Teori Ekonomi Politik dan Konflik di Sek

TEORI EKONOMI POLITIK DAN
KONFLIK DI SEKTOR SUMBER DAYA ALAM

Oleh :
DR. ASRANI, SE, M.Si
(asrani_mgn@yahoo.com)

(Tulisan ini adalah salah satu bagian (Bab) dari Disertasi penulis berjudul
“Ekonomi Politik Sumber Daya Alam Indonesia pada Era Orde Baru. Studi
Kelangkaan Struktural dan Konflik di Provinsi Kalimantan Tengah)”.
Tahun 2004.

0

TEORI EKONOMI POLITIK DAN KONFLIK
DI SEKTOR SUMBER DAYA ALAM
Oleh : Dr. Asrani, SE, M.Si
Teori Ekonomi Politik
Manusia, sebagai individu maupun sebagai kelompok apabila dilihat dari
keputusannya mendayagunakan sumber daya ekonomi dapat dibagi menjadi dua,
yaitu : (1) sebagai pembeli (purchasers) atau sebagai penjual (sellers) dari barangbarang dan jasa melalui institusi pasar (market institution), (2) sebagai pembeli atau

sebagai penjual barang dan jasa melalui proses institusi politik (Buchanan, 1999).
Ilmu ekonomi yang diwakili oleh para ahlinya (ekonom) mengembangkan teori-teori
ekonomi sejak Adam Smith hingga sekarang ini semakin terkonsentrasi dan
terspesialisasi pada tataran institusi pasar (market institutions) dengan melihat
desentralisasi pengambilan keputusan pada hubungan saling ketergantungan untuk
mencapai keseimbangan antara sumber dan alokasi sehingga memperoleh hasil
yang maksimal. Studi tentang ekonomi politik menurut Schenk (1998), secara
historis tidak dapat dipisahkan dari buku karya Adam Smith The Wealth of Nations
yang diterbitkan pada tahun 1776 yang dalam perkembangannya telah mengilhami
sejumlah besar buku, pamplet dan artikel dalam rentang waktu 50 tahun terakhir ini.
Sebelumnya buku-buku yang ditulis hanyalah berkisar pada tema-tema tentang
politik dan filsafat. Dalam kenyataannya buku tersebut menjadi referensi utama oleh
sejumlah ahli dalam periode selanjutnya. Salah satu konsep yang paling banyak
diperdebatkan

adalah

konsep

tangan


1

tak

nampak

(invisible

hand)

yang

dikonsepsilan oleh Adam Smith, meskipun konsep tersebut hanya disebut sekali
dalam bukunya (Schenk,1998).
Konsep-konsep yang dibuat oleh Smith, dikembangkan lebih lanjut oleh para
penerusnya. Beberapa nama diantaranya yang sangat dominan yang sering disebutsebut dalam buku-buku teks tentang ilmu ekonomi adalah Alfred Marshall, Thomas
Robert Maltus, David Ricardo dan sebagainya. Aliran pemikiran kelompok ahli
tersebut oleh para pakar ekonomi dewasa ini dimasukkan dalam aliran ekonomi
klasik. Resesi ekonomi yang sangat hebat pada tahun 1930-an yang melanda

kawasan Eropa dan Amerika, mengakhiri periode ekonomi klasik yang sangat anti
terhadap campur tangan pemerintah. Era selanjutnya menempatkan tokoh John
Maynard Keynes sebagai tokoh sentral, meskipun tetap mengacu pada ajaran Adam
Smith, Keynes telah selangkah lebih maju dengan melakukan modifisikasi ajaran
Adam Smith, terutama memberikan kemungkinan lebih besar terhadap intervensi
pemerintah dalam bidang ekonomi melalui instrumen fiskal atau perpajakan.
Buchanan & Wagner (2000) menyebutnya sebagai Keynesian Revolution.
Dengan asumsi bahwa manusia adalah mahluk yang rasional dan di dalam
lembaga pasar

terdapat persaingan yang sempurna, maka individu akan dapat

memenuhi kebutuhannya secara maksimal, sehingga kemakmuran rakyat akan
tercipta yang pada gilirannya akan membawa kemakmuran negara (The Wealth of

Nations). Namun, persoalannya adalah bahwa tidak semua konsepsi idealis Smith
dan para pengikutnya tersebut dapat terbukti dalam dunia yang sebenarnya.
Terdapat banyak bukti menunjukkan bahwa di lembaga pasar dapat terjadi

2


kegagalan (market failure), dan intervensi pemerintahpun dapat mengalami
kegagalan (government failure). Akibatnya, maka banyak orang yang hidup di atas
planet bumi ini menderita kemiskinan dan kemelaratan, serta negara pun dapat
mengalami kebangkrutan dan perpecahan.
Pertanyaannya kemudian adalah apa yang salah dalam ilmu ekonomi ?.
Mengapa market institutions dan non-market institutions dapat mengalami
kegagalan?. Jawaban pertanyaannya ini adalah langkah awal menuju studi ekonomi
politik, yang juga disebut dengan istilah Economic Theories of Politics atau
paradigma ekonomi politik. Seperti yang dikemukakan oleh Buchanan (1999), bahwa
ilmu ekonomi tidak memberikan ruang bagi perilaku individual dan partisipasinya
dalam pembuatan keputusan-keputusan kelompok (individual participations in

collective decision-making). Sebagai bukti bahwa tidak ada satupun teori dalam ilmu
ekonomi yang membicarakan tentang pilihan kolektif (theory of collective choice),
atau teori tentang permintaan barang-barang kolektif (theory demand for collective

goods) (Buchanan,1999). Padahal,

terdapat banyak produk ekonomi yang


dihasilkan oleh proses interaksi antara lembaga pasar (market institutions) dengan
lembaga non-pasar (non-market institutions) yang dihasilkan melalui keputusankeputusan individual atau kelompok melalui proses di lembaga politik dan lembaga
birokrasi pemerintahan. Sebagai pemegang otoritas kebijakan, pemerintah sering
melakukan kesalahan-kesalahan, sebagai akibat dari berbagai kebijakan yang bias
akan kepentingan individu dan kelompok, tidak hanya dalam bidang ekonomi, akan
tetapi juga dibidang politik, sosial dan budaya yang mengakibatkan kesangsaraan

3

bagi rakyat luas. Pertanyaannya adalah mengapa fenomena itu terjadi ?. Dapatkah
ilmu ekonomi menjelaskannya ?. Faktanya,
mengalami

kegagalan

menjelaskan

berbagai


para ahli ekonomi banyak yang
fenomena

tersebut,

meskipun

menyangkut bidang kajian ilmu ekonomi itu sendiri, sehingga tidak heran kalau Paul
Omerold telah memproklamirkan bahwa ilmu ekonomi itu sudah mati (the dead of

economics).
Paradigma ekonomi politik muncul sebagai reaksi kegagalan demi kegagalan
ilmu ekonomi untuk menjelaskan problem masyarakat. Tokoh penting dibidang
kajian ini adalah Buchanan. Menurut Buchanan kegagalan fatal para ahli ilmu
ekonomi (Buchanan & Brenan,2000) terletak pada subject matter yang menjadikan
referensi kasus Robinson Crusoe sebagai “problem ekonomi”, yaitu bagaimana
mengalokasikan

sumber


daya

langka

(termasuk

waktu)

diantara

berbagai

kepentingan lainnya. Para ahli ekonomi menarik kasus Crusoe ke dalam setting
sebuah dunia dimana masyarakat secara keseluruhan berada, yang juga sama-sama
mengalami “problem ekonomi” dengan tanpa kehati-hatian meloncat dari analisis
kasus individu yang mementingkan diri sendiri menjadi analisis kasus masyarakat
luas (society) yang penuh dengan keberagaman motif, kepentingan, kapasitas dan
nilai. Selanjutnya Buchanan menambahkan (Boettke 2002) bahwa isu alokasi sumber

(resources allocation issue) bukan merupakan problem utama dalam ilmu ekonomi.

Para ahli ekonomi menurutnya terlalu berkonsentrasi pada kecenderungan manusia

(human propensity) terhadap barter/pertukaran, dan perangkat institusi yang
dikembangkan sebagai hasil dari kecenderungan tadi. Kritik lain disampaikan

4

Buchanan adalah mengenai Model Optimalisasi yang dikembangkan oleh para ahli
ekonomi yang direpresentasikan oleh fungsi kesejahteraan sosial (social welfare

function). Menurutnya model tersebut sama sekali tidak memperhitungkan
pertimbangan nilai (value judgements). Demikian juga dengan model persaingan
sempurna (perfect competition) yang menjadi pusat kajian para ahli ekonomi. Model
tersebut dianggapnya mengehilangkan nilai-nilai sosial (social content) dari
keputusan individu. Nilai-nilai individu dikonfrontasikan dengan variabel-variabel luar
(external) sebagai pilihan yang kemudian ditransformasikan kedalam perhitungan
secara mekanis. Dalam hubungannya dengan model persaingan sempurna,
Buchanan menyampaikan kritiknya (Boettke,2001) :
“A market is not competitive by assumption or by construction. A market becomes
competitive, and competitive rules come to be established as institutions emerge to

place limits on individual behavior patterns. It is this becoming process, brought
about by the continuous pressure of human behavior in exchange, that is the central
part of our discipline, if we have one, not the dry rot of postulated perfection. A
solution to a general-equilibrium set of equations is not predetermined by
exogenously determined rules. A general solution, if there is one, emerges as a
result of a whole network of evolving exchanges, bargains, trades, side payments,
agreements, contracts which, finally at some point, ceases to renew itself. At each
stage in this evolution toward solution there are gains to be made, there are
exchanges possible, and this being true, the direction of movement is modified”.

Pendapat senada disampaikan Gunning (2001) dengan menyatakan bahwa
para profesional dibidang ekonomi bahkan di negara yang paling maju dan
demokratis sekalipun seperti di Amerika dan Eropa sekarang ini sangatlah “naif”.
Sebab meskipun mereka tahu akan penting peranan lembaga politik dan lembaga
pemerintahan dengan segala tingkatannya yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi bidang ekonomi, mereka sering mengabaikannya. Padahal
semua orang berpikiran tentang kepentingan pribadinya, tentang implementasi dari

5


rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang optimal apakah dia sebagai individu yang
berprofesi sebagai politisi, birokrat atau profesi lainnya dalam sebuah masyarakat
dalam suatu negara atau suatu wilayah/daerah yang sekarang lebih populer dengan
istilah civil society. Dengan perkataan lain dalam mengejar tujuan efisiensi para ahli
ekonomi cenderung mengesampingkan perilaku individu dalam proses pembuatan
kebijakan bersama (collective decision-making process), atau proses pengambilan
keputusan bersama melalui lembaga non-pasar. Oleh karena itu, paradigma ekonomi
politik ini juga disebut sebagai penerapan ilmu ekonomi pada ilmu politik, seperti
yang dikemukakan Kavla (1991:372), sebagai berikut :
“…Economic theories of politics attempt to use the idea that individual are rational
utility maximizers, in this sense, to understand the behaviour of voters, office seekers,
elected officials, and bureaucrats. They aim thereby to describe, explain, andultimately-predict the behaviour of political actors in an accurate, systematic, and
coherent way”

Balaam dan Veseth (1996) dikutip Lim (2001:2) menyebutnya dengan “Political

Economy”, yang didefinisikan sebagai :
“The study of the tension between the market, where individuals engage in selfinterested activities, and the state, where those same individuals undertake collection
action”


British Glossary (2002), mendefinisikan Political Economy sebagai
“A branch of the social sciences that takes as its principal subject of study the
interrelationships between political and economic institutions and processes. That is,
political economists are interested in analyzing and explaining the ways in which
various sorts of government affect the allocation of scarce resources in society
through their laws and policies as well as the ways in which the nature of the
economic system and the behavior of people acting on their economic interests
affects the form of government and the kinds of laws and policies that get made”.

Upaya-upaya para ahli dalam memunculkan paradigma ini dalam khasanah
ilmu pengetahuan memang masih relatif baru, dibandingkan dengan usia kedua

6

disiplin ilmu ekonomi dan ilmu politik. Namun, dalam perkembangannya paradigma
ekonomi

politik

semakin

banyak

diterima

oleh

kalangan

akademisi

untuk

menjelaskan fenomena yang muncul dalam dinamika kehidupan masyarakat modern
yang semakin kompleks. Bahkan beberapa universitas terkenal di luar negeri seperti
George Mason University, University of Washington dan University of Oregon
menspesialisasikan

diri

pada

bidang

kajian

ekonomi

politik

(Felkins,1997).

Pengakuan terhadap eksistensi paradigma ini mencapai momentumnya ketika
Buchanan menerima hadiah nobel dibidang ilmu ekonomi tahun 1986 atas karyakaryanya dibidang kajian ekonomi politik, seperti The Calculus of Consent, Fiscal

Theory and Political Economy, The Limits of Liberty, Democracy in Deficit, The
Power to Tax, The Reason of Rules dan lain-lain.
Upaya-upaya para pakar dibidang kajian ini telah melahirkan berbagai konsep,
definisi, asumsi, proposisi dan teori. Diantara teori-teori yang sangat dominan yang
tergabung dalam perspektif ekonomi politik adalah Teori Pilihan Rasional (Rational

Choice Theory), Teori Pilihan Publik (Public Choice Theory), Teori Pilihan Sosial
(Social Choice Theory),Teori Aktor Rasional (Rational Actor Theory), Teori Pilihan
Kolektif (Collective Choice Theory), dan Teori Permainan (Game Theory). Bagi yang
baru mengenal teori-teori di atas memang agak sulit membedakan secara gamblang
beberapa teori di atas, bahkan seorang pakar sekaliber Kristen Renwick Monroe
sendiri mengakui bahwa tidak mudah mendefinisikan perbedaan atau batas-batas
dari masing-masing teori di atas, karena para ahli pada umumnya menggunakan
beberapa variasi dari sub-bidang ini dengan saling mempertukarkan konsep-konsep

7

dan metode-metode kunci dalam analisisnya (Monroe, 1991:2). Leon Felkins (1995)
salah seorang pakar lain menyebutkan bahwa Public Choice Theory, Social Choice

Theory, Rational Actor Theory, dan Collective Choice Theory merupakan bagian dari
Rational Choice Theory. Rational Choice Theory menyangkut bidang kajian
pengambilan keputusan individual yang rasional dalam lingkungan kolektif, dan
merupakan fondasi dari bangunan dasar dari teori lainnya yaitu Public Choice Theory
dan Social Choice Theory. Social Choice Theory adalah nama lain dari Collective

Choice Theory, yang membicarakan tentang masalah pilihan (choice) individual
dalam lingkungan kolektif. Sedangkan, Public Choice Theory adalah aplikasi dari ilmu
ekonomi dan Rational Choice Theory yang diterapkan dalam lingkungan politik

(political environment). Public Choice Theory berhubungan langsung dengan barangbarang publik (public goods) termasuk di dalamnya mengenai administrasi
pemerintahan. Pertanyaan utama dari teori ini adalah : di dalam suatu situasi sosial,
publik, atau kolektif dan pilihan mengenai kontribusi individu dalam membuat
keputusan, bagaimanakah pilihan-pilihan itu diputuskan secara rasional ?. Untuk
menjawab pertanyaan itu tentu saja tidak mudah, karena mengandung berbagai
pertentangan dari berbagai dimensi yang terdapat dalam diri manusia sebagai
individu

maupun

sebagai

anggota

suatu

kelompok,

pertentangan

antara

individualisme dengan altruisme, pertentangan antara yang dipilih dengan para
pemilihnya, pertentangan antara public interest dan private interest, pertentangan
antara public goods dengan private goods dan sebagainya. Sehingga para pakar
sering juga menyebutnya dengan berbagai istilah atau konsep secara silih berganti,

8

seperti Social Dilemmas (SD) atau disebut juga dengan The Problem of Collective

Action, Prisoner’s Dilemma (PD), Voter’s Paradox (VP), Tragedy of the Commons,
Collective Action, dan Volunteer Dilemma (VD).
Pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada teori Rational Choice Theory

dan Public Choice Theory. Oleh karena luasnya aspek pembahasan dari teori ini,
maka pembahasan hanya menyangkut unsur-unsur fundamental dari sebuah teori
saja, seperti asumsi, definisi, konsep-konsep yang dikembangkan, serta aspek-aspek
yang menjadi bidang kajian teori ini.
Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory).
Secara historis Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory) pada awalnya
digagas oleh Anthony Down yang dimuat dalam bukunya Economic Theory of

Democracy. Teori tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Arrow, Dahl, Lindblom
dan lain-lain. Dalam perjalananya teori ini semakin berpengaruh dan dominan,
sehingga tidak heran kalau Almond (1991:36), menyebutnya sebagai revolusi
dibidang ilmu pengetahun (Rational Choice Theory as a scientific revolution), karena
banyak dipergunakan sebagai pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial, seperti teori
sosiologi, teori keperibadian dan budaya, serta teori psikologi sosial. Bahkan dalam
dekade-dekade terakhir teori rational choice telah memberikan kontribusi yang nyata
terhadap pengembangan teori ilmu politik, yang telah diaplikasikan secara luas
untuk menganalisis kekuasaan dalam mempengaruhi kebijakan publik. Teori rational

choice juga dianggap sebagai suatu pendekatan yang menarik dalam melakukan
inkuiri dibidang politik, karena asumsi-asumsinya kompatibel dengan persyaratan-

9

persyaratan dan unsur-unsur dari liberalisasi modern, seperti sistem pasar yang
dianut, dan model ekonomi dari hasil perilaku politik (Petracca,2001:172-173).
Teori Rational Choice berangkat dari asumsi tentang motif dan perilaku
manusia (human motive and behaviour). Dua aspek yang menjadi fokus teori ini
menurut Almond (1991:38) adalah : (1) individualisme, dan (2) perilaku para aktor
politik dan birokrat. Politikus dan birokrat diasumsikan mengejar kepentingan
material semaksimal mungkin, mencari keuntungan dari para pemilihnya, dari
kantor-kantornya, atau dari kekuasaan yang dimiliki atau diperolehnya, dengan
biaya yang sekecil mungkin. Senada dengan pandangan itu, Petracca (2001:178)
menyebutkan bahwa secara metodologis asumsi teori rational choice dapat dibagi
dua yaitu : (1)

individualisme dan (2) konsep tentang rasionalitas itu sendiri.

Individualisme menyangkut tindakan sosial (social action) yang dapat diturunkan ke
dalam unsur-unsur individu untuk menganalisis perilaku individu. Sedangkan,
rasionalitas menyangkut sifat-sifat dasar manusia (human nature) atau motivasi
yang mendorong sifat-sifat dasar manusia (motivational force of human nature).
Penggunaan istilah “rational” dalam teori ini menurut Rosenberg (2001:387)
mengacu pada konsep Homo Economicus, yang secara filosofis manusia dianggap
sebagai individu (manusia) yang berfikir aktif untuk membuat dan menentukan
pilihan-pilihannya dengan cara-cara : (1) mencari informasi-informasi yang sesuai,
(2) mengintegrasikan informasi-informasi itu dalam bidang-bidang yang sesuai
dengan dirinya, (3) mengkonstruksi secara logis pengalaman-pengalamannya untuk

10

memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari berbagai alternatif yang akan dipilih, dan
(4) mengambil pilihan yang terbaik sesuai dengan kebutuhannya.
Individu yang rasional dalam pengertian yang lain adalah seorang aktor yang
rasional (rational actor). Konsep aktor yang rasional oleh para ahli dikelompokkan
dalam Teori Aktor Rasional (Rational Actor Theory), namun dalam pembahasan ini,
dimasukan dalam Rational Choice Theory. Konsep aktor rasional, kalau dikaji secara
teoritik berasal dari teori mikro ekonomi klasik dari Adam Smith yang mengacu pada
perilaku individual, orang, perusahaan, dan entitas politik yang berhubungan dengan
keinginan para aktor dalam memenuhi kepentingan dirinya (Monroe,1991). Menurut
Etzioni, kakek ekonomi neo-klasik Adam Smith melalui bukunya The Theory of Moral

Sentiment merupakan kontributor utama bagi pendekatan rational actor dengan
mengatakan bahwa “betapapun manusia mungkin dianggap mementingkan dirinya
sendiri, ternyata ada prinsip-prinsip dalam sifatnya, yang menyebabkan ia tertarik
kepada kekayaan orang lain, dan memberikan kebahagiaan mereka yang perlu
baginya”.

Dengan pernyataan Smith tersebut,

maka aktor bertindak atas

kesadarannya bukan hanya melalui tukar menukar (market) dan memaksimumkan
kepentingan mereka, akan tetapi juga didasarkan atas persetujuan orang lain dan
landasan moral (Etzioni,1992:38-39).
Berkaitan dengan definisi konsep dari rational actor dapat dilacak dari
statemen-statemen para ahli (Monroe,1991:8-15). Anthony Down mendefinisikan

Rational Actor sebagai perilaku yang secara rasional diarahkan langsung untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan secara sadar. Simon beranggapan bahwa hampir

11

seluruh perilaku manusia ditentukan oleh serangkaian tindakan yang berorientasi
tujuan (goal-oriented actions).
Tindakan

berorientasi

tujuan

tersebut

menurut

Eckstein

telah

memperhitungkan resiko-resiko yang dihadapi. Hal ini didasarkan atas, apa yang
dinamakannya budaya analgesik (analgesic cultures), yaitu suatu budaya dimana
para aktor berusaha menghindari kesulitan-kesulitan, menghindari kondisi-kondisi
yang belum mapan, membatasi tekanan-tekanan emosional sehingga tetap dapat
eksis dalam persaingan. Tindakan manusia (human action) menurut Adam Smith
adalah muncul dari perasaan-perasaan, tanpa sebab dan dorongan nafsu untuk
mengejar kepentingannya sendiri. Proposisi yang dikemukakan oleh Smith ini telah
diturunkan

menjadi

beberapa

konsep,

seperti

self-regulation, governmental

regulation, atau natural force yang akan menggerakkan setiap mekanisme pasar
(market mechanism). Akan tetapi menurut Whitehead, pandangan Adam Smith itu
tidak menggambarkan hubungan ketergantungan emosi-emosi atau

mekanisme

kekuatan alam itu di dalam domain politik. Para teoritisi rational actor berkeyakinan
bahwa individu (aktor) selalu berkeinginan untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan
kesejahteraan mereka. Berdasarkan pandangan tersebut, maka rational actor
dibangun diatas asumsi-asumsi (Monroe,1991:4), berikut ini :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Actors pursue goals.
These goals reflect the actors perceived self-interest
Behaviour results from a process that actually involves (or functions as if it entails)
The individual is the basic actor in society
Actors have preference orderings that are consistent and stable
If given options, actors choose the alternative with the highest expected utility.
Actors possess extensive information on both the available alternatives and the likely
consequences of their choices.

12

Beberapa konsep yang dikembangkan dalam rational choice, meliputi private-

interest, self-interest, utility-maximizing, selfish-ends, maximization, goal-directed,
purposive behaviour, dan egoistic, yang kesemuanya merupakan karakteristik
pendekatan ekonomi politik terhadap rasionalitas. Sedangkan hubungannya dengan

human nature termanifes dalam sifat-sifat egois manusia (individu) memenuhi
kepuasan mereka secara maksimal (Petracca, 1991:180).
Teori Pilihan Publik (Public Choice Theory)
Seperti telah disinggung pada uraian di atas, bahwa Public Choice Thoery
merupakan bagian dari Rational Choice Theory. Oleh karena itu, konsep-konsep

Rational Choice juga banyak dipergunakan dalam public choice theory. Menurut
Monroe (1991:2), secara historis Public Choice Thoery lahir dari dua tradisi keilmuan.
Dari tradisi ilmu ekonomi yang dikembangkan oleh James M. Buchanan dan Virginia

School, sedangkan dari tradisi ilmu politik dikembangkan oleh William Riker dan
Rochester School of Public Choice. Namun demikian, oleh penggagasnya sendiri
James Buchanan, Public Choice dianggap bukan sebagai “teori sempit”, tetapi
disebut sebagai “perspektif”, yaitu suatu perspektif untuk bidang politik yang muncul
dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap
pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non-pasar (non-market

phenomenona). Dijadikan sebagai perspektif agar supaya dalam pembahasan dan
pemberian makna terhadap konsep public choice bisa membantu para analis untuk
memperoleh fokus pada catatan-catatan umum tentang konsep itu (Arifin &
Rachbini,2001:11).

13

Definisi Public Choice
Public Choice pada dasarnya mengambil prinsip-prinsip ilmu ekonomi yang
dipergunakan untuk menganalisis tindakan individu dalam lembaga pasar yang
diterapkan dalam tindakan orang-orang dalam pembuatan keputusan secara kolektif.
Salah satu prinsip penting yang dipergunakan adalah asumsi dalam ilmu ekonomi
yang

menyatakan

bahwa

motivasi

utama

setiap

orang

adalah

mengejar

kepentingannya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Dollery & Wallis (1999:36),
bahwa teori Public Choice menggunakan postulat dasar tentang perilaku manusia

(human behaviour) sebagai homo economicus yang diterapkan pada institusi nonpasar atau proses politik yang menjadi dasar dalam formulasi dan implementasi
kebijakan, yang dikembangkan sebagai model kritik positif terhadap pemerintah
dengan menggunakan suatu metodologi tertentu. Asumsi dan definisi Public Choice
dikemukakan para ahli berikut :
Asumsi Public Choice :
“Public choice theorists make the same assumption—that although people acting in
the political marketplace have some concern for others, their main motive, whether
they are voters, politicians, lobbyists, or bureaucrats, is self-interest. In Buchanan's
words the theory "replaces... romantic and illusory... notions about the workings of
governments [with]... notions that embody more skepticism." (Shaw,2001)
“Public Choice assumes that people are self-interested, whether they are consumers
in the market, voters, teachers, owners of businesses, employees of private
companies, or government officials. Moreover, it assumes that the wants of a given
individual do not change as she shifts from one role to another. Suppose that a
businessperson who has been very successful as head of a large firm changes his job
to head of a department of government. Is there any reason to believe that he will
change his character? The conditions under which he operates change, and this
should lead to some change in his behavior; but he is essentially the same person”
(Gunning,2001).

14

Definisi Public Choice:
“Public Choice can be defined as the economics of non-market decision-making, or
simply the application of economics to political science. The subject matter of public
choice is the same as that of political science : the theory or state, voting rules, voter
behaviour, party politics, the bureaucracy, and so on. The methodology of public
choice is that of economics, however” (Muller dalam Lane,1995:205).
"Public Choice is an interdisciplinary field, at the intersection of political science and
economics, which draws on sophisticated quantitative tools to model the functioning of
political institutions. Public Choice examines such areas as theories of voter and party
choice; the theory of constitutions; the theory of committees and elections; models of
regulation; problems of public goods and externalities; rent-seeking models; and
issues in social choice, social welfare and demand revelation." (Felkins, 1996).

Ruang Lingkup kajian Public Choice
Ruang lingkup dan aspek-aspek paradigma ekonomi politik sebenarnya
menyangkut bidang kajian yang sangat luas dengan aspek yang sangat beragam.
Dalam kajian ini hanya dibatasi beberapa aspek yang sering dipergunakan para
pakar Public Choice. Menurut Buchanan (Dollery & Wallis,1999:36), meliputi tiga
bidang the economics of the pre-constitutional stage of society, the economics of

constitutions making, dan the economics of post-constitutional politics. Pandangan
tersebut sesungguhnya diilhami oleh Adam Smith sendiri dalam The Wealth of

Nations yang menyebutkan adanya law and institutions, akan tetapi menurut Smith
hal itu tidak terlalu diutamakan, karena telah diatur oleh invisible hand. Menurut
Buchanan & Brenan (2000) dalam tulisannya The Reason of Rules: Constitutional

Political Economy, tanpa ada law and institutions yang jelas dalam masyarakat,
maka hidup sesungguhnya akan terasing, miskin, kotor, dan brutal. Menurut
mereka, ada beberapa aturan yang harus ada dalam setiap masyarakat, yaitu rules

of the games, yang secara sederhana dapat didefinisikan :

15

“The parameters within which play takes place, the actions allowed by the players,
the equipment used, the means of settling disputes, the way in which the winner is
determined, and so on, rules of the road, rules of the market order, dan rules of
political order”.

Munculnya teori public choice telah membawa cakrawala ilmu pengetahuan
dengan berbagai aspek kajian baru dengan menggunakan pendekatan multi
disipliner yang sebelumnya belum banyak dikembangkan oleh para ahli. Salah satu
konsep penting dalam kajian Public Choice adalah barang publik (public good) dan
barang bersama (common goods) (Felkins,1996). Public goods, merujuk pada
pengertian tentang sesuatu yang tidak dimiliki secara pribadi tetapi dimiliki oleh
publik secara keseluruhan, meliputi seluruh aspek-aspek alami, seperti, tanah,
hutan, air, gunung, lautan dan sebagainya. Barang publik lainnya adalah jalan raya,
saluran air, taman, pemancar radio, dan sebagainya.
Selain itu, ada juga barang publik yang bukan bersifat fisik, seperti
kebebasan (freedom), perlindungan terhadap hak hidup dan hak milik (protection of

life and property), pasar bebas (free market) dan sebagainya. Konsep pemilikan
terhadap barang publik tersebut dikembangkan berdasarkan sejarah dari masyarakat
yang bersangkutan. Dan pada umumnya pemerintah atau negara yang menguasai
barang-barang publik. Penguasaan pemerintah atau negara terhadap barang-barang
publik ini biasanya dilakukan melalui beberapa ketentuan perundang-undangan yang
mengatur penggunaannya. Sedangkan, pengertian Common Goods, biasanya
mengacu pada pengertian sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat secara
keseluruhan. Dalam kaitannya dengan sistem pemilikan pribadi, dikemukakan oleh
Gunning (2001:27-28). Menurutnya, salah satu sifat fundamental dari sistem

16

pemilikan pribadi (private property system) adalah adanya jaminan bahwa jika
individu bermaksud memproduksi barang, ia akan memilikinya. Mungkin saja ia akan
memberikannya, atau akan menjualnya kepihak lain hal itu adalah keputusan
individu itu sendiri. Menurut Gunning sistem pemilikan itu sendiri dapat dibagi
menjadi dua, yaitu : (1) sistem pemilikan pribadi (private property system), dan (2)
sistem pemilikan komunal (communal property system). Dalam sistem pemilikan
komunal, suatu barang tidak dimiliki dan diproduksi secara perseorangan, tetapi oleh
suatu komunitas. Oleh karena itu, dalam mengatur sistem pemilikan komunal
diperlukan pendefinisian yang jelas agar dapat memutuskan secara tepat barang apa
saja yang dapat dimiliki oleh suatu komunitas. Aspek lainnya yang menjadi bidang
kajian Public Choice, menurut Felkins (2001:4-5) adalah Constitutional Democratic

Government, Voting, Political Manipulations, Rent-Seeking, dan The Realities of
Collectives.
Sementara itu, Dollery & Wallis (1999:36-43) melihatnya dari aspek
kelembagaan (institutions) dalam bentuk kegagalan dan intervensi pemerintah

(government failure and government intervention). Menurut mereka, government
failure itu dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : legislative failure, bureaucratic failure,
dan rent-seeking. Gunning (2001) menambahkannya dengan, market failure, dan

privatization. Bureaucracy failure oleh Gunning disebut sebagai in-efficiency of
bureaucracy. O’Dowd (1978, dalam Dollery & Wallis,1999:36) menyebutkan bahwa
semua bentuk government failure dapat dimasukkan dalam tiga klasifikasi yaitu

inhenrent impossibilities, political failures, dan bureaucracy failures.

17

Kegagalan Pemerintah (Government Failure)
Salah

satu

meningkatkan

bentuk

dari

kesejahteraan

kegagalan

rakyat

dapat

pemerintah
dilihat

dari

mengemban

misinya

kegagalan

birokrasi

(bureaucratic failure). Bureaucratic failure sebenarnya telah lama menjadi objek
kajian para ahli, bahkan telah dimulai sejak abad ke 19 yang lalu. Diantara tokoh
yang sering disebut-sebut memperkarsai kajian ini adalah Tocqueville, Bagehot dan
lain-lain. Walter Bagehot misalnya, pernah menulis (dipublikasikan Yusu,2000) :
"Not only does a bureaucracy...tend to under-government, in point of quality; it tends
to over-government in point of quantity. A bureaucracy is sure to think that its duty is
to augment official power, official business, or official members, rather than to leave
free the energies of mankind..."

Ide Bagehot itu telah banyak mengilhami para pakar, dengan menyebut
beberapa nama diantaranya, seperti Mises (1945), Tullock (1974) Orzechowski
(1977), Romer & Rosenthal (1979), Bretton & Wintrobe (1977), Dunleavy (1991),
Down (1967), Niskanen (1971),

dan lain-lain. Dari jajaran nama-nama tersebut,

nampaknya yang menempati posisi utama (mainstream) bagi teoritisi public choice
di Amerika adalah Down dan Niskanen.
Niskanen (1971) yang populer dengan model Niskanen’s Budget Maximizing

Model (Dollery & Wallis,1999:40), menyatakan bahwa para birokrat akan berupaya
memaksimalkan anggaran belanja mereka yang diarahkan untuk meningkatkan gaji,
kekuasaan dan prestise. Para birokrat, dapat meningkatkan anggaran belanja
mereka melalui apa yang ia sebut dengan oversupplying output atau inefficiently

supplying output atau melalui kedua-duanya. Lebih lanjut Niskanen menulis :

18

“Bureaucrats are said to bear an agent/principal relationship to politicians who in turn
bear an agent/political relationship to voters. Bureaucrats benefit directly from large
governmental budgets and thus have intense preferences for high levels of
expenditure. By contrast, tax-payer typically only benefit indirectly from government
expenditure, and have preferences for low taxation levels. The objectives of agents
and principal thus diverge. But because bureaucrats have greater per capita
incentives to increase expenditure than the corresponding incentives of taxpayer to
decrease taxes, public sector expenditure will be higher then desired”.

Dalam tulisanya yang lain Bureaucracy : Servant or Master (1973:22, di
publikasikan Yusu,2000:2-3), Niskanen menulis bahwa perilaku para birokrat yang
berada di sektor publik merupakan objek studi public choice theory yang sangat
menarik, bahkan dapat dikatakan sebagai “jantung” dari Public Choice Theory.
Menurutnya, para birokrat berasumsi bahwa mereka bekerja pada kepentingan
publik, dan meletakkan kepentingan mereka dalam kebijakan-kebijakan pemerintah
yang menurut anggapan mereka dapat lebih efisien dan lebih efektif. Padahal
motivasi mereka pada dasarnya adalah memenuhi kepentingan diri mereka sendiri
dengan memaksimalkan kebutuhan mereka, melalui : gaji, persyaratan, reputasi,
kekuasaan, patronase dan sebagainya. Down (1967, dipublikasikan Yusu,2000:4)
menambahkan bahwa teori public Choice dapat diterapkan pada semua tingkatan
birokrasi, bahkan pada sektor privat. Di sektor publik menurut Down, motivasi para
birokrat didorong oleh kepentingan mereka sendiri, mereka bahkan sangat bangga
akan performance mereka, loyalitas mereka terhadap program-program yang
mereka buat, terhadap departemen atau pemerintah dengan memainkan peraturan
dan keputusan yang berbeda-berbeda. Kepentingan mereka diletakkan ke dalam
praktek, seperti distorsi terhadap informasi, diskriminasi terhadap berbagai kebijakan
dengan tujuan untuk meningkatkan gaji, kekuasaan dan prospek kenaikan pangkat

19

atau jabatan. Menurutnya inilah yang menjadi bagian paling esensial yang
menjadikan pemerintah selalu menaikkan anggaran belanjanya. Berbeda dengan
sektor swasta yang tujuannya mencari profit, semakin besar keuntungan yang
diperoleh, maka semakin meningkat pendapatan, semakin aman jabatan mereka,
dan semakin meningkat prospek promosi mereka.
Pandangan Bagehot, Niskanen dan Down di atas dapat dikategorikan sebagai
model klasik, karena government failure yang direpresentasikan oleh bureaucratic

failure hanya dilihat dari peran birokrat dalam memainkan anggaran pemerintah.
Namun demikian, mereka dianggap sebagai pelopor pengembangan Public Choice
di sektor birokrasi dan telah banyak mengilhami para ahli sesudahnya. Model-model
baru terus bermunculan yang dikembangkan para ahli sesuai dengan perubahan
jaman dan kompleksitas kehidupan masyarakat di era modern. Salah satu
diantaranya adalah model Mitchell dan Simmon (1994:42 dalam Dollery &
Wallis,1999:38), yang membuat suatu model hubungan, yang disebut Public Choice

Model of Politics. Model ini didasarkan atas realitas kompleksitas kehidupan politik
masyarakat di era industri dengan mensejajarkan alokasi sumber daya langka

(scarce resources) dengan mekanisme pasar (market mechanism). Manusia tetap
diasumsikan

sebagai

homo

economicus,

namun

eksistensi

mereka

telah

diintegrasikan kedalam dua domain sekaligus, yaitu domain politik dan domian
ekonomi. Berdasarkan model ini, manusia dibagi menjadi empat kelompok masingmasing dengan motif dan kepentingannya, yaitu: (1) birokrat mengamankan
kedudukan

dan

memaksimalkan

anggaran,

20

(2)

produsen

memaksimalkan

keuntungan, (3) konsumen memaksimalkan kegunaan dari barang dan jasa yang
diperoleh, dan (4) politisi memaksimalkan perolehan suara dari para pemilihnya.

BUREAUCRATS
(Security)

CONSUMERS

PRODUCERS

(Utility)

(Profit Maximization)

POLITICIANS

(Vote Maximization)

Gambar 1. Public Choice Model of Politics (Mitchell & Simmon 1994 dalam
Dollery & Wallis,1999:38)
Kegagalan Pasar (Market Failure).
Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan terdahulu, bahwa pasar

(market) yang dikonsepsikan oleh para ahli ekonomi sebagai tempat berlangsungnya
pertukaran barang dan jasa antara produsen dan konsumen dapat mengalami
kegagalan (market failure). Dengan perkataan lain bahwa konsep Adam Smith
tentang persaingan sempurna (perfect competions) yang dikendalikan invisible hand
dalam dunia yang sesungguhnya tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, maka Keynes
memberikan kesempatan kepada pemerintah/negara untuk melakukan intervensi.

21

Dollery dan Wallis (1999:15), menyatakan bahwa konsep market failure pada
dasarnya tidak dapat dilepaskan dari “doktrin tangan tak nampak” (the doctrine of

the invisible hand) dari buku Wealth of Nations Adam Smith tahun 1776 yang
dikembangkan lebih lanjut oleh para pengikutnya, dan diterima secara luas oleh
masyarakat di kawasan Inggris Raya dan Amerika Serikat sejak abad ke 19.
Kepercayaan atas bekerja invisible hand semakin meningkat lagi setelah munculnya
buku Economic of Welfare yang dikarang oleh Arthur Pigou pada tahun 1920, yang
mendorong negara-negara berlomba-lomba mengejar kesejahteraan ekonomi
negaranya dengan pembangunan dan berbagai pembaruan agar invisible hand
dapat bekerja secara efektif.

Namun, setelah ditunggu-tunggu ternyata invisible

hand tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan, karena adanya berbagai faktor
penghambat bekerja konsep rational self-interest dalam proses pertukaran di pasar,
sehingga mengundang semakin intensifnya intervensi pemerintah dalam ekonomi
pasar dengan harapan dapat meningkatkan efisiensi, namun sebaliknya justru
muncul distorsi yang menyebabkan berbagai kegagalan dalam lembaga pasar.
Fenomena ini oleh para ahli disebut dengan istilah market failure, yang
secara konseptual mengacu pada pengertian ketidakmampuan pasar atau sistem
pasar (market system) dalam menyediakan kebutuhan masyarakat akan barang dan
jasa, atau dengan perkataan lain sebagai suatu kondisi perekonomian yang tidak
optimal atau tidak efisien. Asumsi dasar dari teori market failure adalah pemerintah
akan melakukan intervensi dalam domain kepentingan publik dalam rangka

22

memperbaiki atau meningkatkan efisiensi ekonomi. Mengenai konsep market failure
dikemukakan Gunning (2001) :
“Market Failure refers to a situation in which we can envision that individuals would
be better off if the freedom to produce and/or exchange that people have in the
market economy was interfered with in some way by government. When we say
that there is market failure, we believe that taxing, subsidizing, or regulating some
activity may cause the self-interests of the various individuals to be better served.”

Market failure menurut Gunning (2001) disebabkan karena beberapa kesalahan
(errors) pemerintah, ia selanjutnya mengidentifikasi tujuh error tersebut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

The error of Underratting Market Solutions
The error of Overatting the Government Solutions
The Error of Neglecting Conformity
The error of Neglecting Potential Abuse of Coersion
The Error of Neglecting Technology and Other Changes
Obsolescence in Goverment Instituions
Government Instituions without an Economic Purpose

Mengenai bentuk-bentuk market failure dikemukakan oleh Dollery dan Wallis
(1999:17-18), dengan mengelompokkannya menjadi tiga :
1. Monopoli atau oligopoli. Munculnya monopoli menurut mereka lebih banyak
disebabkan karena kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan perundangundangan yang anti persaingan
2. Eksternalitas (yang jumlahnya ratusan jenis)
3. Ketidakmampuan swasta dalam memproduksi barang-barang kebutuhan
masyarakat.

Beresford (2000:48) memperluas dimensi market failure dengan menyatakan
bahwa pasar dapat mernjadi gagal dapat ditelusuri dari :
1. By overexploitation of common property resources, such as fisheries and forest,
leading to the need foer government regulation over such resources.
2. By not providing adequately for a service deemed necessary by the broader
society, or at a cost which all members of the community could afford. A wide
range of services were traditionally included in this catagory, including social
services such as health and education and essential infrastructural services such
as water, telecomminications and electricity. Government, therefore, became the
provider of these essential “public goods”

23

3. By the presence of what is termed an externality, where a non-involved party is
adversely affected by the activities of others. For example, an externality is
caused when an industrial plant creates pollution for others living nearby.
Government are often required to protect those affected by such uninvolved
parties.
4. By all devisions from prefect competition among bisinesses. If business operates
in anti-competitive ways, such as through monopolies or price-setting,
governments need to intervene with a variety of regulatory laws to ensure fair
competition in the private sector

Pendapat Beresford di atas, tentu saja lebih pada sudut pandang ilmu
ekonomi dari pada ekonomi politik. Padahal, menurut Gunning (2001), Public Choice
lebih tertarik pada kasus dimana tindakan para pelaku pasar mencari kedudukannya
melalui hak-hak istimewa (special privileges) yang diperoleh dari para agen
pemerintah. Dengan perkataan lain, individu memburu hak-hak istimewa untuk
memperoleh pendapatan rente monopoli dari para agen pemerintah. Misalnya,
monopoli yang diperoleh dari kontribusi para legislator, dari para pelobi legislator,
dari para birokrat, atau dari penyuapan/sogokan (bribery).
Pemburu Rente (Rent-Seeking)

Rent-seeking yang menjadi sangat populer dipergunakan dalam wacana
publik dewasa ini merupakan salah satu aspek penting dalam kajian ekonomi politik.
Menurut Gunning (2001), pada awalnya istilah rent-seeking berasal dari konsep
ekonomi yang dikenal dengan monopoly rent yaitu penerimaan yang diperoleh oleh
seseorang sebagai hasil dari monopoli harga atas sesuatu barang atau jasa. Dari
perspektif ekonomi istilah monopoli tidak selalu merugikan, sebab dengan adanya
monopoli para produsen akan memperoleh keuntungan. Keuntungan tersebut dapat
dianggap sebagai reward yang dapat dipergunakan untuk menambah kapasitas
produksi atau memperluas jenis usaha lainnya. Dewasa ini istilah Rent Seeking

24

merupakan salah satu konsep penting dalam teori public choice, yang dipergunakan
untuk menjelaskan perilaku para birokrat dan politisi dalam upayanya mengejar
kepentingan pribadi mereka dengan memanfaatkan fasilitas dan kekuasaan yang
mereka miliki.
Dari perspektif ekonomi politik, istilah rent-seeking untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh Tullock (1967), meskipun ia tidak menggunakan secara spesifik
istilah “Rent-Seeking” dalam tulisannya, namun analisis Tullock menyangkut aspekaspek yang menjadi cikal bakal kajian rent-seeking pada masa-masa selanjutnya.
Tullock

menganalisis

melakukan

situasi

pembatasan

dimana

(restriksi)

dominannya

perdagangan.

peran
Restriksi

pemerintah
tersebut

dalam
ternyata

diperlakukan secara berbeda-beda, antara satu jenis barang dengan jenis barang
lainnya. Tullock menyimpulkan bahwa perbedaan perlakuan tersebut ternyata
disebabkan oleh besar kecilnya insentif yang diterima oleh aparat pemerintah dari
para pelaku pasar. Tujuh tahun kemudian, tepatnya tahun 1974 istilah tersebut
secara resmi dipublikasikan sebagai perbendaharaan ilmu pengetahuan oleh Anne O.
Krueger dalam artikelnya “The Political Economy of the Rent-Seeking Society”.
Rent seeking pada umumnya dijumpai pada situasi non-pasar, meskipun juga
terkadang ditemukan pada lembaga pasar (Tollison,1987). Istilah “rent” mengacu
pada situasi dimana pertukaran atau pemilikan sumber daya lebih dari atau di atas
tingkat yang dapat diperoleh dengan berbagai alternatif penggunaan. Rent-seeking
juga disebut sebagai ekses dari “opportunity cost” (Buchanan,2000). Tentu saja
istilah rente disini berbeda dengan rente yang dikumpulkan oleh Tuan Tanah atau

25

Rentenir, karena rent-seeking yang dimaksud diperoleh dari situasi pasar dan nonpasar atau dalam situasi “profit-seeking” dan “rent-seeking”. Profit Seeking dapat
dibedakan dari rent-seeking melalui perbedaan konsekuensi yang tidak diharapkan,
dimana individu-individu berhadapan dengan kedua situasi. Secara institusi Rent
Seeking akan memaksimalkan keuntungan (profit) individual, tetapi pada saat yang
sama meminimalkan manfaat sosial (social benefits). Terjadinya rent-seeking pada
situasi non-pasar ketika tidak ada lagi potensi untuk menambah nilai yang
diharapkan, sehingga mendorong para pencari rente menciptakan kelangkaan
buatan dengan melakukan intervensi dan sinergi dengan aparat pemerintah
(Tollison,1987).
Teori Kelangkaan Sumber Daya Alam dan Konflik (Environmental Scarcity

and Conflict Theory)
Konflik hampir selalu bersumber dari adanya kelangkaan (scarcity), baik
kelangkaan yang berifat materi maupun non-materi, baik berdimensi ekonomi,
politik maupun sosial kultural. Dengan demikian, maka kelangkaan sumber daya
alam (environmental scarcity), baik yang sumber daya alam yang dapat diberbaharui

(renewable resources) maupun tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources)
dapat dianggap sebagai sumber penyebab terjadinya konflik.
Hasil kajian dari berbagai literatur, dijumpai teori yang telah dan sedang
dikembangkan oleh para pakar dari Universitas Toronto yang dipelopori oleh HomerDixon yang telah banyak melakukan penelitian lintas benua mengenai hubungan
kelangkaan dan kerusakan sumber daya alam dengan konflik dan tindakan
kekerasan. Dari berbagai penelitian tersebut Homer-Dixon dkk, telah menyusun

26

beberapa model pendekatan teoritis yang dapat dijadikan sebagai kerangka analisis

(analytical framework), termasuk identifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi
serta pola interaksinya. Kerangka teoritik Homer-Dixon ini telah dipublikasikan dalam
beberapa jurnal ilmiah.
Jenis dan hubungan Variabel
Menurut Thomas-Dixon (1995), beberapa pendekatan yang dapat digunakan
untuk menganalisis pola hubungan kausal, antara perebutan pendayagunaan
sumber daya alam dengan konflik. Menurutnya ada tujuh variabel yang menjadi
karakteristik pola hubungan kausal yaitu : necessity, strenght, proximity, exogenity,

multycausality, interactivity, dan nonlinearity. Diantara ketujuh karakteristik pola
hubungan tersebut multycausality merupakan salah satu yang terpenting, sebab
hampir semua konflik yang terjadi, hampir selalu berhubungan dengan banyak
faktor politik dan ekonomi. Dengan perkataan lain, faktor politik dan ekonomi suatu
negara mempunyai hubungan dengan eksploitasi sumber daya alam, yang
selanjutnya secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan munculnya
konflik. Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Faktor Politik dan
Ekonomi

Konflik dengan
kekerasan

Kelangkaan
Sumber Daya Alam

Gambar 2. Hubungan Kelangkaan SDA dan Konflik (Homer-Dixon,1995)

27

Menurut Homer-Dixon (1994,1995,1996) ada dua cara pendekatan yang dapat
dipergunakan untuk menganalisis apa dan bagaimana kelangkaan sumber daya alam

(environmental scarcity) dapat menyebabkan konflik, yaitu :
1. Analisis dapat difokuskan bagaimana kelangkaan mempengaruhi para aktor.
2. Analisis dapat difokuskan pada hubungan antara penyebab (environmental

scarcity) dengan akibat konflik (conflict).
Dalam beberapa tulisannya Homer-Dixon lebih banyak menggunakan
pendekatan kedua. Menurutnya, ada beberapa variabel yang dapat digunakan untuk
menganalisis hubungan antara kelangkaan sumber daya alam dengan konflik. Dia
mengidentifikasi ada tujuh variabel yang menjadi karakteristik hubungan tersebut,
yaitu : necessity, strenght, proximity, exogeniety, multycausality, interactivity, dan

non-linearity. Diantara karakteristik itu multycausality merupakan salah satu yang
terpenting, sebab hampir semua konflik yang berhubungan dengan sumber daya
alam, selalu terkait dengan banyak faktor seperti politik, ekonomi, dan budaya.
Jenis kelangkaan yang seringkali menjadi penyebab konflik dengan kekerasan
(Homer-Dixon,1994), adalah :
1.
2.
3.

Perubahan iklim yang disebabkan oleh efek rumah kaca (greenhouse-induced

climate change)
Penipisan ozon (stratosperic ozone depletion)
Degradasi dan hilangnya lahan pertanian yang subur (degradation and loss of

good agricultural land)
4.
5.

Degradasi dan penebangan hutan (degradation and removal of forests)
Penipisan dan polusi suplai air bersih (depletion and pollution of fresh water

supplies)
6.

Penipisan jumlah ikan (depletion of fisheries)

28

Kerangka Analisis Hubungan antar Variabel
Untuk menganalisis kelangkaan sumber daya alam (environmental scarcity)
menurut Homer-Dixon (1991:8) dapat dikategorikan menjadi tiga penyebab:
1. Kelangkaan yang bersumber dari permintaan (demand-induced scarcity), yaitu
kelangkaan

yang

disebabkan

bertambahnya

jumlah

penduduk

atau

meningkatnya konsumsi perkapita penduduk.
2. Kelangkaan yang bersumber dari penawaran (supply-induced scarcity), yaitu
kelangkaan yang disebabkan terjadinya penurunan (degradation) dan penipisan

(depletion) sumber daya alam yang ada, sebagai akibat dari penebangan hutan,
praktek pertanian berpindah dan lain-lain, sehingga terjadi penggundulan hutan

(deforestation) dan erosi tanah (soil erosion).
3. Kelangkaan struktural (structural scarcity), yang sering disebut dengan istilah
ketidakmerataan distribusi (unbalanced distribution), atau ketimpangan akses

(unequal access), yaitu kelangkaan yang disebabkan oleh meningkatnya
kekuasaan kelompok atau golongan tertentu yang mengakibatkan melemahnya
kekuasaan kelompok atau golongan lain

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24