Filsafat ilmu menurut pandangan ontologi (1)

TUGAS 3

Makassar, 03/12/2015

FILSAFAT ILMU DAN METODE ILMIAH
Dalam Penerapan Sekuler dan Islami

NAMA : ANDI ROY
Kelas : MM-1 / 0024 01 42 2015

PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2015/2016

TUGAS 3
1.Buat ringkasan 20 halaman tentang filsafat ilmu menurut pandangan ontologis
dan objek materi ilmu
2.Kemukakan alasan penting mempelajari obyek materi ilmu dari aspek ontologi
(10 halaman)
3.Buat kajian filsafat ilmu tentang pandangan ontologi yang anda ingin teliti
(variabel Penelitian)


Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat
ilmu merupakan telaah kefilsafat ilmuan yang ingin menjawab pertanyaan
mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun
aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari
epistemologi (filsafat ilmu pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji
hakikat ilmu, seperti :
1.

Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek
tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)

2.

Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang
disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang
membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?

(Landasan epistemologis)

3.

Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis)
Bidang

garapan

Filsafat

ilmu

terutama

diarahkan


pada

komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Dalam

perkembangannya

Filsafat

ilmu

juga

mengarahkan

pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik

dan heuristik. Bahkan sampal pada dimensi kebudayaan untuk menangkap

tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi
kehidupan
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada.
Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek
yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana
hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan
meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu
perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu
berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala
realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi
dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan
makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Dari

pembahasannya

memunculkan

beberapa


pandangan

yang

dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
1.

Materialisme; Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu
yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir
dari yang ada.

2.

Idealisme (Spiritualisme); Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme,
yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani
adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.

3.


Dualisme; Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang
berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri
dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.

4.

Agnotisisme; Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap
skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula
tidak.
Jadi ontology (dalam filsafat ilmu) adalah cara pandang mengenai objek
materi suatu ilmu, pembicaraan mengenai hakikat objek materi ilmu. Atau
dengan kata lain penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang
mempermasalahkan akar-akar (akar yang paling mendasar tentang apa yang
disebut dengan ilmu pengetahuan itu).
Sebagai bahan perbandingan mengenai konsep ontology ilmu yang
islami, mari kita lihat QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai berikut:

‫إن في خلق السماوات والرض واختلف الليل والنهار ليات لولي اللباب الذين يذكرون الله‬
‫قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السماوات والرض ربنا ما خلقت هذا باطل‬
‫سبحانك فقنا عذاب النار‬

Terjemahnya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orangorang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Dari ayat tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Konsep Ontology
Ilmu yang Islami memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an.
Artinya, melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (pencipta)

dan segala sesuatu selainNya sebagai makhluk, segala atribut yang bisa secara
benar

dilekatkan

pada

makhluk

adalah


perwujudan

niscaya

karena

kemakhlukannya.
Olehnya itu, dapat ditarik kesimpulan tentang makna sesungguhnya
ontology ketika kita coba menarik makna dari sudut pandang Islami sebagai
mata rantai yang nyaris terlupakan dengan memberikan pengertian dasar Logos
yang berarti Tuhan, jadi Ontologi disini mengandung pengertian tentang hakikat
keberadaan Tuhan.
Obyek Materi Ilmu
Objek

Materi

Ilmu


Menurut

Pandangan

Ontologys

Qur’ani

Dapat dipahami, bahwa memang bisa timbul kebingungan bagi sementara
kalangan terhadap pandangan ontologys qurani yang telah dikemukakan,
khususnya bagi mereka yang berpijak pada cara pandang ontologysm filsafat
Barat dewasa ini.
Betapa mungkin alam gaib juga dinyatakan sebagai obyek materi ilmu
sementara secara epistemologis, atau lebih khusus lagi secara metodologis
tidak dimungkinkan adanya suatu alat verifikasi yang dapat digunakan secara
bersama oleh semua orang. Misalnya, bagaimana menggunakan verifikasi untuk
menguji kebenaran pernyataan mengenai hal-hal yang bersifat gaib.
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi sebab dalam rangka verifikasi, dunia
ilmu sekuler sendiri telah mengakui salah satu acuan verifikasi adalah
pernyataan-pernyataan otoritas. Verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan yang

berkenaan dengan obyek alam gaib, dapat dilakukan mengenai verifikasi
rasional terhadap pernyataan-pernyataan doctrinal yang berkenaan dengannya,
yang bersumber dari Allah sebagai sumber ilmu sendiri.

Jawaban tersebut memang masih dapat menimbulkan pertanyaan
selanjutnya, yaitu bagaimana mungkin itu dilakukan oleh mereka yang tidak
mengakui adanya Allah? Jawabnya adalah, dengan melihat pada substansi
pernyataan itu sendiri. Apakah ia memenuhi syarat untuk menjadi acuan?
Apakah ia dapat memberi penjelasan secara konsisten dan dapat diterima
secara rasional?[6]
Mesti menjadi perhatian adalah bahwa pandangan Islam tentang realitas
sebagai objek kajian ilmu ternyata tidak hanya terpaku pada dunia empiric atau
fiscal tetapi juga mencakup dunia ruh. Diri manusia sendiri adalah miniatur
semesta yang tidak hanya terdiri atas jasad tetapi juga hati, perasaan, jiwa dan
ruh yang merupakan “bagian” dari Tuhan. Karena itu, metodologi pemikiran
Islam tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan dan kegeniusan rasio tetapi
harus dengan kesucian hati.
Maka dalam kajiannya Ilmu filsafat memiliki obyek materi Ilmu yangi
terbagi atas dua, yakni Obyek material dan obyek formal.
1.


Obyek Material
Objek Material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan
(materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju
akhirat". Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan
akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam
(kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata
"akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata
Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling
berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat

dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan
hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.
2.

Obyek Formal
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material,
yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang
kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan
efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.
Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat
ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang
ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga
yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Demikianlah sesungguhnya pandangan ontologys qurani sebagaimana
dikemukakan diatas, dapat dibuktikan meniscayakan lahirnya sebuah proses
ilmiah yang konsisten melahirkan sebuah pengetahuan ilmiah yang dapat
diverifikasi.
Maka, Pandangan ontologys tersebut melahirkan pandangan mengenai
obyek materi ilmu dengan pernyataan singkat sebagai berikut:

1.

Obyek ilmu adalah alam syahadah maupun alam gaib

2.

Membangun pengetahuan ilmiah mengenai alam tersebut dilakukan dengan
acuan petunjuk Allah Swt sebagai penciptanya.