Representasi Kebebasan di Tengah Isu Gen

REPRESENTASI KEBEBASAN DI TENGAH ISU GENDER DAN IDENTITAS
Analisis Novel Andre Gide “L’immoraliste” (Yang Tak Bermoral)
Oleh Rosida E.
Pendahuluan
Konsistensi dan kontribusi Gide dalam dunia sastra membuatnya layak
mendapatkan Nobel pada tahun 1947. L’Immoraliste merupakan salah satu dari beberapa
karya Gide yang terkenal, antara lain Les Faux Monnayeurs (The Counter-faits), La
Porte Etroite (The Narrow Door), Thésée (Theseus), La Symphonie Pastorale (The
symphonie pastoral). Gide juga dikenal sebagai esseis sastra dan politik serta terlibat
dalam pergerakan partai kiri komunis di Perancis. Kekhasan Gide terletak pada keunikan
tema yang sebagian besar memperlihatkan kritik atas sifat manusia yang munafik. Tema
ini seolah-olah menyatu dengan semangat jaman di masa Gide hidup (ia meninggal tahun
1951 pada usia 82 tahun) dan terus digemari serta dikaji ulang di masa kini (hingga kini
gidien studies masih terus dilanjutkan). Tokoh-tokoh Gide biasanya memiliki kerangka
psikologis yang dilematik antara keinginan untuk berpegang pada moral (agama) dan
keinginan untuk membebaskan diri dari norma-norma tersebut. La Symphonie Pastorale
merupakan karya Gide yang paling kritis terhadap rawannya tegangan antara puritan dan
sensualis (yang mengutamakan kenikmatan inderawi) karena tokohnya seorang pendeta
Reformis yang menyelingkuhi putri baptisnya sendiri karena beranggapan kebutaan putri
baptisnya akan melindungi kebohongan yang telah diaturnya. Sedangkan L’Immoraliste
dapat diposisikan sebagai pembuka gerbang bagi karya-karya Gide yang kritis karena di

sini Gide memperkenalkan konsepnya tentang manusia bebas, bebas dari moral, bebas
berbuat.
Sebagai karya sastra kanon, L’Immoraliste menyentuh pembacanya melalui
kekhasan gaya penceritaan Gide yang mengelaborasi indera manusia. Di suatu bagian,
Gide menggambarkan seorang anak Afrika yang terluka jarinya dan anak itu menjilati
darahnya sendiri (seperti sesuatu yang segar) sampai terhenti pendarahannya. Darah yang
dijilat itu merupakan darah orang yang sehat. Jika seorang penderita TBC terbatuk
sampai mengeluarkan darah, maka darah yang keluar itu merupakan darah orang yang

1

sakit. Sensual adalah kata yang tepat bagi gaya penceritaan Gide yang mampu
menggambarkan sesuatu dengan antusiasme. Gaya ini menjadi ‘klop’/pas dengan wacana
pertentangan antara puritan dan libertin yang diusung oleh Gide. Para libertin biasanya
sangat memanjakan sensualitas (indera) seperti penglihatan, persentuhan, penciuman,
pendengaran.
Tema kebebasan (yang universal) yang ditawarkan oleh Gide dalam
L’Immoraliste menjadi tinjauan kritis ketika dikaitkan dengan isu gender dan identitas.
Untuk siapa sesungguhnya kebebasan yang dimaksud dalam L’Immoraliste? Siapa
sesungguhnya yang dimaksud dengan Yang Tak Bermoral itu? Pertanyaan-pertanyaan ini

terkait erat dengan cara Gide merepresentasikan tema kebebasan dalam L’Immoraliste.
Pembahasan yang akan dilakukan berupaya menjawab pertanyaan tersebut.

Tujuan dan masalah
Pembahasan ini bertujuan melihat kembali representasi tema kebebasan dalam
L’Immoraliste dalam kaitannya dengan isu gender dan identitas.
Masalah yang diajukan dalam analisis ini adalah bagaimanakah representasi tema
kebebasan dalam kaitannya dengan isu gender dan identitas dalam L’Immoraliste?
Landasan Teori
Pembahasan ini bertujuan melihat kembali representasi tema kebebasan dan
mengaitkannya dengan isu-isu kontemporer. Konsep dekonstruksi Derrida akan
digunakan untuk membongkar kontradiksi-kontradiksi yang terkandung dalam teks.
Dekonstruksi mengacu pada model analisis yang dipakai dalam membaca berbagai model
teks, sastra maupun non sastra, untuk menunjukkan ketidaksesuaian logika atau retorika
antara yang secara eksplisit disebutkan dan yang secara implisit tersembunyi dalam teks.
Kajian

dekonstruksi

menunjukkan


bagaimana

kontradiksi-kontradiksi

tersebut

disamarkan oleh teks. Sebagai metode analisis, dekonstruksi memulai dengan
mengidentifikasi oposisi biner yang ada dalam teks, kemudian membalikkan atau
menunjukkan kontradiksi dalam teks yang mengaburkan hirarki atau batasan antara
keduanya. (Budianta:44&46)

2

Untuk melihat ‘wacana’ yang mempengaruhi teks L’Immoraliste, teori wacana
Foucault akan digunakan. Menurut Foucault, wacana bukanlah terbatas pada pemikiran
dan cara penyampaian pemikiran tersebut, melainkan semua aturan dan kategori diskursif
yang merupakan bagian dari sistem pengetahuan yang demikian mendasar sehingga tidak
lagi dipertanyakan orang. Wacana tentang yang benar dan yang salah tidak bisa tidak
sangat terkait dengan “kondisi-kondisi historis dan terus menerus mengalami perubahan.

Wacana tentang yang benar dan yang salah tersebut didukung oleh sistem kelembagaan
yang menentukan, atau mengubah norma-norma tersebut, atau seringkali juga berfungsi
menghambat dengan cara penuh kekerasan (Young via Budianta: 54).
Untuk melihat kaitan representasi tema kebebasan dengan isu gender, kritik
feminisme akan digunakan. Kritik feminisme melihat adanya teks-teks yang bertendensi
‘phallogosentrisme’ artinya teks yang secara implisit berpusat pada ‘phallus’ yang
merupakan simbol jenis kelamin laki-laki. Phallogosentrisme merupakan cara berpikir
yang membuat oposisi biner yang hirarkis antara laki-laki/wanita, rasio/perasaan,
keberanian/kelemahan, dan seterusnya, yang mengagungkan yang satu dan merendahkan
yang lain. (Budianta:46)
Dan terakhir, untuk melihat kaitan isu identitas dengan tema kebebasan akan
digunakan teori postkolonial. Teori postkolonial melihat bahwa pembentukan identitas
ditentukan oleh ‘pembedaan (relation of difference), hubungan kekuasaan (power
relation), dan konstruksi sosial (social construction)’. Melalui teori ini akan terlihat
bahwa representasi tema kebebasan dalam L’Immoraliste mendasarkan motifnya secara
implisit pada stereotip kelompok kebudayaan tertentu dalam hirarki yang sifatnya
Penjajah dan Terjajah. (Budianta:60-62)
Ringkasan Cerita
Kisah L’Immoraliste merupakan kesaksian Michel, seorang lelaki Perancis
berusia 27 tahun yang berprofesi sebagai sejarahwan, memiliki kedudukan sosial yang

cukup mapan berkat warisan sang ayah (berupa status sosial maupun harta kekayaan),
yang mencoba mencari makna kebebasan dalam hidupnya. Ibunya, meninggal dunia
ketika ia masih kecil, telah mendidiknya dengan tradisi Protestan yang cukup ketat.
Sementara ayahnya, seorang sejarahwan terkenal, adalah seorang atheis yang, sejak

3

meninggalnya sang ibu, mendidik sendiri putranya untuk mempelajari ilmu pengetahuan
terutama bahasa. Berkat didikan keras si ayah, Michel berhasil mengikuti jejak ayahnya
sebagai sejarahwan di usia yang sangat muda, menjadi asisten ayahnya dalam penelitian
sejarah maupun penyusunan buku. Atas permintaan ayahnya sebelum meninggal, Michel
menikah dengan Marceline (seorang sahabatnya sejak kecil) yang cantik, beragama
Katholik dan taat beribadah. Kehidupan Michel yang sebelumnya kesepian berubah sejak
bertemu Marceline setelah selama hampir seluruh masa remajanya ia habiskan bersama
ayahnya, belajar dan membaca buku. Michel harus mulai beradaptasi dengan situasi baru
bersama orang selain ayahnya, ia seperti baru mengenal sisi kehidupan yang lain. Dalam
suatu perjalanan penelitian ke Tunisia, Michel yang bertubuh lemah jatuh sakit dan nyaris
meninggal dunia akibat TBC. Marceline merawat Michel di sebuah kota, Biskra.
Kesembuhan Michel diawali sejak ia menyadari bahwa hidup perlu semangat, vitalitas.
Kesadaran ini muncul ketika ia melihat anak-anak Afrika yang kerap dijumpainya begitu

sehat dan kuat.
Setelah pulih, Michel dan Marceline kembali ke Perancis, menempati rumah di
perkebunan milik orangtuanya (La Morinière) dan tinggal disana. Selama di perkebunan,
Michel sangat menyukai bergaul dengan para pekerjanya, mengetahui kehidupan dan
pekerjaan mereka. Ia bertemu dengan Charles, putra mandor perkebunannya, seorang
anak muda yang terpelajar dan penuh tanggung jawab. Charles menunjukkan kepada
Michel lika-liku pengolahan perkebunan. Michel menyadari tanggung jawabnya sebagai
pemilik sebuah aset lahan yang harus dikelola dengan baik. Suatu saat, Michel dan
Marceline pergi ke Paris untuk menghadiri pertemuan para ilmuwan. Michel berkenalan
dengan Menalque, seorang geolog petualang, yang kemudian memperkenalkan Michel
dengan sebuah gagasan tentang kehidupan yang bebas. Menalque dikucilkan dari
pergaulan para ilmuwan karena dipandang memiliki moralitas yang rendah (hidup bebas
tanpa keterikatan pada keluarga, perkawinan, berbuat sekehendak hati). Pandangan
Menalque tidak terlalu mempengaruhi Michel saat itu walaupun ia menyadari kebenaran
gagasan Menalque. Saat itu Marceline tengah mengandung dan Michel sangat
mengharapkan kelahiran bayinya. Pengaruh Menalque mulai menguasai Michel setelah
kandungan Marceline mengalami keguguran. Michel mulai merasa hidupnya kosong dan

4


merasa terbebani oleh perkawinannya, kekayaannya, tanggung jawabnya. Kemudian
Marceline mulai jatuh sakit akibat TBC (tertular oleh Michel).
Menurut Michel, kebebasan harus berdampingan dengan kekuatan dan kesehatan.
Tanpa kedua ini, seseorang tidak akan bebas. Marceline yang jatuh sakit menjadi beban
bagi Michel. Perkebunan yang harus ia kelola juga terasa membebani bagi Michel.
Sedikit demi sedikit, Michel mulai mencoba untuk membebaskan diri dari semua itu.
Ucapan-ucapan Marceline yang mengingatkan Michel agar berdoa untuk kesembuhan
Marceline dijawab sinis bahwa dulu ia sembuh dari TBC karena ia menemukan semangat
dan vitalitasnya kembali. Di perkebunan, Michel mulai membiarkan para pekerjanya
berbuat sekehendak hati mereka, bahkan sekali waktu ia sendiri membuat intrik untuk
mengadu domba para pekerjanya. Charles yang baru kembali dari sekolah seminari
memprotes cara-cara Michel yang ia anggap tidak bertanggung jawab. Kemudian, Michel
memutuskan untuk bepergian demi pengobatan Marceline. Mereka pergi ke Perancis
Selatan, kemudian ke Italia dan kemudian memutuskan untuk kembali ke Tunisia.
Keadaan Marceline terkadang membaik jika berada di daerah yang hangat. Untuk
membiayai semua perjalanan ini, Michel menjual perkebunannya. Setiba di Biskra,
keadaan Marceline memburuk. Michel mencari anak-anak yang dulu ditemuinya namun
kini semuanya telah menikah atau bekerja. Satu orang saja dari mereka yang masih bebas
dari


keterikatan

yaitu

Moktir,

yang

kini

menjadi

residivis

pencuri.

Tanpa

mempertimbangkan keadaan Marceline, Michel memutuskan melanjutkan perjalanan ke
Touggourt dipandu oleh Moktir. Keadaan Marceline semakin buruk dan akhirnya

meninggal di Touggourt. Ironisnya, pada malam kematian Marceline, Michel baru
merasakan dilayani kebutuhan seksnya oleh seorang pelacur yang juga pacar Moktir (ini
pun atas ajakan Moktir). Marceline meninggal dalam pelukan Michel dan ia menyadari
bahwa ia telah kehilangan suaminya. Michel melanjutkan cara hidup bebasnya di Afrika:
tanpa ikatan, tanpa tanggung jawab. Dan semuanya berakhir dengan kekosongan belaka:
Michel hidup dari apa yang bisa ia buat ditemani oleh seorang anak laki-laki Afrika yang
setia dan kebutuhan seksnya terkadang ia penuhi bersama pelacur.
Pembahasan
1. Wacana moralitas dibalik oposisi biner ‘kebebasan’ dan ‘keterikatan’

5

Wacana kebebasan di Immoraliste diawali oleh pernyataan Michel, si tokoh
utama, dalam kesaksiannya di hadapan sahabat-sahabatnya:
Savoir se libérer n’est rien; l’ardu, c’est savoir être libre. [h. 15]
Mengetahui cara membuat diri bebas tidak sulit, yang sulit adalah mengetahui
bahwa kita sesungguhnya bebas.
Kebebasan seperti apa yang dimaksudkan oleh si tokoh ini? Kebebasan dalam narasi ini
adalah sebuah wacana yang terkait erat dengan hedonisme (menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan kesenangan). Di dalam narasi terlihat adanya oposisi biner antara

unsur teks yang terkait dengan kebebasan dan unsur teks yang terkait dengan oposisinya
yaitu ketidakbebasan.
Pertama akan dilihat unsur teks yang menjadi representasi ketidakbebasan antara
lain perkawinan (direpresentasikan oleh isteri/Marceline), moral (direpresentasikan oleh
isteri yang taat beribadah, para ilmuwan yang mengucilkan Menalque, dan Charles),
kepemilikan atas harta (direpresentasikan oleh La Morinière/ perkebunan Michel dan
pekerjaannya sebagai sejarahwan) dan sebuah negara bernama Perancis. Sedangkan unsur
teks yang menjadi representasi kebebasan adalah tokoh Menalque (petualang yang hidup
bebas tanpa ikatan baik perkawinan, moralitas maupun kekayaan), tokoh Moktir (pemuda
Afrika yang hidup bebas dari tanggung jawab apapun, mewakili kejahatan dalam skala
yang serius/ residivis pencurian), dan sebuah negara bernama Tunisia (bagian dari
wilayah Maghreb/jajahan Perancis di Afrika bagian utara, direpresentasikan oleh Biskra
dan Touggourt).
Jika ditinjau dari struktur narasi, tokoh Michel sepanjang narasi selalu hidup di
bawah wacana ketidakbebasan yang diawali oleh didikan agama dari ibunya, kemudian
keharusan dari ayahnya untuk menguasai ilmu pengetahuan, perkawinannya dengan
Marceline dan terakhir kepemilikannya atas La Morinière. Ketidakbebasan Michel terikat
pada satu latar tempat yang bernama Perancis, sebuah negara dengan empat musim yang
khas seperti negara-negara Eropa lainnya. Bagaimana Michel sampai menemukan
wacana kebebasannya? Semua kesadarannya tentang kebebasan diawali di kota kecil

bernama Biskra di Tunisia (wilayah jajahan Perancis di Afrika Utara). Michel terpukau

6

oleh alam tropis yang berhasil membuat penyakit TBC-nya sembuh dan membangkitkan
antusiasme tubuhnya terhadap alam. Ketika ia kembali ke Perancis, ia seolah-olah berada
di tengah ketidakbebasan lagi karena wacana moralitas sangat ketat mengungkung negeri
itu dan negeri Eropa lainnya. Panggilan kebebasan Afrika memenuhi kesadaran Michel
sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Tunisia. Itu pun dengan harapan Marceline
dapat sembuh. Ternyata sebaliknya, perjalanan ke Afrika membuat Michel benar-benar
terlepas dari semua tanggung jawab yang mengikatnya. Kebebasan memang ia temukan
di tengah alam tropis.
2. Isu gender
Dalam narasi, Marceline tidak memiliki posisi sosial lain kecuali isteri Michel.
Tokoh ini ada seolah-olah hanya untuk merepresentasikan wacana ketidakbebasan yang
dimaksud oleh narator (Michel). Marceline merupakan tokoh yang memiliki komponen
makna wanita, berparas cantik, dan taat beribadah. Disini terlihat melalui komponen
makna wanita dan berparas cantik bahwa narasi ini merupakan konstruksi wacana yang
bersifat patriarkal. Wanita didampingkan dengan parasnya yang cantik untuk menggugah
pria, menjadikan si pria (Michel) hidupnya bernuansa.
Marceline était très jolie. Vous le savez; vous l’avez vue.[…] Je la connaissais
trop pour la voir avec nouveauté; […] pour la première fois je m’étonnai, tant
cette grâce me parut grande.[…] je m’étais marié sans imaginer en ma femme
autre chose qu’un camarade, sans songer bien précisement que, de notre union,
ma vie pourrait être changée. Je venais de comprendre enfin que là cessait le
monologue [h. 21]
Kalian mengetahui sendiri kalau Marceline sangat cantik. […] Aku terlalu
mengenal dia sehingga aku tak bisa melihatnya secara berbeda;[…] untuk pertama
kalinya aku terkejut betapa berbedanya ia sekarang.[…] ketika menikah,
bayanganku tentang istriku tak ada yang lain kecuali seorang teman. Aku tidak
benar-benar berpikir bahwa pernikahan kami dapat mengubah hidupku. Saat aku
menyadarinya, saat itu pula monologku berhenti. [h.21]
Terlihat pula adanya hubungan kekuasaan dalam struktur narasi ini melalui
dominasi narator (hanya Michel yang berbicara, nota bene sebagai suami Marceline),
dominasi lakuan (Michel yang banyak memutuskan sesuatu mulai menempati La
Morinière sampai keputusan untuk pergi ke Touggourt) yang menunjukkan bahwa

7

seluruh narasi adalah milik Michel semata. Marceline, sebagai istri dalam struktur sosial
seharusnya memiliki suara yang paling tidak berimbang mengingat ia seorang wanita
yang berpendidikan (entah apa) yang ditunjukkan melalui kemampuannya mengajar
anak-anak ketika ia di Biskra bersama Michel. Namun dalam narasi, suara Marceline
ditampilkan Michel untuk urusan mengingatkan Michel untuk berdoa, memberi dua
komentar tentang pergaulan Michel dan ungkapan cinta kepada Michel secara
melankolik.
Pengetahuan atas Marceline sepenuhnya berada di tangan Michel. Posisi
Marceline dalam struktur narasi Michel direpresi sedemikian rupa sehingga yang tampil
hanya Marceline dalam bayangan Michel. Michel-lah pemilik jasad sedang Marceline
bayangannya .
Oui, si peu que ce fût, j’étais gêné par sa présence. Si je m’étais levé, elle
m’aurait suivi […] Je voyais qu’elle avait ses protégés; malgré moi, mais par
parti pris, moi je m’intéressais aux autres. [h.41]
Ya, walaupun sesaat, aku merasa terganggu oleh kehadirannya. Jika aku berdiri, ia
akan mengikutiku […] Kulihat ia bersama anak-anak itu. Aku pun tertarik pada
mereka. Namun di sisi lain, aku lebih tertarik pada hal-hal lain.
Wacana patriarkis dengan berbagai cara mengebiri posisi Marceline sebagai
wanita yang juga manusia dengan karakter dan potensi tertentu. Padahal tokoh Marceline
berpotensi untuk ditampilkan dengan cara yang berbeda. Immoraliste, bagi saya, dalam
konteks ini menguatkan konstruksi tentang perempuan yang berposisi lemah dalam
hirarki sosial dan naratif. Melalui struktur narasi seperti ini terkesan bahwa tema
kebebasan yang menjadi proposisi Immoraliste hanya diperuntukkan kaum laki-laki.
3. Isu identitas
Teori

postkolonial

mengkaji

permasalahan-permasalahan

yang

terkait

kolonialisme. Dalam Immoraliste, walaupun terminologi kolonial tidak digunakan secara
eksplisit namun karena latar tempat yang diacu adalah kawasan Maghreb (Tunisia) yang
merupakan wilayah jajahan Perancis dan baru merdeka sekitar 1960-an, maka isu
identitas sangat tepat digunakan untuk membedah kecenderungan novel ini.
Dalam wacana poskolonial, hubungan antara Penjajah dan Terjajah selalu bersifat
hirarkis. Hirarki tidak harus selalu diartikan dengan tindakan-tindakan represif ataupun

8

rasis namun dapat pula melalui sikap sosial dan sikap politik yang etis. Hubungan
tersebut dapat pula dideskripsikan melalui pembentukan stereotip tertentu bahwa si
Terjajah biasanya hidupnya alami, tanpa aturan, bebas. Hal-hal ini muncul dalam
Immoraliste.
Penjajah selalu merasa dirinya berbeda dari si Terjajah. Ia menganggap si Terjajah
sebagai Yang Lain. Mereka berbeda dalam bahasa, budaya, cara berpakaian, cara
berbicara. Michel sebagai orang Perancis yang pergi ke Afrika, melakukan perjalanan
untuk studinya tentang arkeologi, di masa penjajahan Perancis masih berlangsung di
wilayah tersebut. Tunisia pada saat novel ini dibuat tahun 1902 masih berada di bawah
penjajahan Perancis. Dalam keadaan sakit, ia dan istrinya tiba di Biskra dan kemudian
tinggal selama beberapa waktu di sana. Dalam salah satu peristiwa ketika Michel
ditemani oleh seorang anak Arab ketika Marceline tengah mengajar menunjukkan
bagaimana perbedaan antara Penjajah dan Terjajah ditampilkan.
Ses pieds sont nus, ses chevilles sont charmantes, et les attaches de ses poignets
[…] ses cheveux sont rasés à la manière arabe; il porte une pauvre chéchia qui
n’a qu’un trou à la place du gland. La gandourah, un peu tombée, découvre sa
mignonne épaule. J’ai besoin de la toucher. Je me penche, il se retourne et me
sourit. [h.31]
Ia bertelanjang kaki, pergelangan kakinya menarik dan ia mengangkat
pergelangan kakinya dengan tangan. […] Rambutnya berantakan ala Arab. Ia
memakai kopiah Turki yang buruk yang berlubang di bagian jambulnya.
Gandoura-nya tersingkap di pundak dan memperlihatkan pundaknya yang kecil.
Rasanya aku perlu menyentuh pundak itu. Kuulurkan tanganku ke arahnya. Anak
itu menoleh dan tersenyum. [h.31]
Michel, sebagai Penjajah, merasakan alangkah anehnya sosok anak Arab yang ada
di hadapannya. Deskripsinya bergerak dari bawah (kaki) ke atas (pundak). Jika kita
perhatikan seperti itulah cara seseorang memperhatikan orang lain yang statusnya lebih
rendah. Apalagi bagi orang Barat, alas kaki memiliki arti simbolis yang penting bagi
kolonialisme sehingga ketika ia datang ke negeri-negeri beriklim tropis, ia merasa seolah
datang ke negeri barbar yang tak mengenal budaya.
Ketertarikan Michel pada anak Arab itu sesungguhnya bukan untuk melakukan
penilaian ras tapi lebih untuk menggambarkan antusiasmenya terhadap Yang Asing. Di
bawah ini merupakan kutipan yang menunjukkan kekaguman Michel terhadap kebugaran
si anak Arab.
9

Le lendemain Bachir revint. Il s’assit comme l’avant-veille, sortit son couteau,
voulut tailler un bois trop dur, et fit si bien qu’il s’enfonça la lame dans le pouce.
J’eus un frisson d’horreur; il en rit, montra la coupure brillante et s’amusa de
voir couler don sang. Quand il riait, il découvrait des dents très blanches; il
lécha plaisamment sa blessure; sa langue était rose comme celle d’un chat. Ah!
Qu’il se portait bien. C’était là que je ‘éprenais en lui: la santé. La santé de ce
petit corps était belle. [h.32]
Keesokan harinya Bachir datang lagi. Seperti kemarin-kemarin, ia duduk
kemudian mengeluarkan pisaunya untuk membentuk sebatang kayu yang
tampaknya terlalu keras. Begitu keras ia memotong hingga kelingkingnya teriris.
Aku menggidik ngeri, Ia tertawa sambil menunjukkan luka yang berkilat dan
merasa senang melihat darahnya mengalir dari luka itu. Ketika tertawa terlihat
gigi-giginya yang sangat putih. Ia menjilat lukanya dengan riang. Bibirnya
memerah seperti seekor kucing. Ah! Betapa sehatnya dia. Itulah yang kukagumi
dari anak ini: bugar. Kebugaran tubuh yang kecil itu sangat indah. [h.32]
Hal-hal seperti kebugaran menjadi sangat penting artinya bagi si Penjajah karena saat itu
ia tengah sakit. Namun perhatikan metafor yang ia gunakan untuk anak itu ketika
menjilat darahnya sendiri: bibirnya memerah seperti seekor kucing (comme celle d’un
chat). Metafor ini menunjukkan bahwa si Penjajah memandang Terjajah sebagai bagian
dari budaya yang masih barbar karena metafornya menggunakan binatang kucing sebagai
pengganti identitas si Terjajah.
Ciri yang lain dari hubungan Penjajah dan Terjajah adalah adanya hubungan
kekuasaan. Si Penjajah dalam berbagai cara ingin menunjukkan superioritasnya.
Biasanya Penjajah yang memberi dan Terjajah menerima. Hal ini terlihat dalam
hubungan Michel dan Marceline dengan anak-anak Biskra. Marceline, selama di Biskra,
mengajar anak-anak. Pada umumnya selalu ada sebagian dari kelompok Penjajah yang
terpanggil untuk melaksanakan politik etis sebagaimana terjadi di Indonesia di awal abad
ke-20. Sementara Michel, karena ia harus beristirahat, maka ia tinggal di rumah atau
terkadang pula berjalan-jalan. Ketika berjalan-jalan, Penjajah selalu menjadi obyek yang
disukai oleh anak-anak jajahan karena mereka seperti Yang Asing bagi anak-anak itu.
Berbeda fisiknya dan yang paling disukai anak-anak negeri jajahan adalah meminta uang
kepada si Asing tersebut. Hubungan kekuasaan terlihat dari bagaimana pemberianpemberian kecil itu dapat mengukuhkan posisi Penjajah di mata Terjajah. Siapa yang
biasanya memberi? Penjajah. Michel dan Marceline juga menunjukkan bahwa mereka
terpengaruh oleh ‘power relation’ seperti ini. Siapa yang biasanya menerima? Terjajah.

10

C’est ma soeur, me dit-il, puis il m’expliqua que sa mère allait venir laver du
linge, et que sa petite soeur l’attendait. Elle s’appelait Rhadra, ce qui voulait dire
Verte, en arabe.[…] “Elle demande que tu lui donnes deux sous”, ajouta-t-il. Je
lui en donnai dix et m’apprêtais à repartir, lorsque arriva la mère, la laveuse.
[h.41]
Ini saudara perempuanku, katanya sambil menjelaskan ibunya akan datang setelah
mencuci baju dan adiknya tengah menunggu si ibu. Anak perempuan itu bernama
Rhadra artinya hijau dalam bahasa arab.[…] “Adikku minta Anda memberinya
dua sen”, tambahnya. Aku memberi anak itu 10 sen dan bersiap untuk pergi
karena tukang cuci ibu anak-anak itu akan tiba segera.
Simbolisasi dari pemberian tersebut mungkin untuk menunjukkan kemurahan hati
Penjajah.
Pembentukan stereotip Barat dan Timur oleh berbagai produksi wacana sangat
mempengaruhi orang-orang Barat dan juga orang-orang Timur. Walaupun tidak ada
batasan yang jelas tentang Barat dan Timur tersebut tapi dari stereotipnya kita dapat
menduga. Barat biasanya merupakan negeri dengan empat musim. Sementara Timur
adalah negeri dengan alam tropis yang banyak dicurahi sinar matahari. Ayu Utami sempat
menyentil kenyataan ini dalam salah satu artikelnya: Ketika itu, saat Eropa masih bau
victorian, para kolonialis itu percaya bahwa masturbasi bukan kecenderungan anak
Eropa, tapi diajarkan oleh inlander, atau karena udara tropis. Anak-anak pribumi
dianggap mengenal seks sejak dini. Itulah pengaruh jahat Timur terhadap moral Eropa.
(Utami:109).
Immoraliste agaknya membenarkan konstruksi sosial semacam ini. Di akhir
ceritanya, Michel yang terdampar di tengah kekosongan hidupnya bercerita kepada
teman-temannya:
J’avais, quand vous m’avez connu d’abord, une grande fixité de pensée, et je sais
que c’est là ce qui fait les vrais hommes;- je ne l’ai plus. Mais ce climat, je crois,
en est cause. Rien ne décourage autant la pensée que cette persistence d’azur.[…]
Quelque chose en ma volonté s’est brisé; je ne sais même où j’ai trouvé la force
de m’éloigner d’El Kantara. [h.185]
Kalian dulu mengenalku sebagai orang yang tegas dalam berpikir dan aku tahu
itulah yang membuat seseorang menjadi manusia sesungguhnya. Aku tidak lagi
seperti itu. Kukira, ini semua disebabkan oleh cuacanya. Tak ada hal lain yang
dapat lebih kuat melemahkan pikiran selain langit biru yang terus memayungi ini.
[…] Sesuatu dalam keinginanku terpecah. Aku tak tahu lagi bagaimana
menemukan kekuatan untuk menjauh dari El Kantara.

11

Jika ditinjau dari struktur narasinya, secara implisit, Immoraliste memang
menyatakan bahwa yang tidak bermoral itu adalah orang-orang yang berada di bawah
cuaca tropis. Michel mengalami perubahan kesadaran dalam dirinya untuk menghargai
hidup sejak ia berada di Biskra. Di alam tropis, ia dapat leluasa melakukan banyak hal
terhadap dirinya sendiri dan ini pun didukung oleh budaya Arab-Afrika yang bebas.
Ketika kembali ke Perancis, Michel ‘seolah-olah’ menjadi orang yang bermoral dan
berbudaya lagi. Tapi dalam dirinya terlanjur terjadi persentuhan dengan ‘virus’ kebebasan
yang ia bawa dari Afrika. Narasi berakhir dengan kembalinya Michel ke Biskra.
Dorongannya untuk bebas semakin membuta ketika ia bertemu Moktir (pemuda Arab).
Di Touggourt, Michel diajak oleh Moktir untuk ke bar Arab dan setelah itu Michel
diperkenalkan dengan dunia seks komersil. Pernyataan Michel bahwa semua hal yang
‘melewati batas’ yang sempat ia lakukan merupakan akibat dari cuaca tropis Tunisia
adalah bagian dari konstruksi wacana yang dibangun Barat untuk Timur, oleh Penjajah
untuk Terjajah. Tanah jajahan telah membawa ‘virus’ yang menjangkiti peradaban para
penjajah.

Kesimpulan
Pembacaan kembali terhadap karya André Gide memberikan penyimpulan yang
berbeda terhadap novel Immoraliste. Penerapan teori-teori post-strukturalis membuka
kembali makna novel ini. Representasi tema kebebasan Immoraliste jika dikaitkan
dengan isu gender membuka peluang untuk memaknai teks ini sebagai teks yang
phallogosentris, berpusat pada laki-laki. Sedangkan pengkaitan dengan isu identitas
membuka makna teks ini sebagai suatu teks kolonial yang mendasarkan motif temanya
pada wacana kolonial
-------------

12

Bibliografi
Budianta, Melani, Makalah Teori Sastra Post-strukturalis dalam Bahan Pelatihan Teori
dan Kritik Sastra, 2002, PPKB-LPUI: tidak diterbitkan.
Gide, André, Immoraliste, 1902, Paris: Mercure de France.
Utami, Ayu, Si Parasit Lajang, 2003, Jakarta, Gagasmedia.
Sumber inspirasi penulisan:
Jurnal kebudayaan Kalam edisi no. 14 tahun 1999 berjudul Pascakolonialisme dan Sastra

13