Pendidikan Multikultural Perspektif Isla. docx

Bab 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Allah berfirman: “Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling kenal-mengenal” (QS al-Hujurat: 13). Ayat ini memberikan pemahaman kepada
kita bahwa Allah menciptakan manusia dari dua hal yang berbeda, yaitu laki-laki dan
perempuan. Kemudian melahirkan keturunan yang berbeda-beda pula. Keberbedaan
menjadikan manusia mampu membentuk suku-suku menjadi bangsa yang berbeda-beda.
Keragaman etnis dan ras merupakan suatu karunia dari Sang Pencipta agar kita
senantiasa selalu bersyukur kepada-Nya. Walaupun berbeda, manusia tetap sama ingin hidup
dengan segala kebutuhan. Oleh karena itu, manusia saling membutuhkan satu sama lain agar
tercapai apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, kelemahan dan kekurangan akan
ditukar dengan kekuatan dan keunggulan.
Sebagaimana negara Indonesia yang terkenal dengan berbagai macam budaya, ras,
dan etnis. Hal ini dapat mempengaruhi sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia agar
tercipta dan tercapainya integrasi bangsa dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan
politik.

B.

1.
2.
3.
4.

RUMUSAN MASALAH
Pengertian pendidikan multikultural
Landasan ideologi pendidikan multikultural
Pendekatan pendidikan multikultural
Prinsip pengajaran dalam proses pendidikan

Bab 2

1

PEMBAHASAN

Ainul Yaqin memaparkan istilah multikultural berasal dari kata kultur, yaitu budaya
dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu. Dimana multi memiliki arti banyak
ragam, dan aneka. Sedangkan kata dasar kultur memiliki arti kebudayaan, kesopanan, atau

pemeliharaan. Dengan demikian, multikultur berarti keragaman budaya, aneka kesopanan,
atau banyak pemeliharaan.
Namun dalam pendidikan multikultur selalu muncul kata kunci kultural, pluralitas,
dan pendidikan. Pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala perbedaan dan keragaman,
sedangkan kultur itu sendiri tidak lepas dari empat tema penting yaitu aliran (agama), ras
(etnis), suku, dan budaya. Inilah yang menjadi ciri khas pendidikan multikultur.
Istilah pendidikan multikultural secara etimologis terdiri atas pendidikan dan
multikultural. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasan
belajar agar peserta belajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Anonimius, 2003: 5).
Untuk dapat memahami arti kultur dalam pendidikan multikultural yaitu dengan cara
membangun pemahaman tentang karakteristik kultur dan wilayah kultur. Karakteristik kultur
antara lain kultur sebagai sesuatu yang general sekaligus spesifik, kultur sebagai sesuatu yang
dipelajari, kultur sebagai simbol, kultur sebagai pembentuk dan pelengkap sesuatu yang
alami, kultur sebagai sesuatu yang dilakukan bersama-sama sebagai atribut bagi individu dari
kelompok lain, kultur sebagia suatu model, dan kultur sebagai sesuatu yang bersifat adaptif.
Adapun penjelasan wilayah kultur menurut Ainul Yaqin bahwa wilayah kultur terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu kultur nasional, internasional, dan sub-kultur.
Pertama, kultur nasional berbentuk aneka macam pengalaman, sifat, dan nilai-nilai

yang dipakai oleh semua warga negara yang berada dalam suatu negara.
Kedua, kultur internasional berbentuk dari tradisi kultur yang meluas melampaui
batas-batas wilayah nasional sebuah negara melalui proses penyebaran, yaitu sebuah proses

2

penggabungan antar dua kultur atau lebih melalui beberapa cara seperti perkawinan, migrasi,
media massa atau bahkan melalui film.
Ketiga, sub-kultural sebagai sebuah perbedaan karakterisik kultur dalam suatu
kelompok masyarakat.
Karakteristik pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan seluruh
potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi
keragaman budaya, etnis, suku, dan agama.

A. LANDASAN IDEOLOGI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Ideologi

pendidikan

merupakan


sebuah

nilai

landasan

ideal

yang

harus

diimplemetasikan di seluruh aktivitas pendidikan. Landasan ideal yang dimaksudkan adalah
landasan yang masih bersifat abstrak yang mendasari seluruh gerak langkah pendidikan.
Landasan ini pula menjadi tolak ukur serta standar nilai yang harus diperhatikan dan
dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan landasan ideal yang diyakini sebagai kebenaran.
Menurut Ainurrofiq Dawam ideologi pendidikan multikultur antara lain yaitu ideologi
theisme, humanisme, sosialisme, dan kapitalisme.
1. Ideologi Theisme

Ideologi ini merupakan ideologi pendidikan yang mendasarkan diri pada nilai-nilai
yang ditentukan oleh Tuhan, yang mencakup nilai yang memuat tentang larangan,
kebolehan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Selain itu, nilai-nilai tersebut
menyangkut masalah keyakinan, kepercayaan, keimanan, dan aspek pemikiran,
perkataan, ketundukan, penyerahan diri, dan harapan. Nilai-nilai dasar ideologi ini
mewajibkan kepada pemeluknya untuk menumbuhkan kesadaran yang medalam
terhadap seluruh aspek nilai tersebut ke dalam segmentasi kehidupan sehari-hari.
2. Ideologi Humanisme
Ideologi ini merupakan ideologi pendidikan yang mendasarkan diri pada nilai-nilai
kemanusiaan, yang berasal dari hati nurani manusia ketika berinteraksi dengan
dirinya, orang lain, alam semesta, dan kepada Tuhannya. Nilai-nilai ini
kemunculannya didasarkan pada berbagai interaksi personal, psikologikal, sosial, dan
interaksi komunal yang dimulai dari tingkatan lokal, regional, sampai internasional.
Kemudian nilai-nilai ini akan memacarkan hubungan harmonis kepada Tuhan,
3

perlakuan diri, membangun hubungan dengan sesama secara bijak, dan menempatkan
alam sebagai bagian dirinya.
3. Ideologi Sosialisme
Ideologi ini merupakan ideologi pendidikan yang mendasarkan diri pada nilai-nilai

kebersamaan manusia. Ideologi ini mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hak
yang sama terhadap segala sesuatu. Hak yang sama berarti antara satu orang dengan
orang lain terhadap suatu benda atau kekayaan memiliki hak yang sama besar, sama
kualitas, dan sama manfaatnya. Ideologi ini tidak mengakui adanya keuntungan dan
kerugian. Ciri khas pada ideologi ini adalah homogenitas.
4. Ideologi Kapitalisme
Ideologi ini merupakan ideologi pendidikan yang mendasarkan diri pada nilai-nilai
kapital atau permodalan. Nilai yang dikembangkan pada ideologi ini adalah
persaingan tanpa batas. Ideologi ini melahirkan nilai-nilai yang mengagungkan
sesuatu yang bersifat kebendaan. Segala sesuatu dicari secara materi. Nilai-nilai
theisme, humanisme, dan sosialisme ditinggalkan untuk mencapai tujuan materi
semata. Sifat bawaan ideologi kapital ini mampu menciptakan karakter yang teliti,
disiplin, jujur, pemberani, tanggung jawab, dan berorientasi ke depan

untuk

kemajuan.
Namun disamping keempat idoelogi tersebut, terdapat satu ideologi yang ditawarkan
yaitu ideologi sirkularisme. Ideologi ini merupakan ideologi yang memberikan perhatian
terhadap hubungan yang setara antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan

manusia dengan Tuhannya, serta manusia dengan dirinya sendiri sebagai hubungan yang
saling terikat. Dengan ideologi pendidikan sirkularisme tersebut menghendaki pendidikan
yang dapat ‘memanusiakan manusia’ sesuai dengan nilai kemanusiaan. Tak hanya itu,
pendidikan sirkularisme ini menghendaki perlakuan segala sesuatu tepat pada hak-hak yang
melekat pada objeknya sehingga segala sesuatu yang ada di kehidupan terlihat asri dan
nyaman.

B. PENDEKATAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Sebagimana sebuah upaya dalam mencapai tujuan, maka pelaksanan pendidikan juga
memerlukan pendekatan-pendekatan yang memungkinkan dapat membantu pencapaian hasil

4

pendidikan tersebut. Pendekatan pendidikan dapat dirumuskan menjadi dua, yaitu pendekatan
reduksionisme dan pendekatan holistik integratif.
H.A.R. Tilaar menyebutkan bahwa pendekatan reduksional terbagi menjadi enam
bagian, yaitu: 1) Pedagogis; 2) Filosofis; 3) Religius; 4) Psikologis; 5) Negativis; dan 6)
Sosiologis.
Pertama, Pendekatan Pedagogis bertitik tolak dari pandangan bahwa anak akan
dibesarkan menjadi orang dewasa melalui pendidikan. Pandangan ini sangat menghormati

setiap tahap perkembangan anak menjadi dewasa.
Kedua, Pendekatan Filosofis menyatakan bahwa anak memiliki hakikatnya sendiri,
begitu pula dengan orang dewasa. Anak mempunyai nilai sendiri yang akan berkembang
menuju pada nilai-nilai seperti orang dewasa.

Pandangan ini melahirkan suatu ilmu

pendidikan yang melihat hakikat anak sebagai titik tolak proses pendidikan.
Ketiga, Pendekatan Religius membawa peserta belajar menjadi manusia yang sesuai
nilai dan moral dalam agama. Pendidikan ini menekankan kepada peserta belajar untuk
mempersiapkan dirinya di kehidupan akhirat kelak. Peserta belajar memiliki kepercayaan dan
keyakinan, ketundukan, penyerahan dan harapan kepada Tuhan. Maka pendidikan agama
menjadi ciri khas dan pusat dalam proses pendidikan.
Keempat, Pendekatan Psikologis memacu pada masuknya psikologi ke dalam bidang
ilmu pendidikan. Pendekatan ini cenderung mereduksi ilmu pendidikan menjadi ilmu proses
belajar mengajar.
Kelima, Pendekatan Negativis menyatakan bahwa (1) Tugas pengajar ialah menjaga
pertumbuhan anak, dan menyingkirkan berbagai hal yang dapat merusaknya. (2) Pendidikan
sebagai usaha mengembangkan kepribadian peserta belajar atau membudayakan individu.
Pendidikan bertugas untuk memagari perkembangan kepribadian peserta belajar dari hal-hal

yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat.
Keenam, Pendekatan Sosiologis yang memprioritaskan kepada kebutuhan masyarakat.
Pendekatan ini meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama dalam
masyarakat. Pendekatan ini mengutamakan kebersamaan, gotong royong, dan seragam antar
anggota masyarakat tanpa dominasi dan diskriminasi. Dalam pendekatan ini, peserta belajar

5

dipersiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik sesuai tata nilai yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat tersebut.
Adapun pendekatan Holistik Integratif yang dikemukakan oleh A. Qodri Azizy. Beliau
menyatakan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dan kepentingan manusia yang tidak
pernah selesai. Kemudian proses pendidikan yang merupakan eksistensi manusia yang selalu
berarti bagi hubungan sesama manusia, baik yang dekat maupun dalam ruang lingkup yang
semakin luas. Dan bukan hanya sekedar dimensi lokal, tetapi juga berdimensi nasional dan
global. Setelah itu pendidikan tersebut membudaya menjadi nilai-nilai di kalangan
masyarakat. Nilai-nilai tersebut perlu dihayati, dilestarikan, dikembangkan, dimiliki, dan
dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakatnya serta dijunjung tinggi. Sehingga hal
tersebut menjadi pengikat dalam suatu tata kehidupan bersama dalam masyarakat. Dengan
adanya dimensi waktu, proses bermasyarakat dan membudayakan kebudayaan pendidikan

meliputi aspek-aspek historis, masa sekarang dan visi masa datang. Sehingga pendidikan pun
tak luput dari perkembangannya sesuai masa dan dapat menjadi mudah dipahami oleh
generasi yang akan datang.
Lain halnya menurut Maslikhah dalam bukunya diterangkan bahwa pendekatan dalam
proses pendidikan multikultural ada dua, yaitu melalui tata individu dan sosial. Tata individu
ini bermaksud untuk mengenal ciri manusia satu per satu. Dengan demikian, pengajar akan
mengetahui dan memahami tingkah laku seorang individu, bagaimana cara berfikirnya,
perasaannya, kemauannya, perbuatannya, sikapnya dan sebagainya maka akan mudah untuk
membentuk karakter yang diinginkan untuk mencapai apa yang diinginkan dalam proses
pendidikan multikultural. Sehingga

akhirnya individu tersebut dapat tumbuh dan

berkembang di lingkungan sosialnya, maka akan dapat dimengerti tingkah laku masyarakat
seluruhnya sampai pada tingkah laku negara (kepribadian nasional) dan akan mencapai
puncak tujuan negara yang menghormati antar ras dan suku. Adapun faktor yang
mempengaruhi dalam pendekatan individu, yaitu faktor intern berupa faktor biologis pada
tingkah laku manusia dan faktor ekstern berupa faktor psikologis pada tingkah laku manusia.

C. MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP MENGAJAR


6

Menanamkan pengetahuan kepada peserta belajar memang tidak mudah. Sebagaimana
yang disebutkan oleh Dr. Ahmad Tafsir bahwa sebaiknya para pengajar memiliki
pengetahuan dan kecakapan dengan cara yang cepat dan tepat. Sebagian dari teori mengajar
memiliki bagian prinsip. Dan prinsip-prinsip itu sendiri dibuat ketika para pengajar menyusun
lesson plan (perencanaan pengajaran).
1. Prinsip Pengulangan
Prinsip Pengulangan diterapkan untuk membantu menjaga keutuhan bahan pengajaran
dan penangkapan peserta belajar, ketika kegiatan yang menyangkut materi harus dihafal
secara mekanis, namun bukan berarti bahan-bahan yang menuntut pemahaman tidak
memerlukan pengulangan sama sekali, sebab pemahaman sesungguhnya tidak terlepas dari
ingatan.
2. Prinsip Kegembiraan
Pengajaran yang dilakukan dengan kegembiraan akan memperlambat kelelahan, baik
pada pihak pengajar maupun pihak pelajar. Pada segi lain, pengajaran yang diisi dengan
kegembiraan dapat membantu menjaga pemutusan perhatian. Pengajaran dengan bermain dan
pengajaran dengan bekerja dapat juga diartikan menerapkan prinsip ini. Mungkin dapat
dibuat sebuah teori: ‘semakin rendah pendidikan semakin banyak kegiatan pengajaran yang
harus dibuat dengan menerapkan prinsip kegembiraan’.
3. Prinsip Mengajar Peserta Didik Untuk Belajar
Prinsip ini merupakan prinsip yang sangat penting, prinsip ini menghendaki pengajar
mengutamakan tugasnya pada mengajarkan cara belajar dan mau belajar sendiri, bukan
mengajarkan bahan pengajaran. Menurut prinsip ini hakikat belajar dan mengajar ialah
melatih peserta belajar sendiri dan mau belajar sendiri. Sekolah didirikan agar para pengajar
dapat memberikan ‘senjata’ pada peserta belajarnya; yaitu senjata yang dapat digunakan
dalam menyelesaikan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.1 Kehidupan memang
selalu berkembang, sehingga ‘senjata’ yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik tidak
hanya didapatkan dari sekolah, mereka harus menyiapkan dirinya sendiri. Sehingga tugas
pengajar ialah mendorong atau memotivasi agar peserta didik mau belajar sendiri, dan
pengajar membantu cara-cara belajar sendiri.

1 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Hal 27

7

P
i
KPM
ugm
Pag
r
D

r

p

i

ee

e

la
e aa
t

i

a

n
ng

ab

j
s nn
d

s
n

ge

na i

e
i

r

r
k

a. Pengajaran hendaknya menarik minat
Peserta belajar akan mengikuti suatu pelajaran apabila pelajaran tersebut menarik
minat mereka. Sebagai seorang pengajar, hendaknya tidak memaksa kepada peserta belajar
untuk mengikuti pelajaran yang diajarkan. Kaidah ini sangat berpengaruh pada pengajaran
tingkat rendah, contohnya ketika seorang pengajar mengajar pada daerah yang terisolasi di
suatu daerah yang mencakup ruang lingkup nasional.
Maka pada suatu tahap awal proses mengajar, hendaklah dimulai dengan usaha
membangkitkan minat peserta belajar. Minat tersebut harus dijaga selama proses belajarmengajar berlangsung. Bila minat telah muncul, maka perhatian pasti akan mengikutinya.
Minat dan perhatian berjalan lurus, namun ketika suasana proses belajar tersebut ada
keributan dan kegaduhan, maka perhatian akan berkurang bahkan hilang sehingga minat
untuk melanjutkan pelajaran pun terhambat.
b. Partisipasi peserta belajar dalam kegiatan belajar-mengajar
Partisipasi yang dimaksud disini bukan hanya partisipasi yang berupa keaktifan
seorang peserta belajar atau pergerakan badaniah, namun juga termasuk ikut aktif secara akal
pikiran (menerima pelajaran) dan secara batin (ikhlas dalam mengikuti proses belajar).
Adapun prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam paradigma dan implementasi
pendidikan multikultural, yaitu:
8

Pertama, pemahaman utuh bahwa interaksi kita di dalam melakukan proses pembelajaran
sejatinya tidak selamanya dilaksanakan dengan peserta berlatar monokultul. Suatu hal yang
niscaya apabila di dalam suatu kelas berkumpul peserta belajar yang berasal dari latar
belakang budaya beragam. Bagaimanapun caranya, setiap manusia pasti mempertahankan
kebiasaan mereka masing-masing.
Kedua,

adanya

penghargaan

kepada

masing-masing

budaya

diharapkan

mampu

meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Penghargaan memunculkan motivasi dan inilah
yang akan memacu kualitas proses yang dimaksud.
Ketiga, kecerdasan memahami dan kesediaan menyesuaikan diri dalam menghadapi suatu
kondisi kelas dengan latar belakang budaya yang beragam. Setiap budaya yang dipertahankan
oleh peseta belajar akan berpengaruh pada gaya belajarnya. Maka mengenali dan memahami
secaar cerdas tentang karakter budaya peserta belajar adalah yang paling utama diperhatikan
dalam melakukan tindakan-tindakan di dalam kelas.
Keempat, pendidikan mutikultural dapat diintegrasikan ke dalam masing-masing mata
pembelajaran atau mata kuliah. Jangan ada anggapan bahwa pendidikan multikultural adalah
suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri.2

Bab 3
PENUTUP
2 julhasratman.blogspot.com/2012/04/paradigma-pendidikan-multikultural.html?m=1

9

KESIMPULAN
Istilah multi memiliki arti banyak, beraneka, dan keragaman, sedangkan kultur
(culture) memiliki arti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan. Maka multikulural
merupakan keragaman budaya, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun jika
diawali dengan kata pendidikan, memiliki arti suatu proses pembelajaran dalam suatu ruang
lingkup pluralitas dalam mencapai integrasi bangsa agar saling membantu dan saling
menghargai pendapat satu sama lain antar ras, suku, dan etnis.
Sebelum proses pembelajaran, pengajar pendidikan multikultural diharapkan
mengetahui landasan ideologi yang mencakup ruang lingkup tersebut serta menerapkan
prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif sehingga tercapailah tujuan.
Adapun dalam proses pembelajaran, perlu diketahui bahwa tugas pengajar adalah
memberikan motivasi kepada peserta belajar dan menjaganya, serta memberikan pemahaman
bahwa belajar merupakan mempersiapkan ‘senjata’ dalam menghadapi problema yang terjadi
dalam kehidupan. Hal ini dimaksudkan agar mencegah terjadinya konflik yang terjadi antar
ras, suku, atau pun etnis dalam suatu wilayah, serta memberikan solusi yang ideal ketika
terjadinya konflik diantara mereka.
Di lain sisi, pengajar harus dapat memberikan pemahaman kepada peserta belajar
bahwa untuk mempersiapkan ‘senjata’ tidak hanya di sekolah ataupun universitas, namun
dapat dipelajari dengan bersosialisasi bersama teman dari ras atau suku yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

10

Ahmadi, Dr. H. Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Maslikhah. 2007. Quo Vadis Pendidikan Multikultural. Surabaya: JP Books.
Tafsir, Dr. Ahmad. 2007. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
julhasratman.blogspot.com/2012/04/paradigma-pendidikan-multikultural.html?m=1

11