TEORI SOSIAL INDONESIA LANGKAH INDIGENIS

MAKALAH
TEORI SOSIAL INDONESIA: LANGKAH INDIGENISASI ILMU
SOSIAL SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN PROBLEMATIKA DI
INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori Sosial Indonesia
Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si.

Disusun Oleh :
Feren Novia Amalia

(16416241002)

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat NYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tak lupa kami ucapkan kepada pihak-pihak yang
telah membantu


menyusun

makalah ini baik dalam bentuk materi maupun/ide .

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Teori Sosial Indonesia: Langkah
Indigenisasi Ilmu Sosial Sebagai Upaya Penyelesaian Problematika Di Indonesia ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca terhadap makalah yang saya buat.

Yogyakarta, 9 January 2018

Penulis

DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Perkembangan Teori Sosial Indonesia.....................................................................3
B. Teori Sosial Tidak Bisa Mengatasi Problematika Yang Ada Di Indonesia..............10
C. Pemikiran Kuntowijoyo Sebagai Alternatif Indigenisasi Dalam Menyelesaikan
Problematika Yang Ada Di Indonesia......................................................................14
D. Pemikiran Selo Sumardjan Terhadap Indigenisasi Teori Sosial Indonesia Dalam
Disertasinya Mengenai Perubahan Sosial Di Yogyakata.........................................19
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................25
A. kesimpulan ..............................................................................................................25
B. Saran........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................28
LAMPIRAN........................................................................................................................30

BAB I


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori sosial di indonesia yang berkembang saat ini sangatlah banyak. Di balik
banyakya teori sosial yang berkembang di indonesia saat ini juga di iringi dengan
problematika di indonesia yang semakin kompleks. Teori sosial di indonesia harunya
bisa di gunakan untuk menyelesaikan problematika yang berkembang di indonesia
tetapi kenyataanya tidak demikian. Hal tersebut terjadi dikarenakan indonesia terlalu
sering mengadopsi ilmu barat yang kenyataanya pengadopsian ilmu tersebut tidak
sesuai dengan kondisi permasalahan di indonesia.
Teori sosial yang diadopsi dari Negara barat tidak sesuai dengan dengan
permasalahan yang ada di indoensia. Teori-teori yang berkembang pada saat ini
merupakan sebuah terori yang di hasilkan dari penyelesaian permasalahan yang ada di
Negara barat. Dari hal tersebut menyebabkan teori sosial di indonesia mengalami
kemandegkan. Dengan hal tersebut sudah sewajarnya jika teori sosial tidak bisa
menyelesaikan problematika di indonesia saat ini karena salah pengadopsian dimana
ilmu sosial yang seharusnya di terapkan di Negara barat tetapi justru di terapkan di
Negara indonesia ini.
Sejalan dengan kejadian tersebut sebenarnya sudah banyak para ilmuan-ilmuan
di bidang sosial yang banyak sekali mencetuskan pemikiran yang berkaitanya dengan

realita masyarakat di indoensia. Salah satu contoh pemikir tersebut ialah kuntowijaya
dan selo soemardjan. Merekamerupakan salah satu daru sekian banyak ahli yang ada di
indonesia. Mereka sangat banyak mencetuskan pemikiran sosial mengenai indigenisasi
ilmu sosialdi indonesia. Kunthowijaya merupakan salah satu pencetus ilmu sosial
profetik dimana didalam ilmu sosial tersebut terdapat sifat-sifat kenabian dimana
masyarakat indonesia tidak bisa jauh dengan Tuhan dan hasil karya selo sumardjan
yang menghasilkan karya mengebai perubahan sosial di Yogyakarta dapat di gunakan
sebgai acuan penyelesaian problematika yang ada di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan teori sosial indonesia?
2. Mengapa teori sosial tidak bisa mengatasi problematika yang ada di indonesia?
3. Bagaimana pemikiran Kuntowijoyo sebagai alternatif indigenisasi dalam
menyelesaikan problematika yang ada di indonesia?

4. Bagaimana pemikiran selo sumardjan terhadap indigenisasi teori sosial indonesia
dalam disertasinya mengenai perubahan sosial di Yogyakata?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan teori sosial indonesia.
2. Untuk mengetahui penyebab teori sosial tidak bisa mengatasi problematika yang
ada di indonesia.

3. Untuk mengetahui pemikiran Kuntowijoyo sebagai alternatif indigenisasi dalam
menyelesaikan problematika yang ada di indonesia.
4. Untuk mengetahui pemikiran selo sumardjan terhadap indigenisasi teori sosial
indonesia dalam disertasinya mengenai perubahan sosial di Yogyakata.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Teori Sosial Indonesia
Sejarah perkembangan teori sosial indonesia terbagi menjadi beberapa fase
yaitu ilmu sosial colonial(indologi), ilmu sosial developmentalis dan ilmu sosial
kotemporer. Perkembangan tersebut tidak hanya di pengaruhi oleh zamanya saja
melainkan juga pemikiran-pemikiranya juga. Perkembangan-perkembangan teori
sosial indonesia yaitu:
a. Ilmu sosial Kolonial/Indilogi
Ilmu sosial awalnya merupakan corpus yang telah melembaga dimana
di bentuk di Leiden yang dimana di lembaga tersebut menyiapkan para
pegawai administrasi yang kemudian akan dikirim di Negara hindia
belanda(sekarang Indonesia). Zeitgeist (iklim intelektual) yang melatr
belakangi


ini

ialah

proses

pasifikasi

daerah

jajahan

di

hindia

belanda[ CITATION Nas161 \l 1033 ]. Penjajah yang telah merebut daerah
jajahanya mereka juga membutuhkan ilmu pengetahui tentang masayarakat di
daerah jajahan tersebut untuk menguasai masyarakat tersebut sehingga mudah
untuk di kendalikan. Untuk itu didirikan nya Universitas Leiden dan dengan

semangat orientalisme masuk ke Indonesia melaui lembaga colonial di luar
institusi. Pada tahun 1920-an didirikanlah dua perguruan tinggi terkait ilmu
sosial yaitu Sekolah Tinggi Hukum (Rechsthogeschool, RHS) dan Fakultas
Sastra dan Filsafat ( Fasulteit der Letteren en Wijsbegeerte) yang dimana kedua
lembaga perguruan tinggi tersebut berkembanglah ilmu-ilmu sosial versi
indilogie.
-

Beberapa

ciri

umum

dalam

perkembangan

Ilmu


sosial

Kolonial/Indilogi:
Rezim colonial belanda datang ke Indonesia tidak hanya membawa perangkat
birokrasi colonial, melainkan juga rezim ilmu sosial[CITATION Nas16 \p 20 \l
1033 ] berarti dalam hal tersebut dapat kita ketahui bahwa colonial Belanda
datang ke Indonesia membawa ilmu-ilmu campuran. Ilmu campuran disitu
ialah mereka bukan ahli dalam satu bidang melainkan banyak bidang. Jadi
kendati terdapat keahlian bidang-bidang keahlian dalam akademi indilogie
seperti geografi sosial, antropologi, sosiologi, etnologi, filosofi, studi islam,

hukum adat dan linguistic, pada masa nya seorang indolog menguasai banyak
bidang sedang mata kuliah sejarah masih bergabung dalam semua mata kuliah
tersebut
-

sebelum

mendirikan


jurusan

sejarah

dan

filsafat

tahun

1940[ CITATION Nas161 \l 1033 ].
Sesuai dengan sifatnya ilmu sosial versi indilogie knoeledge is power mana
kala kelompok disiplin ilmu itu kian identic dengan ilmu Negara yang
mengabdikan dirinya untuk kepentingan kekuasaan dan jika perlua harus

-

masuk kedalam birokrasi pemerintah colonial.
Ilmu sosial Indonesia generasi pertama ini hampir terdiri dari para ilmuan
sarjana belanda yang ilmunya sampai saat ini masih berpengaruh seperti J.H

Boeke ( teori ekonomi ganda) Van Volenhoven (hukum teori adat) dan lain
sebaginya.
Bagaimana

pun

perkembangan

indilogie

merupakan

tonggak

awal

perkembangan ilmu pengetahuan sosial yang membangun sebuah aspirasi,
proposisi dan pencarian legitimasi. Aspirasi yang di maksudkan adalah untuk
mengatahui kehidupan masyarakat indonesia khususnya ketika zaman penjajahan.
Kemenangan kemerdekaan indonesia sebernarnya bukan karena kemenangan di

medan perang melainkan juga karena perkembangan ilmu pengetahuan.
b.

Ilmu sosial Developmentalis
Semenjak terjadinya perang dunia ke II peradaban ilmu indonesia yang
berkiblat indilogie menjadi berkiblat ke AS. Ketika indonesia setelah di jajah
banyak sekali perubahan khusus nya di bidang politik. Salah satunya adanya
penggusuran masyarakat belanda dimana pihak-pihak belanda yang berada di
indonesia di lakukan sterilisasi dari pihak-pihak belanda tak lain masyarakat
belanda yang bekerja di perguruan tinggi di indonesia mereka melakukan
pemberhentian. Terputusnya hubungan antara belanda dengan indonesia membuat
banyak terjadi peerubahan khususnya di bidang peradaban ilmu. Peradaban ilmu
saat itu menjadi berkiblat ke AS karena setelah perang dunia I AS adalah Negara
adidaya. Berkembangnya kawasan studi sebagai salah satu strategi penting dalam
perkembangan ilmu-ilmu sosial meskipuntak lain didalamnya juga terdapat
kepentingan-kepentingan ideologi global. Di indonesia sendiri karena pengarug

The Social Science Research Council yang di bentuk oleh AS setelah perang dunia
ke II membuka jalan kerjasama antara kedua Negara tersebut dengan melakukan
pertukaran mahasiswa.
Studi di kawasan Asia Tenggara khusunya indonesia mendapat perhatian
khusus terhadap AS sebab tidak ada Negara di kawasan Asia Tenggara selain
Indonesia yang oleh AS banyak sekali menggelontorkan dana. Dana tersebut tidak
hanya di gunakan untuk pembangunan melainkan digunakan untuk pertukaran
dibidang pendidikan kemudian untuk tujuan riset. Dibidang pendidikan AS dengan
Indonesia melakukan pembiayaan mengenai bagi para doctoral yang kemudian
membuat disertasi dan tidak hanya sebatas itu saja melainkan juga nantinya
menerbitkan buku yang di Indonesia digunakan sebgai rujukan.
Dengan demikian ilmu sosial di indonesia secara lambat tahun tetapi pasti
mulai bergeser dari tradisi indilogie yang berorientasi eurosentrisme ke ilmu sosial
developmentalis ,yang berorientasi AS[CITATION Nas161 \p 23 \l 1033 ]. Erat
kaitannya dengan butir di atas, studi kawasan (dalam hal ini Asia Tenggara,
khususnya Indonesia) merupakan unit kajian yang dapat ditarik ke dalam orbit
akademik dan sekaligus ideologi politik AS. Di situ ilmuwan sosial bekerja secara
bersama-sama menangani masalah-masalah pembangunan ekonomi secara
komprehensif, terutama dengan mengadopsi teori-teori modernisasi sebagai
maisntreamnya. Konsep-konsep utama dalam teori modernisasi mempertegas
pembagian dua dunia. Kalau pra PD II hanya ada dua dunia: penjajah dan rakyat
jajahan, dikotomi baru berasal dari teori modernisasi ialah: dunia tradisionalmodern, yang berakar pada konsep-konsep klasik sosilogi seperti gemeinschaftgeselschaft (Tonnies), solidaritas mekanis-solidaritas organik (Durkheim), folkurban (Redfield), agraris dan industrial, maju dan terkebelakang(Gunder Frank)dan
seterusnya [ CITATION Mes14 \l 1033 ]. Konsepkonsep tersebut menjadi alat
analisis yang digemari, tetapi sekaligus juga mencerminkan titik perhatian mereka
terhadap masalah-masalah ‘pembangunan’ di negara Dunia Ketiga (Belakangan
citra hierarkhis dari ”Dunia Ketiga” diubah sedemikian rupa menjadi lebih egaliter:
“Tiga Dunia”). Menurut Utrecht, 1973; Wertheim, 1984 dalam [ CITATION Mes14
\l 1033 ] Kalangan ilmu sosial Marxist umumnya sudah lama mencurigai teori-

teori modernisasi, termasuk yang dikembangkan AS di Indonesia sebagai ilmu
‘borjuis’ dan ahistoris .
Pertengahan 1960-an, ilmu sosial yang ada di Indonesia tak lain ialah ilmu
sosial yang diperkenalkan oleh sarjana Amerika di universitas-universitas di
negerinya dan dibawa ke Indonesia dalam kerangka kerja sama riset dan
pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Termasuk ke dalam jaringan ini antara lain
ialah didirikannya pusat-pusat pelatihan ilmu sosial di beberapa tempat di Jawa dan
luar Jawa. Implikasi teoretis-metodologis dari kecenderungan ini amatlah besar
pengaruhnya terhadap perkembangan selanjutnya. Pendidikan lanjutan yang
mereka peroleh, seperti juga pergaulan akademik internasional mereka pada
periode yang lebih kemudian, membuat watak indologie semakin menghilang, dan
sejak itu digantikan oleh mainstream ilmu sosial developmentalis yang mejadi
pusat

gravitasi

baru

dalam

khazanah

Indonesia[ CITATION Mes14 \l 1033 ].
c. Ilmu sosial kotemporer indonesia
Penggunaan istilah kotemporer hanyalah

pengembangan

di

gunakan

ilmu

atau

sosial

merujuk

perkembangan dan kemajuan ilmu sosial pada saat orde baru dan sesudahnya. Pada
pertengahan pertama 1960-an belum bisa berbicara tentang statistik perkembangan
ilmu sosial Indonesia, baik mengenai profesi ataupun komunitas ilmuwan sosialnya,
maupun lembaga penelitian dan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang lebih profesional.
Namun sejak awal Orde Baru, memasuki tahun 1970an — sejalan dengan pulangnya
sejumlah sarjana ilmu sosial yang menyelesaikan studi mereka di luar negeri,
tampaknya hal-hal penting. Menurut [ CITATION Mes14 \l 1033 ] perkembangan
ilmu sosial pada tahun 1980-an yaitu:
Mengamati perkembangan ilmu sosial sampai tahun 1980-an, orang pada
umumnya berpendapat bahwa tingkat dukungan dan minat pemerintah terhadap
ilmu sosial di Indonesia melebihi negara mana pun di Asia Tenggara. Peluang
ini dalam satu dan lain haljelas merupakan buah yang telah disemaikan sejak
tahun 1950-an, ketika ilmu sosial developmentalis makin mengikis tradisi ilmu
sosial kolonial alias indologie.
Berikut beberapa hal menarik pada masa perkembangan ilmu sosial kotemporer:
- Semakin banyaknya minat sarjarana luar negeri yang semakin tertarik
mempelajari indonesia. Pertama di awali oleh AS, Australia, Ingris,
Prancis, jerman dan belakangan ini juga di Swedia dan Jepang.

Bersamaan dengan kecenderungan di atas, ada dua gejala unik
yang perlu dicatat: pertama masuknya kembali generasi baru
peneliti Belanda yang sudah ‘tercerahkan’ dalam paradigma
baru dalam “werkgroep” Indonesich studies dengan sejumlah
bidang studi (vakgroep) di berbagai universitas Belanda,
menggantikan mantel lama, indologie[ CITATION Mes14 \l
1033 ]
Dengan hal tersebut tercipntanya hubungangan antara kawasan Asia
Tenggara karena pada satat sebelum PD II belum mengenal kerjasama
-

tersebut.
Tingginya kadar “parokhial” antardisiplin ilmu yang terorgaisasi
dalam lmbaga atau rumpun ilmu sosial, baik ke luar mau ke dalam.
Ke luar, maksudnya klaim keabsahan pembagian ilmu pengetahuan
modern ke dalam tiga locus yang secara instrinsik dianggap berbeda:
rumpun ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan (humaniora).
Di lembaga pendidikan tinggi, masing-masing cenderung melihat diri
mereka sebagai berbeda dan membuat sekat-sekat yang tinggi satu
sama lain[ CITATION Mes14 \l 1033 ].
Ke dalam maksudnya perbedaan di antara rumpun displin ilmu-ilmu
sosial (dalam bentuk jamak). Keduaduanya sama parahnya karena
masing-masing saling mengabaikan dan bahkan melecehkan satu
sama lain, sehingga terjadi apa yang digambarkan oleh Burke (2005)
sebagai “dialog si tuli”, suatu fenomena klasik yang rupanya juga
terjadi Barat. Lebih celaka lagi, kelompok yang satu cenderung
memandang rendah yang lain, atau kalau bukan demikian, yang satu
merasa lebih hebat dari yang lain. Ahli sejarah atau mahasiswa
sejarah, misalnya, seringkali dilecehkan dengan mengaggap pekerjaan
mereka hanyalah sebagai tukang kumpul fakta-fakta (facts-collector),
mengurus manusia yang telah mati; pekerja ilmu amatiran yang
rabun, karena tidak mempunyai teori. Ini mengingatkan kita pada
ejekan Herbert Spencer yang mengatakan bahwa sejarawan hanyalah
tukang angkat batu (fakta) yang akan digunakan sosiologiwan untuk
membuat bangunan. Sebaliknya banyak sejarawan yang memandang
ilmuwan sosial sebagai orang yang suka menggunakan jargon-jargon
yang kabur untuk menyatakan hal-hal yang sudah jelas; tidak
memiliki sense waktu dan tempat, membenamkan individu ke dalam

kategori-kategori umum yang kaku. Maka untuk menutup semua ini,
mereka menyebut kegiatan mereka sebagai hal yang ‘ilmiah’.
Dibeberapa tempat di Indonesia, para dosen dan mahasiswa fakultas
tertentu ramairamai ikut mendesak agar pindah ke atau bergabung
dengan fakultas lain karena beberapa alasan praktis, tiak nayaman di
rumah yang lama, antara lain merasa ijazah cap fakultas mereka yang
lama kurang “bonafide” atau kurang dihargai oleh pemerintah atau
biro pelayanan tenaga kerja. Jadi berkaitan dengan masalah praktis
dari segi kelembagaan atau organisasi ilmu pengetahuan[ CITATION
-

Nas161 \l 1033 ]
Erat kaitannya dengan butir di atas, ialah kecenderungan ahistoris
ilmuwan sosial Indonesia kontemporer seperti yang disinyalir oleh
Arif Budiman beberapa tahun lalu.1 Ciri ini jelas merupakan
penyimpangan atau bahkan kemersotan dua tipologi ilmu sosial
sebelumnya, baik indologi maupun ilmu sosial developmentalis sejak
semula sangat kuat dalam apresiasi sejarah mereka. Ini tidak hanya
berlaku di kalangan para perintis seperti Geerzts dan Ben Anderson
dan lain-lain, tetapi juga di kalangan generasi pertama ilmuwan sosial
Indonesia sendiri seperti Selo Soemardjan dan juniornya Harsja
Bachtiar (sosiologi), Sayogyo (sosiologi pertanian), Kuntjaraningrat
(antropologi), Sumitro Djojohadikusumo (ekonomi), dan tentu saja
juga

-

Soekmono

(arkeologi)

untuk

menyebut

beberapa

di

antaranya[ CITATION Mes14 \l 1033 ]
Perangkap ideologi dalam kajian ilmu sosial kontemporer. Para
ilmuwan sosial di negara-negara Dunia Ketiga, yang notabene adalah
bekas negeri jajahan seperti Indonesialambat laun ‘mulai sadar dan
merasa malu bahwa mereka terlalu lama hidup sebagai sarjana
imitasi’[ CITATION Kle87 \l 1033 ].
Dengan demikian, pengalaman-pengalaman baru dalam pembangunan

(modernisasi) dan praktek ilmu sosial developmentalis, menimbulkan
ketidakpuasan intelektual yang baru pula. Dalam situasi yang paradoks

seperti itu, di manakah sesungguhnya tempat ilmuilmu sosial (dalam
bentuk jamak) Indonesia, khsususnya di tengah perkisaran sejarah bangsa
yang dilanda krisis multidimensi berkepanjangan dewasa ini, yang
notabene berada pada pergantian zaman: pergantian abad, pergantian
melinium, pergantian rejim, pergantian paradigma dan seterusnya. Atas
dasar itu, maka kiranya tidak mudah untuk mengidentifikasi gambaran
monolitik tentang ilmu sosial Indonesia hari ini, yang masih sedang
berlangsung dan tengah mencari legitimasi-legitimasi baru, seperti yang
tampak dari wacana “indigenisasi” ilmu sosial Indonesia akhir-akhir ini
[ CITATION Mes14 \l 1033 ].

B. Teori Sosial Minim Berkontribusi terhadap Problematika Yang Ada Di Indonesia
Ilmu sosial pada dasarnya membahas dan mempelajari manusia, perilakunya
serta interaksi di dalam masyarakat[CITATION Nas14 \p 104 \l 1033 ]. Sehigga dari
tersebut ilmu sosial merupakan ilmu yang tidak bisa jauha dari kehidupan manusia
sebab objek dari ilmu sosial sendiri adalah manusia beserta lingkunganya. Ilmu sosial
memiliki peran yang penting dalam kehidupan seperti yang disampaikan Hatta dalam
[CITATION Nas14 \p 105 \l 1033 ] menyampaikan 3 kegunaan ilmu sosial yaitu :
Critical discource, keabsahan penelitian ditentukan oleh keterikatan pada
semua keharusan akademis. Academic enterprise, memposisikan ilmu-ilmu
sosial tidak bebas nilai yang terkandung didalamnya. Ilmu sosial yang ada
memiliki nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ilmu sosial tidaklah terlepas
dari nilai yang melekat padanya. Applied Science, ilmu sosial diperlukan untuk
hal-hal praktis membantu menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada
dalam masyarakat. Ilmu ilu sosial digunakan untuk mendiskripsikan,
memprediksi dan menjawab isu-isu sosial yang muncul. Jadi ilmu sosial
mampu menggambarkan fenomena yang terjadi. Dari fenomena tersebut
dijadikan acuan dalam mengkaji dan menatap masa yang akan datang. Dengan
seperti itu manusia dapat berfikiran kedepan dan tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama.
Dari kutipan diatas dapat kita kethui bahwa ilmu sosial diharapkan dapat
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Ilmu sosial
seharusnya mempunyai peran penting dalam penyelesaian masalah-masalah yang ada.
Teori sosial bukan hanya sekedar teori yang harus di pelajari saja melainkan sebuah
teori yang harus di pelajari di kaji dan dapat ditepakan untuk menyelesiaikan

problematika yang ada. Teori sosial yang berkembang di indonesia saat ini mengalami
berbagai macam problematika yang serius.Perkembangan terori sosial saat ini sangat
miris sebab teori sosial yang ada di Indonesia merupakan ilmu Sosial yang di adobsi
dari dunia barat. Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Asia dan Indonesia ada sangat di
pengaruhi dan didominasi oleh Barat-Eropa. Hal semacam ini terjadi karena anggapan
barat yang selalu unggul. Banyak Negara-negara yang beranggapan bahwa Negara
Barat-Eropa merupakan pusatnya peradaban ilmu khususnya ilmu sosial sehingga
banyak yang memperdalam ilmu tersebut dan menerapkanya di Indonesia. Selain itu
Indonesia

sendiri

mengalami

ketergantungan

terhadap

teori-teori

barat.

Kebergantungan ini dimana kan dengan captive maind oleh Syed Farid Alatas.
Menurut catatan Syed Farid Alatas dalam [CITATION Nas161 \p 5 \l 1033 ]tingkat
kebergantungan ilmuan sosial di Negara berkebang seperti :
1)kebergantungan pada gagasan. 2)kebergantungan pada media gagasan.
3)kebergantungan pada teknologi pendidikan. 4) ketergantungan pada bantuan
rised dan pengajaran. 5)kebergantungan pada investasi pendidikan. 6)
kebergantungan ilmuan sosial Dunia Ketiga pada permintaan barat akan
keterampilan mereka.
Dari ke enam keterangan tersebut saat ini sangat mencerminkan Indonesia.
Indonesia mengalami kebergantungan gagasan dimana para ilmuan selalu meneliti
gagasan barat. Selain itu hal tersebut di karenakan rasa menghargai terhadap sesama
ilmuan yang sangat kurang. Kebanyakan orang indonesia sudah merasa minder dengan
apa yang mereka miliki termasuk gagasan. Untuk itu mereka lebih percaya diri dengan
menggunakan gagasan yang dihasilkan oleh Negara barat. Selain itu aturan kutip
mengutip juga dirasa belum terlalu melihat di buktikan banyaknya plagiasi. Hal lain
para ilmuan yang dirasa kurang di hargai dinegara sendiri untuk itu mereka justru lebih
banyak lari ke luar negeri dan mereka lebih di hargai disana.
Para ilmuan juga ketergantungan pada bantuan rised dan pengajaran. Hal
tersebut bisa dilihat ketika seseorang hendak melakukan penelitian mereka
ketergantungan berupa dana dimana mereka harus menunggu dana tersebut turun.
Dengan seperti itu para ilmuan tidak akan bekembang lebih pesat karena harus
menunggu dan menunggu. Selain itu juga banyak para ilmuan yang mengadopsi ilmu
barat-Eropa dengan tidak mengkritisi terlebih dahulu melainkan langsung diadopsi dan
langsung di terapkan di Indonesia. Padahal yang perlu kita ketahui bahwa bentukan

teori yang ada di barat merupakan penyelesaian- penyelesaian yang ada di Negara
barat sendiri dan tentunya berbeda dengan indonesia. Dengan hal itu para ilmuan
seharusnya sebelum menerapkanya harus di kritisi terlebih dahulu apakah teori
tersebut cocokan atau tidak jika di terapkan di indonesia.Selain itu permasalahan juga
terjadi pada jenjang perguruan tinggi yang seharusnya dari sanalah keluaran ilmuanilmuan yang handal dan menngerti mengenai keindonesiaan. Tetapi berbanding
terbalik dimana kebayakan mahasiswa saat ini masih menganggap bahwa dosen
merupakan sumber dari segala ilmu dan bukan menjadikaya sebagai partner
berdiskusi.
Kondisi perkembangan teori ilmu sosila indonesia saat ini belum terlalu
berkembang. Hal tersebut dikarenakan saat ini ilmu teori ilmu sosial yang berkembang
bukan asli teori yang mencerminkan indigenisasi tetapi hasil dari adobsi dari BaratEropa. Persoalan perkembangan teori sosial saat ini bisa dikatakan minim sekali
berkontribusi terhadap penyelesaian masalah-masalah yang ada diindonesia. Hal ini
dikarenakan minimnya kontribusi ilmuan-ilmuan indonesia yang mengembangkan
teori sosial yang berlatar belakang budaya indonesia. Para peneliti tidak percaya
dengan ilmu yang mereka ciptakan olehkarena itu hal tersebut menjadi sebuah
problematika karena mereka menganggap barat sebagai pusat dari segala ilmu.
Kemudian menurut pemikiran Syed Farid Alatas dalam [ CITATION Nas16 \l 1033 ]
persoalan perkembangan ilmu sosial sebagai berikut:
1.Ada bias eurosentris sehingga ide,model,pilihan masalah, metofologi, teknik
bahkan prioritas riset cenderung semata-mata berasal dari Amerika, Inggris,
Prancis dan Jerman.2. Ada pengabaian umum terhadap tradisi filsafat dan
sastra local.3. Kurangnya kreativtas atau ketidakmampuan para ilmuan sosial
untuk melahirkan teori dan metode yang orisinal. Ada kekurangan ide-ide
orisinal yang menumbuhkan konsep baru, teori baru dan aliran pemikiran
baru.4. Minimesis(peniruan) terlihat dalam pengadopsian yang tidak kritis
terhadap model sosial barat.5. Diskursus Eropa mengenai masyarakat nonBarat cenderung mengarah pada kontruksi esensialis yang mengkonfirmasi
bahwa dirinya adalah kebalika dari eropa.6. Tiadanya sudut pandang
minoritas.7. Adanya dominasi intelektual Negara dunia ketiga oleh kekuatan
ilmu sosial Eropa.8. Telaah ilmu sosial dunia ketiga dianggap tidak penting
sebagian karena wataknya yang polemis dan retrotik plus konseptualisasi yang
tidak memadai.

Dari beberapa pemikiran Syed Farid Alatas dapat kita ketahui bahwa
perkembangan ilmu sosial di Indonesia mempunyai problematika yang sangat riskan.
Dalam pemikiranya pula beliau menjelaskan bahwa terdapat pengabaian terhadap
tradisi filsafat dan sastra local yang di tandai banyaknya ilmuan yang lebih
memperdalam teori-teori barat yang di pandang unggul dalam segala hal. Selain itu
pengadopsian ilmu barat yang tidak dikritisi terlebih dahulu juga membuat
kemandegkan ilmu sosial apalagi ilmu sosial yang ada di barat merupakan hasil dari
merupakan hasil dari penyelesaian dari problematika yang ada di Negara-negara Barat
sendiri yang tentunya jika di terapkan di indonesia tidaklah relevan. Selain itu adanya
hegemoni teori sosial barat yang berarti gagasan tertentu lebih berpengaruh (barat) dari
pada gagasan yang lain. Teori sosial barat selalu di unggul-unggulkan lebih
berpengaruh dalam segala hal dan itu pula sudah termainset kedalam pemikiranpemikiran ilmuan-ilmuan yang ada di Indonesia sendiri. Selain itu para ilmuan
indonesia juga di posisikan sebagai konsumen yang selalu membeli teori-teori
pemikiran dari dunia barat yang jika teori-teori tersebut di terapkan di indonesia
menjadi tidak relevan.
C. Pemikiran Kuntowijoyo Sebagai Alternatif Indigenisasi dalam Menyelesaikan
Problematika Yang ada di Indonesia
Kuntowijoyo adalah sejarawan, budayawan, dan sastrawan Indonesia.
Kuntowijoyo merupakan salah satu intelektual dan akademisi. Sebagai intelektual dan
akademisi beliau banyak menghasilkan telaah-telaah kritis terhadap berbagai masalah
sosial, budaya, dan sejarah. Perhatian terhadap sejarah, sosial, dan budaya terlihat dari
buku-bukunya yang banyak beredar di masyarakat. Semasa hidupnya, ia mengajar di
jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (sebelumnya Fakultas Sastra) Universitas
Gadjah Mada. Peraih gelar doktor dari Universitas Colombia, dengan disertasi Social
Change in an Agrarian Society : Madura 1850-1940, ini banyak menerima
penghargaan atas karya- karyanya di bidang sastra. Karyanya tersebar pula dalam
berbagai antologi. Sebagai sastrawan beliau banyak menerima penghargaan, antara
lain Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan
Penulisan Sastra Pusat Pembinaandan Pengembangan Bahasa untuk Buku Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga (1994), Penghargaan Kebudayaan dari ICMI (1995), Cerpen
Terbaik Kompas (1995,1996, 1997, dan 2005), ASEAN Award on Culture (1997),

Satyalencana Kebudayaan RI (1997), Mizan Award (1998), Penghargaan Universitas
Sumatera Utara. Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999),
dan Sea Write A ward dari Pemerintah Thailand (1999). Sastrawan kelahiran Bantul,
Yogyakarta, 18 September 1943 ini adalah alumni Universitas Gadjah Mada. Semasa
mahasiswa, Kuntowijoyo mendirikan

Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam

(Leksi) dan Studi Grup Mantika (bersama Dawam Rahardjo, Sju’bah Asa, Chaerul
Umam, Arifin C. Noer, Amri Yahya, Ikranegara, dan Abdul Hadi W.M.).
Kematangannya sebagai sastrawan dan intelektual semakin terbukti dengan beberapa
karya semasa dan setelah ia menyelesaikan studi S-2 (University of Connecticut, 1974)
dan S-3 (Columbia University, 1980) di Amerika Serikat. Tidak banyak sastrawan
Indonesia yang sukses sebagai sastrawan sekaligus sebagai intelektual dan akademisi.
Kualitas dan produktivitas Kuntowijoyo menulis karya sastra sebanding dengan
kekuatannya menulis karya ilmiah dalam bidang sejarah atau pemikiran sosial berbasis
Islam.

Baik

dalam

sastra

(khususnya

prosa)

maupun

dalam

dunia

intelektual/akademisi, Kuntowijoyo menduduki posisi penting dan terhormat. Dua
aktivitas itu dijalaninya dengan khusyuk, dengan perhatian dan penekanan yang
seimbang [CITATION Bio \p 1-3 \l 1033 ].
Kuntowijoyo merupakan cendekiawan yang melakukan protes terhadap segala
bentuk hal-hal yang menyimpang di masyarakat. Sejatinya seorang cendekiawan ilalah
sosok yang selalu melakukan protes terhadap penyimpangan-penyimpangan yang ada
di masyarakat. Menurut Fikri dan Dharwis dalam bukunya [ CITATION Nas161 \l
1033 ] intelektual bukanlah seseorang agen of social change yang membangun tangga
dari langit dan dari puncak ketinggianya menyampaikan kebenaran-kebenaran itu,
cendekiawan harus bisa memposisikan diri dimasyarakatnya. Cendekiawan seperti
yang di nyatakan oleh Lewis Coser dalam [ CITATION Nas161 \l 1033 ] adalah orangorang yang tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Cendekiawan
adalah sosok yang selalu melakukan protes terhadap penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi di masyarakat.
Persoalan yang sedang terjadi di indonesia saat ini adalah bagaimana
menciptakan ilmu sosial yang bersifat tentang keindonesiaan. Ilmu sosial yang ada saat
ini mengalami kemandegkan. Sosok Kuntowijoyo hadir dengan membawa konsep
ilmu sosial profetik yang merupakan suatu ilmu yang tidak hanya menjelaskan dan

mengubah fenomena sosial tetapi memberi pentunjuk kea rah mana transformasi itu di
lakukan untuk apa dan oleh siapa. Oleh sebab tersebut bahwa ilmu sosial tidak hanya
bedasarkan citta-cita etik tetapi juga bedasarkan profrtik tertentu. Menurut
Kuntowijoyo dalam [ CITATION Nas16 \l 1033 ] arah perubahan yang diidamkan
masyarakatnya adalah didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan
transendesi suatu cita-cita

profetik yang diderivasikan dari misi historis islam

sebagaimana terkandung kedalam

surat Ali Imron ayat 110 (Kuntowijoyo, 2003).

Surat Ali Imron ayat 110: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah
manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan
beriman kepada Allah. Tiga muatan nilai inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial
profetik. Dengan kandungan nilai –nilai humanisasi, liberalisasi, dan transendensi,
ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosioetiknya di masa depan.
Spirit profetik tidak hanya mempersoalkan budaya intelektual positivistik yang
value free, tetapi juga secara jelas mengharuskan ilmu sosial Indonesia untuk secara
sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Spirit profetik menjadi dasar pijakan
pengembangan ilmu sosial atau dalam bahasa Kuntowijoyo dengan istilah Ilmu Sosial
Profetik, ilmu yang tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami
realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang
diidamkan masyarakatnya. Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga nilai
penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk
karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai
budaya/tradisi sosialnya, artinya manusia yang tidak hanya memusatkan perhatiannya
pada

manusia

sebagaimana

dalam

antroposentris

Barat,

tetapi

manusia

teoantroposentris menjadikan Tuhan sebagai pusatnya, tapi tujuannya adalah untuk
kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak
lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Tujuan transendensi adalah untuk
menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan, membersihkan diri dari arus
hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden (Kuntowijoyo, 1991). Kita
percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingat

kembali dimensi transedental yang menjadi bagi an sah dari fitra kemanusian. Kita
ingin merasakan kembali dunia sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam
suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesaran
Allah (Kuntowijoyo,2003). Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada
dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis,
budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness
(privatisasi, individuasi) (Kuntowijoyo, 2001). Dimensi liberasi Kuntowijoyo
menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem
ekonomi

dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat

mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia. Dalam tema
umum humanisasi dapat dilakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan
pemecahannya, yaitu dehumanisasi (objektivitas teknologis, ekonomis, budaya, atau
negara), agresivitas kolektif, dan kriminalitas), dan loniliness (spivatisasi, individuasi).
Dehumanisasi terjadi antaranya karena dipakainya teknologi (baik berupa alat-alat
fisik maupun metode). Masyarakat dalam dunia isdustri mudah sekali terjatuh,
kehilangan kemanusiaan. Karenanya usaha untuk mengangkat martabat manusia,
(emansipasi). Sebagaimana didalam firman Allah:
“manusia jatuh ke dalam tempat keterhinaan, kecuali orang- orang yang
beriman dan beramal shaleh”,Ayat mengatakan bahwa orang dapat terjatuh ketempat
yang paling rendah, kemudian ayat itu mengecualikan ornag- orang yang beriman dan
beramal shaleh, dan jelas bahwa ayat itu menegaskan kepada pilar ilmu sosial profetik
“humanisasi” yaitu iman dan amal shaleh, dan tentu saja implikasi iman amal shaleh
itu sangat luas[ CITATION ZUL12 \l 1033 ].
Liberasi yang dimaksud Kuntowijoyo dalam ilmu sosial profetik adalah dalam
konteks ilmu, yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Nilai-nilai liberatif dalam
ilmu sosial profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang
memiliki tanggung jawab profetik [ CITATION ZUL12 \l 1033 ]. Tujuan liberasi
dalam adalah pembebasan manusia dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan
teknologi, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas, dan hegemoni
kesadaran palsu. Semangat liberatif ini dicari pada nilai-nilai profetik transendental
dari agama yang te lah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif factual
(Kuntowijoyo, 2001).

Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai
bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama
pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik. Transendensi adalah
dasar dari humanisasi dan liberasi[ CITATION Sya51 \l 1033 ].
D. Pemikiran Selo Sumardjan Terhadap Indigenisasi Teori Sosial Indonesia dalam
Disertasinya Mengenai Perubahan Sosial di Yogyakata
Selo Sumardjan dikenal dikalangan akademik dan masyarakat di Indonesia sebagai
bapak sosiologi, ilmu yang digelutinya sejak beliau menempuh pendidikan tingginya
untuk memperoleh gelar

doktor. Thesis beliau yang berjudul social change in

Jogjakarta, menjadi salah satu puncak pencapaian beliau yang melahirkan gelar
sebagai profesor dengan arus utama sosiologi. Selo Sumardjan lahit di Yogyakarta, 23
Mei 1915, merupakan pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi
dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Nama Selo Sumardjan
sangat melekat dengan sosiologi. Pada tahun 1956 beliau memeperoleh kesempatan
menuntut Ilmu di Cornell University, Amerika Serikat. Di sinilah beliau menunjukan
kehebatanya, hanya dalam kurung waktu kurang dari empat tahun beliau boleh pulang
ke tanah air dengan menyandang gelar Ph.D. di bidang sosiologi. Selama hidupnya,
Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan daerah Istimewa Yogyakarta,
Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretaris Staf
Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretaris Negara merangkap
sekretaris Umum Badan pemeriksaan Keuangan. Pada tahun 1959 beliau dikenal
sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah meraih gelar doktornya di Cornell
University, AS dan pada tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra
Utama dari Pemerintah dan pada tanggal 10 Agustus 1994 menerima gelar ilmuwan
utama sosiologi.
Selo Sumardjan dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kesultanan Yogyakarta
Hadiningrat. Kakeknya raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di
kantor Kesultanan Yogyakarta. Nama selo diperolehnya setelah menjadi camat di
Kabupaten KulonProgo. Setelah menjabat camat inilah beliau mengawali kariernya
sebagai sosiolog. Pada masa hidupnya beliau dikenal sebagai orang yang tidak suka

memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Beliau
seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisi (KKN). Beliau pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos
kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat
Karya Selo Sumardjan yang berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta menjelaskan
bahwa terjadi perubahan di masyarakat jawa khususnya di daerah Yogyakarta.
Perubahan yang dikaji di daerah tersebut terjadi bukan karena pertambahan penduduk
dan pergantian generasi. Perubahan yang dikaji

Selo Sumardjan berfokus pada

perubahan dalam lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial,
yang di dalamnya termasuk sistem nilai, norma, sikap dan tingkah laku[ CITATION
Nas16 \l 1033 ]. Perubahan yang dipelopori oleh Sultan Hamengkubuwono IX berlaku
dari tinggkat atas hingga tingkat pedesaan. Sultan Hamengkubuwono IX mendahului
konsep perubahan desentralisasi sebelum pemerintah nasional melaksanakanya.
Perubahan yang terjadi di Yogyakarta sendiri di bagi menjadi beberapa fase dari
jaman kedudukan jepang hingga pada pasca kemerdekaan. Yogyakarta di bawah rezim
Belanda katika itu Yogyakarta mendapat tekanan dari pihak Belanda dan Gurbernur
van Hodendorf berhasil memaksa susuhan agar susunan menyerahkan kerajaan
mataram dan isinya dan hanya keturunan lah yang berhak menduduki tahtanya.
Selanjutnya karena pengauh dari pihak Belanda akhirnya menghasilkann Perjanjian
gyanti yang menyebabkan mataram menjadi 2 yaitu kasultanan Yogyakarta dan
Surakarta.

Pimpinan sultan yang tradisional digunakan oleh belanda untuk

menyalurkan politik kolonialnya sehingga rakyat seolah-olah dimpimpin oleh sultan
tetapi dalam sisilain sultan mendapat peengaruh dari Belanda. Yogyakarta pada saat itu
terdapat banyak golongan/kasta di dalam masyarakat seperti contohnya penduduk
belanda, bangsawan, priyayi, pribumi juga ada masyarakat minoritas cina dan lain
sebagainya.
Berakhirnya kedudukan Kolonial Belanda datanglah pendudukan Jepang.
Masyarakat Yogyakarta sudah mempercayainya akan hal tersebut karena terdapat
dalam ramalan Jaya Baya dimana kedudukan Belanda akan berahir dan diganti oleh
kedudukan lain nya hingga tiba saat nya Yogyakarta sendiri akan dipimpin oleh orangorang jawa asli. Awal kedatangan Jepang ke Yogyakarta dengan melakukan
pengusiran orang-orang Belanda di Yogyakarta. Kedatangan Jepang ke Yogyakarta

ustru menimbulkan banyak kesengsaraan. Jepang yang pada saat itu sedang melakukan
kegiata perang mengalami kekurangan bahan makanan, pakaian dan perlengkapan
perang lainya sehingga menimbulkan banyak perampasan dimana-mana. Salah satu
kebijakan yang membuat rakyat menderita adalah dengan diwajibkanya melakukan
penyerahan hasil pertanian sebnayak 70% kepada pemerintah Jepang. Selain itu jepang
selalu menjanjikan kemerdekaan kepada penduduk tetapi haltersebut tidak pernah
ditepatinya.
Setelah jepang menyerah kalah terhadap sekutu berita tersebut segera di respon
oleh masayarakat Yogyakarta dengan melakukan pembentukan KNI. Dengan
pembentukan tersebut bertujuan untuk mengusir penduduk jepang yang ada di
Yogyakarta sendiri. Kejadian tersebut juga siiringi dengan peristiwa bahwa sultan
mengumumkan posisi Yogyakarta yang inti dari pengumuan tersebut Sultan
mengeluarkan surat pernyataan intinya yogyakarta bersifat kerajaan adalah daerah
istimewa yogyakarta, sultan sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam
yogyakarta hadiningrat, hubungan yogyakarta hadiningrat dengan pemerintahan
bersifat langsung
Perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta sangat lah menarik dimana pada
daerah tersebut merupakan daerah kesultanan yang tetap mempertahankan bentuk
feodal. Perubahann ideologi terjadi di Yogjakarta. Perubahan ideologi bisa di lihat dari
dua perspektif pertama status dan peran masyarakat sipil dalam hubunganya dengan
Negara, dari dalam posisi subordinasi (didominasi, diabaikan) dalam proses
perumusan dan eksekusi keputusan yang menyangkut kepentingan pubik, menjadi
lebih melembagakan kompetisi sehat, transparansi dan partisipasi. Kedua status dan
peran lembaga-lembaga pemerintahan dari sangat sentralistik dan otokrasi menjadi
desentralistik dan demokrasi [ CITATION Nas16 \l 1033 ]. Perubahan yang terjadi di
Yogyakarta menedepankan nilai keselarasan dan keharmonisan sehinga perubahan
yang di peroleh tanpa melakukan proses hingga berdarah-darah. Sri Sultan
Hamengkubowono IX memposisikan dirinya sebgai penggerak dan fasilitatoe beliau
memberikanjalan dan dukungan teknis dan menyerahkan perubahan kepada rakyat.
Salah satu contoh yang melihatkan keterbukaan tersebut adalah dengan di buanya
salah satu ruangan kraton untuk kepentingan umum yaitu di beberapa ruang UGM
yang dahulunya milik kraton dan sekarang menjadi fasilitas umum.

Perubahan politik dan pemerintah di Yogyakarta diprakasai oleh Sultan
Hamengkubuwono atau oleh pemerintah propinsi di bawahnya. Perubahan sosial
dalam konsep pemikiran Selo Soemardjan adalah perubahan – perubahan pada
lembaga – lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai –
nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku antarkelompok dalam masyarakat. Secara
ringkas begitulah proses perubahan-perubahan yang terjadi di Yogyakarta. Proses
perubahan sosial di Yogyakarta memunculkan dalil-dalil umum yang merupakan
perubagan karakteristrik sosial seperti[ CITATION Sel81 \l 1033 ]:
a. Kalau ada rangsangan yang cukup kuat untuk mengatasi hambatan –
hambatan yang cukup kuat untuk mengatasi tahap permulaan proses
perubahan, maka hasrat akan perubahan sosial bisa berubah menjadi
tindakan untuk mengubah.
b. Orang – orang yang mengalami tekanan kuat dari luar cenderung
mengalihkan agresi balasan mereka dari sumber tekanan yang
sebenarnya ke sasaran – sasaran materill yang ada sangkut pautnya
dengan sumber itu.
c. Rakyat yang tertekan oleh kekuatan luar cenderung untuk bekerjasama
dengan kekuatan luar, tetapi hanya untuk mempertahankan ketentraman
jiwa mereka.
d. Orang – orang yang tertekan cenderung untuk menjadi lebih agresif.
Hal ini disebabkan mereka semakin menyadari adanya kesenjangan
antara keadaan hidup sekarang dengan keadaan yang diinginkan.
e. Proses perubahan sosial di kalangan para pelopor – pelopornya bermula
dari pemikiran ke sesuatu di luar (eksternal). Di kalangan para warga
masyarakat lainnya, proses itu berlangsung dari sesuatu di luar
(eksternal) ke sesuatu yang bersifat kelembagaan.
f. Harta kekayaan yang diinginkan, tetapi tidak bisa lagi diperoleh karena
jalan itu ditutup oleh kekuatan – kekuatan rasionalisasi. Dalam hal yang
ekstrim, harta kekayaan itu tidak dihargai.
g. Rakyat menolak perubahan karena berbagai alasan, antara lain:
( Mereka tak memahaminya, perubahan itu bertentangan dengan nilai –
nili serta norma – norma yang ada, para anggota masyarakat yang
berkepentingan dengan keadaan yang ada cukup kuat menolak
perubahan, resiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih besar dari
pada jaminan sosial dan ekonomi yang bisa diusahakan, pelopor
perubahan ditolak,
h. Perubahan – perubahan yang tidak merata pada berbagai sektor
kebudayaan masyarakat cenderung menimbulkan ketegangan –
ketegangan yang mengganggu keseimbangan sosial.
i. Dalam proses perubahan sosial, kebiasaan – kebiasaan lama
dipertahankan dan diterapkan pada inovasi sehingga tiba saatnya
kebiasaan – kebiasaan baru yang lebih menguntungkan menggantikan
yang lama.

j. Kalau rakyat terus menerus tidak diberi kesempatan untuk memuaskan
kebutuhan – kebutuhan sosialnya, mereka cenderung beralih
merenungkan hal bukan keduniawian untuk mendapatkan ketentraman
jiwa. Dalam hal sebaliknya, mereka cenderung untuk menjadi lebih
sekuler dalam sistem kepercayaan.
k. Suatu perubahan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pelopor
yang berlawanan engan kepentingan – kepentingan pribadi (vested
interests) cenderung untuk berhasil.
l. Perubahan yang dimulai dengan pertukaran pikiran secara bebas
diantara para warga masyarakat yang terlibat, cenderung mencapai
sukses yang lebih lama daripada perubahan yang dipaksakan dengan
dekrit pada mereka.
m. Perubahan dari sistem kelas tertutup ke kela terbuka akan disertai
dengan perubahan dari sistem komunikasi vertical satu arah kea rah
sistem komunikasi vertical dua arah.
n. Perubahan dari sistem kelas tertutup ke kelas terbuka cenderung untuk
mengalihkan orientasi rakyat dari tradisi. Maka, mereka menjadi lebih
mudah menerima perubahan – perubahan yang lainnya.
o. Semakin lama dan semakin berat penderitaan yang telaj dialami oleh
rakyat karena berbagai ketegangan psikologis dan frustasi, maka
semakin tersebar luas dan cepat kecenderungan perubahan yang menuju
pada kelegaan.
Perubahan-perubahan sosial di Yogyakarta dapat kita ketahui bahwa pengertian
dari perubahan sosial sendiri adalah perubahan sosial adalah semua perubahan yang
terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat,di mana
perubahan tersebut memengaruhi sistem sosialnya. Perubahan sosial yang dimaksud
mencakup nilai-nilai dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Dalam tesisnya yang dimaksudkan adalah ketika terjadi perubahanperubahan

terhadap

lembaga-lembaga

kemasyarakatan

maka

semua

akan

mempengaruhi sistem sosial seperti halnya yang telah di jelaskan kedalam tesis Selo
Sumardjan perubahan yang dilakukan oleh pemimpin pada saat itu membuat sosial
masyarakat tanpa di sadarai menjadi berubah. Ini merupakan bukti bahwa pemikiran
Selo Sumardjan bersifat keindonesiaan yang berlatar belakangkan Jogjakarta dengan
hal tersebut pemikiran Selo sumardja tersebut sesuai dengan nilai-nilai dan probelatika
yang ada di Indonesia sendiri.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan teori sosial indonesia terbagi menjadi beberapa fase
yaitu ilmu sosial colonial(indologi), ilmu sosial developmentalis dan ilmu sosial
kotemporer. Perkembangan ilmu sosial di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh
tahun saja melainkan bagaimana penyebaranya dan sosok yang mempengaruhi juga
berpengaruh terhadap perkembangan teori sosial indoensia. Selain itu pada
perkembangan Indilogie dipengaruhi oleh rezim Belanda dimana mereka telah lama
menjajah indonesia sehingga mereka dapat empengaruhi perkembangan ilmu sosial
yang ada di indoensia. Pada masa ilmu sosial developmentalis di pengaruhi oleh AS
karena pada saat setelah terjadi perang dunia AS adalah Negara yang menjadi kiblat
peradaban ilmu dimana juga hal ini di pengaruhi oleh ideologi politiknya. Pada saat
kotemporer merupakan istilah yang di gunakan setelah ordebaru dimana masyarakt
mulai sadar tentang pentignya indigenisasi teori sosial indonesia di buktikan mulai
berkembangnya ilmuan-ilmuan yang membaut pemikiran menganai teori sosila
indonesia yang bersifat keindonesiaan.
Ilmu sosial di Indonesia saat ini di pengaruhi oleh barat sehingga dalam
penerapanya ilmu sosial minim berkontribusi terhadap penyelesaiab problematika
yang ada di indonesia sendiri. Negara barat membuat teori bedasarkan hasil dari
penyelesaian problematika-problematika yang ada di Negara barat tentunya dari
sedikit penjelasan tersebut dapat diketahu bahwa latar belakang pembuatan nya saja
sudah berbeda. Problematika yang ada di barat dengan di Indoenesia sudah berbeda
dengan itu jika melakukan pengadopsian tanpa menkri