Makalah PENDIDIKAN KARAKTER Kelompok I

Makalah

PENDIDIKAN KARAKTER
Disusun guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Isu-isu Kotemporer Pendidikan

Dosen Pengampu:
Ora Weruh Jenenge

Oleh Kelompok I:
Nama
Ahmad Faruq
Imam Ghozali
Naimah
Ulfi Thoyyibah

Nim
084114002
084114008
084114020
084114029


PROGRAM STUDI PAI MADIN
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
Bulan April

1

2

Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak bekerja sama
dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007,
diperoleh pengakuan remaja bahwa: sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU
pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks; sebanyak 62,7% anak SMP
mengaku sudah tidak perawan; sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah
melakukan aborsi; dari dua juta wanita Indonesia yang pernah melakukan
aborsi, satu juta di antaranya ialah remaja; dan sebanyak 97% pelajar SMP dan

SMA mengaku suka menonton film porno.1
Singkat kata, dunia pendidikan Indonesia terancam bahaya. Tinggal
menunggu waktu kehancurannya. Pemerintah berusaha menanggulanginya
dengan pemberlakukan character building (pembangunan karakter), dengan
harapan prosentase kenakalan remaja tersebut setidaknya dapat berkurang.
Tetapi fakta kasus pelecehan seksual terhadap anak TK Jakarta Internatioanal
School (JIS) seolah menambah jumlah presentase keboborkan potret
pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia (bahkan dunia) sedang krisis.
B. Rumusan Masalah
Makalah pendek ini membatasi pembahasan pada tiga pokok:
1. Bagaimanakah pendidikan karakter di Indonesia?
2. Bagaimanakah urgensi pendidikan karakter di Indonesia?
3. Bagaimakah institusi sosial-kultural yang sesuai dengan pendidikan
karakter?
C. Tujuan Pembahasan
Makalah ini bertujuan mendeskripsikan, mengkaji, menganalisa, dan
memahami pendidikan karakter di Indonesia, urgensi dan institusi sosialkulturalnya.
1

Hasil survei ini antara lain dapat dibaca dalam “Gaya Hidup Bebas Remaja – Seks, Rokok,

Konsumerisme” artikel dalam http://fakta-remaja.blogspot.com/2013_03_01_archive.html akses
20 April 2014.

3

Bab II
Pembahasan
A. Pendidikan Karakter di Indonesia
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan,
hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Karakter berasal dari bahasa Yunani yang
berarti

“to

mark”

atau


menandai

dan

memfokuskan

bagaimana

mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku,
sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai
dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.2
Dalam perbendaharaan bahasa Arab, dikenal istilah akhlak. Al-Jurjanji
mendefinisikan akhlak sebagai “…suatu istilah yang menggambarkan
keadaan batin yang kuat sebagai sumber lahirnya tingkah laku secara mudah
dan spontan tanpa memerlukan proses berpikir. Jika yang lahir dari keadaan
batin itu tingkah laku yang baik secara akal dan syariat, maka keadaan batin
itu lazim disebut akhlaq yang baik; sebaliknya, jika yang lahir adalah
tingkah laku buruk, maka keadaan batin itu pun disebut akhlaq yang
buruk…”3

Pendidikan karakter yang diterapkan dalam Kurikulum 13 (K-13)
merupakan pendidikan yang bertujuan mengarahkan peserta didiknya menuju
karakter mulia. Itu artinya, individu memiliki pengetahuan tentang potensi
dirinya. Tanda-tanda atau indikatornya antara lain: reflektif, percaya diri,
rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani,
dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah,
pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti,
2

Penjelasan ini dikutip dari artikel “Pendidikan Karakter” dalam http://h4ti3fa.student.umm.ac-.id/
download-as-doc/student_blog_article_22.doc diakses pada 24 April 2014
3
‘Abd al-Qahir al-Jurjaniy, at-Ta’rifat (Bairot: Maktabah Lebanon, 1985), 106.

4

berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja,
bersemangat, dinamis, hemat (efisien), menghargai waktu, pengabdian
(dedikatif), pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis),

sportif, tabah, terbuka, tertib.
Terlihat betapa mulia tujuan penerapan pendidikan karakter ini. Tetapi
dalam prakteknya, sejarah pendidikan Indonesia belum mengalami perubahan
yang berarti, kecuali dalam ranah teoretik. Bahkan ada kesan “mentri
pendidikan berganti, program pendidikan pun berganti”. Atau, “sistem
pendidikan berjalan sesuai aruh kekuasaan yang sedang berlangsung.” 4
Pembenahan teori pendidikan dan sibuk membuat konsep pendidikan karakter
itu perlu, tetapi praktek di lapangan lebih menentukan.
Telah banyak disosialisasikan dalam workshop, seminar, panel, dan
forum-forum forum lain, pengenalan akan K-13 yang mengusung tema
“pendidikan karakter”, tetapi tidak ada jaminan bahwa peserta yang banyak
terdiri dari para guru itu mengerti. Jika tahap mengerti saja belum bisa dilalui,
bagaimana mungkin yang bersangkutan dapat menerapkan. Sekedar contoh
teori:

4

Penjelasan ini antara lain dapat dibaca secara lengkap dalam Triman Juniarso, “Pendidikan
Karakter: Lagu Lama yang Diputar Kembali; Perlukah?” artikel dalam trimanjuniarso.files.wordpress.com, diakses 24 April 2014.


5

Gambar 1Contoh Konsep Penerapan Pendidikan Karakter5

Beralih kepada pendidikan karakter adalah satu langkah kecil, bahkan
mungkin belum separo langkah, karena pendidikan bukan hanya soal
pendidikan, tetapi juga menyangkut ekonomi dan politik. Pintar tapi miskin
atau bodoh tapi kaya, peluang pendidikan lebih bisa diakses oleh si bodoh tapi
kaya. Dalam undang-undang, setiap warga berhak atas pendidikan, tetapi
faktanya masih banyak anak pintar tetapi tidak mendapatkan pendidikan.
Konsep pendidikan kitab Ta’lim mempersyaratkan 6 hal untuk
pendidikan: cerdas (utamanya, cerdas spiritual), cinta ilmu, sabar, biaya,
bimbingan guru, dan waktu yang lama.6 Budaya instan sudah umum. Yang
digembor-gemborkan ialah metode bagaimana anak bisa cepat menguasai
pelajaran, padahal pendidikan itu perlu waktu yang lama. Pendidikan
Indonesia dihantui oleh ungkapan “Kalau bisa cepat, ngapain lama-lama!”
Selain masalah praktek atau penerapan suatu teori yang cenderung
keluar dari konsep, dunia pendidikan Indonesia juga mengalami masalah
terminologis.


Diucapkan

pendidikan

tetapi

yang

dipraktikkan

ialah

pengajaran; pendidikan selalu dipahami sebagai pendidikan formal, padahal
secara teori masih ada pendidikan informal dan nonformal. Terbukti, istilah
orang berpendidikan hanya menjadi predikat bagi mereka yang telah
menempuh pendidikan formal, dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
Jika mind-set di atas belum berubah, konsep pendidikan karakter hanya
akan menjadi konsep, tidak lebih.
B. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia
Manurut Juniarso, beberapa permasalahan pendidikan karakter di

Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:7
5

Tatag Yuli Eko Siswono, “Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Kelas dan
Relevansinya
dengan
Kurikulum
2013”,
powerpoint
dalam
https://www.academia.edu/406928-9/Implementasi_Pendidikan_Karakter_dalam_Pembelajaran_di
_Kelas_dan_Relevansinya_dengan_Kurikulum_2013 diakses 19 April 2014.
6
Az-Zurnujiy, Ta’lîm al-Muta’allim Thariq at-Ta’allum, (Surabaya: Dar Ihya al-Khutub
al-‘Arabiyah, t.th), 15.
7
Juniarso, “Pendidikan Karakter”.

6


1. Fungsi pendidikan yang diamanatkan UU 20 Th 2003 tentang Sisdiknas
yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak terimplementasikan dalam
kurikulum secara integratif. Mata pelajaran dalam pelaksanaannya hanya
bertanggungjawab terhadap inti mata pelajaran itu sendiri. Misal mata
pelajaran fisika kompetensi kognitifnya lebih diutamakan sedangkan aspek
lain jarang atau bahkan diabaikan. Pelajaran lain juga serupa, kecuali
pelajaran Agama, dan pelajaran Moral Pancasila yang dianggap masih
memiliki banyak muatan yang mengarah pada pembentukan karakter
siswa. Begitu pula dengan tujuan pendidikan nasional yang bangunannya
tersusun capaian tujuan institusional, kurikuler, dan atas kompetensi dasar
dari berbagai mata pelajaran masih belum menunjukkan hasil yang
diharapkan. Perilaku siswa di sekolah dan lulusan di masyarakat belum
secara kuat menunjukkan hasil pendidikan yang bermutu.
2. Masih belum mantapnya budaya nasional yang secara konseptual dapat
diaplikasikan secara merata pada seluruh lapisan masyarakat menyebabkan
manusia Indonesia kurang memiliki karakter yang kuat. Hal ini disebabkan
Indonesia merupakan negara yang terbentuk dari multikultur, multi etnik,
multi agama, multi bahasa, dan ragam kekhasan lokal lainnya. Endang

Poerwanti (2004) menjelaskan bahwa Nilai budaya yang berkembang
dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang
muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman
budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan
Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada,
karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan.
Dengan berpijak pada pemahaman tersebut, nampak bahwa kebijakan
pendidikan yang sentralistik menjadi tidak relevan. Strategi pendidikan
yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis

7

adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor
utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan
dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional
dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan
keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan
di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan
model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses
homonisasi dan humanisasi. Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampaknya
cukup mengakomodasi keinginan di atas. Namun dalam pelaksanaannya
juga masih belum mencapai sasaran yang diharapkan.
3. Program pendidikan, termasuk penataran P4 yang harapannya dapat
memperkuat karakter manusia Indonesia tidak mencapai sasarannya.
Bahkan ada yang mengatakan “makin tinggi pola penataran P4 yang
diikuti seseorang makin lemah karakter nasionalismenya”. Termasuk pula
pendidikan Pramuka yang pada awalnya lebih menunjukkan hasil
pembentukan karakter yang kuat pada anggotanya, kini pendidikan
Pramuka hanya sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat pilihan.
4. Beberapa permasalahan terkait rendahnya karakter siswa (mahasiswa)
dikemukan antara lain oleh Wanda Crisiana (2007) yang menemukan tiga
dari enam karakter yang lemah pada mahasiswa Teknik Industri UK Petra
Surabaya yaitu caring, respect, dan citizenship.
Keempat masalah yang telah diungkapkan oleh Juniarso di atas adalah
seputar penerapan (praktek) dan hasil atau output pendidikan yang belum bisa
memenuhi standar yang dicita-citakan. Hilangnya karakter kebangsaan
merupakan persoalan pokok: pintar tetapi tidak berprikemanusiaan, cerdas
tetapi tidak punya kesadaran sosial, terpelajar tetapi kurang ajar.
Maka pendidikan karakter pun didengungkan oleh orang-orang Eropa
dan kebanyakan ilmuan pendidikan, karena mereka telah melihat kegagalan
pada penerapan pendidikan konstruktivistik yang mereka agungkan kemarin.

8

Indonesia

mendapat

percikan

gelombangnya

dan

mulai

“ikut-ikut”

membicarakan dan berusaha menerapkan pendidikan karakter. Seolah-olah
Indonesia tidak memiliki kearifan budaya lokal yang mengandung pendidikan
karakter.
Dalam keilmuan Islam, dikenal istilah aqidah, syariah, dan haqiqah.
Atau, iman, islam, dan ihsan. Atau, tauhid, fiqh, dan akhlaq. Jika digambarkan
dalam tabel, maka akan didapatkan model berikut:8

1
‫العقيدةة‬
‫اليمان‬
‫السإلما‬
‫التوحإيد‬
‫الفقه‬
‫السفينة‬
‫البحر‬
)perahu(
)laut(
‫العم‬
‫العلم‬
‫ل‬

24
‫الشريعة‬
‫الحقيقة‬
‫الحإسان‬
‫الخألقا‬
‫الدر‬
)mutiara(
)......(

Penganalogian ini didasarkan pada petikan syair gubahan al-Sayyid
Bakar al-Makkiy:

َ ‫ة د ٌ ّر غَل‬
ٌ ‫حإ ِقي ْ َق‬
ٌ ‫س ِفيْنَةٍ وَطَرِي ْ َق‬
ٌ َ‫فَشَ رِيْع‬
َ ‫م‬
ْ َ ‫ة * كَاْلب‬
َ َ‫ة ك‬
ّ ُ ‫حرِ ث‬

“…syariat ibarat perahu, tarikat ibara lautan, kemudian hakikat adalah intan
mutiara mahal!”
Kolom 1 dan 2 adalah bukan hanya berarti akidah, iman, tauhid,
syariah, islam, dan fiqh, tetapi merupakan kombinasi antara motivasi dan aksi.
Motivasi belajar, misalnya, harus sesuai dengan aksinya. Biasanya jika
motivasinya keliru, maka seterusnya akan keliru. Itu disebut niat. Dalam
keilmuan pendidikan Islam, niat adalah pertama dan utama. Barulah
selanjutnya menuju kolom 3: lautan. Ya, berlayar di lautan dengan perahu
untuk mendapatkan mutiara akhlak, karakter, budi pekerti, di kolom 4. Konsep
ilmu (teori / kognitif) dan amal (praktis / psikomotorik dan afektif [akidah,
8

Penjelasan selengkapan dalam al-Sayyid Bakar al-Makkiy, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj alAshfiiya’ (Semarang: Taha Putra, t.th), 9.

9

tauhid]), dalam Islam, adalah dua kata yang tak dapat dipisahkan. Ilmu tanpa
amal, itu mandul, tidak produktif. Amal tanpa ilmu, itu ngawur, tidak teratur.
Dalam perhitungan abajadun,9 kata “al-‘ilmu” dan “al-‘amal”
mendapat nilai yang sama, karena dibentuk dari unsur huruf yang sama, yakni
huruf “’ain”, “lam”, dan “mim”. Hal dapat diperhatikan dalam tabel berikut:

‫الكل‬
‫عناصير‬
‫مة‬
‫الحروف‬
‫العل‬
‫ما ل ع‬
‫م‬
60 20

30

‫المج‬
‫موع‬

110

‫العم‬
‫ل ما ع‬
‫ل‬
60 30

20

110

‫القد‬
‫ر د قا‬
‫ر‬
90

4

100

194

Ini mengindikasikan bahwa bahwa “ilmu” dan “amal” bernilai sama,
tidak dapat dipisahkan mana yang paling penting, karena sama-sama penting.
9

‫دواا الحساب البأجدي‬s

Penjelasan dapat dibaca dalam Abu Ma’syar al-Falakiy, Abu Ma’syar al-Falakiy (Dar al-Rahmah
al-Islamiyah, t.th), 1-2.

10

Dalam konteks ini, pembentukan karakter menjadi tujuan sekaligus cara,
terletak pada kolom 4 di atas: perahu (ilmu: akidah, syariah), lautan (amal),
dan akhlak / karakter merupakan perolehan.
Penganalogian di atas menggambarkan bahwa karakter (budi pekerti,
akhlak) merupakan puncak segala proses pendidikan dan menjadi pembeda
inti manusia bisa disebut manusia: ilmu dan amal harus selaras. Tanpa akhlak,
manusia bukanlah manusia. Kepada pembentukan akhlak inilah pendidikan
semestinya diarahkan. Bukankah Rasulullah Saw sudah mendeklarasikan
bahwa diri diutus tak ada lain kecuali untuk mengoptimalkan akhlak mulia? Di
sini letak urgensi pendidikan karakter.
C. Institusi Sosial-Kultural Pendidikan Karakter Indonesia
Diperlukan studi khusus untuk meneliti secara mendalam dari mana
asal mula pendidikan di Indonesia yang sesuai dengan karakter orang
Indonesia. Supaya tidak terjadi pemaksaan keilmuan dan kebudayaan luar
kedalam sistem pendidikan di Indonesia.
Konon

pesantren

merupakan

“wadah”

paling

kultural

untuk

membentuk karakter seseorang. Soebardi dan Johns, dalam tulisan Dhofier,
menegaskan bahwa pesantren pada periode antara tahun 1200 dan 1600
merupakan garda terdepan pembangunan Peradaban Melayu Nusantara, dalam
kalimat lengkap berikut:10
Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak
ke-Islam-an kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan
paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok pedesaan.
Dari

lembaga-lembaga

pengajaran

Islam

di

pesantren
Asia

itu

Tenggara

sejumlah

manuskrip

dikumpulkan

oleh

pengembara-pengembara pertama perusahaan-perusahaan dagang
Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16. Untuk dapat betulbetul memahami sejarah islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai
10

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai
Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), 36.

11

mempelajari

lembaga-lembaga

pesantren

tersebut,

karena

lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran
Islam di wilayah ini.
Terlihat jelas, dari uraian Soebardi dan Johns yang dikutip oleh
Dhofier di muka, bahwa alasan munculnya pesantren ialah untuk
menyebarluaskan ajaran Islam. Van Bruinessen sepakat akan alasan tersebut.
Terdapat indikasi bahwa tempat-tempat pertapaan pra-Islam, entah itu yang
disebut mandala maupun yang disebut asyrama, tetap bertahan beberapa
waktu setelah Jawa di-Islamkan, bahkan tempat pertapaan yang baru masih
terus dibangun; tetapi tidak jelas, apakah hal itu merupakan lembaga
pendidikan tempat pengajaran tekstual kitab kuning berlangsung, sebab
penyebutan ‘pesantren’ (yang baru muncul belakangan) untuk aktivitas baik di
mandala maupun asyarama, itu patut dipertanyakan.11
Tanah di perdikan,12 yang diduga oleh beberapa peneliti sebagai tali
penghubung antar lembaga pra-Islam dan pesantren merupakan tanah yang
dibebaskan dari pajak, namun penghasilannya harus digunakan untuk
pemeliharaan makam-makam sakral. Inilah yang diduga menjadi cikal bakal
terbentuknya pesantren di Tegalsari pada tahun 1742. Survei Belanda tentang
pendidikan pribumi pada tahun 1819 mencerminkan kesan bahwa pesantren
yang sebenarnya belum terbentuk di seluruh Jawa. Dalam pandangan van
Bruinessen, tidak ada bukti jelas mengenai terbentuknya pesantren
sebagaimana bentuknya di abad ke-19, sebelum berdirinya pesantren di
Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur.
Soebahar mengatakan dengan tegas bahwa pesantren pertama kali
dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 yang
11

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Yogyakarta: Gading Publishing,
2012), 85 dan 92.
12

Arti etimologis dan pengertian terminologis perdikan dijelaskan secara luas dalam Hanun
Asrohah, Transformasi Pesantren: Pelembagaan, Adaptasi, dan Respon Pesantren alam
Menghadapi Perubahan Sosial (Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 75-77; juga dalam
Bruinessen, Kitab Kuning, 92.

12

memfokuskan orientasinya pada penyebaran Islam. Berbeda dengan pemikiran
Dhofier, Soebahar menegaskan bahwa kiai menampung santrinya pertama kali
di rumahnya sendiri. Dengan kata lain, elemen pesantren tidak selengkap yang
dikatakan Dhofier: pondok, masjid, pengajian kitab kuning, dan kiai. Elemen
yang ada, dalam pengamatan Soebahar, di periode awal hanya: kiai, rumah
kiai, dan santri; setelah santri bertambah banyak, atas inisiatif kiai dan
masyarakat sekitar, maka dibangunlah surau atau langgar, dan (atau) sarana
ibadah dan belajar yang lebih besar, yakni masjid.13
Orang Barat mulai melirik metode ini dan menamakannya sebagai
boarding-house. Orang Indonesia mengenalnya sebagai “pengasramaan”,
seperti kamp militer, perguruan Sholin di Cina, perguruan Yakuza di Jepang,
dan lain-lain. Hampir semua pendidikan yang mengarah kepada pembentukan
karakter selalu menggunakan “pengasramaan” sebagai wadah terapannya.
Jadi, pesantren mestinya bukan merupakan pendidikan alternatif ketika tidak
diterima di lembaga formal atau perguruan tinggi; pesantren harus
diarusutamakan, karena pesantren (atau pengasramaan yang satu sistem
dengan pesantren) merupakan institusi sosial-kultural yang tepat sebagai
tempat pendidikan karakter bangsa yang sesungguhnya.

13

Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan
Sistem Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2013), 33-35. Soebahar menyimpulkan
pernyataannya dari hasil studi Ronald Alan Lukens Bull (1977). Lihat penjelasan selengkapnya
dalam Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU
Sisdiknas (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), 33.

13

i
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
1. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengarahkan peserta didik
menuju perilaku mulia, dengan karakter sebagai fokus dan sasaran utama.
2. Urgensi

pendidikan

karakter

terletak

bukan

hanya

pada

ranah

pembentukan peradaban yang lebih beradab, melainkan juga terletak pada
tugas profetik yang harus diemban oleh generasi berpendidikan.
3. Institusi sosial-kultural pendidikan kultural yang sesuai dengan visi dan
misi pendidikan Indonesia ialah diterapkan dalam pesantren atau dalam
lembaga yang satu sistem dengan pesantren.
B. Saran
Makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Masih terlihat
kerancuan cara berpikir, bangunan epistemologinya belum kuat, dan referensi
yang terbatas. Untuk itu, kritik dan saran teman-teman saat diskusi diharapkan
dapat setidaknya mengurangi keterbatasan-keterbatasan tersebut. Pembahasan
pendidikan karakter bukan hanya pembahasan yang luas tetapi juga dalam.
Tidak bisa cukup dengan kajian yang terbatas dalam makalah ini.

14

DAFTAR PUSTAKA
Al-Falakiy, Abu Ma’syar. Abu Ma’syar al-Falakiy. Dar al-Rahmah al-Islamiyah,
t.th.
Al-Jurjaniy, ‘Abd al-Qahir. at-Ta’rifat. Bairot: Maktabah Lebanon, 1985.
Anonim,

“Pendidikan
Karakter”
dalam
http://h4ti3fa.student.umm.ac-.id/download-as-doc/student_blog_article_
22.doc diakses pada 24 April 2014

Asrohah, Hanun. Transformasi Pesantren: Pelembagaan, Adaptasi, dan Respon
Pesantren alam Menghadapi Perubahan Sosial. Jakarta: Dwiputra
Pustaka Jaya, 2012
Az-Zurnujiy. Ta’lîm al-Muta’allim Thariq at-Ta’allum. Surabaya: Dar Ihya alKhutub al-‘Arabiyah, t.th.
Bruinessen, Martin van Kitab. Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Yogyakarta:
Gading Publishing, 2012.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan
Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2011.
Faktaremaja. “Gaya Hidup Bebas Remaja – Seks, Rokok, Konsumerisme” artikel
dalam http://fakta-remaja.blogspot.com/2013_03_01_archive.html akses
20 April 2014.
Juniarso, Triman. “Pendidikan Karakter: Lagu Lama yang Diputar Kembali;
Perlukah?” artikel dalam trimanjuniarso.files.word-press.com, diakses 24
April 2014.
Makkiy (al), al-Sayyid Bakar. Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiiya’.
Semarang: Taha Putra, t.th.
Siswono, Tatag Yuli Eko. “Implementasi Pendidikan Karakter dalam
Pembelajaran di Kelas dan Relevansinya dengan Kurikulum 2013”,
powerpoint dalam https://www.academia.edu/4069289/Implementasi_Pendidikan_Karakter_dalam_Pembelajaran_di_Kelas_dan_Relevansin
ya_dengan_Kurikulum_2013 diakses 19 April 2014.
Soebahar, Abd. Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai
UU Sisdiknas. Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2013.
_______, Abd. Halim. Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi
Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren. Yogyakarta:
LKiS, 2013.

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

IMPROVING CLASS VIII C STUDENTS’ LISTENING COMPREHENSION ACHIEVEMENT BY USING STORYTELLING AT SMPN I MLANDINGAN SITUBONDO IN THE 2010/2011 ACADEMIC YEAR

8 135 12

Implementasi Program Dinamika Kelompok Terhada Lanjut Usia Di Panti Sosial Tresna Werdha (Pstw) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur

10 166 162

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92