KESAKSIANKU ATAS AKSI BELA ISLAM 1410 41

KESAKSIANKU
ATAS AKSI BELA ISLAM 1410

1

KESAKSIANKU
ATAS AKSI BELA ISLAM 1410

Jakarta - Dari jam 10.00 WIB saya dan teman saya sudah berada
di Mesjid Istiklal. Massa dari berbagai daerah mengalir ke mesjid
terbesar di Indonesia itu. Bis-bis dari berbagai daerah yang
membawa para pendemo yang kebanyakan santri dan masyarakat
umum merengsek ke lingkungan parkir Istiklal yang berada di
depan gereja katedral.
Waktu berjalan. Warga yang sebenarnya tak terorganisir itu
memgalir terus ke Istiklal yang memang diumumkan sebagai start
reli demo tersebut.
Kehadiran warga yang penuh antusias memang suatu hal yang
menarik. Mereka hanya bersandar pada informasi dari mulut ke
mulut, dari info media sosial seperti WA dan Facebook. Lalu apa
yang membangkitkan puluhan ribu--sebagian ada yang

memperkirakan ratusan ribu--massa tersebut untuk bergabung
dengan massa tersebut?
Inilah rahasia sentimen Islam. Siapa pun tak dapat membantah,
hadirnya remaja hingga orang-orang tua dalam demonstrasi
terbesar di era reformasi ini disulut oleh ketersinggungan harga
diri dan aqidah.

2

Apa itu harga diri dan aqidah? Jangan tanya hal ini kepada para
penganut liberalisme dan obsesi tentang suatu masyarakat
sekular, mereka akan gagal memahami hal dan jalan pikiran
tersebut. Sebab hal ini suatu hal fenomenologis. Tak akan dapat
dipahami jika Anda tak menganut dan menghayatinya secara
langsung.
Seorang nenek-nenek yang saya tanya langsung kenapa dia
tergerak untuk unjuk rasa, dia jawab, ini soal agama. Saya boleh
dikatakan orang tak baik. Tapi kalau agama saya dilecehkan,
urusannya lain. Katanya dengan nada emosional.
Alam pikiran semacam inilah yang menggedor-gedor puluhan

ribu kaum muslimin yang berdemo pada Jum'at yang bersahabat
itu. Biar diketahui, cukup sekali panggilan untuk datang ke
Jakarta untuk membela Islam, maka dari remaja hingga orang tua,
perempuan laki-laki, kaya miskin, jawa, madura, minang hingga
batak, arab, pribumi, habaib dan ulama, petani, buruh hingga
pengusaha, lebur merata dalam barisan massa.
Yang ada hanya massa dan korlap yang berada di mobil
komando. Ini...bukan festival-festivalan, karnaval-karnavalan
yang happy-happy tanpa muatan emosional keagamaan dan harga
diri. Ini adalah unjuk rasa dan unjuk kekuatan. "Saksikan, bila
kami tersinggung dan Anda wahai Ahok melunjak terus di negeri
kami, kami bisa bersatu untuk menindakmu. Lihatlah, kami
semua dapat bersatu dan tertib. Kami tidak terlalu hirau dengan
kotak-kotak sosial kami selama ini. Kami satu dalam satu urusan:
hukum Ahok. Kami senang habib dan ulama memandu dan
memimpin kami dalam unjuk rasa ini..bahkan siapa pun yang
memimpin selaras dengan semangat kami, kami akan senang.
Karena kami hanya butuh komando, semangat sudah meluapluap. Tinggal tumpah saja."
Demikianlah alam pikiran pada umumnya para pengunjuk rasa di
Jum'at yang berkah itu. Betapa berkahnya demo itu, tak satu

nyawapun melayang, tak setetes darah pun menetes..Bahkan
Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya ikut bergabung dalam
lautan massa.

3

Di balik situasi massa seperti itu, wartawan-wartawan yang
dikenal sebagai penyokong Ahok dan konglomerat, nervous dan
mengkerut. Wajah kecut dan sesal mencekam muka-muka sempit
mereka. Kalau ingat kuda yang lagi nyengir, seperti itulah
penampakan nyengir mereka.
Mereka terdesak secara moral. Apalagi tatkala Pangdam Jaya dan
Kapola Metro Jaya ikut larut mengerjakan sholat ashr sebagai
penutup unjuk rasa tersebut. Dalam hati mereka mungkin
mengumpat kenapa Pangdam Jaya harus ikut bertakbir dan
melaksanakan sholat dengan orang-orang penekan Ahok tuan
mereka itu? Apapun jalan pikiran para pendukung Ahok itu,
kemarin di Jum'at yang bersahabat dengan para demonstran
paling dahsyat sejak era reformasi ini, Ahok dan pendukung
kezaliman dan kekufurannya TELAH DIKALAHKAN.

Dikalahkan secara moral. Sekarang situasi berbalik. Ahok berada
sebagai TERTEKAN. Sebab, proses hukum akan merenggut
kenyamanan yang dia nikmati seperti selama ini. Kini mereka
para pendukung Ahok hanya bisa mengais-ngais kerikil opini
yang dapat dilemparkan kepada kaum Muslimin yang telah
berhasil menunjukkan solidaritas, persatuan dan kedaulatan
mereka. Tapi tentu kerikil semacam itu tak ada pentingnya lagi.
Rasa berdaulat dan mampu untuk bergerak sudah melekat di hati
kaum Muslimin. Dan itulah esensi kemenangan yang diberikan
oleh Jum'at yang berkah kemarin. (sed)

KESAKSIANKU
ATAS AKSI BELA ISLAM 411

Jakarta - Setelah sukses menghimpun seratus ribu umat Islam
pada demo 14 Oktober 2016 untuk menuntut Ahok diperiksa
Bareskrim Polri, pada 4 November 2016 kembali turun ke jalan.
Kali ini sasarannya adalah kantor Presiden Jokowi. Sekiranya

4


Ahok diperiksa Bareskrim Mabes Polri sebelum 4 November
2016, tentu demo 411 itu tidak terjadi. Tuhan punya takdirnya
sendiri. Alhasil jutaan kaum muslimin datang berbondongbondong dari penjuru tanah air ikut turun di ibukota menyahut
seruan pata ulama dan habaib.
Satu di antara yang menyambut seruan para ulama untuk turun ke
jalan di 4 November itu adalah aku. Beberapa hari sebelum hari
H, segala sesuatunya sudah kupersiapkan. Sebab aku berencana
menginap di Mesjid Istiklal agar saat demo digulirkan para
ulama, aku tak kesulitan mencari posisi ambil bagian.
Peralatan mandi, sarung dan jaket telah aku siapkan. Air mineral
sudah kubeli di Indomaret. Biaya buat keluarga yang
kutinggalkan selama dua hari saat mengikuti demo aku serahkan.
Aku pun pergi dengan hati ikhlas, tenang dan penuh.
Malam tanggal 3 November itu aku bersama sahabatku dan
seorang adiknya berangkat selepas Isya. Dari rumah kami naik
ojek uber menuju stasiun kereta Bekasi. Tidak berapa lama kami
sudah di dalam kereta menuju stasiun Juanda, depan Istiklal.
Rupanya di dalam kereta warga seperti saya yang ikut demo
besok harinya telah mengisi gerbong-gerbong kereta. Rata-rata

anak muda dengan identitas muslim yang kentara. Berjenggot dan
pakaian takwa dibalut jaket. Dapat kupastikan mereka adalah
pendemo Ahok besok siang hari.
Kereta tiba di stasiun Jatinegara. Aku berpindah kereta ke peron
tiga yang akan berangkat menuju stasiun kota. Sampai akhirnya
di stasiun Juanda, rombongan pendemo semakin ramai saja. Aku
lihat ada di antara rombongan yang rata-rata pemuda itu
mengenakan ikat kepala dengan tulisan HASMI. Ya..itu adalah
ormas dari Bogor.
Kami menyusuri tangga menuju lantai dasar. Kami pun
menyeberang jalan lewat jembatan penyebetangan menuju mesjid
Istiklal. Akhirnya tiba juga di mesjid pusat komando umat yang
akan berdemo esok hari itu.

5

Suasana masjid istiklal rupanya sudah mulai ramai di malam
sekitar pukul 22.00 WIB itu. Kami terus masuk ke dalam mesjid.
Konsumsi tengah dibagi-bagikan di bawah tangga sebelah utara
berhadapan dengan gereja Katedral.

Namun di dalam suasana ternyata masih lengang. Warga banyak
yang bergeletakan tidur di serambi istiklal, baik di koridorkoridornya maupun di lapangan bagian dalamnya. Sebagian aku
lihat berasal dari Jawa Timur dengan logat Jawa Timurannya.
Sebagian lagi dari Sumatera Utara, Aceh, Banten, Pekanbaru dan
tentu saja Jawa Barat.
Orasi-orasi bergelegar di halaman dekat tangga di depan gereja
Katedral. Mengutuk Ahok merupalan isi utama orasi itu.
Malam terus beranjak menuju dini hari. Aku tak bisa tidur dengan
kerasnya suara-suara orasi itu. Takbir bertalu-talu. Suara orang
berisik di mana-mana.
Saya pun turun sekedar mencari hiburan dengan melihat kegiatan
orasi itu. Aku dapati sekelompok wartawan merekam adegan
orasi itu dengan khusuk bagaikan sudah diatur laksana skenario.
Aku curiga wartawan TV tersebut tengah mengambil suatu
adegan yang mungkin untuk bahan yang dapat mereka eksploitasi
di dalam menyudutkan demo. Isi orasinya memang tidak
simpatik. Banyak terungkap bahasa kekerasan.
Maka setelah aksi rekam itu selesai, dan si orator itu juga pergi, si
kameramen itu aku datangi. Aku ingatkan dia agar tidak
mengekploitir untuk urusan menyudutkan. Dia ketakutan saat

kugertak. Mungkin dia merasa bahwa lembaganya memang
dikenal tidak apresiate dengan demo umat Islam ini. Dia berjanji
tidak melakukan itu.
Malam terus berjalan. Dini hari warga dari berbagai daerah banjir
bagai tsunami ke kompleks istiklal. Pengumuman demi
pengumuman aku dengan tentang rombongan ini rombongan itu,
dari daerah ini dan dari daerah itu.

6

Hingga subuh menjelang, bagian dalam istiklal telah mulai padat.
Orang-orang bersial untuk sholat subuh. Namun sebagian terlelap
tergeletak. Azan berkumandang. Orang berduyun-duyun
membentuk shaf.
Aku mengambil tempat di lantai dua bersama adik sahabatku itu.
Dari lantai dua, kulihat jamaah subuh sudah memenuhi ruangan
utama mesjid istiklal.
Satu hal yang cukup menggangu adalah fasilitas air dan listrik
untuk mencharge hp. Soal listrik, orang berebut mencari tempattempar tersedianya penchargeran hp. Akibatnya seperti aku alami,
beberapa jam aku terpaksa lepas dari kontak luar. Hp mati

kehabisan batere.
Demikian juga fasilitas air di Istiklal. Dengan membludaknya
massa, beberapa jam air untuk wudu dan toilet mati. Akibatnya
orang beramai-ramai menggunakan stok air mineral untuk
aktivitas toilet dan wudu. Jika kuingat hal itu, betapa tersiksanya.
Padahal waktu jum'atan sudah mendekati sejam lagi. Untungnya
air kembali mengalir. Disebut-sebut itu adalah mustahil jika
bukan sabotase aliran air. Ternyata hal semacam itu dua kali
terjadi: pra demo dan pasca demo pada malam hari di depan
istana saat para pendemo kembali ke pangkalan mereka di
Istiklal. Sebelum melanjutkan demo dan rencana menginap di
DPR, malam iti di Istiklal air lagi-lagi mati. Terkutuklah mereka
yang menyiksa para mujahid yang membela agama itu.
Nasaruddin Umar sebagai Imam Besar Istiklal harus dimintai
pertanggungjawabannya terkait insiden matinya aliran air
tersebut. Sebab orang tersebut terkesan tidak memiliki simpati
terhadap para pendemo dan tuntutannya untuk membela martabat
Islam.
Tatkala sholat jum'at ditunaikan, seluruh ruang yang tersedia di
Istiklal telah penuh dan bagaikan siap meledak. Sholat jum'at

ditunaikan dengan khusuk.
Seusai sholat jum'at pengarahan dan dinamisasi dari para ulama
digelar. Takbir bertalu-talu. Gelegar komando ulama membakar

7

semangat jamaah, siap untuk turun berjihad. Mati pun sudah rela
demi membela martabat agama yang telah dihina oleh kelakuan
dan perkataan Ahok yang bukan Muslim itu.
Tetapi dengan rapi, barisan demo satu per satu berparade dari
ujung pintu dekat stasiun juanda menuju keluar pintu istiklal
depan katedral. Dengan demikian peserta demo dari beragam
lembaga dan perwakilan dapat diinspeksi.
Parade itu rapi teratur. Di atas mereka helikopter tentara
meraung-raung mengawasi. Wajah-wajah ikhlas dan ceria
menghiasi para pendemo. Panji-panji mereka berkibar-kibar. Dari
majlis-majlis taklim hingga santri-santri mengali siap keluar
kompleks istiklal menuju istana.
Rupanya sebagian massa sudah ada yang memotong jalan dari
depan juanda menuju istana. Tentu saja hal itu tak bisa dicegah

mengingat lautan massa dari beragam satuan aksi.
Aku ikut keluar dari pintu istiklal depan gereja katedral. Kudapati
peserta aksi dari kelompok muslim Papua. Mereka memainkan
perkusi menambah semangat demonstrasi. Rapatnya barisan bikin
jalan kesusahan. Berdesak-desakan. Sampai akhirnya tiba di
depan lapangan banteng menempuh waktu dari istiklal hampir
sejam lebih akibat padatnya manusia.
Di lapangan banteng suasana sudah lebih longgar. Aku dan
sahabatku memilih jalan menuju pejambon memotong rute jalan
perwira depan pertamina yang tetap padat dengan manusia. Tiba
di depan stasiun gambir, massa tersendat oleh muara dari jalan ke
istana yang ditutup aparat. Lagi-lagi massa disiksa oleh macetnya
aliran massa di jalan.
Dari mobil komando, para ulama mengarahkan massa untuk
membelah. Sebagian masuk ke lingkungan stasiun gambir dari
pintu depan markas Kostrad. Sebagian lagi terus melanjutkan
perjalanan menuju jalan di depan kementerian KKP dan terus
menuju balai kota, patung kuda dan lurus menuju istana. Di
lokasi patung kuda massa dari berbagai arah sudah menumpul.

8

Demikian juga di depan istana. Massa-massa tersebut jelas tidak
saja berasal dari pangkalan di Istiklal, namun mengalir dari
berbagai jalur dan sisi.
Aku termasuk yang mengalir dari pintu stasiun depan kostrad
menuju pintu keluar di Kedutaan Besar Amerika. Akhirnya kami
berhasil keluar dari lingkungan stasiun gambir tersebut.
Beberapa saat istirahat dan bertemu dengan teman kami dari
Malang yang sedang bergabung dalam lautan massa. Kami
minum kopi sejenak menghilangkan pegal-pegal akibat jalan
yang cukup jauh.
Kemudian kami berpisah dan masing-masing melanjutkan demo.
Kami berjalan menuju Balaikota dan terus ke patung kuda. Di
sana massa membludak sekalipun sebagian sudah banyak yang
mundur untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB.
Kami berusaha menerobos kepadatan massa. Orasi demi orasi
dari berbagai mobil komando sepanjang jalan menuju istana kami
lewati. Kami juga mendapati ibu-ibu dokter yang siap sedia
membantu. Demikian juga para penyedia konsumsi bertebaran di
sepanjang jalan depan Indosat menuju istana.
Sampai akhirnya kami tiba di depan kementerian PDT. Maghrib
sudah menjelang. Aku antri ke toilet pos satpam kementerian itu
di depan jalan abdul muis.
Di luar dugaan, teman kami yang berpisah di stasiun gambir
ketemu lagi. Berbincang sejenak sambil menunggu magrib.
Azwar teman kami juga telah datang bergabung sebelumnya. Dia
habis memimpin barisan HMI yang turut berdemo.
Malam bergerak. Seusai sholat maghrib, kami makan di depan
kantor walikota jakarta pusat. Setelah itu menuju istana lewat
jalan abdul muis.
Menikmati suasana hiruk-pikuk dengan barisan massa yang
berhadap-hadapan dengan barikade polisi, kami memantau

9

dengan harap-harap cemas. Kulihat polisinya sudah sangat tegang
dan siap untuk memukul mundur. Massa pendemo sendiri tidak
kalah siapnya. Mereka seolah sudah siap menjemput syahid
malam itu.
Beberapa lama berselang hiruk-pikuk saling dorong terdengar di
bagian massa depan Kemenkokesra dan depan monas. Takbir
bertalu-talu, teriakan seolah tidak terputus.
Mobil kanon polisi sudah mulai mondar mandir mengancam.
Duaaarrr!!! Bunyi petasan menyerbu langit. Kembang api terlihat
indah sekali. Aku menyangka itu hanya kembang api yang
dinyalakan oleh massa demonstran untuk merawat semangat
jihad mereka.
Tak dinyana, kembang api itu kini menuju kami di pangkal jalan
harmoni. Satu per satu meledak di depan mata. Baru sadar itu
bukan kembang api, tapi peluru gas air mata. Aduh...masingmasing menyelamatkan diri. Kawan sudah bercerai-berai. Aku
lari.menuju gedung PPI. Kejaran peluru gas air mata makin ganas
menuju kami yang berlarian. Duarr...duarr..satu per satu meledak
di depan mata. Aku sudah panik hawatir peluru gas air mata itu
mengenai badanku.
Tiba di pagar pintu Gedung PPI, satpamnya menghalangi kami.
Kami terus terjang dan pagar itu pun tersibak hingga kami dapat
masuk leluasa. Seorang tergeletak matanya tidak bisa melihat
terkena gas air mata. Aku sendiri sekalipun kena gas, masih bisa
melihat jalan dengan remang-remang. Aku mengangkatnya dan
menolongnya berjalan hingga di parkir basement. Dia sudah
normal dan bisa berjalan.
Aku mencari air untuk membasuh wajah hingga akhirnya
bertemu mesjid kantor tersebut. Alhamdulillah setelah membasuh
mata dan wajah, aku masuk ke mesjid. Sesak nafasku dan rasa
pusing akibat menghirup gas terkutuk itu secara perlahan mulai
reda. Sampai kemudian aku pun bisa bertemu lagi dengan temantemanku tadi.

10

Terakhir mendengar massa bergerak ke DPR pada jam tengah
malam itu, kami kembali menuju DPR untuk memastikan temanteman yang ikut bermalam di DPR. Rupanya keadaan di jalanan
depan DPR tidak seseram yang aku bayangkan. Berarti temantemanku yang bertahan di DPR itu tidak perlu dicemaskan.
Beberapa saat di DPR, kami memutuskan pergi meninggalkan
DPR sekitar jam satu malam.
Kabar selanjutnya kudengar di DPR massa kembali bentrok
dengan polisi. Tapi tidak separah di depan istana. Habib Rizieq
penanggung jawab massa menghimbau massa agar kembali saja
dan mereka diangkut oleh bis-bis yang disediakan oleh pimpinan
DPR.
Adapun tuntutan agar Ahok diperiksa akan dikawal pimpinan
DPR seperti yang dijanjikan oleh Zulkipli Hasan tatkala
berunding dengan Habib Rizieq Syihab. (sed)

KESAKSIANKU
ATAS AKSI BELA ISLAM 212

Jakarta - Dari mana harus kutulis kesaksian ini, kiranya amat
menyulitkan. Bukan karena aku tidak dapat menyelamkan diri
pada peristiwa maha besar itu.
Memanglah kesaksian tentang aksi umat Islam 212 ini telah
banyak ditulis orang. Beragam pandangan dan perasaan yang
menyelimuti, telah pun dituangkan orang dalam beragam diari.
Aku kira berkumpulnya 7 juta lebih massa pada aksi 212 ini
bukanlah sekonyong-konyong. Itu merupakan rentetan dan
akumulasi. Bahkan pun aksi umat Islam pertama pada 1410 itu
adalah akumulasi dari provokasi Ahok yang menggumpalkan

11

perasaan kecewa dan geram di hati umat Islam. Betapa tidak,
umat Islam demikian diremehkan oleh seorang Ahok yang takdir
fisik dan agamanya berbeda dengan mayoritas orang Indonesia,
namun sanggup bersikap remeh dan sepele terhadap umat Islam.
Apa pasal? Karena dia punya kuasa dan waktu itu keberuntungan
ada padanya dimana penguasa uang, meja kuasa dan senjata
berpihak padanya. Tapi itu dulu sebelum aksi massa menemukan
kekuatannya seperti sekarang ini.
Sekarang bila dia masih bersikap arogan dan menyepelakan umat
Islam, maka bisa-bisa tamatlah riwayatnya. Sebab apa? Sekarang
suasana batin masyarakat demikian euforia dan berlomba untuk
menjadi paling berani. Hal itu sama sekali tidak terbayangkan
saat aksi 1410 digulirkan.
Aksi umat Islam 212 memanglah hebat. Hebat dari segi spirit,
akhlak maupun capaian massa. Bayangkan dari kawasan Pasar
Senen, Bundaran Tugu Tani, Stasiun Gambir, Istiklal, sepanjang
jalan dari Gambir menuju patung kuda, seluruh area monas yang
disediakan, lalu jalan Thamrin, jalan menuju Tugu Tani dari
Thamrin, penuh sesak dengan manusia yang hendak
mengunjukkan perasaannya.
Unjuk rasa ini dibalut dengan sholat jum'at yang khusuk. Ini
bukan sekedar unjuk rasa. Tapi persembahan cinta dan
pengabdian kepada Yang di Langit. Doa-doa dikumandangkan.
Langit seolah bergetar. Hujan bercucuran membasahi badan dan
perasaan para pengunjuk rasa.
Khutbah Sang Pemimpin Besar Umat Islam Indonesia bergelora.
Menyibak tabir hati-hati manusia yang masih terkunci.
Mendobrak kepongahan kaum penguasa. Kaum penguasa tak
kuasa menghentikan khutbah paling tajam di abad 21 ini. Persis
di depan hidung kaum penguasa itu. Siapa yang berani bertindak
demikian kalau bukan seorang yang takutnya hanya kepada
Tuhan. Kaum penguasa itu leleh seperti coklat. Kecut dan
masamlah mukanya. Tapi tak bisa berkata, "Tangkap dia. Karena
telah menghina penguasa."

12

Nggak bisa. Sebab peristiwa berada di dalam pelukan Habib
Rizieq Syihab, pemimpin besar pembebas mental terkancing
umat Islam selama ini. Begitu habis unjuk rasa dan jum'atan itu,
manusia-manusia yang berpapasan denganku seolah baru saja
merdeka. Merdeka dari kungkungan mental terkancing seperti
yang sudah lama mereka idap. Kini mereka bebas. Tiada lagi rasa
takut. Tiada lagi rasa minder. Tiada lagi rasa kecut. Semua plong
bebas dan hanya takut sama Yang Maha Kuasa.
Karunia dari mana itu? Itulah karunia Allah yang dilimpahkan
melalui usaha tiga putaran demonstrasi.
Sebetulnya hampir saja aksi 212 itu kehilangan spiritnya bila
tidak muncul secara tidak terduga reaksi longmarch dari kyai dan
santri Ciamis.
Semula rencana aksi 212 itu telah mengendur secara spirit.
Tadinya aksi 212 akan digelar dari Semanggi hingga Istana.
Namun atas tekanan penguasa dan teror mental yang dihadapi
para ulama yang bernaung di Gerakan Nasional Pengawal Fatwa
(GNPF) MUI, mereka harus berkompromi dengan kehendak
penguasa. Ditambah lagi, Ketua MUI sendiri sebagai pemilik
fatwa yang merupakan objek yang dikawal itu, melemah setelah
ditemui Kapolri. Akhirnya dibatalkanlah rencana semula dengan
nama Jum'at Kubro di Semanggi (Sudirman) - Istana (Thamrin)
menjadi hanya dipusatkan di Monas saja. Tak ada lagi unjuk rasa.
Cuma zikir dan istighosah semata. Jadilah kesannya sekedar
pindah jum'atan saja. Hilanglah aroma heroisme dan patriotiknya
seperti yang melekat pada aksi massa 1410 dan 411 sebelumnya.
Apa jadinya? Lesulah perasaan setiap umat Islam yang menanti
aksi lanjutan 411 itu.
Di tengah suasana lesu dan tekanan yang bertubi-tubi dari
penguasa tersebut, uniknya hal ini tidak mematikan daya cipta
dan semangat perlawanan umat.
Pada 25 November 2016, sepekan sebelum aksi 212, inisiatif para
netizen, berkumandanglah himbauan aksi Rush Money. Isu apa

13

lagi ini? Ini benar-benar baru dalam arsip ingatan gerakan massa
umat Islam. Oh rupanya rush money itu semacam aksi tarik duit
dari bank-bank tertentu secara serentak beramai-ramai sebagai
bentuk pesan perlawanan yang tiada kendor dari umat Islam.
Alhasil hal itu yang tadinya cuma isu menjadi kenyataan hingga
menyusahkan penguasa. Maka terbitlah ancaman dari penguasa
dan seorang guru SMK yang mengajak aksi rush money itu
ditahan oleh penguasa. Tetapi aksi rush money itu tak bisa
dihentikan. Bank-bank yang dipandang sebagai pilar kekuatan
Ahok, kelabakan dan pura-pura tenang terhadap aksi rush money
tersebut.
Dalam situasi seperti itu, spirit berpindah langsung ke bawah.
Spirit tidak lagi berada di tangan Habib dan GNPF. Apalagi yang
jadi Khatib direncanakan sesuai kehendak penguasa bukan lagi
Habib Rizieq namun dilimpahkan kepada KH. Ma'ruf Amin. Jelas
kesan yang ada ialah acara 212 itu sudah kehilangan tajinya.
Saat situasi semacam itu, dan hari menuju 212 makin dekat,
berita-berita penggembosan dan penggagalan acara terus
berseliweran. Di antaranya terjadilah penghadangan rombongan
santri dari Ciamis oleh polisi.
Inilah titik mula yang mengubah spirit 212 yang tadinya lesu,
bangkit menjadi megah dan patriotik.
Tak terima digagalkan oleh polisi, rombongan santri itu putar
otak. Reaksi ini benar-benar di luar nalar polisi. Para santri dan
kyai itu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki. Tiba-tiba kabar heroik ini gempar ke seluruh dunia.
Siang malam, hujan dan terik ditempuh oleh santri yang masih
muda-muda tersebut. Sepanjang jalan tenggelam dengan rasa
haru dan simpati. Sepanjang jalan yang mereka lalui, rombongan
santri ini tak ubahnya pahlawan pembela kehormatan agama dan
harga diri umat. Mereka dielu-elukan. Dari rakyat biasa, ibu-ibu,
anak-anak, hingga Gubernur Jawa Barat. Alhasil, semangat lesu
akan rencana kegiatan 212, bangkit kembali di seluruh negeri.

14

Aku sendiri sudah sempat mengangkat tulisan bahwa Aksi Bela
Islam III pada 2 Desember sudah gagal secara moral dikarenakan
bertukar menjadi kegiatan istighasah. Namun sekaranh hal itu aku
ralat sejak Aksi Lonhmarch yang dilancarkan para santri dan kyai
dari Ciamis.
1 Desember akhirnya mereka tiba di Mesjid At Tin, Taman Mini.
Aku langsung ke sana. Berjumpalah aku dengan santri-santri
hebat dan tangguh itu. Mereka bercerita, setiba di Bandung dari
Ciamis, mereka pun menuju Jakarta. Namun atas kebaikan
Gubernur Aher, mereka tak dapat menolak lagi untuk tidak naik
bis yang sudah disediakan. Padahal sebenarnya jika mereka terus
longmarch menuju Jakarta, tentu ceritanya akan lain.
Begitupun, mereka telah membangkitkan rombongan-rombongan
longmarch menuju Jakarta dari berbagai penjuru. Seperti yang
kucatat, rombongan dari Cianjur kemudian membalas aksi
longmarch juga. Rombongan dari Bogor juga longmarch menuju
Jakarta. Rombongan dari Depok juga melancarkan longmarch.
Akibatnya pola Ciamis menjadi tren seketika. Rakyat di jalanjalan berduyun-duyun menyiapkan makanan dan minuman. Itulah
sebabnya, makanan dan minuman melimpah sepanjang jalan,
terutama jalan-jalan dekat Monas.
Malam 1 Desember itu aku pun menginap di Mesjid At Tin
sebagai ikut simpati dengan kepeloporan dan pengorbanan para
santri dari Ciamis itu. Waah...lagi-lagi makanan melimpah ruah.
Mulai dari buah pir, jeruk hingga salak. Nasi dan lauk dalam
kotak plastik juga tersedia banyak sekali.
Tidak hanya itu, malam itu sarung, baju koko, sandal dibagibagikan begitu saja. Saya sendiri tentu tidak melewatkan
mengambil jatah luar biasa itu. Aku memperoleh selembar baju
koko tangan pendek, sarung dan juga sandal. Syukur sekali,
sandalku akhirnya tergantikan malam itu. Pasalnya sandal yang
kupakai sebelumnya putus akibat memanjat pagar untuk
memasang spanduk yang isinya ajakan untuk aksi 212.

15

Subuh pun datang. Hari tanggal 2 Desember 2016. Rombongan
santri dari Ciamis itu bergelombang berangkat meninggalkan
mesjid At Tin menuju Monas. Sebagian dari kami masih terlelap
kelelahan.
Setelah sholat subuh aku dan kawan-kawan pergi menuju Monas
dengan mobil kijang Inova. Sepanjang jalan dari Pasar Minggu
menuju Menteng tersendat macet akibat masyarakat yang
mengalir menuju Monas. Banyak yang berjalan kaki. Mereka
memanfaatkan sepanjang jalan itu dengan aksi demonstrasi dan
menyuarkan aspirasinya.
Mereka mengenakan baju putih-putih lengkap dengan panjipanjinya. Sampai di bilangan Menteng, suasana makin ramai saja.
Di Gondangdia di depan Kantor Partainya Surya Paloh, orangorang sudah berjejer sepanjang jalan. Hiruk pikuk di sana sini.
Kami berusaha melewati kerumunan massa sampai akhirnya
berhasil tiba parkir tidak jauh dari Mesjid Cut Mutia. Di lokasi
itu, ramainya pun sudah terlihat.
Sebuah mobil komando berjalan mengiringi masyarakat
pendemo. Kami menggabungkan diri pada rombongan tersebut.
Kami melewati gedung juang, kantor Muhammadiyah, GPII
hingga bertemu arus massa di depan tugu tani. Di situ kulihat
kaum buruh sedang beraksi. Tidak ada pilihan selain menembus
massa yang padat itu menuju stasiun Gambir.
Rupanya massa dari arah kantor DPRD menyesak ke arah tugu
tani. Bertemulah dua arus besar massa. Kami terhimpit.
Akibatnya kami mengurungkan perjalanan menuju Gambir
beralih menuju Monas lewat jalan depan MNC.
Kami terus berjalan. Sampai bertemu pertigaan menuju Wisma
Antara. Sepajang jalan itu banyak sekali makanan yang
dihadiahkan untuk peserta aksi. Saya sendiri sampai tak berminat
melihat banyaknya minuman dan makanan itu.
Karena capek dan perlu makan sekedarnya, kami mengambil nasi
kotak plastik berisi lauk ayam dan kentang semur. Kami makan di

16

pinggir jalan. Lalu melanjutkan perjalanan hingga di depan persis
Wisma Antara.
Kami terhenti di situ. Sebab waktu tinggal sejam lagi untuk sholat
jum'at. Aku mengambil wudu dengan air aqua botol. Demikian
juga teman-temanku.
Kami membentangkan sajadah di samping jamaah yang sudah
lebih dulu mengambil posisi.
Pada mulanya gerimis. Kemudian hujan turun. Kemudian
berhenti. Dalam kumandang doa-doa yang dipanjatkan, akhirnya
hujan itu makin deras saja. Basahlah seluruh badan. Sajadah di
atas aspal pun basah kuyup.
Kemudian azan berkumandang. Lalu khutbah dari Habib Rizieq
sepertinya menampar-nampar para pejabat yang hadir di area itu.
Aku sendiri kurang begitu jelas mendengar apa sebetulnya isi
khutbah Habib paling berpengaruh tersebut. Sebab, sound system
yang tersedia tidak begitu terang mengumandangkan suara Habib
tersebut.
Khutbah yang panjang dan sangat keras. Kemudian sholat jum'at
pun ditunaikan. Hujan terus mengucur dari langit. Badan basah
kuyup. Tapi anehnya tak satu orang pun yang mundur mencari
tempat berteduh. Semua melanjutkan sholat dengan khusuk.
Seolah menjadi sholat taubat bagi setiap jamaah, dari perempuan
hingga laki-laki.
Uniknya lagi, sholat jum'at itu dirangkai dengan qunut nazilah
dengan untaian doa yang sangat panjang. Anehnya semua orang
khusuk menadahkan tangan ke langit. Benar-benar
mencengangkan.
Seusai sholat, jamaah bubar dengan teratur. Sebagian mulai
menggelar demonstrasi sambil berjalan pulang. Spanduk-spanduk
tuntutan dibentangkan. Korlap berteriak-teriak ucapkan tuntutan.
Masing-masing begitu. Di patung kuda, juga ada sekelompok
orang yang berorasi. Sementara jamaah yang tadinya berada di

17

dalam lingkungan Monas mulai keluar bergelombang. Kulihat
Habib, Munarman dan Ustadz-ustadz lainnya di atas mobil
komando. Mereka meneriakkan segala tuntutan.
Kami menunggu hingga gelombang massa itu semuanya keluar
dari dalam area Monas. Kami pun masuk dengan maksud menuju
kitaran Gambir. Namun akhirnya kami pergi berjalan menuju
pulang. Kami terus melintas hingga tiba di stasiun Gondangdia.
Kami tersendat. Rupanya massa yang hendak pulang dengan
Kereta Api demikian padatnya.
Ternyata tidak seperti gambaran selama ini bahwa manusia
Indonesia amat buruklah akhlaknya. Hari itu dibuktikan, manusia
Indonesia adalah manusia paling luhur akhlaknya di muka bumi.
Betapa tidak, mereka dengan antusiasnya saling menolong dan
saling mengingatkan. Mereka berjalan dan berkumpul demikian
tertib dan indahnya. Selamat buat bangsa Indonesia. Selamat buat
umat Islam. Aku yakin Nabimu bangga pada kalian. (sed)

18