

yang

terbaik

pada

anak-anak

(Medanbisnisdayli.com/2014/11/11). Orang tua mencoba sebisa mungkin untuk
memenuhi kebutuhan anak-anak mereka untuk memperoleh segala hal yang
terbaik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Usaha pemenuhan kebutuhan

tersebut menyebabkan para orang tua memaksakan diri untuk bekerja keras
sehingga menyita banyak waktu kebersamaan antara para orang tua dan anak.
2

Kesibukan orang tua menjadi penyebab utama kurangnya komunikasi di
keluarga. Seharusnya orang tua dapat dan harus meluangkan waktunya untuk
bercengkerama dengan anaknya, atau lebih ingin tahu tentang apa yang dilakukan
anak di sekolah (Medanbisnisdayli.com/2014/11/11). Hal tersebut menyebabkan
timbulnya rasa tidak bahagia karena para orang tua jarang bertemu dengan anakanak mereka, orang tua yang jarang ada waktu untuk anak pada saat di rumah
dapat menimbulkan kesenjangan antara orang tua dan anak.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang di dalamnya
terdapat beberapa orang yang disebut dengan anggota keluarga yaitu terdiri dari
orang tua dan anak bahkan ada juga nenek dan kakek. Keluarga terbentuk dengan
adanya ikatan perkawinan. Keluarga termasuk dalam pendidikan informal karena
dalam keluarga proses pendidikan akan diberikan untuk pertama kalinya kepada
anak baik pendidikan karakter, bahasa, berinteraksi dengan sesama anggota
keluarga.
Menurut Sarumpaet ( 1990:35), bahwa “pendidikan yang mula-mula
sekali kepada anak-anak harus diutamakan, pelajaran-pelajaran yang dipelajari
oleh anak itu selama tujuh tahun pertama dalam kehidupannya lebih banyak

sangkut pautnya dengan pembentukan tabiatnya daripada segala perkara yang
dipelajarinya pada tahun-tahun seterusnya”- Child Guidance halaman 193.
E.G.White dalam bukunya R.I. Sarumpaet ( Rahasia Menjemput Anak, 1990:35)
“di rumah tanggalah pendidikan anak harus dimulai, disinilah sekolah yang mulamula, disinilah dengan orang tuanya sebagai pengajarnya, ia harus memahami
pelajaran yang hendaknya menuntun dia seumur hidupnya, pelajaran tentang

3

penghargaan, penurutan, penghormatan, pengendalian diri”. Menurut Suhartin
(1990:8), bahwa “pendidikan dalam keluarga merupakan dasar, seperti juga dalam
membuat rumah, apabila dasar atau fondasinya kurang kuat, rumah itu akan
mudah rubuh atau tidak terwujud”. Demikian halnya dalam mendidik anak apabila
fondasinya kurang kuat akan berakibat fatal, apabila anak sudah besar nanti.
Anak akan belajar banyak hal yang terkait

dengan bahasa, interaksi bahkan

karakter di dalam keluarga. Pendidikan yang dilakukan di dalam keluarga disebut
dengan pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua, dibantu orang-orang
dewasa yang lain yang berada atau tinggal di dalam satu rumah. Pendidikan yang

dilakukan dalam keluarga itu sangat penting untuk anak sebelum memasuki dunia
sekolah dan sebelum anak berada di masyarakat.
Menurut Collete Dowling, seorang psikolog mengatakan, “kebebasan
dan kemandirian tidak bisa diminta dari orang lain, tapi harus dikembangkan
dengan susah payah dari dalam diri sendiri. Kemandirian merupakan suatu
kondisi mental yang penting (Fatchul Mu’in, 2013:385), “dengan adanya
kemandirian manusia akan merasa bahwa dirinya bertangung jawab terhadap
dirinya dan memahami bahwa untuk mendapatkan sesuatu dibutuhkan proses”.
Kemandirian adalah karakter yang penting bagi anak, kemandirian akan
membuat anak menjadi siap dalam melakukan semua kegiatannya sendiri
sehingga ketika mereka akan melakukan kegiatan tersebut mereka melakukan
tanpa bantuan orang lain, merasa percaya diri, dan kuat ketika anak sudah
menginjak dewasa. Tidak adanya sikap atau karakter mandiri tersebut dipengaruhi
beberapa faktor diantaranya anak tidak diajarkan karakter kemandirian dari kecil
oleh orang tua, anak selalu diberikan fasilitas-fasilitas yang membuat anak
menjadi malas untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas di dalam keluarga,

4

melihat perilaku orang tua di dalam keluarga tersebut sehingga anak mencontoh

perilaku dari orang tua.
Menurut Charles Schaefer dalam bukunya Maria Etty yang berjudul
Menyiapkan Masa Depan Anak (2003:62) mengungkapkan kesanggupan menjadi
manusia mandiri sesungguhnya merupakan upaya selama bertahun-tahun.
“Pemberian kebebasan yang lebih besar pada anak harus merupakan proses yang
bertahap dan berkesinambungan”.
Kutipan

tersebut

mengungkapkan

bahwa

untuk

menanamkan

kemandirian pada anak itu dilakukan melalui proses yang sangat lama dan tidak
hanya cukup satu kali atau dua kali saja tetapi dilakukan secara terus menerus dan

bertahap. Semakin bertambah umur anak tersebut menyebabkan perilaku
ketergantungan anak akan semakin berkurang, misalnya anak yang sudah
memasuki sekolah dasar (SD) sikap ketergantungan anak sudah berkurang
contohnya dalam hal mandi. Anak yang sudah memasuki SD sudah bisa mandi
sendiri dan tidak didampingi oleh ibunya. Contoh lainnya dalam hal makan anak
SD sudah bisa makan sendiri bahkan mengambil makanan sendiri sudah tidak
minta untuk diambilkan makan dan minta disuapi oleh ibunya. Hal tersebut jauh
berbeda jika dibandingkan dengan anak pada saat TK, pada masa usia TK anak
masih banyak bergantung pada orang tua, baik saat mandi anak masih dimandikan
oleh ibu, dan saat makan anak masih disuapi dan diambilkan makanannya.
Maria Etty (2003:62), mengungkapkan “untuk mempertinggi derajat
kemandirian seorang anak memang membutuhkan waktu, semakin bertambahnya
usia seorang anak, semakin bertambahnya pula kebebasan yang ia butuhkan,

5

dalam hal ini orang tua perlu menyadari situasi anak: berapa usianya serta berapa
tingkat kematangannya”.
Para orang tua sudah tidak pantas lagi mengatur anak yang sudah SMA misal
dalam hal berpakaian seperti mengatur anak SD. Apabila hal tersebut terjadi maka

akan menyebabkan anak menjadi kurang mandiri, itu hanya contoh dalam hal
memakai pakaian atau berpakaian belum dalam hal yang lainnya.
Menurut Annisa Mardiana (2014), dalam skripsinya yang berjudul
“Hubungan Pelaksanaan Kemandirian Anak Dalam Keluarga Dengan Pelaksanaan
Kemandirian Anak Di Sekolah Kelompok A Paud Pertiwi 1 Kota Bengkulu”
bahwa mengembangkan perilaku kemandirian pada anak harus dimulai dari
lingkungan rumah, peran orang tua dalam mendidik anak sangat penting bagi
pengembangan kemandirian anak karena orang tua sosok pribadi yang akan ditiru
anak, orangtua lah yang akan menjadi model dalam menuju pembentukan karakter
anak”.
Maksudnya, orang tua adalah model atau figur yang akan dicontoh oleh anak
dalam hal apapun itu, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua selama
di keluarga akan dilihat dan hal tersebut akan ditiru oleh anak bahkan anak akan
melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya di rumah akan
dibawa anak sampai ke sekolah atau di luar rumah.
“Demi kemandirian anak, para orang tua harus bersikap bijaksana, usahakan para
orang tua jangan terlalu melindungi anak secara berlebihan karena hal itu akan
membuat anak kurang bahkan tidak berani bertindak sendiri, anak cenderung akan
melihat banyak hal berdasarkan kaca mata orang tuanya saja” (Maria Etty,
2003:63).

Schaefer dalam bukunya Maria Etty (Menyiapkan Masa Depan Anak,
2003:63), menyebutkan “pentingnya menggunakan hukum struktur yang
6

berkurang dalam hal pendidikan anak”. Artinya semakin bertambah umur seorang
anak, maka para orang tua sudah harus mengurangi aturan-aturan yang diwajibkan
dan batasan-batasan yang harus dilakukan pada anak. Anak akan senang jika
orang tua sudah tidak lagi membatasi gerak pada anak karena anak akan merasa
dipercaya oleh orang tua. Anak perlu diberikan sedikit kebebasan dari orang tua
mulai dari mandi sendiri, makan sendiri, tidur sendiri berpergian jauh sendiri
tanpa dampingan orang tua.
Menurut seorang pakar psikoanalisa, Alfred Adler dalam bukunya
Maria Etty (Menyiapkan Masa Depan Anak, 2003:63), “sebenarnya manusia lahir
dengan perasaan kecil atau inferior”. Pengembangan kemandirian pada anak
diawali dari dalam keluarga khususnya di rumah maka peran orang tua sangat
penting dalam pendidikan dalam keluarga atau informal. Salah satu peran orang
tua adalah memberikan pendidikan atau mengembangkan perilaku kemandirian
anak dalam keluarga karena orang tua adalah sosok atau pribadi yang akan ditiru
oleh anak. Orang tua akan dijadikan model oleh anak, sebagian besar orang tua
menyuruh anak-anaknya untuk menuruti semua perintah dari orang tuanya tanpa

para orang tua memberikan contoh terlebih dahulu kepada anak dan para orang
tua tidak menyadari bahwa anak akan melihat semua yang dilakukan oleh orang
tua dan meniru apapun hal yang dilakukan oleh orang tuanya. Penanaman
kemandirian dan pengembangan kemandirian anak dalam keluarga juga
didasarkan pada pola asuh dari orang tua. Pola asuh tersebut dipengaruhi oleh
orang tua dimana antara orang tua yang satu dengan yang lainnya akan berbeda
dalam mendidik anak di keluarga karena hal ini juga dipengaruhi oleh

7

pengetahuan orang tua terkait dengan pola asuh anak yang ditanamkan dalam
keluarga orang tua tersebut.
Menurut Sugihartono ( 2013:31), “Pola asuh adalah pola perilaku yang
digunakan untuk berhubungan dengan anak-anak. Pola asuh ini terdapat tiga
macam pola asuh orang tua, yaitu otoriter, permisif, dan autoritatif. Pola asuh
otoriter adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orang tua
kepada anak untuk mendapatkan ketaatan atau kepatuhan. Orang tua bersikap
tegas, suka menghukum, dan cenderung mengekang keinginan anak. Hal ini dapat
menyebabkan anak kurang inisiatif, cenderung ragu, dan mudah gugup. Oleh
karena sering mendapat hukuman anak menjadi tidak disiplin dan nakal. Pola asuh

permisif merupakan bentuk pengasuhan dimana orang tua memberi kebebasan
sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya, anak tidak dituntut untuk
bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua. Sementara itu pola
asuh autoritatif bercirikan adanya hak dan kewajiban orang tua dan anak adalah
sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab, dan
menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin”.
Beberapa jenis pola asuh orang tua kepada anak diterapkan oleh orang
tua sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan para orang tua
dan tingkat pendidikan orang tua. Salah satu faktor dalam mendidik dan
memberikan pola asuh pada anak salah satunya yaitu latar belakang pendidikan
orang tua. Tingkat pendidikan orang tua akan memberikan pola pikir dan orientasi
pendidikan yang akan diberikan kepada anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan
orang tua akan mempengaruhi pola pikir mereka dalam mendidik dan
memberikan pengasuhan kepada anak-anak mereka.
Bertambah usia seorang anak akan menyebabkan berkurangnya
pembatasan-pembatasan terhadap diri anak. Mendidik anak sesungguhnya
menghantar mereka menjadi pribadi yang mandiri. Akan tetapi masih ada
8

sebagian para orang tua yang tidak bisa membaca atau buta huruf, yang cenderung
mendidik anak secara naluriah dan tradisional (Maria Etty, 2003:62).
Pola asuh orang tua yang ditanamkan dalam keluarga sangat penting dalam
membekali perilaku anak yang akan dibawa ketika anak dewasa dan memasuki
dunia di mana anak tidak akan selalu didampingi oleh orang tua. Anak akan
menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapinya setelah dewasa tanpa
bantuan orang tua sehingga hal tersebut akan memperlihatkan perbedaan antara
anak yang tidak diajarkan kemandirian dalam keluarga dengan anak yang
diajarkan tentang kemandirian dalam keluarga. Pada kenyataannya di zaman
modern seperti sekarang banyak orang tua yang sibuk dengan urusan ataupun
pekerjaan sehingga para orang tua meninggalkan anak-anaknya di rumah dengan
diberikan fasilitas yang ada di rumah seperti gadget, televisi, PSP, komputer dan
lain-lain tanpa memberikan pendidikan untuk anak-anak dan menanamkan
kemandirian di dalam keluarga atau di rumah. Para orang tua lebih memanjakan
anak-anaknya secara berlebihan dan tidak memberikan anak tanggung jawab
dengan perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut. Anak yang sudah
berumur 10 tahun banyak dijumpai masih manja terhadap orang tuanya dengan
minta diambilkan makanan pada saat makan, minta disuapi oleh orang tua pada
waktu makan, bahkan pada saat tidur masih tidur bersama orang tua. Hal ini
terjadi karena anak tidak dibiasakan untuk melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan kepentingan atau kebutuhan anak secara mandiri dari sejak kecil,
kebiasaan ini bisa saja akan berlanjut sampai nanti anak sudah dewasa.

9

Keadaan seperti di atas menunjukkan bahwa kemandirian anak dalam
keluarga sangat penting dan peran orang tua dalam proses menanamkan
kemandirian anak sangat dibutuhkan. Anak-anak pada saat ini masih ada yang
belum memiliki kemandirian dalam melakukan kegiatan di dalam keluarga,
seperti dalam hal membereskan kamar tidur, dalam hal membantu orang tua dalam
merapikan dan membersihkan rumah, dalam hal makan dan mandi semua hal
tersebut masih diperintah oleh orang tua padahal tersebut tanpa sadar merupakan
kepentingan mereka.
Berdasarkan latar belakang di atas serta melihat permasalahan yang ada
maka penulis ingin mengangkat masalah-masalah tersebut ke dalam skripsi yang
berjudul “ Korelasi Tingkat Pendidikan Orang Tua Dan Pola Asuh Terhadap
Kemandirian Anak Dalam Keluarga”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat
diidentifikasikan masalah seperti berikut :
1. Para orang tua yang hanya memperhatikan kebutuhan fisik atau materi
untuk perkembangan dan kebutuhan anaknya.
2. Orang tua yang tidak memberikan contoh ataupun model yang baik
dalam berperilaku dalam keluarga.
3. Masih ada sebagian para orang tua yang buta huruf atau tidak bisa
membaca sehingga mendidik anak dengan cara.

10

C. Batasan Masalah
Mengingat keterbatasan kemampuan peneliti, maka peneliti membatasi
permasalahan ini sebagai berikut:
1. Ada atau tidak hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola asuh
orang tua.
2. Ada atau tidak hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan
kemandirian anak dalam keluarga.
3. Ada atau tidak hubungan antara pola asuh dengan kemandirian anak
dalam keluarga.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas
maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah ada hubungan dan kecenderungan tingkat pendidikan dan pola
asuh orang tua?
2. Apakah ada hubungan tingkat pendidikan dengan kemandirian anak?
3. Apakah ada hubungan dan kecenderungan pola asuh dengan
kemandirian anak?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, dirumuskan
tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Mengetahui hubungan dan kecenderungan tingkat pendidikan orang tua
dengan pola asuh.
2. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kemandirian anak.
3. Mengetahui hubungan dan kecenderungan pola asuh denga kemandirian
anak.

11

F.

Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan

bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis:
1. Secara teoritis: hasil temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan teori tentang pengaruh tingkat
pendidikan orang tua dan pola asuh terhadap kemandirian anak dalam
keluarga. Selain itu diharapkan juga hasil penelitian ini dapat
menambah referensi ilmiah.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi:
a. Orang tua: untuk memberikan kesadaran kepada orang tua bahwa
melatih atau menanamkan kemandirian anak di dalam keluarga
sangat penting agar anak bisa memiliki perilaku kemandirian yang
tinggi, baik di dalam keluarga maupun di lingkungan sosial.
b. Peneliti: untuk menambah wawasan peneliti, khususnya dibidang
kemandirian anak dalam keluarga dan untuk mengetahui upaya atau
usaha apa yang dilakukan oleh orang tua dalam menanamkan atau
pun melatih perilaku kemandirian anak dalam keluarga.

12

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori
1. Tingkat Pendidikan
a. Pengertian Tingkat
Tingkat adalah jenjang, strata atau tata urut (Kamus Besar Bahasa
Indonesia,

1996:856).

Menurut

Kamus

Besar

Bahasa

Indonesia

(2001:1197), Tingkat adalah susunan yang berlapis-lapis, tinggi rendah
martabat kedudukan, jabatan, kemajuan, peradaban, pangkat, derajat, kelas.
Tingkat adalah tinggi rendah martabat

(kedudukan, jabatan,

kemajuan, peradaban, pangkat, derajat, taraf, kelas).
b. Pengertian Pendidikan
Menurut Dwi Siswoyo (2013:45), “secara historis, pendidikan
dalam arti luas telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada di muka bumi
ini”. Pendidikan dilakukan pada awal manusia sudah berada di dunia atau
bumi, dan penyelenggaraan pendidikan tersebut disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan ide-ide baru dari manusia.
Menurut George F.Kneller dalam Dwi Siswoyo (2013:47),
“pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan dalam arti teknis, atau
dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam artinya yang luas pendidikan
menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh
yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa (mind),
watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu”.
Pendidikan dalam artian ini berlangsung terus (seumur hidup). Dalam arti
teknis, pendidikan adalah proses di mana masyarakat, melalui lembagalembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain),
13

dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan,
nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, dan generasi ke generasi.
Peneliti setuju dengan pendapat di atas, bahwa pendidikan itu
dilaksanakan secara terus menerus atau sepanjang hayat dimulai dari dalam
kandungan sampai meninggal karena pendidikan dalam hal ini kaitannya
dengan menumbuh kembangkan jiwa, karakter, dan kemampuan fisik yang
dalam hal ini harus dilakukan secara keberlanjutan atau secara terus
menerus, dan pendidikan secara teknis yang dilakukan dalam bangku
sekolah secara formal sesuai dengan sistematika dari pemerintah atau sesuai
dengan peraturan yang sudah dibuat atau disepakati sebelumnya.
Menurut Ki Hajar Dewantara (1977:20), yang dinamakan
pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun
maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggitingginya.
Pendidikan mengembangkan semua bakat yang sudah dipunyai
anak agar lebih berkembang dan kelak bisa bermanfaat untuk kehidupan
anak tersebut baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat sekitar di
mana anak tersebut berada.
Selanjutnya menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

14

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Menurut Redja Mudyahardjo (2012:3-6), “pendidikan dalam arti
luas adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hidup, sedangkan pendidikan dalam arti sempit
adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal”.
Pendidikan di sini memiliki pengertian dalam hal sempit dan luas, yang
keduanya memiliki pengertian bahwa pendidikan adalah suatu pengajaran
baik dilakukan di dalam lembaga formal maupun non formal yang mana
memiliki tujuan sama yaitu untuk mengarahkan agar mempunyai
kemampuan dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan sosial
mereka.
Menurut M.Noor Syam,dkk (1981:83), education is the process
by which the individual is taught loyality and conformity by which the
human mind is disciplined and developed. Pendidikan adalah proses dengan
mana individu diajar bersikap setia dan taat dengan mana pikiran manusia
ditera dan dibina. Pengertian pendidikan disini bahwa suatu proses di mana
manusia itu diberikan suatu pengajaran sikap-sikap yang diinginkan dengan
memberikan pembinaan sikap mental dengan cara dilatih terutama sikap
seperti di atas nilai sikap kesetiaan dan ketaatan.

15

Fullan (1982:288) dalam bukunya Syukri Hamzah (2013:13),
“pendidikan

mempunyai

arti

yang

sangat

penting

dalam

proses

pembentukan diri seseorang yang menyangkut aspek kognitif berupa
kemampuan akademik dan kemampuan memecahkan masalah”. Pengertian
pendidikan di sini yaitu proses di mana manusia itu sendiri dikembangkan
dari beberapa aspek baik pribadi dan sosial yang hal tersebut akan
digunakan untuk kehidupannya kelak di dalam masyarakat. Dari beberapa
pengertian pendidikan menurut para ahli di atas penulis menyimpulkan
bahwa pendidikan adalah kegiatan secara sadar dalam proses belajar dan
pembelajaran untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta
didik dan menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya yaitu yang
berkepribadian dan terjadinya perubahan yang positif dalam diri individu
peserta didik yang berlangsung secara terus menerus.
Jadi, tingkat pendidikan adalah jenjang atau tahapan yang sudah
ditempuh oleh orang tua peserta didik, yaitu jenjang pendidikan formal
mulai dari SD, SMP, SMA, Perguruan tinggi maupun nonformal.
2. Kemandirian
a. Pengertian Kemandirian
Menurut Akhmad Muhaimin Azzeti (2013:72), menyatakan hal
yang sangat penting dalam tugas dan tanggung jawab pendidikan adalah
mengembangkan kemampuan anak didik agar bisa belajar secara mandiri
sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Inilah karakter yang mesti
dibangun apabila menghendaki generasi yang mandiri sehingga lebih mudah
16

dalam menggapai keberhasilan, baik bagi kehidupannya sendiri maupun
dalam lingkup bangsa. Sungguh, karakter bisa belajar secara mandiri seperti
ini sangat dibutuhkan, apalagi persaingan kehidupan di masa mendatang
semakin ketat. Hanya orang-orang berkarakter mandirilah yang akan
memperoleh keberhasilan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mandiri diartikan
sebagai keadaan yang dapat menjadikan individu berdiri sendiri, tidak
bergantung kepada orang lain. Mandiri di sini anak bisa berdiri sendiri
artinya anak bisa melakukan semua aktivitas atau kegiatan yang berkaitan
untuk dirinya dilakukan secara individu atau sendiri tanpa anak bergantung
pada orang lain baik teman, orang tua ataupun guru di sekolah.
Menurut Akhmad Muhaimin Azzeti (2013: 91-92), menjelaskan
bahwa karakter yang perlu dikembangkan pada diri anak adalah kemampuan
untuk mandiri. Karakter bisa mandiri adalah kemampuan seseorang yang
tidak mudah tergantung kepada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
yang dihadapinya. Orang yang mempunyai karakter mandiri tidak mudah
menyerah ketika menghadapi pekerjaan yang sulit, apalagi segera minta
bantuan kepada orang lain. Kemampuan untuk bisa mandiri ini sangat
penting untuk dikembangkan pada diri anak didik. Apalagi, dalam
menghadapi zaman dengan persoalan hidup yang akan lebih pelik dan
persaingan terjadi di segala lini kehidupan dibandingkan pada masa
terdahulu.

17

Menurut Novan Ardy W (2013:25) kemandirian anak usia dini
adalah karakter yang dapat menjadikan anak yang berusia 0-6 tahun dapat
berdiri sendiri, tidak bergantung dengan orang lain, khususnya orang tua.
Menurut Alex Sobur (1986:78) mengatakan bahwa kemandirian dapat
tumbuh jika orang tua mengarahkan anak-anaknya untuk dapat melakukan
tugas dan kegiatannya sendiri atau berkelompok. Menurut Desmita
(2012:185)

kemandirian

atau

otonomi

adalah

kemampuan

untuk

mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara
bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan
keragu-raguan.
Penulis setuju dengan pendapat di atas bahwa selaku orang tua apabila ingin
anak-anaknya memiliki sikap mandiri perlu membimbing dan mengarahkan
anak-anaknya dalam melakukan aktivitas anak sehari-hari baik kegiatan
individu maupun yang berkaitan dengan kegiatan kelompok.
Dari penjelasan Musthafa dan Syamsu dalam bukunya Novan
Ardy (2013:29), dapat ditarik kesimpulan bahwa kemandirian yang akan
dibentuk orang tua ataupun guru pada anak usia dini adalah kemandirian
yang menjadikan anak usia dini:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan.
Berani memutuskan sesuatu atas pilihannya sendiri.
Bertanggung jawab menerima konsekuensi yang menyertai
pilihannya.
Memiliki rasa percaya diri.
Mampu mengarahkan diri.
Mampu mengembangkan diri.
Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Berani mengambil resiko atas pilihannya.
18

Upaya mendorong anak usia dini menuju ke kemandiriannya,
orang tua dan guru perlu memberikan berbagai pilihan dan bila
dimungkinkan sekaligus memberikan gambaran kemungkinan konsekuensi
yang menyertai pilihan yang diambilnya. Dalam konteks lingkungan
keluarga di rumah, orang tua diharapkan dapat lebih telaten dan sabar
dengan cara memberikan berbagai pilihan dan membicarakannya secara
seksama dengan anak-anak setiap kali mereka dihadapkan pada pembuatan
keputusan-keputusan penting. Sementara itu, di lingkungan Taman KanakKanak (TK), kemampuan anak usia dini perlu didengar dan diakomodasi
oleh guru TK. Karakter mandiri yang dimiliki oleh anak usia dini akan
sangat bermanfaat bagi mereka dalam melakukan prosedur-prosedur
keterampilan dan bergaul dengan orang lain.
Kemandirian anak usia dini dalam melakukan prosedur-prosedur
keterampilan merupakan kemampuan untuk melakukan aktivitas sederhana
sehari-hari, seperti makan tanpa harus disuapi, mampu memakai baju,
mampu memakai kaos kaki, bisa buang air kecil/air besar sendiri, mampu
memakai celana sendiri, dan dapat memilih bekal yang harus dibawa saat
belajar di sekolah serta dapat merapikan mainannya sendiri. Sementara
kemandirian anak usia dini dalam bergaul terwujud pada kemampuan
mereka dalam memilih teman, keberanian mereka belajar di kelas tanpa
ditemani orang tua, dan mau berbagi bekal/jajan kepada temannya saat
bermain.

19

Menurut Robert Havighurst (1972) dalam bukunya Desmita
(2012:186), membedakan kemandirian atas tiga bentuk kemandirian, yaitu:
a)

Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi
sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang
lain.
b) Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi
sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada
orang lain.
c) Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi.
d) Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi
orang lain.
Dari beberapa pengertian dari ahli tentang kemandirian, disini dapat
disimpulkan bahwa kemandirian adalah suatu sikap yang melakukan semua
aktivitas atau kegiatannya dilakukan oleh diri sendiri baik dalam hal
aktivitas di rumah ataupun di sekolah dan dalam hal memilih apapun yang
berkaitan untuk dirinya sendiri tanpa bantuan orang tua dan orang lain pada
anak berusia 0-6 tahun.
b. Ciri-ciri Kemandirian Anak Usia Dini
Dalam konsep pendidikan nasional, kemandirian merupakan core
value pendidikan nasional. Kemandirian akan mengantarkan anak memiliki
kepercayaan diri dan motivasi intrinsik yang tinggi.
Menurut Kartono (2013:32), Kemandirian terdiri dari beberapa
aspek, sebagai berikut:
a)

Emosi yang ditunjukkan dengan kemampuan anak
mengontrol dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari
orang tua.
b) Ekonomi yang ditunjukkan dengan kemampuan anak
mengatur dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi dari
orang tua.
20

c)

Intelektual yang ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk
mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, sosial yang
ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung dengan
orang lain.

Dari ketiga aspek tersebut, bisa dikatakan bahwa kemandirian di
sini bagaimana anak bisa menghadapi masalah yang dihadapinya dan
bagaimana cara untuk menemukan solusinya.
Sementara itu, Kantor Kependudukan dan Lingkungan Hidup
mengeluarkan rumusan mengenai komponen utama kemandirian dalam
bukunya Novan Ardy ( 2013:32-33), antara lain:
(a) Bebas artinya bertindak atas kehendaknya sendiri dan tidak
bergantung pada orang lain.
(b) Berinisiatif artinya mampu berpikir dan bertindak secara
rasional, kreatif, dan penuh inisiatif.
(c) Progresif dan ulet.
(d) Mampu mengendalikan diri dari dalam (internal locus of
control).
(e) Memiliki kemantapan diri ( self esteem, self confidence).
Berdasarkan aspek dan komponen kemandirian di atas, ciri-ciri
kemandirian anak usia dini menurut Novan Ardy (2013:32-33) adalah
sebagai berikut:
(1) Memiliki kepercayaan kepada diri sendiri.
Anak yang memiliki rasa percaya diri memiliki keberanian untuk
melakukan sesuatu dan menentukan pilihan sesuai dengan
kehendaknya
konsekuensi

sendiri
yang

dan

dapat

bertanggung
ditimbulkan

jawab
karena

terhadap
pilihannya.

Kepercayaan diri ini sangat terkait dengan kemandirian anak.

21

(2) Memiliki motivasi instrinsik yang tinggi.
Motivasi instrinsik merupakan dorongan yang berasal dari dalam
diri untuk melakukan suatu perilaku maupun perbuatan. Motivasi
instrinsik ini pada umumnya lebih kuat dan abadi dibandingkan
dengan motivasi ekstrinsik walaupun kedua jenis motivasi
tersebut bisa juga berkurang dan bertambah. Motivasi yang
datang dari dalam akan mampu menggerakkan anak untuk
melakukan sesuatu yang diinginkannya.
(3) Mampu dan berani menentukan pilihannya sendiri.
Anak yang berkarakter mandiri memiliki kemampuan dan
keberanian dalam menentukan pilihannya sendiri. Contohnya,
seperti memilih makanan yang akan dimakan, memilih baju yang
akan dipakai, dan dapat memilih mainan yang akan digunakan
untuk bermain, serta dapat memilih mana sandal untuk kaki kanan
dan mana sandal untuk kaki kiri.
(4) Kreatif dan inovatif.
Kreatif dan inovatif pada anak usia dini merupakan salah satu ciri
anak yang memiliki karakter mandiri, seperti dalam melakukan
sesuatu atas kehendak sendiri tanpa disuruh oleh orang lain, tidak
bergantung terhadap orang lain dalam melakukan sesuatu,
menyukai dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru.

22

(5) Bertanggung jawab menerima konsekuensi yang menyertai
pilihannya.
Pada saat anak usia dini mengambil keputusan atau pilihan, tentu
ada konsekuensi yang melekat pada pilihannya. Anak yang
mandiri akan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya
apapun yang terjadi. Tentu saja bagi anak usia dini tanggung
jawab tersebut dilakukan dalam taraf yang wajar. Misalnya, tidak
menangis ketika salah mengambil alat mainan, lalu dengan
senang hati menggantinya dengan alat mainan lain yang
diinginkannya.
(6) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Lingkungan KB maupun TK merupakan lingkungan yang baru
bagi anak usia dini. Sering sekali kita menemukan dengan mudah
anak yang menangis ketika pertama kali masuk KB maupun TK.
Bahkan, kebanyakan anak ditunggu oleh orang tuanya ketika
sedang belajar di kelas. Bagi anak yang memiliki karakter
mandiri, dia akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru dan dapat belajar walaupun tidak ditunggui orang
tuanya.
(7) Tidak bergantung pada orang lain.
Anak yang memiliki karakter mandiri selalu ingin mencoba
sendiri dalam melakukan segala sesuatu, tidak bergantung kepada
orang lain dan dia tahu kapan waktunya meminta bantuan orang
lain. Setelah anak berusaha melakukannya sendiri tetapi tidak

23

mampu untuk mendapatkannya, barulah dia akan meminta
bantuan orang lain. Contohnya, seperti pada saat anak mengambil
mainan yang jauh dari jangkauannya.
Penulis setuju dengan pendapat Novan Ardy Wiyani dalam
bukunya Bina Karakter Anak bahwa anak yang memiliki sikap
kemandirian harus berdasarkan atau mempunyai beberapa dari
ciri-ciri kemandirian seperti di atas tersebut, semuanya harus
dimiliki oleh seorang anak jika dikatakan sebagai anak yang
mempunyai sikap mandiri.
Dari beberapa pendapat ahli di atas mengenai ciri-ciri
kemandirian anak dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kemandirian anak usia
dini adalah sebagai berikut:
(a) Kemampuan Fisik
(b) Percaya Diri
(c) Bertanggung jawab
(d) Disiplin
(e) Pandai Bergaul
(f) Mengendalikan Emosi.
c. Faktor-Faktor Yang Mendorong Terbentuknya Kemandirian Anak
Usia Dini
Menurut Novan (2013:35-41) Kemandirian merupakan salah satu
karakter atau kepribadian seorang manusia yang tidak dapat berdiri sendiri.
Kemandirian terkait dengan karakter percaya diri dan berani, anak yang
percaya diri dan berani akan mudah dalam memilih dan mengambil
keputusan dan bersedia menerima konsekuensinya yang telah dipilih.
Karenanya, kepercayaan diri pada anak-anak perlu ditumbuh kembangkan
sehingga terbentuk karakter kemandirian pada diri anak.
Pada anak mencapai usia dua sampai tiga tahun, tugas utama
perkembangan anak adalah untuk mengembangkan kemandirian. Kebutuhan
24

untuk mengembangkan kemandirian yang tidak terpenuhi pada usia sekitar
dua sampai tiga tahun akan menimbulkan terhambatnya perkembangan
kemandirian yang maksimal. Sementara itu, kemandirian baru akan tercapai
secara penuh pada akhir masa remaja. Akan tetapi, kemandirian tersebut
tidak akan pernah tercapai atau hanya akan tercapai sebagian jika
perkembangan pada masa awal anak tidak diberi dasar yang baik.
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba, melainkan perlu
diajarkan kepada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak akan tahu
bagaimana mereka harus membantu dirinya sendiri.
Anak-anak yang tidak dilatih untuk mandiri sejak dini mereka
akan menjadi individu yang akan bergantung pada orang lain sampai dewasa
nanti. Apabila kemampuan-kemampuan yang seharusnya sudah diajarkan
kepada anak pada usia tertentu akan tetapi tidak diajarkan ataupun tidak
dilatihkan kepada anak maka anak tersebut bisa dibilang belum mandiri.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kemandirian anak yaitu
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang
berasal dari luar anak atau individu seperti lingkungan, sosial, karakter,
stimulasi, pola asuh, cinta kasih sayang, kualitas informasi anak dan orang
tua, pendidikan orang tua dan status pekerjaan ibu.
Sedangkan faktor internal adalah faktor yang muncul dari dalam
diri individu atau anak seperti emosi dan intelektual. Berikut adalah
deskripsi dari faktor-faktor yang mendorong timbulnya kemandirian anak.
1. Faktor Internal
Faktor internal ini terdiri dari dua kondisi, yaitu kondisi fisiologis
dan kondisi psikologis.
a. Kondisi fisiologis

25

Kondisi fisiologis yang berpengaruh antara lain keadaan
tubuh, kesehatan jasmani, dan jenis kelamin. Pada
umumnya, anak yang sakit lebih bersikap tergantung pada
orang yang tidak sakit. Lamanya anak sakit pada masa bayi
menjadikan orang tua sangat memerhatikannya.
Jenis kelamin anak juga berpengaruh

terhadap

kemandiriannya. Pada anak perempuan terdapat dorongan
untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua,
tetapi dengan statusnya sebagai anak perempuan, mereka
agresif dan ekspensif, akibatnya anak perempuan berada
lebih lama dalam ketergantungan daripada anak laki-laki.
b. Kondisi psikologis
Meskipun kecerdasan atau kemampuan berpikir seorang
anak dapat diubah atau dikembangkan melalui lingkungan,
sebagian ahli berpendapat bahwa faktor bawaan juga
berpengaruh terhadap keberhasilan lingkungan dalam
mengembangkan kecerdasan seorang anak. Pandangan yang
demikian dalam perspektif ilmu pendidikan dikenal dengan
paradigma

nativisme.

Sementara

mereka

yang

berpandangan kecerdasan atau kemampuan berpikir seorang
anak dipengaruhi oleh lingkungannya.
Lepas dari perbedaan pendapat di atas, bahwa kecerdasan
atau kemampuan kognitif berpengaruh terhadap pencapaian
kemandirian seorang anak. Hal ini disebabkan kemampuan
bertindak dan mengambil keputusan yang dilakukan oleh

26

seorang anak hanya mungkin dimiliki oleh anak yang
mampu berpikir dengan seksama tentang tindakannya.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini meliputi lingkungan, rasa cinta dan kasih
sayang orang tua kepada anak, pola asuh orang tua dalam keluarga,
dan faktor pengalaman dalam kehidupan.
a. Lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan
dalam

pembentukan

kemandirian

anak

usia

dini.

Lingkungan yang baik dapat menjadikan cepat tercapainya
kemandirian anak. Kondisi lingkungan keluarga ini sangat
berpengaruh dalam kemandirian anak. Pemberian stimulasi
yang terarah dan teratur di lingkungan keluarga, akan lebih
mempercepat kemandirian anak dibanding dengan anak
yang kurang mendapat stimulasi.
b. Rasa cinta dan kasih sayang
Rasa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak
hendaknya diberikan sewajarnya karena hal itu dapat
mempengaruhi mutu kemandirian anak. Bila rasa cinta dan
kasih sayang diberikan berlebihan, akan menjadikan anak
kurang mandiri. Menurut Novan Ardy (2013:39), jika
interaksi antara anak dan orang tua berjalan dengan lancar
dan baik. Interaksi yang baik tersebut dapat membuat anak
menjadi mandiri. Orang tua akan memberikan informasi
yang baik jika orang tua tersebut mempunyai pendidikan
karena dengan pendidikan yang baik, orang tua dapat

27

menerima segala informasi dari luar terutama tentang
mendidik anak agar anak menjadi mandiri.
Penulis setuju dengan pendapat tersebut, bahwa apabila
orang tua yang berpendidikan bisa menghasilkan anak yang
mandiri, karena dari orang tua yang berpendidikan tersebut
orang tua bisa belajar, mau belajar, peduli dengan anak
sehingga anak bisa memberikan kasih sayang sesuai porsi
yang tidak berlebihan.
Pemberian rasa cinta dan kasih sayang orang tua
kepada anak juga dipengaruhi oleh status pekerjaan orang
tua. Menurut Novan Ardy (2013:39). Apabila orang tua,
khususnya ibu bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah,
akibatnya ibu tidak bisa melihat perkembangan anaknya,
apakah anaknya sudah bisa mandiri atau belum. Sementara
itu, ibu yang tidak bekerja bisa melihat langsung
perkembangan kemandirian anaknya dan bisa mendidiknya
secara langsung.
c. Pola asuh orang tua dalam keluarga
Lingkungan keluarga berperan penting dalam pembentukan
karakter kemandirian. Pembentukan karakter kemandirian
tersebut tidak lepas dari peran orang tua dan pengasuhan
yang baik yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Bila
seorang anak sejak kecil dilatih untuk mandiri, ketika harus
keluar dari asuhan orang tua untuk hidup mandiri, ia tidak
akan merasa takut.

28

Pola asuh ayah dan ibu mempunyai peran nyata dalam
membentuk karakter mandiri anak usia dini. Toleransi yang
berlebihan,

begitu

pun

dengan

pemeliharaan

yang

berlebihan dari orang tua yang terlalu keras kepada anak
dapat menghambat pencapaian kemandiriannya.
Karena rasa kasih sayang dan rasa khawatir, seorang
ibu tidak berani melepaskan anaknya untuk berdiri sendiri,
menjadikan anak tersebut harus selalu dibantu, si anak akan
selalu terikat pada ibu. Pada akhirnya, karena dimanjakan
anak

menjadi

tidak

dapat

menyesuaikan

diri

dan

perkembangan wataknya mengarah pada keragu-raguan.
Sementara disisi lain, sikap ayah yang keras juga dapat
menjadikan anak kehilangan rasa percaya diri. Namun,
pemanjaan

dari

ayah

yang

berlebihan

juga

dapat

menjadikan anak kurang berani menghadapi masyarakat
luas.
d. Pengalaman dalam kehidupan
Pengalaman dalam kehidupan anak meliputi pengalaman di
lingkungan sekolah dan masyarakat. Lingkungan sekolah
berpengaruh terhadap pembentukan kemandirian anak, baik
melalui hubungan dengan teman maupun dengan guru.
Interaksi anak dengan teman sebaya di lingkungan
sekitar juga berpengaruh terhadap kemandiriannya, begitu
juga

pengaruh

teman

sebaya

di

sekolah.

Dalam

perkembangan sosial, anak mulai memisahkan diri dari

29

orang tuanya dan mengarah kepada teman sebaya. Maka
pada saat itu, anak telah memulai perjuangan memperoleh
kebebasan, dengan demikian melalui hubungan dengan
teman sebaya, anak akan belajar berpikir mandiri.
Faktor budaya dan kelas sosial juga dapat
mempengaruhi kemandirian anak usia dini. Seorang anak
dalam ruang lingkup tempat tinggalnya mengalami tekanan
untuk mengembangkan suatu pola kepribadian tertentu yang
sesuai

dengan

standar

yang

telah

ditentukan

oleh

budayanya. Kemudian kelas sosial, termasuk kelas ekonomi
dan kelas pendidikan juga mempengaruhi ketergantungan
anak pada orang tua. Pengaruh kelas sosial terhadap
pembentukan kemandirian terlihat dari golongan priyayi
dan nonpriyayi yang sejak berusia 12 tahun lebih mandiri
dari anak-anak dalam keluarga priyayi (Hasan Alwi, Kamus
Besar Bahasa Indonesia).
Menurut Mar’atun Shalihah (2010:80-82), beberapa
upaya yang bisa dilakukan untuk menanamkan kemandirian
pada anak, membuatnya tidak suka bergantung dan bisa
mengambil keputusan sendiri antara lain:
a. Beri kesempatan anak belajar memilih, bantuan bisa
diberikan sebagai alternatif.
b. Menghargai hasil kerja anak dan sabar pada prosesnya.
c. Jangan banyak tanya hanya karena ingin dianggap
perhatian.
30

31

3. Pengertian Anak
a. Anak Usia Dini
Menurut Muhammad Fadhillah (2014:44), “dalam pandangan
agama (Islam), anak merupakan amanah atau titipan Allah Swt yang
harus dijaga, dirawat, dan dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh setiap
orang tua. Sejak lahir anak telah diberikan berbagai potensi yang dapat
dikembangkan sebagai penunjang kehidupannya di masa depan. Bila
potensi-potensi ini tidak diperhatikan, nantinya anak akan mengalami
hambatan-hambatan dalam pertumbuhan maupun perkembangannya”.
Setiap anak memiliki potensi sendiri-sendiri dan unik, hal ini tergantung
dari orang tuanya yang dititipi amanah oleh Tuhan dengan cara merawat,
mendidik dan mengembangkan potensi yang ada pada diri anak sesuai
dengan bakat dan minat yang anak tersebut miliki dari kecil.
Dalam pasal 28 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20/2003 ayat 1, disebutkan bahwa yang termasuk anak usia dini
adalah anak yang masuk dalam rentang usia 0-6 tahun.
Bredekamp dalam Lilif Mualifatu (2014:47), membagi anak usia dini
menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok bayi hingga 2 tahun, kelompok 3
hingga 5 tahun, dan kelompok 6 hingga 8 tahun. Berdasarkan keunikan
dan perkembangannya anak usia dini terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu
masa bayi lahir sampai 12 bulan, masa batita (toddler) usia 1-3 tahun,
masa prasekolah usia 3-6 tahun, dan masa kelas awal 6-8 tahun.
Muhammad Fadhillah mengatakan (2014:47), “bahwa anak usia
dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan yang bersifat unik, dalam arti memiliki pola pertumbuhan
dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar, intelegensi dan
kecerdasan spiritual, bahasa, komunikasi yang khusus sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak”.
32

Setiap anak memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang
unik dan berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
disebabkan anak dari lahir sudah membawa keunikan tersendiri dalam
hal bakat ataupun kemampuan lain halnya dengan sikap yang ini bisa saja
dari keturunan dan bisa dibentuk dari lingkungan dimana anak tinggal
dan pola asuh dari orang tua anak tersebut.
Menurut Wiwien Dinar Prastiti (2008:55), “bahwa adapun usia
setelah lebih dari 6 tahun sering disebut sebagai usia sekolah dimana
anak sudah berkembang fisiknya sehingga membentuk tubuh yang
proporsional, mampu berjalan, meloncat, berlari, mampu menggunakan
bahasa verbal, mampu memahami emosi yang dirasakan oleh orang lain
berdasarkan bahasa tubuh yang ditunjukan, oleh karena itu batasan
pengertian anak usia dini adalah 0-6 tahun”.
Anak pada usia 6 tahun anak sudah mampu melakukan kegiatan atau
aktivitas yang lebih berat baik dari motorik halus, kasar, bahasa, agama,
komunikasi. Anak sudah melakukan kegiatan tersebut dengan baik dan
benar sesuai dengan umur 6 tahun tersebut, anak sudah bisa melakukan
semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Menurut Slamet Suyanto (2005:1), anak usia dini dipandang
memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak usia di atasnya
sehingga pendidikannya dipandang perlu untuk dikhususkan.
Menurut Iva Noorlaila (2010:17), bahwa usia dini merupakan
periode awal yang paling penting dan mendasar sepanjang rentang
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia.

33

Menurut Mulyasa (2012:1) anak usia dini adalah individu yang
sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
pesat, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan.
Kesimpulan dari pengertian anak usia dini menurut para ahli, penulis
menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah kelompok anak titipan atau
amanah yang diberikan oleh Tuhan yang sudah diberikan bakat atau
potensi secara alami sejak lahir yang unik dan berbeda yang mana orang
tua wajib merawat, mendidik, mengasihi dan menyayangi dalam
mengembangkan potensi baik motorik, intelegensi, kecerdasan spiritual,
emosional, bahasa dan komunikasi sesuai dengan umurnya yaitu 0-6
tahun.
b. Golden Age
Menurut Wiwien Dinar Prastiwi (2008:72), “bahwa usia dini
pada anak disebut sebagai usia emas atau golden age, masa-masa tersebut
masa

kritis

dimana

seseorang

anak

membutuhkan

rangsangan-

rangsangan yang tepat untuk mencapai kematangan yang sempurna”.
Pada usia dini anak dapat menerima stimulu-stimulus dari orang tua,
guru, dan orang-orang yang tinggal disekitar lingkungan anak tersebut
tinggal, anak pada usia tersebut bisa dengan cepat meniru ataupun
menghafal apapun yang dia lihat dan dengar dari tingkah laku ataupun
kebiasan orang-orang yang berada didekat anak. Apabila pada masa
seperti ini anak tidak mendapatkan stimulus yang tepat dari belajar dan

34

berlatih maka anak akan mengalami masa-masa kesulitan pada
perkembangan berikutnya.
Penulis setuju dengan pendapat di atas apabila pada perkembangan awal
anak sudah diberikan stimulus oleh orang tua ataupun orang yang tinggal
di sekeliling anak dengan baik dan benar, orang-orang di sekitarnya
memberikan contoh dalam berperilaku dan bersikap yang baik maka anak
akan meniru dan meneladani apa yang dilakukan oleh orang-orang di
sekililingnya dan hal ini bisa dikembangkan oleh orang tua sesuai dengan
harapan dari orang tua tersebut.
Menurut Muhammad Fadhillah (2013:48) “ bahwa golden age
adalah masa-masa keemasan seorang anak, yaitu masa ketika anak
mempunyai banyak potensi yang sangat baik untuk dikembangkan, pada
tahap inilah waktu yang sangat tepat untuk menanamkan nilai-nilai
kebaikan, karakter yang diinginkan yang nantinya akan dapat membentuk
kepribadian”.
Karena pada masa inilah anak masih murni dan belum terpengaruh dari
lingkungan luar sehingga hal ini mempermudahkan orang tua untuk
mengajari hal-hal yang baik dan benar kepada anak terkait perbuatan dan
sikap, karena anak masih belum terbebani dengan masalah yang serius
layaknya orang dewasa sehingga anak dengan mudah bisa menyerap
apapun yang diberikan oleh orang tua ataupun guru.
Menurut Gardner (1998) sebagaimana dalam bukunya
Muhammad Fadhilah (2014:48), menyebutkan bahwa anak usia dini
memegang peranan yang sangat penting karena perkembangan otak
manusia mengalami lompatan dan berkembang sangat pesat, yaitu
mencapai 80%, ketika dilahirkan ke dunia anak manusia telah mencapai
perkembangan otak 25%, sampai usia 4 tahun perkembangannya
mencapai 50% dan sampai 8 tahun mencapai 80% selebihnya
berkembang sampai usia 18 tahun.

35

Atas dasar inilah, penting kiranya untuk mengembangkan potensi dan
bakat yang dimiliki oleh anak, jangan sampai sebagai orang tua tidak
mengetahui potensi yang ada dalam diri anaknya dan tidak mematikan
perkembangan dari potensi yang dimiliki oleh anak.
Dari pengertian mengenai the golden age tersebut bisa
disimpulkan bahwa the golden age adalah masa dimana anak usia dini
memiliki masa untuk perkembangan, pembinaa