Menggugat Peran Negara menghadang Modern

Menggugat Peran Negara menghadang Modernisasi Neoliberal
Disusun oleh:
Bonifatius Tulus Sunyoto, M.Sc
Program Studi S-2 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan

I.

Pendahuluan

Komunikasi pembangunan didefinisikan sebagai sebuah upaya dan cara, serta teknik
penyampaian gagasan dan ketrampialn-ketrampilan pembangunan yang berasal dari pihak
yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas, dengan tujuan
masyarakat memahami, menerima dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan-gagasan
yang disampaikan (Nasution,2002).
Konteksnya dengan pembangunan sebagai sebuah proses perubahan kedudukan komunikasi
ditempatkan sebagai sarana untuk mempercepat perubahan di suatu wilayah dan mengubah
orang dari kemiskinan kepada kesetaraan ekonomi yang dinamis yang membuat penduduk
bisa mencapai keadilan sosial dan memenuhi kebutuhan manusia.(Srampickal,2006).
Pembangunan seharusnya diartikan sebagai sebuah instrumen untuk memperbaiki kondisi
masyarakat agar menjadi lebih baik dalam rangka mencapai tujuan akhir, yaitu terciptanya
“kesejahteraan sosial”. Srivinas R. Melkote dalam tulisan “Theories of Development

Communication” (Mody. 2002) “..development means improving the living conditions of
society,...”. yang dapat diterjemahkan sebagai Pembangunan merupakan sebuah keputusan
bersama dari sebuah bangsa. Ahli lain seperti Everett M. Rogers (Sitompul. 2002)
menyatakan bahwa, “ Secara sederhana pembangunan adalah perubahan yang berguna
menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu
bangsa.”.
Pembangunan pada prinsipnya melibatkan tiga komponen dalam hal komunikasi
pembangunan yaitu komunikator pembangunan (umumnya pemerintah, pengambil

kebijakan);

Pesan

pembangunan

yang

berisi

ide-ide


ataupun

program-program

pembangunan; dan Komunikan pembangunan yaitu masyarakat luas, baik penduduk desa
atau kota yang menjadi sasaran pembangunan.
Pembangunan hakekatnya adalah sebuah proses perubahan yang mana tujuannya adalah
mencapai sebuah kesejahteraan. Indonesia sebagai Negara berkembang disadari atau tidak
terjebak dalam kenyataan bahwa pembangunan yang selama ini didengung-dengungkan
untuk mensejahterakan rakyat tak lebih hanya sebuah bualan atau iklan politik penguasa yang
lebih memihak kepada neoliberalisme. Kesejahteraan sebagai tujuan pembangunan tak lebih
hanya disajikan sebagai angka-angka yang belum bisa menjawab arti kesejahteraan bagi
masyarakat.

Pencapaian

pembangunan

yang


selama

ini

dikomunikasikan

adalah

pembangunan yang mengkonstruksi nilai kesejahteraan secara materiil atau berdasarkan
angka-angka ekonomis saja mendorong masyarakat menjadi masyarakat yang individualis,
yang mengakibatkan rusaknya institusi-institusi local (kearifan local) yang sudah ada.
Kapitalisme pembangunan dengan industrialisasi menjadi sebuah konsekuensi dari para
penguasa negara ini agar bisa dikatakan “membangun” karena parameter keberhasilan
pembangunan tak lebih hanya sebagai pencapaian materiil saja bukan secara komprehensif
yang menyangkut sosial, budaya dan prinsip keadilan sosial. Diperparah lagi penguasa
negara kita cenderung tidak memiliki keberanian menolak intervensi negara maju karena
pembangunan di Indonesia sudah terjebak dalam gagasan “hutang untuk membangun” bukan
dalam gagasan “mandiri untuk membangun”.
Bagaimana seharusnya negara sebagai komunikator pembangunan bisa membebaskan diri

dari cengkeraman perluasan pasar negara maju? Apa yang harus dilakukan stake holder
pembangunan? Strategi komunikasi pembangunan seperti apa yang ditawarkan?
II.

Neoliberal : Sebuah Kejahatan Komunikasi Pembangunan sebagai Perluasan
Pasar Untuk Membentuk Ketergantungan Terhadap Negara Maju

Secara historis, ide utama dari paham kapitalis industri adalah mencetak produksi sebesarbesarnya (mass production) melalui teknologi permesinan guna menjawab kebutuhan hidup
manusia. Ide tersebut tidak hanya berhenti sampai pada penemuan teknologi baru,

memperbaiki organisasi produksi dan memperbaiki hubungan produksi, melainkan juga
bagaimana pasar itu diperluas dan dibentuk. Konsekuensi perubahan teknologis ke arah
permesinan ini mendorong kebangkitan produksi hasil pabrikan, yang selanjutnya
mempengaruhi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya (Susetiawan, 2009) Jika pasar
dalam sebuah kawasan telah terpenuhi, sedang proses produksi melalui mesin berjalan terus,
maka perluasan pasar merupakan syarat mutlak untuk menghindari kelebihan produksi (over
production).(Susetiawan, 2009). Perbedaan mencolok dari Liberal dan Neo liberal yaitu
Pemikiran liberal membiarkan pasar bekerja secara bebas, akan tetapi para neoliberalis
berpikir bahwa pasar harus diintervensi secara politik, dibentuk dan diarahkan sesuai dengan
kepentingan untuk memenangkan persaingan (Susetiawan, 2009).

Indonesia selama ini telah mempraktekkan model aliran developmentalis. Yaitu berkisar pada
bagaimana mengubah suatu masyarakat dengan mengubah system ekonominya, konsepnya
mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. (Harun & Ardianto, 2011).
Dugaan suatu bangsa modern ditentukan oleh sarjana Barat. Fjes menyebut suatu bangsa
menjadi sungguh-sungguh modern dan berkembang ketika tiba di titik itu di mana lekat
dengan meniru industry negara-negara Barat dalam kaitannya dengan institusi dan perilaku
ekonomi dan politis, sikap kearah inovasi dan teknologi, dan mobilitas mempunyai kekuatan
batin dan sosial (Harun & Ardianto, 2011)
Adanya pembangunan disuatu negara berkembang biasanya ditandai dengan keluarnya
indikator dari World Bank dan IMF mengenai standar hidup yang pantas dan ketika suatu
negara tidak mencapai standar tersebut, maka akan disebut negara berkembang atau negara
dunia ketiga. Hal itu mengindikasikan bahwa selama ini “pembangunan” masih berkutat pada
angka-angka belum pada bagaimana meningkatkan kapasitas kehidupan masyarakat. Dalam
konteks ini negara dunia ketiga selalu dijadikan sebagai golongan sub ordinat dari hegemoni
Negara maju. (Ife & Tesoriero, 2006).
Ketika

Pembangunan

dikomunikasikan


dengan

bantuan

IMF

dan

Bank

Dunia

konsekuensinya disadari atau tidak bahwa IMF dan Bank dunia di dalamnya beranggotakan
Negara-negara maju yang tentunya memiliki kepentingan ekonomi bagi perluasan pasar
karena Negara Indonesia memiliki jumlah penduduk besar yang sangat potensial sebagai

pasar bagi barang produksinya. Kecurigaan ini menjadi nyata karena sebuah pembangunan
tidak bisa steril dari kepentingan politik.
Pengkomunikasian pembangunan diarahkan kepada Modernisasi ala barat, teknologi yang

dianggap maju adalah teknologi barat, sehingga pola ilmu pengetahuan, pola konsumsi, pola
interaksi sosial pun dibentuk dengan berkiblat pada Negara barat. Hal ini menjadikan
Indonesia sebagai negara yang coercion yaitu negara yang mengakomodasi semua konsep
nilai karena posisinya lemah sehingga terpaksa harus menerima konsep nilai dari pihak yang
kuat (Negara Maju). (Soekanto,1969). Indonesia menjadi negara yang sudah terjebak dalam
cengkeraman kapitalisme Neo Liberal melalui konsep modernisasi, Paulo Freire
(Srampical,2006) mengutarakan model modernisasi adalah seperti model Guru yang
mempunyai simpanan ilmu menjadikan (mengharuskan) siswa sabar menerima , menghafal ,
dan mengembangkan bentuk hanya untuk meningkatkan ketergantungan penerima pada guru.
Kejahatan Komunikasi Pembangunan yang dilakukan di Indonesia dengan berparadigma
Modernization telah memberi dampak terhadap degradasi pembangunan sebagai sebuah
perubahan yang direncanakan untuk mencapai perbaikan atau kesejahteraan. Di Indonesia
terdegaradasinya pembangunan berbasis pengetahuan, kebutuhan dan nilai local karena
totalitas mengadopsi model modernization membuat terganggunya kedaulatan pangan dan
kearifan local yaitu gotong royong sebagai sebuah pencapaian mendasar pembangunan
masyarakat secara holistic yaitu material dan rohani.
III.

Indonesia : Negara Subur Tak Berkedaulatan Pangan


Indonesia sebagai negara yang dilintasi garis Khatulistiwa, berbentuk negara kepulauan
dengan garis pantai yang terpanjang di dunia dianugerahi tanah yang subur, dan hasil
kekayaan laut yang melimpah. Diumpamakan seperti surga dunia, mengutip pepatah Jawa
“loh jinawi kerta raharja” yang artinya subur dan sejahtera. Konsekuensi dari potensi
Indonesia yang begitu kaya Sumber Daya Alam seharusnya Rakyat Indonesia bisa terwujud
sebagai masyarakat yang sejahtera dan tidak berkekurangan pangan. Bahkan secara ekstrim
Indonesia seharusnya mampu membantu Negara-negara lain yang potensi Sumber Daya
Alamnya terbatas.

Kasus kelangkaan kedelai sebagai bahan pokok tempe, ketergantungan terhadap daging sapi
impor, impor garam padahal negara kita memiliki garis pantai terpanjang di seluruh dunia,
impor beras bahkan impor buah-buahan menjadi sebuah anti tesis kenyataan bahwa
Indonesia memiliki kekayaan Sumber Daya Alam dan Indonesia tidak berdaulat pangan.
Semua kebutuhan pokok menjadi komoditas yang harus diimpor. Petani kita dihadapkan
dengan pemodal-pemodal besar yang mampu mendatangkan komoditas impor pesaing
produk local, imbasnya petani kita yang umumnya sebagai “peasant” menjadi bangkrut
karena nilai jual hasil panen lebih rendah dari biaya produksi. Kebangkrutan-kebangkrutan
para petani mengakibatkan ketertarikan untuk menanam suatu komoditas menurun sehingga
produksinya pun menurun padahal kebutuhan akan komoditas agro sebagai kebutuhan
pangan terus naik akibatnya kita harus impor dan sangat tergantung sekali dengan komoditas

impor. Ketergantungan inilah yang sebenarnya dirancang oleh para noeliberalis untuk
memperluas pasar hasil produksinya. Celakanya Pemerintah seakan bangga dan ikut
membidani “Pembunuhan Massal” kedaulatan pangan negara ini melalui kebijakan-kebijakan
yang melindungi impor dan mengabaikan perlindungan terhadap industri pertanian di negara
sendiri. Contoh kasus nyata di Indonesia penguasa membunuh ketahan pangan ini adalah
kasus “kuota impor daging sapi”.
Selain hasil produksi pertanian Indonesia terjebak pula dalam lingkaran setan ketergantungan
bibit-bibit tanaman. Bibit-bibit tidak lagi dibuat oleh petani tetapi petani dikonstruksikan
untuk membeli bibit-bibit tanaman dengan embel-embel “bibit unggul”. Akibatnya bibit-bibit
local punah dan dampak selanjutnya petani menjadi tergantung pada produsen bibit. Pupukpupuk buatan, pestisida buatan dikonstruksikan sebagai yang terbaik, jika tidak
menggunakan pupuk atau pestisida buatan pabrik maka dipandang sebagai keterbelakangan,
meskipun sebenarnya di masyarakat memiliki teknologi pemupukan dan pestisida sendiri
tetapi dikonstruksikan sebagai sesuatu yang menghambat pembangunan. Pembangunan di
bidang pertanian dikomunikasikan dengan mengabaikan potensi local yang ada. Komunikasi
Pembangunan lebih ditekankan pada penyederhanaan “membeli barang jadi” daripada
“pembangunan berbasis research”. Mosanto, Dupont dan perusahaan-perusahaan industry
pertanian yang notabene sebagai perusahaan asing dari negara-negara kapitalis memainkan
perannya untuk menjadikan petani sebagai “obyek” penderita ketergantungan. Yang imbas

lanjutannya Negara Indonesia menjadi obyek ketidakberdayaan melawan ketergantungan

kepada produk asing.
Selain Indonesia dibentuk sebagai pasar yang tergantung ternyata Neo Liberal juga
memainkan peran politik untuk mengebiri kedaulatanan pangan di Indonesia. Lahan-lahan
produktif bagi pertanian disulap menjadi pabrik-pabrik untuk memproduksi produk-produk
mereka, masyarakat sebagai komunikan diberi pesan-pesan pembangunan (penyesatan
pembangunan) supaya bisa terkonstruksi sebagai pihak sub ordinat yaitu sebagai buruh-buruh
pabrik. Menjadi petani dikomunikasikan sebagai keterbelakangan, perubahan sosial yang
baik kaitannya dengan komunikasi pembangunan dikomunikasikan dengan menjadi “buruh”
daripada menjadi “petani”. Ir. Soekarno seandainya masih hidup tentunya akan marah sekali
karena rakyat kita tidak dididik untuk menjadi “marhaen” tapi menjadi “kacung”.
Masalah kedaulatan pangan ini menjadi sebuah hal yang sangat penting diperhatikan dalam
pembangunan di Indonesia. Analisanya pangan sebagai kebutuhan utama manusia untuk
hidup. Kekurangan atau perebutan aksesibilitas terhadap pangan sangat berdampak besar
kepada kestabilan sosial, politik dan hukum. Kekurangan pangan bisa memicu konflik
horizontal maupun vertical di dalam masyarakat. Pertentangan terjadi karena sebenarnya itu
sebagai proses bertindak untuk bertahan dari masing-masing individu atau kelompok yang
diakibatkan pertentangan kepentingan untuk mencapai dan atau mempetahankan keadaan
yang lebih baik, secara ekonomi, sosial dan politik. Ketidak tersediaan Sumber daya
menjadikan konflik tersebut semakin mudah timbul (Sunyoto, 2005).


Ketergantungan kita

terhadap penyediaan pangan dari luar negeri tanpa memiliki kedaulatan pangan sendiri
menjadikan kita sebagai negara boneka dari “keinginan” maupun “kejahatan” politik dan
kepentingan negara lain. Bila kita tidak mempunyai kedaulatanan pangan negara kita menjadi
“tidak lebih merdeka” dari intervensi asing dibanding era penjajahan Belanda maupun
Jepang.
IV.

Indonesia : Negara Pancasila Tanpa Jiwa Gotong royong.

Pancasila sebagai dasar negara kita yang digali oleh Ir. Sukarno mengandung lima sila yaitu :
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Indonesia
Bisa diintrepretasikan kelima sila itu bisa menjadi satu makna saja yaitu Gotong royong.(Adams, 1996). Sukarno mengartikan Gotong royong yaitu pembantingan-tulang
bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama (Adams, 1966).
Spirit kebersamaan untuk bersama-sama membangun. Kepentingan bersama diutamakan
daripada kepentingan pribadi atau individu. Subejo (Subejo,2013) menulis pengalamannya
mengenai masyarakat Jepang menghadapi efek Gempa Jepang 2010 dimana ketika Jepang
dilanda Gempa dan Tsunami sehingga mengakibatkan kekurangan persediaan pangan dan air
bersih tetapi tidak dilaporkan adanya penimbunan bahan makanan, penjarahan, spekulasi
harga pangan. Pembangunan nilai untuk membangun kerjasama dan semangat kebersamaan
untuk saling membantu menghadapi bencana telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Modernisasi tidak mampu menggerus spirit kebersamaan, saling percaya dan tidak
mementingkan diri sendiri. Spirit yang disebut “murashakai” menawarkan sebuah dukungan
mutualisme didalam masyarakat (Subejo,2011).
Kembali dalam konteks negara Indonesia, sampai tahun 1980-an semangat gotong royong,
saling membantu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi menjadi
sebuah modal sosial yang saat itu dibanggakan. Subejo (Subejo,2013) menyebut Peran dan
fungsi modal sosial sangat terkait dengan komunitas karena selama ini modal sosial tumbuh
dan

berkembang

dalam

kehidupan

komunitas

yang

mampu

menjadi

fasilitator

institusionalisasi berbagai nilai dan norma serta solidaritas yang kuat antar anggota
komunitas. Peran modal sosial dan keterkaitan dengan komunitas sebenarnya lekat dengan
perkembangan pembangunan di Indonesia yang pada awalnya didominasi oleh komunitas
pertanian dan pedesaan.
Era tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia semangat kebersamaan untuk saling rela
berkorban dan saling membantu (gotong royong) demi kepentingan bangsa dan negara sangat
dijunjung tinggi. Modal sosial inilah sebenarnya yang bisa menjadi sebuah alternative untuk

membangun keterpurukan bangsa Indonesia dari penjajahan. Semangat “Hololobis Kuntul
Baris” membawa manusia Indonesia seutuhnya menjadi sebuah kesatuan bangsa yang
holistic.
Kesejahteraan bagi rakyat merupakan kondisi kehidupan terbaik , terpenuhi kebutuhan materi
untuk hidup, kebutuhan spiritual, kebutuhan sosial dengan tatanan yang teratur, konflik
dalam kehidupan dapat dikelola, keamanan dapat terjamin, keadilan ditegakan, tidak ada
kesenjangan ekonomi. Semuanya ini dapat tercipta dalam kehidupan bersama baik dalam
keluarga, komunitas maupun masyarakat luas apabila masyarakat masih memiliki modal
sosial yaitu semangat kebersamaan dalam konteks ini gotong royong. Sebuah kekurangan
ekonomi seseorang dalam sebuah masyarakat yang masih kuat jiwa gotong royongnya akan
bisa diatasi secara bersama-sama oleh komunitas itu. Sebuah kesulitan individu akan menjadi
tanggungan bersama dalam komunitas.
Negara Indonesia saat ini dikonstruksikan pembangunan berkutat pada segi material (capital)
karena modernization menuntut standarisasi kemajuan / kesejahteraan berkutat pada sisi
material (industry zone) tidak pernah menyentuh pada segi mental (sikap). Masyarakat
dikonstrusikan untuk bisa mencapai kakayaan materiil saja tidak pada peningkatan kapasitas
diri. Institusi-institusi sosial yang ada dikerdilkan peran sosialnya dalam penanaman nilainilai kegotong royongan. Pengkomunikasian pembangunan mengenai nilai-nilai sosial
menjadi pilihan sekunder, pilihan primer lebih mengutamakan pemahaman nilai-nilai
material.
Hal ini berakibat pada lunturnya jiwa gotong royong dalam masyarakat Indonesia.
Masyarakat dibentuk menjadi individu-individu yang sangat egois bagi diri sendiri dan
kelompok tertentu, tanpa memikirkan masyarakat luas atau kelompok yang lain. Semangat
saling berkorban dan saling membantu berubah menjadi saling mencuri dan saling
mengorbankan orang lain. Indonesia sudah kehilangan roh utama pembangunan yaitu
pembangunan merupakan sebuah keputusan bersama dari sebuah bangsa (Mody, 2002).
Karena ketika sebuah bangsa kehilangan kebersamaannya maka tujuan untuk bisa bersamasama membuat perubahan yang lebih baik bagi negara menjadi hilang akibatnya negara tidak
akan pernah mencapai arti pembangunan itu sendiri.

V.

Strategi Komunikasi “dialogis” Pembangunan untuk melawan kejahatan
Noeliberal

Paulo Freire (Srampickal,2006) memperkenalkan model baru dari Komunikasi Pembangunan

suatu model di mana pendidikan menjadi dialog di mana guru dan siswa belajar dari satu
sama lain . Dalam model ini , siswa diaktifkan untuk memahami lebih baik penyebab
penindasan dan dengan demikian untuk melakukan sesuatu tentang hal itu . Ini dia disebut
penyadaran atau peningkatan kesadaran. Lebih lanjut Komunikasi pembangunan model baru
menurut beliau dijelaskan sebagai


alat yang dapat digunakan oleh akar rumput (rakyat jelata) untuk menegaskan
pemberian kontrol pembangunan melalui kesadaran dari aspek-aspek masalah
pembangunan nyata di wilayah mereka ,



pengorganisasian dalam rangka untuk bersikap secara kolektif dan efektif
untuk masalah ini ,



membawa pencerahan mengenai konflik dari berbagai kelompok kepentingan
(politisasi);



belajar untuk memberikan alternatif bagi situasi masalah dan mencari solusi
terhadap berbagai masalah , dan menjadi “technicized ";



mendapatkan alat yang diperlukan sebagai dasar menggunakan solusi yang
diperoleh dari keadaan masyarakat .

Jan Servaes (Srampickal,2006) memberikan juga model baru penggambaran Komunikasi
pembangunan sebagai sebuah sistem pendidikan berbasis budaya lokal masyarakat yang
berasumsi bahwa pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang integral , multidimensi , dan dialektika yang dapat berbeda dari satu negara ke negara . Setiap bangsa perlu
mendefinisikan pembangunan untuk dirinya sendiri dan menemukan strategi sendiri yang
akan mempengaruhi model Komunikasi Pembangunan dari modernisasi menjadi lebih
partisipatif (Melihat kecocokan dengan struktur social, budaya, lingkungan dan ekonomi
setempat).
Pemerintah perlu sekiranya merevisi model komunikasi satu arah yang sudah dilakukan
selama ini menjadi sebuah model komunikasi yang lebih mendengarkan. Rakyat tidak lagi

diposisikan sebagai “korban” penderita tapi perlu diposisikan sebagai “pelaku”
pembangunan. Karena itu model pemberdayaan lokal menjadi sebuah tawaran pilihan
komunikasi pembangunan yang lebih “dialogis”.
Penekanan pemberdayaan lokal mencakup empat pendekatan komunikasi pembangunan
partisipatif : komunikasi pembangunan dari perspektif hak asasi manusia, komunikasi
pembangunan manusia berdasarkan sistem pengetahuan adat , komunikasi pembangunan
berdasarkan model partisipatif atau komunikasi berdasar pembebasan , dan komunikasi
pembangunan berbasis pemberdayaan.(Srampickal,2006)
Tawaran konsep pendekatan komunikasi pembangunan partisipatif seperti yang diungkapkan
diatas oleh Jan Servaes (Srampickal, 2006) dalam konteks Negara Indonesia bisa dijabarkan
sebagai berikut:
1.

Komunikasi pembangunan di Indonesia haruslah memikirkan konsep Hak Asasi
Manusia sebagai dasar pembangunan yaitu “Pembangunan Masyarakat memiliki tujuan
memanusiakan masyarakat, sementara HAM menekankan tujuan mencapai sebuah kemanusiaan
yang dapat diterima bersama. “ (Ife, 2004) Masyarakat harus dihargai sebagai sebuah manusia
yang memiliki potensi unik dimana model pembangunan tidak boleh melanggar hak-hak warga
negara. Moderization telah banyak menabrak konsep-konsep HAM ini, sehingga Negara harus
melindungi rakyat supaya penegakan HAM dalam mengkomunikasikan pembangunan sesuai
kehendak konstruksi masyarakat sendiri bukan atas dasar standart negara asing. Negara Indonesia
akan bisa menjadi negara yang mandiri dan berdaulat ketika fungsi Negara untuk melindungi Hak
Asasi Manusia rakyatnya dalam mengkomunikasikan pembangunan maka upaya membendung
Neoliberal mencengkeramkan pahamnya akan semakin signifikan.

2. Komunikasi pembangunan berbasis system pengetahuan adat. Negara perlu menghargai
masyarakat setempat memiliki basis pengetahuan mereka sendiri dan ini bisa menjadi
agen perubahan yang kuat jika benar dimanfaatkan untuk perbaikan bidang pertanian,
penggundulan

hutan,

perlindungan

lingkungan,

pengentasan

kemiskinan,

dan

pengendalian populasi (Srampickal, 2006). Pengetahuan-pengetahuan komunitas harus
bisa dihargai untuk dikembangkan bukan dipunahkan. Bibit-bibit local yang cocok
dengan keadaan masing-masing wilayah yang perlu dikembangkan bukan dipunahkan
dengan alasan intensifikasi dan penyeragaman jenis pangan nasional. Negara harus berani

menolak intervensi Dupont, Monsanto dan perusahaan yang bisa mematikan kemandirian
dan kelokalan pertanian Indonesia. Organisasi petani lokal harus diberdayakan supaya
petani bisa melakukan control dan pemenuhan kebutuhan pertaniannya secara mandiri
tidak tergantung pasar. Pengembangan pupuk, pestisida alami yang ada di Indonesia
sejak lama perlu dilakukan, sehingga kita bisa terbebas dari bahaya ketidak berdaulatan
pangan.
3. Komunikasi Pembangunan harus berkonsep pada sebuah pemikiran tentang partisipatif
dan pembebasan. Pembebasan harus diartikan lain dengan kebebasan. Pembebasan lebih
ditekankan pada sebuah usaha membebaskan ketidakberdayaan, unaccesable menjadi
berdaya dan accesable. Masyarakat Indonesia harus diberikan sebuah akses bagi
pengembangan kapasitas dirinya berdasarkan kebutuhan mereka, pembangunan harus
dikomunikasikan sebagai tanggungjawab bersama antar stake holders. Fungsi negara
memfasilitasi dengan cara untuk menarik perhatian masyarakat sadar akan kebutuhan mereka,
penekanan pada proses komunikasi dua arah. Sehingga perasaan membangun tidak lagi menjadi
domain penguasa tetapi menjadi sebuah kesepakatan bersama antara rakyat dan penguasa.

4. Komunikasi Pembangunan berbasis pada pemberdayaan yaitu mengkomunikasikan
pembangunan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan,
memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan
networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara
ekonomi, ekologi, dan sosial. Pada konsep inilah nilai “gotong royong” mulai dibangun di dalam
masyarakat sehingga perasaan kebersamaan dalam memiliki pembangunan bisa dicapai. Karena
ketika komunikasi pembangunan bisa menggugah rasa memiliki pembangunan dalam masyarakat
maka keberlanjutan pembangunan itu akan lebih mudah tercapai.

VI.

Conclusion

Efek buruk kesalahan Komunikasi Pembangunan di Indonesia harus bisa segera disikapi
secara menyeluruh dengan tindakan-tindakan yang nyata. Model komunikasi pembangunan
yang satu arah dan seragam dengan model Top-Down ternyata membawa banyak sisi gelap
bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia secara menyeluruh. Bahaya kepentingan dari
negara maju yang akan memperluas pasar hasil produksinya dengan menjadikan Indonesia
sebagai pasar yang tergantung serta rusaknya local wisdom yang berupa gotong royong

sebagai sebuah spirit kerjasama membangun harus bisa dibendung oleh Pemerintah sebagai
salah satu pengambil kebijakan. Model Komunikasi Pembangunan yang lebih dialogis
dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku dan memahami kebutuhan masyarakat
dengan variasi kekhasan local menjadi sebuah tawaran baru model komunikasi pembangunan
di Indonesia. Sehingga pembangunan bisa mencapai sebuah konsep baru (Jan Servaes, 2008)
yaitu tindakan pembangunan berdasarkan kebutuhan, termasuk kebutuhan nonmaterial
seperti keadilan sosial, demokrasi, dan lain

sebagainya; Sifat endogen dan otonom

komunikasi; pembangunan sebagai perlindungan lingkungan; pembangunan sebagai sebuah
upaya untuk mencapai transformasi struktural sosial hubungan , kegiatan ekonomi , dan
struktur kekuasaan ; dan pembangunan sebagai sebuah proses belajar dan promosi demokrasi
partisipatif di semua tingkat masyarakat. Yang dibutuhkan disini adalah sebuah political will
dari para penguasa untuk bisa memaknai tanggungjawabnya dalam proses pembangunan
bangsa ini sebagai sarana ibadah dan melayani bukan sebagai sarana memperkaya dari dan
mengorbankan rakyat. Pemimpin harus bisa menjadi pendukung rakyatnya menghadapi
negara-negara neoliberal bukan membiarkan rakyatnya berhadapan sendiri dengan kekuasaan
pasar.

Daftar pustaka
1. Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Gunung
Agung. Jakarta.
2. Harun, Rochajat & Elvinaro Ardianto. 2011. Komunikasi Pembangunan dan
Perubahan Sosial Perspektif Dominan, Kaji Ulang dan Teori Kritis. Rajawali Press.
Bandung.
3. Ife, Jim & Frank Tesoriero. 2006 Community Development. Pearson Education.
Australia.
4. Mody, Bella. 2002. Handbook of International and Intercultural Communication.
Sage Publication. California.
5. Nasution, Zulkarimen. 2002. Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan
Penerapannya. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
6. Servaes, Jan. 2008. Communication For Development and Social Change. SAGE
Publications. New Delhi.
7. Sitompul, Mukti. 2002. Konsep-konsep Komunikasi Pembangunan. USUpress. Medan.
8. Soetomo, Drs. 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Pustaka Jaya. Jakarta.
9. Srampical, Jacob. S.J. 2006. Development and Participatory Communication Vol: 25.
Centre for Study of Communication and Culture. California.
10. Subejo, SP, MSc, Phd. 2011 Behaviours and Mentality of Japanese Community in
Coping natural Disasters. The Jakarta Post. Jakarta.
11. ___________, 2013 Power of Community : Bagi Pembangunan Pertanian dan
Perekonomian di Indonesia. UGM. Yogyakarta.
12. Susetiawan, Prof. Dr. 2009 Working Paper : Pembangunan Dan Kesejahteraan
Masyarakat:

Sebuah

Ketidakberdayaan

Para

Pihak

Melawan

Konstruksi

Neoliberalisme. PSPK UGM. Yogyakarta.
13. Sunyoto, Bonifatius Tulus. 2005. Skripsi : Perilaku Kelompok Preman Alun-alun
Utara Kota Yogyakarta (Study tentang Dinamika Interaksi Sosial Kelompok Preman
Alun-alun Utara Kota Yogyakarta). Ilmu Sosiatri Fisipol UGM.
14. Mudiyono, Prof. Dr. 2013. Makalah : Strategi Pembangunan Yang Memihak Rakyat.
UGM. Yogyakarta.