Kasus HAM Rohingya Molotov di Kedubes.

TUGAS
HUKUM DAN HAM

Disusun oleh :
Wahyullah A. Yusuf
NIM 8111416077
Rombel 02
Dosen : Ridwan Arifnn S.H.nLL.M

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

Rohingya Myanmar: Berawal dari Pelanggaran HAMn
Genosida hingga Aksi Kecaman terhadap Kedubes Myanmar
di Indonesia
Wahyullah A Yusuf
Nim 8111416077

wahyullahayusuf@gmail.com
Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap kasus Rohingya
Myanmar ditinjau dari segi HAM sebagai warga Negara, dari segi Genosida,
serta analisis kasus pemboman Kedubes Myanmar di Jakarta dari segi HAM.
Tulisan ini melakukan analisis dari berita-berita yang terdapat di surat kabar.
Berita tersebut dianalisis dan ditinjau dari sisi HAM sebagai warga negara dan
Genosida. Hak-hak asasi manusia adalah mengenai hubungan antara warga
negara dan negaranya menyangkut kewajiban negara untuk mempromosikan
dan mengamankan hak-hak dasar khusus dari warga negara sebagaimana
ditentukan dalam instrumen-instrumen itu. Kejahatan genosida, merupakan
kejahatan yang berkaitan dengan pemusnahan etnis. Dari analisis yang
dilakukan, kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya sudah
mendapatkan perhatian, kecaman dan juga tindakan anarkis masyarakat
Internasional dalam mengusut dan menghentikan kasus tersebut. Myanmar
yang tidak mengakui etnis Rohingya juga mendapat perhatian dunia mengenai
hak asasi manusia yaitu untuk hidup di dalam sebuah negara untuk
mendapatkan kedaulatan hidup, mendapatkan pendidikan, kesehatan dan
tempat tinggal yang layak. Kedubes Myanmar di Jakarta diserang oleh orang
tidak dikenal karena mereka menentang tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, di mana tindakan tersebut
secara tidak langsung juga telah melanggar HAM. Dunia internasional menjadi

membuka mata untuk menghapus dan memberantas tindakan pelanggaran
HAM dan genosida yang terjadi di Myanmar khususnya di Provinsi Rakhine.
Kata Kunci : Rohingya, Myanmar, HAM, Genosida.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara hokum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum. Oleh karena itu
negara wajib memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak
individu warga negaranya tanpa terkecuali. Karena negara Indonesia adalah
negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), maka pertama-tama HAM
harus merupakan bagian dari hukum Indonesia dan selanjutnya harus ada
prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM itu. Dalam
kaitan ini maka fungsi pengadilan untuk menentukan ada atau tidak adanya
pelanggaran atas ketentuan HAM sangat dan mempunyai kedudukan utama.1
Hak asasi merupakan sebuah hal penting bagi manusia untuk dapat
hidup dan berbaur dengan lingkungan, agaman, masyarakat dan negara.
Dalam setiap negara telah diatur mengenai hak asasi manusia dan

pelaksanaannya. Terdapat hak asasi dimana seseorang bebas dan berhak
memeluk agama yang diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia yang
mana telah dijamin secara hukum baik hukum nasional maupun hukum
internasional, sebagai hak yang mendasar dan bersifat kodrati yang melekat
pada manusia sejak berada dalam kandungan sebagai pemberian dari Tuhan
Yang Maha Esa.2
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk tuhan yang Maha Esa dan
merupakan anugerah yang wajib di hormati dijunjung tingi dan dilindungi oleh
negara hukum pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harta dan martabat manusia.3
HAM yang telah diakui tersebut sepertinya tidak berlaku dan tidak
diterapkan secara bijak oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya.
Warga Rohingnya adalah komunitas yang mayoritasnya Muslim, dan tinggal di
negara bagian Rakhine. Jumlah etnis tersebut berjumlah sekitar sejuta, tapi
mereka bukan kelompok masyarakat terbesar di Rakhine. Sebagian besar
warga Rakhine beragama Buddha. Komunitas warga Rakhine merasa
didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan
disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis
Burma. Dalam konteks tersebut, dijelaskan bahwa Rohingya dianggap warga

Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka
sendiri. Inilah peyebab utama ketegangan di negara bagian itu, dan telah
mengakibatkan sejumlah konfik senjata antar kedua kelompok 4.
1

Ari Wibowo, 2011, Jurnal, HAk Asasi Manusia Terpidana ( Kajian Terhadap Pelaksanaan
Pidana Mati di Indonesia, Semarang, Universitas Negeri Semarang.
2
Ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999tentang hak asasi manusia.
3
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia,(semarang: badan penerbit universitas diponegoro,
2015),hal 3

Kronologi Kasus
Etnis rohingya tidak diakui keberadaannya oleh negara Myanmar dan
tidak mendapatkan kewarganegaraan. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya
Peraturan Kewarganegaraan Myanmar (Burma Citizenship Law 1982),
Myanmar menghapus Rohingya dari
daftar
delapan etnis utama yaitu

Burmans, Kachin, Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan, Shan dan dari 135
kelompok etnis kecil lainnya5. Pembantaian muslim Rohingya merupakan
tragedi kemanusiaan yang memprihatinkan dan dapat dikategorikan
pelanggaran HAM berat dan crime against humanity (kejahatan terhadap
kemanusiaan) yang secara spesifk mengarah kepada genosida atau
pemusnahan etnis. Kasus kekerasan terhadap HAM di Myanmar tersebut
meliputi banyak kasus dan dikecam secara internasional. Selain itu, genosida
menjadi sebuah kasus pelik yang mendasari kasus HAM Rohingya. Genosida
pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia yaitu Rapahel
Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang
diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani genos (ras,
bangsa atau rakyat) dan bahasa Latin caedere (pembunuhan). Ketika
mengusulkan istilah baru ini, Lemkin membayangkan "sebuah rencana
terkoordinasi dengan beragam aksi yang bertujuan untuk menghancurkan
landasan dasar kehidupan kelompok-kelompok masyarakat secara nasional,
dengan maksud memusnahkan kelompok-kelompok itu sendiri. " Menurut
Statuta Roma dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, Genosida adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota

kelompok, mengakibatkan penderitaan fsik atau mental yang berat terhadap
anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang
menciptakan kemusnahan secara fsik sebagian atau seluruhnya, melakukan
tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok, memindahkan secara paksa
anak-anak dalam kelompok ke kelompok yang lainnya.
Konvensi genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide 1948) adalah salah satu konvensi hak asasi manusia
internasional yang tertua; yang lahir bahkan sebelum Deklarasi Umum Hak
Asasi Manusia (DUHAM). Salah satu agenda transisional adalah pengakuan dan
penghormatan hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Ratifkasi
konvensi genosida dipercaya sebagai langkah yang sangat penting bagi
perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia6.
Genosida disini sebuah kejadian pelanggaran HAM yang sangat berat
dalam yuridiksi International Criminal Court7, karena hal ini merupakan
kejahatan kemanusiaan dengan cara pembunuhan massal atau disebut dengan
pembantaian. Bukan hanya pemusnahan terhadap suatu etnik tertentu, tetapi
juga dilakukan terhadap penguasa-penguasa otoriter dan dictator terhadap
para mahasiswa, politisi dan semua yang kriis terhadap pemerintah,
menghilangkan lawan-lawan politik pemerintah, kebijaksanaan apartheid yang
4


Siegfried O. Wolf. 2015. Rohingya, Sebenarnya Bukan Konfik Agama, dalam
http://www.dw.com/id/rohingya-sebenarnya-bukan-konfik-agama/a-18683571
5
Aviantina Susanti. 2014. Jurnal Ilmiah: Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham Berat Terhadap
Etnis Rohingya Di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional. Semarang: Undip
6
UNGA Res. 260 A (III), 9 Desember 1948, Centre for Human Rights “ A Compilation of
International Instruments: Volume I (Second Part) – Universal Instruments”, United Nations,
NY, 1993.
7
http://www.preventgenocide.org/id/hukum/konvensi.htm

menghina dan menderitakan sejumlah besar manusia, dan sebagainya dengan
cara yang berbeda-beda.
Dalam beberapa tahun terakhir, pembantaian yang dilakukan terhadap
etnis Rohingya semakin besar dan semakin keras. Serangan yang terjadi pada
tanggal 25 Agustus 2017, telah menewaskan sedikitnya 32 orang dengan 11
diantaranya aparat keamanan Myanmar. Penjelasan dari pemerintah Myanmar
atas serangan tersbeut adalah sebagai sebuah ancaman atas kedaulatan

Myanmar terhadap negara bagian Rakhine. Akibat serangan tersebut
pemerintah Myanmar melakukan serangan balasan. Serangan balasan tersebut
berimbas pada komunitas Rohingya secara keseluruhan8.
Beberapa presiden dari beberapa negara mengecam tindakan
pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, dimana salah satunya adalah
presiden Turki, Erdogan. Erdogan menyatakan bahwa dalam kasus Rohingya
tersebut terdapat aksi genosida yang mana telah dilarang dan telah diatur
dalam hukum internasional dilarang keras. Selain itu, Erdogan menyatakan
bahwa pemerintah Myanmar membiarkan genosida dijalankan di bawah
demokrasi.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah analisis kasus Rohingya Myanmar ditinjau dari segi HAM
sebagai warga Negara?
2. Bagaimanakah analisis kasus Rohingya Myanmar ditinjau dari segi
Genosida?
3. Bagaimanakah analisis kasus pemboman Kedubes Myanmar di Jakarta
dari segi HAM (menghilangkan nyawa orang lain) ?
PEMBAHASAN
HAM dalam Etnis Rohingya di Myanmar
Hak-hak asasi manusia adalah mengenai hubungan antara warga negara

dan negaranya menyangkut kewajiban negara untuk mempromosikan dan
mengamankan hak-hak dasar khusus dari warga negara sebagaimana
ditentukan dalam instrumen-instrumen itu. Banyak dari hak dasar ini diakui
oleh konstitusi negara-negara, demikianlah seperti hak hidup, hak berkumpul
dalam perserikatan yang tujuannya tidak merugikan orang lain, hak
mengungkapkan gagasan yang tidak memftnah orang lain, hak memeluk
kepercayaan agama, hak atas milik pribadi, hak menuntut keadilan secara
hukum, hak atas proses pengadilan yang benar, antara lain9.
PBB telah menjelaskan dan memberikan pernyataan bahwa tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya merupakan
pelanggaran HAM terhadap warga muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Meskipun demikian, pemerintah Myanmar melalui panglima Militer Myanmar
menolakpernyataan PBB dan menolak penyelidikan kasus pelanggaran HAM di
Myanmar tersebut. Pemerintah beserta Panglima Militer Myanmar menekankan
bahwa Rohingya bukanlah masyarakat dan warga Myanmar.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa Panglima Militer memiliki kewajiban untuk
melakukan apa yang menjadi kewajiban mereka baik menurut hukum, dan juga
memiliki kewajiban dalam melindungi kedaulatan negara dalam politik, agam
dan persoalan ras di negara yang diganggu. Pemerintah juga menjelaskan
8


Bernardinus
Adi.
2017.
Kasus
Rohingya
ujian
besar
bagi
ASEAN
dalam
https://www.rappler.com/indonesia/berita/181025-rohingya-ujian-besar-asean
9
Dewa Gede Sudika Mangku. 2013. Kasus Pelanggaran Ham Etnis Rohingya: Dalam Perspektif
ASEAN. Media Komunikasi FIS Vol 12, No 2 Agustus 2013

kepada dunia secara langsung dengan tindakan HAM etnis Rohingya bahwa
etnis Rohingya bukan berasal dari Myanmar dan mereka merupakan
pendatang.
Kekerasan sektarian dan etnis tersebut sebenarnya sudah terjadi lama di

Myanmar, namun puncaknya terjadi dan awal konfik besar di Myanmar
terhadap etnis Rohingya terjadi pada tahun 2012. Korban tewas pada saat itu
dikabarkan mencapai puluhan orang sementara ratusan ribu lainnya
mengungsi.
Pemerintah Myanmar memberikan enam (6) pemicu konfik antara
pemerintah Myanmar dan Rohingya. Pemicu konfik tersebut antara lain:
a. Kemiskinan
Ketimpangan akan sumber daya alam yang melimpah di Rakhine
dengan jumlah penduduk yang mana tingkat kemiskinan penduduk di
Rakhine sangat tinggi
b. Faktor Politik
Masyarakat Rakhine merasa bahwa etnis Rohingya tidak memberikan
suara bagi partai politik mayoritas penduduk setempat sehingga
mereka merasa dihianati.
c. Tidak diakui Myanmar
Dengan tidak diakuinya Rohingya oleh Myanmar, maka mereka tidak
mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang
layak
d. Agama
Rohingya merupakan etnis penganut Islam dengan jumlah kurang
lebih 1 juta orang dan tinggal di Rakhine.
e. Pesaing dan Ancaman
Rohingya dianggap sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi
identitas masyarakat Rakhine dan saingan dalam pekerjaan maupun
kesempatan wirausaha
f. Balas Dendam
Konfik bermula dari terbunuhnya seorang gadis Buddha oleh 3
pemuda muslim dan kemudian terjadi aksi balas dendam hingga saat
ini
Genosida dalam Etnis Rohingya di Myanmar
Kejahatan genosida, merupakan kejahatan yang berkaitan dengan
pemusnahan etnis (ethnical cleansing). Komite Keenam (Sixth Commitee) dari
Majelis Umum PBB menyimpulkan bahwa kejahatan genosida juga mencakup
kejahatan terhadap kelompok-kelompok politik (political groups), karena dalam
pandangan komite, kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok yang tidak
dengan mudah diidentifkasi (non readily identifable), termasuk kelompokkelompok politik yang akan menyebabkan gangguan internasional dalam
masalah-masalah politik dalam negeri suatu negara10.
Oleh sebab itu, kejahatan genosida mencakup pula bentuk-bentuk lain
yang sama dengan kejahatan genosida, yaitu “ethonocide” dan “politicide”.
(Louis S. Beres, 1998). Bahkan menurut Trobof, kejahatan genosida (mungkin)
10

M.C. Bassiouni (et.al), ILC Draft Statute for an International Criminal Court With Suggested
Modifcations, Chicago, Maret 1996, hlm. 28 dalam Devy Sondakh, Peradilan Mahkamah
Internasional AD Hoc Den Haag Para Penjahat Perang Di Wilayah Bekas Yugoslavia Dan
Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Tesis, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999, hlm.
53.

dapat mencakup “commission of ecocide”, sebagaimana kejahatan perang
yang dilakukan Amerika Serikat di Vietnam.
Secara yuridis, genosida didefnisikan sebagai suatu tindakan dengan
maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh
atau
sebagian
kelompok bangsa, rasa, etnis, atau agama. Defnisi ini tertuang dalam
Konvensi
tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan
Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide), Tahun 1948, yang kemudian diabsorbsi oleh Statuta ICC, dan juga
kemudian dimasukkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Etnik Rohingya pada umumnya beragama Islam dan sebagian besar
tinggal di Rakhine yang berbatasan langsung dengan Bangladesh. Mereka
tidak diakui sebagai warga negara Myanmar tetapi dianggap sebagai
pendatang dari Bangladesh meskipun dari generasi ke generasi mereka tinggal
di Myanmar.
Kaum Rohingya yang bermigrasi ke Bangladesh pada umumnya
merupakan korban kekerasan, okupasi militer dan pembersihan etnis yang
berlangsung secara sistematis oleh pemerintah Myanmar (International
Federation of Human Rights League 2000). Karena Bangladesh merupakan
negara tetangga yang letaknya paling berdekatan dengan Myanmar, maka
tidak mengherankan jika banyak kaum Rohingya yang mencari perlindungan
ke Bangladesh. Selain itu faktor kesamaan etnis dan agama pun dirasa oleh
Rohingya mampu memberi rasa aman bagi mereka. Semula Bangladesh
menyambut baik kedatangan Rohingya dan pemerintah Bangladesh berharap
untuk dapat mengatasi persoalan ini melalui diplomasi dengan pemerintah
Myanmar.
Sekitar 400 orang-kebanyakan dari mereka adalah Muslim Rohingyatelah meninggal dalam kekerasan yang membakar negara bagian Rakhine di
barat laut Myanmar, klaim kantor kepala militer pada hari Jum'at.
Bagaimanapun, laporan lain mengutip kesaksian warga Rohingya, sedikitnya
800 orang dari warga Rohingya saja telah tewas akibat pembantaian oleh
militer dan ekstrimis Budha Rakhine. Laporan tentang pembantaian dan
pembakaran desa secara sistematis oleh pasukan keamanan-dan juga oleh
militan-semakin memperkuat ketegangan, menimbulkan kekhawatiran bahwa
kekerasan komunal di Rakhine berputar di luar kendali11.
Amnesty Internasional mencatat pada 2016 aparat bersenjata Myanmar
telah dengan sengaja melakukan pembunuhan kepada warga sipil, menembak
secara serampangan di desa-desa, menangkap pemuda Rohingya tanpa alasan
jelas, memperkosa perempuan Rohingya, dan merusak tempat tinggal serta
harta benda mereka. Kemudian dalam pelanggaran Genosida, etnis rohingya
tidak diberikan kebebasan dalam menjalankan ibadahnya, ini terlihat bahwa
yang terjadi pada awal bulan Juni 2012 hampir semua masjid di ibu kota
Arakan yaitu Sittwe/Akyab telah dihancurkan atau dibakar, banyak masjid
dan madrasah di Muangdaw dan Akyab yang ditutup dan muslim tidak boleh
beribadah di dalamnya. Jika ada yang melanggar atau mencoba untuk
sholat akan ditangkap dan dihukum12. Selain itu adanya larangan untuk
11

VOAIslam. 2017. Erdogan Sebut Myanmar Lakukan Genosida pada Muslim Rohingya.
https://www.voa-islam.com/read/world-news/2017/09/02/52971/erdogan-sebut-myanmarlakukan-genosida-pada-muslim-rohingya/
12
Pasal 2 ayat 5 Deklarasi Mengenai Hak Penduduk yang termasuk Kelompok Minoritas
berdasarkanKewarganegaraan, Etnis, Agama dan bahasa tahun 1992

merenovasi masjid manapun dan larangan untuk membangun masjid
yang baru13.
Pemerintah Myanmar mengeluarkan kebijakan “burmanisasi” dan
“budhanisasi”. Walaupun dalam negara Myanmar terdapat berbagai etnis
minoritas yang beragama selain budha, tetapi etnis tersebut masih diakui
sebagai warga negara Myanmar sedangkan etnis rohingya tidak diakui sebagai
warga negara Myanmar. Hal tersebut dikarenakan adanya alasan bahwa etnis
rohingya adalah umat muslim dan identitas mereka seperti ciri fsik dan bahasa
dianggap berbeda dengan mayoritas penduduk di Myanmar.
Pemboman Kedubes dalam Kaitannya dengan HAM (Korban jiwa)
Aksi pemboman dilakukan sebagai tindakan penolakan terhadap
kekerasan yang dialami muslim Rohingya di Myanmar di Provinsi Rakhine. Aksi
kekerasan yang dilakukan oleh Pasukan Militer Myanmar tersebut mengundang
kecaman dari berbagai masyarakat Internasional dan di Indonesia khususnya.
Dengan adanya konfik tersebut, masyarakat Indonesia melakukan aksi
pengeboman terhadap kedubes Myanmar yang mana pada akhirnya
menimbulkan korban jiwa lainnya. Disini masyarakat Indonesia bisa dijerat
dengan isu pelanggaran HAM dalam kasus menghilangkan nyawa seseorang
atau beberapa orang baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Walaupun
pada akhirnya tidak ada korban jiwa, tetapi hal tersebut mendapatkan
perhatian dari berbagai kalangan dan pemerintah Indonesia secara khusus.
Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling mendasar bagi diri setiap
manusia. Sifat keberadaan hak ini tidak dapat ditawar lagi (non derogable
rights). Hak untuk hidup mungkin merupakan hak yang memiliki nilai paling
mendasar dari peradaban modern. Dalam analisis yang bersifat fnal, jika tidak
ada hak untuk hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi
manusia lainnya.
Pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia) PBB
merumuskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas kehidupan,
kemerdekaan dan keselamatannya. Ketentuan ini sangat jelas memberikan
jaminan atas hak untuk hidup. Intensitas konfik yang ada dan terjadi di
Rakhine memicu eksodus besar-besaran warga Rohingya ke Bangladesh, dan
negara-negara muslim lainnya termasuk Indonesia.
Baik dalam instrumen Internasional maupun dalam aturan perundangundangan Indonesia dinyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak melekat
dan tidak dapat dilanggar (non-derogable). Bahkan dalam ICCPR dinyatakan
bahwa hak untuk hidup merupakan hak hukum yang tidak hanya melekat
karena sifatnya namun juga hak tersebut dilindungi dalam kerangka hukum.
Kaum Rohingya yang merupakan korban dari diskriminasi rezim
pemerintahan Myanmar terdorong untuk mencari perlindungan ke Bangladesh
karena letaknya yang berdekatan dan kemiripan etnis yang dimiliki. Namun
keinginan orang-orang Rohingya untuk mendapatkan perlindungan di
Bangladesh terhambat dengan tertutupnya wilayah perbatasan BangladeshMyanmar. Mulai tahun 2010, pemerintah Bangladesh secara aktif
mengimplementasikan
kebijakan
‘pushback’
dengan
menggunakan
Bangladesh Border Guards untuk menutup perbatasan secara ketat.

13

Pasal 3 ayat 1 Deklarasi Mengenai Hak Penduduk yang termasuk Kelompok Minoritas
berdasarkanKewarganegaraan, Etnis, Agama dan bahasa tahun 1992

KESIMPULAN
Kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya sudah mendapatkan
perhatian, kecaman dan juga tindakan anarkis masyarakat Internasional dalam
mengusut dan menghentikan kasus tersebut. Kasus yang bermula
pembunuhan 1 gadis buddha yang dilakukan oleh 3 pemuda muslim tersebut
menjadi besar dan menjadi aksi balas dendam bagi Myanmar kepada
Rohingya. Disusul beberapa landasan dan alasan yang mengakibatkan konfik
semakin memanas. Myanmar yang tidak mengakui etnis Rohingya juga
mendapat perhatian dunia mengenai hak asasi manusia yaitu untuk hidup di
dalam sebuah negara untuk mendapatkan kedaulatan hidup, mendapatkan
pendidikan, kesehatan dan tempat tinggal yang layak. Aksi yang dilakukan
pemerintah Myanmar tersebut telah melanggar Hukum Hak Asasi Manusia dan
juga Genosida. Terakhir adalah imbasnya bagi dunia internasional. Kedubes
Myanmar di Jakarta diserang oleh orang tidak dikenal karena mereka
menentang tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis
Rohingya. Para pelaku yang diduga menolak aksi pemerintah Myanmar
tersebut secara tidak langsung juga telah melanggar HAM dengan aksi
mencoba menghilangkan nyawa oranglain baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dengan adanya kasus Rohingya tersebut, dunia internasional
menjadi membuka mata untuk menghapus dan memberantas tindakan
pelanggaran HAM dan genosida yang terjadi di Myanmar khususnya di Provinsi
Rakhine.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil. (2003). Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa
Ini, Jakarta: Djambatan
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia,( semarang: badan penerbit universitas
diponegoro,
2015),hal 3
Jurnal dan Website
Anonim.
Rohingya
101
Data
dan
Fakta.
Diakses
dari
www.indonesia4rohingya.org
Ari Wibowo, 2011, Jurnal, HAk Asasi Manusia Terpidana ( Kajian Terhadap
Pelaksanaan
Pidana Mati di Indonesia, Semarang, Universitas Negeri Semarang.
Aviantina Susanti. (2014). Jurnal Ilmiah: Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham
Berat Terhadap Etnis Rohingya Di Myanmar Berdasarkan Hukum
Internasional. Semarang: Undip
BBC. 2017. Komisi Myanmar bantah ada 'genosida' terhadap Muslim Rohingya.
http://www.bbc.com/indonesia/dunia-38505778
Bernardinus Adi. (2017). Kasus Rohingya ujian besar bagi ASEAN dalam https://
www.rappler.com/indonesia/berita/181025-rohingya-ujian-besar-asean
M.C. Bassiouni (et.al), (1996). ILC Draft Statute for an International Criminal
Court With Suggested Modifcations, Chicago, dalam Devy Sondakh,
(1999). Peradilan Mahkamah Internasional AD Hoc Den Haag Para
Penjahat Perang Di Wilayah Bekas Yugoslavia Dan Kemungkinan
Penerapannya di Indonesia, Tesis. Bandung: Universitas Padjadjaran
Siegfried O. Wolf. (2015). Rohingya, Sebenarnya Bukan Konfik Agama, dalam
http://www.dw.com/id/rohingya-sebenarnya-bukan-konfik-agama/a18683571
UNGA Res. 260 A (III), 9 Desember 1948, Centre for Human Rights “ A
Compilation of International Instruments: Volume I (Second Part) –
Universal Instruments”, United Nations, NY, 1993.
Undang-Undang
Ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
Pasal 2 ayat 5 Deklarasi Mengenai Hak Penduduk yang termasuk Kelompok
Minoritas berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama dan bahasa tahun
1992
Pasal 3 ayat 1 Deklarasi Mengenai Hak Penduduk yang termasuk Kelompok
Minoritas berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama dan bahasa tahun
1992

Tribun Jogja Tanggal 4 September 2017 Hal 1