Makalah UAS Filsafat Hukum Indonesia
Kasus Pembunuhan Dikaitkan dengan Teori Hukum Alam
A. Pendahuluan
Kasus ini berawal dari sengketa tanah waris di Nusa Tenggara Timur
dengan Penggugat Ny. Jance Faransina Mooy-Ndun selanjutnya akan
disingkat Ny. JFMN, beliau mengklaim tanah yang dikuasai para tergugat
adalah miliknya hasil warisan dari ayahnya Tuan Jermias Ndoen yang telah
meninggal. NY. JFMN mengklaim bahwa beliau adalah anak kandung
sekaligus ahli waris yang sah atas harta peninggalan ayahanda nya. Terdapat
beberapa tanah yang merupakan peninggalan ayahandanya. Pengadilan
Negeri (PN) Rote Ndao mengabulkan sebagian gugatan penggugat, yakni
menyatakan Ny. JFMN adalah ahli waris ayahnya, namun Pengadilan Tinggi
membatalkan putusan itu dengan dasar hukum adat setempat mengenal dan
menganut sistem kewarisan patrilineal murni. Artinya, yang berhak mewarisi
adalah anak laki-laki. Kalau tak ada anak laki-kali, keluarga tersebut harus
mengangkat anak laki-laki saudaranya (dalam kaum adat setempat dikenal
dengan “dendi anak kelambi”).
Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis
keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, baik itu
patrilineal
murni,
patrilineal
beralih-alih,
matrilineal
bilateral,
ataupun
unilateral.1 Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang berlaku
pada masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan
berbeda. Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti Batak, Nias,
yang merupakan ahli waris hanyalah anak laki-laki, demikian juga di Bali.
Berbeda dengan masyarakat di Sumatera Selatan yang menganut matrilineal,
golongan ahli waris adalah tidak saja anak laki-laki tetapi juga anak
perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut sistem bilateral, baik anak lakilaki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang
tuanya.
Dalam kasus ini masyarakat setempat menganut sistim kekeluargaan
patrilineal murni, sehingga pada perkara ini Ny. JFMN dinyatakan tidak
1
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT.RajaGrafindo Indonesia Persada,
1981), h.260.
berhak atas tanah peninggalan ayahnya oleh tergugat. Ny. JFMN
mengajukan kasasi ke tingkat mahkamah agung. Mahkamah Agung
membatalkan putusan banding tersebut yang termaktub dalam putusan
kasasi No. 1048 K/Pdt/2012. Majelis hakim agung dipimpin Prof. Rehngena
Purba – beranggotakan Prof. Takdir Rahmadi dan Nurul Elmiyah—
berpendapat bahwa hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara
dengan kedudukan laki-laki tidak dapat dipertahankan lagi. Hukum adat yang
demikian melanggar hak asasi manusia (UU No. 39 Tahun 1999) dan
yurisprudensi MA No. 179K/Sip/1961.
B. Feminist Jurisprudence
Feminist legal theory atau feminist jurisprudence adalah sebuah filsafat
hukum yang didasarkan pada kesetaraan gender dibidang politik, ekonomi
dan sosial. Feminist Legal Theory didasarkan pada pandangan gerakan
feminist
bahwa
dalam
sejarah,
hukum
merupakan
instrumen
untuk
melanggengkan posisi wanita dibawah subordinasi kaum pria. Sejarah yang
ditulis kaum pria telah menciptakan bias dalam konsep kodrat manusia,
potensi dan kemampuan gender, serta dalam pengaturan masyarakat.
Dengan menyatakan ke- pria-an sebagai norma, maka ke wanita an adalah
deviasi dari norma dan hal ini merupakan hegemoni dalam konsep dan
penguatan hukum dan kekuasaan patriakal.
Budaya patriaki tersebut memunculkan apa yang disebut dengan
diskriminasi terhadap gender, dimana kedudukan wanita atau perempuan
dalam hukum dan masyarakat dianggap setingkat atau bahkan beberapa
tingkat lebih rendah dari kedudukan pria atau laki-laki. Padahal sebagaimana
disebutkan dalam sebuah adagium equality before the law, yaitu kedudukan
setiap orang adalah sama di hadapan hukum tanpa membedakan gender,
ras, status sosial seseorang, dan lain sebagainya.
Untuk itu feminist jurisprudence atau feminist legal theory muncul sebagai
bentuk kritik terhadap aliran atau paham paham mengenai hukum yang telah
ada. Kaum Feminists menantang dan membongkar kepercayaan atau mitos
bahwa pria dan wanita begitu berbeda, sehingga perilaku tertentu bisa
dibedakan atas dasar perbedaan gender. Gender menurut kaum feminist
diciptakan atau dibentuk
secara sosial bukan secara biologis. Gender
menentukan penampilan fisik, kapasitas reproduksi, tetapi tidak menentukan
ciri-ciri psikologis, moral atau sosial. Dengan kata lain, feminist jurisprudence
mencoba untuk mempelajari hukum dari sudut pandang wanita dan
berdasarkan pada teori-teori feminist.
Dalam
perjalanannya,
feminist
jurisprudence
membongkar
dan
menjelaskan bagaimana hukum memainkan peran untuk melegalkan status
wanita dalam posisi subordinasi pria, dengan kata lain hukum menjadi sarana
untuk melestarikan status quo yaitu dominasi pria atas kaum wanita. Selain
itu, feminist jurisprudence juga berusaha untuk melakukan perubahan /
transformasi merubah status kaum wanita dengan merubah hukum dan
pendekatannya dan pandangannya terhadap perkara gender menjadi lebih
adil dan berimbang. Ini adalah proyek emansipatoris kaum wanita dibidang
hukum. Sehingga pada akhirnya Feminist jurisprudence mempengaruhi
pemikiran hukum dalam setiap bidang hukum, diantaranya hubungan rumah
tangga (domestic relations) seperti perkawinan, perceraian dan keluarga,
kekerasan dalam rumah tangga, pekerjaan, pelecehan sexual, hak-hak sipil,
perpajakan, hak asasi manusia dan hak-hak reproduksi.
C. Analisis Kasus Kewarisan Patrilineal Murni Dikaitkan
dengan Aliran Feminisme
Jika ditilik lebih dalam pada kasus ini, putusan mahkamah agung ini sangat
realistis dan menjunjung tinggi asas persamaan kedudukan dalam hukum
atau equity before the law, bahwa aliran patrilineal murni tidak tepat dalam
menyelesaikan persengkataan ini, Ny. JFMN sebagai anak sah dari pewaris
berhak mendapatkan bagiannya dan hak nya sebagai anak yang ditinggalkan
oleh ayahandanya. Oleh karena beliau memiliki gender wanita, bukan berarti
hak-hak atas dirinya dicabut dan disubordinasikan dibawah kaum lelaki.
Mulai munculnya peralihan pola pikir yang terjadi pada masyarakat kita,
menunjukan ciri-ciri bangsa yang modern, hal ini sesuai dengan karakteristik
yang disebutkan oleh salah satu pakar sosiologi yang bernama Marc Galanter
dalam sebuah artikel klasik yang berjudul “The Modernization of Law”,
menurut Galanter terdapat 11 karakteristik dari masyarakat modern, sebagai
berikut:2
1. Hukum Modern terdiri dari peraturan-peraturan yang seragam
dan tidak bervariasi dalam penerapannya. Aturan ini lebih
bersifat territorial daripada individual sehingga peraturan
diterapkan pada seluruh anggota.
2. Hukum modern bersifat transaksional. Hak-hak dan kewajiban
lebih
merupakan
hasil
transaksi-transaksi
(kontraktual,
sanksi ,Kriminal, dsb) antara para pihak.
3. Norma
hukum
modern
bersifat
universal.
Penemuan-
penemuan aturan hukum ditujukan utuk menyederhanakan
standar yang sah dari penerapan hukum, bukan untuk
menunjukan hal yang unik.
4. Sistem Aturannya berhirarki, terdapat jaringan kerja.
5. Sistem diatur secara birokrasi, hal ini ditujukan untuk
menciptakan keseragaman dan dibuat aturan tertulisnya.
6. Sistem
yang
rasional,
prosedurnya
adalah
melalui
tindakan/teknik-teknik yang dapat dipelajari dan disebarkan
terhadap tindakan non-rasional.
7. Sistem dijalankan dengan profesional, ditempati oleh orangorang pilihan yang sesuai dengan klasifikasi pekerjaannya
8. Sistem menjadi teknis dan kompleks
9. Sistem yang dapat diubah, sistem nya mengandung metodemetode umum dan dinyatakan secara terbuka dalam aturanaturan yang di revisi dan prosedur-prosedur untuk memenuhi
tuntutan perubahan atau untuk mengekspresikan perubahan
pilihan.
10. Sistem bersifat politis, hukum berhubungan dengan negara
sehingga
negara
memonopoli
penyelesaian
seluruh
sengketa.
11. Kegiatan menemukan hukum dan penerapannya pada kasuskasus konkrit dibedakan secara personal dan teknis pada
2
Steven Vago, Law and Society (9th ed.; New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009), h.45-46
fungsi pemerintahan, baik legislative, yudikatif dan eksekutif
merupakan fungsi yang terpisah.
Dari kesebelas ciri tersebut dapat dilihat bahwa hukum modern terdiri dari
peraturan-peraturan yang bersifat seragam, artinya peraturan-peraturan atau
putusan yang dibuat tidak bervariasi dalam penerapannya. Aturan ini bersifat
menyeluruh, artinya tidak ada ketidak seimbangan antara subyek hukum yang
satu dengan yang lainnya. Selain karakteristik tersebut, Galanter juga
menyebutkan bahwa hukum modern dicirikan dengan sistim hukum yang
dapat dirubah atau diperbaiki. Dalam kasus ini sistem hukum yang dipakai
masyarakat setempat adalah sistim hukum patrilineal yaitu mengikuti garis
keturunan dari garis laki-laki sehingga anak perempuan tidak berhak atas
harta warisan ayahnya, namun putusan pengadilan yang membatalkan
putusan
pengadilan
tinggi
atas
sistem
hukum
tersebut
merupakan
pengubahan sistem hukum dengan cara pengubahan metode-metode umum
dan dinyatakan secara terbuka dalam aturan yang di revisi untuk memenuhi
tuntutan perubahan atau mengekspresikan perubahan nilai-nilai untuk meraih
tujuan yang positif.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa pembatalan putusan tersebut
mencirikan bahwa masyarakat kita mulai beralih kearah modernisasi, hal itu
ditandai dengan pergeseran pola pikir masyarakat kita terhadap persamaan
hak dan kedudukan dalam hukum bagi semua lapisan masyarakat. Tidak
dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
memiliki heterogenitas yang sangat tinggi, artinya terdapat banyak suku,
budaya dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi suatu kaum atau
kalangan dalam menentukan putusan terhadap suatu perkara. Setiap
masyarakat
atau
negara
mempunyai
cara
atau
mekanisme
untuk
menyatakan, mengubah, dan menegakan aturan-aturan yang berlaku di
lingkungan masyarakat atau negara masing-masing. Namun, tidak semua
masyarakat memanfaatkan atau menggunakan suatu sistem hukum yang
formal, artinya sebagian atau sebagian besar masyarakat Indonesia masih
menggunakan sistem hukum yang informal.
Sistem hukum yang formal digunakan apabila perilaku warga masyarakat
diatur oleh hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan, sistem hukum
formal dicirikan dengan beberapa hal, seperti diuraikan dibawah ini:
1. Formal social control digunakan pada masyarakat yang lebih kpmpleks
dengan sistem pembagian kerja yang tinggi, penduduknya hetero
dengan nilai-nilai persaingan dan dengasn norma-norma serta idiologi
yang berbeda-beda.
2. Formal social control muncul ketika sistem informa tidak lagi
mencukupi dalam memelihara kepatuhan anggota terhadap normanorma yang dianut, dan dicirikan dengan adanya badan yang khusus
dan teknik-teknik yang standar.
3. Formal social control menyatu dengan lembaga-lembaga dalam
masyarakat dan dicirikan dengan adanya cara/prosedur yang secara
eksplisit mapan serta dilaksanakan oleh badan yang diberikan
kewenangan untuk melaksanakannya, dengan demikian formal social
control dilaksanakan oleh orang-orang yang menduduki posisi dalam
lembaga tersebut
4. Dengan menyatunya formal social control pada lembaga sosial, maka
lembaga sosial dijalankan untuk menjamin terjadinya kepatuhan dalam
membangun perilaku dan mengandung cara-cara yang mapan untuk
mengamankan kepentingan-kepentingan manusia.
5. Hukum dibuat oleh badan legislator dan dimodefikasi melalui putusan
pengadilan,dengan menetapkan kejahatan dan perilaku jahat dan
menjatuhkan sanksi tertentu terhadap pelanggaran.
6. Kata legislasi digunakan untuk menggambarkan suatu proses yang
denganmana norma-norma berubah dari tingkat sosial menjadi tingkat
hukum.
7. Tidak semua norma sosial menjadi hukum. Dalam kenyataannya,
hanya norma-norma tertentu yang dapat diterjemahkan menjadi norma
hukum
Namun, sebaliknya informal social control atau bisa disebut sistem hukum
informal adalah suatu pengendalian yang dilakukan tidak berdasarkan aturan
hukum yang tertulis, contoh nya adalah adat istiadat, pendidikan. Informal
sosial kontrol dicirikan dengan berbagai hal, diantaranya adalah:
1. Sistem hukum ini efektif dilakukan pada masyarakat yang anggotanya
saling mengenal, akrab, dan interaksi antar warganya sangat tinggi,
dan solidaritas antar warga juga tinggi, sistem pembagian kerjanya
relatif sederhana.
2. Dalam masyarakat seperti ini, bentuk hukumnya biasanya tidak tertulis,
mengutamakan pengajaran norma-norma kepada anak-anak yang
bersifat langsung, tidak bersifat kontradiktif yang dapat menimbulkan
kebingungan atau inner conflict
3. Bentuk dari pelanggaran terhadap informal social control adalah
pengasingan, dikucilkan oleh lingkungan dan tekanan dari masyarakat
sekitar nya.
4. Penggunaan communities law inforcement agents dapat bekerja
dengan lebih baik, biasanya agen tersebut dalam masyarakat kita
dikenal sebagai kepala adat atau suku
Dalam kasus ini sistem hukum yang digunakan oleh masyarakat setempat
adalah sangat berpegang teguh pada informal social control, yang menurut
mereka sistem pembagian warisan dengan paham patrilineal adalah solusi
yang terbaik untuk menentukan solusi dari sengketa kasus Ny. JFMN. Namun
tidak demikian dengan keputusan hakim yang mengabulkan kasasi dari Ny.
JFMN dan berpendapat bahwa ketidaksamaan antara wanita dan pria sudah
tidak tepat lagi untuk di pertahankan di era modern ini. Apalagi putusan
mahkamah agung ini juga mengacu pada yurisprudensi putusan Mahkamah
Agung sebelumnya No. 179 K/Sip/1961. Yurisprudensi atau putusan
pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan
hukum yang mengikat pihak-pihak bersangkutan. 3Jadi dalam kasus ini
putusan pengadilan hanya mengikat pihak yang bersengketa, walaupun
nantinya pada masa yang akan datang jika terjadi kasus serupa, putusan ini
dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, karena antara
putusan yang satu dengan yang lainnya tidak boleh bertentangan dan harus
3
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta,2005), h. 179
sejalan dengan undang-undang yang sudah ada. Putusan tersebut adalah
hukum.
Sehingga
wajib
dijalankan
oleh
pihak-pihak
tergugat
untuk
menjalankan apa yang sudah diadili oleh pengadilan tersebut.
Putusan MA No 179 K/Sip/1961 adalah tentang persengketaan perdata
yang terjadi di sumatera utara pada masyarakat atau suku batak karo, yang
memiliki paham atau adat istiadat tidak jauh berbeda dengan adat istiadat
pada kecamatan Rote Barat, Kupang. Sistem yang dianut adalah patrilineal.
Inti tujuan dari feminist jurisprudence adalah menunjukan kesejahteraan
umum, ia harus mampu mengakomodasi perubahan sosial dan perbedan
budaya
lebih
baik
dari
struktur
yang
sekarang
dan
tradisi
yang
memungkinkan.4
Hukum
pada
dasarnya
memiliki
sejumlah
keterbatasan
untuk
merealisasikan nilai-nilai sosial, bahwa hukum -(baik pembentukan aturan,
maupun substansinya) sangat bersifat phallocentris (yaitu lebih memihak
kepentingan laki-laki), sehingga hukum berjalan untuk kepentingan status
quo. Feminisme dalam hukum juga menolak bagaimana posisi wanita
senantiasa dimarjinalkan dalam perjanjian, pekerjaan dan berbagai kehidupan
sosial, kaum feminis melihat bahwa sekalipun para wanita telah berusaha
untuk memperbaiki masa depannya namun tetap saja hukum selalu
dibayang-bayangi oleh ideologi-ideologi-yang lebih maskulin.
Jika dibahas lebih lanjut tentang latar belakang dari kasus ini, selain adat
istiadat suatu daerah yang menekan kan sistem patrilineal, aliran memandang
laki-laki lebih baik daripada wanita atau diskriminasi pada wanita sudah terjadi
sejak pertengahan abad ke-20. Aliran ini disebut patriarchy. Pengertian dari
aliran ini adalah suordinasi yang sistematis bahwa perempuan ada dibawah
kaum lelaki. Kaum feminist sangat menentang paham ini. Karena aliran
patriarchy merupakan cikal bakal terjadinya diskriminasi terhadap kaum
wanita yang banyak terjadi dari zaman dahulu hingga sekarang, seperti
pemerkosaan, pelecehan seksual, pekerjaan, harapan pendidikan dan
sebagainya. Dalam kasus ini pun ditunjukan bahwa anak laki-laki lebih berhak
atas sebuah warisan ketimbang perempuan, padahal asas yang dianut oleh
4
Diterjemahkan dari Patricia Smith, “Feminist Jurisprudence”, dalam A Comparison to
Philosophy of Law and Legal Theory, Dennis Patterson (Ed), (Oxford: Blackwell Publishing
Ltd., 1999), h. 302-210 dalam Erman Rajagukguk (ed.), Filsafat Hukum, (Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), h. 108
bangsa kita sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,” setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung
tinggi
hukum
dan
pemerintahan
itu
dengan
tidak
ada
pengecualiannya”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan,” setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 5
Atas dasar inilah pengadilan Mahkamah Agung mengabulkan permintaan
Ny. JFMN atas hak nya sebagai ahli waris walaupun beliau berjenis kelamin
wanita. Pada kasus ini Pengadilan Tinggi Kupang yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri rote Ndao adalah salah dalam menerapkan hukum karena
pertimbangan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut bertentangan dengan
hukum yang berlaku, yaitu pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI
No. 179 K/Sip/1961 tanggal 11 November 1961 tyang menyatakan bahwa hak
waris perempuan disamakan dengan laki-laki. Artinya, hukum adat yang tidak
sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat, seperti hukum adar
yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki akan
dihapuskan. Bila memang hukum berpegang pada keadilan maka harus
menciptakan keadilan untuk semua pihak. Tentu saja pengambilan keputusan
seharusnya tidak memandang suku, ras, agama, dan jenis kelamin.
Walaupun pada kenyataannya masih banyak diskriminasi terhadap wanita
terjadi, terutama pada kota-kota kecil atau pedesaan di negara kita.
D. Kesimpulan
Sesuai dengan Pasal 7 dan 8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
sedunia (DUHAM) bahwa semua orang memiliki hak yang sama di hadapan
hukum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi serta setiap
orang berhak atas penyelesaian masalah yang mereka hadapi di hadapan
pengadilan. Akses terhadap keadilan berfokus pada dua hal yakni upaya
setiap orang untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak mereka dan atau
untuk penyelesaian setiap masalah hukum yang mereka hadapi dengan
5
Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
syarat bahwa sistem keadilan dapat diakses dan dapat memberikan keadilan
bagi setiap orang.6
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa sesungguhnya hukum dan
keadilan bukan diperuntukan hanya untuk kaum adam saja namun juga untuk
semua lapisan masyarakat, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, kaya
atau miskin. Namun, pada masyarakat Indonesia yang sangat bervariasi dan
sangat heterogen, hal ini masih sulit untuk diterapkan. Terutama karena
sebagian besar masyarakat kita masih berpegang pada hukum adat dan
menggunakan sistem hukum yang informal sebagai landasan mereka untuk
berprilaku, sehingga terdapat pengabaian terhadap hukum-hukum yang
sudah terkodefikasi atau tertuang dalam undang-undang. Terutama bagi
beberapa daerah yang masih berada di pedalaman dan masih belum modern,
laki-laki masih dianggap superior ketimbang wanita, sehingga tidak terdapat
persamaan hak yang di dapat oleh kaum wanita dan kaum pria. Hal ini
berlaku juga pada kasus ini, paham patrilineal yang kuat sebagai bagian dari
hukum adat daerah setempat, membuat Ny. JFMN harus berjuang keras
untuk mendapat pengakuan dan mendapatkan hak nya sebagai ahli waris
yang sah hanya karena beliau berjenis kelamin wanita.
‘Akses perempuan ke keadilan’ memiliki beberapa tantangan dan
kekhususan. Kekhususan bagi perempuan korban dalam mengakses
keadilan karena pada seluruh lini upaya perempuan dalam mengakses
keadilan, perempuan korban mengalami berbagai bentuk diskriminasi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menetapkan Rekomendasi
Umum No.19 pada tahun 1992 mengenai definisi kekerasan berbasis gender
yang kemudian menjadi ‘cetak biru’ dari CEDAW atau Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Dengan demikian, segala bentuk kekerasan berbasis gender merupakan
“Akses Perempuan terhadap Keadilan: Mekanisme Hukum dan
Keadilan, Peranan PEndamping, dan Rasa Keadilan Korban” dalam
Akses Keadilan Perempuan,
http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php
?option=com_content&view=article&id=82:akses-perempuanterhadap-keadilan-mekanisme-hukum-dan-keadilan-perananpendamping-dan-rasa-keadilan-korban&catid=41:tulisan-lain.
%20dalam (diakses pada 23 Desember 2013)
6
bentuk diskriminasi terhadap perempuan.7 Seperti dikutip dari sebuah
makalah yang berjudul Sexuality and Human Rights: Discussion Paper,
sebagai berikut:8
“In
conclusion,
any
effort
to
clarify
and
deepen
conceptual
understanding of sexual rights as human rights is a deeply political
project. It is political both because of the importance and sensitivity of
sexuality and sexual issues, and because this work will help to refashion
the relationship between individuals and the state. As noted above, the
state is not the only or even the main actor with regard to sexual rights.
Nevertheless, where the focus is on formal rights, and on formal law, the
state is an essential actor in policy terms, even if the larger
understanding is that sexuality takes shape at the intersection of many
different social, inter- and intra-personal systems”
Artinya, dalam pelaksanaannya penghapusan terhadap diksriminasi wanita
memang harus diakomodasi oleh peraturan tertulis yang menganggap
perbuatan ini sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum. Pemerintah
harus ikut berperan serta untuk membuat masyarakatnya beralih dari pola
pikir bahwa laki-laki lebih berhak daripada wanita. Semua itu lah yang
diperjuangkan oleh kaum feminist dan merupakan inti dari teori Feminist
Jurisprudence.
“Akses Perempuan terhadap Keadilan: Mekanisme Hukum dan
Keadilan, Peranan PEndamping, dan Rasa Keadilan Korban”, Op.
Cit
8
International Council on Human Rights “Sexuality and Human
Rights: Discussion Paper” 2009, h.46
7
A. Pendahuluan
Kasus ini berawal dari sengketa tanah waris di Nusa Tenggara Timur
dengan Penggugat Ny. Jance Faransina Mooy-Ndun selanjutnya akan
disingkat Ny. JFMN, beliau mengklaim tanah yang dikuasai para tergugat
adalah miliknya hasil warisan dari ayahnya Tuan Jermias Ndoen yang telah
meninggal. NY. JFMN mengklaim bahwa beliau adalah anak kandung
sekaligus ahli waris yang sah atas harta peninggalan ayahanda nya. Terdapat
beberapa tanah yang merupakan peninggalan ayahandanya. Pengadilan
Negeri (PN) Rote Ndao mengabulkan sebagian gugatan penggugat, yakni
menyatakan Ny. JFMN adalah ahli waris ayahnya, namun Pengadilan Tinggi
membatalkan putusan itu dengan dasar hukum adat setempat mengenal dan
menganut sistem kewarisan patrilineal murni. Artinya, yang berhak mewarisi
adalah anak laki-laki. Kalau tak ada anak laki-kali, keluarga tersebut harus
mengangkat anak laki-laki saudaranya (dalam kaum adat setempat dikenal
dengan “dendi anak kelambi”).
Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis
keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, baik itu
patrilineal
murni,
patrilineal
beralih-alih,
matrilineal
bilateral,
ataupun
unilateral.1 Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang berlaku
pada masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan
berbeda. Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti Batak, Nias,
yang merupakan ahli waris hanyalah anak laki-laki, demikian juga di Bali.
Berbeda dengan masyarakat di Sumatera Selatan yang menganut matrilineal,
golongan ahli waris adalah tidak saja anak laki-laki tetapi juga anak
perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut sistem bilateral, baik anak lakilaki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang
tuanya.
Dalam kasus ini masyarakat setempat menganut sistim kekeluargaan
patrilineal murni, sehingga pada perkara ini Ny. JFMN dinyatakan tidak
1
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT.RajaGrafindo Indonesia Persada,
1981), h.260.
berhak atas tanah peninggalan ayahnya oleh tergugat. Ny. JFMN
mengajukan kasasi ke tingkat mahkamah agung. Mahkamah Agung
membatalkan putusan banding tersebut yang termaktub dalam putusan
kasasi No. 1048 K/Pdt/2012. Majelis hakim agung dipimpin Prof. Rehngena
Purba – beranggotakan Prof. Takdir Rahmadi dan Nurul Elmiyah—
berpendapat bahwa hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara
dengan kedudukan laki-laki tidak dapat dipertahankan lagi. Hukum adat yang
demikian melanggar hak asasi manusia (UU No. 39 Tahun 1999) dan
yurisprudensi MA No. 179K/Sip/1961.
B. Feminist Jurisprudence
Feminist legal theory atau feminist jurisprudence adalah sebuah filsafat
hukum yang didasarkan pada kesetaraan gender dibidang politik, ekonomi
dan sosial. Feminist Legal Theory didasarkan pada pandangan gerakan
feminist
bahwa
dalam
sejarah,
hukum
merupakan
instrumen
untuk
melanggengkan posisi wanita dibawah subordinasi kaum pria. Sejarah yang
ditulis kaum pria telah menciptakan bias dalam konsep kodrat manusia,
potensi dan kemampuan gender, serta dalam pengaturan masyarakat.
Dengan menyatakan ke- pria-an sebagai norma, maka ke wanita an adalah
deviasi dari norma dan hal ini merupakan hegemoni dalam konsep dan
penguatan hukum dan kekuasaan patriakal.
Budaya patriaki tersebut memunculkan apa yang disebut dengan
diskriminasi terhadap gender, dimana kedudukan wanita atau perempuan
dalam hukum dan masyarakat dianggap setingkat atau bahkan beberapa
tingkat lebih rendah dari kedudukan pria atau laki-laki. Padahal sebagaimana
disebutkan dalam sebuah adagium equality before the law, yaitu kedudukan
setiap orang adalah sama di hadapan hukum tanpa membedakan gender,
ras, status sosial seseorang, dan lain sebagainya.
Untuk itu feminist jurisprudence atau feminist legal theory muncul sebagai
bentuk kritik terhadap aliran atau paham paham mengenai hukum yang telah
ada. Kaum Feminists menantang dan membongkar kepercayaan atau mitos
bahwa pria dan wanita begitu berbeda, sehingga perilaku tertentu bisa
dibedakan atas dasar perbedaan gender. Gender menurut kaum feminist
diciptakan atau dibentuk
secara sosial bukan secara biologis. Gender
menentukan penampilan fisik, kapasitas reproduksi, tetapi tidak menentukan
ciri-ciri psikologis, moral atau sosial. Dengan kata lain, feminist jurisprudence
mencoba untuk mempelajari hukum dari sudut pandang wanita dan
berdasarkan pada teori-teori feminist.
Dalam
perjalanannya,
feminist
jurisprudence
membongkar
dan
menjelaskan bagaimana hukum memainkan peran untuk melegalkan status
wanita dalam posisi subordinasi pria, dengan kata lain hukum menjadi sarana
untuk melestarikan status quo yaitu dominasi pria atas kaum wanita. Selain
itu, feminist jurisprudence juga berusaha untuk melakukan perubahan /
transformasi merubah status kaum wanita dengan merubah hukum dan
pendekatannya dan pandangannya terhadap perkara gender menjadi lebih
adil dan berimbang. Ini adalah proyek emansipatoris kaum wanita dibidang
hukum. Sehingga pada akhirnya Feminist jurisprudence mempengaruhi
pemikiran hukum dalam setiap bidang hukum, diantaranya hubungan rumah
tangga (domestic relations) seperti perkawinan, perceraian dan keluarga,
kekerasan dalam rumah tangga, pekerjaan, pelecehan sexual, hak-hak sipil,
perpajakan, hak asasi manusia dan hak-hak reproduksi.
C. Analisis Kasus Kewarisan Patrilineal Murni Dikaitkan
dengan Aliran Feminisme
Jika ditilik lebih dalam pada kasus ini, putusan mahkamah agung ini sangat
realistis dan menjunjung tinggi asas persamaan kedudukan dalam hukum
atau equity before the law, bahwa aliran patrilineal murni tidak tepat dalam
menyelesaikan persengkataan ini, Ny. JFMN sebagai anak sah dari pewaris
berhak mendapatkan bagiannya dan hak nya sebagai anak yang ditinggalkan
oleh ayahandanya. Oleh karena beliau memiliki gender wanita, bukan berarti
hak-hak atas dirinya dicabut dan disubordinasikan dibawah kaum lelaki.
Mulai munculnya peralihan pola pikir yang terjadi pada masyarakat kita,
menunjukan ciri-ciri bangsa yang modern, hal ini sesuai dengan karakteristik
yang disebutkan oleh salah satu pakar sosiologi yang bernama Marc Galanter
dalam sebuah artikel klasik yang berjudul “The Modernization of Law”,
menurut Galanter terdapat 11 karakteristik dari masyarakat modern, sebagai
berikut:2
1. Hukum Modern terdiri dari peraturan-peraturan yang seragam
dan tidak bervariasi dalam penerapannya. Aturan ini lebih
bersifat territorial daripada individual sehingga peraturan
diterapkan pada seluruh anggota.
2. Hukum modern bersifat transaksional. Hak-hak dan kewajiban
lebih
merupakan
hasil
transaksi-transaksi
(kontraktual,
sanksi ,Kriminal, dsb) antara para pihak.
3. Norma
hukum
modern
bersifat
universal.
Penemuan-
penemuan aturan hukum ditujukan utuk menyederhanakan
standar yang sah dari penerapan hukum, bukan untuk
menunjukan hal yang unik.
4. Sistem Aturannya berhirarki, terdapat jaringan kerja.
5. Sistem diatur secara birokrasi, hal ini ditujukan untuk
menciptakan keseragaman dan dibuat aturan tertulisnya.
6. Sistem
yang
rasional,
prosedurnya
adalah
melalui
tindakan/teknik-teknik yang dapat dipelajari dan disebarkan
terhadap tindakan non-rasional.
7. Sistem dijalankan dengan profesional, ditempati oleh orangorang pilihan yang sesuai dengan klasifikasi pekerjaannya
8. Sistem menjadi teknis dan kompleks
9. Sistem yang dapat diubah, sistem nya mengandung metodemetode umum dan dinyatakan secara terbuka dalam aturanaturan yang di revisi dan prosedur-prosedur untuk memenuhi
tuntutan perubahan atau untuk mengekspresikan perubahan
pilihan.
10. Sistem bersifat politis, hukum berhubungan dengan negara
sehingga
negara
memonopoli
penyelesaian
seluruh
sengketa.
11. Kegiatan menemukan hukum dan penerapannya pada kasuskasus konkrit dibedakan secara personal dan teknis pada
2
Steven Vago, Law and Society (9th ed.; New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009), h.45-46
fungsi pemerintahan, baik legislative, yudikatif dan eksekutif
merupakan fungsi yang terpisah.
Dari kesebelas ciri tersebut dapat dilihat bahwa hukum modern terdiri dari
peraturan-peraturan yang bersifat seragam, artinya peraturan-peraturan atau
putusan yang dibuat tidak bervariasi dalam penerapannya. Aturan ini bersifat
menyeluruh, artinya tidak ada ketidak seimbangan antara subyek hukum yang
satu dengan yang lainnya. Selain karakteristik tersebut, Galanter juga
menyebutkan bahwa hukum modern dicirikan dengan sistim hukum yang
dapat dirubah atau diperbaiki. Dalam kasus ini sistem hukum yang dipakai
masyarakat setempat adalah sistim hukum patrilineal yaitu mengikuti garis
keturunan dari garis laki-laki sehingga anak perempuan tidak berhak atas
harta warisan ayahnya, namun putusan pengadilan yang membatalkan
putusan
pengadilan
tinggi
atas
sistem
hukum
tersebut
merupakan
pengubahan sistem hukum dengan cara pengubahan metode-metode umum
dan dinyatakan secara terbuka dalam aturan yang di revisi untuk memenuhi
tuntutan perubahan atau mengekspresikan perubahan nilai-nilai untuk meraih
tujuan yang positif.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa pembatalan putusan tersebut
mencirikan bahwa masyarakat kita mulai beralih kearah modernisasi, hal itu
ditandai dengan pergeseran pola pikir masyarakat kita terhadap persamaan
hak dan kedudukan dalam hukum bagi semua lapisan masyarakat. Tidak
dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
memiliki heterogenitas yang sangat tinggi, artinya terdapat banyak suku,
budaya dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi suatu kaum atau
kalangan dalam menentukan putusan terhadap suatu perkara. Setiap
masyarakat
atau
negara
mempunyai
cara
atau
mekanisme
untuk
menyatakan, mengubah, dan menegakan aturan-aturan yang berlaku di
lingkungan masyarakat atau negara masing-masing. Namun, tidak semua
masyarakat memanfaatkan atau menggunakan suatu sistem hukum yang
formal, artinya sebagian atau sebagian besar masyarakat Indonesia masih
menggunakan sistem hukum yang informal.
Sistem hukum yang formal digunakan apabila perilaku warga masyarakat
diatur oleh hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan, sistem hukum
formal dicirikan dengan beberapa hal, seperti diuraikan dibawah ini:
1. Formal social control digunakan pada masyarakat yang lebih kpmpleks
dengan sistem pembagian kerja yang tinggi, penduduknya hetero
dengan nilai-nilai persaingan dan dengasn norma-norma serta idiologi
yang berbeda-beda.
2. Formal social control muncul ketika sistem informa tidak lagi
mencukupi dalam memelihara kepatuhan anggota terhadap normanorma yang dianut, dan dicirikan dengan adanya badan yang khusus
dan teknik-teknik yang standar.
3. Formal social control menyatu dengan lembaga-lembaga dalam
masyarakat dan dicirikan dengan adanya cara/prosedur yang secara
eksplisit mapan serta dilaksanakan oleh badan yang diberikan
kewenangan untuk melaksanakannya, dengan demikian formal social
control dilaksanakan oleh orang-orang yang menduduki posisi dalam
lembaga tersebut
4. Dengan menyatunya formal social control pada lembaga sosial, maka
lembaga sosial dijalankan untuk menjamin terjadinya kepatuhan dalam
membangun perilaku dan mengandung cara-cara yang mapan untuk
mengamankan kepentingan-kepentingan manusia.
5. Hukum dibuat oleh badan legislator dan dimodefikasi melalui putusan
pengadilan,dengan menetapkan kejahatan dan perilaku jahat dan
menjatuhkan sanksi tertentu terhadap pelanggaran.
6. Kata legislasi digunakan untuk menggambarkan suatu proses yang
denganmana norma-norma berubah dari tingkat sosial menjadi tingkat
hukum.
7. Tidak semua norma sosial menjadi hukum. Dalam kenyataannya,
hanya norma-norma tertentu yang dapat diterjemahkan menjadi norma
hukum
Namun, sebaliknya informal social control atau bisa disebut sistem hukum
informal adalah suatu pengendalian yang dilakukan tidak berdasarkan aturan
hukum yang tertulis, contoh nya adalah adat istiadat, pendidikan. Informal
sosial kontrol dicirikan dengan berbagai hal, diantaranya adalah:
1. Sistem hukum ini efektif dilakukan pada masyarakat yang anggotanya
saling mengenal, akrab, dan interaksi antar warganya sangat tinggi,
dan solidaritas antar warga juga tinggi, sistem pembagian kerjanya
relatif sederhana.
2. Dalam masyarakat seperti ini, bentuk hukumnya biasanya tidak tertulis,
mengutamakan pengajaran norma-norma kepada anak-anak yang
bersifat langsung, tidak bersifat kontradiktif yang dapat menimbulkan
kebingungan atau inner conflict
3. Bentuk dari pelanggaran terhadap informal social control adalah
pengasingan, dikucilkan oleh lingkungan dan tekanan dari masyarakat
sekitar nya.
4. Penggunaan communities law inforcement agents dapat bekerja
dengan lebih baik, biasanya agen tersebut dalam masyarakat kita
dikenal sebagai kepala adat atau suku
Dalam kasus ini sistem hukum yang digunakan oleh masyarakat setempat
adalah sangat berpegang teguh pada informal social control, yang menurut
mereka sistem pembagian warisan dengan paham patrilineal adalah solusi
yang terbaik untuk menentukan solusi dari sengketa kasus Ny. JFMN. Namun
tidak demikian dengan keputusan hakim yang mengabulkan kasasi dari Ny.
JFMN dan berpendapat bahwa ketidaksamaan antara wanita dan pria sudah
tidak tepat lagi untuk di pertahankan di era modern ini. Apalagi putusan
mahkamah agung ini juga mengacu pada yurisprudensi putusan Mahkamah
Agung sebelumnya No. 179 K/Sip/1961. Yurisprudensi atau putusan
pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan
hukum yang mengikat pihak-pihak bersangkutan. 3Jadi dalam kasus ini
putusan pengadilan hanya mengikat pihak yang bersengketa, walaupun
nantinya pada masa yang akan datang jika terjadi kasus serupa, putusan ini
dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, karena antara
putusan yang satu dengan yang lainnya tidak boleh bertentangan dan harus
3
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta,2005), h. 179
sejalan dengan undang-undang yang sudah ada. Putusan tersebut adalah
hukum.
Sehingga
wajib
dijalankan
oleh
pihak-pihak
tergugat
untuk
menjalankan apa yang sudah diadili oleh pengadilan tersebut.
Putusan MA No 179 K/Sip/1961 adalah tentang persengketaan perdata
yang terjadi di sumatera utara pada masyarakat atau suku batak karo, yang
memiliki paham atau adat istiadat tidak jauh berbeda dengan adat istiadat
pada kecamatan Rote Barat, Kupang. Sistem yang dianut adalah patrilineal.
Inti tujuan dari feminist jurisprudence adalah menunjukan kesejahteraan
umum, ia harus mampu mengakomodasi perubahan sosial dan perbedan
budaya
lebih
baik
dari
struktur
yang
sekarang
dan
tradisi
yang
memungkinkan.4
Hukum
pada
dasarnya
memiliki
sejumlah
keterbatasan
untuk
merealisasikan nilai-nilai sosial, bahwa hukum -(baik pembentukan aturan,
maupun substansinya) sangat bersifat phallocentris (yaitu lebih memihak
kepentingan laki-laki), sehingga hukum berjalan untuk kepentingan status
quo. Feminisme dalam hukum juga menolak bagaimana posisi wanita
senantiasa dimarjinalkan dalam perjanjian, pekerjaan dan berbagai kehidupan
sosial, kaum feminis melihat bahwa sekalipun para wanita telah berusaha
untuk memperbaiki masa depannya namun tetap saja hukum selalu
dibayang-bayangi oleh ideologi-ideologi-yang lebih maskulin.
Jika dibahas lebih lanjut tentang latar belakang dari kasus ini, selain adat
istiadat suatu daerah yang menekan kan sistem patrilineal, aliran memandang
laki-laki lebih baik daripada wanita atau diskriminasi pada wanita sudah terjadi
sejak pertengahan abad ke-20. Aliran ini disebut patriarchy. Pengertian dari
aliran ini adalah suordinasi yang sistematis bahwa perempuan ada dibawah
kaum lelaki. Kaum feminist sangat menentang paham ini. Karena aliran
patriarchy merupakan cikal bakal terjadinya diskriminasi terhadap kaum
wanita yang banyak terjadi dari zaman dahulu hingga sekarang, seperti
pemerkosaan, pelecehan seksual, pekerjaan, harapan pendidikan dan
sebagainya. Dalam kasus ini pun ditunjukan bahwa anak laki-laki lebih berhak
atas sebuah warisan ketimbang perempuan, padahal asas yang dianut oleh
4
Diterjemahkan dari Patricia Smith, “Feminist Jurisprudence”, dalam A Comparison to
Philosophy of Law and Legal Theory, Dennis Patterson (Ed), (Oxford: Blackwell Publishing
Ltd., 1999), h. 302-210 dalam Erman Rajagukguk (ed.), Filsafat Hukum, (Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), h. 108
bangsa kita sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,” setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung
tinggi
hukum
dan
pemerintahan
itu
dengan
tidak
ada
pengecualiannya”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan,” setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 5
Atas dasar inilah pengadilan Mahkamah Agung mengabulkan permintaan
Ny. JFMN atas hak nya sebagai ahli waris walaupun beliau berjenis kelamin
wanita. Pada kasus ini Pengadilan Tinggi Kupang yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri rote Ndao adalah salah dalam menerapkan hukum karena
pertimbangan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut bertentangan dengan
hukum yang berlaku, yaitu pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI
No. 179 K/Sip/1961 tanggal 11 November 1961 tyang menyatakan bahwa hak
waris perempuan disamakan dengan laki-laki. Artinya, hukum adat yang tidak
sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat, seperti hukum adar
yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki akan
dihapuskan. Bila memang hukum berpegang pada keadilan maka harus
menciptakan keadilan untuk semua pihak. Tentu saja pengambilan keputusan
seharusnya tidak memandang suku, ras, agama, dan jenis kelamin.
Walaupun pada kenyataannya masih banyak diskriminasi terhadap wanita
terjadi, terutama pada kota-kota kecil atau pedesaan di negara kita.
D. Kesimpulan
Sesuai dengan Pasal 7 dan 8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
sedunia (DUHAM) bahwa semua orang memiliki hak yang sama di hadapan
hukum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi serta setiap
orang berhak atas penyelesaian masalah yang mereka hadapi di hadapan
pengadilan. Akses terhadap keadilan berfokus pada dua hal yakni upaya
setiap orang untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak mereka dan atau
untuk penyelesaian setiap masalah hukum yang mereka hadapi dengan
5
Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
syarat bahwa sistem keadilan dapat diakses dan dapat memberikan keadilan
bagi setiap orang.6
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa sesungguhnya hukum dan
keadilan bukan diperuntukan hanya untuk kaum adam saja namun juga untuk
semua lapisan masyarakat, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, kaya
atau miskin. Namun, pada masyarakat Indonesia yang sangat bervariasi dan
sangat heterogen, hal ini masih sulit untuk diterapkan. Terutama karena
sebagian besar masyarakat kita masih berpegang pada hukum adat dan
menggunakan sistem hukum yang informal sebagai landasan mereka untuk
berprilaku, sehingga terdapat pengabaian terhadap hukum-hukum yang
sudah terkodefikasi atau tertuang dalam undang-undang. Terutama bagi
beberapa daerah yang masih berada di pedalaman dan masih belum modern,
laki-laki masih dianggap superior ketimbang wanita, sehingga tidak terdapat
persamaan hak yang di dapat oleh kaum wanita dan kaum pria. Hal ini
berlaku juga pada kasus ini, paham patrilineal yang kuat sebagai bagian dari
hukum adat daerah setempat, membuat Ny. JFMN harus berjuang keras
untuk mendapat pengakuan dan mendapatkan hak nya sebagai ahli waris
yang sah hanya karena beliau berjenis kelamin wanita.
‘Akses perempuan ke keadilan’ memiliki beberapa tantangan dan
kekhususan. Kekhususan bagi perempuan korban dalam mengakses
keadilan karena pada seluruh lini upaya perempuan dalam mengakses
keadilan, perempuan korban mengalami berbagai bentuk diskriminasi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menetapkan Rekomendasi
Umum No.19 pada tahun 1992 mengenai definisi kekerasan berbasis gender
yang kemudian menjadi ‘cetak biru’ dari CEDAW atau Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Dengan demikian, segala bentuk kekerasan berbasis gender merupakan
“Akses Perempuan terhadap Keadilan: Mekanisme Hukum dan
Keadilan, Peranan PEndamping, dan Rasa Keadilan Korban” dalam
Akses Keadilan Perempuan,
http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php
?option=com_content&view=article&id=82:akses-perempuanterhadap-keadilan-mekanisme-hukum-dan-keadilan-perananpendamping-dan-rasa-keadilan-korban&catid=41:tulisan-lain.
%20dalam (diakses pada 23 Desember 2013)
6
bentuk diskriminasi terhadap perempuan.7 Seperti dikutip dari sebuah
makalah yang berjudul Sexuality and Human Rights: Discussion Paper,
sebagai berikut:8
“In
conclusion,
any
effort
to
clarify
and
deepen
conceptual
understanding of sexual rights as human rights is a deeply political
project. It is political both because of the importance and sensitivity of
sexuality and sexual issues, and because this work will help to refashion
the relationship between individuals and the state. As noted above, the
state is not the only or even the main actor with regard to sexual rights.
Nevertheless, where the focus is on formal rights, and on formal law, the
state is an essential actor in policy terms, even if the larger
understanding is that sexuality takes shape at the intersection of many
different social, inter- and intra-personal systems”
Artinya, dalam pelaksanaannya penghapusan terhadap diksriminasi wanita
memang harus diakomodasi oleh peraturan tertulis yang menganggap
perbuatan ini sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum. Pemerintah
harus ikut berperan serta untuk membuat masyarakatnya beralih dari pola
pikir bahwa laki-laki lebih berhak daripada wanita. Semua itu lah yang
diperjuangkan oleh kaum feminist dan merupakan inti dari teori Feminist
Jurisprudence.
“Akses Perempuan terhadap Keadilan: Mekanisme Hukum dan
Keadilan, Peranan PEndamping, dan Rasa Keadilan Korban”, Op.
Cit
8
International Council on Human Rights “Sexuality and Human
Rights: Discussion Paper” 2009, h.46
7