BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Wacana

  Wacana adalah kesatuan yang tatarannya lebih tinggi atau sama dengan kalimat, terdiri atas rangkaian yang membentuk pesan, memiliki awal dan akhir. Hal tersebut hampir sama seperti yang diungkapkan oleh Carlson bahwa wacana merupakan rentangan ujaran yang berkesinambungan (Carlson dalam Tarigan, 2009 : 22). Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna “ucapan atau tuturan”. Wacana dipadankan dengan istilah discourse dalam bahasa Inggris (Sudaryat, 2008 : 110).

  Kridalaksana (2005: 259) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

  Menurut Alwi (2003 : 419) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Sejalan dengan Alwi, Deese (dalam Tarigan, 2009: 24) mendefinisikan wacana sebagai seperangkat preposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca.

  Menurut Maingueneau (1993 : 38-41) terdapat delapan ciri penting wacana, yaitu organisasi di atas kalimat, terarah, bentuk tindakan, interaktif, kontekstual, didukung oleh subjek, diatur oleh norma, dan bagian dalam interdiskursus. Berdasarkan ciri pertama yang disebutkan oleh Maingueneau, wacana dapat dipahami sebagai sebuah satuan bahasa tertinggi dan berada pada tingkatan di atas kalimat. Satuan bahasa tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah wacana jika memiliki makna tertentu. Meskipun merupakan satuan bahasa terbesar, wacana tidak harus diwujudkan dalam rangkaian kata yang sangat panjang. Wacana juga dapat terwujud dalam sebuah kalimat tunggal seperti pada proverba atau kalimat larangan misalnya “dilarang merokok”. Meskipun kalimat larangan tersebut sangat pendek, namun ia membawa sebuah pesan atau makna yang jelas (Maingueneau, 1998 : 38).

  Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi itulah yang di namakan wacana (Eriyanto, 2001:16-17). Bahasa itu sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa unsur salah satunya unsur politik yang dapat menjadikannya sebuah wacana politik. Pakar bidang politik, melihat wacana sebagai strategi politik penggunaan bahasa, karena bahasa merupakan aspek utama dari penggambaran suatu subjek. Bahasa merupakan media penyampaian ideologi, dan lewat bahasa pula masyarakat bisa menyerap ideologi dari subjek tertentu (Eriyanto, 2001:1-3). Lebih dari itu, Giles dan Wiemann (Hamad, 2004:14) menyatakan jika bahasa dapat menentukan konteks, bukan sebaliknya. Dengan begitu melalui bahasa (pilihan kata dan cara penyajian) yang digunakan, seseorang dapat mempengaruhi orang lain (menunjukan kuasanya).

  Melalui gagasan multifungsionalitas bahasa dalam teks, Fairclough mengatakan bahwa bahasa tidak hanya tersusun secara sosial (identitas sosial, relasi sosial & sistem pengetahuan dan keyakinan) namun juga dipandang sebagai sesuatu yang dikonstruksi secara sosial. Fairclough mendekati hubungan yang kompleks ini dengan menggunakan konsep “tatanan wacana‟. Dalam tatanan wacana, Fairclough membedakan dua kategori tipe wacana yaitu wacana dan genre. Wacana, dalam kata benda abstrak merupakan penggunaan bahasa yang dianggap sebagai praktik sosial sedangkan dalam kata benda yang dapat dihitung merupakan cara menjelaskan pengalaman dari suatu perspektif tertentu. Peristiwa diskursif merupakan penggunaan bahasa, dianalisis sebagai teks, praktik diskursif, dan praktik sosial yang menghasilkan teks (bahasa tulis dan lisan). Penyusunan teks dari beragam wacana dan genre (penggunaan bahasa yang diasosiasikan dengan suatu aktivitas sosial tertentu) disebut interdiskursivitas.

  Lebih lanjut, Fairclough menerapkan tiga konsep wacana dengan tiga hal yang berbeda. Pertama, wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai bentuk praktik sosial. Kedua, wacana dipahami sebagai bentuk jenis bahasa yang yang digunakan dalam suatu bidang khusus, seperti wacana politik. Ketiga, wacana digunakan sebagai suatu kata benda yang dapat dihitung, yang mengacu pada cara bertutur sehingga dapat memberikan makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang didapat dari sudut pandang tertentu (Jorgensen, 2007: 125). Khusus penggunaan bahasa pada judul atau headline wacana berita, umumnya mengabaikan kaidah bahasa, tetapi mengandung pemadatan isi berita dan tetap mencerminkan isi berita (Badara, 2012:24).

  Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian wacana di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa wacana adalah sebuah bentuk tindakan komunikasi interaktif yang dapat dilakukan baik secara lisan atau tertulis. Wacana selalu melibatkan dua pihak yaitu penyampai dan penerima pesan. Wacana merupakan organisasi bahasa tertinggi yang lebih besar atau di atas kalimat. Wacana dapat terwujud dalam bentuk kalimat-kalimat yang banyak dan panjang, namun juga dapat sangat pendek berupa kalimat tunggal yang memiliki makna dan konteks. Wacana sangat berkaitan dengan konteks yang melingkupinya.

2.2. Analisis Wacana

  Analisis wacana berarti analisis hubungan antara penggunaan bahasa yang konkret dan struktur sosial dan budaya yang lebih luas (Titscher, 2000:241-244). Sedangkan Mulyana (2005 : 8) mengungkapkan bahwa dalam analisis wacana, kata atau kalimat yang berposisi sebagai wacana disyaratkan memiliki kelengkapan makna, informasi, dan konteks tuturan yang jelas dan mendukung.

  Analisis wacana merupakan disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa dalam tindak komunikasi. Seperti yang diungkapkan Stubbs (dalam Arifin & Rani, 2000: 8) yang menjelaskan bahwa analisis wacana adalah suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah ini berarti penggunaan bahasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Sejalan dengan Stubbs, Sobur (2006: 48) menjelaskan analisis wacana sebagai studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.

  Kartomihardjo (1993: 21) menyatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar dari pada kalimat dan lazim disebut wacana. Lebih lanjut Kartomihardjo menyatakan bahwa analisis wacana berusaha mencapai makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan atau oleh penulis dalam wacana tulisan.

  Analisis wacana mengkaji hubungan bahasa dengan konteks penggunaannya. Untuk memahami sebuah wacana perlu diperhatikan semua unsur yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut. Unsur yang terlibat dalam penggunan bahasa ini disebut konteks dan koteks. Konteks mencakup segala hal yang ada dilingkungan penggunaan bahasa. Selanjutnya, koteks merupakan teks yang mendahului atau mengikuti sebuah teks. Dengan demikian, mengkaji wacana sangat bermanfaat dalam mengkaji makna bahasa dalam penggunaan yang sebenarnya (Arifin & Rani, 2000 : 14).

  Analisis wacana tidak dimaksudkan untuk mencari keteraturan dan kaidah seperti tata bahasa, tapi dituntut mengetahui keteraturan yang berkaitan dalam penerimaan khalayak akan timbulnya wacana itu melalui bahasa- bahasa. Menyinggung mengenai penggunaan bahasa dalam analisis wacana, Hikam (Eriyanto, 2001:4-10) membagi tiga pandangan sebagai berikut.

1. Pandangan positivme-empiris, pandangan ini memandang bahasa sebagai penghubung antara manusia dan objek diluar dirinya.

  2. Pandangan konstruktivisme, pandangan ini melihat jika bahasa bukan hanya sebagai alat untuk memahami realitas objek belaka dan terpisah dari subjek sebagai penyampai pernyataan, namun subjek sebagian faktor utama dalam kegiatan wacana serta hubungan sosialnya.

  3. Pandangan kritis, pandangan ini mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang ada (historis maupun institusional). Pandangan konstruktivisme dinilai masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam wacana sehingga dapat membentuk subjek tertentu beserta perilakunya. Analisis wacana dalam pandangan kritis mengungkapkan jika individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral jadi bisa menafsirkan apa saja sesuai pikirannya, hal ini dikarenakan adanya hubungan dan pengaruh dari kekuatan sosial dalam masyarakat. Sementara bahasa dalam pandangan kritis dianggap sebagai representasi yang dapat membentuk subjek, wacana, bahkan strategi tertentu. Jadi analisis wacana dalam pandangan kritis digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa. Menurut Eriyanto (dalam Badara, 2012: 5) kualitas analisis wacana kritis selalu dilihat dari kemampuannya menempatkan teks dalam konteksnya yang penuh, holistik, lewat hubungan antara analisis di tahap teks dan analisis konteks di jenjang yang lebih tinggi.

  Dari pemaparan di atas, analisis wacana kritis juga menggunakan pendekatan kritis, dalam menganalisis bahasa tidak hanya dilihat dari segi kebahasaan saja, namun melihat juga dari segi konteks yakni tujuan dan praktik tertentu yang ada dalam setiap wacana. Jadi di dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai studi bahasa saja walau pada faktanya wacana menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalaisis, lebih lanjut bahasa yang dianalisis relatif berbeda dengan studi bahasa dalam studi linguistik tradisional karena dalam analisis wacana kritis menghubungkannya dengan konteks teks tertentu. Analisis wacana kritis tidak bisa dianggap sebagai pendekatan yang secara politik netral, tapi pendekatan ini secara politik ditujukan aagar timbulah perubahan sosial (Jorgensen, 2007:120).

  Analisis wacana kritis sekaligus merupakan upaya dalam proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) dari seseorang atau sekelompok dominan yang kecenderungannya memiliki tujuan tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Artinya dalam suatu konteks

  4 harus disadari adanya kepentingan (Darma, 2009:49).

  Analisis wacana kritis dapat memberi penjelasan terhadap dimensi linguistik-kewacanaan fenomena sosial dan kultural serta proses perubahan kepada modernitas terkini (Jorgensen, 2007:116). Tujuan utama analisis wacana kritis ialah untuk mengeksplorasi hubungan antara penggunaan bahasa dan praktik sosial (Jorgensen, 2007:130).

2.2.1 Karakteristik Analisis Wacana Kritis

  Berikut merupakan karakteristik analisis wacana kritis menurut Eriyanto mengutip tulisan Van Dijk, Fairclough, dan Wodak.

  1. Tindakan. Jika wacana dipahami sebagai suatu tindakan (action), maka wacana dihubungkan sebagai bentuk interaksi. Terdapat beberapa konsekuensi dalam melihat wacana, yakni wacana dipandang sebagai suatu yang bertujuan dan konsekuensi kedua wacana dilihat sebagai hal yang diekspresikan secara sadar, dan terkendali.

2. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana dalam arti memperhatikan latar, situasi, peristiwa, hingga kondisi tertentu.

  Jadi wacana dalam hal ini dibuat, dipahami dan dianalisis dalam konteks tertentu.

  3. Historis. Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks tertentu. Konteks historis melihat suatu wacana timbul dalam situasi politik yang ada pada saat itu. Saat melakukan analisis diperlukan suatu tinjauan dalam melihat wacana yang berkembang ketika itu, dari segi bahasa yang digunakan, dan seterusnya. 4 _____________________

  http://jlt-polinema.org/?tag=analisis-wacana-kritis (dikutip 9/5/2017 pukul 10.06 WIB)

4. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan

  (power). Wacana dalam bentuk teks, baik percakapan atau apa pun tidak di pandang sebagai sesuatu yang alami, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat.sehingga, analisis wacana kritis tidak membatasi diri pada detail teks atau struktur wacana saja, tetapi menghubungkan dengan kekuatan saja namun melihat kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu.

  5. Ideologi. Ideologi merupakan hal sentral dalam analisis wacana kritis karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebagainya adalah praktik ideologi atau pencerminan ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi ialah medium melalui mana kelompok dominan mempersuasif dan mengkomunikasikan kepada khalayak kekuasaan dan dominasi yang dimiliki sehingga nampak sah dan benar (Badara, 2012:28-35).

  Semua karakteristik penting dari analsis wacana kritis tentunya membutuhkan pola pendekatan analisis.Hal ini diperlukan untuk memberi penjelasan bagaimana wacana di kembangkan maupun mempengaruhi khalayak.

2.2.2 Pendekatan Analisis Wacana yang Memfokuskan pada Representasi

  Kata representasi mengacu pada bagaimana gagasan atau pendapat baik dalam melihat seseorang, kelompok atau apapun yang ditampilkan. Menurut Eriyanto, representasi penting dalam dua hal pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan ditampilkan sebagaimana mestinya. Yang kedua bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Berkaitan dengan penampilan objek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang ada tiga level yang dihadapi oleh wartawan, level pertama peristiwa ditandakan (encode) sebagai realitas. Level kedua pandangan sesuatu sebagai realitas hingga bagaimana realitas tersebut digambarkan. Level ketiga, cara peristiwa tersebut diorganisasi ke dalam kesepakatan-kesepakatan yang diterima secara ideologis. Dalam pendekatan analisis wacana yang memfokuskan pada representasi, ada tiga hal yang menjadi pusat perhatian, yakni bahasa, misrepresentasi dan pemarginalan (Badara, 2012:56-59).

2.3. Ideologi Ketuhanan

  Ideologi Ketuhanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ideologi Pancasila, yaitu sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Pancasila yang berisi seperangkat nilai-nilai dasar ideal, merupakan komitmen kebangsaan, identitas bangsa dan menjadi dasar pembangunan karakter keindonesiaan. Sebuah negara yang majemuk seperti Indonesia membutuhkan nilai bersama yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative value), titik temu (common denominator), jati diri bangsa (national identity) dan sekaligus nilai yang dianggap baik untuk diwujudkan (ideal value) (Narmoatmojo, 2015: 1).

  Ketika memperkenalkan sila Ketuhanan yang Maha Esa, Bung Karno ingin menyusun Indonesia yang merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Abednego, 1986: 98). Meskipun demikian Bung Karno menyadari bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, termasuk dalam masalah agama. Karena itu, Bung Karno tidak menyetujui negara agama, atau suatu sistem teokrasi yang didasarkan atas salah satu agama saja.

  Kesatuan asasi seluruh agama merupakan konsep mendasar setiap ajaran agama. Yang membedakan hanyalah cara-cara peribadatannya dan hukum-hukumnya, karena bedanya lingkungan, waktu dan tempat, tetapi kepercayaan tentang ke-esaan Tuhan adalah sama pada seluruh agama. Yaitu

5 Tuhan yang satu.

  5 ________________

  Manshur, Tadjuddin. 2007. Jurnal Educare Vol 4, No. 2. Bandung: Badan Penerbitan FKIP UNLA

  Oleh karena itu, Pancasila sebagai suatu sistem nilai negara disusun berdasarkan urutan logis keberadaan unsur-unsurnya. Sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) ditempatkan pada urutan yang paling atas, karena bangsa Indonesia meyakini segala sesuatu berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya (Rukiyati, 2008:28). Menurut Moerdiono (1995: 2-3) terdapat tiga tataran nilai dalam ideologi Pancasila yaitu dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Ketiga nilai tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu. Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar yang berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.

  2. Nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat konstektual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai Pancasila, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.

  3. Nilai praksis, yaitu nilai yang terdapat dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai–nilai Pancasila, baik secara tertertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan.

2.4. Kajian Hasil Penelitian Terkait

  Penelitian ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian sebelumnya yang berjudul Analis Wacana Kritis dalam Pagelaran Wayang

  

Kulit Lakon ”Petruk Dadi Ratu” oleh Lanjar Rani dari Universitas Kristen

  Satya Wacana Salatiga. Kesamaan tersebut terletak pada analisis wacana kritis yang digunakan untuk membedah makna dibalik sebuah karya sastra. Keduanya sama-sama menggunakan teknik analisis yang sama yaitu analisis wacana kritis Norman Fairclough. Yang membedakan adalah pada penelitian yang dilakukan Rani (2013) menganalisis pementasan wayang kulit. Sedangkan dalam penelitian ini menganalisis teks buku. Penelitian yang dilakukan oleh Rani menyebutkan berbagai pesan mengenai kondisi politik di Indonesia yang terkandung dalam pagelaran wayang kulit dengan lakon

  

Petruk Dadi Ratu . Makna itu dapat diketahui setelah Rani menganalisis

  bahasa serta pesan di dalamnya serta mengaitkannya dengan konteks dan fenomena yang terjadi di Indonesia ketika itu.

2.5. Kerangka Pikir

  Kondisi masyarakat Indonesia

  Buku Tuhan Maha Asyik Analisis wacana kritis Norman Fairclough dalam konteks ideologi ketuhanan

  Wacana dan ideologi ketuhanan Banyaknya fenomena penyalahgunan agama dan Tuhan sebagai alat mecapai kepetingan di Indonesia membuat Sujiwo Tejo dan MN Kamba menulis buku Tuhan Maha Asyik. Dalam tulisan tersebut, keduanya menuangkan berbagi kritikan dan gagasan mereka mengenai fenomena berketuhanan di Indonesia. Teks dalam buku Tuhan Maha Asyik kemudian dianlisis menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough dalam konteks ideologi ketuhanan. Sehingga diketahui apa wacan dan ideologi ketuhanan dalam buku tersebut.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Pendekatan Inkuiri dan Model Pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD) Siswa Kelas IV SDN Jetak 03 Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang S

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Pendekatan Inkuiri dan Model Pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD) Siswa Kelas IV SDN Jetak 03 Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang S

0 0 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Pendekatan Inkuiri dan Model Pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD) Siswa Kelas IV SDN Jetak 03 Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang S

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Pendekatan Inkuiri dan Model Pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD) Siswa Kelas IV SDN Jetak 03 Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang S

0 0 115

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: A Study of Firdaus’ Identity in Nawal El Saadawi’s Woman at Point Zero Through Freud’ Psychoanalytic Criticism.

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 1 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 20

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 3 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 2 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 17