KAJIAN POLA RUANG PESISIR SEMARANG BARAT
1
KAJIAN ARAHAN RENCANA POLA RUANG BERBASIS
MITIGASI BENCANA KAWASAN PESISIR SEMARANG BARAT
KOTA SEMARANG
(Tugas Mata Kuliah Mitigasi Bencana )
Dikumpulkan 23 Desember 2014
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. rer. nat. Imam Buchori, ST
Anang Wahyu Sejati, ST, MT
Disusun oleh
Muharar Ramadhan
(21040111130083)
Maulana Felik V. K
(21040111130031)
Hanandi Prabowo
(21040111130117)
Tia Adelia S
(21040111130035)
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rob dan banjir masih menjadi ancaman bagi warga Kota Semarang, khususnya di
wilayah bawah. Website Semarang Kota menyebutkan, di beberapa wilayah, ancaman banjir
dan rob selalu datang hampir tiap tahun. Beberapa wilayah yang dimaksud diantaranya adalah
Kecamatan Tugu, Wilayah Studi, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Timur,
Pedurungan, Gayamsari dan Kecamatan Genuk. Rob di Semarang berdasarkan hasil studi lebih
disebabkan oleh penurunan tanah yang terjadi setiap tahunnya yang rata-rata 5-9 cm per tahun
di Semarang bagian bawah, bukan karena kenaikan air laut (www.Bintari.org). Sebagai contoh
dari fenomena penurunan muka tanah ini adalah diketahui bahwa ketinggian rata-rata di wilayah
Kota Lama berkisar antara 0,5–1 m di atas permukaan air laut dengan kelerengan yang sangat
kecil yaitu 0-2 %. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi di Kawasan Kota Lama secara
umum relatif datar. Dan selalu mengalami penurunan tanah/land subsidence sebesar 8-9
cm/tahun (Bappeda Kota Semarang, 2006).
Pakar Hidrologi Undip, Nelwan menuturkan, upaya pemerintah untuk mengatasi
genangan banjir di Kota Semarang dirasa belum optimal. Artinya, rencana untuk membuat
saluran baru memang suatu yang perlu didukung, misalnya mengalirkan air hujan untuk
ditampung di kolam retensi kemudian dibawa ke laut. Akan tetapi, fungsi rumah pompa harus
mutlak dimaksimalkan. Kondisi ini karena penyebab banjir itu tidak semata masalah drainase,
tetapi juga muka tanah di Semarang sudah berada di bawah air pasang laut.
Perumusan Masalah
Wilayah Studi merupakan salah satu kecamatan yang terdampak bencana banjir dan rob
yang terjadi di Kawasan Pesisir Kota Semarang. Dengan demikian, kemungkinan Wilayah Studi
dalam mengalami kerentanan fisik tergolong tinggi.
Dari segi kerentanan, di Wilayah Studi dapat ditemui banyak permukiman dekat dengan
kawasan rawan bencana. Permukiman tersebut umumnya telah dihuni dan ini sangat berbahaya
apabila perencanaan tata ruang dan mitigasi bencana tidak disinkronkan Dengan adanya
kerawanan dan kerentanan yang akan memunculkan suatu resiko bencana di Wilayah Studi,
maka berbasis permasalahan ini akan dirancang konsep mitigasi bencana berbasis penataan
ruang sehingga dapat mengurangi kerentanan fisik yang terjadi di kecamatan tersebut.\\
3
Tujuan dan Sasaran
Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk memberikan rekomendasi mitigasi
yang tepat dalam rangka membantu mengurangi resiko kerentanan fisik yang terjadi di kawasan
pesisir Kota Semarang, khususnya Wilayah Studi.
Sasaran
Dalam mencapai tujuan dari penyusunan laporan maka sasaran yang perlu diperhatikan
antara lain:
1. Mengidentifikasi kondisi fisik dan non fisik Wilayah Studi;
2. Mengidentifikasi karakteristik bencana yang terjadi di Wilayah Studi;
3. Mengidentifikasi kerentanan fisik yang terjadi di Wilayah Studi;
4. Mengidentifikasi penanganan kerentanan fisik di Wilayah Studi
4
Kerangka Pikir
Penurunan Muka Tanah
Perubahan Iklim
Perubahan TGL
Bencana banjir,
rob, dan abrasi
UU no 24/2007
Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana
Bagaimana arahan penataan ruang berbasis mitigasi bencana di Wilayah Studi?
RTRW Kota
Semarang
Analisis kepadatan
bangunan (Kepmen PU
no 378/KPTS/1987)
Analisis kondisi
jaringan jalan
(Menteri PU, 2007)
Analisis ketersediaan
fasilitas umum (Perka
BNPB no 2/2012)
Analisis kerentanan
kepadatan bangunan
Analisis kerentanan
jaringan jalan
Analisis kerentanan
fasilitas umum
Analisis rawan
bencana banjir
Analisis rawan
bencana abrasi
Analisis Kerentanan Fisik
Analisis risiko
bencana banjir
Analisis risiko
bencana abrasi
Analisis Pola Ruang
Kesimpulan
Rekomendasi
Arahan penataan ruang
berbasis mitigasi bencana
banjir
Arahan penataan ruang
berbasis mitigasi bencana
abrasi
Gambar 1
Kerangka Pikir
5
Kerangka Kerja
Jumlah
Bangunan
Perhitungan
statistik
Kepadatan
Bangunan
Peta Kerawanan
Banjir dan Rob
Luas
Wilayah
Skoring dan
Overlay
Peta Risiko
Bencana
Banjir dan rob
Skoring dan
Overlay
Peta Risiko
Bencana
Abrasi
Jaringan
Jalan
Superimpose
Luas
Genangan
Banjir dan
rob
Lokasi
Fasilitas
Umum
Superimpose
Kondisi
Kondisi
Jaringan
Jaringan
Jalan
Jalan
tergenang
tergenang
Skoring dan
Overlay
Keersedia
Keersediaan
an
fasilitas
fasilitas
umum
umum
Peta
Kerentanan
Fisik
Peta Kerawanan
Abrasi
Wilayah
kelurahan
Gambar 2
Kerangka Kerja
KAJIAN LITERATUR
Pengertian Mitigasi Bencana
Bencana alam yang terjadi tidak bisa diprediksi kapan datangnya, karena itu datangnya
tiba-tiba. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita berusaha untuk dapat
mengurangi dampak-dampak yang terjadi akibat datangnya bencana alam serta seberapa jauh
kesiapan kita dalam menghadapi bencana alam yang akan terjadi. Mitigasi merupakan dasar
managemen situasi darurat, meliputi segala tindakan untuk mencegah bahaya, mengurangi
kemungkinan terjadinya bahaya dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat
dihindarkan.
Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan
penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana untuk mengurangi
dampak merugikan yang ditimbulkan oleh suatu bencana. seperti mencegah kehilangan jiwa,
mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang
mengenai risiko, serta mengurangikerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan
6
sumber ekonomis. Dalam bukunya, Randlolph mengungkapkan bahwasanya mitigasi bencana
merupakan usaha jangka panjang dalam mengurangi dampak dari suatu kejadian bencana
(Randlolph, 2004).
Sedangkan menurut kodoatie, mitigasi adalah tindakan-tindakan untuk mereduksi
dampak bencana, baik dampak ke komunitas yaitu jiwa danharta maupun dampak ke
infrastruktur atau apabila dikaitkan dengan waktunya, mitigasi merupakan tindakan preventiv
(Kodoatie, 2006: 143).
Mitigasi berhubungan dengan banyak aspek dari perencanaan dan manajemen lingkungan.
Dalam mitigasi bencana terdapat hirarki dari strategi mitigasi dampak lingkungan (Randlolph,
2004) yaitu:
1.
2.
Menghindari dampak
Mengurangi dampak dengan memodifikasi lokasi (berpindah pada kawasan dengan
dampak yang lebih sedikit)
3.
Mengurangi dampak dengan memodifikasi desain
4.
Mengganti kerugian akibat bencana
Mitigasi bencana dapat dikelompokkan berdasarkan waktu datangnya ancaman
bencana, yaitu pra-bencana, tanggap darurat dan pasca bencana.
1. Pra-bencana yaitu tindakan mitigasi yang dilakukan sebelum bencana itu datang.
Adapun tindakan yang perlu dilakukan mencakup kegiatan pencegahan, kesiapsiagaan,
serta peringatan dini.
2. Saat terjadi bencana/tanggap darurat: mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan korban sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR),
bantuan darurat dan evakuasi/pengungsian. Tindakan evakuasi dilakukan untuk
menghindarkan para korban bencana dari dampak yang lebih buruk.
3. Pasca bencana: mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Kegiatan
pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat yang terkena
bencana, dengan memfungsikan kembali infrastruktur penunjang masyarakat. Pada
tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan
dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan
rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi
seperti ketakutan, trauma atau depresi.
Langkah penting dalam tindakan mitigasi tersebut meliputi: 1) penilaian bahaya (hazard
assessment), 2) peringatan (warning) dan 3) persiapan (preparedness). Unsur kunci Iainnya
yang tidak terlibat langsung dalam mitigasi tetapi sangat mendukung adalah penelitian yang
terkait dengan bencana.
7
Pengertian Kerentanan
Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila „bahaya‟ terjadi
pada „kondisi yang rentan‟, seperti yang dikemukakan Awotona (1997:1-2):
“…... Natural disasters are the interaction between natural hazards and vulnerable
condition”. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial
kependudukan, dan ekonomi. Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi
fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu.
Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indikator sebagai berikut : persentase
kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan
listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA. Wilayah
permukiman di Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena
persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi darurat di
perkotaan sangat tinggi sedangkan persentase, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan
telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA sangat rendah. Kerentanan sosial menggambarkan
kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya (hazards).
Pada kondisi sosial yang rentan maka jika terjadi bencana dapat dipastikan akan
menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain
kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan
penduduk wanita. Kota kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial yang tinggi karena
memiliki prosentase yang tinggi pada indicator-indikator tersebut. Kerentanan ekonomi
menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya
(hazards). Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah persentase rumah tangga
yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan terhadap pemutusan hubungan kerja) dan
persentase rumah tangga miskin. Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan sosial
tersebut di atas menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi,
sehingga hal ini mempengaruhi/menyebabkan tingginya risiko terjadinya bencana di wilayah
Indonesia.
8
GAMBARAN UMUM
Wilayah Studi
Gambar 3
Peta Administrasi Wilayah Studi
Wilayah studi terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Tugu dan Kecamatan Semarang Barat.
Kedua kecamatan ini dipilih sebagai wilayah studi karena berbatasan langsung dengan Laut
Jawa sehingga dianggap memililki resiko bencana banjir dan abrasi yang tinggi.
9
Kondisi Fisik
Jaringan Jalan
Gambar 3
Peta Jaringan Jalan Wilayah Studi
Berdasarkan peta jaringan jalan pada wilayah studi diketahui bahwa terdapat jalan jenis arteri
primer, arteri sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder, dan jalan lokal. Berikut adalah total
panjang jalan yang terdapat di Kecamatan Tugu dan Semarang barat.
Tabel 1
Panjang Jalan di Wilayah studi
Kelas Jalan
Arteri Primer
Arteri Sekunder
Kolektor Primer
Kolektor
Sekunder
Lokal
Panjang
(m)
6521,883
11117,533
3403,697
33354,087
360726,765
10
Topografi
Gambar 4
Peta Topografi Wilayah Studi
Kondisi topografi yang ada di wilayah studi adalah kategori datar hingga curam. Topografi
dengan kemiringan lereng 0-2% termasuk kategori datar. Kemiringan lereng 2-15% termasuk
kategori landai. Kemiringan lereng 15-20% termasuk kategori agak curam, dan kemirngan
lereng 25-40% termasuk kategori curam. Sebagian besar wilayah studi merupakan daerah
dengan topografi datar. Dominasi kelerengan adalah. Topografi curam hanya terdapat di bagian
selatan wilayah studi. Berikut adalah tabel luasan topografi tersebut.
Tabel 2
Luasan topografi di Wilayah studi
Topografi Luas (m2)
0-2 %
45043497
2-15 %
4021546
15-25 %
2359676
25-40%
361259
11
Curah hujan
Gambar 6
Peta Curah Hujan Wilayah Studi
Curah hujan yang ada di wilayah studi merata. Tidak ada daerah yang memiliki jumlah curah
hujan berbeda. Curah hujan di wilayah studi sebesar 27,7-34,8 mm/tahun.
12
Jenis Tanah
Gambar 7
Peta Jenis Tanah Wilayah Studi
Jenis tanah yang ada di wilayah studi terdiri dari 3 jenis, yaitu Aluvial, Asosiasi aluvial
kelabu, dan Mediteran coklat tua. Jenis tanah aluvial berada di sepanjang bagian utara wilayah
studi. Sedangkan sebagian kecil semarang barat memiliki jenis tanah Medirean coklat tua.
Berikut adalah tabel luasan jenis tanah tersebut
Tabel 3
Jenis tanah di Wilayah studi
Jenis Tanah
Aluvial
Asosiasi Aluvial Kelabu
Mediteran Coklat Tua
Luas (m2)
31620974
18361351
1803654
13
Tataguna Lahan
Gambar 8
Peta Tata Guna Lahan Wilayah Studi
Penggunaan lahan di wilayah studi terdiri dari permukiman, tambak, tanah kosong,
sawah, tegalan, akomodasi dan rekreasi, bandar udara,
dll. Sebagian besar kelurahan di
kecamatan tugu meripakan daerah tambak dan sawah. Sedangkan mayoritas penggunaan lahan
di Semarang barat merupakan permukiman. Berikut adalah tabel luasan penggunaan lahan di
wilayah studi.
Tabel 4
Penggunaan lahan di Wilayah studi
TGL
Akomodasi dan Rekreasi
Bandar Udara
Industri
Jasa Pemerintah
Jasa Pendidikan
Kebun Campur
Kuburan
Pemukiman
Perdagangan Umum
Luas (m2)
312365
1103723
1886785
169770
19692
683808
46044
18232492
131415
14
TGL
Sawah
Tambak
Tanah Kosong
Tegalan
Luas (m2)
6791720
21372515
658626
357081
Gambaran Bencana Wilayah Studi
Bencana banjir yang melanda Indonesia merupakan salah satu bencana yang
intensitasnya paling tinggi dan menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.Kejadian
bencana banjir hampir setiap tahun terjadi terutama pada saat musim penghujan.Banyaknya
sungai besar yang tersebar di pulau-pulau di Indonesia menyebabkan semakin luas pula dataran
banjir yang rentan mengalami dampak banjir.Sayangnya kondisi tersebut jugadiimbangi dengan
semakin tingginya jumlah penduduk Indonesia yang mendiami dataran banjir.
Bencana banjir yang terjadi selalu menimbulkan kerugian, baik materiil maupun korban
jiwa.Dampak yang muncul pasca banjir pun selalu merisaukan masyarakat, seperti timbulnya
penyakit, kelaparan dan kemerosotan kesejahteraan. Bagi daerah terpencil, bencana banjir yang
melanda menjadi suatu musibah yang sangat menakutkan, karena bisa saja wilayahnya menjadi
terisolir dan akan sulit menerima bantuan.
Bencana banjir bagi transportasi juga menjadi masalah tersendiri.Air yang menggenangi
jalan menjadi penghambat perjalanan. Jika melihatlebih luas, bahwa transportasi menjadi salah
satu faktor dari pertumbuhan suatu kota. Oleh karena itu bencana banjir juga menjadi faktor
penghambat pertumbuhan kota.
Wilayah Studi merupakan salah satu wilayah yang berada di dataran banjir.Wilayah
Studi adalah pusat pemerintahan yang mempunyai ketinggian dataran 3 meter dari permukaan
air laut dengan luas daerah keseluruhan 1.965.465 Ha yang terbagi dalam 16 kelurahan yaitu :
Ngemplak Simongan, Bongsari, Kalibanteng Kulon, Kalibanteng Kidul, Gisik Drono, Bojong
Salaman, Karang Ayu, Krobokan, Krapyak, Manyaran, Cabean, Tawang Mas, Tawang Sari,
Tambak Harjo, Kebangarum, Salaman Mloyo.
Wilayah Studi adalah sebuah kecamatan di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah,
Indonesia.Wilayah Studi terletak antara 06° 57‟ 18” – 07° 00‟ 54” Lintang Selatan dan 110° 20‟
42” – 110º 23‟ 06” Bujur Timur. Wilayah Studi berada pada daerah pinggiran Kota Semarang,
namun aktivitas yang terjadi di Wilayah Studi sudah cukup maju, hal tersebut terlihat dari
adanya perkantoran, pendidikan, dan aktivitas perindustrian. Pada RTRW Kota Semarang tahun
2010-2030, Wilayah Studi termasuk ke dalam Bagian Wilayah Kota III (BWK III) dengan
fungsi regional sebagai wilayah transportasi laut dan fungsi kota sebagai aktivitas perdagangan.
15
Potensi banjir di Kota Semarang sebagian besar berada di daerah pesisir/pantai dan
daerah sempadan sungai, berdasarkan aspek penyebabnya, jenis banjir yang ada dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: banjir limpasan sungai/banjir kiriman; banjir
lokal; dan banjir pasang (rob).
Banjir pasang (rob) ini terjadi karena pasang air laut yang relatif lebih tinggi
daripada ketinggian permukaan tanah di suatu kawasan. Biasanya terjadi pada kawasan di
sekitar pantai. Penurunan tanah disebabkan empat hal, yaitu eksploitasi air tanah berlebihan,
proses pemampatan lapisan sedimen (yang terdiri dari batuan muda) ditambah pembebanan
tinggi oleh bangunan di atasnya serta pengaruh gaya tektonik. Dampak penurunan tanah dapat
dilihat adanya luasan genangan rob yang semakin besar.
Pada kawasan pantai Kota Semarang sering terjadi banjir akibat dari pasang surut air
laut, yang terkenal dengan banjir rob. Banjir rob adalah genangan air pada bagian daratan pantai
yang terjadi pada saat air laut pasang. Banjir rob menggenangi bagian daratan pantai atau
tempat yang lebih rendah dari muka air laut pasang tinggi (high water level). Beberapa literatur
mengulas bahwa fenomena banjir rob kawasan pantai Semarang merupakan akibat dari
beberapa peristiwa berikut :
Perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai: lahan tambak, rawa dan sawah, yang
dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan
pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya, dengan cara mengurug tambak,
rawa dan sawah, sehingga air laut tidak tertampung lagi, kemudian menggenangi
kawasan yang lebih rendah lainnya. Dari sekitar 790,5 Ha lahan di Kecamatan
Semarang Utara sudah tidak ada lahan tambak, dan dari sekitar 585 Ha lahan total di
Wilayah Studi hanya terdapat sekitar 126,5 Ha lahan tambak (Bappeda, 2000)
Penurunan tanah di kawasan pantai (land subsidence). Penurunan muka tanah pada
wilayah pantai Kota Semarang berkisar antara 2-25 cm/tahun. Khusus di wilayah
Kelurahan Bandarharjo, Tanjung Mas dan sebagian kelurahan Terboyo Kulon emncapai
20 cm/tahun (Dit. Geologi dan tata Lingkungan, 1999)
Penurunan permukaan air tanah sebagai akibat dari penggunaan air tanah yang
berlebihan, dan recharge air tanah pada kawasan konservasi yang buruk. Pengambilan
air tanah Kota Semarang sebesar 35,639 x 106 M6/tahun (Dit. Geologi dan Tata
Lingkungan, 1998)
Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai efek pemanasan global. Antara tahun
1990 hingga tahun 2100 akan terjadi kenaikan suhu rerata permukaan bumi sebesar 1,4
0C – 5,8 0C. Pemanasan global itu akan menyebabkan perubahan iklim bumi, dan
kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) sekitar
1,00 M pada tahun 2100
16
(Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC-Working Group 2, 2001)dengan
tingkat kepadatan penduduk dan bangunan tinggi, ditambah lagi wilayah ini memiliki
jaringan
jalan
yang
rumit.
Letaknyayang
berada
dibagian
hilir
Das
Kaligarangmenjadikan wilayah ini rawan bencana banjir.
Tabel 5
Luas Gerakan Tanah Dalam Lingkup Kecamatan di Kota Semarang
LUAS (Ha)
No.
Kecamatan
1
Banyumanik
1
Gajah Mungkur
2
Gunung Pati
3
Mijen
4
Gerakan
Gerakan Tanah
Gerakan
Gerakan Tanah
Tanah Tinggi
Menengah
Tanah Rendah
Sangat Rendah
634,874
-
-
-
1,686
188,553
314,052
436,068
2,146,988
806,590
2,195,046
998,805
292,455
999,346
930,598
3,161,270
Ngaliyan
90,438
1,396,339
1,602,624
1,401,671
5
Wilayah Studi
33,503
187,702
222,045
1,770,923
6
Semarang Selatan
-
-
-
614,568
7
Semarang Tengah
-
-
-
535,357
8
Semarang Timur
-
-
-
561,733
9
Semarang Utara
-
-
-
1,140,334
10
Tembalang
187,077
1,427,241
646,890
1,258,697
11
Banyumanik
-
538,225
530,112
1,389,390
12
Candisari
-
225,441
102,922
332,553
13
Gayamsari
-
-
-
643,486
14
Genuk
-
-
-
2,729,446
15
Tugu
-
-
-
2,987,229
16
Pedurungan
-
-
-
2,198,633
Sumber : Hasil Pengukuran Peta Gerakan Tanah Kota Semarang, 2009
Tabel 6
Luasan Amblesan Tanah Lingkup Kecamatan Semarang
TINGKAT AMBLESAN (Cm/ Tahun)
NO
KECAMATAN
0-2
2-4
4-6
6-8
>8
1
Gayamsari
166,885
106,153
126,628
25,563
9,039
2
Genuk
483,623
504,301
445,543
103,260
544,072
3
Pedurungan
261,180
91,401
408,065
4
Semarang Selatan
0,672
17
TINGKAT AMBLESAN (Cm/ Tahun)
NO
KECAMATAN
0-2
2-4
4-6
5
Semarang Tengah
69,343
250,077
6
Semarang Timur
204,191
7
Wilayah Studi
403,679
11,625
8
Semarang Timur
129,649
27,295
9
Semarang Utara
6-8
>8
28,855
147,518
262,329
42,539
12,356
294,531
396,829
Sumber : Hasil Pengkuran Peta Amblesan Tanah Kota Semarang, 2009
Tabel 7
Luasan Daerah Rawan Banjir Tiap Kelurahan di Kota Semarang
NO
KECAMATAN
1
Tugu
2
Wilayah Studi
3
PERIMETER
(m2)
LUASAN (Ha)
58.593,618
725,983
8.946,825
77,599
Semarang Tengah
30.243,580
245,091
4
Semarang Selatan
47.213,707
541544
5
Pedurungan
15.092,173
232,454
6
Genuk
71.784,943
1,445,910
7
Ngaliyan
16.779,297
132,625
8
Semarang Timur
18.482,291
221,605
9
Candisari
1.714,102
6,500
10
Gayamsari
16.168,348
233,898
11
Mijen
6.668,759
49,102
12
Banyumanik
2.049,185
21,939
13
Tembalang
11.946,004
106,673
Sumber : Hasil Pengkuran Peta Rawan Banjir Kota Semarang, 2009
18
Gambar 9
Peta Kawasan Banjir Kota Semarang
Kebijakan Perencanaan Mitigasi Bencana
Kebijakan
Berbagai kebijakan yang perlu ditempuh dalam mitigasi bencana antara lain:
a. Dalam setiap upaya mitigasi bencana perlu membangun persepsi yang sama bagi
semua pihak baik jajaran aparat pemerintah maupun segenap unsur masyarakat
yang ketentuan langkahnya diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan
prosedur tetap yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan
bidang tugas unit masing-masing.
b. Pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secara terpadu terkoordinir yang
melibatkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat.
c. Upaya preventif harus diutamakan agar kerusakan dan korban jiwa dapat
diminirnalkan.
d. Penggalangan
kekuatan
melalui
kerjasama
dengan
semua
pihak,
melalui
pemberdayaan masyarakat serta kampanye.
19
Strategi
Untuk melaksanakan kebijakan dikembangkan beberapa strategi sebagai berikut:
a.
Pemetaan.
Langkah pertama dalam strategi mitigasi ialah melakukan pemetaandaerah
rawan bencana. Pada saat ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan
bencana. Peta rawan bencana tersebut sangat berguna bagi pengambil eputusan
terutarna dalam antisipasi kejadian bencana alam. Meskipun demikian sampai saat ini
penggunaan peta ini belum dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
diantaranya adalah :
1. Belum seluruh wilayah di Indonesia telah dipetakan
2. Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik
3. Peta bencana belum terintegrasi
4. Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda beda sehingga
menyulitkan dalam proses integrasinya.
b. Pemantauan.
Dengan mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan antisipasi
jika
sewaktu-waktu
terjadi
bencana,
sehingga
akan
dengan
mudah melakukan
penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan strategic secara jasa dan ekonomi dilakukan
di beberapa kawasan rawan bencana.
c. Penyebaran informasi
Penyebaran informasi dilakukan antara lain dengan cars: memberikan poster dan
leaflet kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi seluruh Indonesia yang rawan
bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan penanganan bencana. Memberikan
informasi ke media cetak dan etektronik tentang kebencanaan adalah salah satu cara
penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana
geologi
di
suatu
kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah
daerah
dalam
hal
penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia sangat luas.
d. Sosialisasi dan Penyuluhan
Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan kepada SATKORLAK PB, SATLAK PB, dan masyarakat bertujuan meningkatkan kewaspadaan dan
kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal
penting
yang
perlu
diketahui masyarakat dan Pernenntah Daerah ialah mengenai hidup harmonis dengan
alam di daerahbencana, apa yang perlu ditakukan dan dihindarkan di daerah rawan
bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana.
e. Pelatihan/Pendidikan
20
Pelatihan difokuskan kepada tata cara pengungsian dan penyelamatan jika
terjadi bencana. Tujuan latihan lebrh ditekankan pada alur informasi dan petugas
lapangan, pejabat teknis, SATKORLAK PB, SATLAK PB dan masyarakat sampai ke
tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Denganpelatihan ini terbentuk
kesiagaan tinggi menghadapi bencana akan terbentuk.
f.
Peringatan Dini
Peringatan dini dimaksudkan untuk memberitahukan tingkat kegiatan basil
pengamatan secara kontinyu di suatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan
secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana.
Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah
dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam menghindarkan diri dari
bencana. Peringatan dini dan basil pemantauan daerah rawan bencana berupa saran teknis
dapat berupa antana
lain
pengalihan
jalur jalan
(sementara
atau
seterusnya),
pengungsian dan atau relokasi, dan saran penanganan lainnya.
Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana banjir antara lain:
a. Pengawasan penggunaan lahan dan perencanaan lokasi untuk menempatkan
fasilitas vital yang rentan terhadap banjir pada daerah yang aman.
b. Penyesuaian desain bangunan di daerah banjir harus tahan terhadap banjir dan
dibuat bertingkat.
c. Pembangunan infrastruktur harus kedap air.
d. Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang sungai, tembok laut
sepanjang pantai yang rawan badai atau tsunami akan sangat membantu untuk
mengurangi bencana banjir.
e. Pengaturan kecepatan aliran air permukaan dan daerah hulu sangat membantu
mengurangi terjadinya bencana banjir. Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk
mengatur kecepatan air masuk kedalam sistem pengaliran diantaranya adalah
dengan pembangunan bendungan/ waduk, reboisasi dan pembangunan sistem
peresapan.
f.
Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai baik secara saluran terbuka
maupun dengan pipa atau terowongan dapat membantu mengurangi resiko
banjir.
g. Pembuatan tembok penahan dan tembok pemecah ombak untuk mengurangi
energi ombak jika terjadi badai atau tsunami untuk daerah pantai.
h. Memperhatikan karakteristik geografi pantai dan bangunan pemecahgelombang
untuk daerah teluk.
21
i.
Pembersihan sedimen.
j.
Pembangunan pembuatan saluran drainase.
k. Peningkatan kewaspadaan di daerah dataran banjir.
l.
Desain bangunan rumah tahan banjir (material tahan air, fondasi kuat).
m. Pelatihan pertanian yang sesuai dengan kondisi daerah banjir.
n. Meningkatkan kewaspadaan terhadap penggundulan hutan.
o. Pelatihan tentang kewaspadaan banjir seperti cara penyimpanan/ pergudangan
perbekalan, tempat istirahat/tidur di tempat yang aman (daerah yang tinggi).
p. Persiapan evakuasi bencana banjir seperti perahu dan alat-alat penyelamatan
lainnya.
ANALISIS KERAWANAN BENCANA
Analisis Rawan Bencana Banjir
Gambar 10
Peta Kerawanan Banjir
22
Peta di atas menunjukkan adanya kerawanan banjir di beberapa bagian wilayah studi.
Meskipun luasan daerah rawan banjir yang ada tidak sama, akan tetapi jika melihat
daripersebarannya hampir seluruh keluarahan di Kecamatan Tugu dan Semarang Barat rawan
terhadap bencana banjir. Kawasan rawan banjir ini didapatkan dari peraturan daerah kota
Semarang no 14 tahun 2012.
Tabel 8
Luas daerah genangan banjir di wilayah studi
KELURAHAN
LUAS
LUAS BANJIR
WILAYAH
(Ha)
PROSENTASE
(%)
Bojong Salaman
53,79449103
14,61662706
27%
Cabean
29,03001322
29,03000894
100%
Gisikdrono
113,7337681
32,85946397
29%
Jerakah
143,3423387
10,81745413
8%
Kalibanteng Kidul
44,38171577
1,501589629
3%
Kalibanteng Kulon
98,22399633
66,70004637
68%
Karang Anyar
470,9446809
80,01382105
17%
Karang Ayu
65,67933161
65,67933161
100%
Kembang Arum
189,9873621
50,19892233
26%
Krapyak
98,15604443
13,4725653
14%
Krobokan
87,23885458
87,23884261
100%
Mangkang Kulon
541,6547112
228,5161143
42%
Mangkang Wetan
409,0571311
82,22566188
20%
Mangunharjo
489,1630754
46,40442731
9%
Randugarut
485,4873276
56,2638763
12%
Salaman Mloyo
46,94154051
22,57745627
48%
Tambakharjo
534,1605399
446,0762308
84%
Tawangmas
124,0308087
124,0304401
100%
Tawangsari
362,3696905
266,215074
73%
Tugurejo
585,2410475
100,2530139
17%
23
Analisis Rawan Bencana Abrasi
Berdasarkan hasil dari analisis peta kerawanan abrasi yang terjadi di wilayah studi,
maka dapat diketahui bahwa tingkat kerawanan yang ada terdiri dari 2 jenis, yaitu sedang dan
tinggi. Tingkat kerawanan tinggi berada di bagian paling utara dari wilayah studi. Hal ini sangat
dimungkinkan terjadi mengingat letak yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Sementara
itu untuk tingkat kerawanan sedang berda di bagian selatan daerah dengan tingkat kerawanan
tinggi. Tingkat kerawanan pada daerah tersebut lebih kecil karena lokasinya yang tidak
berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Gambar 11
Peta Kerawanan Abras
24
Analisis Kerentanan fisik
Analisis Kerentanan Kepadatan
Bangunan
Gambar 12
Peta Kerentanan Kepadatan Bangunan
Tingkat
kerentanan
ini
didapat
berdasarkan
standar
dari
Kepmen
PUu
no.378/KPTS/1987. Peta kerentanan kepadatan bangunan di atas menunjukkan bahwa adanya
kerentanan kepadatan penduduk di wilayah studi pada skala sangat rendah hingga rendah. Jika
dilihat dari urgensi nya maka untuk aspek kepadatan bangunan dapat dianggap belum begitu
rentan. Kerentanan rendah didapatkan sejumlah 13 kelurahan yang seluruhnya terdapat
Kecamatan Semarang barat dengan yaitu kelurahan Krobokan, Karangayu, Cabean, Kalibanteng
kulon, kalibanteng kidul,Salaman mloyo, Bojong salaman, Gisikdrono, Bongsari, Ngemplak,
Simongan, Manyaran, dan Kembangarum. Sementara kelurahan lainnya dan semua kelurahan di
Kecamatan Tugu merupakan tingkat kerentanan kepadatan bangunan sangat rendah.
25
Analisis kerentanan jaringan jalan
Gambar 13
Peta Kerentanan Jaringan Jalan
Peta kerentanan jaringan jalan didapatkan dengan cara identifikasi rasio genangan jaringan
jalan. Jaringan jalan yang terkena genangan dilakukan pembobotan berdasarkan kelas jalan
kemudian skoring didapatkan dari panjang jalan yang terkena genangan. Jaringan jalan yang
digunakan dalam melakukan analisis kerentanan jaringan jalan adalah 5 jenis, yaitu jalan arteri
primer, arteri sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder, dan jalan lokal. Berdasarkan hasil
analisis kerentanan jaringan jalan dapat diketahui bahwa terdapat 3 tingkatan kerentanan.
Tingkat kerentanan tersebut yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kelurahan yang memiliki
kerentanan tinggi sebanyak 3 kelurahan yaitu Kembangarum, Kalibanteng kulon, dan
Gisikdrono. Kemudian kelurahan yang memiliki kerentanan sedang sebanyak 6 kelurahan yaitu
Cabean, Krobokan, Karangayu, Tawangmas, Tawangsari, dan Tambakharjo. Sedangkan
kelurahan lainnya memiliki tingkat kerentanan rendah. Kelurahan yang memiliki tingkat
kerentanan tinggi disebabkan karena banyaknya jumlah jalan yang dimiliki daerah tersebut. Hal
tersebut kemudian mengindikasikan bahwa semakin sedikit jumlah jalan dan semakin kecil
hierarki jalan dapat mengurangi tingkat kerentanan jaringan jalan yang terjadi di suatu wilayah.
26
Analisis kerentanan fasilitas umum
Gambar 14
Peta Kerentanan Fasilitas Umum
Peta kerentanan fasilitas umum didapatkan berdasarkan Perka BNPB tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana. Tingkat kerentanan didapatkan dari hasil skoring
fasilitas yang terdapat di tiap kelurahan. Tiap fasilitas dilakukan pembobotan dengan kriteria
pembobotan gedung pemerintah = 1, sekolah = 2, dan rumah sakit = 3. Terdapat 3 tingkat
kerentanan fasilitas umum yang terdapat di wilayah studi yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
Tingkat kerentanan tinggi hanya ada di Kelurahan Gisikdrono. Kemudian tingkat kerentanan
sedang terdapat di 9 kelurahan yaitu Krobokan, Karangayu, Kalibanteng kidul, Manyaran,
Kembangarum, Tambakharjo, Karanganyar, Mangkang wetan, dan Mangunharjo. Sementara
untuk kelurahan lainnya merupakan kelurahan dengan tingkat kerentanan rendah.
27
Analisis Kerentanan Fisik
Gambar 15
Peta Kerentanan Fisik
Peta kerentanan fisik didapatkan dari overlay peta kerentanan kepadatan bangunan, kerentanan
jaringan jalan, dan kerentanan fasilitas umum. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa
tingkat kerentanan fisik pada wilayah studi memiliki 3 tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan
tinggi. Tingkat kerentanan fisik tinggi berada pada Kelurahan Gisikdrono. Kemudian untuk
tingkat kerentanan sedang terdapat di 9 kelurahan yaitu Krobokan, Cabean, Karangayu,
Kalibanteng kulon, Kalibanteng kidul, Manyaran, Kembangarum, Tambakharjo, Karanganyar,
dan Mangunharjo Sementara kelurahan lainnya merupakan rendah sebanyak 13 kelurahan.
28
Analisis risiko banjir
Gambar 16
Peta Risiko Banjir
Peta resiko banjir didapatkan dari hasil overlay kerentanan fisik dengan kerawanan banjir.
Tingkat resiko banjir yang ada di wilayah studi terbagi menjadi 3, yaitu rendah, sedang, dan
tinggi. Resiko banjir tinggi terdapat di 1 daerah yaitu sebagian wilayah kelurahan Gisikdrono.
Kemudian untuk daerah beresiko sedang terdapat di 3 kelurahan yaitu sebagian Karangayu,
Kalibanteng kulon, dan Kembangarum. Sementara untuk daerah lainnya memiliki tingkat resiko
rendah. Berikut adalah tabel luasan daerah yang termasuk beresiko banjir.
Tabel 9
Luasan resiko banjir wilayah studi
KELURAHAN
RESIKO BANJIR
Luas (Ha)
Bojong Salaman
Rendah
14,61663
Cabean
Rendah
29,03001
Gisikdrono
Tinggi
32,85946
Jerakah
Rendah
10,81745
Kalibanteng Kidul
Rendah
1,501589
Kalibanteng Kulon
Sedang
66,70005
Karang Anyar
Rendah
80,01382
29
KELURAHAN
RESIKO BANJIR
Luas (Ha)
Karang Ayu
Sedang
65,67933
Kembang Arum
Sedang
50,19892
Krapyak
Rendah
13,47257
Krobokan
Rendah
87,23885
Mangkang Kulon
Rendah
228,5161
Mangkang Wetan
Rendah
82,22566
Mangunharjo
Rendah
46,40443
Randugarut
Rendah
56,26387
Salaman Mloyo
Rendah
22,57746
Tambakharjo
Rendah
446,0762
Tawangmas
Rendah
124,0305
Tawangsari
Rendah
266,2151
Tugurejo
Rendah
100,253
Analisis risiko bencana abrasi
Gambar 17
Peta Risiko Abrasi
30
Peta resiko bencana abrasi didapatkan dari overlay kerentanan fisik dengan peta kerawanan
abrasi. Tingkat resiko yang ada di wilayah studi hanya terbagi menjadi 3 kelas, yaitu rendah,
sedang, dan tinggi. Persebaran tingkat risiko abrasi tersebut cukup merata. Setiap tingkat
memiliki luas cakupan yang hampir sama besar seperti tingkat lainnya. Berikut adalah tabel
tingkat resiko abrasi di wilayah studi.
Tabel 10
Resiko abrasi wilayah studi
RESIKO
KELURAHAN
LUAS HA
ABRASI
SEDANG
58,13214
TINGGI
28,6674
Karang Anyar
Mangkang Kulon
RENDAH
39,48387
RENDAH
22,0439
SEDANG
11,61237
SEDANG
78,26399
TINGGI
39,97815
RENDAH
37,00782
SEDANG
15,87434
RENDAH
0,049719
SEDANG
70,46027
TINGGI
46,54147
RENDAH
78,93015
SEDANG
45,92512
RENDAH
91,62534
SEDANG
0,049719
Mangkang Wetan
Mangunharjo
Randugarut
Tambakharjo
Tawangsari
Tugurejo
31
ARAHAN POLA RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA
Gambar 18
Peta Arahan Pola Ruang Mitigasi Bencana Banjir
32
Peta di atas merupakan hasil sekaligus rekomendasi penataan ruang berbasis mitigasi
bencana banjir di wilayah studi. Setelah melakukan serangkaian analisis kemudian didapatkan
suatu arahan pola ruang mitigasi bencana banjir dan abrasi. Peta arahan tersebut merupakan
hasil overlay dari poloa ruang Kota Semarang dengan resiko bencana. Arahan tersebut bisa
dijadikan suatu rekomendasi terkait penataaan ruang di kawasan pesisir Semarang berkaitan
dengan mitigasi bencana. Dari peta diatas terlihat bahwa lahan yang berbatasan langsung
dengan Laut Jawa tidak dianjurkan untuk difungsikan sebagai kawasan budidaya. Penggunaan
lahan permukiman, tambak, dan perkantoran hanya boleh berada di beberapa lokasi saja.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa terdapat ketidaksesuaian antara rencana tata ruang
Kota Semarang dengan hasil dari analisis kerentanan fisik yang terjadi, khususnya pada
Kecamatan Tugu dan Kecamatan Semarang Barat. Berikut beberapa arahan terhadap pola ruang
berbasis mitigasi bencana diantaranya:
a.
Tidak diizinkan adanya pembangunan permukiman baru di kawasan rawan bencana
banjir khususnya di daerah dengan risiko tinggi dan sedang. Seperti di kelurahan
Kembang arum, Kalibanteng kulon, Karang ayu dan Gisikdono.
b.
Diizinkan bangunan yang mampu beradaptasi dengan permasalahan kawasan
c.
Dilarang kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya banjir seperti membuang
sampah di daerah aliran sungai, melakukan konversi pada lahan konservasi, merusak
infrastruktur drainase dsb.
d.
Diizinkan terbatas untuk membangun sarana pemantauan bencana
e.
Diizinkan terbatas untuk penggunaan lahan sebagai kawasan permukiman khususnya di
kawasan dengan risiko rendah.
f.
Diizinkan rekayasa teknis pada lokasi tertentu, seperti pembuatan bangunan pemecah
ombak, tanggul, kolam retensi dan kanal limpasan.
33
Gambar 19
Peta Arahan Pola Ruang Mitigasi Bencana Abrasi
34
Peta di atas merupakan hasil sekaligus rekomendasi penataan ruang berbasis mitigasi bencana
abrasi di wilayah studi. Terlihat bahwa lahan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa tidak
dianjurkan untuk difungsikan sebagai kawasan terbangun. Penggunaan lahan permukiman,
akomodasi dan rekreasi hanya boleh berada di beberapa lokasi saja. Sementara daerah yang
berbatasan langsung dengan Laut Jawa masih dapat dimanfaatkan sebagai tambak. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa terdapat ketidaksesuaian antara rencana tata ruang Kota
Semarang dengan hasil dari analisis kerentanan fisik yang terjadi, khususnya pada Kecamatan
Tugu dan Kecamatan Semarang Barat. Berikut beberapa arahan terhadap pola ruang berbasis
mitigasi bencana diantaranya:
1.
Tidak diizinkan adanya aktivitas terbangun kecuali untuk kepentingan pengamanan dan
perlindungan pantai
2.
Tidak diizinkan adanya pembangunan permukiman baru di kawasan dengan risiko
tinggi bencana abrasi yaitu di Kelurahan Karangnyar, Mangunharjo dan Tambakharjo
3.
Diizinkan terbatas perkembangan kawasan budidaya non terbangun di kawasan rawan
abrasi
4.
diizinkan terbatas untuk membangun sarana pemantauan bencana
5.
Diizinkan rekayasa teknis pada lokasi tertentu untuk mengurangi abrasi
35
DAFTAR PUSTAKA
http://pilnas.ristek.go.id/jurnal/index.php/record/view/52164. Diunduh Mingggu, 4 Januari 2015
http://semarangkota.go.id/berita/read/7/berita-kota/111/penurunan-muka-tanah-jadi-faktorutama-banjir-dan-rob#sthash.ZYN5SYFe.dpuf. Diunduh Mingggu, 4 Januari 2015
http://www.bintari.org/index.php/lingkup-kerja/perubahan-iklim/35-kerentanan-semarangterhadap-perubahan-iklimKerentanan Semarang Terhadap Perubahan Iklim. Diunduh
Mingggu, 4 Januari 2015
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor: 15 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Mitigasi Bencana Gunungapi, Gerakan Tanah, Gempabumi, Dan Tsunami.
PP Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010 Tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Simanjuntak, Simson Frima dan Wakhidah Kurniawati. 2011. “Pola Ketahanan Aktivitas
Ekonomi pada Kawasan Rawan Bencana Rob dan Banjir Tahunan di Kota Lama
Semarang”. Thesis Program S-2 Magister Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas
Diponegoro. Semarang.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
36
KAJIAN ARAHAN RENCANA POLA RUANG BERBASIS
MITIGASI BENCANA KAWASAN PESISIR SEMARANG BARAT
KOTA SEMARANG
(Tugas Mata Kuliah Mitigasi Bencana )
Dikumpulkan 23 Desember 2014
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. rer. nat. Imam Buchori, ST
Anang Wahyu Sejati, ST, MT
Disusun oleh
Muharar Ramadhan
(21040111130083)
Maulana Felik V. K
(21040111130031)
Hanandi Prabowo
(21040111130117)
Tia Adelia S
(21040111130035)
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rob dan banjir masih menjadi ancaman bagi warga Kota Semarang, khususnya di
wilayah bawah. Website Semarang Kota menyebutkan, di beberapa wilayah, ancaman banjir
dan rob selalu datang hampir tiap tahun. Beberapa wilayah yang dimaksud diantaranya adalah
Kecamatan Tugu, Wilayah Studi, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Timur,
Pedurungan, Gayamsari dan Kecamatan Genuk. Rob di Semarang berdasarkan hasil studi lebih
disebabkan oleh penurunan tanah yang terjadi setiap tahunnya yang rata-rata 5-9 cm per tahun
di Semarang bagian bawah, bukan karena kenaikan air laut (www.Bintari.org). Sebagai contoh
dari fenomena penurunan muka tanah ini adalah diketahui bahwa ketinggian rata-rata di wilayah
Kota Lama berkisar antara 0,5–1 m di atas permukaan air laut dengan kelerengan yang sangat
kecil yaitu 0-2 %. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi di Kawasan Kota Lama secara
umum relatif datar. Dan selalu mengalami penurunan tanah/land subsidence sebesar 8-9
cm/tahun (Bappeda Kota Semarang, 2006).
Pakar Hidrologi Undip, Nelwan menuturkan, upaya pemerintah untuk mengatasi
genangan banjir di Kota Semarang dirasa belum optimal. Artinya, rencana untuk membuat
saluran baru memang suatu yang perlu didukung, misalnya mengalirkan air hujan untuk
ditampung di kolam retensi kemudian dibawa ke laut. Akan tetapi, fungsi rumah pompa harus
mutlak dimaksimalkan. Kondisi ini karena penyebab banjir itu tidak semata masalah drainase,
tetapi juga muka tanah di Semarang sudah berada di bawah air pasang laut.
Perumusan Masalah
Wilayah Studi merupakan salah satu kecamatan yang terdampak bencana banjir dan rob
yang terjadi di Kawasan Pesisir Kota Semarang. Dengan demikian, kemungkinan Wilayah Studi
dalam mengalami kerentanan fisik tergolong tinggi.
Dari segi kerentanan, di Wilayah Studi dapat ditemui banyak permukiman dekat dengan
kawasan rawan bencana. Permukiman tersebut umumnya telah dihuni dan ini sangat berbahaya
apabila perencanaan tata ruang dan mitigasi bencana tidak disinkronkan Dengan adanya
kerawanan dan kerentanan yang akan memunculkan suatu resiko bencana di Wilayah Studi,
maka berbasis permasalahan ini akan dirancang konsep mitigasi bencana berbasis penataan
ruang sehingga dapat mengurangi kerentanan fisik yang terjadi di kecamatan tersebut.\\
3
Tujuan dan Sasaran
Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk memberikan rekomendasi mitigasi
yang tepat dalam rangka membantu mengurangi resiko kerentanan fisik yang terjadi di kawasan
pesisir Kota Semarang, khususnya Wilayah Studi.
Sasaran
Dalam mencapai tujuan dari penyusunan laporan maka sasaran yang perlu diperhatikan
antara lain:
1. Mengidentifikasi kondisi fisik dan non fisik Wilayah Studi;
2. Mengidentifikasi karakteristik bencana yang terjadi di Wilayah Studi;
3. Mengidentifikasi kerentanan fisik yang terjadi di Wilayah Studi;
4. Mengidentifikasi penanganan kerentanan fisik di Wilayah Studi
4
Kerangka Pikir
Penurunan Muka Tanah
Perubahan Iklim
Perubahan TGL
Bencana banjir,
rob, dan abrasi
UU no 24/2007
Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana
Bagaimana arahan penataan ruang berbasis mitigasi bencana di Wilayah Studi?
RTRW Kota
Semarang
Analisis kepadatan
bangunan (Kepmen PU
no 378/KPTS/1987)
Analisis kondisi
jaringan jalan
(Menteri PU, 2007)
Analisis ketersediaan
fasilitas umum (Perka
BNPB no 2/2012)
Analisis kerentanan
kepadatan bangunan
Analisis kerentanan
jaringan jalan
Analisis kerentanan
fasilitas umum
Analisis rawan
bencana banjir
Analisis rawan
bencana abrasi
Analisis Kerentanan Fisik
Analisis risiko
bencana banjir
Analisis risiko
bencana abrasi
Analisis Pola Ruang
Kesimpulan
Rekomendasi
Arahan penataan ruang
berbasis mitigasi bencana
banjir
Arahan penataan ruang
berbasis mitigasi bencana
abrasi
Gambar 1
Kerangka Pikir
5
Kerangka Kerja
Jumlah
Bangunan
Perhitungan
statistik
Kepadatan
Bangunan
Peta Kerawanan
Banjir dan Rob
Luas
Wilayah
Skoring dan
Overlay
Peta Risiko
Bencana
Banjir dan rob
Skoring dan
Overlay
Peta Risiko
Bencana
Abrasi
Jaringan
Jalan
Superimpose
Luas
Genangan
Banjir dan
rob
Lokasi
Fasilitas
Umum
Superimpose
Kondisi
Kondisi
Jaringan
Jaringan
Jalan
Jalan
tergenang
tergenang
Skoring dan
Overlay
Keersedia
Keersediaan
an
fasilitas
fasilitas
umum
umum
Peta
Kerentanan
Fisik
Peta Kerawanan
Abrasi
Wilayah
kelurahan
Gambar 2
Kerangka Kerja
KAJIAN LITERATUR
Pengertian Mitigasi Bencana
Bencana alam yang terjadi tidak bisa diprediksi kapan datangnya, karena itu datangnya
tiba-tiba. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita berusaha untuk dapat
mengurangi dampak-dampak yang terjadi akibat datangnya bencana alam serta seberapa jauh
kesiapan kita dalam menghadapi bencana alam yang akan terjadi. Mitigasi merupakan dasar
managemen situasi darurat, meliputi segala tindakan untuk mencegah bahaya, mengurangi
kemungkinan terjadinya bahaya dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat
dihindarkan.
Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan
penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana untuk mengurangi
dampak merugikan yang ditimbulkan oleh suatu bencana. seperti mencegah kehilangan jiwa,
mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang
mengenai risiko, serta mengurangikerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan
6
sumber ekonomis. Dalam bukunya, Randlolph mengungkapkan bahwasanya mitigasi bencana
merupakan usaha jangka panjang dalam mengurangi dampak dari suatu kejadian bencana
(Randlolph, 2004).
Sedangkan menurut kodoatie, mitigasi adalah tindakan-tindakan untuk mereduksi
dampak bencana, baik dampak ke komunitas yaitu jiwa danharta maupun dampak ke
infrastruktur atau apabila dikaitkan dengan waktunya, mitigasi merupakan tindakan preventiv
(Kodoatie, 2006: 143).
Mitigasi berhubungan dengan banyak aspek dari perencanaan dan manajemen lingkungan.
Dalam mitigasi bencana terdapat hirarki dari strategi mitigasi dampak lingkungan (Randlolph,
2004) yaitu:
1.
2.
Menghindari dampak
Mengurangi dampak dengan memodifikasi lokasi (berpindah pada kawasan dengan
dampak yang lebih sedikit)
3.
Mengurangi dampak dengan memodifikasi desain
4.
Mengganti kerugian akibat bencana
Mitigasi bencana dapat dikelompokkan berdasarkan waktu datangnya ancaman
bencana, yaitu pra-bencana, tanggap darurat dan pasca bencana.
1. Pra-bencana yaitu tindakan mitigasi yang dilakukan sebelum bencana itu datang.
Adapun tindakan yang perlu dilakukan mencakup kegiatan pencegahan, kesiapsiagaan,
serta peringatan dini.
2. Saat terjadi bencana/tanggap darurat: mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan korban sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR),
bantuan darurat dan evakuasi/pengungsian. Tindakan evakuasi dilakukan untuk
menghindarkan para korban bencana dari dampak yang lebih buruk.
3. Pasca bencana: mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Kegiatan
pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat yang terkena
bencana, dengan memfungsikan kembali infrastruktur penunjang masyarakat. Pada
tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan
dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan
rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi
seperti ketakutan, trauma atau depresi.
Langkah penting dalam tindakan mitigasi tersebut meliputi: 1) penilaian bahaya (hazard
assessment), 2) peringatan (warning) dan 3) persiapan (preparedness). Unsur kunci Iainnya
yang tidak terlibat langsung dalam mitigasi tetapi sangat mendukung adalah penelitian yang
terkait dengan bencana.
7
Pengertian Kerentanan
Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila „bahaya‟ terjadi
pada „kondisi yang rentan‟, seperti yang dikemukakan Awotona (1997:1-2):
“…... Natural disasters are the interaction between natural hazards and vulnerable
condition”. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial
kependudukan, dan ekonomi. Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi
fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu.
Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indikator sebagai berikut : persentase
kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan
listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA. Wilayah
permukiman di Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena
persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi darurat di
perkotaan sangat tinggi sedangkan persentase, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan
telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA sangat rendah. Kerentanan sosial menggambarkan
kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya (hazards).
Pada kondisi sosial yang rentan maka jika terjadi bencana dapat dipastikan akan
menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain
kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan
penduduk wanita. Kota kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial yang tinggi karena
memiliki prosentase yang tinggi pada indicator-indikator tersebut. Kerentanan ekonomi
menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya
(hazards). Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah persentase rumah tangga
yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan terhadap pemutusan hubungan kerja) dan
persentase rumah tangga miskin. Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan sosial
tersebut di atas menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi,
sehingga hal ini mempengaruhi/menyebabkan tingginya risiko terjadinya bencana di wilayah
Indonesia.
8
GAMBARAN UMUM
Wilayah Studi
Gambar 3
Peta Administrasi Wilayah Studi
Wilayah studi terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Tugu dan Kecamatan Semarang Barat.
Kedua kecamatan ini dipilih sebagai wilayah studi karena berbatasan langsung dengan Laut
Jawa sehingga dianggap memililki resiko bencana banjir dan abrasi yang tinggi.
9
Kondisi Fisik
Jaringan Jalan
Gambar 3
Peta Jaringan Jalan Wilayah Studi
Berdasarkan peta jaringan jalan pada wilayah studi diketahui bahwa terdapat jalan jenis arteri
primer, arteri sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder, dan jalan lokal. Berikut adalah total
panjang jalan yang terdapat di Kecamatan Tugu dan Semarang barat.
Tabel 1
Panjang Jalan di Wilayah studi
Kelas Jalan
Arteri Primer
Arteri Sekunder
Kolektor Primer
Kolektor
Sekunder
Lokal
Panjang
(m)
6521,883
11117,533
3403,697
33354,087
360726,765
10
Topografi
Gambar 4
Peta Topografi Wilayah Studi
Kondisi topografi yang ada di wilayah studi adalah kategori datar hingga curam. Topografi
dengan kemiringan lereng 0-2% termasuk kategori datar. Kemiringan lereng 2-15% termasuk
kategori landai. Kemiringan lereng 15-20% termasuk kategori agak curam, dan kemirngan
lereng 25-40% termasuk kategori curam. Sebagian besar wilayah studi merupakan daerah
dengan topografi datar. Dominasi kelerengan adalah. Topografi curam hanya terdapat di bagian
selatan wilayah studi. Berikut adalah tabel luasan topografi tersebut.
Tabel 2
Luasan topografi di Wilayah studi
Topografi Luas (m2)
0-2 %
45043497
2-15 %
4021546
15-25 %
2359676
25-40%
361259
11
Curah hujan
Gambar 6
Peta Curah Hujan Wilayah Studi
Curah hujan yang ada di wilayah studi merata. Tidak ada daerah yang memiliki jumlah curah
hujan berbeda. Curah hujan di wilayah studi sebesar 27,7-34,8 mm/tahun.
12
Jenis Tanah
Gambar 7
Peta Jenis Tanah Wilayah Studi
Jenis tanah yang ada di wilayah studi terdiri dari 3 jenis, yaitu Aluvial, Asosiasi aluvial
kelabu, dan Mediteran coklat tua. Jenis tanah aluvial berada di sepanjang bagian utara wilayah
studi. Sedangkan sebagian kecil semarang barat memiliki jenis tanah Medirean coklat tua.
Berikut adalah tabel luasan jenis tanah tersebut
Tabel 3
Jenis tanah di Wilayah studi
Jenis Tanah
Aluvial
Asosiasi Aluvial Kelabu
Mediteran Coklat Tua
Luas (m2)
31620974
18361351
1803654
13
Tataguna Lahan
Gambar 8
Peta Tata Guna Lahan Wilayah Studi
Penggunaan lahan di wilayah studi terdiri dari permukiman, tambak, tanah kosong,
sawah, tegalan, akomodasi dan rekreasi, bandar udara,
dll. Sebagian besar kelurahan di
kecamatan tugu meripakan daerah tambak dan sawah. Sedangkan mayoritas penggunaan lahan
di Semarang barat merupakan permukiman. Berikut adalah tabel luasan penggunaan lahan di
wilayah studi.
Tabel 4
Penggunaan lahan di Wilayah studi
TGL
Akomodasi dan Rekreasi
Bandar Udara
Industri
Jasa Pemerintah
Jasa Pendidikan
Kebun Campur
Kuburan
Pemukiman
Perdagangan Umum
Luas (m2)
312365
1103723
1886785
169770
19692
683808
46044
18232492
131415
14
TGL
Sawah
Tambak
Tanah Kosong
Tegalan
Luas (m2)
6791720
21372515
658626
357081
Gambaran Bencana Wilayah Studi
Bencana banjir yang melanda Indonesia merupakan salah satu bencana yang
intensitasnya paling tinggi dan menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.Kejadian
bencana banjir hampir setiap tahun terjadi terutama pada saat musim penghujan.Banyaknya
sungai besar yang tersebar di pulau-pulau di Indonesia menyebabkan semakin luas pula dataran
banjir yang rentan mengalami dampak banjir.Sayangnya kondisi tersebut jugadiimbangi dengan
semakin tingginya jumlah penduduk Indonesia yang mendiami dataran banjir.
Bencana banjir yang terjadi selalu menimbulkan kerugian, baik materiil maupun korban
jiwa.Dampak yang muncul pasca banjir pun selalu merisaukan masyarakat, seperti timbulnya
penyakit, kelaparan dan kemerosotan kesejahteraan. Bagi daerah terpencil, bencana banjir yang
melanda menjadi suatu musibah yang sangat menakutkan, karena bisa saja wilayahnya menjadi
terisolir dan akan sulit menerima bantuan.
Bencana banjir bagi transportasi juga menjadi masalah tersendiri.Air yang menggenangi
jalan menjadi penghambat perjalanan. Jika melihatlebih luas, bahwa transportasi menjadi salah
satu faktor dari pertumbuhan suatu kota. Oleh karena itu bencana banjir juga menjadi faktor
penghambat pertumbuhan kota.
Wilayah Studi merupakan salah satu wilayah yang berada di dataran banjir.Wilayah
Studi adalah pusat pemerintahan yang mempunyai ketinggian dataran 3 meter dari permukaan
air laut dengan luas daerah keseluruhan 1.965.465 Ha yang terbagi dalam 16 kelurahan yaitu :
Ngemplak Simongan, Bongsari, Kalibanteng Kulon, Kalibanteng Kidul, Gisik Drono, Bojong
Salaman, Karang Ayu, Krobokan, Krapyak, Manyaran, Cabean, Tawang Mas, Tawang Sari,
Tambak Harjo, Kebangarum, Salaman Mloyo.
Wilayah Studi adalah sebuah kecamatan di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah,
Indonesia.Wilayah Studi terletak antara 06° 57‟ 18” – 07° 00‟ 54” Lintang Selatan dan 110° 20‟
42” – 110º 23‟ 06” Bujur Timur. Wilayah Studi berada pada daerah pinggiran Kota Semarang,
namun aktivitas yang terjadi di Wilayah Studi sudah cukup maju, hal tersebut terlihat dari
adanya perkantoran, pendidikan, dan aktivitas perindustrian. Pada RTRW Kota Semarang tahun
2010-2030, Wilayah Studi termasuk ke dalam Bagian Wilayah Kota III (BWK III) dengan
fungsi regional sebagai wilayah transportasi laut dan fungsi kota sebagai aktivitas perdagangan.
15
Potensi banjir di Kota Semarang sebagian besar berada di daerah pesisir/pantai dan
daerah sempadan sungai, berdasarkan aspek penyebabnya, jenis banjir yang ada dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: banjir limpasan sungai/banjir kiriman; banjir
lokal; dan banjir pasang (rob).
Banjir pasang (rob) ini terjadi karena pasang air laut yang relatif lebih tinggi
daripada ketinggian permukaan tanah di suatu kawasan. Biasanya terjadi pada kawasan di
sekitar pantai. Penurunan tanah disebabkan empat hal, yaitu eksploitasi air tanah berlebihan,
proses pemampatan lapisan sedimen (yang terdiri dari batuan muda) ditambah pembebanan
tinggi oleh bangunan di atasnya serta pengaruh gaya tektonik. Dampak penurunan tanah dapat
dilihat adanya luasan genangan rob yang semakin besar.
Pada kawasan pantai Kota Semarang sering terjadi banjir akibat dari pasang surut air
laut, yang terkenal dengan banjir rob. Banjir rob adalah genangan air pada bagian daratan pantai
yang terjadi pada saat air laut pasang. Banjir rob menggenangi bagian daratan pantai atau
tempat yang lebih rendah dari muka air laut pasang tinggi (high water level). Beberapa literatur
mengulas bahwa fenomena banjir rob kawasan pantai Semarang merupakan akibat dari
beberapa peristiwa berikut :
Perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai: lahan tambak, rawa dan sawah, yang
dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan
pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya, dengan cara mengurug tambak,
rawa dan sawah, sehingga air laut tidak tertampung lagi, kemudian menggenangi
kawasan yang lebih rendah lainnya. Dari sekitar 790,5 Ha lahan di Kecamatan
Semarang Utara sudah tidak ada lahan tambak, dan dari sekitar 585 Ha lahan total di
Wilayah Studi hanya terdapat sekitar 126,5 Ha lahan tambak (Bappeda, 2000)
Penurunan tanah di kawasan pantai (land subsidence). Penurunan muka tanah pada
wilayah pantai Kota Semarang berkisar antara 2-25 cm/tahun. Khusus di wilayah
Kelurahan Bandarharjo, Tanjung Mas dan sebagian kelurahan Terboyo Kulon emncapai
20 cm/tahun (Dit. Geologi dan tata Lingkungan, 1999)
Penurunan permukaan air tanah sebagai akibat dari penggunaan air tanah yang
berlebihan, dan recharge air tanah pada kawasan konservasi yang buruk. Pengambilan
air tanah Kota Semarang sebesar 35,639 x 106 M6/tahun (Dit. Geologi dan Tata
Lingkungan, 1998)
Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai efek pemanasan global. Antara tahun
1990 hingga tahun 2100 akan terjadi kenaikan suhu rerata permukaan bumi sebesar 1,4
0C – 5,8 0C. Pemanasan global itu akan menyebabkan perubahan iklim bumi, dan
kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) sekitar
1,00 M pada tahun 2100
16
(Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC-Working Group 2, 2001)dengan
tingkat kepadatan penduduk dan bangunan tinggi, ditambah lagi wilayah ini memiliki
jaringan
jalan
yang
rumit.
Letaknyayang
berada
dibagian
hilir
Das
Kaligarangmenjadikan wilayah ini rawan bencana banjir.
Tabel 5
Luas Gerakan Tanah Dalam Lingkup Kecamatan di Kota Semarang
LUAS (Ha)
No.
Kecamatan
1
Banyumanik
1
Gajah Mungkur
2
Gunung Pati
3
Mijen
4
Gerakan
Gerakan Tanah
Gerakan
Gerakan Tanah
Tanah Tinggi
Menengah
Tanah Rendah
Sangat Rendah
634,874
-
-
-
1,686
188,553
314,052
436,068
2,146,988
806,590
2,195,046
998,805
292,455
999,346
930,598
3,161,270
Ngaliyan
90,438
1,396,339
1,602,624
1,401,671
5
Wilayah Studi
33,503
187,702
222,045
1,770,923
6
Semarang Selatan
-
-
-
614,568
7
Semarang Tengah
-
-
-
535,357
8
Semarang Timur
-
-
-
561,733
9
Semarang Utara
-
-
-
1,140,334
10
Tembalang
187,077
1,427,241
646,890
1,258,697
11
Banyumanik
-
538,225
530,112
1,389,390
12
Candisari
-
225,441
102,922
332,553
13
Gayamsari
-
-
-
643,486
14
Genuk
-
-
-
2,729,446
15
Tugu
-
-
-
2,987,229
16
Pedurungan
-
-
-
2,198,633
Sumber : Hasil Pengukuran Peta Gerakan Tanah Kota Semarang, 2009
Tabel 6
Luasan Amblesan Tanah Lingkup Kecamatan Semarang
TINGKAT AMBLESAN (Cm/ Tahun)
NO
KECAMATAN
0-2
2-4
4-6
6-8
>8
1
Gayamsari
166,885
106,153
126,628
25,563
9,039
2
Genuk
483,623
504,301
445,543
103,260
544,072
3
Pedurungan
261,180
91,401
408,065
4
Semarang Selatan
0,672
17
TINGKAT AMBLESAN (Cm/ Tahun)
NO
KECAMATAN
0-2
2-4
4-6
5
Semarang Tengah
69,343
250,077
6
Semarang Timur
204,191
7
Wilayah Studi
403,679
11,625
8
Semarang Timur
129,649
27,295
9
Semarang Utara
6-8
>8
28,855
147,518
262,329
42,539
12,356
294,531
396,829
Sumber : Hasil Pengkuran Peta Amblesan Tanah Kota Semarang, 2009
Tabel 7
Luasan Daerah Rawan Banjir Tiap Kelurahan di Kota Semarang
NO
KECAMATAN
1
Tugu
2
Wilayah Studi
3
PERIMETER
(m2)
LUASAN (Ha)
58.593,618
725,983
8.946,825
77,599
Semarang Tengah
30.243,580
245,091
4
Semarang Selatan
47.213,707
541544
5
Pedurungan
15.092,173
232,454
6
Genuk
71.784,943
1,445,910
7
Ngaliyan
16.779,297
132,625
8
Semarang Timur
18.482,291
221,605
9
Candisari
1.714,102
6,500
10
Gayamsari
16.168,348
233,898
11
Mijen
6.668,759
49,102
12
Banyumanik
2.049,185
21,939
13
Tembalang
11.946,004
106,673
Sumber : Hasil Pengkuran Peta Rawan Banjir Kota Semarang, 2009
18
Gambar 9
Peta Kawasan Banjir Kota Semarang
Kebijakan Perencanaan Mitigasi Bencana
Kebijakan
Berbagai kebijakan yang perlu ditempuh dalam mitigasi bencana antara lain:
a. Dalam setiap upaya mitigasi bencana perlu membangun persepsi yang sama bagi
semua pihak baik jajaran aparat pemerintah maupun segenap unsur masyarakat
yang ketentuan langkahnya diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan
prosedur tetap yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan
bidang tugas unit masing-masing.
b. Pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secara terpadu terkoordinir yang
melibatkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat.
c. Upaya preventif harus diutamakan agar kerusakan dan korban jiwa dapat
diminirnalkan.
d. Penggalangan
kekuatan
melalui
kerjasama
dengan
semua
pihak,
melalui
pemberdayaan masyarakat serta kampanye.
19
Strategi
Untuk melaksanakan kebijakan dikembangkan beberapa strategi sebagai berikut:
a.
Pemetaan.
Langkah pertama dalam strategi mitigasi ialah melakukan pemetaandaerah
rawan bencana. Pada saat ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan
bencana. Peta rawan bencana tersebut sangat berguna bagi pengambil eputusan
terutarna dalam antisipasi kejadian bencana alam. Meskipun demikian sampai saat ini
penggunaan peta ini belum dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
diantaranya adalah :
1. Belum seluruh wilayah di Indonesia telah dipetakan
2. Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik
3. Peta bencana belum terintegrasi
4. Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda beda sehingga
menyulitkan dalam proses integrasinya.
b. Pemantauan.
Dengan mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan antisipasi
jika
sewaktu-waktu
terjadi
bencana,
sehingga
akan
dengan
mudah melakukan
penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan strategic secara jasa dan ekonomi dilakukan
di beberapa kawasan rawan bencana.
c. Penyebaran informasi
Penyebaran informasi dilakukan antara lain dengan cars: memberikan poster dan
leaflet kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi seluruh Indonesia yang rawan
bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan penanganan bencana. Memberikan
informasi ke media cetak dan etektronik tentang kebencanaan adalah salah satu cara
penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana
geologi
di
suatu
kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah
daerah
dalam
hal
penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia sangat luas.
d. Sosialisasi dan Penyuluhan
Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan kepada SATKORLAK PB, SATLAK PB, dan masyarakat bertujuan meningkatkan kewaspadaan dan
kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal
penting
yang
perlu
diketahui masyarakat dan Pernenntah Daerah ialah mengenai hidup harmonis dengan
alam di daerahbencana, apa yang perlu ditakukan dan dihindarkan di daerah rawan
bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana.
e. Pelatihan/Pendidikan
20
Pelatihan difokuskan kepada tata cara pengungsian dan penyelamatan jika
terjadi bencana. Tujuan latihan lebrh ditekankan pada alur informasi dan petugas
lapangan, pejabat teknis, SATKORLAK PB, SATLAK PB dan masyarakat sampai ke
tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Denganpelatihan ini terbentuk
kesiagaan tinggi menghadapi bencana akan terbentuk.
f.
Peringatan Dini
Peringatan dini dimaksudkan untuk memberitahukan tingkat kegiatan basil
pengamatan secara kontinyu di suatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan
secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana.
Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah
dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam menghindarkan diri dari
bencana. Peringatan dini dan basil pemantauan daerah rawan bencana berupa saran teknis
dapat berupa antana
lain
pengalihan
jalur jalan
(sementara
atau
seterusnya),
pengungsian dan atau relokasi, dan saran penanganan lainnya.
Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana banjir antara lain:
a. Pengawasan penggunaan lahan dan perencanaan lokasi untuk menempatkan
fasilitas vital yang rentan terhadap banjir pada daerah yang aman.
b. Penyesuaian desain bangunan di daerah banjir harus tahan terhadap banjir dan
dibuat bertingkat.
c. Pembangunan infrastruktur harus kedap air.
d. Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang sungai, tembok laut
sepanjang pantai yang rawan badai atau tsunami akan sangat membantu untuk
mengurangi bencana banjir.
e. Pengaturan kecepatan aliran air permukaan dan daerah hulu sangat membantu
mengurangi terjadinya bencana banjir. Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk
mengatur kecepatan air masuk kedalam sistem pengaliran diantaranya adalah
dengan pembangunan bendungan/ waduk, reboisasi dan pembangunan sistem
peresapan.
f.
Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai baik secara saluran terbuka
maupun dengan pipa atau terowongan dapat membantu mengurangi resiko
banjir.
g. Pembuatan tembok penahan dan tembok pemecah ombak untuk mengurangi
energi ombak jika terjadi badai atau tsunami untuk daerah pantai.
h. Memperhatikan karakteristik geografi pantai dan bangunan pemecahgelombang
untuk daerah teluk.
21
i.
Pembersihan sedimen.
j.
Pembangunan pembuatan saluran drainase.
k. Peningkatan kewaspadaan di daerah dataran banjir.
l.
Desain bangunan rumah tahan banjir (material tahan air, fondasi kuat).
m. Pelatihan pertanian yang sesuai dengan kondisi daerah banjir.
n. Meningkatkan kewaspadaan terhadap penggundulan hutan.
o. Pelatihan tentang kewaspadaan banjir seperti cara penyimpanan/ pergudangan
perbekalan, tempat istirahat/tidur di tempat yang aman (daerah yang tinggi).
p. Persiapan evakuasi bencana banjir seperti perahu dan alat-alat penyelamatan
lainnya.
ANALISIS KERAWANAN BENCANA
Analisis Rawan Bencana Banjir
Gambar 10
Peta Kerawanan Banjir
22
Peta di atas menunjukkan adanya kerawanan banjir di beberapa bagian wilayah studi.
Meskipun luasan daerah rawan banjir yang ada tidak sama, akan tetapi jika melihat
daripersebarannya hampir seluruh keluarahan di Kecamatan Tugu dan Semarang Barat rawan
terhadap bencana banjir. Kawasan rawan banjir ini didapatkan dari peraturan daerah kota
Semarang no 14 tahun 2012.
Tabel 8
Luas daerah genangan banjir di wilayah studi
KELURAHAN
LUAS
LUAS BANJIR
WILAYAH
(Ha)
PROSENTASE
(%)
Bojong Salaman
53,79449103
14,61662706
27%
Cabean
29,03001322
29,03000894
100%
Gisikdrono
113,7337681
32,85946397
29%
Jerakah
143,3423387
10,81745413
8%
Kalibanteng Kidul
44,38171577
1,501589629
3%
Kalibanteng Kulon
98,22399633
66,70004637
68%
Karang Anyar
470,9446809
80,01382105
17%
Karang Ayu
65,67933161
65,67933161
100%
Kembang Arum
189,9873621
50,19892233
26%
Krapyak
98,15604443
13,4725653
14%
Krobokan
87,23885458
87,23884261
100%
Mangkang Kulon
541,6547112
228,5161143
42%
Mangkang Wetan
409,0571311
82,22566188
20%
Mangunharjo
489,1630754
46,40442731
9%
Randugarut
485,4873276
56,2638763
12%
Salaman Mloyo
46,94154051
22,57745627
48%
Tambakharjo
534,1605399
446,0762308
84%
Tawangmas
124,0308087
124,0304401
100%
Tawangsari
362,3696905
266,215074
73%
Tugurejo
585,2410475
100,2530139
17%
23
Analisis Rawan Bencana Abrasi
Berdasarkan hasil dari analisis peta kerawanan abrasi yang terjadi di wilayah studi,
maka dapat diketahui bahwa tingkat kerawanan yang ada terdiri dari 2 jenis, yaitu sedang dan
tinggi. Tingkat kerawanan tinggi berada di bagian paling utara dari wilayah studi. Hal ini sangat
dimungkinkan terjadi mengingat letak yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Sementara
itu untuk tingkat kerawanan sedang berda di bagian selatan daerah dengan tingkat kerawanan
tinggi. Tingkat kerawanan pada daerah tersebut lebih kecil karena lokasinya yang tidak
berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Gambar 11
Peta Kerawanan Abras
24
Analisis Kerentanan fisik
Analisis Kerentanan Kepadatan
Bangunan
Gambar 12
Peta Kerentanan Kepadatan Bangunan
Tingkat
kerentanan
ini
didapat
berdasarkan
standar
dari
Kepmen
PUu
no.378/KPTS/1987. Peta kerentanan kepadatan bangunan di atas menunjukkan bahwa adanya
kerentanan kepadatan penduduk di wilayah studi pada skala sangat rendah hingga rendah. Jika
dilihat dari urgensi nya maka untuk aspek kepadatan bangunan dapat dianggap belum begitu
rentan. Kerentanan rendah didapatkan sejumlah 13 kelurahan yang seluruhnya terdapat
Kecamatan Semarang barat dengan yaitu kelurahan Krobokan, Karangayu, Cabean, Kalibanteng
kulon, kalibanteng kidul,Salaman mloyo, Bojong salaman, Gisikdrono, Bongsari, Ngemplak,
Simongan, Manyaran, dan Kembangarum. Sementara kelurahan lainnya dan semua kelurahan di
Kecamatan Tugu merupakan tingkat kerentanan kepadatan bangunan sangat rendah.
25
Analisis kerentanan jaringan jalan
Gambar 13
Peta Kerentanan Jaringan Jalan
Peta kerentanan jaringan jalan didapatkan dengan cara identifikasi rasio genangan jaringan
jalan. Jaringan jalan yang terkena genangan dilakukan pembobotan berdasarkan kelas jalan
kemudian skoring didapatkan dari panjang jalan yang terkena genangan. Jaringan jalan yang
digunakan dalam melakukan analisis kerentanan jaringan jalan adalah 5 jenis, yaitu jalan arteri
primer, arteri sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder, dan jalan lokal. Berdasarkan hasil
analisis kerentanan jaringan jalan dapat diketahui bahwa terdapat 3 tingkatan kerentanan.
Tingkat kerentanan tersebut yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kelurahan yang memiliki
kerentanan tinggi sebanyak 3 kelurahan yaitu Kembangarum, Kalibanteng kulon, dan
Gisikdrono. Kemudian kelurahan yang memiliki kerentanan sedang sebanyak 6 kelurahan yaitu
Cabean, Krobokan, Karangayu, Tawangmas, Tawangsari, dan Tambakharjo. Sedangkan
kelurahan lainnya memiliki tingkat kerentanan rendah. Kelurahan yang memiliki tingkat
kerentanan tinggi disebabkan karena banyaknya jumlah jalan yang dimiliki daerah tersebut. Hal
tersebut kemudian mengindikasikan bahwa semakin sedikit jumlah jalan dan semakin kecil
hierarki jalan dapat mengurangi tingkat kerentanan jaringan jalan yang terjadi di suatu wilayah.
26
Analisis kerentanan fasilitas umum
Gambar 14
Peta Kerentanan Fasilitas Umum
Peta kerentanan fasilitas umum didapatkan berdasarkan Perka BNPB tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana. Tingkat kerentanan didapatkan dari hasil skoring
fasilitas yang terdapat di tiap kelurahan. Tiap fasilitas dilakukan pembobotan dengan kriteria
pembobotan gedung pemerintah = 1, sekolah = 2, dan rumah sakit = 3. Terdapat 3 tingkat
kerentanan fasilitas umum yang terdapat di wilayah studi yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
Tingkat kerentanan tinggi hanya ada di Kelurahan Gisikdrono. Kemudian tingkat kerentanan
sedang terdapat di 9 kelurahan yaitu Krobokan, Karangayu, Kalibanteng kidul, Manyaran,
Kembangarum, Tambakharjo, Karanganyar, Mangkang wetan, dan Mangunharjo. Sementara
untuk kelurahan lainnya merupakan kelurahan dengan tingkat kerentanan rendah.
27
Analisis Kerentanan Fisik
Gambar 15
Peta Kerentanan Fisik
Peta kerentanan fisik didapatkan dari overlay peta kerentanan kepadatan bangunan, kerentanan
jaringan jalan, dan kerentanan fasilitas umum. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa
tingkat kerentanan fisik pada wilayah studi memiliki 3 tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan
tinggi. Tingkat kerentanan fisik tinggi berada pada Kelurahan Gisikdrono. Kemudian untuk
tingkat kerentanan sedang terdapat di 9 kelurahan yaitu Krobokan, Cabean, Karangayu,
Kalibanteng kulon, Kalibanteng kidul, Manyaran, Kembangarum, Tambakharjo, Karanganyar,
dan Mangunharjo Sementara kelurahan lainnya merupakan rendah sebanyak 13 kelurahan.
28
Analisis risiko banjir
Gambar 16
Peta Risiko Banjir
Peta resiko banjir didapatkan dari hasil overlay kerentanan fisik dengan kerawanan banjir.
Tingkat resiko banjir yang ada di wilayah studi terbagi menjadi 3, yaitu rendah, sedang, dan
tinggi. Resiko banjir tinggi terdapat di 1 daerah yaitu sebagian wilayah kelurahan Gisikdrono.
Kemudian untuk daerah beresiko sedang terdapat di 3 kelurahan yaitu sebagian Karangayu,
Kalibanteng kulon, dan Kembangarum. Sementara untuk daerah lainnya memiliki tingkat resiko
rendah. Berikut adalah tabel luasan daerah yang termasuk beresiko banjir.
Tabel 9
Luasan resiko banjir wilayah studi
KELURAHAN
RESIKO BANJIR
Luas (Ha)
Bojong Salaman
Rendah
14,61663
Cabean
Rendah
29,03001
Gisikdrono
Tinggi
32,85946
Jerakah
Rendah
10,81745
Kalibanteng Kidul
Rendah
1,501589
Kalibanteng Kulon
Sedang
66,70005
Karang Anyar
Rendah
80,01382
29
KELURAHAN
RESIKO BANJIR
Luas (Ha)
Karang Ayu
Sedang
65,67933
Kembang Arum
Sedang
50,19892
Krapyak
Rendah
13,47257
Krobokan
Rendah
87,23885
Mangkang Kulon
Rendah
228,5161
Mangkang Wetan
Rendah
82,22566
Mangunharjo
Rendah
46,40443
Randugarut
Rendah
56,26387
Salaman Mloyo
Rendah
22,57746
Tambakharjo
Rendah
446,0762
Tawangmas
Rendah
124,0305
Tawangsari
Rendah
266,2151
Tugurejo
Rendah
100,253
Analisis risiko bencana abrasi
Gambar 17
Peta Risiko Abrasi
30
Peta resiko bencana abrasi didapatkan dari overlay kerentanan fisik dengan peta kerawanan
abrasi. Tingkat resiko yang ada di wilayah studi hanya terbagi menjadi 3 kelas, yaitu rendah,
sedang, dan tinggi. Persebaran tingkat risiko abrasi tersebut cukup merata. Setiap tingkat
memiliki luas cakupan yang hampir sama besar seperti tingkat lainnya. Berikut adalah tabel
tingkat resiko abrasi di wilayah studi.
Tabel 10
Resiko abrasi wilayah studi
RESIKO
KELURAHAN
LUAS HA
ABRASI
SEDANG
58,13214
TINGGI
28,6674
Karang Anyar
Mangkang Kulon
RENDAH
39,48387
RENDAH
22,0439
SEDANG
11,61237
SEDANG
78,26399
TINGGI
39,97815
RENDAH
37,00782
SEDANG
15,87434
RENDAH
0,049719
SEDANG
70,46027
TINGGI
46,54147
RENDAH
78,93015
SEDANG
45,92512
RENDAH
91,62534
SEDANG
0,049719
Mangkang Wetan
Mangunharjo
Randugarut
Tambakharjo
Tawangsari
Tugurejo
31
ARAHAN POLA RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA
Gambar 18
Peta Arahan Pola Ruang Mitigasi Bencana Banjir
32
Peta di atas merupakan hasil sekaligus rekomendasi penataan ruang berbasis mitigasi
bencana banjir di wilayah studi. Setelah melakukan serangkaian analisis kemudian didapatkan
suatu arahan pola ruang mitigasi bencana banjir dan abrasi. Peta arahan tersebut merupakan
hasil overlay dari poloa ruang Kota Semarang dengan resiko bencana. Arahan tersebut bisa
dijadikan suatu rekomendasi terkait penataaan ruang di kawasan pesisir Semarang berkaitan
dengan mitigasi bencana. Dari peta diatas terlihat bahwa lahan yang berbatasan langsung
dengan Laut Jawa tidak dianjurkan untuk difungsikan sebagai kawasan budidaya. Penggunaan
lahan permukiman, tambak, dan perkantoran hanya boleh berada di beberapa lokasi saja.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa terdapat ketidaksesuaian antara rencana tata ruang
Kota Semarang dengan hasil dari analisis kerentanan fisik yang terjadi, khususnya pada
Kecamatan Tugu dan Kecamatan Semarang Barat. Berikut beberapa arahan terhadap pola ruang
berbasis mitigasi bencana diantaranya:
a.
Tidak diizinkan adanya pembangunan permukiman baru di kawasan rawan bencana
banjir khususnya di daerah dengan risiko tinggi dan sedang. Seperti di kelurahan
Kembang arum, Kalibanteng kulon, Karang ayu dan Gisikdono.
b.
Diizinkan bangunan yang mampu beradaptasi dengan permasalahan kawasan
c.
Dilarang kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya banjir seperti membuang
sampah di daerah aliran sungai, melakukan konversi pada lahan konservasi, merusak
infrastruktur drainase dsb.
d.
Diizinkan terbatas untuk membangun sarana pemantauan bencana
e.
Diizinkan terbatas untuk penggunaan lahan sebagai kawasan permukiman khususnya di
kawasan dengan risiko rendah.
f.
Diizinkan rekayasa teknis pada lokasi tertentu, seperti pembuatan bangunan pemecah
ombak, tanggul, kolam retensi dan kanal limpasan.
33
Gambar 19
Peta Arahan Pola Ruang Mitigasi Bencana Abrasi
34
Peta di atas merupakan hasil sekaligus rekomendasi penataan ruang berbasis mitigasi bencana
abrasi di wilayah studi. Terlihat bahwa lahan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa tidak
dianjurkan untuk difungsikan sebagai kawasan terbangun. Penggunaan lahan permukiman,
akomodasi dan rekreasi hanya boleh berada di beberapa lokasi saja. Sementara daerah yang
berbatasan langsung dengan Laut Jawa masih dapat dimanfaatkan sebagai tambak. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa terdapat ketidaksesuaian antara rencana tata ruang Kota
Semarang dengan hasil dari analisis kerentanan fisik yang terjadi, khususnya pada Kecamatan
Tugu dan Kecamatan Semarang Barat. Berikut beberapa arahan terhadap pola ruang berbasis
mitigasi bencana diantaranya:
1.
Tidak diizinkan adanya aktivitas terbangun kecuali untuk kepentingan pengamanan dan
perlindungan pantai
2.
Tidak diizinkan adanya pembangunan permukiman baru di kawasan dengan risiko
tinggi bencana abrasi yaitu di Kelurahan Karangnyar, Mangunharjo dan Tambakharjo
3.
Diizinkan terbatas perkembangan kawasan budidaya non terbangun di kawasan rawan
abrasi
4.
diizinkan terbatas untuk membangun sarana pemantauan bencana
5.
Diizinkan rekayasa teknis pada lokasi tertentu untuk mengurangi abrasi
35
DAFTAR PUSTAKA
http://pilnas.ristek.go.id/jurnal/index.php/record/view/52164. Diunduh Mingggu, 4 Januari 2015
http://semarangkota.go.id/berita/read/7/berita-kota/111/penurunan-muka-tanah-jadi-faktorutama-banjir-dan-rob#sthash.ZYN5SYFe.dpuf. Diunduh Mingggu, 4 Januari 2015
http://www.bintari.org/index.php/lingkup-kerja/perubahan-iklim/35-kerentanan-semarangterhadap-perubahan-iklimKerentanan Semarang Terhadap Perubahan Iklim. Diunduh
Mingggu, 4 Januari 2015
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor: 15 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Mitigasi Bencana Gunungapi, Gerakan Tanah, Gempabumi, Dan Tsunami.
PP Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010 Tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Simanjuntak, Simson Frima dan Wakhidah Kurniawati. 2011. “Pola Ketahanan Aktivitas
Ekonomi pada Kawasan Rawan Bencana Rob dan Banjir Tahunan di Kota Lama
Semarang”. Thesis Program S-2 Magister Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas
Diponegoro. Semarang.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
36