Otonomi daerah dan pelayanan publik di k

Otonomi Daerah dan Kualitas Pelayanan Publik
Kepulauan Spermonde di Prov. Sulawesi Selatan;
Kasus di Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar dan Kecamatan Liukang
Tangaya, Kabupaten Pangkep
Andi Ahmad Yani

**

Abstrak
Implementasi otonomi daerah di Indonesia selama satu dekade diharapkan
dapat mewujudkan salah satu tujuan utamanya yaitu peningkatan kualitas
pelayanan publik di tingkat lokal, terkhusus di pulau-pulau kecil. Tulisan ini
menganalisis penyelenggaraan pelayanan publik di Kecamatan Ujung Tanah, Kota
Makasssar dan Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkep sebagai bagian dari
Kepulauan Spermonde di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketimpangan jumlah dan
kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur menjadi permasalahan mendasar
dalam rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik pada sektor kesehatan
dan pendidikan di kedua daerah tersebut. Diperlukan kebijakan khusus dalam
manajemen pemerintahan pulau untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di
daerah kepulauan.


A. Pendahuluan
Kebijakan menstransfer sebagian otoritas dan kewenangan pemerintah di tingkat
nasional ke tingkat lokal menjadi tuntutan sekaligus tantangan bagi hampir semua
pemerintahan di dunia. Kebijakan yang lazim dikenal sebagai desentralisasi telah
diaplikasikan dengan beragam metode dan strategi di berbagai negara, khususnya
negara-negara yang baru bebas dari kolonialisasi. Sebelumnya negara-negara tersebut
mengaplikasikan sistem pemerintahan yang terkontrol dan terpusat yang merupakan
kelanjutan dari model pemerintahan kolonial. Penerapan sistem sentralisasi pada
periode kolonial memang efektif untuk mengontrol daerah-daerah jajahan karena
sistem ini merupakan model organisasi militer klasik. Sistem klasik ini kemudian
pelan-pelan ditinggalkan ketika gelombang demokratisasi secara massif dimulai di
negara-negara yang mengklaim dirinya negara maju. Selanjutnya trend demokratisasi
ini mewarnai negara-negara yang baru merdeka dan negara-negara yang baru
terbentuk dari konflik wilayah atau etnis dengan berbagai motif. Nilai-nilai demokrasi
seperti partisipasi semua warga dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia menjadi
spirit utama dalam system desentralisasi. Dengan kata lain, warga masyarakat akan
berpartisipasi dengan sadar ketika mereka diberi kewenangan dan penghargaan atas
hak-hak yang mereka miliki secara lahiriah.
Cheema dan Rondinelli (2007; 3-4) membagi proses pengaplikasian system
desentralisasi ke berbagai negara ke dalam tiga gelombang. Gelombang pertama,

dimulai pada tahun 1970an hingga 1980an ketika pasca Perang Dunia ke II. Periode
ini dimulai dengan meretas konsep desentralisasi yang berfokus pada kebijakan


Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Internasional ke 11 Percik, di Salatiga pada Tanggal 2123 Juli 2010.
* *
Pengajar di Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Hasanuddin.

1

dekonsentrasi struktur birokrasi pemerintahan. Pada pertengahan dekade 1980an,
gelombang kedua desentralisasi semakin meluas yang ditandai dengan pembagian
kekuasaan politik, demokratisasi, liberalisasi pasar dan akomodasi kelompok
pengusaha dalam proses pengambilan keputusan. Pada awal 1990an, desentralisasi
secara massif dianut oleh hampir semua negara dengan lebih mengapresiasi
keterlibatan masyarakat lebih luas di setiap proses pemerintahan melalui partisipasi
organisasi sosial masyarakat. Proses aplikasi system desentralisasi dengan berbagai
metode atau strategi ini semata-mata bertujuan untuk mentransformasi otoritas,
kewenangan dan sumber daya ke pemerintah lokal untuk mendukung masyarakat dan

pemerintah dalam mengformulasi dan mengimplementasi serta mengevaluasi
kebijakan di tingkat lokal dalam peningkatan kualitas pelayanan publik secara
kontinyu.
Konsep desentralisasi di Indonesia telah diterapkan sejak awal kemerdekaan
Indonesia hingga sekarang dengan berbagai bentuk formulasi kebijakan untuk
memenuhi tujuan tersebut. Kebijakan otonomi daerah dengan UU No. 22 Tahun 1999
yang dengan sah mulai diterapkan pada awal 2001 merupakan sebuah formula
kebijakan yang mencoba menerapkan spirit desentralisasi dengan sungguh-sungguh.
Kesungguhan ini ditandai dengan kebijakan sharing keuangan negara yang signifikan
ke pemerintah di tingkat regional dan lokal. Selanjutnya transfer aparatur pemerintah
di tingkat pemerintahan nasional ke pemerintahan di tingkat regional. Tanda
kesungguhan terakhir adalah gubernur dan bupati/walikota tidak lagi dipilih oleh
pemerintah nasional tapi dipilih oleh parlemen tingkat lokal sebagai bentuk
transformasi politik kekuasaaan ke tingkat lokal. Impelementasi konsep desentralisasi
di Indonesia terus diperbaiki dengan memasuki gelombang kedua melalui UU 32
Tahun 2004. Aturan ini berupaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas
implementasi desentralisasi dari peraturan sebelumnya. Terlepas dari berbagai kritik
atas kelemahan aturan-aturan ini, kualitas pelayanan publik dianggap mulai membaik
dibandingkan sebelumnya. Hal ini terdeskripsi di hasil survey pemerintahan dan
desentralisasi tahun 2006 yang menunjukkan persepsi positif yang signifikan dari

masyarakat atas pelayanan kesehatan dan pendidikan pada pemerintah lokal di
Indonesia (Fengler dan Hofman, 2009; 251).
Setelah sepuluh tahun kebijakan otonomi daerah diaplikasikan di Indonesia, maka
perbaikan kualitas pelayanan publik menjadi harapan dan ekspektasi semua warga
negara Indonesia. Sebagai negara kepulauan, perbaikan kualitas pelayanan publik pun
diharapkan juga dialami oleh warga negara Indonesia yang hidup di daerah
kepulauan. Berangkat dari asumsi ini, maka penulis tertarik untuk mengkaji
penerapan kebijakan otonomi daerah di kabupaten/kota yang memiliki wilayah
kepulauan. Untuk itu, penulis menganalisis penyelenggaraan pelayanan publik di
sektor kesehatan dan pendidikan di Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi Selatan
dengan studi kasus di Kota Makassar dan Kabupaten Pangkep.
B. Sejarah dan Kondisi Sosial Masyarakat Kepulauan Spermonde
Kepulauan Spermonde (Spermonde shelf) terletak di bagian Selatan Selat Makassar
yang berlokasi di pesisir barat daya Pulau Sulawesi (Jompa et.al, 2005; 3).
Masyarakat yang hidup di wilayah Spermonde mengenalnya sebagai pulau
Sangkarang yang terdiri dari kurang lebih 121 pulau-pulau kecil dan sedang baik
berpenghuni maupun tidak berpenghuni yang tersebar mulai dari sebelah Selatan
Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan hingga Kabupaten Mamuju,
2


Provinsi Sulawesi Barat (Ibid). Kepulauan Spermonde tersebar di 5 wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Sebagian besar pulau-pulau di
kawasan Spermonde masuk dalam kawasan Kabupaten Pangkep dan sebagiannya
lagi tersebar di kawasan Kabupaten Barru, Kabupaten Maros, Kabupaten Takalar
dan Kota Makassar. Kepulauan Spermonde pada tahun 1961 atau pada masa
pemerintahan Soekarno merupakan suatu wilayah administratif kecamatan dalam
pemerintahan Kabupaten Maros dan kemudian terpisah ke daerah wilayah
kabupaten yang terdekat sejak masa pemerintahan Soeharto (Hadi, 2007; 155).
Kepulauan Spermonde dibagi menjadi empat wilayah oleh Hutchinson (1945)
seperti yang dikutip oleh Jompa et.al (2005;3) sebagai sumber daya perikanan dan
kelautan dengan berdasar pada distribusi terumbu karang. Pertama, wilayah
terdekat dengan pantai daratan utama Pulau Sulawesi dengan kedalaman laut 10 m.
Wilayah kedua yang berjarak kurang lebih 5 km dari daratan utama Pulau Sulawesi
dengan kedalaman rata-rata 30 m dimana banyak terdapat pulau karang. Wilayah
di garis pantai 12,5 km dari Pulau Sulawesi dengan kedalaman laut 20-50 m
ditetapkan sebagai wilayah ketiga. Wilayah terluar dengan jarak 30 km dari daratan
utama Pulau Sulawesi adalah wilayah keempat dimana pada sisi Timur memiliki
kedalaman sekitar 40-50 m dan kedalaman lebih dari 100 m di sisi bagian Barat.
Kepulauan Spermonde dihuni sejak ratusan tahun lalu namun menurut Muhammad
Neil mengalami migrasi penduduk secara parsial ke daratan utama Pulau Sulawesi

pada periode penjajahan Belanda. Posisi beberapa pulau-pulau terluar kawasan
Spermonde menjadi wilayah strategis pangkalan kapal perang Kerajaan Belanda
pada masa itu. Kondisi ini membuat pulau-pulau ini menjadi rawan penyerangan
kapal dari pihak musuh sehingga membuat sebagian warga mengungsi ke daratan
utama atau wilayah pulau lain yang dianggap aman. Pada periode awal
kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi pemberontakan di beberapa wilayah
daratan utama Pulau Sulawesi, khususnya di wilayah Sulawesi Selatan. Pada masa
tersebut terjadi pergolakan politik dengan pemberontakan militer yaitu
pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Azis pada tahun 1950, pemberontakan
Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Abdul Qahar
Muzakkar pada tahun 1953-1965, dan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia/Pembangunan Semesta (PRRI Semesta) pada tahun 1958-1962
(Hadi,2007;144). Pergolakan ini meletus sebagai bentuk dinamika elit lokal dalam
proses pembentukan negara Republik Indonesia pada masa itu (Ibid;145). Bahkan
salah satu gugusan pulau Spermonde yaitu Pulau Samalona pernah menjadi
kawasan tahanan militer pada tahun 1950 (Ibid, 147). Ketidakstabilan sosial politik
pada masa tersebut menelan banyak korban jiwa dan trauma bagi masyarakat sipil
yang umumnya tidak memahami dan terlibat dalam perseteruan elit lokal tersebut.
Kondisi ini mengakibatkan arus pengungsi ke pulau-pulau Spermonde yang
berlokasi jauh untuk menghindari konflik politik elit lokal di daratan utama Pulau

Sulawesi (Ibid).
Selain faktor kesejarahan di atas, masyarakat kepulauan Spermonde juga sangat
dipengaruhi dengan factor struktur sosial dengan system patron klien yang sangat
kental dan diwariskan secara informal. Sistem patron klien masyarakat nelayan di
daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya dikenal dengan istilah ponggawa-sawi.
Ponggawa merupakan patron yang memiliki modal untuk membiayai seluruh
proses mulai produksi seperti penangkapan hingga pemasaran hasil penangkapan
ikan. Ponggawa biasanya juga sekaligus pemilik perahu atau pemodal yang
3

membiayai pembuatan perahu. Sementara sawi adalah kelompok nelayan yang
bekerja di perahu ponggawa atau menjalankan perahu ponggawa . Selanjutnya,
sawi menjual atau menyetor hasil tangkapan ikannya ke ponggawa atau menyetor
hasil penjualan ikan ke ponggawa selaku pemiliki modal. Hubungan ini tidak
hanya dalam kegiatan ekonomi tapi juga dalam hal sosial lainnya. Misalnya, jika
sawi membutuhkan dana untuk mengawinkan anaknya atau menyekolahkan
anaknya atau kebutuhan-kebutuhan lainnya maka sawi akan selalu mengharapkan
bantuan ponggawa. Di sisi lain, para ponggawa mempunyai kewajiban untuk
selalu membantu para sawi yang biasanya kemudian akan dikalkulasi dalam hasil
kerja sawi di kemudian hari. Jika sawi bersangkutan kemudian tidak dapat melaut

lagi karena alasan kesehatan maka dia akan diganti oleh anak atau keluarga sawi
bersangkutan. Hubungan ini kemudian sudah menjadi sebuah hubungan
kekerabatan yang sangat kental hingga ke keturunan atau anak cucu, baik di pihak
ponggawa maupun sawi. Hubungan hierarkis ini pun berlaku dalam sektor politik,
dimana pilihan politik sawi akan selalu mengikuti pilihan politik para ponggawa.

C. Pelayanan Publik di Sektor Kesehatan dan Pendidikan di Kecamatan Ujung
Tanah, Kota Makassar dan Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten
Pangkep.
1. Kota Makassar

Kota Makassar adalah ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki luas 175,77
km persegi dan berjarak 2 jam dari Jakarta – ibukota Republik Indonesia- dengan
menggunakan jalur transportasi udara. Kota Makassar juga merupakan salah satu
dari 5 kota terbesar di Indonesia dengan berpenduduk 1.235.239 jiwa pada tahun
2007.
Sebagai ibukota Provinsi, Kota Makassar memiliki jumlah sumber daya yang baik
dalam penyelenggaraan pelayanan publik di sektor kesehatan. Di tahun 2007
terdapat 19 rumah sakit yang terdiri atas 8 rumah sakit pemerintah/TNI/Kepolisian,
8 rumah sakit swasta, dan 3 rumah sakit khusus. Sarana rumah sakit ini didukung

dengan 115 unit puskesmas yang terdiri atas 37 puskesmas, 41 puskesmas pembantu
dan 37 puskesmas keliling (BPS Makassar, 2008; 65-66). Infrastruktur ini didukung
oleh tenaga medis yaitu 2.695 dokter praktek dan 168 bidan praktek (Ibid)
Pelayanan publik pada sektor pendidikan dasar dan tingkat menengah atas di Kota
Makassar juga memiliki dukungan sumber daya yang memadai, khususnya di
daerah daratan. Pelayanan di sektor pendidikan Kota Makassar didukung oleh
sumber daya berupa, 448 gedung sekolah dasar dengan 5.500 orang guru serta
143.169 orang murid. Pada tingkat SLTP, terdapat 171 unit sekolah dengan guru
berjumlah 4.346 dan 57.410 orang murid. Di tingkat SLTA terdiri atas 110 gedung
sekolah dengan jumlah guru sebanyak 1.586 orang dan jumlah murid sebanyak
10.879 orang (BPS Makassar, 2008; 64).
Kota Makassar terbagi atas 14 kecamatan, 143 kelurahan, 970 Rukun Warga (RW)
dan 4.789 Rukun Tetangga (RT) (Ibid, 8). Hampir semua kecamatan terletak di
daratan dan hanya 2 kecamatan yang mempunyai beberapa wilayah di kepulauan.
Kecamatan yang memiliki wilayah di kepulauan Spermonde adalah Kelurahan
Ujung Tanah dan Kecamatan Mariso.
4

Penulis memilih Kecamatan Ujung Tanah sebagai kasus pemerintahan pulau dalam
makalah ini dengan pertimbangan kecamatan ini mempunyai wilayah pulau yang

terluar dan menjadi bagian dari Kepulauan Spermonde. Kecamatan Ujung Tanah
terdiri atas 12 kelurahan dimana 3 diantaranya terletak di daerah kepulauan.
Kelurahan di daerah daratan adalah:
1. Kelurahan Ujung Tanah
2. Kelurahan Tamalabba
3. Kelurahan Tabaringan
4. Kelurahan Totaka
5. Kelurahan Pattingalloang
6. Kelurahan Gusung
7. Kelurahan Pattingalloang Baru
8. Kelurahan Camba Berua
9. Kelurahan Cambaya
Adapun 3 kelurahan di daerah kepulauan adalah:
1. Kelurahan Kondingareng
2. Kelurahan Barang Caddi
3. Kelurahan Barang Lompo
Kelurahan Kodingareng mempunyai 2 pulau terpisah yang menjadi wilayah dusun
yaitu Pulau Kondingareng Keke dan Pulau Kodingareng Caddi. Demikian halnya
dengan Kelurahan Barang Caddi juga terdiri atas beberapa pulau atau wilayah
dusun yaitu Pulau Langkae, Pulau Lanjukang, Pulau Lumu-lumu, Pulau Bone

Tambung dan Pulau Barang Caddi sendiri. Sementara Kelurahan Barang Lompo
atau biasa dikenal Pulau Barrang Lompo hanya memiliki dusun di dalam wilayah
pulaunya sendiri.
Tabel 1
Jarak Kantor Kelurahan ke Kantor Camat Ujung Tanah pada Tahun 2008

Kelurahan

Jarak dari Kelurahan ke Ibu Kota Kecamatan
(Km)
1

1-2

3-4

5-10

>10

1. Kodingareng

-

-

-

-

2. Barang Caddi

-

-

-

-

3. Barang Lompo

-

-

-

-

4. Ujung Tanah

-





-

-

-




5

5. Tamalabba

-

6. Tabaringan

-

7. Totaka





-

-

-



-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-



8. Pattingalloang



9. Gusung



10. Pattingalloang Baru



11.Camba Berua
12.Cambaya



-

-

-

-

Kecamatan

6

3

0

0

3

Sumber: Kecamatan Ujung Tanah dalam Angka 2009 hlm 8

Pada Tabel 2 di bawah dapat dilihat bagaimana kondisi pendidikan dasar di
Kecamatan ini. Data jumlah sekolah dasar di atas terdiri atas SD negeri, inpres
(proyek instruksi presiden pada era Pemerintahan Soeharto), dan Madrasah
Ibtidayah (di bawah kordinasi Departemen Agama Republik Indonesia). Di wilayah
daratan terdapat satu kelurahan yang tidak memiliki fasilitas SD namun jarak ke SD
di kelurahan lain dapat diakses dengan kendaraan motor atau sepeda dengan mudah.
Jumlah kelas di suatu sekolah ada yang lebih dari 6 kelas persekolah, hal ini berarti
terdapat satu sekolah yang memiliki kelas yang lebih dari satu ruang kelas.
Umumnya kondisi ini terjadi di kelas 1 dimana jumlah anak yang mendaftar cukup
banyak sehingga harus dibagi ke ruang kelas lain. Namun tidak selamanya anak di
kelas 1 tersebut lanjut hingga ke kelas 6 atau tingkat terakhir. Jumlah guru di Tabel
2 terdiri atas guru tetap dan guru kontrak.
Tabel 2
Jumlah Sekolah, Kelas, Murid, dan Guru pada Tingkat Sekolah Dasar Negeri di
Kecamatan Ujung Tanah di Tahun 2008
Kelurahan

Sekolah

Kelas

Murid

Guru

1. Kodingareng

1

15

653

16

2. Barang Caddi

3

18

623

27

3. Barang Lompo

1

8

358

1

4. Ujung Tanah

2

12

227

18

5. Tamalabba

1

6

123

14

6. Tabaringan

1

6

82

4

7. Totaka

2

21

756

41

6

8. Pattingalloang

2

12

440

18

9. Gusung

2

12

292

16

10. Pattingalloang Baru

2

12

769

27

11.Camba Berua

0

0

0

0

12.Cambaya

2

20

754

21

Kecamatan

19

154

4.797

202

Sumber: Kecamatan Ujung Tanah dalam Angka 2009, hlm 36-38

Penulis akan fokus pada 3 kelurahan di daerah kepulauan dari 12 kelurahan di
Kecamatan Ujung Tanah untuk menganalisis penyelenggaraan pelayanan publik,
yaitu Kelurahan Barang Caddi, Kelurahan Barang Lompo dan Kelurahan
Kodingareng. Pada sektor pendidikan, ketiga kelurahan ini memiliki 4 gedung SD
dengan 1.634 murid, 1 gedung SMTP dengan 128 murid. Namun, kelurahan ini
tidak memiliki taman kanak-kanak dan sekolah tingkat menengah tingkat atas
(SMTA) atau sederajat. Pada Tabel 2 terlihat di ketiga Pulau Kodingareng, Pulau
Barang Caddi dan Pulau Barang Lompo mempunyai 5 gedung SD dengan jumlah
kelas dan guru yang beragam sesuai kondisi wilayah. Khusus di Barang Lompo,
menurut data BPS hanya terdapat satu orang guru yang mengajar 8 kelas dan 358
murid. Namun dari hasil wawancara dengan Muhammad Neil jumlah guru di
Barang Lompo cukup banyak. Hal ini didukung oleh Hamsah yang menyatakan
bahwa jumlah guru di setiap pulau sebenarnya cukup hanya saja sebagian besar
guru yang ada adalah guru honorer atau non defenitif. Meskipun setiap pulau ada
guru yang pengangkatannya sebagai pengawai negeri sipil (PNS) ditempatkan di
pulau-pulau tertentu. Namun guru-guru tersebut hanya akan mengajar di pulau
maksimal 2 minggu dalam sebulan karena mereka bukan penduduk di pulau
tersebut. Untuk itu aktivitas belajar mengajar banyak dilakukan oleh guru-guru
honorer atau non PNS yang memang penduduk pulau setempat. Hamsah
menambahkan bahwa kondisi yang paling memprihatinkan adalah di Pulau Bone
Tambung, Kelurahan Barang Caddi. Sekolah di Pulau ini hanya mempunyai 4 guru,
2 guru honorer dan sisanya guru PNS yang sangat jarang datang mengajar di Pulau.
Selain itu, jumlah ruang kelas juga tidak memenuhi kapasitas murid. Kondisi ini
kemudian membuat guru melakukan penggabungan kelas, dimana kelas 1 dan kelas
2 digabung, kelas 3 dan kelas 4 digabung dan kelas 5 dan kelas 6 digabung.
Langkah ini dipandang sebagai solusi atas keterbatasan jumlah guru dan ruang
kelas. Hamsah secara pribadi merasa sangat prihatin dengan kondisi pendidikan di
Pulau Bone Tambung ini. Dia menambahkan, kondisi lokasi sekolah sangat
memungkinkan untuk dibangun ruang kelas baru namun pihak sekolah tidak dapat
membangun ruang kelas karena kendala biaya. Sementara, bantuan dari masyarakat
juga tidak dapat diharapkan dengan kondisi masyarakat pulau yang kurang
sejahtera.
Untuk pelayanan publik di sektor kesehatan di Kecamatan Ujung Tanah didukung
oleh sejumlah fasilitas gedung seperti yang tergambar di Tabel 3 di bawah. Untuk 3
kelurahan di pulau Spermonde, fasilitas kesehatan yang ada adalah puskesmas
pembantu dan pos yandu. Kelurahan Barang Caddi memiliki 4 puskesmas pembantu
yang tersebar di setiap pulau atau dusun di sekitarnya.
7

Tabel 3
Jumlah Fasilitas Kesehatan Menurut Jenisnya Tiap Kelurahan di Kecamatan Ujung
Tanah di Tahun 2008
Kelurahan

Rumah
Sakit

Puskesmas

Pustu

BKIA

Rumah
Bersalin

Pos
Yandu

1. Kodingareng

0

0

1

0

0

6

2. Barang Caddi

0

0

4

0

0

5

3. Barang Lompo

0

0

1

0

0

4

4. Ujung Tanah

0

0

0

1

0

2

5. Tamalabba

1

0

0

1

0

4

6. Tabaringan

0

1

0

0

0

5

7. Totaka

0

0

0

0

1

4

8. Pattingalloang

0

0

1

0

0

5

9. Gusung

0

0

0

1

1

3

10.
Pattingalloang
Baru

0

1

0

1

0

11.Camba Berua

0

0

0

0

0

4

12.Cambaya

0

0

1

0

0

5

Kecamatan

1

2

8

4

3

50

3

Sumber: Kecamatan Ujung Tanah dalam Angka 2009, hlm 45

Fasilitas kesehatan di ketiga kelurahan daerah kepulauan didukung oleh puskesmas
pembantu di setiap kelurahan. Hamsah menambahkan bahwa puskesmas pembantu
di Pulau Barang Lompo saat ini sudah berubah menjadi puskesmas dan memiliki
dokter umum. Sehingga semua kasus-kasus gangguan kesehatan atau kecelakaan
yang dialami masyarakat dan membutuhkan tindakan yang khusus di ketiga
kelurahan ini akan dibawa ke puskesmas di Pulau Barang Caddi. Khusus di
Kelurahan Barang Caddi, hampir setiap pulau atau dusun mempunyai puskesmas
pembantu kecuali pulau Lanjukang karena jarak dengan Pulau Langkae yang
terdapat puskesmas pembantu tidak begitu jauh. Hamsah juga menjelaskan bahwa
di semua puskesmas pembantu terdapat mantri dan perawat. Namun, hampir sama
dengan kasus di pendidikan, hampir semua perawat tidak selamanya bertugas secara
penuh di pulau. Mereka biasanya lebih sering pulang di rumahnya di daratan utama
8

dibandingkan tinggal di daerah tugasnya.
Muhammad Neil dan Hamsah menginformasikan bahwa salah satu pulau di
Kelurahan Barang Caddi yaitu Pulau Lumu-Lumu, pernah menjadi daerah endemik
penyakit kusta. Kondisi ini terjadi ketika Rumah Sakit Kusta di Kota Makassar
direnovasi dan beberapa pasien diungsikan di Pulau tersebut sekitar tahun 1980an.
Karena lingkungan yang kurang sehat dan penanganan yang kurang serius, penyakit
kusta ini kemudian menyebar ke penduduk yang sebelumnya sudah bermukim di
Pulau tersebut. Namun, oleh Hamsah dijelaskan bahwa saat ini kondisi ini sudah
mulai membaik setelah Dinas Kesehatan Kota Makassar yang bekerjasama dengan
World Health Organization (WHO) melakukan program pengobatan dan
pencegahan penularan sejak tahun 2000an ini. Meskipun demikian, beberapa
penduduk yang mengidap penyakit kusta masih saja ada namun penyebarannya
tidak separah seperti yang terjadi sebelumnya.
2. Kabupaten Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan)
Kabupaten Pangkep terletak di pantai barat Sulawesi Selatan yang berjarak 51 km
dari kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan serta memiliki luas wilayah
1.112,29 km2 dan berpenduduk 302.874 jiwa pada tahun 2007(BPS Pangkep,2008;
30). Pangkajene adalah ibukota Kabupaten Pangkep dan menjadi pusat pelayanan
pemerintahan dimana Bupati dan Wakil Bupati serta 30 anggota DPRD Kab.
Pangkep berkantor.
Kabupaten Pangkep terdiri atas 12 kecamatan, 9 kecamatan di daratan dan 3
kecamatan terletak di kepulauan (Ibid; xxvii). Dari 12 kecamatan tersebut terdiri
atas 37 kelurahan yang dipimpin oleh lurah dan ditunjuk oleh Bupati dan 65 desa
yang dipimpin oleh kepala desa yang dipilih oleh warga desa masing-masing
dengan masa jabatan 5 tahun. Adapun 9 kecamatan yang berada di daratan adalah:
1. Kecamatan Pangkajene
2. Kecamatan Balocci
3. Kecamatan Bungoro
4. Kecamatan Labakkang
5. Kecamatan Ma’rang
6. Kecamatan Segeri
7. Kecamatan Minasate’ne
8. Kecamatan Tondong
9. Kecamatan Mandalle
Sedangkan 3 kecamatan di daerah kepulauan adalah:
1. Kecamatan Likuang Tangaya.
2. Kecamatan Liukan Kalmas.
3. Kecamatan Liukang Tupabbiring.
9

Pada sektor pendidikan, Kabupaten Pangkep memiliki taman kanak-kanak (TK)
sebanyak 52 buah dengan 2.325 murid, sekolah dasar (SD) dengan 42.140 murid,
SLTP 42 buah dengan 10.899 murid, dan SLTA 22 buah dengan 7.039 murid (Ibid;
xxviii). Sarana pendidikan ini didukung oleh 249 guru TK, 3.039 guru tingkat SD,
821 guru tingkat SLTP dan 190 guru tingkat SLTA (Ibid; 55, 59, 61).
Di sektor kesehatan, Kabupaten Pangkep memiliki sarana kesehatan yang terdiri
atas sebuah rumah sakit, 19 buah puskesmas, 302 posyandu. Sarana kesehatan ini
didukung oleh 764 tenaga medis yang terdiri atas 59 dokter umum, 24 dokter gigi,
133 bidan, 310 paramedis perawat, 170 paramedis non perawat, dan sebanya 68 non
medis (Ibid; xxviii ).
Tabel 4
Jarak dari Ibukota Kecamatan dan Kabupaten Tiap Desa/Kelurahan Tahun 2007 di
Kecamatan Liukang Tangaya
Desa/Kelurahan

Jarak (KM) dari
Ibu Kota Kecamatan

Ibu Kota Kabupaten

1. Sabalana

174

291

2. Balobaloang

113

244

3. Sabaru

111

243

4. Sapuka

-

302

5. Tampaang

54

363

6. Sailus

96

463

7. Satager

113

574

8. Kapoposan Bali

132

594

9. Poleonro

100

500

Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 3

Dari tiga kecamatan di Kabupaten Pangkep yang berada di kepulauan, penulis akan
memilih Kecamatan Liukang Tangaya untuk dianalisis sebagai kasus
penyelenggaraan otonomi daerah di daerah kepulauan. Kecamatan ini menarik
dianalisis dengan pertimbangan geografis dimana memiliki jarak terjauh dari
ibukota kabupaten dengan menggunakan angkutan air atau perahu. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kecamatan Liukang Kalmas (salah satu kecamatan di Kab.
Pangkep) di sebelah Utara, Kabupaten Selayar di seblah Timur, Propinsi Nusa
Tenggara Barat di sebelah Selatan, dan Propinsi Jawa Timur (Pulau Madura) di
sebelah Barat (BPS Pangkep; x). Ibu kota Kecamatan Liukang Tangaya adalah
Sapuka dan terdiri atas 9 kelurahan/desa yang semuanya terletak jauh dari ibu kota
kabupaten sebagai pusat pemerintahan seperti yang terlihat di table di bawah.
Pada sektor pendidikan, Kec. Liukang Tangaya memiliki sarana berupa sebuah TK,
1
0

27 buah gedung SD dengan jumlah murid 2.652 orang dan sebuah gedung SLTP
yang memiliki 5 kelas dengan murid sebanyak 128 orang dan sebuah gedung SLTA
dengan 3 kelas dan 73 murid. Satu-satunya gedung TK,SLTP dan SLTA hanya
berlokasi di Sapuka atau ibukota kecamatan. Sarana ini didukung oleh 115 guru
tingkat SD, 5 guru tingkat SLTP dan 4 orang guru di tingkat SLTA (Ibid; 18,19,20).
Tabel 5
Banyaknya Sekolah Dasar (SD) Negeri Menurut Kelas, Murid, dan Guru tiap
Desa/Kelurahan Tahun 2007
Desa/Kelurahan

Sekolah

Kelas

Murid

Guru

1. Sabalana

6

36

449

21

2. Balobaloang

5

30

445

23

3. Sabaru

1

6

120

6

4. Sapuka

4

24

559

26

5. Tampaang

4

24

217

10

6. Sailus

4

24

383

15

7. Satager

1

6

146

8

8. Kapoposan Bali

1

6

101

3

9. Poleonro

1

6

148

3

Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 19

Pada tabel 5 di atas terdeskripsi dengan jelas bagaimana kondisi pendidikan di
Kecamatan Liukang Tangaya. Pada tingkat pendidikan dasar atau SD, kondisi yang
sangat memprihatinkan adalah di Pulau Poleonro dan Pulau Kapoposan Bali dimana
kedua desa ini hanya mempunyai 3 guru untuk mengajar lebih dari seratus murid
dengan 6 kelas. Jumlah guru di daerah kepulauan selalu menjadi permasalahan sejak
dahulu hingga saat ini. Andi Aco Parenrengi menambahkan bahwa guru yang
ditempatkan di daerah pulau selalu meninggalkan pulau sehingga aktivitas belajar
mengajar anak-anak tidak terselenggara dengan baik. Bahkan kadangkala aktivitas
belajar mengajar dipersingkat agar guru bisa kembali ke daerah asalnya sewaktuwaktu. Untuk itu, biasanya warga pulau yang memiliki pendidikan yang cukup tinggi
(tammatan Perguruan Tinggi) biasanya menjadi guru honorer untuk membantu
penyelenggaraan proses belajar mengajar di pulau. Meskipun guru tersebut bukan
tammatan pendidikan pengajaran. H. Muhtar mengiyakan kondisi ini dan menyatakan
bahwa kondisi belajar mengajar di pulau-pulau yang letak amat jauh kadangkalan
tidak terselenggara karena tidak adanya guru.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan hanya sebuah SLTP di kecamatan ini yang
diharapkan dapat mengfasilitasi ratusan tamatan SD dari 8 pulau. Jarak antara pulau
dengan Pulau Sapuka dimana gedung SLTP berada juga berkontribusi pada rendahnya
angka partisipasi sekolah tingkat SLTP di kecamatan ini (lihat Tabel 4). Kondisi ini
kemudian berimplikasi pada gagalnya implementasi kebijakan pendidikan dasar 9
1
1

tahun bagi penduduk usia pendidikan dasar di kecamatan ini. Fenomena ini tergambar
jelas di Tabel 6 dibawah dimana tercatat jumlah penduduk yang tidak tamat SD
adalah 4.040, hanya 201 penduduk yang tamat SLTP dan 124 yang tamat SLTA dari
17.235 penduduk Kecamatan Liukang Tangayapada tahun 2007. Ironisnya angka
putus sekolah di tingkat SD yang tertinggi justru di Pulau Sapuka dimana terdapat 4
SD dibandingkan dengan Pulau Kapoposan Bali dan Pulau Poleonro. Sebagai ibukota
kecamatan yang juga menjadi pusat aktivitas sosial dan ekonomi, Pulau Sapuka
menjadi magnet migrasi bagi penduduk 8 pulau sekitarnya. Sehingga kepadatan
penduduk di Pulau Sapuka lebih tinggi dibandingkan di pulau-pulau lainnya. Hal ini
bisa menjelaskan untuk sementara salah satu sebab angka penduduk tidak tamat SD
tertinggi di Pulau Sapuka. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa penduduk pulau ini
kemungkinan beranggapan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi tidak terlalu
dibutuhkan untuk mendapat hidup layak di masa depan. Fenomena ini diamini oleh
Andi Aco Parenrengi yang mengatakan bahwa dukungan orang tua agar anak-anak
bersekolah masih cukup rendah. Meskipun hal ini sudah agak mulai berubah,
khususnya di pulau-pulau kota kecataman. Namun di pulau-pulau yang terpencil,
kondisi ini masih cukup tinggi. Anak-anak lebih diharapkan dapat membantu orang
tua ketika pergi melaut atau mengolah hasil tangkapan.
Tabel 6
Banyaknya Penduduk Menurut Status Pendidikan tiap Desa/Kelurahan Tahun 2007
Status Pendidikan
Desa/Kelurahan

Tidak Tamat
SD

Tamat SD

Tamat
SLTP

Tamat SLTA

1. Sabalana

596

50

27

3

2. Balobaloang

555

50

26

7

3. Sabaru

198

10

11

4

4. Sapuka

901

69

32

41

5. Tampaang

328

45

19

16

6. Sailus

551

50

21

21

7. Satager

115

10

15

2

8. Kapoposan Bali

229

10

8

5

9. Poleonro

174

11

5

4

4.040

320

201

124

JUMLAH

Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 19

Pada sektor kesehatan, Kecamatan Liukang Tangaya mempunyai beberapa sarana
kesehatan seperti yang terlihat di Tabel 7. Puskesmas sebagai sarana kesehatan hanya
terdapat di Pulau Sapuka dan Pulau Sailus dibantu dengan Puskesmas Pembantu
(Pustu) di setiap pulau atau desa. Pos Yandu sebagai sarana kesehatan bagi pelayanan
1
2

kesehatan ibu dan anak juga terdapat di setiap pulau dengan jumlah yang beragam
sesuai dengan jumlah rumah tangga di setiap pulau.
Tabel 7
Banyaknya Sarana Kesehatan Tiap Desa/Kelurahan Tahun 2007
Desa/Kelurahan

RS

Puskesmas

Pustu

Pos Yandu

1. Sabalana

0

0

1

5

2. Balobaloang

0

0

1

5

3. Sabaru

0

0

1

2

4. Sapuka

0

1

0

6

5. Tampaang

0

0

1

4

6. Sailus

0

1

1

4

7. Satager

0

0

1

2

8.
Bali

0

0

1

2

0

0

1

1

Kapoposan

9. Poleonro

Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 22

Sarana kesehatan di atas didukung oleh sejumlah tenaga medis seperti di Tabel 8.
Kecamatan ini hanya mempunyai 2 dokter yang bertugas di setiap puskesmas dibantu
oleh 23 paramedis yang bertugas di baik di puskesmas maupun di puskesmas
pembantu. Jumlah dukun/dukun beranak yang diharapkan turut membantu upaya
pelayanan kesehatan di kecamatan ini justru memiliki jumlah yang lebih banyak
dibandingkan dengan tenaga medis lainnya. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh
hampir semua tenaga medis yang ada di kecamatan ini berasal dari luar daerah ini
sedangkan semua dukun/dukun beranak adalah penduduk asli daerah ini.

Tabel 8
Banyaknya Tenaga Medis dan Non Medis Tiap Desa/Kelurahan Tahun 2007
Desa/Kelurahan

Dokter

Paramedis

Dukun/Dukun Bayi

1. Sabalana

0

2

8

2. Balobaloang

0

2

5

3. Sabaru

0

1

3

1
3

4. Sapuka

1

10

7

5. Tampaang

0

2

4

6. Sailus

1

3

6

7. Satager

0

1

4

8. Kapoposan Bali

0

1

2

9. Poleonro

0

1

2

2

23

43

Jumlah

Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 23

Pelayanan kesehatan di Kecamatan Liukang Tangaya maupun di kecamatan lain di
daerah kepulauan Kab. Pangkep hanya berfokus di daerah ibu kota kecamatan saja
dimana Puskesmas terletak, demikian kata Andi Aco Parenrengi. Atau dengan kata
lain, pelayanan kesehatan hanya focus dalam satu pulau. Perawat atau tenaga medis di
puskesmas pembantu di pulau-pulau yang bukan ibu kota kecamatan kadangkala tidak
bertugas sepenuhnya. Mereka seringkali hanya melakukan tugasnya di pulau dalam
waktu yang sangat singkat. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat mendapatkan
layanan kesehatan dari dukun. Khusus dalam hal persalinan, karena kondisi fasilitas
kesehatan dan tenaga medis yang tidak mendukung serta budaya masyarakat
setempat maka masyarakat merasa lebih aman ke dukun beranak. H.Muhtar juga
menambahkan bahwa perawat atau tenaga medis di puskesmas pembantu di pulaupulau luar kadangkala tidak bertugas secara rutin setiap hari. Sehingga pelayanan
kesehatan masyarakat pulau setempat tidak terselenggara dengan baik.
C. Penutup
Penyelenggaraan pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan pada kasus di
kedua kecamatan di atas menunjukkan ketimpangan cukup jauh di daerah kepulauan
dan daerah daratan utama. Kedua kasus memiliki masalah yang sama yaitu jumlah
dan kualitas sumber daya manusia dan fasilitas gedung yang jauh dari jumlah yang
ideal.
Sumber daya di bidang pendidikan misalnya, terlihat ratio guru terhadap murid sangat
rendah sehingga kualitas proses belajar mengajar tentu akan berdampak negatif.
Demikian halnya waktu pengajaran yang selalu tidak memenuhi jadwal yang
seharusnya. Belum lagi dengan penggabungan kelas agar semua murid bisa belajar
dan diajar karena jumlah kelas dan guru yang kurang. Partisipasi masyarakat dengan
menjadi guru honorer atau sukarela menjadi sebuah upaya luar biasa untuk mengatasi
kesenjangan ini, minimal untuk sementara. Upaya mereka selayaknya dihargai dengan
perekrutan para guru honorer menjadi PNS. Namun harapan para guru honorer untuk
diangkat menjadi pegawai negeri sipil seringkali hanya menjadi mimpi di kemudian
hari. Karena kebijakan pengangkatan pegawai negeri sipil biasanya menjadi
komoditas elit politik lokal. Tidak heran kemudian ketika terjadi kericuhan di setiap
proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) hampir di setiap
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Gelombang demonstrasi sebagian besar
peserta tes CPNS sebagai bentuk protes karena proses perekrutan kerapkali tidak
1
4

transparan dan rentan dengan terjadinya kolusi dan nepotisme para pejabat dan elit
daerah. Selain itu para guru honorer di pulau terpencil harus mengeluarkan biaya yang
cukup besar untuk mengikuti tes CPNS di ibukota kabupaten. Kondisi-kondisi inilah
yang selalu menjadi kekhawatiran bagi para guru honorer yang juga warga setempat
pulau-pulau terpencil.
Selain itu, di kedua kecamatan ini hanya memiliki satu sekolah tingkat pertama yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kebijakan pendidikan dasar 9 tahun.
Jarak, daya tampung sekolah, jumlah guru kembali menjadi sebuah tantangan besar
bagi para anak-anak lulusan sekolah dasar di pulau-pulau terpencil. Maka menjadi
sangat rasional bagi mereka untuk kembali ke rumah dan membantu orang tua
dibandingkan pergi ke sekolah tapi tidak ada guru atau kelas tidak cukup. Belum lagi
dengan biaya sekolah seperti seragam, sepatu, dan buku teks serta biaya-biaya lain
yang mungkin bagi nelayan-nelayan pekerja atau sawi tidak dapat memenuhinya.
Kondisi ini terjadi sejak sebelum kebijakan otonomi daerah diterapkan hingga era
otonomi daerah saat ini.
Pelayanan publik di sektor kesehatan pun tidak jauh beda dengan sektor pendidikan.
Jumlah tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan di pulau-pulau kecil atau
bukan ibu kota kecamatan masih jauh dari jumlah dan kualitas yang ideal. Bahkan di
Kota Makassar yang juga ibu kota propinsi pun belum dapat menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang memadai di daerah kepulauan. Benar apa yang dikatakan
Andi Aco Parenrengi bahwa pelayanan kesehatan hanya fokus pada satu pulau dan
tidak dirasakan oleh masyarakat pulau-pulau sekitarnya. Mereka harus menyiapkan
biaya lebih besar –khususnya biaya transportasi- jika ingin mendapatkan pelayanan
medis yang lebih baik. Padahal mereka sudah membayar pajak kepada negara yang
sebaiknya menyediakan pelayanan medis yang mereka harapkan dengan mudah dan
layak. Dan sekali lagi, kondisi ini telah terjadi sejak dulu hingga kebijakan otonomi
daerah yang spiritnya untuk semakin meningkatkan kualitas pelayanan publik ke
masyarakat. Andi Aco Parenrengi mengatakan bahwa hanya satu kemajuan yang
dahulu terjadi namun saat ini sudah tidak ditemukan lagi yaitu tidak ada lagi mantri
(tenaga medis) yang merangkap guru atau guru yang merangkap mantri di pulaupulau terpencil.
Untuk mengurangi kesenjangan ini maka penulis mengajukan tiga rekomendasi yang
berdasarkan periode implementasinya, yaitu:
A. Rekomendasi jangka panjang:
- Kebijakan khusus pemerintahan pulau dengan sistem dan majanemen yang khas
dengan kondisi sosial politik masyarakat pulau.
- Skema kebijakan penganggaran khusus bagi peningkatan kualitas pelayanan
publik di sektor pendidikan dan kesehatan di pulau-pulau terpencil dan
melibatkan stakeholder lokal dalam proses pengawasan impelementasi program
kemudian.
B. Rekomendasi Jangka Menengah:
- Pemberian beasiswa khusus bagi para penduduk pulau terpencil untuk
melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di bidang pendidikan dan kesehatan.
- Perekrutan CPNS diprioritaskan bagi para guru honorer dan tenaga medis
1
5

honorer yang penduduk di pulau terpencil atau yang telah mengabdi lama di
pulau-pulau terpencil.
B. Rekomendasi Jangka Pendek:
- Pengadaan perahu pelayanan publik antar pulau oleh pemerintah kabupaten/kota
yang memiliki pulau terpencil yang bertujuan melayani masyarakat khususnya di
bidang pendidikan dan kesehatan.
D. Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik, 2008, Kota Makassar dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik
Kota Makassar, Makassar.
……………………..., 2009, Kecamatan Ujung Tanah dalam Angka 2008 , Badan
Pusat Statistik Kota Makassar, Makassar.
Badan Pusat Statistik, 2008, Kabupaten Pangkep dalam Angka 2008, Badan Pusat
Statistik Kabupaten Pangkep, Pangkep.
……………………..., 2008, Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008 , Badan
Pusat Statistik Kabupaten Pangkep, Pangkep.
Cheema, J. Shabbir dan Rondinelli, Dennis.A, 2007, Decentralizing Governance;
Emerging Concepts and Practices, Brooking Institution Press,
Washington DC.
Fengler, Wolfgang dan Hofman, Bert, 2010, Managing Indonesia’s Rapid
Decentralization: Achievement and Challenges, salah satu tulisan dari
Ichimura, Shinici dan Bahl, Roy (editor), Decentralization Policies in
Asian Development, World Scientific, Singapura.
Jompa, Jamaluddin, Moka, Willem, Yanuarita, Dewi, 2005, Kondisi Ekosistem
Kepulauan Spermonde; Keterkaitannya dengan Pemanfaatan
Sumberdaya Laut di Kepulauan Spermonde, Divisi Kelautan Pusat
Kegiatan Penelitian, Universitas Hasanuddin
Sadi, Haliadi, 2007, Kearifan dari Spermonde , salah satu tulisan dari Susanto .S.J,
Budi (editor), Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia , Kanisius,
Yogyakarta.
Informan:
- Andi Aco Parenrengi, warga Pulau Liukang Kalmas, Kab. Pangkep yang aktif di
organisasi pemuda di Kecamatan Liukang Kalmas, Kab.Pangkep. Wawancara
dengan telepon pada tanggal 2 Juli 2010.
- Hamsah, penduduk asli di Pulau Barang Caddi, Makassar yang berprofesi nelayan
dan pengusaha transportasi laut. Wawancara dengan telepon pada tanggal 1 Juli
2010.
- H. Muhtar, warga Kecamatan Liukang Tangaya, Kab. Pangkep yang berprofesi
1
6

pengusaha perikanan. Wawancara dengan telepon pada tanggal 2 Juli 2010
- Muhammad Neil, staf pengajar di Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin
yang sejak tahun 1990 aktif melakukan penelitian antropologi maritim di
Kepulauan Spermonde. Wawancara langsung (face to face ) pada tanggal 29 Juni
2010.

1
7

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24