Paper pertemuan rutin siswa BIPA
Pertemuan Rutin di Luar Kelas Sebagai Penawar Kegalauan Siswa Baru
Program BIPA
Vidi Sukmayadi
Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Saripati
Bagi siswa BIPA yang datang dan belajar di Indonesia untuk pertama kalinya, gegar
budaya, rasa frustasi dan kegalauan hati adalah hal yang wajar sebagai suatu proses
transisi. Para siswa harus menghadapi tak hanya tantangan akademis, namun juga
tantangan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang benar-benar baru. Salah satu
cara mengatasinya adalah dengan mengadakan pertemuan khusus secara rutin yang
mampu mengakomodasi rasa galau siswa yang diakibatkan oleh berbagai hal bersifat
non-akademis selama berada di Indonesia. Selain itu pertemuan tersebut juga harus
menyoroti perkembangan dan proses belajar mengajar yang tengah berlangsung.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis melakukan studi kasus pada siswa-siswa BIPA
yang baru pertama kali datang ke Indonesia dan belum memiliki keterampilan
berbahasa Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui opini para siswa BIPA
mengenai dampak pertemuan rutin tersebut terhadap kemajuan belajar mereka.
Tujuan berikutnya adalah untuk melihat kemajuan akademis siswa BIPA
pascapertemuan tersebut yang didasari dari opini siswa dan nilai akademis pada
tengah dan akhir semester. Hasil studi ini menunjukkan bahwa para siswa merasa
bahwa pertemuan rutin tersebut bermanfaat bagi proses belajar, pengalaman bahasa,
dan adaptasi budaya mereka.
Kata kunci: siswa BIPA,siswa baru, gegar budaya, opini siswa, luar kelas
I. Pendahuluan
Siswa BIPA baru adalah berkah. Acapkali penulis bercakap dengan rekan penggiat BIPA
yang menyampaikan segala keluh kesah dan masalah dengan pengajaran BIPA level dasar pada
siswa baru. kegelisahan kerap melanda dan seringkali muncul ucapan " yang sabar ya", " siap-siap
berjuang" ataupun ujaran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan muncul
manakala harus berhadapan dengan siswa baru BIPA dengan keterampilan bahasa Indonesia yang
1
biasanya masih sangat terbatas. Namun bagi penulis, menghadapi siswa baru BIPA adalah suatu
kesempatan dan kehormatan.
Siswa Baru BIPA yang baru pertama kali menjejakkan kakinya di bumi pertiwi ini
memiliki keunikkan tersendiri. walaupun mereka berpengalaman sebagai pembelajar di
pendidikan tinggi negara masing-masing, siswa baru program BIPA umumnya belum memahami
sepenuhnya budaya Indonesia dan sangat rawan terkena gegar budaya. senada dengan hal tersebut
Kaufka (2010) menyatakan bahwa pembelajar dewasa yang baru pertama kali menginjakkan
kakinya dalam lingkungan hidup dan belajar yang berbeda dipastikan akan melewati fase
"ternganga" pada tahun pertamanya. untuk itu para siswa baru sering merasa resah dan terkadang
menghadapi kesulitan beradaptasi yang pada ujungnya dapat mempengaruhi proses belajar
mereka.
masalah dari studi ini adalah telaah metode untuk meringankan kegalauan siswa BIPA
yang baru pertama kali belajar di Indonesia melalui peningkatan hubungan interaksi antara siswa
dan pihak pengelola program dan instruktur BIPA. proses pelaksanaan metode tersebut itulah
yang akan ditelaah dalam studi ini.
Sebagai instruktur yang menangani siswa BIPA yang baru datang, kita dapat membantu
membimbing mereka dalam beradaptasi, karena para siswa tersebut masih merasa asing dengan
lingkungan sekitarnya (terutama siswa dari kawasan benua yang berbeda).Instruktur tersebut akan
mampu menyaksikan transformasi penguasaan bahasa Indonesia serta sikap mereka terhadap
budaya di Indonesia. Namun di saat yang sama kita juga harus tetap waspada, bukan berarti siswa
baru akan terjamin transformasi bahasanya. Siswa yang baru pertama kali belajar di negara asing
memiliki hambatan akademik dan non-akademik yang harus mereka hadapi di enam bulan
pertama (Kaufka, 2010)
PENDEKATAN
Studi ini adalah hasil pengalaman langsung di lapangan selama menjadi pengelola
program BIPA. Sebagai kerangka konseptual, penulis menggunakan pendekatan studi kasus
dalam payung paradigma kualitatif untuk mengkaji proses belajar dan penerimaan siswa terhadap
program BIPA yang didapat. Analisisnya bersifat Idiografik bukan nomotetik. Sehingga hasil studi
ini tidaklah untuk dikuantifikasikan dan tidak akan digeneralisasikan kepada seluruh siswa baru
BIPA yang ada di Indonesia.
2
Penelitian studi kasus atau penelitian lapangan (field study) dimaksudkan untuk
mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa
yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa
adanya (given). Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok, institusi atau masyarakat.
Penelitian case study merupakan studi mendalam mengenai unit sosial tertentu dan hasil
penelitian tersebut memberikan gambaran luas serta mendalam mengenai unit sosial tertentu.
Subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas
dimensinya (Danim, 2002 ).
Pengertian yang lain, studi kasus bisa berarti metode atau strategi dalam penelitian, bisa
juga berarti hasil dari suatu penelitian sebuah kasus tertentu.Dalam konteks tulisan ini, penulis
lebih memfokuskan pada pengertian yang pertama yaitu sebagai metode penelitian. Studi kasus
adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus
dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi pihak luar. Pada intinya studi ini
berusaha untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan, mengapa keputusan itu
diambil, bagaimana diterapkan dan apakah hasilnya. (Salim, 2001).
Dengan kata lain, penulis memfokuskan kajiannya pada kasus yang terjadi pada
pengalaman belajar siswa BIPA tahun pertama serta pengelolaan program BIPA terkait yang ada
di institusi penulis. Subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang
diteliti sangat luas dimensinya.
METODE DAN PROSEDUR STUDI
Studi kasus ini dilakukan pada tahun ajaran BIPA 2011 -2012 di Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) dengan yang mengadakan program BIPA dengan UPI International Scholarship
(ISA). ISA adalah program beasiswa yang ditawarkan kepada pemelajar asing yang berkeinginan
mengenal bahasa dan budaya Indonesia. Siswa asing kemudian ditempa selama enam bulan di
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Program ini digalang untuk mempromosikan dan
meningkatkan ketertarikan pada bahasa dan budaya Indonesia di antara generasi muda negara lain
selain itu, program tersebut adalah salah satu bentuk dan upaya UPI dalam mewujudkan visinya
menjadi a world class university. secara garis besar, program ISA dilaksanakan selama enam
bulan mereka akan mengikuti pelatihan bahasa Indonesia pada level Dasar 1,2 dan 3. masingmasing level memiliki ujian kelulusan guna mengukur kelayakan siswa untuk melanjutkan ke
tingkat yang lebih lanjut.
3
Pada tahun ajaran tersebut, terdapat 19 siswa dari tujuh negara. Adapun semua siswa
program ISA diberikan nama panggilan dengan nama yang sudah umum di Indonesia guna
memudahkan pengajar dan siswa untuk saling menyapa dan mengenal, adapun nama yang
diberikan tentunya atas persetujuan siswa bersangkutan, nama panggilan Indonesia beserta asal
negara mereka
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
NAMA
INDONESIA
Hasim
Inna
Cinta
Yuda
Hani
Ika
Desi
Rahim
Kartini
Rina
Yeni
Arafat
Hanif
Saleh
Lilis
Rio
Chandra
Bagus
Jelita
ASAL
Bosnia
Bulgaria
China
China
China
China
China
Iran
Jepang
Jepang
Korea
Thailand
Thailand
Thailand
China
Jepang
China
China
China
No. Reg
11033
11034
11035
11036
11037
11038
11039
11040
11041
11042
11043
11044
11045
11046
11047
11048
11076
11077
11078
Tabel 1. data siswa program ISA 2011-2012, sumber: basis data Balai Bahasa UPI 2012
Sebagai bagian dari kurikulum untuk program tersebut. Penulis merancang tiga kali pertemuan di
luar kelas untuk bertatap muka dan saling berbagi informasi dan opini yang berkaitan dengan
proses belajar siswa ISA. Pertemuan pertama dilakukan di awal perkuliahan, pertemuan kedua
dilakuan ditengah semester dan yang terakhir dilaksanakan sebelum ujian akhir dan presentasi
karya tulis para siswa. Guna mengetahui opini siswa terhadap pertemuan rutin tersebut serta
mengetahui bagaimana pertemuan tersebut dapat membantu proses belajar mereka, penulis
melakukan wawancara tak terstruktur (terbuka) dalam bentuk percakapan informal dan sebagai
data sekunder, penulis juga memberikan questioner kepada semua siswa.
PELAKSANAAN
A. Pertemuan Pertama
4
Pelaksanaan pertemuan pertama cukup sederhana. Pertemuan ini dapat dikatakan sebagai
pertemuan “tak kenal maka tak sayang”, isi pertemuan lebih menekankan pada isu-isu non
akademis yang berkaitan dengan kepribadian, motivasi dan proses adaptasi mereka. Pertemuan ini
dilaksanakan di luar kelas (di kantor penulis atau di ruang tengah sekolah bahasa) dengan suasana
yang santai diselingi minum teh dan kopi bersama. Penulis melaksanakan pertemuan ini secara
empat mata atau dapat juga dilaksanakan secara berkelompok yang dibagi berdasarkan negara
asal siswa BIPA. Tujuan utama dari pertemuan pertama ini adalah:
1. Membangun ikatan hubungan dan kepercayaan dengan mengenali mereka dalam ranah
personal dan agar siswa juga dapat mengenali penulis tak hanya sebagai seorang pengajar
ataupun koordinator program, tetapi juga secara personal.
2. Memastikan agar siswa mengetahui di mana dan kapan mereka bisa bertemu dengan
penulis dan guru lain yang mengajar di kelas mereka. Selain itu, penulis juga menyatakan
kepada siswa BIPA secara empat mata bahwa penulis sangat terbuka untuk
berkorespondensi dan bersedia membantu siswa jika mereka mengalami permasalahan
baik isu akademis maupun non-akademis.
3. Memastikan bahwa siswa mengetahui tujuan dari pelatihan BIPA yang mereka ikuti serta
mengenalkan sedikit mengenai budaya Indonesia serta situasi belajar dan regulasi yang
ada di universitas bersangkutan.
Sebagai seorang instruktur, tidak dapat disangkal bahwa setiap guru menginginkan siswanya
berkembang dalam proses belajarnya. Namun isu non-akademis seperti motivasi dan gegar
budaya dapat pula menjadi pemicu atau penentu kemajuan belajar siswa sehingga apa yang
menjadi permasalahan dan kegalauan siswa memiliki posisi penting dalam proses belajar.
Siswa baru umumnya merasa galau karena posisi psikologis mereka yang terombang-ambing
antara area negara asal dan area kehidupan belajar di tempat baru serta pengaruh dari interaksi
sosial-interpersonal dalam kaitan dengan proses transisi siswa di lingkungan baru (Palmer, 2009).
satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan meringankan kegalauan siswa baru dengan
memberikan atmosfer kekeluargaan serta fleksibilitas di sekolah atau institusi tempat mereka
belajar. Atmosfer tersebut dibentuk dengan memposisikan pengajar sebagai mentor sekaligus
keluarga yang dapat mengisi kekosongan mereka. Kaufka (2010 ) menyatakan bahwa kesuksesan
mahasiswa baru terletak tak hanya pada kemampuan mereka berorganisasi dan mengatur waktu,
tetapi juga pada proses sejauh mana mereka mengenali pengajar mereka. Siswa BIPA berasal dari
berbagai negara sehingga memiliki berbagai profesi dan tujuan belajar berbeda. Oleh karena itu,
5
pengajar BIPA harus memerhatikan karakteristik siswa yang menjadi tanggung jawabnya
(Muliastuti & Sulastri, 2005).
Berdasarkan dari pertemuan ini, terlihat bahwa kegalauan siswa BIPA terfokus pada gegar
budaya dalam tiga hal utama yaitu budaya lingkungan setempat, bahasa Indonesia yang mereka
duga akan sangat sulit dipelajari, serta hal-hal yang berkaitan dengan sistem belajar di institusi
penulis. percakapan yang dibangun pada pertemuan ini menggunakan bahasa Inggris, tetapi bagi
yang bisa berbahasa melayu (seperti siswa dari Thailand selatan) penulis menggunakan bahasa
Indonesia. adapaun jika siswa bersangkutan tidak dapat berbahasa Inggris, maka penulis mencari
pengajar atau civitas akademik yang mempu berbahasa asing lainnya untuk turut terlibat menjadi
penengah.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada kesempatan tersebut juga menyinggung
beberapa hal mengenai pribadi siswa. Supaya siswa merasa lebih nyaman dan terbuka, penulis
menceritakan dulu sedikit tentang informasi pribadi penulis, hanya saja perlu tetap ditekankan
bahwa pertemuan ini bukan untuk membahas pribadi penulis.
pertanyaan-pertanyaan tersebut
dapat juga berperan sebagai analisis kebutuhan dan kurang lebih meliputi:
kabar siswa
proses transisi siswa
keadaan keluarga dan negara siswa
motivasi belajar bahasa Indonesia
tempat tinggal siswa di Indonesia
teman-teman siswa di Indonesia
kesukaan siswa
pelajaran atau hasil yang diinginkan
permasalahan yang melanda
dll
Pertemuan pertama ini dilaksanakan dengan penekanan bahwa siswa merasa bahwa ia memiliki
suara yang akan didengarkan dan ia tidak sendirian. Sebagai penutup, penulsi memaparkan
kembali tujuan dari pertemuan tersebut dan memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan
berkaitan dengan perkulihaan BIPA yang akan mereka jalani sekaligus memberikan kepastian
bahwa penulis dan pengajar lainnya terbuka terhadap permasalahan mereka dan siap membantu.
B. Pertemuan Kedua
Pelaksanaan pertemuan ini dilaksanakan pada tengah semester. penulis mengalami bahwa
setelah pertemuan pertama, siswa BIPA cenderung lebih cair dan lebih sering untuk bertemu atas
6
kemauan mereka sendiri. Bahkan sebagian dari siswa datang menemui koordinator program
secara rutin per minggu untuk berkonsultasi atau hanya berlatih bahasa Indonesia. Pertemuan ini
sifatnya tidak diwajibkan untuk datang, hanya dianjurkan saja. Perbedaan dengan pertemuan
pertama, pertemuan kali ini tidak terfokus dalam satu waktu, tetapi siswa dibebaskan menentukan
kapan mau datang karena mereka menjadwalkan atas kemauan mereka sendiri. sehingga
pertemuan ini tidak terlalu memakan banyak waktu sekaligus dan dapat lebih intensif berbicara
dengan siswa karena tidak ada tekanan waktu selama mereka datang pada waktu-waktu yang telah
disepakati di pertemuan pertama.
Tujuan dari pertemuan kali ini lebih ditekankan pada kemampuan akademis mereka,
dalam hal ini kemampuan berbahasa Indonesia. pertemuan dilakukan dalam bahasa Indonesia dan
menganjurkan mereka untuk menjelaskan apa yang akan mereka presentasikan di akhir program
serta kesiapan mereka untuk ujian tengah semester. namun penulis tetap terbuka jika siswa ingin
"curhat" mengenai isu non-akademis. Bagi pribadi penulis pertemuan ini sangat bermanfaat bagi
pengelolaan program, karena dalam pertemuan ini muncul berbagai masukan konstruktif
mengenai kegiatan belajar mengajar pada program BIPA-ISA tersebut, seperti halnya yang
disampaikan salah seorang siswa dalam wawancara terbuka setelah pertemuan pertama dan
kedua.
saya senang sekali dengan adanya pertemuan ini, karena saya datang terlambat
satu bulan dan sempat frustasi, karena kesulitan mengikuti pelajaran. namun
dalam pertemuan itu saya bisa bicara banyak mengenai masalah ini, bahkan
pengelola memberikan kelas tambahan bagi saya dan teman saya sehingga kami
bisa belajar dan mengejar teman-teman yang lain (Rio).
Selain itu dalam pertemuan kedua ini juga dapat memberikan solusi bagi masalah nonakademis, seperti siswa yang mengalami masalah dengan keluarga di negara asalnya sehingga
akhirnya ia mengundurkan diri dari program dan kembali ke negara asalnya.
Dengan kata lain, siswa BIPA program ISA merasa tercerahkan dengan adanya pertemuan
empat mata tersebut dan dapat berkontribusi setidaknya pada motivasi belajar dan mulai bisa
meringankan kegalauan siswa BIPA.
B. Pertemuan ketiga
Pertemuan ini adalah yang terakhir yang dirancang secara resmi. Pertemuan dijadwalkan
setelah mereka melakuakn ujian akhir dan sebelum melakukan ujian presentasi akhir. Hal ini
dilakukan di akhir karena setelah pertemuan pertama dan kedua, siswa umumnya sudah nyaman
7
dengan kondisi di tempat belajar dan tidak sungkan untuk datang ke kantor dan mengeluarkan
unek-uneknya baik yang berkaitan dengan akademis ataupun tidak.
Pelaksanaan pertemuan ini ditujukan untuk menerima masukan , perasaan mereka
sekaligus sebagai wahan evaluasi program dari sudut pandang siswa. Pelaksanaan pertemuan ini
dilaksanakan di dalam kelas tetapi di luar jam belajar. Semua siswa menghadiri pertemuan ini
terkecuali siswayang hanaya mengikuti program ini untuk tiga bulan.
Pertemuan ini juga dijadikan sarana gladi resik sebelum siswa melakuakn presentasi
akhirnya di depan civitas akademik universitas beserta jajaran pimpinannya.
Dari pertemuan serius tapi santai ini, penulis dapat mengambil saripati dan berbagai saran
konstruktif guna menyusun serta memutakhirkan program untuk kedepannya. Saat tersebut adalah
saat yang membahagiakan karena di sanalah seorang guru dapat menyaksikan perkembangan
siswa dalam proses penerimaan bahasa dan pemahaman budaya Indonesia.
TEMUAN
Ketiga pertemuan luar kelas tersebut diasumsikan dapat bermanfaat bagi proses belajar
siswa BIPA. Studi kasus yang penulis lakukan tidaklah banyak (16 orang) karena jumlah siswa
BIPA di Indonesia masih terus berkembang. Dari 19 siswa, yang dapat dijadikan responden adalah
16 siswa. Hal tersebut terjadi karena tiga orang siswa hanya mengambil program selama tiga
bulan saja. Berikut adalah data dari intensitas kehadiran siswa dalam setiap pertemuan
Pertemuan
Pertama
Kedua
Ketiga
Siswa yang hadir
16
16
15 (tiga orang selesai
program dan satu siswa
mengundurkan diri)
Persentase
100%
100%
94%
c
Tabel di atas tadi menunjukkan bahwa pertemuan tersebut ditanggapi dengan cukup positif oleh
semua siswa BIPA. Hal tersebut dikarenakan atmosfer dan suasana belajar yang sudah dapat
diterima siswa atau bahkan sudah dianggap nyaman oleh siswa. Sebagaimana dipaparkan oleh
salah seorang siswa
Kalau ada pertemuan itu baik sekali karena bisa konsultasi untuk
presentasi dan bicara tentang rencana liburan bersama teman-teman
dan guru di sini (Hani)
8
Berkaitan dengan hasil wawancara terbuka dengan siswa BIPA-ISA mengenai sikap mereka
terhadap ketiga pertemuan yang mereka alami, berikut adalah hasil yang telah penulis
klasifikasikan
1. Waktu pelaksaan
Tidak ada masalah (12)
Pelaksanaan Setiap bulan (2)
Sebaiknya semua guru ikut (2)
2. Kedekatan inter-personal
Merasa dianggap dan diperhatikan
(7)
Menjadi lebih dekat dengan guru
dan koordinator program (4)
Bagus untuk tambahan latihan
bahasa (3)
Penting untuk saling mengenal
antara guru dan siswa (2)
3. Motivasi belajar
Bertambah karena bisa bertanya
kembali tentang pelajaran di kelas
(14)
Biasa saja/ netral (2)
4. kontribusi pada proses belajar
Merasa
nyaman
dan
dapat
membantu
mengembangkan
kemampuan bahasa (12)
Membantu
meningkatkan
kepercayaan diri untuk bicara (3)
Netral (1)
5. Hubungan dengan teman sekelas
Lebih baik karena ada banyak
diskusi mengenai hal akademis
dan non akademis (8)
Menjadi lebih paham budaya
Negara lain (4)
Biasa saja (2)
Tabel 3. Opini siswa terhadap pertemuan rutin yang ditawarkan serta dampak pada proses belajar mereka, sumber:
diolah dari lapangan
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar dari siswa beropini bahawa kegiatan
pertemuan tersebut perlu dilakukan dan dapat meningkatkan motivasi belajar. Terlebih lagi, 75%
siswa merasa bahwa kegiatan pertemuan itu memberikan
kontribusi yang membantu dalam
menciptakan suasana nyaman untuk belajar. Sehingga secara garis besar dapat dipaparkan bahwa
siswa BIPA-ISA dengan jelas merasa bahwa kegiatan pertemuan rutin ini membantu mereka
dalam proses belajar mereka dan pengalaman hidup mereka selama di Indonesia.
Sebagaimana penulis paparkan sebelumnya, penelitian ini bersifat Idiografik bukan
nomotetik. Sehingga hasil studi ini tidaklah untuk dikuantifikasikan dan tidak akan
digeneralisasikan kepada seluruh siswa baru BIPA yang ada di Indonesia. Walaupun begitu, hasil
temuan studi ini dapat dijadikan landasan awal untuk menjalin hubungan interpersonal dengan
siswa BIPA guna menjadi salah satu alternatif solusi penawar kegalauan siswa. Temuan ini senada
dengan apa yang dinyatakan Nagahashi (2006) bahwa program belajar yang kooperatif sangat
efektif dalam mengurangi kegelisahan siswa dalam berbahasa asing. Terlebih lagi dengan suasana
9
lingkungan belajar yang suportif dan kondusif, kemampuan berbahasa siswa akan cepat
berkembang.
KESIMPULAN
Sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya, studi ini menunjukan bahwa siswa
menghargai hubungan personal dengan pihak kampus (pengajar dan/atau pengelola program).
Pengajaran yang baik disertai interaksi berkualitas diantara siswa dan pihak kampus dapat
mengurangi kegalauan siswa dalam belajar bahasa Indonesia. Pertemuan empat mata di luar jam
belajar dapat dijadikan salah satu metode untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa
bersangkutan.
Selain itu, data temuan menunjukkan bahwa pertemuan rutin di luar kelas dapat menjadi
langkah awal bagi siswa untuk belajar, beradaptasi, melatih toleransi dan membangun
kepercayaan mutualisme antara siswa, pengajar dan pengelola program melalui kegiatan saling
berbagi kisah yang tak harus selalu berkaitan dengan isu akademis. Sehingga bagi penulis,
menangani siswa baru BIPA melalui interaksi yang berkualitas dapat menambah kenikmatan
disela kesibukan yang melanda
Daftar Pustaka
Kaufka, Beth. (2010). Beyond Classroom. Journal of the Scholarship of Teaching and Learning. hlm 26-33
Mulyana, Deddy (2003). Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Rosdakarya. Bandung.
Muliasari dan Sulastri (2005). Panduan Pengajaran Membaca untuk Siswa BIPA. Dikutip dari situs:
http://www.saujana.sg/portals/0/penyerapan/pengajaran%20membaca.pdf\
Nagahashi, Lee (2006). Techniques for Reducing Foreign Language Anxiety: Results of An Intervention
Study. Akita University.
Palmer, Mark, Paula O’kane (2009). Betwixt Spaces: Students Accounts of Turning Point Experiences in
the First-year Transition. Studies in Higher Education.
Shanley, Mary Kay dan Julia Johnston. (2008). 8 things first-year students fear about college. Journal of
College Admission, hlm 3 – 7.
10
Program BIPA
Vidi Sukmayadi
Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Saripati
Bagi siswa BIPA yang datang dan belajar di Indonesia untuk pertama kalinya, gegar
budaya, rasa frustasi dan kegalauan hati adalah hal yang wajar sebagai suatu proses
transisi. Para siswa harus menghadapi tak hanya tantangan akademis, namun juga
tantangan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang benar-benar baru. Salah satu
cara mengatasinya adalah dengan mengadakan pertemuan khusus secara rutin yang
mampu mengakomodasi rasa galau siswa yang diakibatkan oleh berbagai hal bersifat
non-akademis selama berada di Indonesia. Selain itu pertemuan tersebut juga harus
menyoroti perkembangan dan proses belajar mengajar yang tengah berlangsung.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis melakukan studi kasus pada siswa-siswa BIPA
yang baru pertama kali datang ke Indonesia dan belum memiliki keterampilan
berbahasa Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui opini para siswa BIPA
mengenai dampak pertemuan rutin tersebut terhadap kemajuan belajar mereka.
Tujuan berikutnya adalah untuk melihat kemajuan akademis siswa BIPA
pascapertemuan tersebut yang didasari dari opini siswa dan nilai akademis pada
tengah dan akhir semester. Hasil studi ini menunjukkan bahwa para siswa merasa
bahwa pertemuan rutin tersebut bermanfaat bagi proses belajar, pengalaman bahasa,
dan adaptasi budaya mereka.
Kata kunci: siswa BIPA,siswa baru, gegar budaya, opini siswa, luar kelas
I. Pendahuluan
Siswa BIPA baru adalah berkah. Acapkali penulis bercakap dengan rekan penggiat BIPA
yang menyampaikan segala keluh kesah dan masalah dengan pengajaran BIPA level dasar pada
siswa baru. kegelisahan kerap melanda dan seringkali muncul ucapan " yang sabar ya", " siap-siap
berjuang" ataupun ujaran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan muncul
manakala harus berhadapan dengan siswa baru BIPA dengan keterampilan bahasa Indonesia yang
1
biasanya masih sangat terbatas. Namun bagi penulis, menghadapi siswa baru BIPA adalah suatu
kesempatan dan kehormatan.
Siswa Baru BIPA yang baru pertama kali menjejakkan kakinya di bumi pertiwi ini
memiliki keunikkan tersendiri. walaupun mereka berpengalaman sebagai pembelajar di
pendidikan tinggi negara masing-masing, siswa baru program BIPA umumnya belum memahami
sepenuhnya budaya Indonesia dan sangat rawan terkena gegar budaya. senada dengan hal tersebut
Kaufka (2010) menyatakan bahwa pembelajar dewasa yang baru pertama kali menginjakkan
kakinya dalam lingkungan hidup dan belajar yang berbeda dipastikan akan melewati fase
"ternganga" pada tahun pertamanya. untuk itu para siswa baru sering merasa resah dan terkadang
menghadapi kesulitan beradaptasi yang pada ujungnya dapat mempengaruhi proses belajar
mereka.
masalah dari studi ini adalah telaah metode untuk meringankan kegalauan siswa BIPA
yang baru pertama kali belajar di Indonesia melalui peningkatan hubungan interaksi antara siswa
dan pihak pengelola program dan instruktur BIPA. proses pelaksanaan metode tersebut itulah
yang akan ditelaah dalam studi ini.
Sebagai instruktur yang menangani siswa BIPA yang baru datang, kita dapat membantu
membimbing mereka dalam beradaptasi, karena para siswa tersebut masih merasa asing dengan
lingkungan sekitarnya (terutama siswa dari kawasan benua yang berbeda).Instruktur tersebut akan
mampu menyaksikan transformasi penguasaan bahasa Indonesia serta sikap mereka terhadap
budaya di Indonesia. Namun di saat yang sama kita juga harus tetap waspada, bukan berarti siswa
baru akan terjamin transformasi bahasanya. Siswa yang baru pertama kali belajar di negara asing
memiliki hambatan akademik dan non-akademik yang harus mereka hadapi di enam bulan
pertama (Kaufka, 2010)
PENDEKATAN
Studi ini adalah hasil pengalaman langsung di lapangan selama menjadi pengelola
program BIPA. Sebagai kerangka konseptual, penulis menggunakan pendekatan studi kasus
dalam payung paradigma kualitatif untuk mengkaji proses belajar dan penerimaan siswa terhadap
program BIPA yang didapat. Analisisnya bersifat Idiografik bukan nomotetik. Sehingga hasil studi
ini tidaklah untuk dikuantifikasikan dan tidak akan digeneralisasikan kepada seluruh siswa baru
BIPA yang ada di Indonesia.
2
Penelitian studi kasus atau penelitian lapangan (field study) dimaksudkan untuk
mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa
yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa
adanya (given). Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok, institusi atau masyarakat.
Penelitian case study merupakan studi mendalam mengenai unit sosial tertentu dan hasil
penelitian tersebut memberikan gambaran luas serta mendalam mengenai unit sosial tertentu.
Subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas
dimensinya (Danim, 2002 ).
Pengertian yang lain, studi kasus bisa berarti metode atau strategi dalam penelitian, bisa
juga berarti hasil dari suatu penelitian sebuah kasus tertentu.Dalam konteks tulisan ini, penulis
lebih memfokuskan pada pengertian yang pertama yaitu sebagai metode penelitian. Studi kasus
adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus
dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi pihak luar. Pada intinya studi ini
berusaha untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan, mengapa keputusan itu
diambil, bagaimana diterapkan dan apakah hasilnya. (Salim, 2001).
Dengan kata lain, penulis memfokuskan kajiannya pada kasus yang terjadi pada
pengalaman belajar siswa BIPA tahun pertama serta pengelolaan program BIPA terkait yang ada
di institusi penulis. Subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang
diteliti sangat luas dimensinya.
METODE DAN PROSEDUR STUDI
Studi kasus ini dilakukan pada tahun ajaran BIPA 2011 -2012 di Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) dengan yang mengadakan program BIPA dengan UPI International Scholarship
(ISA). ISA adalah program beasiswa yang ditawarkan kepada pemelajar asing yang berkeinginan
mengenal bahasa dan budaya Indonesia. Siswa asing kemudian ditempa selama enam bulan di
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Program ini digalang untuk mempromosikan dan
meningkatkan ketertarikan pada bahasa dan budaya Indonesia di antara generasi muda negara lain
selain itu, program tersebut adalah salah satu bentuk dan upaya UPI dalam mewujudkan visinya
menjadi a world class university. secara garis besar, program ISA dilaksanakan selama enam
bulan mereka akan mengikuti pelatihan bahasa Indonesia pada level Dasar 1,2 dan 3. masingmasing level memiliki ujian kelulusan guna mengukur kelayakan siswa untuk melanjutkan ke
tingkat yang lebih lanjut.
3
Pada tahun ajaran tersebut, terdapat 19 siswa dari tujuh negara. Adapun semua siswa
program ISA diberikan nama panggilan dengan nama yang sudah umum di Indonesia guna
memudahkan pengajar dan siswa untuk saling menyapa dan mengenal, adapun nama yang
diberikan tentunya atas persetujuan siswa bersangkutan, nama panggilan Indonesia beserta asal
negara mereka
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
NAMA
INDONESIA
Hasim
Inna
Cinta
Yuda
Hani
Ika
Desi
Rahim
Kartini
Rina
Yeni
Arafat
Hanif
Saleh
Lilis
Rio
Chandra
Bagus
Jelita
ASAL
Bosnia
Bulgaria
China
China
China
China
China
Iran
Jepang
Jepang
Korea
Thailand
Thailand
Thailand
China
Jepang
China
China
China
No. Reg
11033
11034
11035
11036
11037
11038
11039
11040
11041
11042
11043
11044
11045
11046
11047
11048
11076
11077
11078
Tabel 1. data siswa program ISA 2011-2012, sumber: basis data Balai Bahasa UPI 2012
Sebagai bagian dari kurikulum untuk program tersebut. Penulis merancang tiga kali pertemuan di
luar kelas untuk bertatap muka dan saling berbagi informasi dan opini yang berkaitan dengan
proses belajar siswa ISA. Pertemuan pertama dilakukan di awal perkuliahan, pertemuan kedua
dilakuan ditengah semester dan yang terakhir dilaksanakan sebelum ujian akhir dan presentasi
karya tulis para siswa. Guna mengetahui opini siswa terhadap pertemuan rutin tersebut serta
mengetahui bagaimana pertemuan tersebut dapat membantu proses belajar mereka, penulis
melakukan wawancara tak terstruktur (terbuka) dalam bentuk percakapan informal dan sebagai
data sekunder, penulis juga memberikan questioner kepada semua siswa.
PELAKSANAAN
A. Pertemuan Pertama
4
Pelaksanaan pertemuan pertama cukup sederhana. Pertemuan ini dapat dikatakan sebagai
pertemuan “tak kenal maka tak sayang”, isi pertemuan lebih menekankan pada isu-isu non
akademis yang berkaitan dengan kepribadian, motivasi dan proses adaptasi mereka. Pertemuan ini
dilaksanakan di luar kelas (di kantor penulis atau di ruang tengah sekolah bahasa) dengan suasana
yang santai diselingi minum teh dan kopi bersama. Penulis melaksanakan pertemuan ini secara
empat mata atau dapat juga dilaksanakan secara berkelompok yang dibagi berdasarkan negara
asal siswa BIPA. Tujuan utama dari pertemuan pertama ini adalah:
1. Membangun ikatan hubungan dan kepercayaan dengan mengenali mereka dalam ranah
personal dan agar siswa juga dapat mengenali penulis tak hanya sebagai seorang pengajar
ataupun koordinator program, tetapi juga secara personal.
2. Memastikan agar siswa mengetahui di mana dan kapan mereka bisa bertemu dengan
penulis dan guru lain yang mengajar di kelas mereka. Selain itu, penulis juga menyatakan
kepada siswa BIPA secara empat mata bahwa penulis sangat terbuka untuk
berkorespondensi dan bersedia membantu siswa jika mereka mengalami permasalahan
baik isu akademis maupun non-akademis.
3. Memastikan bahwa siswa mengetahui tujuan dari pelatihan BIPA yang mereka ikuti serta
mengenalkan sedikit mengenai budaya Indonesia serta situasi belajar dan regulasi yang
ada di universitas bersangkutan.
Sebagai seorang instruktur, tidak dapat disangkal bahwa setiap guru menginginkan siswanya
berkembang dalam proses belajarnya. Namun isu non-akademis seperti motivasi dan gegar
budaya dapat pula menjadi pemicu atau penentu kemajuan belajar siswa sehingga apa yang
menjadi permasalahan dan kegalauan siswa memiliki posisi penting dalam proses belajar.
Siswa baru umumnya merasa galau karena posisi psikologis mereka yang terombang-ambing
antara area negara asal dan area kehidupan belajar di tempat baru serta pengaruh dari interaksi
sosial-interpersonal dalam kaitan dengan proses transisi siswa di lingkungan baru (Palmer, 2009).
satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan meringankan kegalauan siswa baru dengan
memberikan atmosfer kekeluargaan serta fleksibilitas di sekolah atau institusi tempat mereka
belajar. Atmosfer tersebut dibentuk dengan memposisikan pengajar sebagai mentor sekaligus
keluarga yang dapat mengisi kekosongan mereka. Kaufka (2010 ) menyatakan bahwa kesuksesan
mahasiswa baru terletak tak hanya pada kemampuan mereka berorganisasi dan mengatur waktu,
tetapi juga pada proses sejauh mana mereka mengenali pengajar mereka. Siswa BIPA berasal dari
berbagai negara sehingga memiliki berbagai profesi dan tujuan belajar berbeda. Oleh karena itu,
5
pengajar BIPA harus memerhatikan karakteristik siswa yang menjadi tanggung jawabnya
(Muliastuti & Sulastri, 2005).
Berdasarkan dari pertemuan ini, terlihat bahwa kegalauan siswa BIPA terfokus pada gegar
budaya dalam tiga hal utama yaitu budaya lingkungan setempat, bahasa Indonesia yang mereka
duga akan sangat sulit dipelajari, serta hal-hal yang berkaitan dengan sistem belajar di institusi
penulis. percakapan yang dibangun pada pertemuan ini menggunakan bahasa Inggris, tetapi bagi
yang bisa berbahasa melayu (seperti siswa dari Thailand selatan) penulis menggunakan bahasa
Indonesia. adapaun jika siswa bersangkutan tidak dapat berbahasa Inggris, maka penulis mencari
pengajar atau civitas akademik yang mempu berbahasa asing lainnya untuk turut terlibat menjadi
penengah.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada kesempatan tersebut juga menyinggung
beberapa hal mengenai pribadi siswa. Supaya siswa merasa lebih nyaman dan terbuka, penulis
menceritakan dulu sedikit tentang informasi pribadi penulis, hanya saja perlu tetap ditekankan
bahwa pertemuan ini bukan untuk membahas pribadi penulis.
pertanyaan-pertanyaan tersebut
dapat juga berperan sebagai analisis kebutuhan dan kurang lebih meliputi:
kabar siswa
proses transisi siswa
keadaan keluarga dan negara siswa
motivasi belajar bahasa Indonesia
tempat tinggal siswa di Indonesia
teman-teman siswa di Indonesia
kesukaan siswa
pelajaran atau hasil yang diinginkan
permasalahan yang melanda
dll
Pertemuan pertama ini dilaksanakan dengan penekanan bahwa siswa merasa bahwa ia memiliki
suara yang akan didengarkan dan ia tidak sendirian. Sebagai penutup, penulsi memaparkan
kembali tujuan dari pertemuan tersebut dan memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan
berkaitan dengan perkulihaan BIPA yang akan mereka jalani sekaligus memberikan kepastian
bahwa penulis dan pengajar lainnya terbuka terhadap permasalahan mereka dan siap membantu.
B. Pertemuan Kedua
Pelaksanaan pertemuan ini dilaksanakan pada tengah semester. penulis mengalami bahwa
setelah pertemuan pertama, siswa BIPA cenderung lebih cair dan lebih sering untuk bertemu atas
6
kemauan mereka sendiri. Bahkan sebagian dari siswa datang menemui koordinator program
secara rutin per minggu untuk berkonsultasi atau hanya berlatih bahasa Indonesia. Pertemuan ini
sifatnya tidak diwajibkan untuk datang, hanya dianjurkan saja. Perbedaan dengan pertemuan
pertama, pertemuan kali ini tidak terfokus dalam satu waktu, tetapi siswa dibebaskan menentukan
kapan mau datang karena mereka menjadwalkan atas kemauan mereka sendiri. sehingga
pertemuan ini tidak terlalu memakan banyak waktu sekaligus dan dapat lebih intensif berbicara
dengan siswa karena tidak ada tekanan waktu selama mereka datang pada waktu-waktu yang telah
disepakati di pertemuan pertama.
Tujuan dari pertemuan kali ini lebih ditekankan pada kemampuan akademis mereka,
dalam hal ini kemampuan berbahasa Indonesia. pertemuan dilakukan dalam bahasa Indonesia dan
menganjurkan mereka untuk menjelaskan apa yang akan mereka presentasikan di akhir program
serta kesiapan mereka untuk ujian tengah semester. namun penulis tetap terbuka jika siswa ingin
"curhat" mengenai isu non-akademis. Bagi pribadi penulis pertemuan ini sangat bermanfaat bagi
pengelolaan program, karena dalam pertemuan ini muncul berbagai masukan konstruktif
mengenai kegiatan belajar mengajar pada program BIPA-ISA tersebut, seperti halnya yang
disampaikan salah seorang siswa dalam wawancara terbuka setelah pertemuan pertama dan
kedua.
saya senang sekali dengan adanya pertemuan ini, karena saya datang terlambat
satu bulan dan sempat frustasi, karena kesulitan mengikuti pelajaran. namun
dalam pertemuan itu saya bisa bicara banyak mengenai masalah ini, bahkan
pengelola memberikan kelas tambahan bagi saya dan teman saya sehingga kami
bisa belajar dan mengejar teman-teman yang lain (Rio).
Selain itu dalam pertemuan kedua ini juga dapat memberikan solusi bagi masalah nonakademis, seperti siswa yang mengalami masalah dengan keluarga di negara asalnya sehingga
akhirnya ia mengundurkan diri dari program dan kembali ke negara asalnya.
Dengan kata lain, siswa BIPA program ISA merasa tercerahkan dengan adanya pertemuan
empat mata tersebut dan dapat berkontribusi setidaknya pada motivasi belajar dan mulai bisa
meringankan kegalauan siswa BIPA.
B. Pertemuan ketiga
Pertemuan ini adalah yang terakhir yang dirancang secara resmi. Pertemuan dijadwalkan
setelah mereka melakuakn ujian akhir dan sebelum melakukan ujian presentasi akhir. Hal ini
dilakukan di akhir karena setelah pertemuan pertama dan kedua, siswa umumnya sudah nyaman
7
dengan kondisi di tempat belajar dan tidak sungkan untuk datang ke kantor dan mengeluarkan
unek-uneknya baik yang berkaitan dengan akademis ataupun tidak.
Pelaksanaan pertemuan ini ditujukan untuk menerima masukan , perasaan mereka
sekaligus sebagai wahan evaluasi program dari sudut pandang siswa. Pelaksanaan pertemuan ini
dilaksanakan di dalam kelas tetapi di luar jam belajar. Semua siswa menghadiri pertemuan ini
terkecuali siswayang hanaya mengikuti program ini untuk tiga bulan.
Pertemuan ini juga dijadikan sarana gladi resik sebelum siswa melakuakn presentasi
akhirnya di depan civitas akademik universitas beserta jajaran pimpinannya.
Dari pertemuan serius tapi santai ini, penulis dapat mengambil saripati dan berbagai saran
konstruktif guna menyusun serta memutakhirkan program untuk kedepannya. Saat tersebut adalah
saat yang membahagiakan karena di sanalah seorang guru dapat menyaksikan perkembangan
siswa dalam proses penerimaan bahasa dan pemahaman budaya Indonesia.
TEMUAN
Ketiga pertemuan luar kelas tersebut diasumsikan dapat bermanfaat bagi proses belajar
siswa BIPA. Studi kasus yang penulis lakukan tidaklah banyak (16 orang) karena jumlah siswa
BIPA di Indonesia masih terus berkembang. Dari 19 siswa, yang dapat dijadikan responden adalah
16 siswa. Hal tersebut terjadi karena tiga orang siswa hanya mengambil program selama tiga
bulan saja. Berikut adalah data dari intensitas kehadiran siswa dalam setiap pertemuan
Pertemuan
Pertama
Kedua
Ketiga
Siswa yang hadir
16
16
15 (tiga orang selesai
program dan satu siswa
mengundurkan diri)
Persentase
100%
100%
94%
c
Tabel di atas tadi menunjukkan bahwa pertemuan tersebut ditanggapi dengan cukup positif oleh
semua siswa BIPA. Hal tersebut dikarenakan atmosfer dan suasana belajar yang sudah dapat
diterima siswa atau bahkan sudah dianggap nyaman oleh siswa. Sebagaimana dipaparkan oleh
salah seorang siswa
Kalau ada pertemuan itu baik sekali karena bisa konsultasi untuk
presentasi dan bicara tentang rencana liburan bersama teman-teman
dan guru di sini (Hani)
8
Berkaitan dengan hasil wawancara terbuka dengan siswa BIPA-ISA mengenai sikap mereka
terhadap ketiga pertemuan yang mereka alami, berikut adalah hasil yang telah penulis
klasifikasikan
1. Waktu pelaksaan
Tidak ada masalah (12)
Pelaksanaan Setiap bulan (2)
Sebaiknya semua guru ikut (2)
2. Kedekatan inter-personal
Merasa dianggap dan diperhatikan
(7)
Menjadi lebih dekat dengan guru
dan koordinator program (4)
Bagus untuk tambahan latihan
bahasa (3)
Penting untuk saling mengenal
antara guru dan siswa (2)
3. Motivasi belajar
Bertambah karena bisa bertanya
kembali tentang pelajaran di kelas
(14)
Biasa saja/ netral (2)
4. kontribusi pada proses belajar
Merasa
nyaman
dan
dapat
membantu
mengembangkan
kemampuan bahasa (12)
Membantu
meningkatkan
kepercayaan diri untuk bicara (3)
Netral (1)
5. Hubungan dengan teman sekelas
Lebih baik karena ada banyak
diskusi mengenai hal akademis
dan non akademis (8)
Menjadi lebih paham budaya
Negara lain (4)
Biasa saja (2)
Tabel 3. Opini siswa terhadap pertemuan rutin yang ditawarkan serta dampak pada proses belajar mereka, sumber:
diolah dari lapangan
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar dari siswa beropini bahawa kegiatan
pertemuan tersebut perlu dilakukan dan dapat meningkatkan motivasi belajar. Terlebih lagi, 75%
siswa merasa bahwa kegiatan pertemuan itu memberikan
kontribusi yang membantu dalam
menciptakan suasana nyaman untuk belajar. Sehingga secara garis besar dapat dipaparkan bahwa
siswa BIPA-ISA dengan jelas merasa bahwa kegiatan pertemuan rutin ini membantu mereka
dalam proses belajar mereka dan pengalaman hidup mereka selama di Indonesia.
Sebagaimana penulis paparkan sebelumnya, penelitian ini bersifat Idiografik bukan
nomotetik. Sehingga hasil studi ini tidaklah untuk dikuantifikasikan dan tidak akan
digeneralisasikan kepada seluruh siswa baru BIPA yang ada di Indonesia. Walaupun begitu, hasil
temuan studi ini dapat dijadikan landasan awal untuk menjalin hubungan interpersonal dengan
siswa BIPA guna menjadi salah satu alternatif solusi penawar kegalauan siswa. Temuan ini senada
dengan apa yang dinyatakan Nagahashi (2006) bahwa program belajar yang kooperatif sangat
efektif dalam mengurangi kegelisahan siswa dalam berbahasa asing. Terlebih lagi dengan suasana
9
lingkungan belajar yang suportif dan kondusif, kemampuan berbahasa siswa akan cepat
berkembang.
KESIMPULAN
Sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya, studi ini menunjukan bahwa siswa
menghargai hubungan personal dengan pihak kampus (pengajar dan/atau pengelola program).
Pengajaran yang baik disertai interaksi berkualitas diantara siswa dan pihak kampus dapat
mengurangi kegalauan siswa dalam belajar bahasa Indonesia. Pertemuan empat mata di luar jam
belajar dapat dijadikan salah satu metode untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa
bersangkutan.
Selain itu, data temuan menunjukkan bahwa pertemuan rutin di luar kelas dapat menjadi
langkah awal bagi siswa untuk belajar, beradaptasi, melatih toleransi dan membangun
kepercayaan mutualisme antara siswa, pengajar dan pengelola program melalui kegiatan saling
berbagi kisah yang tak harus selalu berkaitan dengan isu akademis. Sehingga bagi penulis,
menangani siswa baru BIPA melalui interaksi yang berkualitas dapat menambah kenikmatan
disela kesibukan yang melanda
Daftar Pustaka
Kaufka, Beth. (2010). Beyond Classroom. Journal of the Scholarship of Teaching and Learning. hlm 26-33
Mulyana, Deddy (2003). Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Rosdakarya. Bandung.
Muliasari dan Sulastri (2005). Panduan Pengajaran Membaca untuk Siswa BIPA. Dikutip dari situs:
http://www.saujana.sg/portals/0/penyerapan/pengajaran%20membaca.pdf\
Nagahashi, Lee (2006). Techniques for Reducing Foreign Language Anxiety: Results of An Intervention
Study. Akita University.
Palmer, Mark, Paula O’kane (2009). Betwixt Spaces: Students Accounts of Turning Point Experiences in
the First-year Transition. Studies in Higher Education.
Shanley, Mary Kay dan Julia Johnston. (2008). 8 things first-year students fear about college. Journal of
College Admission, hlm 3 – 7.
10