Game Internet dan Adiksi, Kontrol Dirikah Solusinya? - repository civitas UGM

  PSIKOLOGI UNTUK INDONESIA TANGGUH DAN BAHAGIA Editor Neila Ramdhani, Supra Wimbarti, Yuli Fajar Susetyo Reader & Korektor Haryanta, Indrayanti, S. Fauzi, Netti Ermawati, Umi Nurjanah Desain sampul Pram’s & Nevi Ayu Envirani Tata letak isi Junaedi Diterbitkan dan dicetak oleh Gadjah Mada University Press

  1601004-B8E Redaksi Jl. Grafika No. 1, Bulaksumur Yogyakarta, 55281 Telp./Fax.: (0274) 561037 www.gmup.ugm.ac.id | gmupress@ugm.ac.id Cetakan pertama: Januari 2016 Cetakan Kedua: Maret 2016 2159.37.03.16 Hak Penerbitan @ 2016 Gadjah Mada University Press

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit,

sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, photoprint, microfilm, dan sebagainya. Puji syukur patut dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas suksesnya buku yang berjudul Psikologi untuk Indonesia Tangguh dan

  Bahagia

  ini diselesaikan oleh para penulis. Buku ini terbit sebagai salah satu penanda ulang tahun (Dies) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ke-51 yang jatuh pada tanggal 8 Januari 2016. Penerbitan buku ini juga merupakan penerusan kebiasaan ilmiah dari fakultas untuk berbagi pengetahuan psikologi serta usaha pemutakhiran pemikiran dari para dosen. Mengapa dianggap demikian, karena proses penulisan yang terjadi telah melewati suatu pengeditan isi, tata tulis, maupun layout buku yang tidak saja dilakukan oleh Tim Editor yang terdiri dari Neila Ramdhani, Yuli Fajar Susetyo, dan Supra Wimbarti, akan tetapi juga masukan dari semua penulis yang berkontribusi dalam buku ini.

  Pembagian bab dalam buku ini sudah diusahakan sifatnya topikal berdasarkan isi dari setiap tulisan yang masuk. Diawali dengan tantangan yang terjadi di Indonesia saat ini, diteruskan pada bab-bab lanjutan pemikiran tentang pemecahan masalah yang ditawarkan oleh para pakar di bidangnya. Tujuan akhirnya adalah Indonesia yang tangguh dan bahagia. Penulis adalah para peneliti dan pakar dalam bidang masing-masing yang penemuan dan pemikirannya tertuang dalam setiap bab. Selain karya ilmiah yang terdiri atas empat bagian, penyelesaian buku ini yang memakan waktu relatif singkat adalah prestasi besar dalam kerja tim dan sinkronisasi pemikiran dari banyak peneliti yang biasanya bekerja sendiri-sendiri. Dengan diterbitkannya banyak pemikiran dalam satu buku, para penulis sendiri saling belajar dan mengetahui perkembangan Psikologi dalam berbagai bidang.

  Penulisan buku ini bukan yang terakhir, seperti disitir dalam berbagai bab, banyak hasil penelitian yang belum sempat dimasukkan dalam buku sekarang ini. Harapan saya sebagai Dekan, buku ini adalah pemicu bagi calon penulis lain untuk menerbitkan buku baik bersama maupun sendiri-sendiri, sebelum Dies Fakultas Psikologi UGM yang ke-52 menjelang. Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua penulis, editor, layouters, dan staf pendukung yang telah bekerja keras untuk penerbitan buku ini.

  Jaya, Jaya, Jayalah Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada...

  Salam, Supra Wimbarti, M.Sc, Ph.D. Dekan

PENGANTAR EDITOR

  Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu ibadah seorang anak manusia yang tak pernah lekang karena panas dan tak lapuk kena hujan. Apalagi jika ilmu itu dituturkan secara runtut melalui rangkaian kata menjadi sebuah buku yang diterbitkan. Buku itu akan menjadi salah satu warisan yang dapat diturunkan kepada anak cucu dan ilmunya akan abadi karena terus menerus dimanfaatkan oleh pembacanya.

  Buku ini merupakan buku pertama dari Seri Psikologi untuk Indonesia yang akan berisi buah pikiran dari insan psikologi dari Universitas Gadjah Mada. Berbagai topik dan berbagai sudut pandang yang disajikan tak mengurangi makna dari ilmu yang disebarkan. Keberagaman dipayungi oleh sebuah konsep yang terarah untuk menambah sumbangan Psikologi untuk Indonesia tangguh dan bahagia. Seri pertama ini berjudul Psikologi untuk Indonesia Tangguh dan Bahagia.

  Bagian pertama dari buku ini memuat ‘Mozaik Kehidupan Generasi Penerus Bangsa’, yang terdiri dari tiga tulisan lepas namun bermuara sama, memotret kondisi hangat dan kekinian. Problem klasik namun hingga kini masih tak berujung solusi, prestasi belajar matematika putra-putri bangsa di mata dunia. Jika selama ini solusi diharapkan terjadi manakala siswa cerdas dididik guru kompeten, tulisan ini menawarkan telaah baru dalam psikologi pendidikan yaitu neurokognitif matematika. Disamping prestasi belajar, bagian pertama dari buku ini juga mengusung tema cita-cita menjadikan siswa sejahtera. Tema ini diharapkan melengkapi usulan untuk menemukan modal yang terletak di dalam otak manusia. Apabila kedua modal ini dikenal- kembangkan sejak dini maka upaya menemukan penyubur prestasi dapat lebih mudah dilakukan, termasuk di dalamnya mengasah dan menumbuhkan fungsi eksekutif di dalam otak manusia. Di sisi lain, generasi masa kini dan masa depan dihadapkan dengan tantangan lingkungan yang dapat mempercepat mencapai prestasi dan kemajuan. Namun, di sisi lain faktor lingkungan tersebut justru dapat menghancurkan potensi dan kekuatan untuk berprestasi. Ancaman game internet, sebagai satu contoh bentuk kecanduan yang berakibat negatif di antara kecanduan lainnya. Kontrol diri yang tumbuh kuat dapat menjadi tameng dari berbagai godaan sebagai dampak dari perkembangan teknologi yang berubah cepat.

  Bagian kedua dari buku ini mempersiapkan fondasi dalam ‘Membangun Pribadi Tangguh’. Istilah yang sering diucapkan namun kadang luput dalam memaknainya. Oleh karena itu sangat layak jika dua judul tulisan di bagian ini mengupas tuntas tentang tangguh, konsep kepribadian tangguh dan kecakapan psikologis mengawali bagian kedua dari buku ini. Konsep tangguh menjadi lebih menarik dipaparkan di sini karena tidak hanya menyantumkan pendapat para pakar namun juga diskusi antara konsep yang sudah mapan dengan pemahaman masyarakat tentang ketangguhan di Indonesia. Pembinaan ketangguhan mental atlet sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Penurunan prestasi Atlet Indonesia di sebuah cabang olah raga telah menimbulkan kegoncangan yang berlarut-larut. Fakta ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia merindukan kejayaan di bidang olah raga. Bagian ini ditutup dengan usulan untuk membangun kesejahteraan (well being) karyawan melalui tata kelola sumber daya manusia. Perhatian terhadap kesejahteraan karyawan menandakan sebuah transformasi kemanusiaan yang menjunjung tinggi dan menghargai karyawan sebagai manusia yang utuh.

  Bagian ketiga dari buku ini lebih fokus ke upaya intervensi yang saat ini sebetulnya sudah dilakukan di berbagai bidang psikologi. Perluasan jangkauan layanan psikologi yang selama dekade terakhir menjadi fokus perjuangan yang berorientasi menjadikan psikologi sebagai ilmu yang bersama masyarakat, memahami dan membangun masyarakat. Salah satunya yaitu memperkuat posisi psikolog klinis di pusat layanan kesehatan primer. Puskesmas telah menjadi pintu gerbang dari meluasnya pemahaman masyarakat akan jasa layanan yang dapat ditawarkan psikologi. Tentu saja hal ini dapat dilakukan termasuk bagi pasien kronis misalnya diabetes dan tekanan darah tinggi.

  Bagian pengunci buku ini diharapkan dapat memantapkan dan menguatkan profesi psikologi baik secara institusi maupun layanan masyarakat yang bersifat personal. Pendidikan profesi yang baik dan kualitas lulusan istimewa, tak akan memberikan dampak meluas tanpa didukung organisasi profesi yang kuat yang mampu memayungi warganya dalam rangka memberikan layanan profesionalnya.

  Buku yang merupakan wujud dari upaya membangun kesadaran kolektif akan pentingnya penyebarluasan ilmu psikologi ke masyarakat. Serangkaian proses panjang dan penuh komitmen dilakukan semua pihak. Untuk itu tim editor menyampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Psikologi UGM beserta para wakilnya yang telah memfasilitasi sehingga proses tersebut akhirnya berbuah manis. Kepada semua kontributor naskah, tim editor ‘angkat topi’ atas kerja keras pada saat menulis naskah ini, yang dilakukan di sela-sela berbagai tugas sebagai dosen di Fakultas Psikologi UGM. Terima kasih juga kami sampaikan kepada tim Unit Pengembangan Penelitian, Publikasi dan Pengabdian kepada Masyarakat (UP4) yang telah bekerja keras di sela-sela kesibukan menerbitkan Jurnal dan mengelola aktivitas penelitian dosen. Mereka adalah Pak Syahrul Fauzi, mbak Netti Ermawati, mbak Umi Nurjanah, dan Susanti. Tim administrasi keuangan di bawah komando Ibu Dasi Hernawati yang mengupayakan agar buku ini dapat terwujud. Tentu saja yang utama dan teramat penting, tim editor menyampaikan terima kasih kepada para suami, isteri, dan anak-anak kami tercinta yang selama sebulan terakhir telah tanpa sengaja seakan ‘terabaikan’. Semoga tulisan-tulisan pada buku ini mampu menjadi sebuah oase penyegar di tengah haus dahaga kajian kritis psikologi selama ini. Hal ini sesungguhnya menjadi salah satu cita-cita utama Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, yakni berupaya meningkatkan dinamika perkembangan psikologi di Indonesia dengan berasas manfaat.

  Akhirnya kami mengucapkan ‘Selamat Membaca dan Menyimak’ tulisan-tulisan yang diluncurkan bertepatan dengan peringatan Dies Natalis Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada yang ke-51 tahun 2016 ini. Semoga bermanfaat.

  Yogyakarta, 8 Januari 2016

  Editor

  Neila Ramdhani Supra Wimbarti Yuli Fajar Susetyo

DAFTAR ISI

  KATA PENGANTAR ..................................................................................... v PENGANTAR EDITOR ................................................................................ vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi

  BAGIAN 1 MOZAIK KEHIDUPAN GENERASI PENERUS BANGSA

  1 Neuropsikologi Kognitif Matematika: Akankah menjadi Solusi Prestasi Belajar Matematika? ......................................... 3 Supra Wimbarti Siswa Sejahtera: antara Mimpi dan Realita .............................. 22 Yuli Fajar Susetyo Game Internet dan Adiksi, Kontrol Dirikah Solusinya? ........ 46 Neila Ramdhani

  BAGIAN 2 MEMBANGUN PRIBADI TANGGUH ................................. 67 Manusia Indonesia yang Tangguh ............................................ 69 Avin Fadilla Helmi Pengembangan Kecakapan Psikologis...................................... 86 M. Noor Rochman Hadjam Membangun Ketangguhan Mental Atlet ................................. 100 Haryanta Pengelolaan Sumber Daya Manusia Penunjang Well-Being Karyawan...................................................................................... 123 Indrayanti BAGIAN 3 MENJAWAB TANTANGAN INDONESIA SEHAT DAN BAHAGIA .................................................................................... 143 Psikolog Puskesmas: Kebutuhan dan Tantangan .................... 145 Sofia Retnowati Psikologi Kesehatan dalam Manajemen Penyakit Kronik: Refleksi Kasus Diabetes .............................................................. 162 Nida Ul Hasanat Regulasi Emosi yang Menyehatkan .......................................... 176 Esti Hayu Purnamaningsih Memperkokoh Kelembagaan Profesi Psikologi ...................... 191 Retno Suhapti

  BAGIAN 4 . ...................................................................................................... 191 GLOSARIUM .................................................................................................. 205 INDEKS . ...................................................................................................... 211 TENTANG PENULIS .................................................................................... 215

  

Game Internet dan Adiksi,

Kontrol Dirikah Solusinya?

Neila Ramdhani

Malam bunda..

  mau curhat nii.. sedang galau berat, kesel, bete banget suamiku kecanduan game online... sampe aku kurang di perhatiin.. lagi sakit juga cuek otaknya trus ke game.. gamee melulu yg diperhatiin.. istrinya gak.. aku bingung bund harus gimana.. udah gitu ngerokoknya kuat banget bunda.. jadi stress ngliatnya.. Sumber: ibuhamil.com (16 April 2015)

  Pengantar

  Bermain game apalagi game internet memang mengasyikkan. Ragam aktivitas diperoleh ketika berada di lingkungan virtual umumnya memberi pengalaman petualang, kompetisi, hadiah merupakan penarik dari sebuah game. Dalam game internet, pemain bahkan dapat membangun relasi dengan rekan dari berbagai antero dunia. Lebih dari itu, kompetisi yang dilakukan di dalam bermain game internet menawarkan hadiah yang menggiurkan, baik berupa uang, kenaikan level, maupun pengakuan dari rekan sesama pemain game internet. Berbagai pengalaman yang umumnya bersifat emosional diperoleh seorang pemain game internet ketika berinteraksi dengan rekan bermainnya. Mereka saling mendukung sekaligus berkompetisi, mereka saling terbuka walau mereka juga mempunyai kewenangan untuk memilih informasi mana yang akan dibagikan kepada siapa.

  ‘Dunia ada di ujung jemari’ begitulah fakta yang dialami seorang pengguna internet khususnya pemain game. Selama bermain, mereka seakan mempunyai keleluasaan dalam mengonstruksi karakter rekan-rekan yang bermain dengannya sesuai dengan yang mereka inginkan. Pada saat ini karakter itu masuk ke dalam kehidupan intrapsikis mereka sehingga mereka mengonstruk rekan bermainnya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dalam keadaan seperti ini, para pemain game internet memperoleh rasa nyaman karena mereka terbebas dari kewajiban sosial, termasuk berinteraksi dengan istri yang sedang sakit, dan mereka terbebas dari penilaian sosial yang selama ini mereka rasakan. Ketika para pemain berada di dalam lingkungan permainannya, mereka melakukan apa yang sebetulnya tidak mereka setujui seperti misalnya mengabaikan istri yang sedang sakit. Pada saat berada dalam lingkungan permainannya, mereka seakan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri sehingga melakukan hanya yang mereka inginkan saat itu yaitu bermain game internet.

  

Gambar 7. Curahan hati seorang anak usia 6 tahun

Sumber: Facebook.com (4 Desember 2015) Gambar 7 memuat curahan hati seorang anak berusia enam tahun yang menyaksikan ayahnya berang ketika diingatkan oleh ibunya karena terlalu banyak menghabiskan waktu bermain game Clash of Clan, yang banyak dikenal dengan COC (baca=se-o-se). Sosial media banyak memberitakan betapa COC ini membius para lelaki pemain game internet sehingga tega menghindar dari tanggung jawab terhadap keluarganya. Tulisan ini tidak akan membahas tentang ragam game internet namun lebih ke proses psikologis yang dialami oleh seorang pemain game internet sehingga mengalami adiksi. Di bagian akhir dari tulisan ini akan diajukan beberapa usulan yang mugkin perlu ditanamkan kepada para generasi muda agar lebih mampu melakukan kontrol terhadap pilihan mereka sendiri.

  Internet, Akhir atau Awal dari suatu Permasalahan? Teknologi diciptakan untuk memecahkan permasalahan hidup manusia.

  Dari hari ke hari, permasalahan manusia semakin kompleks sementara para penemu dan pencipta terus bekerja mencari, menemukan, dan mencari. Satu permasalahan terpecahkan sementara permasalahan baru bermunculan. ‘Bak jamur di musim hujan, mati satu tumbuh seribu’. Akankah semua permasalahan dapat terselesaikan?

  Ternyata pemecahan atas satu permasalahan dapat menjadi pemicu permasalahan baru. Jika dahulu, manusia harus bertemu muka baru dapat berkomunikasi, sekarang telepon apalagi internet telah menjadi solusi. Teknologi internet telah mampu mengatasi permasalahan yang selama ini terkendala waktu, jarak, dan tempat. Jika dahulu seorang karyawan harus memeriksa berlembar-lembar laporan keuangan sekarang laporan itu dapat disimpan hanya dengan benda sebesar ujung kuku yang bernama flashdisk. Jika dahulu anak, remaja, bahkan orang tua membutuhkan medan atau lapangan bermain yang luas, sekarang dengan semakin sempitnya lahan arena permainan itu telah berubah menjadi satu kotak bernama monitor, inilah generasi digital (Tapscott, 2008; Gasser & Palfrey, 2008).

  Generasi digital menggunakan internet untuk hampir semua aktivitasnya. Ini juga yang membuat Don Tapscott 2008 mengatakan bahwa for many kids, using the new technology is as natural as breathing (halaman 18), mereka hidup dan bernafas dengan teknologi. Internet memberikan energi bagi kehidupan mereka yang seakan menentukan apakah kehidupan manusia dapat atau tidak dapat berjalan dengan baik. Seorang atasan sempat berseloroh pada saat menyaksikan stafnya yang masih muda gelisah berada di kantor karena telepon genggamnya tertinggal di rumah. ‘Kau tetap dapat bekerja pada saat lupa tak bawa dompet tetapi pikiran tidak bisa fokus jika telepon genggam tertinggal di rumah’. Begitu kuatnya pengaruh internet di dalam kehidupan manusia. Tidak hanya bagi kehidupan formal kedinasan tetapi juga sudah merambah ke dalam kehidupan sehari-hari, baik bagi orang dewasa, remaja, maupun anak- anak. Jika pada awalnya, orang dewasa menggunakan TIK untuk bekerja, bersosialisasi, hingga berbelanja. Remaja dan anak-anakpun menggunakan TIK untuk keperluan yang relatif sama. Tak pelak pola hidup di kantor, sekolah, dan di rumahpun berubah. Selain mengubah cara manusia menjalani hidup, internet juga mengubah perilaku manusia dalam kehidupan sosial. Beberapa contoh, komunikasi antara suami istri yang dilakukan dengan telepon genggam dengan menggunakan pesan singkat (sms), WhatsApp (WA), maupun email. Saling menanyakan kabar setelah menempuh perjalanan ke tempat tugas sampai kepada diskusi penting yang membutuhkan pengambilan keputusan. Seorang anak yang tinggal terpisah dengan orang tuanya sudah lebih mudah berkomunikasi melalui pesan ini. Orang tua dapat dengan mudah mengirimkan uang biaya hidup bagi putra-putrinya yang hidup terpisah karena sekolah di kota lain. Belanja dan menonton hiburan dapat dilakukan dengan internet. Bahkan akhir-akhir ini, dengan diluncurkannya aplikasi yang dapat memenuhi kebutuhan transportasi dengan GOjeg, pesan antar makanan dengan Go-Food, dan layanan lain yang membuat hidup terasa lebih mudah.

  Di dalam situasi pendidikan, guru dapat dengan mudah mencari informasi untuk memperkaya bahan ajar karena dapat melakukannya melalui internet. Jutaan buku elektronik, artikel, dan bahkan tayangan Power Point tersedia dan dapat diunduh dengan mudah. Guru juga dapat mengunggah bahan ajar yang ditugaskannya kepada siswa. Komunikasi terkait kegiatan pendidikan dapat dilakukan guru melalui internet, memberi pengumuman tentang rencana kegiatan belajar, diskusi tentang ide-ide cemerlang untuk karya ilmiah remaja, bahkan pada level perguruan tinggi diskusi tentang rencana pengembangan karir mahasiswa. (Maha)siswa sudah tidak perlu harus pergi ke perpustakaan untuk meminjam atau membaca buku, majalah, atau surat kabar sebagai bahan mengerjakan tugas-tugas sekolah karena buku elektronik memungkinkan setiap orang membaca dari mana saja ia berada.

  Di bidang pekerjaan, komunikasi antar karyawan terkait koordinasi berbagai aktivitas menjadi lebih mudah dan singkat. Pendelegasian tugas dapat dilakukan tanpa harus menunggu jam kerja rutin. Di kalangan akademisi, internet dimanfaatkan tidak hanya untuk mengunduh materi tetapi juga berkolaborasi dalam hal riset bahkan penulisan buku bersama. Berbagai fasilitas ini tentu akan sangat memudahkan, apalagi pada saat teknologi internet menjadi semakin stabil dan mencakup area yang lebih luas yang didukung oleh perangkat canggih, kecil, ringan, dan mudah digunakan.

  Survei yang dilakukan oleh Kemenkominfo pada tahun 2014 melaporkan bahwa lebih dari 30 juta anak di Indonesia menggunakan internet. Survei tersebut lebih lanjut melaporkan bahwa anak menggunakan internet untuk mencari informasi berkaitan tugas sekolah, chat berkomunikasi dengan teman-temannya, dan aktivitas hiburan. Di sini, internet telah membawa manusia ke akhir dari permasalahan terkait tingginya beban kerja, jarak, waktu, dan lokasi geografis. Manfaat dalam bentuk percepatan pertambahan pengetahuan, hubungan sosial yang dapat dijalin lintas benua merupakan salah satu keunggulan kompetitif dari internet.

  Apakah internet betul-betul menguntungkan? ‘Bak pisau bermata dua’, jika tidak digunakan secara konstruktif maka internet dapat mengubah manfaat menjadi bumerang. Di akhir pekan, sering kali dijumpai sebuah keluarga menghabiskan waktu dengan makan bersama di sebuah restoran. ‘Mumpung akhir pekan’, begitulah mereka mengatakan. Apa yang terjadi tidaklah sesuai dengan tujuan mereka untuk menghabiskan waktu dengan kebersamaan karena masing-masing secara tidak sadar segera mengeluarkan telepon genggam masing-masing setelah menyelesaikan pemesanan makanan. Masing-masing anggota keluarga itu berada di satu meja namun pada saat yang sama mereka mulai hanyut dengan kehidupannya masing-masing. Sebuah pameo yang sangat popular beberapa tahun belakangan ‘internet mendekatkan yang jauh namun juga menjauhkan yang dekat’. Internet telah menyelesaikan permasalahan yang timbul sebagai akibat dua orang atau lebih terpisah oleh membuat jarak ratusan bahkan ribuan kilometer. Internet mengakhiri permasalahan seseorang yang berjauhan namun merupakan awal dari masalah baru yaitu menjauhkan yang sedang berdekatan. Apa yang terjadi jika pasangan suami istri yang hidup serumah lebih senang memanfaatkan teknologi untuk berkomunikasi? Apa akibatnya jika suami lebih senang menghabiskan waktu dengan game internet daripada bercengkerama dengan anak istrinya? Apa yang terjadi tatkala seorang siswa setiap hari melarikan diri dari sekolah dan menghabiskan jam belajarnya di Game Center?

  Game Internet, Hiburan yang Memabukkan

  Tahun 80-an merupakan titik awal dikenalnya game komputer. Permainan yang dikemas dengan grafis sederhana berupa objek yang dapat bergeser dari satu titik ke titik lain membuat pemainnya asik tanpa terasa sudah menghabiskan waktu lebih dari yang direncanakan. Di era internet, aplikasi permainanpun dikembangkan menjadi game internet sehingga memungkinkan pemainnya terhubung dengan pemain yang lain di tempat yang berbeda (Griffiths, Davies, & Chappell, 2004).

  Game internet adalah permainan yang memungkinkan penggunanya untuk mencari teman bermain sekaligus pesaing dalam permainan Stand Alone Games (SAGs). Jenis permainan lain adalah yang memungkinkan komputer yang digunakan oleh para pemain saling terhubung satu sama lain sehingga memungkinkan mereka bermain bersama-sama sebagai sebuah tim yang disebut dengan Local Area Network Games atau LANs. Saat ini, game internet yang paling terkenal adalah permainan yang memungkinkan para pemain mengeksplorasi, lebih detail, atau lingkungan yang berkembang melalui suatu game server yang disebut dengan Massively Multiplayer Online Role-Playing Games (MMORPGs).

  Popularitas MMORPGs memuncak dengan peningkatan jumlah sebesar 500% bagi keanggotaan online seperti dalam World of Warcraft dan Everquest pada periode 2004 hingga 2007 (Cole & Griffiths, 2007). Peningkatan popularitas dari game terjadi karena sifatnya yang anonymus tanpa menghalangi pemain untuk berinteraksi langsung. Para pemain MMORPGs tergabung di dalam sebuah komunitas sehingga dapat membawa hubungan virtual dalam sebuah komunitas online yang terorganisir yang memiliki daya tarik yang tinggi terutama bagi pencari stimulasi sosial (Taylor, 2003). Mereka membangun organisasi virtual berdasarkan saling percaya, tujuan, ketertarikan, atau berbagai faktor lainnya (Yee, 2007). Dalam lingkungan vitual yang anonim, individu terbebas dari kekhawatiran dinilai oleh individu yang lain. Fitur yang membedakan individu satu dengan yang lainnya seperti fisik yang menarik, kelas sosial ekonomi, tingkat pendidikan, level sosial, atau faktor personal lainnya menjadi tidak berarti dalam game internet (Griffiths, Davies, & Chappell, 2004).

  Karakteristik lain dari permainan game internet ini adalah kebebasan pemain untuk menciptakan karakter mereka sendiri dari awal dan mengkustomisasi karakter tersebut berdasarkan keinginan mereka. ‘You can always get what you want’, itulah yang dikemukakan oleh Clark dan Scott (2009) dalam salah satu chapter bukunya. Kalimat itu digunakan Clark dan Scott untuk menggambarkan kewenangan pemain game internet untuk membangun karakter yang diinginkan. Pada saat bermain game internet, pemain seakan masuk ke dalam lingkungan yang ada dalam pikiran mereka sendiri. Pikiran mereka seakan menyatu (merged) dengan rekan bermain yang dapat saja berada di seberang benua.

  Suasana emosi yang dialami ayah yang adiksi terhadap COC yang dipaparkan di awal tulisan ini dapat dijadikan gambaran betapa pemain game internet sudah melebur di dalam permainan. Ia berada di dalam sebuah kerajaan, membangun cita-citanya dengan upayanya sendiri. Suasana semakin menegangkan ketika ia harus perang melawan kerajaan lain. Permainan akan semakin menggairahkan apabila mereka bermain dalam tim, bekerjasama melawan musuh kemudian berhasil memenangkan peperangan. Hadiahnya berupa coins, diamonds, dan elixir, yang dapat digunakan untuk belanja bahan- bahan bangunan bagi kerajaan yang mereka bangun sesuai dengan mereka harapkan.

  Kebebasan seperti ini membuat pemain game internet merasa mendapatkan hak atas hidup mereka yang sepenuhnya. Mereka terlepas dari kehidupan sosial yang dipersepsi menuntut untuk melakukan sesuatu yang tidak semuanya mereka sukai. Mereka berada di lingkungan sama dengan sensasi ‘we are equal’ dan ‘minimizing authority’ memberikan rasa nyaman karena tidak ada orang yang lebih berkuasa dan tidak ada orang yang menuntut perhatian darinya. Mereka dapat menentukan karakter apa yang mereka inginkan bagi diri mereka sendiri maupun karakter teman bermainnya, ‘it’s all is in my head’ sehingga pada saat bermain, tanpa disadari mereka mengonstruksi karakter teman main nya sesuai dengan yang mereka harapkan. Secara tidak disadari mereka mema sukkan karakter teman bermain ini ke kehidupan intrapsikis (solipsistic intro jection) mereka sehingga mereka merasakan kenyamanan.

  Internet yang permisif, mengizinkan penggunanya bersembunyi dengan identitas palsu atau bahkan tanpa identitas sama sekali bahkan pemain juga dapat meninggalkan permainan setiap saat bila mereka merasa tidak men- dapatkan apa yang mereka inginkan (Griffiths, Davies, & Chappell, 2004). Lingkungan seperti ini memberikan rasa nyaman bagi individu sehingga mereka meng inginkan untuk terus bermain walaupun kenyamanan ini hanya ada di dalam game internet. Perasaan senang seperti ini dapat membuat pemain game internet enggan beranjak keluar dari lingkungan game, merasa terobsesi dengan permainan game internet, bahkan menjadi lepas kontrol dan mengabaikan kewajiban lainnya.

  Disamping anonimitas dan berbagai proses yang memberikan kenyamanan tersebut, lingkungan permainan game internet penuh tantangan dan kompetisi dipadu dengan agresivitas dan stimulus hadiah. Suasana personal individu seperti ini memicu sistem limbik pada hypothalamus yang berfungsi mengatur bagaimana individu merespons suatu stimulus. Dalam keadaan ini, individu dapat mengalami penurunan rentang konsentrasi atau terganggu perhatiannya (attention deficit simptom). Apabila terjadi dalam waktu lama maka dapat memicu respons cortex adrenal yang memberikan efek menyenangkan (memabukkan) (Garland, Froelinger & Howard, 2014).

  Game Internet dan Adiksi

  Adiksi atau kecanduan didefinisikan sebagai keterlibatan seseorang ke dalam perilaku yang dapat memberikan rasa senang dan nyaman sekaligus juga perasaan tidak senang dan menyesal (Clark & Scott, 2009). Pada awalnya, adiksi dikaitkan dengan penggunaan yang berlebihan dari obat-obatan dan alkohol (substance abuse). Dengan berkembangnya kehidupan manusia, muncul permasalahan baru terkait dengan perilaku tertentu yang berlebihan, misalnya judi, pornografi, dan internet.

  Adiksi sangat terkait dengan budaya dan perkembangan tata kehidupan manusia. Dalam buku yang berjudul ‘Game Addiction’, McMurran (2005) menceritakan bahwa adiksi dapat ditinjau dari dua model, yaitu model moral

  (morale model) dan model penyakit (disease model). Model moral mengacu kepada diterima atau tidak diterimanya suatu perilaku tertentu, misalnya minuman beralkohol di negara berbudaya barat lazim disajikan untuk diminum bersama tetapi di negara lain misalnya di Indonesia minuman beralkohol bahkan dilarang dipasarkan secara bebas. Model penyakit (disease model) atau dapat juga disebut model medis, mulai digunakan pada abad ke-19 Masehi. Model ini mengaitkan perilaku dengan sebab dan akibatnya kepada fisik. Apabila suatu perilaku dilakukan tanpa ada sebab fisik maka penyebabnya adalah faktor mental.

  Penggunaan berlebihan atas obat-obatan dan alkohol adalah salah satu contoh perilaku yang pada awalnya dipandang sebagai perilaku atau kebiasaan buruk dan tidak pantas. Dengan efek yang ditimbulkannya berupa ketagihan maka perilaku ini mulai dipandang dengan menggunakan model medis. Di beberapa tempat dan kadar tertentu, obat-obatan dan alkohol diterima oleh masyarakat tetapi bila dikonsumsi dalam jangka panjang berdampak ketagihan pada tubuh dengan aktifnya bagian otak pusat sirkuit hadiah (reward circuit centre) sehingga perlu digunakan model medis. Bila ditelusuri penyebabnya, seorang menggunakan secara berlebihan obat-obatan atau alkohol mungkin tidak dapat ditemukan penyebab fisik. Oleh karena itu, adiksi dipandang sebagai perilaku yang bersumber dari hal-hal yang bersifat psikologis.

  Adiksi dalam bermain game internet menjadikan pemain game internet dan gamenya sendiri seakan melebur bersama sedemikian rupa sehingga pemain game sedikit demi sedikit mengalami perubahan proses pikir, tata nilai, dan perilaku. Ibarat senyawa yang saling pengaruh antara game dan pemainnya sehingga suasana emosi pemain game yang sedang tidak baik atau tidak senang dapat berubah menjadi baik dan senang bila ia terlibat dalam permainan game internet.

  Sebagaimana adiksi terhadap minuman dan obat-obatan, untuk mendapatkan kondisi yang menyenangkan ini, pemain game harus mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit yang seringkali tidak sebanding dengan kenikmatan yang diperoleh. Seorang yang mengalami adiksi, sebetulnya mengetahui dengan sadar hal ini dan berbagai dampak dari perilakunya. Mereka sudah berulangkali berusaha menghentikan perilaku ini tetapi gagal (McMurran, 2005).

  Disamping adiksi terhadap substansi obat-obatan, alkohol, dan rokok, adiksi dapat pula berupa perilaku, misalnya judi. Dengan berkembangnya teknologi internet, terutama pengguna game online memperlihatkan perilaku yang serupa dengan pengguna obat-obatan yang berlebihan. Kegelisahan berbagai pihak terhadap meningkatnya jumlah para pengguna yang menggunakan internet secara berlebihan sebetulnya sudah dirasakan semenjak Kimberly Young pada tahun 1998 menulis sebuah artikel yang berjudul ‘Internet Addiction: the emergence of e new clinical disorder’ di dalam CyberPsychology Behavior, 1, 237-

  244. Artikel ini memuat riset Kimberly Young yang menggunakan pedoman diagnosis DSM-IV bagi Pejudi Patologis untuk menguji tanda dan simtom klinis pada pengguna internet yang berlebihan. Semenjak itu, riset-riset yang berkaitan dengan adiksi internet bermunculan dan sangat menarik perhatian sehingga di dalam salah satu chapter-nya, DSM-V mengusulkan untuk menambahkan game Online Disorder sebagai salah satu gangguan yang perlu menjadi perhatian. Sama halnya dengan penggunaan obat dan alkohol, tidak ada masalah dengan penggunaan game internet. Perilakunya akan menjadi masalah bila berlebihan dan tak terkendali karena dapat mengganggu produktivitas sebagai manusia.

  Mengenai kecanduan ini, DSM-V mencantumkan tujuh kriteria diagnosis, yaitu:

  1. Preokupasi dengan game internet. Di sini, pemain game terus menerus memikirkan tentang permainan yang sudah ia lakukan atau mengantisipasi permainan yang akan ia lakukan. Dalam hal ini, seseorang dikatakan candu terhadap game internet bila ia menghabiskan waktu kesehariannya dengan pemikiran tentang bermain game.

  2. Adanya simptom menarik diri pada saat ia dijauhkan atau berjauhan dengan game internet. Simptom yang terlihat adalah mudah tersinggung, kecemasan, bahkan kesedihan.

  3. Toleransi diri terhadap waktu dalam bermain game yang terus menerus menurun. Hal ini berjalan berlawanan arah dengan keinginan untuk menggunakan waktu yang semakin lama, makin lama untuk bermain game internet.

  4. Kegagalan dalam berusaha untuk mengurangi keterlibatan dirinya dalam bermain game internet.

  5. Kehilangan minat terhadap hobi maupun hiburan yang selama ini disukai karena terlalu memfokuskan aktivitas kepada permainan game internet

  6. Secara berkelanjutan menggunakan game internet secara berlebihan meskipun menghadapi masalah dalam pengetahuan tentang problem psikososial.

  7. Mengelak untuk menjawab dengan jujur bahkan menipu keluarga, terapis, dan orang lain tentang jumlah waktu yang ia habiskan untuk bermain game internet.

  8. Menggunakan game internet sebagai tempat atau aktivitas pelarian.

  Hal ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang merasa ingin ‘lari’ dari permasalahan kehidupannya yang dipersepsinya membuat tak berdaya, merasa bersalah, bahkan merasa cemas.

  9. Hal-hal yang berkaitan dengan kinerja baik di sekolah, rumah tangga, maupun pekerjaan. Disamping kinerja, hubungan dengan suami atau istri dan anak-anak di dalam rumah tangga menjadi terganggu. Relasi pertemanan di dalam kehidupan sosial, sekolah, maupun pekerjaan sudah tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam menegakkan diagnosis, seorang pecandu harus memperlihatkan minimum tiga dari tujuh kriteria.

  Mengapa game internet dimasukkan ke dalam DSM-V? Beberapa peristiwa yang terjadi di awal tahun 2000-an ketika dunia digemparkan oleh berita yang memuat peristiwa nekat ketika seorang anak berkebangsaan Vietnam berusia 11 tahun mencekik wanita berusia 81 tahun sampai meninggal kemudian menguburkannya di halaman depan rumah demi mendapatkan uang yang jika dikonversikan ke rupiah sekitar 50-60 ribu saja. Ketika ditanya polisi, ia menjawab uang yang diperolehnya ia pergunakan untuk permainan video game. Berita serupa juga dikabarkan di Indonesia, misalnya di tahun 2011, ketika Wiratno (2013) menuliskan bahwa tiga orang anak dibawah umur ditangkap Polisi karena mencuri telepon genggam di sebuah counter di kawasan Karangasem Laweyan Solo. Mereka mencuri telepon genggam lantaran tidak mempunyai uang untuk biaya main game online. Pada tahun 2013, peristiwa serupa terjadi di Gresik, Jawa Timur yang melibatkan lima pemuda berusia 13-19 tahun. Mereka diringkus oleh petugas Satreskrim Polsek Manyar karena diduga mencuri tiga unit mesin diesel. Perbuatan kriminal ini dilakukan karena membutuhkan uang untuk memenuhi hobinya bermain game online (Ismanto, 2013). Lebih mencengangkan lagi bila kita simak ulang curahan hati seorang anak berusia enam tahun yang dipaparkan di awal tulisan ini. Tidak ada alasan untuk mengabaikan bunyi sirene yang terdengar semakin kencang.

  Sesungguhnya, internet sendiri tidak bersifat adiktif namun aplikasi yang ada dalam internet apabila digunakan tanpa disertai kemampuan mengontrol diri, baik dalam hal waktu maupun berbagai konsekuensinya, justru yang memiliki potensi untuk menyebabkan adiksi. Aplikasi yang melibatkan interaksi yang tinggi seperti online chatting, dating, atau game online merupakan contoh yang dapat menyebabkan penggunanya mengalami kesulitan dalam memutuskan tentang berbagai hal yang terkait dengan stimulus yang diterimanya di dalam kegiatan di internet. Contoh peristiwa pada tahun 2010 dimana Komisi Perlindungan Anak mengemukakan setidaknya ada 100 laporan anak berbuat nekat melarikan diri dari rumah hingga bunuh diri setelah ‘hanyut’ dengan kegiatan yang dilakukan di internet.

  Fenomena bermain game online mulai terlihat semenjak tahun 2001. Sejak saat itu jumlah pemain game online terus meningkat sebesar 5%-10% setiap tahunnya hingga tahun 2014, tercatat ada sekitar lebih dari 25 juta orang Indonesia bermain game online . Dari 25 juta orang ini, tidak sedikit yang kemudian menjadi kecanduan terhadap game online. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jap, Triatri, Jaya, dan Suteja (2013), 10.5 % atau sebanyak 150 orang dari total 1.477 partisipan siswa SMP dan SMA yang aktif bermain game online di empat kota di Indonesia (Manado, Medan, Pontianak, dan Yogyakarta) dinyatakan mengalami adiksi game online. Data yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait.

  Kecanduan bermain game internet tidak hanya berdampak pada aktivitas bermain itu sendiri tapi juga meningkatkan jumlah kejahatan yang dilakukan demi bermain game internet. Sudah sering kita dengar kasus anak atau remaja mencuri, melukai orang lain supaya mendapatkan uang untuk bermain game internet. Selain pencurian, pemain biasanya menjadi agresif ketika kalah bermain game atau mendapat hinaan dalam bentuk verbal oleh lawan main. Pemain mengalami kesulitan untuk membedakan dan memilih tindakan yang benar atau salah. Levy (2013) menyebut kondisi ini dengan kehilangan kontrol (loss of control), bahkan beberapa tahun sebelumnya Heyman (2009) menyebutnya dengan gangguan dalam menentukan pilihan (disorder of choice).

  Pengambilan keputusan merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kemampuan mengontrol diri atas dorongan impulsif atau untuk bertindak agresif. Uraian di atas menunjukkan bahwa perilaku-perilaku yang timbul dari penyalahgunaan internet biasanya berkaitan dengan ketidakmampuan menunda impuls sehingga individu mengalami hambatan dalam mengambil keputusan yang tepat. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa aspek dalam diri individu, dan salah satunya adalah kemampuan kontrol diri. Bahkan, aktivitas penggunaan internet yang berlebihan itupun merupakan kegagalan dalam mengontrol diri.

  Kontrol Diri dan Adiksi Game Internet Kata kontrol diri ini diterjemahkan dari self-control (Matsumoto, 2009).

  Ada berbagai definisi kontrol diri yang dikemukakan oleh para ahli, salah satu yang mudah dipahami adalah yang dikemukakan dalam tulisan Muraven dan Baumeister (2000) dan Muraven, Shmueli, dan Burkley (2006), kontrol diri ‘the overriding or inhibiting of automatic, habitual, or innate behaviors, urges, emotions, or desires that would otherwise interfere with goal directed behavior” (halaman 524). Definisi ini menekankan bahwa kontrol diri adalah upaya mengesampingkan atau menghambat reaksi otomatis, kebiasaan, atau perilaku yang dibawa sejak kecil, desakan-desakan, emosi, atau hasrat yang dapat mengganggu pencapaian tujuan utama. Kontrol diri ini dilakukan secara sungguh-sungguh termasuk dengan cara mengubah pikiran, perasaan, maupun tindakan-tindakan demi pencapaian tujuan besar dan jangka panjang.

  Untuk memberikan penjelasan yang lebih mudah dimengerti tentang kontrol diri ini penulis menggunakan cerita tentang sebuah riset yang dilakukan oleh Casey, Somerville, Gotlib, Ayduk, Franklin, Askren, dan Shoda (2011) terhadap 60 anak berusia empat tahun. Anak-anak ini ditempatkan dalam satu ruangan yang di dalamnya ada sebuah meja dengan marshmallow di atasnya. Dapat dibayangkan sebuah marshmallow (lihat Gambar 8) di hadapan seorang anak berusia empat tahun tentu sangat menggiurkan. Mereka tidak dilarang untuk makan marshmallow tetapi apabila mereka dapat menahan diri tidak makan dengan menunggu selama 20 menit maka peneliti akan memberikan satu buah marshmallow tambahan. Dalam penelitian ini, beberapa anak mencicipi marshmallow sedangkan beberapa anak yang lain berhasil menahan diri, menunda, dan mengesampingkan keinginannya untuk makan marshmallow.

  Sepuluh tahun kemudian, tim peneliti menghubungi orang tua dari anak-anak yang pada 10 tahun lalu mampu menunggu untuk mendapatkan dua marshmallow untuk menanyakan perkembangan putra mereka. Diperoleh informasi bahwa anak-anak yang berhasil menahan diri tersebut menunjukkan fungsi kognitif dan sosial serta penyesuaian diri yang lebih baik.

  

Gambar 8. Marshmallow, manis dan lembut

  Apakah keberhasilan seorang anak usia empat tahun menunda menikmati kesenangan (delay of gratification) terhadap marshmallow yang mengundang air liur memengaruhi kemampuan dalam mengelola diri pada saat mereka dewasa. Temuan signifikan diperoleh ketika peneliti mendapatkan data bahwa ketika anak-anak yang menunda makan marshmallow itu berusia 27-32 tahun, mereka mempunyai berat badan yang ideal, harga diri positif, mampu menerapkan strategi koping yang baik, dan mampu mencapai tujuan yang mereka tetapkan dengan lebih efektif.

  Keberhasilan anak-anak yang berusia empat tahun berada di dalam sebuah ruangan sendirian dengan marshmallow di meja menahan diri untuk tidak makan bukan dilakukan tanpa usaha keras. Mischel, Shoda, dan Rodriguez (1989) menyebut hal ini dengan willpower. Mereka saat itu memilih untuk mendapatkan dua buah marshmallow, sebagai konsekuensinya mereka harus menahan diri dan mengubah respons dari makan satu buah marshmallow saat itu (tujuan jangka pendek) menjadi mendapatkan tambahan marshmallow (tujuan jangka panjang). Mereka secara sungguh-sungguh berusaha menahan diri karena mengharapkan akan mendapatkan satu marshmallow tambahan jika berhasil menahan diri.

  Upaya yang dikeluarkan pada saat seseorang mengubah fikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai tujuan jangka panjang ini disebut dengan kontrol diri (Muraven & Baumeister, 2000). Bila definisi kontrol diri ini dikaitkan dengan pemain game internet, maka individu yang memiliki kontrol diri baik akan tetap konsisten menjaga niat bermain game hanya sebagai bermain atau hiburan sehingga tidak berkelanjutan sampai akhirnya lepas kontrol. Dengan demikian sangat tepat bila tulisan ini mengupas tentang keterkaitan antara kontrol diri dengan adiksi bermain game internet. Anak-anak yang mempunyai kontrol diri, menunda untuk dapat menikmati sesuatu yang menyenangkan (delay of gratification) adalah anak-anak yang mampu mengendalikan diri dari berbagai godaan yang menghambat mereka dalam mencapai tujuan jangka panjang. Game internet adalah sebuah permainan yang dapat memberi kesenangan kepada penggunanya. Sesuai dengan prinsip-prinsip kesenangan (pleasure principles) rasa senang adalah kebutuhan dasar manusia. Dalam batas tertentu rasa senang ini perlu dipenuhi untuk memberikan perasaan rileks sehingga dapat lebih produktif, namun, jika tidak dikontrol dan waktu yang digunakan untuk bersenang-senang ini berlebihan maka dapat menjadi kontraproduktif dan membuat individu terlena. Apakah kontrol diri berperan dalam menentukan seorang pemain game internet untuk menjadi atau tidak menjadi adiksi?

  Berbagai tulisan mencantumkan bahwa adiksi dikonotasikan dengan kehilangan kontrol (loss of control). DSM-IV, DSM-TR, maupun DSM-V mencantumkan adiksi ini sebagai kegagalan dalam usaha mengontrol dan gangguan dalam mengontrol impuls. Game internet umumnya berisi tantangan dan kompetisi yang dapat memstimulasi sistem limbik dalam otak sehingga individu yang sedang bermain merasa senang, tertantang, sigap, dan dapat bertahan bermain dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, dalam porsi tertentu game komputer ini sesungguhnya bermanfaat meningkatkan hubungan antara perkembangan motorik dengan perilaku kognitif pada anak-anak pra-sekolah (Li & Atkins, 2004), mengasah kemampuan laparoscopic simulator (Enochsson, Isaksson, Tour, & Scmidt-Dalton, 2004). Apa yang terjadi bila individu tidak mampu mengaktifkan kontrol diri sehingga bermain game internet ini terlalu lama? Konsep utama dari kontrol diri adalah proses menetapkan pilihan atau mengubah respons pada saat berhadapan dengan perilaku yang cenderung kurang sesuai. Kemampuan kontrol diri seseorang dapat dinilai dari seberapa mampu ia menetapkan pilihan, mengubah dan beradaptasi sehingga di waktu berikutnya mampu menjadi lebih baik dan lebih optimal dalam menyesuaikan diri dengan dunianya (Rothbaum, Weisz, & Snyder, 1982). Dalam memahami perilaku adiksi game internet ini, penulis menggunakan pendekatan neurobehavior dan cyberpsychology.

  

Gambar 9. Reward Circuit Center

(Educate Empower Kids, 23 Agustus 2015)

  Perspektif neurobehavioral mencantumkan dua model dalam pengambilan keputusan (Bickel, Qisenberry, Moody, & Wilson, 2015), yaitu pengambilan keputusan yang impulsif dan pengambilan keputusan eksekutif. Perilaku bermain game internet yang tidak terkendali atau adiksi dapat terjadi karena individu dikuasai pengambilan keputusan impulsif yang melibatkan sistem limbik dan paralimbik. Bagian otak ini mengandung banyak dopamine dan mempunyai sifat yang peka jika terjadi penurunan tingkat dopamine. Sebagai dampaknya, individu memunculkan reaksi spontan agar dapat memenuhi keinginan dengan cara yang cepat, untuk memperoleh sumber dopamine maka individu memilih aktivitas yang saat itu menyenangkan bagi dirinya. Sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan ini, terjadi pola permintaan pemenuhan kepuasan yang impulsive memberi kesenangan (reward circuitry). Gambar 9 memperlihatkan kepada pembaca beberapa aktivitas yang melibatkan pusat hadiah yang menyenangkan (Reward Center) termasuk di antaranya aktivitas bermain game internet, mengonsumsi alkohol kokain, heroin, dan menonton video porno (Wilson, 2014). Penulis menduga, aktivitas bermain game internet juga direspons oleh otak manusia yang berpusat pada tempat yang sama.

  Berbeda halnya dengan sistem pengambilan keputusan eksekutif terjadi dengan melibatkan kerja dari prefrontal dan parietal cortex (lihat Gambar 9). Sebagaimana sifatnya, prefrontal cortex disusun oleh dendrite yang jumlahnya 16 kali lebih banyak daripada dendrit di bagian otak yang lain. Oleh karena itu, prefrontal cortex mengandung lebih banyak informasi yang dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan (Kalat, 2015). Kedua bagian ini bertugas untuk memberikan penilaian kepada peristiwa yang akan datang dan mengatur perilaku manusia selama ia membuat keputusan jangka panjang. Gambar 9 juga memperlihatkan aktivitas seksual yang dilakukan manusia dewasa di dalam kehidupan sehari-hari merupakan respons dari bagian otak yang lain yaitu melalui PFC terlebih dahulu karena melibatkan pertimbangan rasional.

  Dalam perspektif cyberpsychology, permainan game internet membawa individu untuk berada di alam siber (cyberspace) yang bebas dari tuntutan sosial. Game internet memberikan kesenangan karena dalam keadaan anonim, pemain dapat secara langsung berinteraksi dengan pemain lain mereka bebas melepaskan identitas dirinya (disinhibition effect). Konsep dissociative anonymity (Suler, 2004) memberi kesempatan kepada semua pengguna internet untuk mengatur informasi atau identitas apa saja yang ia akan berikan kepada orang yang ia jumpai di internet. Dengan demikian individu dapat dengan bebas berinteraksi dengan orang yang ia jumpai online tanpa khawatir diketahui tentang segala label yang melekat pada dirinya. Bahkan, jika pengguna internet menginginkan maka pemain game internet dapat tampil tanpa identitas sama sekali.

  Pengalaman lain yang terjadi di dalam game internet adalah dissociative imagination (Suler, 2004). Sebagaimana dengan dissociative anonymity, di sini para pengguna internet, termasuk di dalamnya pemain game internet dapat betul-betul masuk ke dalam kehidupan online dan mereka melebur (Suller menuliskan mind have merged) dengan rekan-rekan online mereka. Selama aktivitas ini berlangsung, pemain game internet mulai mengintroyeksikan karakter rekan bermainnya ke dalam kehidupan intrapsikis mereka. Karakter ini tidak sepenuhnya nyata karena mereka memadukannya dengan harapan dan keinginan mereka tentang rekan tersebut. Proses ini disebut Suller dalam tulisannya dengan solipsistic introjection.