Kesediaan Konsumen Secara Sengaja Membel
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pemalsuan dikatakan telah berkembang sejak tahun 1970 an (Bian dan Veloutsou, 2005) ketika
Levis menemukan sejumlah besar jeans palsu dengan logo merek dagang dan label sama yang
telah diproduksikan di Asia Tenggara dan didistribusikan keseluruh Eropa Timur (Walker 1981).
Sejak saat itu, produk-produk palsu membanjiri pasar dalam beberapa dekade terakhir dan telah
meningkatkan tingkat ekonomi (phau dan Teah, 2009). Khususnya, merek mewah palsu dan
produk-produk fesyen sangat merajalela dan ini termasuk pakaian, tas tangan, dompet, arloji,
pen, dan masih banyak lagi lainnya. Pemalsuan bertanggungjawab sebagai penyebab ekonomi
yang serius dan membahayakan secara sosial baik bagi produsen dan juga masyarakat secara
keseluruhan (Bush et al., 1989). Tanpa memperhatikan kerusakan yang disebabkan produk palsu,
Kelompok yang menamakan dirinya Anti Pemalsuan telah mensurvey dan menemukan bahwa
konsumen mengabaikan pengaruh negative dari produk palsu tersebut. Ditemukan pula bahwa
1/3 dari konsumen akan secara sengaja membeli produk palsu dengan harga dan kualitas yang
tepat dan 29% melihat tidak ada salahnya pada pemalsuan produk sepanjang produk-produk
tersebut tidak membuat pembeli beresiko (Bian dan Veloutsou, 2005).
Selain dari pendapatan yang hilang yang timbul sebagai akibat dari pemalsuan, produsen juga
menghadapi kerugian tidak berwujud, seperti kehilangan goodwill, kehilangan reputasi merek
(brand image) dan mengurangi ekuitas merek (Nia dan Zaichkowsky, 2000). Pemalsuan juga
menimbulkan efek merusak pada masyarakat.
Kesuksesan dari pemalsuan produk merek mewah dapat dikaitkan terutama pada keunggulan
harga yang menawarkan lebih dari produk original (Bloch et al., 1993). Selanjutnya permintaan
konsumen untuk produk status sarat dengan harga rendah telah mendorong pertumbuhan
kegiatan illegal, sebagai konsumen secara aktif mencari pakaian bergengsi dan asesoris.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana faktor kepribadian
yaitu status consumption, materialism dan integrity mempengaruhi perilaku konsumen terhadap
produk merek mewah palsu dan kesediaannya secara sengaja membeli produk merek mewah
palsu tersebut. Juga menentukan bagaimana product attributes (product performance dan useful
life) berpengaruh terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk mewah palsu.
Produk yang diteliti dalam penelitian ini adalah produk olahraga dari merek Nike. Merek Nike
sangat dikenal dikalangan remaja. Merek ini berasal dari Amerika Serikat. Nike memproduksi
atribut olahraga mulai dari sepatu, pakaian, sampai dengan tas olahraga, dompet, arloji dan
sebagainya. Nike yang menciptakan fashion minded di kalangan pecinta olahraga. Merek ini
termasuk merek mahal, dimana harga produk keluarannya terjangkau untuk kalangan menengah
keatas. Namun untuk kualitas produknya, sangat baik dan tahan lama. Untuk membeli produk
Nike yang original (asli) hanya dapat dibeli di toko khusus Nike yang merupakan authorized
seller dan toko-toko olahraga terkemuka. Saat ini, sudah banyak juga produk Nike palsu di
pasaran. Desain/penampilannya mirip sekali dengan yang original namun kualitasnya bisa
berbeda. Daya tahan produk Nike palsu tidak seperti produk original. Tingkat kenyamanan
pemakainya juga berbeda. Namun produk palsu ini dijual dengan harga yang jauh lebih murah.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penelitian ini hanya berfokus tentang kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk-produk merek mewah palsu. Maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1). Apakah ada pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum
terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (2). Apakah
ada pengaruh negatif perilaku ketaatan terhadap legalitas produk merek mewah palsu dengan
kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (3). Apakah ada
pengaruh positif status consumption terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan
legalitas produk merek mewah palsu? (4). Apakah ada pengaruh positif status consumption
terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (5).
Apakah ada pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum
dan legalitas produk merek mewah palsu? (6). Apakah ada pengaruh positif materialism terhadap
kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (7). Apakah ada
pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas
produk merek mewah palsu? (8). Apakah ada pengaruh negatif integrity terhadap kesediaan
konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (9). Apakah ada pengaruh
positif performa (product performance) yang diharapkan dari produk merek mewah palsu seperti
produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk
merek mewah palsu? (10). Apakah ada pengaruh negatif kegunaan (useful life) dari produk
merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen secara
sengaja membeli produk merek mewah palsu?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1). Untuk
mengetahui pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum terhadap kesediaan konsumen secara
sengaja membeli produk merek mewah palsu (2). Untuk mengetahui pengaruh negatif perilaku
ketaatan terhadap legalitas produk merek mewah palsu dengan kesediaan konsumen secara
sengaja membeli produk merek mewah palsu (3). Untuk mengetahui pengaruh positif status
consumption terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek
mewah palsu (4). Untuk mengetahui pengaruh positif status consumption terhadap kesediaan
konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (5). Untuk mengetahui
pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas
produk merek mewah palsu (6). Untuk mengetahui
pengaruh positif materialism terhadap
kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (7). Untuk
mengetahui pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan
legalitas produk merek mewah palsu (8). Untuk mengetahui
pengaruh negatif
integrity
terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (9).
Untuk mengetahui pengaruh positif performa (product performance) yang diharapkan dari
produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen
secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (10). Untuk mengetahui pengaruh negatif
kegunaan (useful life) dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah original
terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan kegunaan yang spesifik baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut:(1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
berguna dalam rangka implementasi dan pengembangan ilmu, yaitu dengan cara menjelaskan
fenomena terjadinya kesediaan konsumen yang secara sengaja membeli produk merek mewah
palsu. (2). Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dan sumbangan
pemikiran dalam bentuk rekomendasi dan rumusan pemikiran yang aktual dan pragmatis bagi
para pengusaha untuk mengatasi masalah kesediaan konsumennya membeli produk merek
mewah palsu. (3). Bagi penulis, mendapat tambahan pengetahuan dan wawasan mengenai
perilaku konsumen terhadap produk merek mewah palsu, pengaruh merek mewah sebagai simbol
dan perilaku konsumen sehubungan dengan ketaatannya terhadap hukum dan legalitas produk
merek mewah palsu (4). Bagi Perguruan Tinggi, sebagai sumbangan pemikiran dan sumber
analisa kepada para pembaca, baik dilingkungan kampus ataupun diluar lingkungan kampus
dalam memahami perilaku konsumen yang secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pertama, dimensi dan item pengukuran yang dilakukan
dalam penelitian ini hanya mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Ian Phau,
Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009). Kedua, sampel yang digunakan hanya mahasiswa di
lingkungan Universitas Trisakti sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasikan dan hanya
terbatas pada sampel yang diteliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
Tinjauan Teori dan Telaah Hasil Penelitian
Dalam meneliti pengaruh ketaatan terhadap hukum dan legalitas terhadap kesediaan untuk
secara sengaja membeli produk merek mewah palsu, maka diperlukan adanya landasan teori
sebagai penunjuk arah untuk melangkah menuju pembuktian.
Attitudes toward Counterfeits
Attitude is a “learned predisposition to respond to a situation in favourable or unfavourable
way” (Huang et al., 2004). Konstruk perilaku sering digunakan untuk memprediksi keinginan
konsumen dan perilakunya. Untuk mengidentifikasi perilaku individu terhadap produk palsu,
digunakan konsep kerentanan informatif dan normatif (informative susceptibility dan normative
susceptibility) sebagai prediktor perilaku konsumen (Thurasamy et al., 2002; Wang et al., 2005;
Gupta et al., 2004 dalam Phau et al., 2009). Informative susceptibility adalah ketika konsumen
memutuskan melakukan pembelian berdasarkan pendapat ahli dari orang lain. Dimana normative
susceptibility adalah ketika konsumen memutuskan melakukan pembelian berdasarkan apakah
barang tersebut bisa menarik perhatian orang lain. Dikarenakan pemalsuan produk adalah ilegal
dan dilihat secara umum merupakan hal yang tidak baik oleh media dan publik maka
diasumsikan bahwa seseorang yang lebih rentan terhadap pengaruh sosial akan berperilaku
negatif terhadap produk palsu (Wang et al., 2005; Thurasamy et al., 2002; De Matos et al., 2007).
Terdapat 4 (empat) dimensi dalam menentukan perilaku konsumen yaitu: kualitas, ekonomi, etis
dan legal (Cordell et al., 1996; Ang et al., 2001; Gupta et al.,2004). Harga sebagai faktor
ekonomi memiliki peran yang mempengaruhi perilaku terhadap produk palsu. Jika konsumen
merasakan bahwa mereka telah dikhianati oleh produsen produk asli, mereka akan cenderung
berperilaku menyukai produk palsu dan akan cenderung melakukan pembelian produk palsu
tersebut (Ramayah et al., 2002). Faktor-faktor tambahan yang mempengaruhi perilaku konsumen
terhadap produk palsu termasuk gender, agama, motivasi demi keuntungan diri sendiri, faktor
situasional (Gupta et al., 2004; Nill dan Shultz, 1996) dan collectivism (Wang et al., 2001).
Konsumen yang menyenangi produk palsu dan terikat dengan aktivitas pembelian bersama
produsen produk-produk palsu, mempunyai standart ganda. Pembeli membebaskan dirinya
sendiri dari kesalahan dengan membenarkan tindakan mereka dan menyerahkan kesalahan
kepada produsen. (Ang et al., 2001; Cordell et al., 1996; Penz dan Stottinger, 2005). Pembeli
membenarkan tindakan mereka dengan menyatakan bahwa produsen illegal mempunyai margin
yang rendah dibandingkan dengan manufaktur original dan mereka tidak merasa dirampok (Penz
dan Stottinger, 2005). Kemudian, produsen illegal menyatakan bahwa untuk mewujudkan mimpi
dari konsumen yang tidak mungkin bisa membeli produk original tetapi
berharap untuk
mencapai status, reputasi dan kegembiraan terkait adalah dengan memiliki produk-produk
tersebut (Gentry et al., 2001).
Influence of Luxury and Symbolic Brands
Merek dianggap sebagai simbol yang juga mempengaruhi kesediaan konsumen secara sengaja
membeli produk merek mewah palsu. Merek sebagai simbol yang sering digunakan dalam
komunikasi interpersonal dan sebagai bentuk ekspresi konsep diri individu dan dibutuhkan
dalam interaksi sosial (Chaudhuri dan Majumdar, 2006). Merek telah menjadi suatu cara untuk
identifikasi dan realisasi diri sebagai langkah melampaui konsumsi konsumen belaka utilitas
produk. Konsumen sekarang mengkonsumsi makna simbolik dari merek (O’Chass dan Frost,
2002).
Ahli pemasaran dapat memposisikan merek-merek khusus dengan cara membuat merek untuk
mempertahankan
ekslusifitasnya,
untuk
mengkomunikasikan
prestise,
dan
untuk
mempromosikan posisi sosial bagi pengguna mereknya (Zinkhan dan Prenshaw, 1994; Nia dan
Zaichkowsky, 2000). Prestise, reputasi merek dan fesyen adalah penting untuk membeli produk
merek mewah. Pembeli dari produk palsu, mendapatkan keuntungan dari reputasi status tanpa
perlu berkorban sejumlah uang yang besar untuk itu (Bloch et al., 1993; Delener, 2000).
Karenanya, pembeli dari produk-produk merek mewah palsu sering dikenal dengan istilah
‘snobs’ (sok) tetapi tanpa sumber finansial untuk mampu membeli produk asli (Delener, 2000).
Attitude towards The Lawfulness and Legality of Counterfeit Luxury Brands
Untuk mempengaruhi keinginan konsumen membeli produk palsu dapat dilihat dari perilaku
konsumen terhadap hukum dan legalitas produk palsu. Semakin tinggi penilaian moral
seseorang, semakin berkurang keinginannya untuk terlibat dalam transaksi produk palsu.
Keputusan yang tidak etis seperti secara sengaja membeli produk palsu bisa dijelaskan dengan
perilaku konsumen sehubungan dengan kelas produk (Wee et al., 1995; Ang et al., 2001).
Alasan moral akan muncul ketika individu menghadapi dilemma etika. Kohlberg (1976)
mengkategorikan 3 (tiga) tahap dimana individu akan menghadapi dilemma etika. Sebagai level
pre-conventional (tahap 1 dan 2), alasan individu berdasarkan pada konsekuensi personal yang
diharapkan seperti reward dan punishment. Tahap 3 dan 4 fokus pada memelihara dan mengikuti
harapan kelompok-kelompok referensi dan nilai-nilai sosial. Pada level post-conventional (Tahap
5 dan 6) ada usaha yang jelas untuk mendefinisikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral, dimana
masih memelihara dan mengikuti nilai-nilai dari kelompok referensi dan masyarakat (Nill dan
Scultz, 1996). Tahapan ini menemukan keseimbangan antara moral yang dapat diterima individu
dan yang sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Personality variables
3 (tiga) variable personality sebagai anteseden dalam penelitian ini adalah status consumption,
materialism dan integrity. Status pertama kali diteliti oleh Veblen (1899) dikenal dengan teori
‘leisure class’. Packard (1959) dan Mason (1981,1992) berupaya melanjutkan ide ekonomi
Veblen tentang konsumsi menyolok yang menyarankan orang-orang sering mengkonsumsi
produk untuk mendemonstrasikan status superior mereka kepada orang lain. Status consumption
adalah proses motivasional dimana setiap individu berusaha untuk meningkatkan status sosialnya
dengan mengkonsumsi produk-produk yang sesuai dengan reputasi yang diinginkan (Eastman et
al., 1999). Status suatu produk tidak bernilai banyak dilihat dari kualitas fungsionalnya tetapi
bernilai dari kemampuannya terhadap reputasi status. Sering terjadi dalam proses pembelian
bahwa status suatu produk memainkan peran lebih signifikan dibandingkan atribut fungsional
dari produk itu sendiri (Barnett, 2005). Individu yang berharap dapat menjadi orang dengan
status sosial lebih tinggi namun tidak memiliki pendapatan yang mendukungnya, akan membeli
produk palsu sebagai alternatif dari produk original (Wee et al., 1995).
Sifat materialism dapat menjadi tinggi pada beberapa konsumen yang membuatnya menjadi
tujuan hidup, dengan mengabaikan aspek hidup orang lain (Richins dan Rudmin, 1994).
Dorongan motivasi materialistis berasal dari memperoleh kepemilikan berdasarkan kebutuhan
untuk memperoleh kekayaan dan tingkat sosial (Eastman et al., 1999). Pakaian bermerek dan
asesoris dikategorikan sebagai proyek style dan reputasi (Fitzmaurice dan Comegys, 2006).
Materialistis tinggi lebih bergantung pada memproyeksikan identitas diri kepada orang lain
dengan mengandalkan pada konsumsi status barang (Fitzmaurice dan Comegys, 2006).
Konsumen yang tanpa kemampuan keuangan atau dukungan untuk mencapai gaya hidup yang
dipilih, akan beralih ke merek mewah palsu sebagai alternatif.
Pengaruh nilai-nilai seperti integrity akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap kegiatan
yang tidak etis (Steenhaut dan Van Kenhove, 2006). Integritas merupakan tingkat pertimbangan
etis individu dan ketaatan kepada hukum (Wang et al., 2005). Penelitian menunjukkan bahwa
konsumen yang berpikiran secara sah memiliki sikap yang tidak menguntungkan bagi produk
palsu dan kurang bersedia untuk membeli produk palsu (Cordell et al., 1996). Konsumen yang
secara sengaja membeli produk palsu, merasionalkan tindakan mereka dan tidak melihat bahwa
perilaku mereka sebagai tindakan yang tidak etis (Ang et al., 2001).
Product Attributes
Product Performance
Konsumen, yang secara sengaja membeli produk palsu lebih memperhatikan dari
penampilan fisik produk dibandingkan daya tahannya. (Bush et al., 1989). Hal tersebut sangat
benar bagi produk merek mewah palsu, dimana pembeli menempatkan nilai lebih tinggi pada
prestise, reputasi merek dan fesyen diatas atribut fungsionalnya. Pembeli mencari keuntungan
dari reputasi yang didapatkan dengan menggunakan produk tersebut, yang paling penting tanpa
membayar dengan harga penuh.
Useful Life
Konsumen dikatakan lebih memperhatikan daya tahan dan keandalan ketika
mempertimbangkan pembelian dari produk-produk fungsional. (Greenberg et al., 1983).
Walaupun begitu, manfaat status terkait sebagai motivator utama bagi pembelian produk merek
mewah palsu. Hal yang wajar untuk menganggap bahwa penampilan dan visibilitas merupakan
atribut yang lebih signifikan bagi fesyen dan produk-produk simbolik (Prendergast et al., 2002).
Sehingga, atribut produk untuk membeli produk-produk merek mewah palsu akan berdasarkan
penampilan dan visibilitas. Produk dengan atribut simbolik akan di pertimbangkan pada
kemampuan performa mereka dalam jangka pendek.
Kerangka Pemikiran
Konstelasi masalah pengaruh variabel anteseden yaitu: status consumption, materialism dan
integrity terhadap perilaku ketaatan hukum dan legalitas konsumen pada produk merek mewah
palsu, yang akhirnya akan berpengaruh pada kesediaan konsumen secara sengaja membeli
produk merek mewah palsu, dan masalah korelasi antara product performance, useful life dan
kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu dapat dilihat pada
kerangka pemikiran penelitian berikut ini.
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Product
performance
Status consumption
Materialism
Integrity
Useful life
Ha9,Ha10
Ha3,Ha5, Ha7
Ha1, Ha2
Attitudes toward the
lawfulness and legality of
counterfeit luxury brands
Willingness to knowingly
purchase counterfeit
luxury brands
Ha4,Ha6, Ha8
Perumusan Hipotesis
Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka diatas, maka dalam hal ini dapat dikemukakan
beberapa hipotesis sebagai berikut:
H01: Tidak terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum terhadap kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha1: Terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum terhadap kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H02: Tidak terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan terhadap legalitas
produk merek mewah palsu dengan kesediaan konsumen secara sengaja
membeli produk merek mewah palsu.
Ha2: Terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan terhadap legalitas produk merek
mewah palsu dengan kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk
merek mewah palsu.
H03: Tidak terdapat pengaruh positif status consumption terhadap perilaku ketaatan
konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha3: Terdapat pengaruh positif status consumption terhadap perilaku ketaatan
konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
H04: Tidak terdapat pengaruh positif status consumption terhadap kesediaan
konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha4: Terdapat pengaruh positif status consumption terhadap kesediaan konsumen
untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H05: Tidak terdapat pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan
konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha5: Terdapat pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan konsumen
terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
H06: Tidak terdapat pengaruh positif materialism terhadap kesediaan konsumen
untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha6: Terdapat pengaruh positif materialism terhadap kesediaan konsumen untuk
secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H07: Tidak terdapat pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen
terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha7: Terdapat pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen
terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
H08: Tidak terdapat pengaruh negatif integrity terhadap kesediaan konsumen untuk
secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha8: Terdapat pengaruh negatif integrity terhadap kesediaan konsumen untuk secara
sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H09: Tidak terdapat pengaruh positif performa (product performance) yang
diharapkan dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah
original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek
mewah palsu.
Ha9: Terdapat pengaruh positif performa (product performance) yang
diharapkan dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah
original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek
mewah palsu.
H010: Tidak terdapat pengaruh negatif kegunaan (useful life) dari produk
merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha10: Terdapat pengaruh negatif kegunaan (useful life) dari produk merek
mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
BAB III
METODOLOGI
Definisi Operasional Penelitian
Variabel bebas (independent variable) penelitian ini adalah Attitude toward law and the legality
of purchasing counterfeit dengan variabel antesedennya adalah Integrity, Status Consumption
dan Materialism sedangkan variabel tidak bebas (dependent variable) adalah Willingness to
knowingly purchase counterfeit luxury brands dengan antesedennya adalah Product
Performance dan Useful Life.
Integrity diukur dengan mengajukan 4 (empat) item pernyataan yang dikembangkan oleh
Rokeach (1973) yaitu:
1.
2.
3.
4.
Saya menghargai bertanggungjawab
Saya menghargai kejujuran
Saya menghargai kesopanan
Saya menghargai pengendalian diri
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Pernah, 2 =
Jarang, 3 = Kadang, 4 = Sering, dan 5. = Selalu.
Status consumption diukur dengan mengajukan 5 (lima) item pernyataan yang dikembangkan
oleh Easman et. Al. (1999) yaitu:
1
Saya akan membeli produk hanya karena produk tersebut memiliki status
2
yang bisa membuat saya dihormati orang
Saya tertarik pada produk baru dengan status yang bisa membuat iri hati
3
orang lain
Saya akan
membayar
lebih
untuk
produk
jika
memiliki
status
4
5.
dipertimbangkan orang
Status produk penting bagi saya
Produk yang lebih berharga bagi saya jika memiliki daya tarik lebih
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai
dengan 5 = Setuju
Materialism diukur dengan mengajukan 7 (tujuh) item pernyataan yang dikembangkan oleh
Sirgy et. Al. (1998) yaitu:
1
2
3
4
Penting bagi saya untuk memiliki barang yang benar-benar baik
Saya ingin cukup kaya untuk bisa membeli apa saja yang saya mau
Saya akan bahagia jika saya mampu membeli lebih banyak barang
Kadang-kadang agak sedikit mengganggu pikiran saya bahwa saya tidak
5
6
7
mampu membeli semua barang yang saya inginkan
Orang-orang terlalu banyak menekankan pada hal-hal materi
Adalah benar bahwa uang dapat membeli kebahagiaan
Barang-barang yang saya miliki memberi banyak kesenangan
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai
dengan 5 = Setuju
Attitude toward law diukur dengan mengajukan 4 (empat) item pernyataan yang dikembangkan
oleh Rundquist dan Sletto (1936) yaitu:
1
Seseorang harus mematuhi hukum, tidak peduli berapa banyak yang bisa
2
mengganggu ambisi pribadi
Seseorang harus mengatakan kebenaran di pengadilan, terlepas dari
3
konsekuensinya
Seseorang dibenarkan dalam memberikan kesaksian palsu untuk melindungi
4
teman di sidang pengadilan
Tidak masalah bagi seseorang untuk melanggar hukum jika tidak tertangkap
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai
dengan 5 = Setuju
Attitude toward the legality of purchasing counterfeit diukur dengan mengajukan 2 (dua) item
pernyataan yang dikembangkan oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1
2
Membeli produk palsu adalah ilegal
Menjual produk palsu adalah ilegal
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai
dengan 5 = Setuju
Willingness to knowingly purchase counterfeit luxury brands diukur dengan mengajukan 1 (satu)
pernyataan yang dikembangkan oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1. Pernahkah anda membeli produk-produk merek mewah palsu?
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang mengacu pada skala nominal yaitu: 1 = Ya atau 2 = Tidak.
Product performance diukur dengan mengajukan 2 (dua) item pernyataan yang dikembangkan
oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1
2
Performa produk-produk original
Performa produk-produk palsu
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Rendah sampai
dengan 5 = Sangat Tinggi.
Useful Life diukur dengan mengajukan 2 (dua) item pernyataan yang dikembangkan oleh Ian
Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1
2
Kegunaan produk-produk original
Kegunaan produk-produk palsu
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Kurang dari 1 tahun
sampai dengan 5 = 5 tahun lebih
Pemilihan Metode Penelitian
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Ian Phau, Marishka
Sequeira dan Steve Dix (2009). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survey yaitu sejenis metode penelitian yang mempelajari sampel-sampelnya dengan tujuan untuk
menduga ciri-ciri populasinya, sepanjang diikuti prosedur penarikan sampel.
Menurut Cooper dan Emory (1995), metode penelitian survei adalah mengajukan pertanyaan
pada orang-orang dan merekam hasilnya untuk kemudian dianalisis. Penelitian survei ini dinilai
cocok digunakan untuk mempelajari pendapat dan sikap dari seseorang dalam hal ini adalah
responden yang bersangkutan.
Dengan demikian penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi
dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Survey juga dipandang sesuai untuk
mengumpulkan informasi atau data yang dipakai untuk menentukan hubungan timbal balik
antara variabel yang diteliti pada saat penelitian.
Sampel
Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu
metode pemilihan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai
sangkut–paut dengan karakterisitik populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Purposive
Sampling adalah salah satu teknik Non Probability Sampling yang memilih orang-orang yang
telah diseleksi oleh peneliti lebih bersifat subyektif, probabilitas pemilihan sampel dalam
populasi tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai
sampel.
Menurut Walpole (2004), model untuk menentukan jumlah sampel minimum yang direncanakan
adalah n = Za2 2
4e2
Dimana Za2 2 adalah nilai pada angka tabel yang didistribusikan z untuk tingkat kepercayaan atau
level of confidence sebesar α, sedangkan e adalah tingkat kesalahan atau error.
Dalam penelitian ini jumlah sampel minimum yang direncanakan yaitu dengan tingkat
kepercayaan atau level of confidence adalah sebesar 95 persen atau nilai pada angka table
distribusi z untuk tingkat kepercayaan atau level of confidence sebesar α atau Za2 = 1,96 (dari
tabel z) dan untuk kesalahan atau error (e) = 0.10
jadi n =
Za2 2 = (1.96)2
4e2
= 96.04
4(0.10)2
Jadi untuk peneltian ini jumlah sampel minimum adalah 106 responden. Sampel
Karakteristik Responden
Dari 120 kuesioner yang disebarkan untuk penelitian in hanya 106 kuesioner yang kembali,
dengan response rate-nya sebesar 88.3 %
Tabel 3.1
Karakteristik Demografik Responden
No.
Karakterisitik Demografi
1. Jenis Kelamin
Pria
Wanita
2.
3.
Jumlah
Persentase
41
65
38.7
61.3
Usia
23 – 27 tahun
>27 tahun
37
66
3
0
34.9
62.3
2.8
0
Pengeluaran per bulan
< Rp. 1.000.000,> Rp. 1.000.000,- sd Rp. 2.000.000,> Rp. 2.000.000,- sd Rp. 3.000.000,> Rp. 3.000.000,-
60
30
10
6
56.6
28.3
9.4
5.7
Untuk jenis kelamin yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah responden wanita lebih
banyak dari pada responden pria, dimana jumlah responden pria sebanyak 65 responden atau
sekitar 61.3 persen sedangkan untuk responden wanita sebanyak 41 responden dengan persentase
38.7 persen dari jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini.
Kemudian untuk usia responden yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu
dengan rentang usia 19 tahun sampai dengan usia 23 tahun yaitu sebanyak 66 responden dengan
persentase 62.3 persen; selanjutnya diikuti dengan rentang usia kurang dari 19 tahun sebanyak 37
responden dengan persentase 34.9 persen; dilanjutkan dengan rentang usia diatas 23 tahun
sampai dengan usia 27 tahun yakni sebanyak 3 responden dengan persentase 2.8 persen.
Sedangkan tidak ada satupun responden dengan usia diatas 27 tahun.
Untuk jumlah pengeluaran perbulan responden yang paling banyak berpartisipasi dalam
penelitian ini adalah responden yang memiliki pengeluaran < Rp.1.000.000,- sebanyak 60
responden dengan persentase sebanyak 56.6 persen; dilanjutkan dengan responden yang
memiliki pengeluaran diatas Rp.1.000.000,- sampai dengan
Rp. 2.000.000,- sebanyak 30
responden dengan persentase sebanyak 28.3 persen. Kemudian responden yang memiliki
pengeluaran diatas Rp.2.000.000,- sampai dengan Rp. 3.000.000,- sebanyak 10 responden
dengan persentase 9.4 persen, terakhir diikuti responden yang memiliki pengeluaran diatas
Rp.3.000.000,- sebanyak 6 responden dengan persentase 5.7 persen.
Instrumentasi dan Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer. Data dikumpulkan dengan teknik penyebaran kuesioner,
yaitu dengan memberikan pertanyaan tertulis kepada responden. Selanjutnya responden
memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diberikan. Kuesioner ini bersifat tertutup dimana
jawabannya sudah tersedia. Pertanyaan tertutup ini akan membantu responden untuk
menjawabnya dengan cepat dan akan memudahkan peneliti melakukan analisis data terhadap
seluruh kuesioner yang telah terkumpul.
Sebelum suatu kuesioner didistribusikan atau digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini
dilakukan terlebih dahulu suatu uji coba untuk mengukur validitas dan reliabilitas dari alat ukur
tersebut.
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat tes yang ada telah mengukur sasaran yang
diukur. Karena butir-butir instrumen dalam penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya
dari Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009), maka penelitian ini menggunakan tipe
validitas isi (Content Validity). Salah satu cara untuk mengetahui apakah alat ukur atau tes yang
dibuat telah memenuhi validitas isi, maka dilakukan dengan meminta penilaian dari orang yang
kompeten (pakar). Face Validity, yang mana hanya didasarkan pada penilaian terhadap format
tampilan dari alat ukur yang ada. Validitas ini dianggap telah terpenuhi apabila penampilan alat
ukur atau tes telah meyakinkan dan memberi kesan mampu mengungkapkan apa yang hendak
diukur (Nisfiannoor, 2009).
Uji Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi, akurasi dan prediktabilitas suatu alat ukur. Hair,
Anderson (1998, p.3) berpendapat bahwa “…reliability extent to which a variables is consistent
in what it is intended to measure.” Coefisient reliability diukur dengan menggunakan
Cronbach’s alpha bagi setiap variabel. Hair (1998) berpendapat bahwa pengukuran reliabilitas
ini berkisar antara 0 sampai 1, dimana batas terendah yang dapat diterima adalah 0,6 sampai 0,7.
Hasil uji reliabilitas pada penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 3.8 sebagai berikut:
Tabel 3.2
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel
Cronbach Alpha
0,785
Integrity
Status consumption
0,759
Materialism
0,597
Attitude toward the lawfulness and
legality of counterfei luxury brands
0,626
Pada tabel 3.2 di atas terlihat bahwa bahwa variabel Integrity, Status Consumption dan Atitude
toward the lawfulness and legality of counterfei luxury brands yang di uji memiliki koefisien
Cronbach alpha > 0,60. Hanya pada variabel Materialism, walaupun setelah di hilangkan 2
pertanyaan yaitu pertanyaan no. 1 dan 5 hasilnya tetap < 0,60. Namun masih bisa digunakan
karena nilainya hanya selisih 0,03. Dengan demikian, jawaban responden pada setiap butir
pernyataan variabel yang digunakan dinyatakan realiabel.
Metode Analisis Data
Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan Standart Regression dan Stepwise
Regression dengan bantuan program SPSS versi 16.0. Analisa Stepwise Regression dengan cara
setahap demi setahap. Tujuan metode regresi ini adalah untuk memprediksi perubahanperubahan di dalam
variabel terikat (dependent variabel) dikaitkan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam jumlah variabel bebas (independent variabel).
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pemalsuan dikatakan telah berkembang sejak tahun 1970 an (Bian dan Veloutsou, 2005) ketika
Levis menemukan sejumlah besar jeans palsu dengan logo merek dagang dan label sama yang
telah diproduksikan di Asia Tenggara dan didistribusikan keseluruh Eropa Timur (Walker 1981).
Sejak saat itu, produk-produk palsu membanjiri pasar dalam beberapa dekade terakhir dan telah
meningkatkan tingkat ekonomi (phau dan Teah, 2009). Khususnya, merek mewah palsu dan
produk-produk fesyen sangat merajalela dan ini termasuk pakaian, tas tangan, dompet, arloji,
pen, dan masih banyak lagi lainnya. Pemalsuan bertanggungjawab sebagai penyebab ekonomi
yang serius dan membahayakan secara sosial baik bagi produsen dan juga masyarakat secara
keseluruhan (Bush et al., 1989). Tanpa memperhatikan kerusakan yang disebabkan produk palsu,
Kelompok yang menamakan dirinya Anti Pemalsuan telah mensurvey dan menemukan bahwa
konsumen mengabaikan pengaruh negative dari produk palsu tersebut. Ditemukan pula bahwa
1/3 dari konsumen akan secara sengaja membeli produk palsu dengan harga dan kualitas yang
tepat dan 29% melihat tidak ada salahnya pada pemalsuan produk sepanjang produk-produk
tersebut tidak membuat pembeli beresiko (Bian dan Veloutsou, 2005).
Selain dari pendapatan yang hilang yang timbul sebagai akibat dari pemalsuan, produsen juga
menghadapi kerugian tidak berwujud, seperti kehilangan goodwill, kehilangan reputasi merek
(brand image) dan mengurangi ekuitas merek (Nia dan Zaichkowsky, 2000). Pemalsuan juga
menimbulkan efek merusak pada masyarakat.
Kesuksesan dari pemalsuan produk merek mewah dapat dikaitkan terutama pada keunggulan
harga yang menawarkan lebih dari produk original (Bloch et al., 1993). Selanjutnya permintaan
konsumen untuk produk status sarat dengan harga rendah telah mendorong pertumbuhan
kegiatan illegal, sebagai konsumen secara aktif mencari pakaian bergengsi dan asesoris.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana faktor kepribadian
yaitu status consumption, materialism dan integrity mempengaruhi perilaku konsumen terhadap
produk merek mewah palsu dan kesediaannya secara sengaja membeli produk merek mewah
palsu tersebut. Juga menentukan bagaimana product attributes (product performance dan useful
life) berpengaruh terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk mewah palsu.
Produk yang diteliti dalam penelitian ini adalah produk olahraga dari merek Nike. Merek Nike
sangat dikenal dikalangan remaja. Merek ini berasal dari Amerika Serikat. Nike memproduksi
atribut olahraga mulai dari sepatu, pakaian, sampai dengan tas olahraga, dompet, arloji dan
sebagainya. Nike yang menciptakan fashion minded di kalangan pecinta olahraga. Merek ini
termasuk merek mahal, dimana harga produk keluarannya terjangkau untuk kalangan menengah
keatas. Namun untuk kualitas produknya, sangat baik dan tahan lama. Untuk membeli produk
Nike yang original (asli) hanya dapat dibeli di toko khusus Nike yang merupakan authorized
seller dan toko-toko olahraga terkemuka. Saat ini, sudah banyak juga produk Nike palsu di
pasaran. Desain/penampilannya mirip sekali dengan yang original namun kualitasnya bisa
berbeda. Daya tahan produk Nike palsu tidak seperti produk original. Tingkat kenyamanan
pemakainya juga berbeda. Namun produk palsu ini dijual dengan harga yang jauh lebih murah.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penelitian ini hanya berfokus tentang kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk-produk merek mewah palsu. Maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1). Apakah ada pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum
terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (2). Apakah
ada pengaruh negatif perilaku ketaatan terhadap legalitas produk merek mewah palsu dengan
kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (3). Apakah ada
pengaruh positif status consumption terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan
legalitas produk merek mewah palsu? (4). Apakah ada pengaruh positif status consumption
terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (5).
Apakah ada pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum
dan legalitas produk merek mewah palsu? (6). Apakah ada pengaruh positif materialism terhadap
kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (7). Apakah ada
pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas
produk merek mewah palsu? (8). Apakah ada pengaruh negatif integrity terhadap kesediaan
konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu? (9). Apakah ada pengaruh
positif performa (product performance) yang diharapkan dari produk merek mewah palsu seperti
produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk
merek mewah palsu? (10). Apakah ada pengaruh negatif kegunaan (useful life) dari produk
merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen secara
sengaja membeli produk merek mewah palsu?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1). Untuk
mengetahui pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum terhadap kesediaan konsumen secara
sengaja membeli produk merek mewah palsu (2). Untuk mengetahui pengaruh negatif perilaku
ketaatan terhadap legalitas produk merek mewah palsu dengan kesediaan konsumen secara
sengaja membeli produk merek mewah palsu (3). Untuk mengetahui pengaruh positif status
consumption terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek
mewah palsu (4). Untuk mengetahui pengaruh positif status consumption terhadap kesediaan
konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (5). Untuk mengetahui
pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas
produk merek mewah palsu (6). Untuk mengetahui
pengaruh positif materialism terhadap
kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (7). Untuk
mengetahui pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan
legalitas produk merek mewah palsu (8). Untuk mengetahui
pengaruh negatif
integrity
terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (9).
Untuk mengetahui pengaruh positif performa (product performance) yang diharapkan dari
produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen
secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (10). Untuk mengetahui pengaruh negatif
kegunaan (useful life) dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah original
terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan kegunaan yang spesifik baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut:(1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
berguna dalam rangka implementasi dan pengembangan ilmu, yaitu dengan cara menjelaskan
fenomena terjadinya kesediaan konsumen yang secara sengaja membeli produk merek mewah
palsu. (2). Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dan sumbangan
pemikiran dalam bentuk rekomendasi dan rumusan pemikiran yang aktual dan pragmatis bagi
para pengusaha untuk mengatasi masalah kesediaan konsumennya membeli produk merek
mewah palsu. (3). Bagi penulis, mendapat tambahan pengetahuan dan wawasan mengenai
perilaku konsumen terhadap produk merek mewah palsu, pengaruh merek mewah sebagai simbol
dan perilaku konsumen sehubungan dengan ketaatannya terhadap hukum dan legalitas produk
merek mewah palsu (4). Bagi Perguruan Tinggi, sebagai sumbangan pemikiran dan sumber
analisa kepada para pembaca, baik dilingkungan kampus ataupun diluar lingkungan kampus
dalam memahami perilaku konsumen yang secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pertama, dimensi dan item pengukuran yang dilakukan
dalam penelitian ini hanya mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Ian Phau,
Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009). Kedua, sampel yang digunakan hanya mahasiswa di
lingkungan Universitas Trisakti sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasikan dan hanya
terbatas pada sampel yang diteliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
Tinjauan Teori dan Telaah Hasil Penelitian
Dalam meneliti pengaruh ketaatan terhadap hukum dan legalitas terhadap kesediaan untuk
secara sengaja membeli produk merek mewah palsu, maka diperlukan adanya landasan teori
sebagai penunjuk arah untuk melangkah menuju pembuktian.
Attitudes toward Counterfeits
Attitude is a “learned predisposition to respond to a situation in favourable or unfavourable
way” (Huang et al., 2004). Konstruk perilaku sering digunakan untuk memprediksi keinginan
konsumen dan perilakunya. Untuk mengidentifikasi perilaku individu terhadap produk palsu,
digunakan konsep kerentanan informatif dan normatif (informative susceptibility dan normative
susceptibility) sebagai prediktor perilaku konsumen (Thurasamy et al., 2002; Wang et al., 2005;
Gupta et al., 2004 dalam Phau et al., 2009). Informative susceptibility adalah ketika konsumen
memutuskan melakukan pembelian berdasarkan pendapat ahli dari orang lain. Dimana normative
susceptibility adalah ketika konsumen memutuskan melakukan pembelian berdasarkan apakah
barang tersebut bisa menarik perhatian orang lain. Dikarenakan pemalsuan produk adalah ilegal
dan dilihat secara umum merupakan hal yang tidak baik oleh media dan publik maka
diasumsikan bahwa seseorang yang lebih rentan terhadap pengaruh sosial akan berperilaku
negatif terhadap produk palsu (Wang et al., 2005; Thurasamy et al., 2002; De Matos et al., 2007).
Terdapat 4 (empat) dimensi dalam menentukan perilaku konsumen yaitu: kualitas, ekonomi, etis
dan legal (Cordell et al., 1996; Ang et al., 2001; Gupta et al.,2004). Harga sebagai faktor
ekonomi memiliki peran yang mempengaruhi perilaku terhadap produk palsu. Jika konsumen
merasakan bahwa mereka telah dikhianati oleh produsen produk asli, mereka akan cenderung
berperilaku menyukai produk palsu dan akan cenderung melakukan pembelian produk palsu
tersebut (Ramayah et al., 2002). Faktor-faktor tambahan yang mempengaruhi perilaku konsumen
terhadap produk palsu termasuk gender, agama, motivasi demi keuntungan diri sendiri, faktor
situasional (Gupta et al., 2004; Nill dan Shultz, 1996) dan collectivism (Wang et al., 2001).
Konsumen yang menyenangi produk palsu dan terikat dengan aktivitas pembelian bersama
produsen produk-produk palsu, mempunyai standart ganda. Pembeli membebaskan dirinya
sendiri dari kesalahan dengan membenarkan tindakan mereka dan menyerahkan kesalahan
kepada produsen. (Ang et al., 2001; Cordell et al., 1996; Penz dan Stottinger, 2005). Pembeli
membenarkan tindakan mereka dengan menyatakan bahwa produsen illegal mempunyai margin
yang rendah dibandingkan dengan manufaktur original dan mereka tidak merasa dirampok (Penz
dan Stottinger, 2005). Kemudian, produsen illegal menyatakan bahwa untuk mewujudkan mimpi
dari konsumen yang tidak mungkin bisa membeli produk original tetapi
berharap untuk
mencapai status, reputasi dan kegembiraan terkait adalah dengan memiliki produk-produk
tersebut (Gentry et al., 2001).
Influence of Luxury and Symbolic Brands
Merek dianggap sebagai simbol yang juga mempengaruhi kesediaan konsumen secara sengaja
membeli produk merek mewah palsu. Merek sebagai simbol yang sering digunakan dalam
komunikasi interpersonal dan sebagai bentuk ekspresi konsep diri individu dan dibutuhkan
dalam interaksi sosial (Chaudhuri dan Majumdar, 2006). Merek telah menjadi suatu cara untuk
identifikasi dan realisasi diri sebagai langkah melampaui konsumsi konsumen belaka utilitas
produk. Konsumen sekarang mengkonsumsi makna simbolik dari merek (O’Chass dan Frost,
2002).
Ahli pemasaran dapat memposisikan merek-merek khusus dengan cara membuat merek untuk
mempertahankan
ekslusifitasnya,
untuk
mengkomunikasikan
prestise,
dan
untuk
mempromosikan posisi sosial bagi pengguna mereknya (Zinkhan dan Prenshaw, 1994; Nia dan
Zaichkowsky, 2000). Prestise, reputasi merek dan fesyen adalah penting untuk membeli produk
merek mewah. Pembeli dari produk palsu, mendapatkan keuntungan dari reputasi status tanpa
perlu berkorban sejumlah uang yang besar untuk itu (Bloch et al., 1993; Delener, 2000).
Karenanya, pembeli dari produk-produk merek mewah palsu sering dikenal dengan istilah
‘snobs’ (sok) tetapi tanpa sumber finansial untuk mampu membeli produk asli (Delener, 2000).
Attitude towards The Lawfulness and Legality of Counterfeit Luxury Brands
Untuk mempengaruhi keinginan konsumen membeli produk palsu dapat dilihat dari perilaku
konsumen terhadap hukum dan legalitas produk palsu. Semakin tinggi penilaian moral
seseorang, semakin berkurang keinginannya untuk terlibat dalam transaksi produk palsu.
Keputusan yang tidak etis seperti secara sengaja membeli produk palsu bisa dijelaskan dengan
perilaku konsumen sehubungan dengan kelas produk (Wee et al., 1995; Ang et al., 2001).
Alasan moral akan muncul ketika individu menghadapi dilemma etika. Kohlberg (1976)
mengkategorikan 3 (tiga) tahap dimana individu akan menghadapi dilemma etika. Sebagai level
pre-conventional (tahap 1 dan 2), alasan individu berdasarkan pada konsekuensi personal yang
diharapkan seperti reward dan punishment. Tahap 3 dan 4 fokus pada memelihara dan mengikuti
harapan kelompok-kelompok referensi dan nilai-nilai sosial. Pada level post-conventional (Tahap
5 dan 6) ada usaha yang jelas untuk mendefinisikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral, dimana
masih memelihara dan mengikuti nilai-nilai dari kelompok referensi dan masyarakat (Nill dan
Scultz, 1996). Tahapan ini menemukan keseimbangan antara moral yang dapat diterima individu
dan yang sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Personality variables
3 (tiga) variable personality sebagai anteseden dalam penelitian ini adalah status consumption,
materialism dan integrity. Status pertama kali diteliti oleh Veblen (1899) dikenal dengan teori
‘leisure class’. Packard (1959) dan Mason (1981,1992) berupaya melanjutkan ide ekonomi
Veblen tentang konsumsi menyolok yang menyarankan orang-orang sering mengkonsumsi
produk untuk mendemonstrasikan status superior mereka kepada orang lain. Status consumption
adalah proses motivasional dimana setiap individu berusaha untuk meningkatkan status sosialnya
dengan mengkonsumsi produk-produk yang sesuai dengan reputasi yang diinginkan (Eastman et
al., 1999). Status suatu produk tidak bernilai banyak dilihat dari kualitas fungsionalnya tetapi
bernilai dari kemampuannya terhadap reputasi status. Sering terjadi dalam proses pembelian
bahwa status suatu produk memainkan peran lebih signifikan dibandingkan atribut fungsional
dari produk itu sendiri (Barnett, 2005). Individu yang berharap dapat menjadi orang dengan
status sosial lebih tinggi namun tidak memiliki pendapatan yang mendukungnya, akan membeli
produk palsu sebagai alternatif dari produk original (Wee et al., 1995).
Sifat materialism dapat menjadi tinggi pada beberapa konsumen yang membuatnya menjadi
tujuan hidup, dengan mengabaikan aspek hidup orang lain (Richins dan Rudmin, 1994).
Dorongan motivasi materialistis berasal dari memperoleh kepemilikan berdasarkan kebutuhan
untuk memperoleh kekayaan dan tingkat sosial (Eastman et al., 1999). Pakaian bermerek dan
asesoris dikategorikan sebagai proyek style dan reputasi (Fitzmaurice dan Comegys, 2006).
Materialistis tinggi lebih bergantung pada memproyeksikan identitas diri kepada orang lain
dengan mengandalkan pada konsumsi status barang (Fitzmaurice dan Comegys, 2006).
Konsumen yang tanpa kemampuan keuangan atau dukungan untuk mencapai gaya hidup yang
dipilih, akan beralih ke merek mewah palsu sebagai alternatif.
Pengaruh nilai-nilai seperti integrity akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap kegiatan
yang tidak etis (Steenhaut dan Van Kenhove, 2006). Integritas merupakan tingkat pertimbangan
etis individu dan ketaatan kepada hukum (Wang et al., 2005). Penelitian menunjukkan bahwa
konsumen yang berpikiran secara sah memiliki sikap yang tidak menguntungkan bagi produk
palsu dan kurang bersedia untuk membeli produk palsu (Cordell et al., 1996). Konsumen yang
secara sengaja membeli produk palsu, merasionalkan tindakan mereka dan tidak melihat bahwa
perilaku mereka sebagai tindakan yang tidak etis (Ang et al., 2001).
Product Attributes
Product Performance
Konsumen, yang secara sengaja membeli produk palsu lebih memperhatikan dari
penampilan fisik produk dibandingkan daya tahannya. (Bush et al., 1989). Hal tersebut sangat
benar bagi produk merek mewah palsu, dimana pembeli menempatkan nilai lebih tinggi pada
prestise, reputasi merek dan fesyen diatas atribut fungsionalnya. Pembeli mencari keuntungan
dari reputasi yang didapatkan dengan menggunakan produk tersebut, yang paling penting tanpa
membayar dengan harga penuh.
Useful Life
Konsumen dikatakan lebih memperhatikan daya tahan dan keandalan ketika
mempertimbangkan pembelian dari produk-produk fungsional. (Greenberg et al., 1983).
Walaupun begitu, manfaat status terkait sebagai motivator utama bagi pembelian produk merek
mewah palsu. Hal yang wajar untuk menganggap bahwa penampilan dan visibilitas merupakan
atribut yang lebih signifikan bagi fesyen dan produk-produk simbolik (Prendergast et al., 2002).
Sehingga, atribut produk untuk membeli produk-produk merek mewah palsu akan berdasarkan
penampilan dan visibilitas. Produk dengan atribut simbolik akan di pertimbangkan pada
kemampuan performa mereka dalam jangka pendek.
Kerangka Pemikiran
Konstelasi masalah pengaruh variabel anteseden yaitu: status consumption, materialism dan
integrity terhadap perilaku ketaatan hukum dan legalitas konsumen pada produk merek mewah
palsu, yang akhirnya akan berpengaruh pada kesediaan konsumen secara sengaja membeli
produk merek mewah palsu, dan masalah korelasi antara product performance, useful life dan
kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu dapat dilihat pada
kerangka pemikiran penelitian berikut ini.
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Product
performance
Status consumption
Materialism
Integrity
Useful life
Ha9,Ha10
Ha3,Ha5, Ha7
Ha1, Ha2
Attitudes toward the
lawfulness and legality of
counterfeit luxury brands
Willingness to knowingly
purchase counterfeit
luxury brands
Ha4,Ha6, Ha8
Perumusan Hipotesis
Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka diatas, maka dalam hal ini dapat dikemukakan
beberapa hipotesis sebagai berikut:
H01: Tidak terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum terhadap kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha1: Terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum terhadap kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H02: Tidak terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan terhadap legalitas
produk merek mewah palsu dengan kesediaan konsumen secara sengaja
membeli produk merek mewah palsu.
Ha2: Terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan terhadap legalitas produk merek
mewah palsu dengan kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk
merek mewah palsu.
H03: Tidak terdapat pengaruh positif status consumption terhadap perilaku ketaatan
konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha3: Terdapat pengaruh positif status consumption terhadap perilaku ketaatan
konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
H04: Tidak terdapat pengaruh positif status consumption terhadap kesediaan
konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha4: Terdapat pengaruh positif status consumption terhadap kesediaan konsumen
untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H05: Tidak terdapat pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan
konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha5: Terdapat pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan konsumen
terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
H06: Tidak terdapat pengaruh positif materialism terhadap kesediaan konsumen
untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha6: Terdapat pengaruh positif materialism terhadap kesediaan konsumen untuk
secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H07: Tidak terdapat pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen
terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha7: Terdapat pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen
terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
H08: Tidak terdapat pengaruh negatif integrity terhadap kesediaan konsumen untuk
secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha8: Terdapat pengaruh negatif integrity terhadap kesediaan konsumen untuk secara
sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H09: Tidak terdapat pengaruh positif performa (product performance) yang
diharapkan dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah
original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek
mewah palsu.
Ha9: Terdapat pengaruh positif performa (product performance) yang
diharapkan dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah
original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek
mewah palsu.
H010: Tidak terdapat pengaruh negatif kegunaan (useful life) dari produk
merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha10: Terdapat pengaruh negatif kegunaan (useful life) dari produk merek
mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan
konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
BAB III
METODOLOGI
Definisi Operasional Penelitian
Variabel bebas (independent variable) penelitian ini adalah Attitude toward law and the legality
of purchasing counterfeit dengan variabel antesedennya adalah Integrity, Status Consumption
dan Materialism sedangkan variabel tidak bebas (dependent variable) adalah Willingness to
knowingly purchase counterfeit luxury brands dengan antesedennya adalah Product
Performance dan Useful Life.
Integrity diukur dengan mengajukan 4 (empat) item pernyataan yang dikembangkan oleh
Rokeach (1973) yaitu:
1.
2.
3.
4.
Saya menghargai bertanggungjawab
Saya menghargai kejujuran
Saya menghargai kesopanan
Saya menghargai pengendalian diri
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Pernah, 2 =
Jarang, 3 = Kadang, 4 = Sering, dan 5. = Selalu.
Status consumption diukur dengan mengajukan 5 (lima) item pernyataan yang dikembangkan
oleh Easman et. Al. (1999) yaitu:
1
Saya akan membeli produk hanya karena produk tersebut memiliki status
2
yang bisa membuat saya dihormati orang
Saya tertarik pada produk baru dengan status yang bisa membuat iri hati
3
orang lain
Saya akan
membayar
lebih
untuk
produk
jika
memiliki
status
4
5.
dipertimbangkan orang
Status produk penting bagi saya
Produk yang lebih berharga bagi saya jika memiliki daya tarik lebih
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai
dengan 5 = Setuju
Materialism diukur dengan mengajukan 7 (tujuh) item pernyataan yang dikembangkan oleh
Sirgy et. Al. (1998) yaitu:
1
2
3
4
Penting bagi saya untuk memiliki barang yang benar-benar baik
Saya ingin cukup kaya untuk bisa membeli apa saja yang saya mau
Saya akan bahagia jika saya mampu membeli lebih banyak barang
Kadang-kadang agak sedikit mengganggu pikiran saya bahwa saya tidak
5
6
7
mampu membeli semua barang yang saya inginkan
Orang-orang terlalu banyak menekankan pada hal-hal materi
Adalah benar bahwa uang dapat membeli kebahagiaan
Barang-barang yang saya miliki memberi banyak kesenangan
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai
dengan 5 = Setuju
Attitude toward law diukur dengan mengajukan 4 (empat) item pernyataan yang dikembangkan
oleh Rundquist dan Sletto (1936) yaitu:
1
Seseorang harus mematuhi hukum, tidak peduli berapa banyak yang bisa
2
mengganggu ambisi pribadi
Seseorang harus mengatakan kebenaran di pengadilan, terlepas dari
3
konsekuensinya
Seseorang dibenarkan dalam memberikan kesaksian palsu untuk melindungi
4
teman di sidang pengadilan
Tidak masalah bagi seseorang untuk melanggar hukum jika tidak tertangkap
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai
dengan 5 = Setuju
Attitude toward the legality of purchasing counterfeit diukur dengan mengajukan 2 (dua) item
pernyataan yang dikembangkan oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1
2
Membeli produk palsu adalah ilegal
Menjual produk palsu adalah ilegal
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai
dengan 5 = Setuju
Willingness to knowingly purchase counterfeit luxury brands diukur dengan mengajukan 1 (satu)
pernyataan yang dikembangkan oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1. Pernahkah anda membeli produk-produk merek mewah palsu?
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang mengacu pada skala nominal yaitu: 1 = Ya atau 2 = Tidak.
Product performance diukur dengan mengajukan 2 (dua) item pernyataan yang dikembangkan
oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1
2
Performa produk-produk original
Performa produk-produk palsu
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Rendah sampai
dengan 5 = Sangat Tinggi.
Useful Life diukur dengan mengajukan 2 (dua) item pernyataan yang dikembangkan oleh Ian
Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1
2
Kegunaan produk-produk original
Kegunaan produk-produk palsu
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut
yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Kurang dari 1 tahun
sampai dengan 5 = 5 tahun lebih
Pemilihan Metode Penelitian
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Ian Phau, Marishka
Sequeira dan Steve Dix (2009). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survey yaitu sejenis metode penelitian yang mempelajari sampel-sampelnya dengan tujuan untuk
menduga ciri-ciri populasinya, sepanjang diikuti prosedur penarikan sampel.
Menurut Cooper dan Emory (1995), metode penelitian survei adalah mengajukan pertanyaan
pada orang-orang dan merekam hasilnya untuk kemudian dianalisis. Penelitian survei ini dinilai
cocok digunakan untuk mempelajari pendapat dan sikap dari seseorang dalam hal ini adalah
responden yang bersangkutan.
Dengan demikian penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi
dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Survey juga dipandang sesuai untuk
mengumpulkan informasi atau data yang dipakai untuk menentukan hubungan timbal balik
antara variabel yang diteliti pada saat penelitian.
Sampel
Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu
metode pemilihan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai
sangkut–paut dengan karakterisitik populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Purposive
Sampling adalah salah satu teknik Non Probability Sampling yang memilih orang-orang yang
telah diseleksi oleh peneliti lebih bersifat subyektif, probabilitas pemilihan sampel dalam
populasi tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai
sampel.
Menurut Walpole (2004), model untuk menentukan jumlah sampel minimum yang direncanakan
adalah n = Za2 2
4e2
Dimana Za2 2 adalah nilai pada angka tabel yang didistribusikan z untuk tingkat kepercayaan atau
level of confidence sebesar α, sedangkan e adalah tingkat kesalahan atau error.
Dalam penelitian ini jumlah sampel minimum yang direncanakan yaitu dengan tingkat
kepercayaan atau level of confidence adalah sebesar 95 persen atau nilai pada angka table
distribusi z untuk tingkat kepercayaan atau level of confidence sebesar α atau Za2 = 1,96 (dari
tabel z) dan untuk kesalahan atau error (e) = 0.10
jadi n =
Za2 2 = (1.96)2
4e2
= 96.04
4(0.10)2
Jadi untuk peneltian ini jumlah sampel minimum adalah 106 responden. Sampel
Karakteristik Responden
Dari 120 kuesioner yang disebarkan untuk penelitian in hanya 106 kuesioner yang kembali,
dengan response rate-nya sebesar 88.3 %
Tabel 3.1
Karakteristik Demografik Responden
No.
Karakterisitik Demografi
1. Jenis Kelamin
Pria
Wanita
2.
3.
Jumlah
Persentase
41
65
38.7
61.3
Usia
23 – 27 tahun
>27 tahun
37
66
3
0
34.9
62.3
2.8
0
Pengeluaran per bulan
< Rp. 1.000.000,> Rp. 1.000.000,- sd Rp. 2.000.000,> Rp. 2.000.000,- sd Rp. 3.000.000,> Rp. 3.000.000,-
60
30
10
6
56.6
28.3
9.4
5.7
Untuk jenis kelamin yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah responden wanita lebih
banyak dari pada responden pria, dimana jumlah responden pria sebanyak 65 responden atau
sekitar 61.3 persen sedangkan untuk responden wanita sebanyak 41 responden dengan persentase
38.7 persen dari jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini.
Kemudian untuk usia responden yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu
dengan rentang usia 19 tahun sampai dengan usia 23 tahun yaitu sebanyak 66 responden dengan
persentase 62.3 persen; selanjutnya diikuti dengan rentang usia kurang dari 19 tahun sebanyak 37
responden dengan persentase 34.9 persen; dilanjutkan dengan rentang usia diatas 23 tahun
sampai dengan usia 27 tahun yakni sebanyak 3 responden dengan persentase 2.8 persen.
Sedangkan tidak ada satupun responden dengan usia diatas 27 tahun.
Untuk jumlah pengeluaran perbulan responden yang paling banyak berpartisipasi dalam
penelitian ini adalah responden yang memiliki pengeluaran < Rp.1.000.000,- sebanyak 60
responden dengan persentase sebanyak 56.6 persen; dilanjutkan dengan responden yang
memiliki pengeluaran diatas Rp.1.000.000,- sampai dengan
Rp. 2.000.000,- sebanyak 30
responden dengan persentase sebanyak 28.3 persen. Kemudian responden yang memiliki
pengeluaran diatas Rp.2.000.000,- sampai dengan Rp. 3.000.000,- sebanyak 10 responden
dengan persentase 9.4 persen, terakhir diikuti responden yang memiliki pengeluaran diatas
Rp.3.000.000,- sebanyak 6 responden dengan persentase 5.7 persen.
Instrumentasi dan Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer. Data dikumpulkan dengan teknik penyebaran kuesioner,
yaitu dengan memberikan pertanyaan tertulis kepada responden. Selanjutnya responden
memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diberikan. Kuesioner ini bersifat tertutup dimana
jawabannya sudah tersedia. Pertanyaan tertutup ini akan membantu responden untuk
menjawabnya dengan cepat dan akan memudahkan peneliti melakukan analisis data terhadap
seluruh kuesioner yang telah terkumpul.
Sebelum suatu kuesioner didistribusikan atau digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini
dilakukan terlebih dahulu suatu uji coba untuk mengukur validitas dan reliabilitas dari alat ukur
tersebut.
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat tes yang ada telah mengukur sasaran yang
diukur. Karena butir-butir instrumen dalam penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya
dari Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009), maka penelitian ini menggunakan tipe
validitas isi (Content Validity). Salah satu cara untuk mengetahui apakah alat ukur atau tes yang
dibuat telah memenuhi validitas isi, maka dilakukan dengan meminta penilaian dari orang yang
kompeten (pakar). Face Validity, yang mana hanya didasarkan pada penilaian terhadap format
tampilan dari alat ukur yang ada. Validitas ini dianggap telah terpenuhi apabila penampilan alat
ukur atau tes telah meyakinkan dan memberi kesan mampu mengungkapkan apa yang hendak
diukur (Nisfiannoor, 2009).
Uji Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi, akurasi dan prediktabilitas suatu alat ukur. Hair,
Anderson (1998, p.3) berpendapat bahwa “…reliability extent to which a variables is consistent
in what it is intended to measure.” Coefisient reliability diukur dengan menggunakan
Cronbach’s alpha bagi setiap variabel. Hair (1998) berpendapat bahwa pengukuran reliabilitas
ini berkisar antara 0 sampai 1, dimana batas terendah yang dapat diterima adalah 0,6 sampai 0,7.
Hasil uji reliabilitas pada penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 3.8 sebagai berikut:
Tabel 3.2
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel
Cronbach Alpha
0,785
Integrity
Status consumption
0,759
Materialism
0,597
Attitude toward the lawfulness and
legality of counterfei luxury brands
0,626
Pada tabel 3.2 di atas terlihat bahwa bahwa variabel Integrity, Status Consumption dan Atitude
toward the lawfulness and legality of counterfei luxury brands yang di uji memiliki koefisien
Cronbach alpha > 0,60. Hanya pada variabel Materialism, walaupun setelah di hilangkan 2
pertanyaan yaitu pertanyaan no. 1 dan 5 hasilnya tetap < 0,60. Namun masih bisa digunakan
karena nilainya hanya selisih 0,03. Dengan demikian, jawaban responden pada setiap butir
pernyataan variabel yang digunakan dinyatakan realiabel.
Metode Analisis Data
Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan Standart Regression dan Stepwise
Regression dengan bantuan program SPSS versi 16.0. Analisa Stepwise Regression dengan cara
setahap demi setahap. Tujuan metode regresi ini adalah untuk memprediksi perubahanperubahan di dalam
variabel terikat (dependent variabel) dikaitkan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam jumlah variabel bebas (independent variabel).