Perjumpaan dengan Tuhan Puncak Pengalama

Perjumpaan dengan Tuhan
(Puncak Pengalaman Mistik al Bistami, al Hallaj dan Ibn Arabi)

Sufisme sebagai bentuk mistisisme dalam Islam mempunyai definisi yang beraneka ragam.
Sebelumnya perlu kita lacak lebih dahulu makna kata mistisisme itu sendiri. Mistisisme berasal dari
akar kata myein yang dalam bahasa Yunani mempunyai makna harfiah “menutup mata”. Secara ringkas
mistisisme dapat kita beri makna dengan kecintaan pada Yang Absolut, suatu kecintaan yang mampu
membawa hati sang mistikus kehadirat Tuhan sekaligus mampu mengambil jarak dengan segala
sesuatu yang tercipta dalam rangkaian ruang dan waktu1.
Pengalaman mistik itu sendiri menurut Schimmel (1975) dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
yang berupa mistisisme ketakterhinggaan (mysticism of Infinity) dan mistisisme kepribadian (mysticism
of Personality). Pada pengalaman pertama dapat dijumpai pada model ajaran Plotinus atau Upanishad
dan dalam Islam dapat kita temui pada ajaran Ibn Arabi. Pengalaman ini kerap digambarkan sebagai
lautan tak bertepi dimana manusia diibaratkan sebagai tetesan air yang tenggelam didalamnya. Kerap
juga digunakan perumpamaan bagai gurun luas dimana manusia ibarat debu didalamnya. Bentuk
pengalaman semacam ini kerap menuju pada suatu paham yang biasa mendapat sebutan pantheisme
atau monisme yang kerap mendapat serangan akibat hancurnya pertanggung jawaban individu pada
pemahaman seperti itu. Bentuk pengalaman kedua dapat dijumpai pada banyak sufi dimana hubungan
antara manusia dengan Tuhan digambarkan sebagai hubungan antara ciptaan dengan Penciptanya,
hubungan antara budak dengan Tuannya dan antara pecinta dengan yang dicintainya 2.
Dalam puncak pengalaman mistiknya, para sufi kerap mengalami situasi yang mereka percaya

pada saat itu mereka sedang berjumpa dengan Tuhan. Terkadang ungkapan-ungkapan yang tak lazim
keluar pada saat puncak pengalaman tersebut. Suatu keadaan yang kerap disebut sebagai keadaan
shath. Meskipun terkadang mengundang banyak hujatan, para sufi dapat mencari pembenaran dengan
1 Annemarie Schimmel. Mystical Dimensions of Islam. The University of North Carolina Press. Chapel Hill. 1975 hlm 3-4
2 Ibid hlm 5

menyandarkan pada pengalaman Nabi dalam mengungkapkan hadits qudsi3 sebagai pengalaman serupa
dengan shath tersebut4. Ekspresi ekstase (shath) tersebut merupakan salah satu kunci penting dalam
memahami ajaran sufisme. Bagi mereka yang mendukung, shatiyat dianggap sebagai jalan memahami
wahyu Tuhan sedangkan bagi mereka yang menolak menganggap hal itu sebagai parodi kitab suci
yang mengumpat Tuhan5.
Tulisan ini mencoba menggambarkan bagaimana ekspresi ekstase dalam puncak pengalaman
mistik dari tiga orang sufi yang diakui membawa pengaruh bagi pemikiran sufisme pada masa
sesudahnya yaitu al Bistami, al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun kedua kasus pertama dapat dimasukkan
ke dalam definis shatiyat sedangkan pada kasus Ibn Arabi bukan merupakan suatu ekspresi ekstase
namun lebih bersifat suatu pemikiran yang lebih terstruktur dengan lengkap dan merupakan suatu
ajaran yang bersifat komprehensif sebagai hasil pemikiran seorang yang berakal jenius secara
mendalam dan imajinatif6.
Abu Yazid al Bistami
Ajaran sufisme al Bistami dapat disederhanakan menjadi dua hal utama yaitu ajaran tentang

fana dan konsep penyatuan yang kerap disebut dengan ittihad. Ajaran fana berangkat dari gagasan
bahwa manusia mempunyai esensi yang sama dengan Tuhan karena itu dia dapat bersatu dengan Tuhan
apabila mampu memupus rasa keberadaan pribadinya yang selanjutnya disebut dengan fana 7. Konsep
fana ini menurut al Bistami terbagi menjadi empat tingkatan meliputi pertama fana paling rendah yaitu
yang didapat dari hasil mujahadah, tingkat berikutnya adalah fana terhadap nikmat surga dan siksa
neraka, tingkat ketiga adalah fana terhadap pemberian Tuhan dan fana tertinggi adalah tingkat fana
terhadap fana itu sendiri (fana an al fana)8.
3 Kata-kata suci Allah SWT yang berbicara melalui lisan Nabi Muhammad saw yang berbeda dengan wahyu lainnya yaitu
al Qur'an dimana hadits-hadits ini banyak menjadi sandaran dalam ajaran kaum sufi. Amatullah Armstrong. Khazanah
Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (terj: M Nasrullah dan Ahmad Baiquni). Mizan. Bandung. 2001 hlm 84
4 Carl W Ernst. Ekspresi Ekstase dalam Sufisme (terj: Heppi Sih Rudatin dan Rini Kusumawati). Putra Langit. Yogyakarta.
2003 hlm 29
5 Ibid hlm 16
6 Kautsar Azhari Noer. Ibn al Arabi: Wahdat al Wujud dalam Perdebatan. Paramadina. Jakarta. 1995 hlm 3
7 A Rivay Siregar. Tasawuf: Dari SufismeKlasik ke Neo-Sufisme. Rajawali Pers. Jakarta. 1999 hlm 146
8 Hasyim Muhammad. “Abu Yazid al Bistami: Pemikiran dan Implementasinya” dalam Teologia Volume 12 nomor 3,

Apabila seorang sudah mampu mencapai kondisi fana maka dia dapat menyatu dengan
Tuhannya dimana dalam proses ini dapat ditemukan jati diri seseorang yang berasal dari Tuhan yang
kemudian proses penyatuan ini disebut sebagai ittihad. Ittihad sendiri dapat dimaknai sebagai

penyatuan dua hal yang apabila dipahami dalam pengertian “kesatuan” maka hal ini berarti segala
sesuatu sesungguhnya tiada dan eksistensi hanyalah kepunyaan Tuhan semata9.
Puncak pengalaman mistik al Bistami dapat digambarkan pada masa dia mengalami mimpi
sedang melakukan mi'raj ke surga ketujuh. Dalam kalimatnya 10 dia menyatakan tiba di surga terendah
dengan pengalaman sebagai berikut:
Aku melihat diriku sendiri dalam mimpi dimana dia nampak naik ke surga. Ketika aku tiba di surga terendah aku
berada dalam genggaman burung yang berwarna hijau. Burung itu mengembangkan salah satu sayapnya dan membawaku
pergi hingga tiba pada sekawanan malaikat yang berdiri dengan kaki mereka berhiasi berkilau dikelilingi oleh bintangbintang dan memuja Allah SWT pagi dan petang. Aku beri salam pada mereka dan mereka menjawabnya. Burung itu
menurunkanku dan kemudian beranjak pergi. Aku tetap berada diantara mereka yang terus mengucap syukur dan memuji
keagungan Allah SWT sambil kemudian mereka berkata: Ini adalah Adamite (terbuat dari tanah) bukan Luminary (tubuh
yang terbuat dari cahaya) yang datang kepada kita dan bercakap-cakap dengan kita. Terinspirasi dengan perkataan itu aku
berkata: dengan nama Allah SWT yang kuasa melepaskan diriku dari segala keinginan atasmu! Kemudian dia menunjukkan
kuasanya yang akan mengelukan lidah untuk menggambarkannya. Aku tahu bahwa dia sedang mengujiku dengan hal itu
maka akupun berkata: Tujuanku berbeda dengan apa yang kau tunjukkan padaku. Aku tidak tergoda olehnya untuk
menggantikan kesucian-Nya.

Kemudian al Bistami melanjutkan perjalanannya ke surga tingkat kedua dengan bercerita
sebagai berikut:
Kemudian kulihat diriku naik ke surga kedua. Serombongan malaikat mendatangiku dan menyambutku seperti
rakyat yang menyambut seorang pangeran yang memasuki gerbang kota. Kemudian pimpinan malaikat yang bernama

Lawidh mendatangiku dan berkata: O Abu Yazid, Tuanmu Mengucapkan salam padamu dan Berkata: Kau telah mencintaKu dan Aku telah mencinta-Mu. Kemudian Lawidh membawaku ke taman yang hijau. Padanya terdapat sungai yang
mengalir dengan dikelilingi malaikat yang beterbangan. Setiap hari mereka terbang ke bumi seribu kali untuk menemui
kekasih Allah SWT, menghadap cahaya terang seperti matahari dimana mereka telah mengenal diriku berdasarkan ma'rifa
di bumi. Mereka kemudian mendekatiku, menyalamiku dan mengajak diriku ke tepian sungai tersebut. Di muara sungai
Oktober 2001. Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
9 Amatullah Armstrong. Op cit hlm 126
10 Sebagaimana dikutip dalam Michael A Shells. Early Islamic Misticism: Sufi, Qur'an, Mi'raj, Poetic and Theological
Writings. Paulist Press. New Jersey. 1996 hlm 245

tampak pohon cahaya yang cabangnya menggantung di udara. Pada masing-masing cabangnya itu terdapat sarang dari
burung yang merupakan salah satu dari malaikat. Dan pada tiap-tiap sarang terdapat malaikat yang bersujud dalam doa.
Meskipun begitu aku tetap berkata: O kasihku, tujuanku adalah berbeda dengan apa yang kau tunjukkan padaku 11.

Begitulah al Bistami terus menerus berkata demikian dari satu tingkat surga ke tingkat
berikutnya sampai akhirnya dia tiba di tingkatan paling tinggi, surga ketujuh:
Kemudian kulihat diriku sendiri telah naik ke surga ketujuh. Disana ada seratus ribu legiun malaikat dimana
masing-masing legiunnya sepertinya lebih berat jutaan kalinya dibandingkan sebelumnya. Dengan tiap malaikat adalah
pohon cahaya dan dibawah pohon tersebut ada sejuta malaikat dimana tinggi masing-masing malaikat sejauh perjalanan
lima ratus tahun. Di depan terdapat malaikat yang bernama Barya'il. Mereka memberiku salam dalam bahasa mereka dan
aku menjawabnya juga dalam bahasa mereka. Mereka tampak terpana mendengarnya. Lalu tampaklah salah satu yang

menangis sambil berkata: O Abu Yazid, berhenti, berhentilah, kau telah tiba pada ujungnya! Aku tak memperhatikan
ucapannya. Dia meneruskan menunjukkan padaku kekuasaan yang tak bisa diungkapkan dengan lidah. Meskipun begitu aku
mengerti bahwa itu hanyalah suatu ujian bagiku. Aku tetap berkata: O Kekasihku! Tujuanku berbeda dengan apa yang kau
tunjukkan padaku sekarang. Ketika

Allah SWT mengetahui keikhlasanku dalam pencarianku pada-Nya maka Dia

mengubahku menjadi seekor burung dimana masing-masing bulu sayapnya lebih jauh dari jarak timur dan barat jutaan
kalinya. Aku terus terbang melalui alam malakut dan mengitari jabarut. Kulintasi kerajaan demi kerajaan, hijab demi hijab,
wilayah demi wilayah, laut demi laut, tirai demi tirai hingga aku berdiri dihadapan malaikat kursi yang menerimaku.
Dia mempunyai segaris cahaya dan dia menyalamiku. Dia berkata: ambillah garis cahaya ini. Ketika aku
mengambilnya maka surga dan apa yang berada di dalamnya berlindung di dalam ma'rifaku dan diliputi cahaya
kehangatanku. Semua malaikat menjadi ngengat bersebelahan dengan kesempurnaan aspirasiku dalam pencarianku akan
diri-Nya. Meskipun begitu aku mengerti bahwa itu hanyalah suatu ujian bagiku. Aku tak menghiraukan hal itu untuk
menggantikan kesucian Tuhanku, Allah Yang Maha Tinggi.

Disana dapat kita lihat ketegaran hati al Bistami dalam menggapai tujuannya yang sejati
walaupun apa yang ditawarkan adalah suatu hal yang luar biasa hebatnya namun tetap tak mampu
menggoyahkan niatnya. Kemudian dia melanjutkan berkata:
Aku melanjutkan terbang dan melintasi kerajaan demi kerajaan, hijab demi hijab, wilayah demi wilayah, laut demi

laut, tirai demi tirai hingga aku tiba di kursi. Aku diterima oleh malaikat yang mempunyai mata sebanyak bintang di langit.
Dari masing-masing matanya memancar cahaya yang akan menyilaukan mereka yang melihatnya. Cahaya itu berubah
menjadi lampu. Dari interiornya aku mendengar nyanyian pujian akan ke-Esaan Tuhan.
Aku terus terbang seperti itu hingga aku menjumpai lautan cahaya dimana berada arsh dari Sang Maha Pengasih.
Aku terus memuji nama-Nya hingga aku melihat disana- dari kursi hingga bumi, karubiyyin, malaikat, dan pembawa
11 ibid

kursidan semua ciptaan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar di surga dan bumi- nampak lebih kecil dari biji yang
ditanam diantara langit dan bumi dari sudut pandang terbangku dalam rahasia hatiku dalam pencarian akan diri-Nya. Lalu
Dia melanjutkan menunjukkan padaku ketelitian kebaikan-Nya dan kepenuhan kekuatan-Nya dan kehebatan kekuasaan-Nya
yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Meskipun begitu aku terus berkata: O kekasihku! Tujuanku berbeda dengan
apa yang Kau perlihatkan padaku dan aku tak berpaling pada hal itu sebagai ganti kesucian-Nya. Dan ketika Allah SWT
mengetahui tulusnya diriku dalam pencarian akan diri-Nya maka Dia memanggilku: “Padaku, padaku!” dan berkata: O
pilihan-Ku (safi) datang mendekatlah pada-Ku dan lihatlah kesederhaan dari keluarbiasaan-Ku dan kekuasaan dari terangKu. Duduklah diatas permadani kesucian-Ku hingga kau saksikan ketelitian karya-Ku dalam Kesendirian-Ku. Kau adalah
yang terpilih, kekasih-Ku, yang Kucinta, dan yang terbaik dari semua mahluk ciptaan-Ku.
Ketika mendengar hal itu diriku meleleh. Kemudian Dia memberiku minum dari mata air keramahan (lutf) dengan
gelas keiintiman. Kemudian Dia membawaku pada keadaan yang tak dapat kugambarkan. Dia mendekatkan diriku lebih
dekat daripada ruh terhadap tubuh.
Kemudian ruh para nabi menerimaku dan menyalaiku, memuliakan keadaanku. Mereka bercakap-cakap denganku.l
kemudian ruh Muhammad saw, menerimaku dan menyalamiku dan berkata: O Abu Yazid, Selamat Datang! Selamat

Datang! Allah SWT telah memilihmu diantara sekian mahluk. Ketika kau kembali ke bumi, sampaikan pada umatku
salamku dan beri nasihat pada mereka semampumu ajak mereka kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Aku
tetap di jalan ini hingga aku menyerupainya sebelum penciptaan hingga tak tersisa kecuali kesejatian (baqiya) tanpa
keberadaan atau hubungan atau tempat atau posisi atau kualitas. Semoga kejayaan-Nya tetap diagungkan dan nama-Nya
tetap transeden!

Perjalanan al Bistami tersebut menggambarkan proses perjalanan mistik menuju proses ittihad
atau penyatuan dengan Tuhannya. Adapun ungkapan yang keluar pada saat terjadinya ittihad itu lebih
jelas pada ungkapan berikut:
Subhani- Pujilah Aku, Betapa hebatnya Keagungan-Ku12

Hal serupa dapat juga kita temui dalam perkataannya yang lain:
Pada suatu ketika Tuhan mengahadapkanku pada-Nya dan berkata: O Abu Yazid, mahlukku ingin memandang
dirimu. Lalu aku berkata Hiasilah diriku dengan keesaan-Mu sehingga ketika mereka memandangku mereka akan berkata
aku telah melihat-Mu dan Engkaulah yang mereka lihat sedangkan aku tidak berada ada disana 13.

Al Husayn ibn Mansur al Hallaj
Al Hallaj adalah salah satu sufi paling kontroversial yang paling sering disebut dalam puisipuisi mistik14. Ajaran al Hallaj lebih populer disebut dengan hulul yang mempunyai pengertian
inkarnasi dalam makna masuknya sesuatu kepada sesuatu yang lainnya dalam hal ini yang dimaksud


12 Annemarie Schimmel. Op cit hlm 49
13 ibid
14 Ibid hlm 50

adalah “penitisan” Tuhan dalam diri manusia15.
Menurut al Hallaj manusia mempunyai dua sifat dasar yaitu sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat
ke-Tuhan-an (lahut). Begitu juga Tuhan memiliki dua sifat yaitu sifat Ilahiyat (lahut) dan sifat
insaniyah (nasut). Apabila seorang telah mencapai fana maka Tuhan akan “menitis” dalam dirinya dan
terjadi kesatuan antara keduanya yang kemudian disebut hulul16.
Gambaran lebih jelas dapat kita temuidalam syairnya di bawah ini:
Aku telah menemukan Engkau di dalam diriku- namun lidahku masih tetap memanggil-Mu.
Menyatu dalam satu cara,-berarti kita terpisah dengan cara yang lain.
Karena, kala Keagungan-Mu menutupi Engkau-dari pandanganku,
Ekstase telah membawa Dirimu- ke kedalaman hatiku17.

Al Hallaj juga mempunyai ajaran yang khas mengenai beberapa masalah diantaranya adalah
tentang tauhid, iman, shalat, mahabbah dan hajj. Tentang tauhid dia berpendapat tentang pentingnya
konsentrasi penuh atau pemikiran terus-menerus terhadap Tuhan semata sampai pada titik hanya
mengingat Tuhan dan tidak memikirkan apapun dari diri. Pemikiran lain apapun selain terhadap Tuhan
merupakan selubung dan dapat dianggap sebagai ketidaksempurnaan yang nantinya akan

menyelubungi diri seseorang itu, bukan oleh Tuhan yang menyelubunginya 18.
Tentang iman dia berpendapat bahwa sifat ilahi yang paling terkait dengan sifat Esa adalah al
Haqq. Kesatuan dengan Tuhan bukan semata pemikiran atau ekstase namun merupakan suatu tindakan
permanen yang bersifat mengubah dan menyucikan diri yang hanya mampu menemukan bentuknya
dalam pengalaman nyata19. Mengenai shalat, al Hallaj dilaporkan melakukannya 400 kali rakaat dalam
sehari semalam yang merupakan suatu bentuk pembinasaan diri untuk mencapai fana. Tentang
mahabbah (rasa cinta) dia berpendapat bahwa hal itu adalah perwujudan Tuhan yang akan diberikan
pada mereka yang merindukannya yang sering kali diiringi dengan kesedihan yang dalam 20. Mengenai
15 Amatullah Armstrong. Op cit hlm 101-102
16 A Rivay Siregar. Op cit hlm 156
17 Catatan Ibn al Jundi sebagaimana dikutip dalam Louis Massignon. Al Hallaj: Sang Sufi Syahid. (terj: Dewi
Candraningrum). Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta. 2002 hlm 162
18 Herbert Mason. “Hallaj dan Mazhab Sufisme Baghdad” dalam Leonard Lewisohn (ed). Sufisme Persia Klasik: Dari
Permulaan Hingga Rumi (700-1300). (terj: Gafna Raizka Wahyudi). Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2002 hlm 110-111)
19 ibid
20 ibid

hajj (ibadah haji) dia menganggap bahwa haji dapat dilakukan di rumah masing-masing dalam bentuk
shalat yang khusyu21.
Salah satu ungkapan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari legenda al Hallaj adalah

ungkapannya “ana al Haqq (Aku adalah Kebenaran)” yang mempunyai banyak penafsiran di kalangan
para pengikutnya maupun para penentangnya bahkan hingga masa sekarang. Beberapa riwayat
mengisahkan bahwa dia mengatakannya di hadapan Junayd sedangkan riwayat lain mengatakan hal itu
dihadapan publik ketika khotbah di katedral masjid di Madinat al Mansur22 namun dengan redaksi
hampir serupa dimana dalam riwayat pertama lawan bicara dinyatakan sebagai Juanyd sedangkan pada
versi kedua dinyatakan sebagai Syibli. Legenda malah mengatakan bahwa dia terus menerus
mengulangi kata ini dalam tiap khotbahnya 23. Disini akan dikutipkan dalam versi pertemuan dengan
Junayd:
Pada suatu hari al Hallaj bertemu dengan Junayd dan berkata kepadanya:”Aku adalah Kebenaran” Junayd
menjawabnya, “Tidak, engkau hanyalah alat Kebenaran! Tiang gantungan akan ternoda oleh darahmu!”

Sebagai penutup uraian tentang al Hallaj akan dikutipkan dari drama karya Herbert Mason
berjudul the Death of al Hallaj pada bagian akhir dimana al Hallaj sedang berdialog dengan Syugab24:
Engkau mengerti Tuhan kita adalah sebuah api yang melalap
Kembang mawar terbuka untuk cahaya
Kelopak bunga mencari bayangan
Kita adalah campuran rumit daripada yang kita bayangkan
Tetapi pada satu titik cahaya-Nya
Menembus mata kita, menghancurkan bayang-bayang
Dan kerusakan kita, yang membiarkan kita merenangi

Titik-titik hampa yang kita lupakan ketika penglihatan kita
Menjadi jelaga di dalam penglihatan-Nya
Jika kita adalah kembang mawar kita tertarik kepada cahaya
Kita tidak memikirkan akhir itu
Tidak ada yang lain
21
22
23
24

ibid
Louis Massignon. Op cit hlm 118-120
ibid
Herbert Mason. Op cit hlm 113-118

Kemudian al Hallaj menutup dengan sebuah syair:
Aku menangis kepada-Mu bukan hanya untuk diriku sendiri
Tetapi bagi jiwa-jiwa yang merindukan-Mu
Yang saksinya, aku sendiri, sekarang pergi kepada-Mu
Saksi keabadian

Ibn Arabi
Berbeda dengan dua nama sebelumnya, ibn Arabi bukanlah seorang sufi yang dimabuk cinta
kepada Yang Absolut dan mengalami ekstase sehingga mengucapkan ungkapan-ungkapan yang tak
lazim. Dia merumuskan suatu pemikiran yang merupakan suatu gagasan yang terstruktur dengan jelas
dan bersifat komprehensif. Sebuah sistem filsafat yang merupakan inti ajarannya yang kelak lebih
dikenal dengan sebutan wahdat al wujud. Suatu istilah yang tidak digunakan oleh Ibn Arabi sendiri
namun pertama kali digunakan oleh al Qunawi dan selanjutnya dipopulerkan oleh Ibn Taymiyyah
sebagai sebutan bagi paham ini25.
Istilah

wahdat al wujud secara sederhana dapat diberi makna suatu kesatuan eksistensi,

kesatuan wujud, kesatuan penemuan di akhir perjalanan hanyalah Allah SWT yang ditemukan 26. Syekh
al Akbar ini menjabarkan kalimat Tidak ada tuhan selain Tuhan dengan doktrinnya menjadi Tidak ada
wujud selain Tuhan27. Baginya satu-satunya yang wujud hanyalah Tuhan, segala sesuatu yang ada di
alam semesta ini hanyalah suatu ilusi atau bersifat maya (nonexistent) dalam dirinya namun maujud
(existent) melalui wujud al Haqq28. Dia mengambil perumpamaan dengan menggunakan cahaya sebagai
ilustrasi wujud al Haqq sedangkan yang lainnya hanyalah berupa warna seperti merah atau hijau yang
pada hakikatnya tidak ada namun dapat menemukan keberadaannya karena adanya cahaya 29.
Keragaman jumlah warna tidak harus menghapuskan ketunggalan cahaya yang mengakibatkannya.
25 Kautsar Azhari Noer. Op cit hlm 34-41
26 Amatullah Armstrong. Op cit hlm 311
27 William C Chtitick. Dunia Imajinasi Ibnu Arabi: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama (terj: Achmad
Syahid). Risalah Gusti. Surabaya. 2001 hlm 28
28 Ibid hlm 30
29 Ibid hlm 29

Sama halnya dengan kita mengatakan tentang sebuah gelas yang menjadi terwarnai oleh warna-warna ketika ada
cahaya yang menembusnya. Sinar cahaya menebarkan cahaya berbeda-beda yang ditimbulkan oleh sifat-sifat warna pada
gelas. Namun kita tahu betul bahwa cahaya itu sendiri tidak terwarnai oleh warna apapun, sekalipun menurut persepsi, kita
menyaksikan warna-warni cahaya dengan warna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan sendirinya cahaya tersebut
terlalu suci untuk menerima warna-warni dalam esensinya sendiri30.

Ibn Arabi memahami ayat Tuhan mengajari Adam semua nama-nama (QS 2:30) dengan
pengertian menciptakan manusia Tuhan menciptakan manusia sebagai penjelmaan nama-nama Tuhan 31.
Manusia adalah suatu penyingkapan dari nama-nama Tuhan secara individual dimana masing-masing
darinya merefleksikan atribut Tuhan. Namun hal itu bukanlah suatu yang statis tapi lebih bersifat
dinamis. Selama hidupnya manusia akan memanifestasikan dirinya dengan nama-nama Tuhan dalam
berbagai variasi, intensitas, kombinasi dan saling keterkaitan satu sama lain32.
Berbeda dengan manusia, alam semesta non manusia diciptakan Tuhan menurut kombinasi
dimana beberapa atribut akan tampak lebih domin dibandingkan yang lain. Hanya manusia yang
mampu menjadikan keseimbangan antar berbagai atribu secara sempurna 33. Selain manusia masingmasing memiliki tingkatan tertentu karena dominannya beberapa atribut atas yang lainnya yang akan
membentuk identitasnya yang cenderung stabil. Hanya manusia yang berada dalam kondisi batin yang
berubah-ubah sesuai dengan kombinasi atribut-atribut tersebut walaupun jika dilihat dari bentuk luar
atau fisik manusia tidak berbeda dalam hal kestabilan bentuk dengan non manusia seperti hewan atau
tumbuhan. Karena ketidakstabilan dalam batin itulah manusia dapat menjangkau kedudukan apa saja
atau dapat juga mencapai manifestasi nama-nama Tuhan yang sempurna34.
Penciptaan itu sendiri mempunyai tujuan yang berangkat dari pemahaman akan hadits qudsi
“Aku adalah perbendaharaan Yang Tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal. Itulah sebab mengapa Aku
ciptakan mahluk, agar Aku dikenal oleh mereka” 35. Dari situ kemudian muncul pemahaman bahwa
penciptaan itu sendiri adalah suatu bentuk teofani (tajjali) dari Tuhan yakni suatu perlihan dari yang
30 Ibid hlm 33
31 Ibid hlm 56
32 Ibid hlm 57
33 Ibid
34 Ibid hlm 58
35 Henry Corbin. Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi (terj: Moh. Khozim dan Suhadi). LkiS. Yoyakarta. 2002 hlm 237-238

semula berupa potensi atau kegaiban menjadi keadaan yang terungkapkan, manifes. Penciptaan
dimaknai sebagai aksi Ilahi yang merupakan proses terus menerus yang terus diperbaharui dari saat ke
saat36. Istilah “diciptakan” dalam pemahaman Ibn Arabi bukanlah satu yang dimunculkan dari
ketiadaan (creatio ex nihilo) namun merupakan suatu manifestasi dari wujud tunggal yaitu Tuhan37.
Ajaran lain yang menjadi ciri khas Ibn Arabi adalah pemikirannya tentang manusia sempurna
(al insan al kamil). Alam semesta yang beraneka ragam ini adalah cermin bagi Tuhan Yang Tunggal.
Ibarat seorang yang bercermin dalam banyak cermin tentu akan menghasilkan beraneka ragam gambar
sesuai banyaknya cermin. Kualitas gambar atau bayangan yang dihasilkan juga tergantung pada
kejernihan cermin, semakin jernih suatu cermin maka gambar yang dihasilkan akan semaikin
sempurna. Begitu juga ciptaan-Nya yang merupakan tajjali akan menampakkan tingkatan yang berbeda
dalam menampilkan bayangan Tuhan atau menjadi tempat berada nama-nama Tuhan. Diantara
semuanya itu manusia sempurnalah yang akan menampakkan gambar Tuhan yang paling sempurna
karena dia menjadi pantulan bagi semua nama-nama Tuhan sedangkan mahluk lain hanya menjadi
pantulan sebagian dari nama-nama-Nya38.
Ibn Arabi membedakan manusia sempurna menjadi dua yaitu manusia sempurna dalam arti
universal dan manusia sempurna dalam arti individual. Yang pertama adalah hakikat dari manusia
sempurna atau model asli bagi manusia sempurna individual. Yang kedua adalah perwujudan manusia
sempurna yaitu para nabi dan para wali 39. Selain itu, Ibn Arabi tidak menyetujui konsep manusia
sebagai binatang yang berfikir karena kemampuna itu bukanlah suatu sifat yang mampu membedakan
manusia dengan mahluk lainnya. Baginya perbedaan manusia dengan mahluk lain ada pada
kemampuannya untuk mewujudkan “bentuk Ilahi”.
Manusia yang tidak mampu mencapai kesempurnaan dalam pandangan Ibn Arabi sangat rendah
karena dia menyebut orang seperti ini bukan manusia karena belum mencapai derajat kemanusiaan
36 Ibid hlm 241
37 Ibid hlm 240
38 Kautsar Azhari Noer. Op cit hlm 126
39 Ibid

tetapi hanya sekedar binatang yang mempunyai akal40. Jalan untuk menjadi manusia sempurna itu
sendiri disebutkan dengan berakhlak dengan ahlak Tuhan (takhalluq bi akhlaq Allah). Hal ini berari
bahwa seseorang harus mengusir sifat-sifat kita sendiri dan menggantikannya dengan penegasan
terhadap sifat-sifat Tuhan. Hal itu juga berarati bahwa kita harus menyingkirkan wujud kita sendiri
karena pada hakikatnya kita tidak mempunyai wujud dan menegaskan wujud Tuhan karena satusatunya wujud adalah Dia41. Manusia harus merendahkan dirinya dalam ubudiyyah (penghambaan) dan
tidak meninggikan dirinya dalam rububiyyah (penuhanan)42.
Konsep manusia sempurna Ibnu Arabi adalah suatu paradoks yang merupakan salah satu ciri
pemikiran Ibn Arabi. Manusia sempurna adalah manusia yang mempunyai derajat tinggi karena dia
memantulkan semua nama-anam Tuhan secara sempurna dan seimbang. Disisi lain dia adalah rendah
karena dia harus tunduk dan patuh kepada Tuhan dalam penghambaannya. Semakin merendah dia
dihadapan Tuhan maka akan semakin tinggilah derajatnya karena dia akan semakin mampu menyerap
nama-nama Tuhan sehingga akan makin sempurnalah kemanusiaannya 43.
Penutup
Secara ringkas ketiga gagasan perjumpaan atau penyatuan dengan Tuhan dalam pemikiran
ketiga sufi tersebut memiliki beberapa kesamaan namun juga menunjukkan perbedaan. Persamaan
utama adalah mereka mengklaim telah mampu meraih perjumpaan puncak atau menyatu dengan Tuhan
nya dengan jalan yang mereka tempuh. Perbedaan utama adalah pada landasan berpikir dan jalan yang
dipilih. Al Bistami melakukannya dengan mi'raj atau naiknya hamba kepada Tuhan sedangkan al Hallaj
menyatakan bahwa Tuhan yang menitis kepada dirinya atau Tuhan yang turun kepada dirinya.
Sedangkan pada Ibn Arabi menyatakan bahwa penyatuan itu adalah mutlak karena hanya Dia satusatunya yang wujud, manusia dan alam semesta ini hanyalah bayangan dari-Nya. Manusia sempurna
adalah bayangan paling sempurna dari Dia. Perbedaan lainnya adalah dua sufi pertama menyatakan
40 Ibid hlm135
41 Ibid hlm 138-139
42 Ibid hlm 141
43 Ibid hlm 142

pemikirannya dalam keadaan ekstase sedangkan Ibn Arabi menyusunnya pada keadaan sadar dalam
suatu hasil pemikiran yang sistematis dan menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Amatullah. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (terj: M Nasrullah dan
Ahmad Baiquni). Mizan. Bandung. 2001
Chtitick, William C. Dunia Imajinasi Ibnu Arabi: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas
Agama (terj: Achmad Syahid). Risalah Gusti. Surabaya. 2001
Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi (terj: Moh. Khozim dan Suhadi). LkiS. Yoyakarta.
2002
Ernst, Carl W. Ekspresi Ekstase dalam Sufisme (terj: Heppi Sih Rudatin dan Rini Kusumawati). Putra
Langit. Yogyakarta. 2003
Mason, Herbert. “Hallaj dan Mazhab Sufisme Baghdad” dalam Leonard Lewisohn (ed). Sufisme
Persia Klasik: Dari Permulaan Hingga Rumi (700-1300). (terj: Gafna Raizka Wahyudi).
Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2002
Massignon, Louis. Al Hallaj: Sang Sufi Syahid. (terj: Dewi Candraningrum). Fajar Pustaka Baru.
Yogyakarta. 2002
Muhammad, Hasyim. “Abu Yazid al Bistami: Pemikiran dan Implementasinya” dalam

Teologia

Volume 12 nomor 3, Oktober 2001. Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Noer, Kautsar Azhari. Ibn al Arabi: Wahdat al Wujud dalam Perdebatan. Paramadina. Jakarta. 1995
Shells, Michael A. Early Islamic Misticism: Sufi, Qur'an, Mi'raj, Poetic and Theological Writings.
Paulist Press. New Jersey. 1996
Siregar, A Rivay. Tasawuf: Dari SufismeKlasik ke Neo-Sufisme. Rajawali Pers. Jakarta. 1999
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. The University of North Carolina Press. Chapel
Hill. 1975