Peran Dan Tantangan Aktor Politik Terhad
Peran Dan Tantangan Aktor Politik Terhadap Proses Demokratisasi
Myanmar Tahun 1990 Sampai 2010
Oleh Bening Karilla Kinasih – 1106083611
Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Abstrak
Pemerintahan Myanmar berada dibawah kepemimpinan Junta Militer bertahan selama lebih
dari 20 tahun. Dibawah pemerintahan Junta Militer, pelanggaran HAM seringkali terjadi.
Proses demokratisasi di Myanmar pernah hampir terjadi pada tahun 1990, dimana pada tahun
1988 Jenderal Ne Win yang merupakan pimpinan dari pemerintahan Junta Militer
mengundurkan diri dari jabatannya. Namun ketika pemilihan umum telah dilaksanakan dan
menghasilkan 0 suara untuk militer, pada kenyataannya Partai National League for
Democracy (NLD) yang memenangkan mutlak suara pada pemilihan umum tidak juga dapat
menduduki pemerintahan. Kelompok mahasiswa, aktivis, serta kalangan agamawan
merupakan aktor politik dari kelompok oposisi yang mendukung demokrasi. Dengan
mengusung Aung San Suu Kyi sebagai tokoh utama yang memimpin kelompok prodemokrasi di Myanmar, kelompok oposisi kemudian mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi
ke berbagai wilayah di Myanmar. Pemerintahan militer tentu saja tidak menerima begitu saja
hasil dari pemilihan umum yang berlangsung pada tahun 1990, kemudian mengasingkan
Aung San Suu Kyi dengan cara memenjarakan Suu Kyi di rumahnya sendiri. Tekanan dari
Jepang yang akan menghentikan bantuan ekonomi mampu memberikan dampak terhadap
pembebasan Suu Kyi. Namun pemerintahan militer tetap berlangsung, hingga tahun 2010
Myanmar kembali menjalankan pemilihan umum. Dalam pemilihan umum kali ini,
pemerintahan dibawah kepemimpinan Thein Sein membuka diri terhadap demokratisasi di
Myanmar. Masih adanya peran aktor politik militer yang bekerja sama dengan aktor politik
oposisi di Myanmar merupakan proses demokratisasi yang mengambil bentuk reforma
pactada . Hingga saat ini, pemerintahan yang berjalan di Myanmar memiliki tantangan untuk
melancarkan proses demokratisasi di Myanmar. Suu Kyi sebagai ketua oposisi di parlemen
melakukan pengawasan dengan hati-hati agar Myanmar tidak mengalami set back dan
kembali pada rezim otoriter.
Kata Kunci: Demokratisasi, Aktor Politik, Reforma Pactada
Proses transisi demokrasi seringkali menimbulkan gelombang politik yang
menyebabkan instabilitas politik di suatu negara, oleh karena itu banyak ilmuwan politik yang
menjabarkan mengenai tantangan-tantangan dalam merubah suatu rezim menjadi rezim
demokrasi. Setiap negara tentu akan mengalami tantangannya sendiri, hal ini dikarenakan
struktur sosial, budaya, serta struktur pemerintahan suatu negara berbeda-beda satu sama
1
lainnya dan ini menyebabkan tantangan yang akan dihadapi memiliki perbedaan-perbedaan
dalam mencari solusinya. Selain memiliki tantangannya yang berbeda-beda di setiap negara,
proses transisi demokrasi juga sangat dipengaruhi oleh keputusan atau pola perilaku dari
aktor-aktor politik pada masa itu, baik yang tergabung dalam koalisi rezim otoriter maupun
aktor dari golongan oposisi. Bagaimana pihak oposisi mampu melakukan tekanan terhadap
rezim otoriter dan cara-cara lain yang digunakan untuk melakukan demokratisasi suatu rezim
dapat dilihat implementasinya dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para aktor.
Myanmar merupakan salah satu negara yang sedang mengalami masa transisi
demokrasi. Negara Myanmar yang terletak pada bagian Utara dari wilayah Asia Tenggara.
Pada tahun 1945 dibawah kepemimpinan Aung San, Myanmar mendapatkan dukungan dari
Inggris untuk melepaskan diri dari jajahan Jepang. Namun pada tahun 1947 Aung San
dibunuh oleh U Saw yang merupakan pimpinan dari kelompok yang tidak mendukung
pemerintahan Aung San.1 Pembunuhan yang terjadi pada tahun 1947 merupakan titik balik
dimana pemerintahan Myanmar setelah itu dipimpin oleh pihak militer. Aung San merupakan
salah satu tokoh Myanmar yang pro terhadap demokrasi di Myanmar, hal tersebutlah yang
menyebabkan Aung San dibunuh pada tahun 1947. Selama pemerintahan militer berlangsung
di Myanmar, seringkali terjadi tindak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer.
Kebebasan masyarakat untuk mengekspresikan pikirannya sangat dibatasi oleh pemerintah.
Hal tersebut terjadi karena pemerintahan militer mengerti bahwa tekanan-tekanan yang
dilakukan oleh masyarakat sipil dapat membahayakan kedudukan militer di pemerintahan.
Selama lebih dari 20 tahun pemerintahan militer berkuasa di Myanmar, masyarakat
sipil telah melakukan berbagai tekanan untuk meruntuhkan rezim otoriter tersebut. Aksi masa
seperti demonstrasi telah dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan militer. Namun
pemerintah militer di Myanmar seringkali melakukan tindakan represi dengan menggunakan
senjata untuk membubarkan aksi masa tersebut. Tidak jarang anggota militer melakukan
penembakan terhadap masyarakat sipil, untuk membubarkan demonstrasi. Pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar tidak dapat di intervensi oleh pihak luar. Hal ini
dikarenakan bahwa setiap negara yang berdaulat memiliki hak untuk mengatur negaranya
sendiri tanpa adanya intervensi dari pihak asing.
Konsep Transisi Demokrasi
Proses perubahan rezim dari rezim non-demokrasi menjadi rezim demokrasi seringkali
disebut dengan transisi demokrasi atau demokratisasi. O’Donnell dan Schmitter menjelaskan
bahwa proses transisi demokrasi merupakan sebuah interval atau jarak antara rezim politik
non-demokrasi dengan rezim politik demokrasi.2 Sebuah rezim yang sedang berada pada
masa transisi demokrasi akan mengalami perubahan-perubahan di dalam kehidupan
pemerintahannya maupun kehidupan sosial masyarakatnya. Dalam hal ini, O’Donnell dan
Schmitter menjelaskan bahwa transisi demokrasi secara umum memiliki tahapan-tahapan
tertentu, walaupun tidak semua negara akan melewati tahapan atau fase yang sama
dikarenakan setiap negara pasti memiliki karakteristik serta tantangan yang berbeda dalam
2
menjalankan proses transisi demokrasi, namun proses transisi demokrasi dapat ditarik
menjadi garis linier suatu tahapan berupa: (1) diawali dengan runtuhnya rezim otoriter, (2)
oposisi menyiapkan fase pra-transisi demokrasi, (3) dibukanya keran liberalisasi oleh pihak
oposisi, (4) penataan awal serta lahirnya rezim demokrasi, (5) konsolidasi demokrasi.3
Proses transisi demokrasi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda, perbedaan dari
bentuk tersebut akan terlihat saat bagaimana runtuhnya rezim otoriter di suatu negara. Dua
bentuk transisi demokrasi yang dimaksud adalah Reforma Pactada dan Ruptura Pactada.
Reforma pactada merupakan suatu bentuk transisi demokrasi yang menekankan pada
konsolidasi-konsolidasi untuk menentukan sebuah rezim baru yaitu rezim demokrasi.
Konsolidasi tersebut menyertakan aktor politik pada rezim sebelumnya dan aktor politik yang
memiliki visi untuk membentuk suatu rezim baru dalam pemerintahan suatu negara. Berbeda
dengan reforma pactada, ruptura pactada melakukan cara yang lebih radikal dalam upaya
membentuk suatu tatanan rezim yang baru. Hal tersebut dilakukan dengan cara menjatuhkan
kekuasaan dari rezim sebelumnya dengan cara yang radikan serta menyingkirkan seluruh
aktor politik dari rezim lama di dalam pemerintahan, kemudian aktor-aktor tersebut akan
digantikan posisinya oleh orang-orang baru yang pemikirannya terbebas dari cara pandang
aktor pada rezim sebelumnya untuk membentuk suatu tatanan rezim yang demokratis.4
Pemerintahan Junta Militer Myanmar, 1962-2010
Pemerintahan Junta Militer di Myanmar bermula pada tahun 1962, saat itu Jenderal Ne
Win melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil PM U Nu.5 Setelah itu Jenderal Ne Win
menggunakan kekuatan militer sebagai basis utama dari kekuatan pemerintahan Myanmar.
Maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan Myanmar dibawah pimpinan Jenderal Ne Win
merupakan pemerintahan Junta Militer. Jenderal Ne Win memiliki suatu pandangan bahwa
untuk menghindari disintegrasi di Myanmar, maka dibutuhkan suatu bentuk kepemimpinan
yang tegas.6 Oleh karena itu, kekuatan militer dianggap mampu mencegah terjadinya
perpecahan diantara berbagai kelompok masyarakat yang akan mengganggu stabilitas negara.
Namun dalam prakteknya, pemerintahan Junta Militer tidak mampu memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat Myanmar. Pemerintahan Junta Militer yang dipimpin oleh
Jenderal Ne Win menyebabkan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar.
Pada tahun 1990, Myanmar menjalani pemilihan umum pertama setelah lebih dari 20
tahun berada di bawah pemerintahan Junta Militer. Pemilihan umum tersebut terselenggara
setelah Jenderal Ne Win melakukan pengunduran diri pada tahun 1988. Setelah pengumuman
atas pengunduran diri Jenderal Ne Win tersebar, masyarakat kelas menengah di Myanmar
yang terdiri dari aktivis, akademisi, serta mahasiswa membuat suatu gerakan untuk
menyebarluaskan semangat demokrasi di Myanmar. Aung San Suu Kyi merupakan tokoh atau
aktor utama yang dipercaya oleh masyarakat Myanmar untuk memimpin gerakan tersebut.
selama masa persiapan pemilihan umum, Aung San Suu Kyi beserta pendukungnya
melakukan sosialisasi hingga ke daerah-daerah pelosok di Myanmar. Hal ini dilakukan agar
3
masyarakat Myanmar mendukung masuk dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi dan
menggantikan pemerintahan Junta Militer yang selama ini berlangsung.
Hasil dari pemilihan umum pada tahun 1990 memberikan sebuah kemenangan bagi
pihak pro-demokrasi yaitu NLD.7 Namun hasil dari pemilihan umum tersebut tidak diterima
oleh pihak militer yang masih ingin menguasai pemerintahan Myanmar. Ketidakpuasan pihak
militer pada hasil pemilihan umum berdampak pada pengasingan Aung San Suu Kyi yang
merupakan pimpinan dari NLD. Pihak militer melihat bahwa Suu Kyi memiliki peranan yang
signifikan terhadap keberhasilan kampanye yang dilakukan oleh NLD selama masa
kampanye. Suu Kyi juga dinilai sebagai seorang tokoh yang tidak takut oleh tindakan represi
yang dilakukan oleh pihak militer. Oleh karena itu, pihak militer meyakini apabila peranan
Suu Kyi dibungkam, maka upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok pro-demokrasi tidak
akan mendapatkan dampak yang cukup signifikan. Suu Kyi ditahan tidak di dalam rumah
tahanan, namun penahanan Suu Kyi dilakukan di rumahnya sendiri. Pihak militer membangun
pos keamanan di area rumah Suu Kyi. Beberapa pasukan militer juga di siagakan selama 24
jam untuk memastikan bahwa tidak ada akses yang dapat dilalui untuk berinteraksi dengan
Suu Kyi.
Aung San Suu Kyi menjadi tahanan rumah selama sejak tahun 1989 hingga tahun
1995, dan kembali menjadi tahanan rumah pada tahun 2000 hingga 2010.8 Selama menjalani
masa tahanan, Suu Kyi sama sekali tidak memiliki akses untuk berkomunikasi dengan dunia
luar. Bahkan saat Suu Kyi mendapatkan Nobel Peace Prize pada tahun 1991, Suu Kyi tidak
mendapatkan izin untuk menghadiri pemberian penghargaan tersebut. Hingga pada akhirnya
pada tahun 2002, pemerintahan Militer menyetujui memberikan kebebasan bagi Suu Kyi. 9
Pembebasan Suu Kyi dianggap oleh kelompok pro-demokrasi sebagai suatu celah yang dapat
digunakan untuk menjalankan demokratisasi di Myanmar. Kelompok mahasiswa, aktivis,
serta agamawan menyambut pembebasan Suu Kyi dengan harapan bahwa demokratisasi akan
dapat berjalan di Myanmar. Namun hal tersebut tidak bertahan lama, karena Suu Kyi kembali
menjadi tahanan rumah pada tahun 2003.
Pemerintahan junta militer Myanmar tidak hanya membungkam kesempatan Suu Kyi
untuk menyebarkan semangat demokrasi bagi masyarakat Myanmar. Pemerintahan junta
militer juga melakukan tindakan represi bagi masyarakat sipil yang mendukung gerakan
kelompok pro-demokrasi. Salah satu tindakan yang dilakukan oleh pihak militer dalam hal
melakukan tindakan represi tersebut dapat terlihat dari penangkapan masyarakat sipil yang
mengikuti berani mengutarakan pendapat pada saat kampanye pro demokrasi saat NLD
melakukan kampanye.10 Militer di Myanmar melakukan penangkapan secara misterius
terhadap beberapa pendukung NLD yang hadir saat kampanye. Hal tersebut dilakukan karena
pemerintahan militer tidak menginginkan semakin banyak masyarakat sipil yang berani
menyuarakan penentangan terhadap pemerintahan militer dan mendukung munculnya
demokrasi di Myanmar.
4
Peran Aktor Politik Dalam Demokratisasi Myanmar
David Potter mengkategorisasikan aktor-aktor yang terlibat pada masa transisi
demokrasi menjadi 2 kategori besar yang kemudian dibagi lagi menjadi 5 kategori turunan. 2
kategori besar yang dimaksud adalah aktor dari Authoritarian Coalition dan Opposition.
Sedangkan 5 kategori turunan yang dimaksud adalah hardliners, softliners, opportunist,
moderates, dan radicals.11 Bagan berikut ini akan memberikan gambaran mengenai
pengkategorian aktor politik dalam proses demokratisasi:
Bagan 1 Kategori Aktor Politik Saat Demokratisasi
Aktor Politik Pada Transisi
Demokrasi
Authotitarian
Coalition
Hardliners
Softliners
Opposition
Opportunist
Moderates
Radicals
Pada Authoritarian Coalition, menurut Potter terbagi menjadi dua golongan yaitu
hardliners dan softliners. Golongan hardliners merupakan golongan orang-orang tidak
memberikan kesempatan untuk merubah tatanan pemerintahan, aktor politik yang berada pada
golongan hardliners merupakan aktor yang akan mempertahankan status quo. Sedangkan
golongan softliners merupakan golongan orang-orang yang berada di pihak rezim otoriter
namun masih membuka diri untuk melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan pihak oposisi,
serta masih memungkinkan untuk membuka diri pada masuknya nilai-nilai demokrasi dan
liberal. Dari kategori opposition terdapat tiga golongan yaitu opportunist yang merupakan
golongan yang mendukung perkembangan rezim demokrasi namun tidak memiliki komitmen
yang kuat dalam keikutsertaannya. Kedua adalah golongan moderates dimana dalam
golongan ini mendukung adanya demokratisasi namun tetap menghormati kedudukan
kedukan aktor tradisional seperti militer. Kemudian yang terakhir adalah golongan radicals
5
dimana pada golongan ini sangat menginginkan adanya tranformasi demokrasi dan
menentang keras adanya negosiasi dengan pihak rezim otoriter.
Dengan menggunakan penjelasan mengenai kategori-kategori aktor politik yang
memiliki peranan dalam proses demokratisasi di suatu negara, maka dalam melakukan analisa
terhadap proses demokratitasi yang terjadi di Myanmar dapat digolongkan secara jelas aktoraktor yang berperan dan termasuk ke dalam kategori mana aktor tersebut. Tokoh-tokoh militer
seperti Jenderal Ne Win, Jenderal Than Shwe dan Jenderal Saw Maung secara jelas dapat
dikategorikan ke dalam golongan authoritarian coalition bagian hardliners. Upaya untuk
tetap melanggengkan pemerintahan militer menjadi suatu contoh yang dapat membuktikan
bahwa kedua tokoh tersebut merupakan golongan hardliners. Berbeda dengan Thein Sein
yang saat ini menjabat sebagai Perdana Menteri Myanmar setelah pemilihan umum yang
berlangsung pada tahun 2010. Thein Sein merupakan mantan anggota militer yang
mengundurkan diri sebagai anggota militer dan menjadi masyarakat sipil untuk dapat
mengikuti pemilihan umum di tahun 2010. Walaupun Thein Sein merupakan bagian dari
authoritarian coalition yang dalam hal ini merupakan kelompok militer, namun Thein Sein
dalam menjalani peerintahan masih membuka diri terhadap upaya demokratisasi yang saat ini
sedang berlangsung di Myanmar. Pengunduran diri yang dilakukan oleh Thein Sein untuk
melepaskan jabatan militernya merupakan sebuah bukti bahwa Thein Sein ingin
berkonsolidasi dengan kelompok pro-demokrasi dan merubah tatanan pemerintahan di
Myanmar agar lebih demokratis.
Pihak oposisi di Myanmar dapat tergambarkan dengan cukup jelas. Dimana kelompok
yang masuk kedalam kategori oposisi di Myanmar tidak ada yang tergolong kedalam oposisi
yang opportunist. Pada dasarnya kelompok-kelompok oposisi yang ada di termasuk ke dalam
golongan radical. Kelompok-kelompok yang dimaksud adalah kelompok mahasiswa, aktivis,
ataupun agamawan. Namun pada kenyataannya demokratisasi yang dijalani oleh Myanmar
mengadopsi bentuk reforma pactada . Hal tersebut terjadi karena peran dari Aung San Suu
Kyi sebagai pimpinan dari kelompok oposisi mampu memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap tindakan-tindakan yang diambil oleh kelompok mahasiswa, aktivis maupun
agamawan. Dengan melihat bagaimana Suu Kyi sebagai pemimpin kelompok oposisi memilih
untuk bekerja sama dengan cara masuk ke dalam parlemen pada pemerintahan Thein Sein
yang merupakan mantan anggota militer, memperlihatkan bahwa Suu Kyi dapat dikategorikan
sebagai kelompok oposisi golongan moderate. Walaupun kelompok oposisi lain seperti
aktivis, agamawan dan mahasiswa termasuk ke dalam golongan radical, namun pada faktanya
peranan Suu Kyi mampu untuk menggeser golongan oposisi tersebut kearah yang lebih
moderate.
Melihat proses demokratisasi yang terjadi di Myanmar erat kaitannya dengan
golongan authoritarian coalition yaitu militer dan oposition yaitu NLD yang didukung oleh
mahasiswa, aktivis, dan agamawan. Secara analitis dapat dikatakan bahwa kedua kelompok
yang termasuk di dalam pengkategorisasian aktor politik dalam demokratisasi menurut David
Potter merupakan aktor-aktor yang memiliki kepentingan politik di Myanmar. Dimana kedua
kelompok tersebut menginginkan adanya legitimasi untuk menjalankan pemerintahan di
6
Myanmar. Namun dalam upaya demokratisasi yang terjadi di Myanmar terdapat satu aktor
yang tidak memiliki kepentingan politik seperti aktor lainnya. Aktor tersebut adalah Michael
Aris yang merupakan aktor eksternal yang mendukung proses demokratisasi di Myanmar.
Michael Aris disebutkan sebagai aktor eksternal, karena menurut penulis, Aris bukan
merupakan warga negara Myanmar, selain itu Aris juga tidak mengejar jabatan dalam
pemerintahan Myanmar. Maka dapat dikatakan bahwa Michael Aris tidak memiliki
kepentingan politik dalam upaya demokratisasi di Myanmar, namun Michael Aris memiliki
kepentingan personal karena memiliki hubungan personal dengan Aung San Suu Kyi yang
merupakan pimpinan dari NLD.
Peran Michael Aris terhadap demokratisasi di Myanmar adalah sebagai penghubung
atau pemberi informasi terhadap keadaan politik yang terjadi di Myanmar dengan dunia
internasional. Selain itu Michael Aris juga memiliki peran untuk melobby beberapa negara
yang menjalankan kerjasama dengan Myanmar agar menuntut perubahan politik di
Myanmar.12 Salah satu upaya yang dilakukan Michael Aris adalah dengan mendaftarkan Suu
Kyi agar mendapatkan Nobel Peace Prize. Hal tersebut dilakukan oleh Michael Aris agar
melalui penghargaan tersebut, dunia internasional mengetahui bagaimana keadaan politik dan
pemerintahan yang terjadi di Myanmar. Selain itu Michael Aris juga menyebarkan informasi
mengenai situasi yang dialami oleh Suu Kyi melalui media-media internasional. Hal tersebut
membawa pengaruh terhadap situasi politik di Myanmar. Dimana setelah Michael Aris
mencoba untuk memberi informasi kepada dunia internasional, beberapa negara memberikan
kecaman terhadap pemerintahan militer Myanmar. Selain itu terdapat juga beberapa negara
yang memberikan ancaman berupa pemberhentian bantuan di bidang ekonomi apabila
pemerintah Myanmar tidak melakukan demokratisasi.
Tantangan Demokratisasi Myanmar
Tantangan utama yang dihadapi oleh Myanmar pada masa transisi demokrasi saat ini
adalah kembali berkuasanya rezim otoriter. Hal ini dapat terjadi karena bentuk demokratisasi
yang diadopsi oleh Myanmar adalah bentuk reforma pactada dimana aktor-aktor lama yang
tergabung dalam authoritarian coalition tidak sepenuhnya dipisahkan dari pemerintahan saat
ini. Kelompok oposisi masih memberikan kesempatan kepada kelompok softliners untuk
berkonsolidasi dalam pembentukan pemerintahan Myanmar yang demokratis. Namun tidak
menutup kemungkinan terjadi set back dalam pemerintahan Myanmar jika pihak pro
demokrasi tidak hati-hati dalam mengawasi jalannya pemerintahan di Myanmar.
Priscilla Clapp dan Suzanne DiMaggio dalam tulisannya mengemukakan bahwa
setelah adanya peruntuhan rezim otoriter di Myanmar dan adanya proses konsolidasi antara
aktor lama dan aktor baru, pemerintahan Myanmar memiliki beberapa tantangan dalam
menjalankan proses demokratisasi. Tantangan tersebut terbagi menjadi beberapa poin berikut
ini:13
1. Pemerintahan baru harus mampu melakukan pemaknaan ulang terhadap institusi
militer di bidang politik dan ekonomi.
7
2. Memberlakukan aturan hukum secara tegas untuk memperkuat yuridisial.
3. Melindungi Hak Asasi Manusia (HAM)
4. Membuat rancangan terhadap suatu aturan untuk menghasilkan kesetaraan dalam
etnisitas.
5. Menanamkan toleransi sosial dan agama di masyarakat.
6. Menghapuskan korupsi.
7. Mengisi kekosongan yang ada pada spektrum pemerintahan dan ekonomi, yang
disebut dengan “missing midle”.
8. Memberikan manfaat serta mensosialisasikan reformasi kepada masyarakat secara
luas dan menyeluruh.
9. Mengatasi permasalahan mengenai land and property rights.
10. Mengembangkan mekanisme trade-off antara pembangunan ekonomi dan
pembangunan sosial yang ramah lingkungan.
Pemerintahan Myanmar dibawah kepemimpinan Thein Sein bergerak ke arah
pemerintahan yang lebih demokratis. Hal ini dapat dilihat bahwa Thein Sein dalam masa
pemerintahannya berfokus pada rekonsiliasi atau pemaknaan ulang dari tugas serta fungsi
militer. Hal ini penting untuk dilakukan karena pemerintahan otoriter yang terjadi selama
lebih dari 20 tahun telah menjadikan institusi negara tersebut menjadi tidak bebas nilai. Peran
utama dari militer adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan suatu negara dari ancaman
pihak luar. Peran masyarakat dalam mempercayai tugas serta fungsi dari militer dibutuhkan.
Oleh karena itu masyarakat harus menyadari bahwa pemerintah saat ini tengah berusaha
untuk mengembalikan peran serta fungsi militer sebagai institusi negara yang netral dan tidak
tercampur ke dalam bidang politik di Myanmar.
Kesimpulan
Dalam masa transisi demokrasi di suatu negara aktor politik memiliki peranan penting.
Selain memiliki peranan yang signifikan terhadap bentuk transisi serta arah transisi, aktor
politik juga memiliki peranan dalam menciptakan tantangan serta menjawab tantangan dari
transisi itu sendiri. Penulis mengatakan bahwa aktor politik memiliki peranan dalam
menciptakan tantangan, yang dimaksudkan dalam menciptakan tantangan adalah karena
tantangan suatu negara pada masa transisi dapat dipengaruhi oleh aktor politik yang berperan.
Jika aktor politik yang memiliki peranan signifikan merupakan kelompok radical tentu saja
akan memiliki cara yang berbeda dengan proses transisi yang akan dijalani oleh kelompok
moderate, dengan begitu tantangan yang tercipta juga akan berbeda karena tatanan dari aktor
politik yang berperan pada masa transisi akan berbeda. Selain itu walaupun kelompok pro
demokrasi berasal dari golongan yang sama, misalnya moderate. Namun latar belakang dari
kelompok tersebut akan mempengaruhi pula tantangan yang akan muncul. Contohnya, ketika
mahasiswa sebagai kelompok moderate yang lebih dominan dalam proses transisi demokrasi
8
akan mendapatkan tantangan yang berbeda jika kelompok moderate yang dominan adalah
dari kelompok agamawan atau ketua adat.
Selain itu dalam melihat proses transisi yang terjadi di Myanmar, analisa yang
dilakukan tidak hanya berasal dari aktor-aktor politik yang memiliki kepentingan politik saja.
Dalam melihat proses transisi yang terjadi di Myanmar, aktor eksternal ternyata dapat
memberikan pengaruh terhadap proses transisi demokrasi. Maka dari itu, untuk melihat
sebuah proses transisi demokrasi, akan lebih baik jika melihat faktor-faktor eksternal yang
juga mempengaruhi. Karena faktor eksternal yang mempengaruhi proses transisi dapat
menjadi suatu momen yang memiliki pengaruh signifikan terhadap upaya demokratisasi yang
dilakukan oleh aktor internal negara tersebut.
1
BBC, 2013, Myanmar Profile, diakses dari http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-12992883, diakses
pada tanggal 19 April 2014
2
Guiller o O’Do ell da Phillippe C. “ h itter, Transitions From Authoriarian Rule: Tentative Conclusions
About Uncertain Democracies, (London: The Johns Hopkins University Press, 1986) Hlm. 6
3
Scott Mainwaring, 1989, Transition To Democracy And Democratic Consolidation: Theoritical And Comparative
Issues, Diakses dari
http://www.undp.org.eg/Portals/0/INT%20FORUM/Democratic%20Consolidation_Mainwaring.pdf Diakses
pada tanggal 19 April 2014
4
JM Maravall dan Julia “a ta aria, Peru aha Politik di “pa yol da Prospek agi De okrasi , dala
Guiller o O’Do ell, et.al., Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Eropa Selatan, (Jakarta: LP3ES, 1992) Hlm. 113
5
Monique Skidmore dan Trevor Wilson, Dictatorship and Decline in Myanmar,(Australia: ANU E Press, 2008),
hlm. 29 diakses dari http://epress.anu.edu.au/myanmar02/pdf/whole_book.pdf diakses pada tanggal 19 April
2014
6
Ibid.,hlm.30
7
Priscilla Clapp, Building Democracy in Burma, (Washington: United State Institute of Peace, 2007), hlm. 7
8
Ardeth Maung Thawghmung, May/June 2003, Preco ditio s A d Prospects for De ocratic Tra sitio i
Bur a/Mya ar , Asia “urvey, Vol.43, No.3, hlm. 445-446
9
Priscilla Clapp, Op.Cit., hlm. 8
10
lianlilianli li, Sept 2012, Aung San Suu Kyi – The Choice (Film Dokumenter), video dilihat dari
http://www.youtube.com/watch?v=1_IjNKT_T5o dilihat pada tanggal 20 April 2014
11
David Potter, et.al., (eds) Explaining Democratization, (Milton Keynes: Polity Pressm 2005), Hlm. 15
12
lianlilianli li, Sept 2012, Aung San Suu Kyi – The Choice (Film Dokumenter), video dilihat dari
http://www.youtube.com/watch?v=1_IjNKT_T5o dilihat pada tanggal 20 April 2014
13
Priscilla Clapp dan Suzanne DiMaggio, “ustai i g Mya ar’s Tra sitio : Te Critical Challe ges, (New York:
The Asia Society, 2013) , hlm.2
9
Myanmar Tahun 1990 Sampai 2010
Oleh Bening Karilla Kinasih – 1106083611
Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Abstrak
Pemerintahan Myanmar berada dibawah kepemimpinan Junta Militer bertahan selama lebih
dari 20 tahun. Dibawah pemerintahan Junta Militer, pelanggaran HAM seringkali terjadi.
Proses demokratisasi di Myanmar pernah hampir terjadi pada tahun 1990, dimana pada tahun
1988 Jenderal Ne Win yang merupakan pimpinan dari pemerintahan Junta Militer
mengundurkan diri dari jabatannya. Namun ketika pemilihan umum telah dilaksanakan dan
menghasilkan 0 suara untuk militer, pada kenyataannya Partai National League for
Democracy (NLD) yang memenangkan mutlak suara pada pemilihan umum tidak juga dapat
menduduki pemerintahan. Kelompok mahasiswa, aktivis, serta kalangan agamawan
merupakan aktor politik dari kelompok oposisi yang mendukung demokrasi. Dengan
mengusung Aung San Suu Kyi sebagai tokoh utama yang memimpin kelompok prodemokrasi di Myanmar, kelompok oposisi kemudian mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi
ke berbagai wilayah di Myanmar. Pemerintahan militer tentu saja tidak menerima begitu saja
hasil dari pemilihan umum yang berlangsung pada tahun 1990, kemudian mengasingkan
Aung San Suu Kyi dengan cara memenjarakan Suu Kyi di rumahnya sendiri. Tekanan dari
Jepang yang akan menghentikan bantuan ekonomi mampu memberikan dampak terhadap
pembebasan Suu Kyi. Namun pemerintahan militer tetap berlangsung, hingga tahun 2010
Myanmar kembali menjalankan pemilihan umum. Dalam pemilihan umum kali ini,
pemerintahan dibawah kepemimpinan Thein Sein membuka diri terhadap demokratisasi di
Myanmar. Masih adanya peran aktor politik militer yang bekerja sama dengan aktor politik
oposisi di Myanmar merupakan proses demokratisasi yang mengambil bentuk reforma
pactada . Hingga saat ini, pemerintahan yang berjalan di Myanmar memiliki tantangan untuk
melancarkan proses demokratisasi di Myanmar. Suu Kyi sebagai ketua oposisi di parlemen
melakukan pengawasan dengan hati-hati agar Myanmar tidak mengalami set back dan
kembali pada rezim otoriter.
Kata Kunci: Demokratisasi, Aktor Politik, Reforma Pactada
Proses transisi demokrasi seringkali menimbulkan gelombang politik yang
menyebabkan instabilitas politik di suatu negara, oleh karena itu banyak ilmuwan politik yang
menjabarkan mengenai tantangan-tantangan dalam merubah suatu rezim menjadi rezim
demokrasi. Setiap negara tentu akan mengalami tantangannya sendiri, hal ini dikarenakan
struktur sosial, budaya, serta struktur pemerintahan suatu negara berbeda-beda satu sama
1
lainnya dan ini menyebabkan tantangan yang akan dihadapi memiliki perbedaan-perbedaan
dalam mencari solusinya. Selain memiliki tantangannya yang berbeda-beda di setiap negara,
proses transisi demokrasi juga sangat dipengaruhi oleh keputusan atau pola perilaku dari
aktor-aktor politik pada masa itu, baik yang tergabung dalam koalisi rezim otoriter maupun
aktor dari golongan oposisi. Bagaimana pihak oposisi mampu melakukan tekanan terhadap
rezim otoriter dan cara-cara lain yang digunakan untuk melakukan demokratisasi suatu rezim
dapat dilihat implementasinya dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para aktor.
Myanmar merupakan salah satu negara yang sedang mengalami masa transisi
demokrasi. Negara Myanmar yang terletak pada bagian Utara dari wilayah Asia Tenggara.
Pada tahun 1945 dibawah kepemimpinan Aung San, Myanmar mendapatkan dukungan dari
Inggris untuk melepaskan diri dari jajahan Jepang. Namun pada tahun 1947 Aung San
dibunuh oleh U Saw yang merupakan pimpinan dari kelompok yang tidak mendukung
pemerintahan Aung San.1 Pembunuhan yang terjadi pada tahun 1947 merupakan titik balik
dimana pemerintahan Myanmar setelah itu dipimpin oleh pihak militer. Aung San merupakan
salah satu tokoh Myanmar yang pro terhadap demokrasi di Myanmar, hal tersebutlah yang
menyebabkan Aung San dibunuh pada tahun 1947. Selama pemerintahan militer berlangsung
di Myanmar, seringkali terjadi tindak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer.
Kebebasan masyarakat untuk mengekspresikan pikirannya sangat dibatasi oleh pemerintah.
Hal tersebut terjadi karena pemerintahan militer mengerti bahwa tekanan-tekanan yang
dilakukan oleh masyarakat sipil dapat membahayakan kedudukan militer di pemerintahan.
Selama lebih dari 20 tahun pemerintahan militer berkuasa di Myanmar, masyarakat
sipil telah melakukan berbagai tekanan untuk meruntuhkan rezim otoriter tersebut. Aksi masa
seperti demonstrasi telah dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan militer. Namun
pemerintah militer di Myanmar seringkali melakukan tindakan represi dengan menggunakan
senjata untuk membubarkan aksi masa tersebut. Tidak jarang anggota militer melakukan
penembakan terhadap masyarakat sipil, untuk membubarkan demonstrasi. Pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar tidak dapat di intervensi oleh pihak luar. Hal ini
dikarenakan bahwa setiap negara yang berdaulat memiliki hak untuk mengatur negaranya
sendiri tanpa adanya intervensi dari pihak asing.
Konsep Transisi Demokrasi
Proses perubahan rezim dari rezim non-demokrasi menjadi rezim demokrasi seringkali
disebut dengan transisi demokrasi atau demokratisasi. O’Donnell dan Schmitter menjelaskan
bahwa proses transisi demokrasi merupakan sebuah interval atau jarak antara rezim politik
non-demokrasi dengan rezim politik demokrasi.2 Sebuah rezim yang sedang berada pada
masa transisi demokrasi akan mengalami perubahan-perubahan di dalam kehidupan
pemerintahannya maupun kehidupan sosial masyarakatnya. Dalam hal ini, O’Donnell dan
Schmitter menjelaskan bahwa transisi demokrasi secara umum memiliki tahapan-tahapan
tertentu, walaupun tidak semua negara akan melewati tahapan atau fase yang sama
dikarenakan setiap negara pasti memiliki karakteristik serta tantangan yang berbeda dalam
2
menjalankan proses transisi demokrasi, namun proses transisi demokrasi dapat ditarik
menjadi garis linier suatu tahapan berupa: (1) diawali dengan runtuhnya rezim otoriter, (2)
oposisi menyiapkan fase pra-transisi demokrasi, (3) dibukanya keran liberalisasi oleh pihak
oposisi, (4) penataan awal serta lahirnya rezim demokrasi, (5) konsolidasi demokrasi.3
Proses transisi demokrasi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda, perbedaan dari
bentuk tersebut akan terlihat saat bagaimana runtuhnya rezim otoriter di suatu negara. Dua
bentuk transisi demokrasi yang dimaksud adalah Reforma Pactada dan Ruptura Pactada.
Reforma pactada merupakan suatu bentuk transisi demokrasi yang menekankan pada
konsolidasi-konsolidasi untuk menentukan sebuah rezim baru yaitu rezim demokrasi.
Konsolidasi tersebut menyertakan aktor politik pada rezim sebelumnya dan aktor politik yang
memiliki visi untuk membentuk suatu rezim baru dalam pemerintahan suatu negara. Berbeda
dengan reforma pactada, ruptura pactada melakukan cara yang lebih radikal dalam upaya
membentuk suatu tatanan rezim yang baru. Hal tersebut dilakukan dengan cara menjatuhkan
kekuasaan dari rezim sebelumnya dengan cara yang radikan serta menyingkirkan seluruh
aktor politik dari rezim lama di dalam pemerintahan, kemudian aktor-aktor tersebut akan
digantikan posisinya oleh orang-orang baru yang pemikirannya terbebas dari cara pandang
aktor pada rezim sebelumnya untuk membentuk suatu tatanan rezim yang demokratis.4
Pemerintahan Junta Militer Myanmar, 1962-2010
Pemerintahan Junta Militer di Myanmar bermula pada tahun 1962, saat itu Jenderal Ne
Win melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil PM U Nu.5 Setelah itu Jenderal Ne Win
menggunakan kekuatan militer sebagai basis utama dari kekuatan pemerintahan Myanmar.
Maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan Myanmar dibawah pimpinan Jenderal Ne Win
merupakan pemerintahan Junta Militer. Jenderal Ne Win memiliki suatu pandangan bahwa
untuk menghindari disintegrasi di Myanmar, maka dibutuhkan suatu bentuk kepemimpinan
yang tegas.6 Oleh karena itu, kekuatan militer dianggap mampu mencegah terjadinya
perpecahan diantara berbagai kelompok masyarakat yang akan mengganggu stabilitas negara.
Namun dalam prakteknya, pemerintahan Junta Militer tidak mampu memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat Myanmar. Pemerintahan Junta Militer yang dipimpin oleh
Jenderal Ne Win menyebabkan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar.
Pada tahun 1990, Myanmar menjalani pemilihan umum pertama setelah lebih dari 20
tahun berada di bawah pemerintahan Junta Militer. Pemilihan umum tersebut terselenggara
setelah Jenderal Ne Win melakukan pengunduran diri pada tahun 1988. Setelah pengumuman
atas pengunduran diri Jenderal Ne Win tersebar, masyarakat kelas menengah di Myanmar
yang terdiri dari aktivis, akademisi, serta mahasiswa membuat suatu gerakan untuk
menyebarluaskan semangat demokrasi di Myanmar. Aung San Suu Kyi merupakan tokoh atau
aktor utama yang dipercaya oleh masyarakat Myanmar untuk memimpin gerakan tersebut.
selama masa persiapan pemilihan umum, Aung San Suu Kyi beserta pendukungnya
melakukan sosialisasi hingga ke daerah-daerah pelosok di Myanmar. Hal ini dilakukan agar
3
masyarakat Myanmar mendukung masuk dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi dan
menggantikan pemerintahan Junta Militer yang selama ini berlangsung.
Hasil dari pemilihan umum pada tahun 1990 memberikan sebuah kemenangan bagi
pihak pro-demokrasi yaitu NLD.7 Namun hasil dari pemilihan umum tersebut tidak diterima
oleh pihak militer yang masih ingin menguasai pemerintahan Myanmar. Ketidakpuasan pihak
militer pada hasil pemilihan umum berdampak pada pengasingan Aung San Suu Kyi yang
merupakan pimpinan dari NLD. Pihak militer melihat bahwa Suu Kyi memiliki peranan yang
signifikan terhadap keberhasilan kampanye yang dilakukan oleh NLD selama masa
kampanye. Suu Kyi juga dinilai sebagai seorang tokoh yang tidak takut oleh tindakan represi
yang dilakukan oleh pihak militer. Oleh karena itu, pihak militer meyakini apabila peranan
Suu Kyi dibungkam, maka upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok pro-demokrasi tidak
akan mendapatkan dampak yang cukup signifikan. Suu Kyi ditahan tidak di dalam rumah
tahanan, namun penahanan Suu Kyi dilakukan di rumahnya sendiri. Pihak militer membangun
pos keamanan di area rumah Suu Kyi. Beberapa pasukan militer juga di siagakan selama 24
jam untuk memastikan bahwa tidak ada akses yang dapat dilalui untuk berinteraksi dengan
Suu Kyi.
Aung San Suu Kyi menjadi tahanan rumah selama sejak tahun 1989 hingga tahun
1995, dan kembali menjadi tahanan rumah pada tahun 2000 hingga 2010.8 Selama menjalani
masa tahanan, Suu Kyi sama sekali tidak memiliki akses untuk berkomunikasi dengan dunia
luar. Bahkan saat Suu Kyi mendapatkan Nobel Peace Prize pada tahun 1991, Suu Kyi tidak
mendapatkan izin untuk menghadiri pemberian penghargaan tersebut. Hingga pada akhirnya
pada tahun 2002, pemerintahan Militer menyetujui memberikan kebebasan bagi Suu Kyi. 9
Pembebasan Suu Kyi dianggap oleh kelompok pro-demokrasi sebagai suatu celah yang dapat
digunakan untuk menjalankan demokratisasi di Myanmar. Kelompok mahasiswa, aktivis,
serta agamawan menyambut pembebasan Suu Kyi dengan harapan bahwa demokratisasi akan
dapat berjalan di Myanmar. Namun hal tersebut tidak bertahan lama, karena Suu Kyi kembali
menjadi tahanan rumah pada tahun 2003.
Pemerintahan junta militer Myanmar tidak hanya membungkam kesempatan Suu Kyi
untuk menyebarkan semangat demokrasi bagi masyarakat Myanmar. Pemerintahan junta
militer juga melakukan tindakan represi bagi masyarakat sipil yang mendukung gerakan
kelompok pro-demokrasi. Salah satu tindakan yang dilakukan oleh pihak militer dalam hal
melakukan tindakan represi tersebut dapat terlihat dari penangkapan masyarakat sipil yang
mengikuti berani mengutarakan pendapat pada saat kampanye pro demokrasi saat NLD
melakukan kampanye.10 Militer di Myanmar melakukan penangkapan secara misterius
terhadap beberapa pendukung NLD yang hadir saat kampanye. Hal tersebut dilakukan karena
pemerintahan militer tidak menginginkan semakin banyak masyarakat sipil yang berani
menyuarakan penentangan terhadap pemerintahan militer dan mendukung munculnya
demokrasi di Myanmar.
4
Peran Aktor Politik Dalam Demokratisasi Myanmar
David Potter mengkategorisasikan aktor-aktor yang terlibat pada masa transisi
demokrasi menjadi 2 kategori besar yang kemudian dibagi lagi menjadi 5 kategori turunan. 2
kategori besar yang dimaksud adalah aktor dari Authoritarian Coalition dan Opposition.
Sedangkan 5 kategori turunan yang dimaksud adalah hardliners, softliners, opportunist,
moderates, dan radicals.11 Bagan berikut ini akan memberikan gambaran mengenai
pengkategorian aktor politik dalam proses demokratisasi:
Bagan 1 Kategori Aktor Politik Saat Demokratisasi
Aktor Politik Pada Transisi
Demokrasi
Authotitarian
Coalition
Hardliners
Softliners
Opposition
Opportunist
Moderates
Radicals
Pada Authoritarian Coalition, menurut Potter terbagi menjadi dua golongan yaitu
hardliners dan softliners. Golongan hardliners merupakan golongan orang-orang tidak
memberikan kesempatan untuk merubah tatanan pemerintahan, aktor politik yang berada pada
golongan hardliners merupakan aktor yang akan mempertahankan status quo. Sedangkan
golongan softliners merupakan golongan orang-orang yang berada di pihak rezim otoriter
namun masih membuka diri untuk melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan pihak oposisi,
serta masih memungkinkan untuk membuka diri pada masuknya nilai-nilai demokrasi dan
liberal. Dari kategori opposition terdapat tiga golongan yaitu opportunist yang merupakan
golongan yang mendukung perkembangan rezim demokrasi namun tidak memiliki komitmen
yang kuat dalam keikutsertaannya. Kedua adalah golongan moderates dimana dalam
golongan ini mendukung adanya demokratisasi namun tetap menghormati kedudukan
kedukan aktor tradisional seperti militer. Kemudian yang terakhir adalah golongan radicals
5
dimana pada golongan ini sangat menginginkan adanya tranformasi demokrasi dan
menentang keras adanya negosiasi dengan pihak rezim otoriter.
Dengan menggunakan penjelasan mengenai kategori-kategori aktor politik yang
memiliki peranan dalam proses demokratisasi di suatu negara, maka dalam melakukan analisa
terhadap proses demokratitasi yang terjadi di Myanmar dapat digolongkan secara jelas aktoraktor yang berperan dan termasuk ke dalam kategori mana aktor tersebut. Tokoh-tokoh militer
seperti Jenderal Ne Win, Jenderal Than Shwe dan Jenderal Saw Maung secara jelas dapat
dikategorikan ke dalam golongan authoritarian coalition bagian hardliners. Upaya untuk
tetap melanggengkan pemerintahan militer menjadi suatu contoh yang dapat membuktikan
bahwa kedua tokoh tersebut merupakan golongan hardliners. Berbeda dengan Thein Sein
yang saat ini menjabat sebagai Perdana Menteri Myanmar setelah pemilihan umum yang
berlangsung pada tahun 2010. Thein Sein merupakan mantan anggota militer yang
mengundurkan diri sebagai anggota militer dan menjadi masyarakat sipil untuk dapat
mengikuti pemilihan umum di tahun 2010. Walaupun Thein Sein merupakan bagian dari
authoritarian coalition yang dalam hal ini merupakan kelompok militer, namun Thein Sein
dalam menjalani peerintahan masih membuka diri terhadap upaya demokratisasi yang saat ini
sedang berlangsung di Myanmar. Pengunduran diri yang dilakukan oleh Thein Sein untuk
melepaskan jabatan militernya merupakan sebuah bukti bahwa Thein Sein ingin
berkonsolidasi dengan kelompok pro-demokrasi dan merubah tatanan pemerintahan di
Myanmar agar lebih demokratis.
Pihak oposisi di Myanmar dapat tergambarkan dengan cukup jelas. Dimana kelompok
yang masuk kedalam kategori oposisi di Myanmar tidak ada yang tergolong kedalam oposisi
yang opportunist. Pada dasarnya kelompok-kelompok oposisi yang ada di termasuk ke dalam
golongan radical. Kelompok-kelompok yang dimaksud adalah kelompok mahasiswa, aktivis,
ataupun agamawan. Namun pada kenyataannya demokratisasi yang dijalani oleh Myanmar
mengadopsi bentuk reforma pactada . Hal tersebut terjadi karena peran dari Aung San Suu
Kyi sebagai pimpinan dari kelompok oposisi mampu memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap tindakan-tindakan yang diambil oleh kelompok mahasiswa, aktivis maupun
agamawan. Dengan melihat bagaimana Suu Kyi sebagai pemimpin kelompok oposisi memilih
untuk bekerja sama dengan cara masuk ke dalam parlemen pada pemerintahan Thein Sein
yang merupakan mantan anggota militer, memperlihatkan bahwa Suu Kyi dapat dikategorikan
sebagai kelompok oposisi golongan moderate. Walaupun kelompok oposisi lain seperti
aktivis, agamawan dan mahasiswa termasuk ke dalam golongan radical, namun pada faktanya
peranan Suu Kyi mampu untuk menggeser golongan oposisi tersebut kearah yang lebih
moderate.
Melihat proses demokratisasi yang terjadi di Myanmar erat kaitannya dengan
golongan authoritarian coalition yaitu militer dan oposition yaitu NLD yang didukung oleh
mahasiswa, aktivis, dan agamawan. Secara analitis dapat dikatakan bahwa kedua kelompok
yang termasuk di dalam pengkategorisasian aktor politik dalam demokratisasi menurut David
Potter merupakan aktor-aktor yang memiliki kepentingan politik di Myanmar. Dimana kedua
kelompok tersebut menginginkan adanya legitimasi untuk menjalankan pemerintahan di
6
Myanmar. Namun dalam upaya demokratisasi yang terjadi di Myanmar terdapat satu aktor
yang tidak memiliki kepentingan politik seperti aktor lainnya. Aktor tersebut adalah Michael
Aris yang merupakan aktor eksternal yang mendukung proses demokratisasi di Myanmar.
Michael Aris disebutkan sebagai aktor eksternal, karena menurut penulis, Aris bukan
merupakan warga negara Myanmar, selain itu Aris juga tidak mengejar jabatan dalam
pemerintahan Myanmar. Maka dapat dikatakan bahwa Michael Aris tidak memiliki
kepentingan politik dalam upaya demokratisasi di Myanmar, namun Michael Aris memiliki
kepentingan personal karena memiliki hubungan personal dengan Aung San Suu Kyi yang
merupakan pimpinan dari NLD.
Peran Michael Aris terhadap demokratisasi di Myanmar adalah sebagai penghubung
atau pemberi informasi terhadap keadaan politik yang terjadi di Myanmar dengan dunia
internasional. Selain itu Michael Aris juga memiliki peran untuk melobby beberapa negara
yang menjalankan kerjasama dengan Myanmar agar menuntut perubahan politik di
Myanmar.12 Salah satu upaya yang dilakukan Michael Aris adalah dengan mendaftarkan Suu
Kyi agar mendapatkan Nobel Peace Prize. Hal tersebut dilakukan oleh Michael Aris agar
melalui penghargaan tersebut, dunia internasional mengetahui bagaimana keadaan politik dan
pemerintahan yang terjadi di Myanmar. Selain itu Michael Aris juga menyebarkan informasi
mengenai situasi yang dialami oleh Suu Kyi melalui media-media internasional. Hal tersebut
membawa pengaruh terhadap situasi politik di Myanmar. Dimana setelah Michael Aris
mencoba untuk memberi informasi kepada dunia internasional, beberapa negara memberikan
kecaman terhadap pemerintahan militer Myanmar. Selain itu terdapat juga beberapa negara
yang memberikan ancaman berupa pemberhentian bantuan di bidang ekonomi apabila
pemerintah Myanmar tidak melakukan demokratisasi.
Tantangan Demokratisasi Myanmar
Tantangan utama yang dihadapi oleh Myanmar pada masa transisi demokrasi saat ini
adalah kembali berkuasanya rezim otoriter. Hal ini dapat terjadi karena bentuk demokratisasi
yang diadopsi oleh Myanmar adalah bentuk reforma pactada dimana aktor-aktor lama yang
tergabung dalam authoritarian coalition tidak sepenuhnya dipisahkan dari pemerintahan saat
ini. Kelompok oposisi masih memberikan kesempatan kepada kelompok softliners untuk
berkonsolidasi dalam pembentukan pemerintahan Myanmar yang demokratis. Namun tidak
menutup kemungkinan terjadi set back dalam pemerintahan Myanmar jika pihak pro
demokrasi tidak hati-hati dalam mengawasi jalannya pemerintahan di Myanmar.
Priscilla Clapp dan Suzanne DiMaggio dalam tulisannya mengemukakan bahwa
setelah adanya peruntuhan rezim otoriter di Myanmar dan adanya proses konsolidasi antara
aktor lama dan aktor baru, pemerintahan Myanmar memiliki beberapa tantangan dalam
menjalankan proses demokratisasi. Tantangan tersebut terbagi menjadi beberapa poin berikut
ini:13
1. Pemerintahan baru harus mampu melakukan pemaknaan ulang terhadap institusi
militer di bidang politik dan ekonomi.
7
2. Memberlakukan aturan hukum secara tegas untuk memperkuat yuridisial.
3. Melindungi Hak Asasi Manusia (HAM)
4. Membuat rancangan terhadap suatu aturan untuk menghasilkan kesetaraan dalam
etnisitas.
5. Menanamkan toleransi sosial dan agama di masyarakat.
6. Menghapuskan korupsi.
7. Mengisi kekosongan yang ada pada spektrum pemerintahan dan ekonomi, yang
disebut dengan “missing midle”.
8. Memberikan manfaat serta mensosialisasikan reformasi kepada masyarakat secara
luas dan menyeluruh.
9. Mengatasi permasalahan mengenai land and property rights.
10. Mengembangkan mekanisme trade-off antara pembangunan ekonomi dan
pembangunan sosial yang ramah lingkungan.
Pemerintahan Myanmar dibawah kepemimpinan Thein Sein bergerak ke arah
pemerintahan yang lebih demokratis. Hal ini dapat dilihat bahwa Thein Sein dalam masa
pemerintahannya berfokus pada rekonsiliasi atau pemaknaan ulang dari tugas serta fungsi
militer. Hal ini penting untuk dilakukan karena pemerintahan otoriter yang terjadi selama
lebih dari 20 tahun telah menjadikan institusi negara tersebut menjadi tidak bebas nilai. Peran
utama dari militer adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan suatu negara dari ancaman
pihak luar. Peran masyarakat dalam mempercayai tugas serta fungsi dari militer dibutuhkan.
Oleh karena itu masyarakat harus menyadari bahwa pemerintah saat ini tengah berusaha
untuk mengembalikan peran serta fungsi militer sebagai institusi negara yang netral dan tidak
tercampur ke dalam bidang politik di Myanmar.
Kesimpulan
Dalam masa transisi demokrasi di suatu negara aktor politik memiliki peranan penting.
Selain memiliki peranan yang signifikan terhadap bentuk transisi serta arah transisi, aktor
politik juga memiliki peranan dalam menciptakan tantangan serta menjawab tantangan dari
transisi itu sendiri. Penulis mengatakan bahwa aktor politik memiliki peranan dalam
menciptakan tantangan, yang dimaksudkan dalam menciptakan tantangan adalah karena
tantangan suatu negara pada masa transisi dapat dipengaruhi oleh aktor politik yang berperan.
Jika aktor politik yang memiliki peranan signifikan merupakan kelompok radical tentu saja
akan memiliki cara yang berbeda dengan proses transisi yang akan dijalani oleh kelompok
moderate, dengan begitu tantangan yang tercipta juga akan berbeda karena tatanan dari aktor
politik yang berperan pada masa transisi akan berbeda. Selain itu walaupun kelompok pro
demokrasi berasal dari golongan yang sama, misalnya moderate. Namun latar belakang dari
kelompok tersebut akan mempengaruhi pula tantangan yang akan muncul. Contohnya, ketika
mahasiswa sebagai kelompok moderate yang lebih dominan dalam proses transisi demokrasi
8
akan mendapatkan tantangan yang berbeda jika kelompok moderate yang dominan adalah
dari kelompok agamawan atau ketua adat.
Selain itu dalam melihat proses transisi yang terjadi di Myanmar, analisa yang
dilakukan tidak hanya berasal dari aktor-aktor politik yang memiliki kepentingan politik saja.
Dalam melihat proses transisi yang terjadi di Myanmar, aktor eksternal ternyata dapat
memberikan pengaruh terhadap proses transisi demokrasi. Maka dari itu, untuk melihat
sebuah proses transisi demokrasi, akan lebih baik jika melihat faktor-faktor eksternal yang
juga mempengaruhi. Karena faktor eksternal yang mempengaruhi proses transisi dapat
menjadi suatu momen yang memiliki pengaruh signifikan terhadap upaya demokratisasi yang
dilakukan oleh aktor internal negara tersebut.
1
BBC, 2013, Myanmar Profile, diakses dari http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-12992883, diakses
pada tanggal 19 April 2014
2
Guiller o O’Do ell da Phillippe C. “ h itter, Transitions From Authoriarian Rule: Tentative Conclusions
About Uncertain Democracies, (London: The Johns Hopkins University Press, 1986) Hlm. 6
3
Scott Mainwaring, 1989, Transition To Democracy And Democratic Consolidation: Theoritical And Comparative
Issues, Diakses dari
http://www.undp.org.eg/Portals/0/INT%20FORUM/Democratic%20Consolidation_Mainwaring.pdf Diakses
pada tanggal 19 April 2014
4
JM Maravall dan Julia “a ta aria, Peru aha Politik di “pa yol da Prospek agi De okrasi , dala
Guiller o O’Do ell, et.al., Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Eropa Selatan, (Jakarta: LP3ES, 1992) Hlm. 113
5
Monique Skidmore dan Trevor Wilson, Dictatorship and Decline in Myanmar,(Australia: ANU E Press, 2008),
hlm. 29 diakses dari http://epress.anu.edu.au/myanmar02/pdf/whole_book.pdf diakses pada tanggal 19 April
2014
6
Ibid.,hlm.30
7
Priscilla Clapp, Building Democracy in Burma, (Washington: United State Institute of Peace, 2007), hlm. 7
8
Ardeth Maung Thawghmung, May/June 2003, Preco ditio s A d Prospects for De ocratic Tra sitio i
Bur a/Mya ar , Asia “urvey, Vol.43, No.3, hlm. 445-446
9
Priscilla Clapp, Op.Cit., hlm. 8
10
lianlilianli li, Sept 2012, Aung San Suu Kyi – The Choice (Film Dokumenter), video dilihat dari
http://www.youtube.com/watch?v=1_IjNKT_T5o dilihat pada tanggal 20 April 2014
11
David Potter, et.al., (eds) Explaining Democratization, (Milton Keynes: Polity Pressm 2005), Hlm. 15
12
lianlilianli li, Sept 2012, Aung San Suu Kyi – The Choice (Film Dokumenter), video dilihat dari
http://www.youtube.com/watch?v=1_IjNKT_T5o dilihat pada tanggal 20 April 2014
13
Priscilla Clapp dan Suzanne DiMaggio, “ustai i g Mya ar’s Tra sitio : Te Critical Challe ges, (New York:
The Asia Society, 2013) , hlm.2
9