Penyakit Surra pada Hewan dan Ternak - repository civitas UGM

  Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis ber­

undangan. (Pasal 1 ayat [1]). tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ dasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

  

2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komuni kasi pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Pener jemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan cip taan; b. Penggandaan

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).

4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang

dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]). (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu (empat miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [4]). 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00

  Wisnu Nurcahyo Editor Joko Prastowo

PENYAKIT SURRA PADA HEWAN DAN TERNAK

  Katalog Dalam Terbitan (KDT) ©Wisnu Nurcahyo Penyakit Surra pada Hewan dan Ternak /Wisnu Nurcahyo; -- Yogya karta: Samudra Biru, 2017. viii + 208 hlm. ; 15,5 x 23 cm.

  ISBN : 978-602-5610-17-2

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip

atau mem perbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam

bentuk apapun juga tanpa izin tertulis dari penerbit. Cetakan I, Desember 2017 Penulis : Wisnu Nurcahyo Editor : Joko Prastowo Penyunting : Alviana Cahyanti Desain Sampul : Titah Surga Layout : Ardiansyah Mahmud Diterbitkan oleh: Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI) Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno B.15 RT 12/30 Banguntapan Bantul DI Yogyakarta Email/FB : [email protected] website: www.cetakbuku.biz/www.samudrabiru.co.id Phone: 0813-2752-4748

  

Kata Pengantar

Trypanosoma evansi adalah parasit protozoa yang biasa

  berparasit pada hewan dan ternak khususnya sapi, kerbau, kuda dan rodensia. Parasit ini hidup dalam plasma darah dan cairan jaringan vertebrata, hanya beberapa bisa hidup dengan masuk (menginvasi) sel. Penularan T. evansi ini oleh arthropoda penghisap darah seperti Tabanus sp., Stomoxys sp.,

  

Haematobia sp dan beberapa spesies lalat lain secara mekanik

  (langsung) dan biologik. Protozoa yang dapat menyebabkan penyakit yang dinamakan penyakit Surra ini banyak dijumpai di daerah tropis, yaitu Afrika, Timur Tengah, India, Cina, Asia Tenggara dan Amerika Latin.

  Penyakit Surra dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit setiap tahunnya. Mengingat arti penting dan distribusinya yang demikian luas tersebut, telah banyak dilakukan kajian tentang T. evansi dari berbagai aspek. Kerugian yang lain juga teramati seperti penurunan produksi, pertumbuhan yang terhambat dan jika tidak diobati dapat mengakibatkan kematian. Penyakit Surra ini menimbulkan dampak yang luas pada hewan ternak di Indonesia. Namun mengingat kurangnya data secara nasional yang akurat terkait data-data epidemiologis, maka sulit untuk memperhitungkan dampak ekonomi pada ternak akibat penyakit Surra di Indonesia.

  Buku ini penting sebagai referensi bagi para dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, peternakan, biologi, pengambil kebijakan, peternak, pengusaha dan masyarakat luas yang ingin mengetahui masalah Trypanosoma dan penyakit Surra di Indonesia. Sehingga harapannya apabila terjadi wabah di daerah-daerah endemik, dapat ditanggulangi dengan baik. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembangunan peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia serta memperkaya khazanah dunia ilmu pengetahuan.

  Wisnu Nurcahyo

  

Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................... v

Daftar Isi .................................................................................... vii

  BAB I Pendahuluan ......................................................... 1 BAB II Sejarah ..................................................................... 7 BAB III Morfologi dan Klasifikasi ...................................... 13 BAB IV Inang ......................................................................... 17 BAB V Vektor ...................................................................... 21 BAB VI Penularan ................................................................ 39 BAB VII Epidemiologi .......................................................... 47 BAB VIII Patologis dan Klinis ............................................... 51 BAB IX Diagnosa Parasitologis .......................................... 71 BAB X Diagnosa Serologis ................................................ 85 BAB XI Diagnosa Molekuler ............................................. 103 BAB XII Filogenetik Trypanosoma evansi ....................... 113 BAB XIII Terapi ...................................................................... 151

  BAB XIV Pencegahan dan Pemberantasan ........................ 167 BAB XV Kesimpulan ............................................................ 171 DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 175

GLOSSARIUM ....................................................................... 191

INDEKS .................................................................................... 201

BIOGRAFI ............................................................................... 207

Bab I Pendahuluan Genus Trypanosoma umumnya hidup di dalam plasma

  darah dan cairan jaringan vertebrata, hanya beberapa bisa hidup dengan masuk (menginvasi) sel. Parasit ini ditularkan oleh artropoda penghisap darah, beberapa spesies dapat secara mekanik (langsung), tetapi ada pula secara biologi. Penyakit yang diakibatkan oleh protozoa ini banyak dijumpai di daerah tropis, yaitu Afrika, Timur Tengah, India, Cina, Asia Tenggara dan Amerika Latin dengan berbagai spesies yang berbeda-beda. Hingga saat ini sudah menyebar di seluruh dunia (Gambar 1). Gambaran penyakit sangat bervariasi mulai dari akut hingga subklinis dan kronis di daerah endemis populasi ternak.

  Gambar 1 . Distribusi penyebaran penyakit Trypanosomiasis di dunia. (Desquesnes et al., 2013).

  Salah satu Trypanosoma yang memiliki arti penting dalam bidang kedokteran hewan di Indonesia adalah Trypanosoma

  

evansi . Penyakit yang ditimbulkan oleh protozoa tersebut

  pada ternak (Surra) dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit setiap tahunnya. Mengingat arti penting dan distribusinya yang demikian luas tersebut, telah banyak dilakukan kajian tentang T. evansi dari berbagai aspek. Kerugian yang lain juga teramati seperti penurunan produksi, pertumbuhan yang terhambat dan jika tidak diobati dapat mengakibatkan kematian. Kerugian yang diakibatkan oleh T. evansi ini diperkirakan mencapai US$ 22,4 juta per tahun (Ronoharjo et al., 1986). Kerugian ekonomi akibat infeksi penyakit Surra diperkirakan lebih besar daripada trypanosomiasis yang menyerang ternak di Afrika, yang diperkirakan berkisar US$ 1,3 Milyar mengingat kerugian akibat turunnya produksi daging dan susu. Penyakit Surra ini menimbulkan dampak yang luas pada hewan ternak di Indonesia. Namun mengingat kurangnya data secara nasional yang akurat terkait data-data epidemiologis, maka sulit untuk memperhitungkan dampak ekonomi pada ternak akibat penyakit Surra di Indonesia. Data-data ini akan menjadi penting apabila terjadi wabah di daerah-daerah endemik yang mengalami wabah dengan jumlah kematian ternak yang tinggi. Kerugian yang nyata terlihat dari kematian ternak dan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan.

  Semua jenis dari trypanosoma yang patogen, misalnya

  

Trypanosoma evansi, memiliki hospes yang luas dan dengan

  distribusi geografi luas. Bila dibdaningkan dengan nenek moyangnya, Trypanosoma brucei, protozoa ini memiliki distribusi geografis yang ter batas, kebanyakan hanya di Afrika saja. Evolusi yang terjadi ini terjadi sebagai akibat adanya perubahan materi genetik yang memungkinkan parasit pada saat berada di tubuh vektor lalat. Keragaman hospes pada Trypanosoma evansi dengan kepekaan infeksi yang bervariasi dalam menimbulkan perubahan klinis pada hewan bergantung pada hospes dan area geografis. Hal ini yang mengakibatkan Surra dikenal sebagai penyakit yang memiliki hospes multispesies dan penyakit polimorfisme (Desquesnes et al., 2013).

  Para ahli mengemukakan berbagai hipotesis tentang masih terdapatnya Trypanosoma evansi, semakin luasnya penyakit Surra di Indonesia dan pada kenyataannya belum dapat dikendalikan secara baik. Terkait dengan masalah- masalah tersebut, muncul dugaan-dugaan tentang penyakit Surra dan aspek-aspeknya khususnya kejadian pada ternak besar seperti sapi, kerbau, dan kuda di Indonesia seperti dikemukakan oleh tim survei pada saat terjadi wabah Surra besar (Anonim, 1976) sebagai berikut:

  a. Kesangsian terhadap trypanosida

  Semenjak adanya peraturan-peraturan terkait dengan kesehatan hewan dan ternak dalam Stbl. 1912 No. 432 dan No. 435 dengan ditetapkannya Naganol atau Naganol-Arsokol sebagai satu-satunya obat untuk pemberantasan penyakit Surra, maka obat itu secara luas dipakai untuk mengendalikan penyakit Surra pada ternak besar. Pemakaian Naganol yang telah begitu lama ada kemungkinan menyebabkan timbulnya strain Trypanosoma evansi yang tahan terhadap naganol. Salah satu cara untuk mengatasi adanya ketahanan Naganol, dapat dipakai Berenil sebagai pengganti Naganol (Ditkeswan, 1975).

  b. Pengaruh passase terhadap patogenitas

  Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Ditkeswan (1975), patogentitas Trypanosoma evansi meningkat setelah mengalami passase pada hewan kecil. Baik liar maupun hewan piaraan, maka ada kemungkinan merupakan merupakan salah satu faktor yang dapat menaikan patogenitas Trypanosoma.

  Meskipun demikian ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa passase berulang pada Trypanosoma pada marmut dapat menyebabkan menurunnya virulensi dan infektifitas parasit, setelah beberapa tahun dalam tubuh marmut Trypanosoma tersebut mengalami degenerasi. Penularan pada tikus rumah dapat terjadi dan mengakibatkan kematian.

  c. Banyaknya strain yang ada

  Seperti diketahui kejadian Trypanosomiasis yang saat ini terjadi pada berbagai spesies mamalia di Indonesia menjadikan adanya spesifikasi strain di masing-masing daerah. Masing- masing dari Trypanosoma tersebut memiliki variasi ukuran, bentuk dan morfologi yang kemungkinan dapat berbeda- beda. Keragaman bentuk dan ukuran tubuh Trypanosoma

  

evansi ini dapat berpengaruh pada variasi genetik dan tingkat

  patogenitas masing-masing strain yang ada di Indonesia akibat adanya adaptasi pada berbagai spesies yang bertindak sebagai inang tetap Trypanosoma. Penelitian terkait morfologi, biopatogenitas dan virulensi Trypanosoma masih sangat jarang dilakukan di Indonesia.

  d. Feeding habit vector

  Banyaknya kasus kejadian Trypanosomiasis yang me­ ngakibatkan banyak kematian pada ternak di Indonesia seringkali dikaitkan dengan ketersediaan vektor-vektor yang hidup di Indonesia. Kelimpahan vektor di suatu peternakan seringkali menjadi pemicu munculnya kejadian Trypanosomiasis. Pada beberapa kejadian, kematian terjadi hanya pada sapi saja, namun di tempat lain dijumpai kematian pada kerbau ataupun kuda. Seperti kejadian Trypanosmiasis yang menelan banyak kematian pada kuda di Pulau Sumba NTT pada tahun 2012-2013, namun sangat sedikit sekali kematian pada sapi dan kerbau. Sementara itu pada kejadian Surra di propinsi Banten pada tahun 2013 hanya terjadi kematian pada kerbau, pada sapi-sapi di daerah tersebut dijumpai adanya Trypanosoma dalam pemeriksaan darahnya namun tidak mengakibatkan kematian. Kejadian-kejadian ini menimbulkan dugaan adanya feeding habit dari masing- masing vektor yang membatasi preferensi gigitannya. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih detail terkait vektor yang menularkan Trypanosomiasis pada ternak sapi, kerbau atau kuda di suatu daerah.

  Kegiatan surveilance Trypanosomiasis di Indonesia banyak dilakukan khususnya pada ternak besar seperti sapi, kerbau dan kuda. Pada sapi dan kerbau pengamatan kejadian Trypanosomiasis dilakukan khususnya terkait penyediaan protein hewani asal hewan, sehingga fokus program pemerintah Indonesia lebih mengutamakan pada hewan ternak produksi. Sementara itu laporan kejadian pada hewan piaraan, hewan liar dan pada manusia sangat jarang dilakukan padahal memungkinkan kejadiannya. Laporan kasus kejadian Trypanosomiasis pada hewan-hewan mamalia liar di luar negeri seperti di negara-negara ASEAN sering terjadi pada tikus rumah, tikus sawah, babi hutan, kera, rusa, kijang, kancil, luwak, kelinci liar, kucing hutan dan mamalia liar yang ada di Kebun binatang. Hingga saat ini pertanyaan peran hewan liar sebagai hospes reservoir dari Trypanosoma, apakah dapat membahayakan bagi kelangsungan adanya Surra pada ternak, masih terus diteliti. Hal ini disebabkan karena minimnya penelitian terkait trypanosomiasis pada hewan-hewan liar khususnya rodensia yang diduga sebagai hospes reservoir dari trypanosoma. Gambar 2 menunjukan pentingnya peranan satwa liar sebagai pemicu timbulnya penyakit zoonosis.

  

Gambar 2. Pola penyebaran penyakit dari Satwaliar, ke

  hewan ternak dan manusia (Dennis Carrol, USAID, 2010)

Bab II Sejarah Penyakit Surra pertama kali ditemukan oleh Griffiths Evans (1980) menginfeksi kuda di India, sehingga diberi

  nama Trypanosoma evansi. Oleh Penning (1897) penyakit yang menginfeksi kuda di Semarang ini memiliki kemiripan dengan Trypanosoma evansi sebagai penyebab penyakit Surra. Sebelum tahun tersebut diduga penyakit Surra sebagai penyebab timbulnya banyak kematian kuda di Banten (1886 ­ 1888 ), di Tegal dan Cirebon (1886-1888) dan di Pulau Rote (1894 ­ 1896). Oleh karena itu oleh de does ditetapkan bahwa

T. evansi penyebab penyakit mubeng pada kerbau dan sapi. Laporan Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan dan Direktorat kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal peternakan, Departemen Pertanian tahun 1976 menyebutkan dalam tahun 1898 terjadi wabah Surra pada kerbau di Karesidenan Tegal yang memakan korban sebanyak 500 ekor dari 7.000 ekor populasi kerbau dalam waktu 3 bulan. Pada saat itu Surra pada sapi hanya dijumpai sebagai kasus dan hanya kadang-kadang saja terjadi. Wabah Surra pada sapi terjadi dalam tahun 1900 dan 1901 yang timbul di karesidenan Pasuruan. Selama kurang lebih 70 tahun setelah itu penyakit Surra pada kuda, kerbau dan sapi dilaporkan hanya sebagai kasus. Hal ini diduga karena campur tangan pemerintah dalam urusan kehewanan yang dituangkan dalam Stabl No. 432 dan no. 435 tahun 1912 dan instruksi-instruksi pelaksanaannya tentang pengendalian penyakit Surra.

  Dalam tahun 1968 ­ 1971 penyakit Surra kembali mewabah di berbagai provinsi di indonesia, misalnya Jawa tengah yang dalam tahun 1968 mengakibatkan kematian 210 ekor kerbau dan sapi, sedangkan tahun 1969 kematian mencapai 4.000 ekor (Soetrisno, 1970). Sementara itu di jawa tuimur tahun 1970 juga timbul kematian pada sapi dan kerbau hingga 635 ekor dan kuda 3 ekor. Sementara itu di Flores juga terdapat wabah Surra pada tahun 1971 dengan kematian ternak sebesar 516 ekor. Peningkatan kasus di luar jawa dilaporkan terjadi di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa tenggara Barat dan Sulawesi selatan.

  Adanya wabah Surra yang telah terjadi sejak jaman Beldana tersebut menimbulkan pertanyaan bagi para ahli parasitologi Indonesia. Meskipun sejak lama Pemerintah RI telah ikut campur dalam usaha pemberantasan penyakit Surra, namun penyakit tersebut belum sepenuhnya dapat dikendalikan secara sempurna. Pulau-pulau yang dulu dinyatakan bebas surra, pada kenyataannya telah tertular dan bahkan menyebar ke seluruh pulau-pulau di Indonesia.

  Sejak periode tahun 1970-an hingga periode 1980 kasus- kasus Surra terus menerus merebak di Pulau Jawa dan luar pulau jawa seiring dengan program pemerintah melalui pemberian bibit sapi dan kerbau ke berbagai propinsi di Indonesia. Survei pada tahun 1976 ­ 1980 antara Pimpinan Pengamanan ternak Pusat, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat jenderal Peternakan bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Hewan UGM mencakup 10 Kabupaten (1 dari Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta, 7 kabupaten di Jawa Tengah dan 2 kabupaten di Jawa Timur). Tim dari FKH UGM beranggotakan Staf pengajar bagian Parasitologi FKH UGM diketuai Drh. Mukayat D. Brotowidjojo, MSc., dengan anggota drh. Wardiarto, Drs. A. Mukhodam, drh. Julianti Darjono dan dibantu staf pengajar dari Bagian Farmakologi, Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM melakukan survei untuk memperoleh cara-cara terbaik sebagai bahan pertimbangan dalam menunjang kegiatan pengendalian penyakit Surra di Indonesia. Setelah itu, pada tahun 1988, wabah terjadi di Pulau Madura. Melalui pemeriksaan MHCT diketahui T. evansi positif 13% dari 130 ekor sapi yang diperiksa dan 50% positif dari 147 ekor kerbau yang diperiksa (Payne et al., 1990). Sejak saat itulah penyakit Surra senantiasa tiada henti senantiasa muncul di berbagai wilayah di Indonesia.

  Berkaitan dengan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) di Indonesia memerlukan penyediaan bibit-bibit sapi dan kerbau yang bebas dari penyakit hewan menular khususnya Surra. Kejadian infeksi Trypanosoma evansi di Indonesia sudah menyebar ke berbagai pulau di Indonesia terutama dibeberapa sentra bibit nasional seperti di Sumatera Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

  Salah satu penyebab penyebaran penyakit ini yaitu perpindahan atau lalu lintas ternak sapi dan kerbau lintas pulau (Gambar 3). Penyakit ini diperparah dengan perubahan cuaca di Indonesia yang memicu peningkatan populasi vektor lalat Tabanus sp., Stomoxys sp. dan Haematobia sp. di Indonesia (Nurcahyo, 2013).

  Sumatra Thailand Malaysia Singapore Malaysia Philipines West Papua Java Kalimantan West Nusa

Tenggara

Sulawesi Australia Buffalo Trypanosomiasis Cattle and Buffalo

Cattle Trypanosomiasis Horse, Cattle, Buffalo Trypanosomiasis

Trypanosomiasis Bio Traps Gambar 3. Ilustrasi kejadian Surra di Indonesia yang di-

  kumpulkan dari berbagai instansi di Indonesia (Nurcahyo, 2013)

  Tingkat infeksiTrypanosoma evansi bervariasi tergantung pada lokasi dan spesies hospesnya. Prevalensi kejadian Trypanosomiasis pada kerbau di Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan, Lombok, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara berkisar antara 5,8 - 7%. Penyakit Surra bersifat asimptomatis sehingga sering diketahui setelah infeksi berjalan kronis (Dirkeswan, 2014).

  Trypanosoma evansi merupakan parasit yang sangat

  unik dengan patogenesis yang bervariasi. Parasit ini telah ditemukan di Indonesia sejak 1897, tetapi patogenesis dan epidemiologinya pada sapi dan kerbau sampai saat ini masih belum banyak terungkap. Kerugian akibat infeksi parasit ini antara lain berupa kekurusan, keguguran, produksi susu menurun dan kematian (Partoutomo, 1996).

  Menurut Payne et al. (1990) kurang dari kurun waktu 10 tahun sejak dilaporkan, seluruh pulau Jawa menjadi daerah endemis Surra dan dalam waktu relatif singkat Indonesia teridentifikasi sebagai daerah endemis Surra berdasarkan hasil uji serologis. Wabah Surra yang paling besar dan menimbulkan banyak kematian pada sapi dan kerbau telah terjadi pada tahun 1968 ­ 1969 saat penyakit tersebut menyerang Jawa Tengah (Adiwinata dan Dahlan, 1969). Wabah Surra terjadi di Pulau Madura pada tahun 1988, dimana melalui pemeriksaan MHCT diketahui Trypanosoma evansi positif 13% dari 130 ekor sapi yang diperiksa dan 50% positif dari 147 ekor Kerbau yang diperiksa (Payne et al., 1990). Kasus terbaru di Indonesia terjadi di Pulau Sumba Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010-2011. Kasus tersebut mengakibatkan 4.268 (kuda 1.608, kerbau 2.464, sapi 196) ekor dinyatakan Trypanosomiasis. Kematian akibat Surra di pulau Sumba tersebut dilaporkan sebanyak 1.760 ekor, terdiri dari kuda 1.159 ekor, kerbau 600 dan sapi 1 ekor (Dirkeswan, 2012).

  Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau di Indonesia memerlukan penyediaan bibit-bibit sapi dan kerbau yang bebas penyakit hewan menular khususnya Surra, namun kejadian infeksi Trypanosoma evansi di Indonesia sudah menyebar ke berbagai pulau di Indonesia terutama di beberapa sentra bibit nasional seperti di Sumatera Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Penyebab penyebaran penyakit ini salah satunya yaitu perpindahan atau lalu lintas ternak sapi dan kerbau lintas pulau. Penyakit ini dapat diperparah dengan perubahan cuaca di Indonesia yang memicu peningkatan populasi vektor lalat Tabanus sp.,

Stomoxys sp . dan Haematobia sp. di Indonesia (Nurcahyo, 2013).

  Laporan kejadian Trypanosomiasis hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia (Gambar 4). Sebagian wilayah Maluku dan Papua yang berwarna putih mendanakan tidak ada kasus ataupun belum adanya laporan mengenai kasus Surra di wilayah tersebut (Balai Veteriner Banjarbaru, 2015).

  Gambar 4.

  Ilustrasi kejadian Surra di Indonesia yang dikumpulkan dari berbagai instansi di Indonesia (Balai Veteriner Banjarbaru, 2015).

  11,7 ­ 33,3 mikron (rata-rata 24 mikron), 15 ­ 34 mikron (rata- rata 24 mikron) dan lebar antara 1,0 ­ 2,5 mikron (rata-rata 1,5 mikron). Inti parasit ini bulat atau oval, kira-kira ditemukan di pertengahan tubuh.

  Klasifikasi dari parasit Trypanosoma evansi menurut Desquesnes (2004) dapat dilihat pada Gambar 5. Uraian dari klasifikasi Trypanosoma evansi sebagai berikut Sub kingdom: Protozoa, Filum: SarcomastigopHora, Sub Filum:

  

MastigopHora , Kelas: ZoomastigopHorea, Ordo: Kinetoplastorida,

  Sub Ordo: Trypanosomatina, Famili: Trypanosomatidae, Genus:

  

Trypanosoma , Sub Genus: Trypanozoon, Spesies: Trypanosoma

evansi .

  Gambar 5. Bagan klasifikasi Trypanosoma evansi (Desquesnes, 2004). Morfologi dan Karakteristik

  Parasit Trypanosoma evansi menurut Stell (1885); Balbiani (1888), yang termasuk dalam protozoa memiliki sinonim: T.

  

annamense , T. berberum, T. cameli, T. hippicum, T. saudanense, T.

venezuelense , berukuran panjang 11,7 ­ 33,3 mikron (rata-rata

  24 mikron), 15 ­ 34 mikron (rata-rata 24 mikron) dan lebar antara 1,0 ­ 2,5 mikron (rata-rata 1,5 mikron). Inti parasit ini bulat atau oval, kira-kira ditemukan di pertengahan tubuh (Hoare, 1972).

  Bagian ujung yang tumpul ditemukan 2 buah benda yang disebut blepHaroplast atau benda basal dan benda parabasal, kedua benda tersebut dihubungkan dengan serabut halus sehingga terjadi bentukan yang sering disebut kinetoplast. Bentuk tanpa kinetoplast mungkin ditemukan terutama setelah dilakukan pengobatan trypanosidal termasuk Berenil dan

  

Prothidium . Benda basal muncul serabut yang disebut axonema yag melanjutkan diri sebagai benang cambuk ( flagellum). Benda cambuk ini terikat dengan tubuh oleh selaput beralun (membrana undulans) dan akan melanjutkan diri kedepan sebagai flagella bebas (Gambar 6) (Schmidt dan Roberts, 2009).

  Pengamatan Trypanosoma evansi pada sampel darah segar menunjukkan karakteristik parasit yang ramping, ukuran kecil, tipis pada ekstremitas posterior, flagella bebas, aktif bergerak dan membran undulan terlihat jelas. Pengamatan pada preparat apus darah tipis dengan pengecatan giemsa menunjukkan sebagai trypomastigote tipis, bentuk ramping, flagella bebas panjang dan ekstremitas posterior tipis dengan

kinetoplast kecil di subterminal (Desquesnes et al., 2013).

  Morfologi dari Trypanosoma evansi dapat dilihat pada Gambar 6.

  Gambar 6. Morfologi Trypanosoma evansi (Schmidt dan

  Roberts, 2009)

  keledai, kemudian unta. Kelompok ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba dan rusa kurang rentan, sedangkan babi dan anjing paling rentan. Selain itu juga dapat menyerang gajah, tapir, rusa dan hewan liar lainnya. Unggas dan manusia diketahui kebal terhadap Surra. Tabel 1 di bawah ini disajikan berbagai macam spesies trypanosoma dan hewan-hewan yang terserang.

  

Tabel 1. Jenis Trypanosoma di seluruh dunia

No Spesies Hewan terserang

  Evansi sapi, kerbau, kuda, unta, anjing,

  1 manusia

  2 Theileri Sapi

  3 MelopHagium domba, kambing

  4 Lewisi Tikus, manusia

  5 Duttoni mencit, tikus

  6 Nabiasi Kelinci

  7 Cruzi manusia, anjing, kucing 8 rangeli Anjing 9 avium burung, ayam 10 vivax sapi, domba, kambing

  11 uniforme sapi, domba, kambing

  12 congolense sapi, kambing, domba,kuda, babi 13 dimorpHon sapi, domba, kuda, babi 14 simiae babi, sapi, kuda 15 suis Babi 16 brucei ternak peliharaan 17 rhodesiense manusia, ternak, satwaliar 18 gambiense Manusia 19 equinum Kuda 20 equiperdum Kuda

  Trypanosoma evansi memiliki jangkauan hospes terluas dibdaningkan dengan Trypanosoma salivarian lainnya. Trypanosoma evansi patogen pada kuda dan unta juga memiliki

  jangkauan hospes yang luas baik pada hewan domestik dan satwa liar di seluruh dunia. (Desquesnes et al., 2013).

  Tabel 2. Jenis Trypanosoma dan hewan-hewan yang terserang Spesies Try- Panjang (Lee et al., 2000) Inang Penyakit Vektor panosoma Distribusi

  Mastigote A. A.1 Salivaria T. b. gambiense 16-30 µm sleeping sickness Lalat tsetse Afrika Barat

Transmisi Siklik (parasit berkembang di dalam vektor)

manusia, hewan do- T. b. brucei 18-42 µm Nagana Lalat tsetse Afrika T. b. rhodesiense 18-30 µm sleeping sickness Lalat tsetse Afrika Timur ruminansia hewan sia manusia, ruminan- mestic T. congolense 9-18 µm Nagana Lalat tsetse Afrika T. simiae 12-24 µm babi, ruminansia Lalat tsetse Afrika T. vivax 14-27µm ruminansia, kuda Souma Lalat tsetse Afrika tic domestic sapi, hewan domes- virulen trypanoso- T. cruzi 15-24 µm Chagas’ disease Serangga A.2 Stercoraria manusia, hewan do- Amerika Ten- miasis T. melopHagium 25-70 µm Domba non pathogen Serangga Seluruh dunia T. theileri 25-120 µm Sapi non pathogen lalat Tabanus Seluruh dunia mestik gah

  T. lewisi 20-35 µm Rodensia non pathogen Pinjal Seluruh dunia T. rangeli 25-32 µm manusia, rodensia non pathogen Serangga Amerika Sela- tan B.

  Transmisi Non Siklik/transmisi mekanis(tidak ada perkembangan parasit dalam vektor) T. evansi 18-34 µm ruminansia, kuda, T. equinum 20-30 µm kuda, ruminansia mal de caderas Diptera hewan domestik dan liar surra, murrina Lalat penggigit, kelelawar Asia, Afrika, Amerika Ten- gah, Amerika Selatan Amerika Selatan

  T. equiperdum 18-30 µm Kuda Unta Tabanidae Negara tropis

  Hipotesa Lun dan Desser (1995), tidak adanya maxicircles

  

kinetoplast DNA bertanggung jawab terhadap jangkauan

  hospes yang luas pada Trypanosoma evansi. Kebalikan dengan

  

Trypanosoma equiperdum , tidak adanya maxicircles kinetoplast

  DNA menyebabkan hospes yang lebih sedikit (Brun et al., 1998). Menurut Desquesnes et al. (2013) pengamatan secara eksperimental, hampir semua spesies mamalia dapat terinfeksi oleh Trypanosoma evansi dengan kerentanan dari masing- masing spesies bervariasi begitu pula dari satu wilayah geografis ke wilayah lainnya dan menimbulkan gejala klinis yang signifikan serta memainkan peran epidemiologi. Jenis

  

Trypanosoma dan variasi hewan yang terserang dapat dilihat

pada Tabel 2.

  nyamuk dan pinjal dapat menularkan Trypanosoma dari hewan yang terinfeksi ke ternak yang lain yang masih sehat. Lalat memiliki arti penting bagi kesehatan manusia dan hewan. Lalat kdanang (Stomoxys calcitrans) dan lalat kuda (Tabanus

  

sp ) memiliki arti penting bagi kejadian Trypanosomiasis pada

  sapi, kerbau dan kuda yang disebabkan oleh Trypanosoma

  

evansi di Indonesia (Davidson et al., 2000). Mengingat

  banyaknya kejadian Trypanosomiasis pada ternak, untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai jenis-jenis lalat dan kelimpahannya yang berperan penting sebagai vektor mekanis Trypanosomiasis. Di Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat Tabanus, Haematopota dan Chrysops. Jenis lalat lain seperti Stomoxys, Musca, Haematobia juga dapat menjadi vektor pada saat populasi lalat tersebut meningkat di suatu wilayah. Sampai dengan tahun 1930 dilaporkan di Indonesia terdapat 28 jenis Tabanus, 5 jenis Chrysops dan 5 jenis Haematopota yang dapat menularkan surra (Sofiana, 1988). Lalat Kuda ( Horse fly) termasuk dalam Famili Tabanidae (Desquesnes et al., 2013), sedangkan lalat kdanang Stomoxys

  

sp. termasuk Sub Famili Stomoxyinae dalam Famili Muscidae

  (Diptera) (Phasuk, 2013). Lalat Stomoxys memiliki ukuran yang sama dengan lalat rumah (Musca sp.), tetapi mudah dibedakan dengan melihat bagian mulut yang digunakan untuk menusuk kulit dan menghisap darah. Bagian dada berwarna keabu-abuan dengan empat garis longitudinal. Selain itu, lalat kdanang memiliki abdomen yang lebih lebar dibdaning lalat rumah. Lalat-lalat ini ditemukan di luar kdanang di sekitar jerami dan pakan yang yang membusuk. Baik jantan maupun betina dapat menghisap darah yang menyerang hewan domestik, hewan liar dan kadang-kadang manusia di Asia tenggara (Masmeatathip et al., 2013) dan di seluruh dunia (Wall dan Shearer, 1997). Tingginya kepadatan populasi lalat kdanang dapat menurunkan produktifitas ternak dan menurunkan berat badan (Campbell et al., 2001).

  Sementara itu lalat Stomoxys calcitrans juga sering mengganggu ternak, menyebabkan iritasi di sekitar daerah gigitan. Pada kuda dapat mengakibatkan anemia yang serius dan kejadian Trypanosomiasis. Lalat Tabanus memiliki arti penting di Asia seperti China (Xu Baohai dan Xu Rongman, 1992).

  

Tabanus rubidus selalin memiliki arti penting bagi kejadian

  Trypanosomisis juga dapat menularkan penyakit Antraks di pulau Jawa. Lalat ini tersebar di seluruh dunia. Lalat ini disebut lalat kuda dan lalat rusa. Lalat ini masuk dalam Sub Ordo Brachycerorina Famili Tabanidae. Tabanidae mencakup Genus Tabanus, Hybomitra dan Haematopota. Lalat yang dewasa terdiri dari tiga segmen, Segmen yang terkhir terdiri dari beberapa sub segmen. Lalat ini besar, bertubuh kokoh dengan kepala besar, yang betina penghisap darah yang rakus, yang jantan tidak menggigit tetapi makan madu, buah-buahan yang lunak dan sayuran (Levine, 1990). Tabanidae mempunyai panjang 6 sampai 10 mm, sekalipun yang paling kecil namun cukup besar. Tidak ada arista. Mampu terbang, tubuh tidak keras mempunyai antena yang tidak beruas, tanpa bulu kasar atau stilet pada ujungnya.

  Lalat Penggigit

  Lalat termasuk dalam Ordo Diptera yang sangat penting dalam dunia kedokteran hewan. Hal ini disebabkan mengingat lalat merupakan vektor yang dapat menyebarkan beberapa jenis penyakit yang cukup patogen baik yang bersifat zoonosis maupun tidak zoonosis. Berbagai lalat dapat menyebarkan bakteri, virus dan parasit. Sebagai salah satu contoh, adalah penyakit surra yang terjadi pada ternak di berbagai pulau di Indonesia penyebarannya dapat dilakukan melalui vektor lalat Tabanus, Haematopota dan Chrysops. Tipe lalat yang lain seperti Stomoxys, Musca, Haematobia dapat juga menjadi vektor karena populasi lalat jenis Stomoxys, Musca dan

  

Haematobia cukup banyak terdapat di padang penggembalaan

  yang secara signifikan dan dapat menularkan penyakit Trypanosoma pada ternak kuda, sapi dan kerbau air.

  Lalat dewasa memiliki keragaman spesies yang tinggi, seperti lalat rumah dan lalat kdanang dengan lebih dari 100 spesies penting yang bersifat patogen berkaitan dengan lebih dari 65 jenis penyakit pada manusia dan ternak (Greenberg

  1970; Greenberg, 1971; 1973). Lalat secara alamiah

  et al.,

  merupakan carrier dari berbagai agen patogen dan berperan penting dalam penyebaran virus, jamur, bakteri dan parasit di seluruh dunia (Banjo et al. 2005). Lalat rumah (Musca

  ), contohnya, merupakan vektor mekanik penting

  domestica

  dari beberapa jenis bakteri seperti Shigella sp., Vibriocholerae, , StapHylococcus aureus dan Salmonella sp.

  Escherichia coli

  (Greenberg et al., 1963; Levine dan Levine, 1991). Lalat juga telah terbukti menyebarkan agen patogen melalui mulut, muntahan, feses dan atau permukaan tubuhnya. Selain itu, lalat sebagai pembawa bakteri, nerupakan vektor dalam penyebaran penyakit asal makanan (De Jesus et al., 2004).

  Stomoxys sp.

  Stomoxys sp. merupakan hama pengganggu yang

  merugiakan secara ekonomi pada ternak sapi. Kedua jenis kelamin lalat tersebut memiliki aktivitas menggigit ternak, hewan liar dan manusia di selru dunia (Wall dan Shearer, 1997). Jumlah serangan lalat yang tinggi dapat menyebabkan gangguan berupa iritasi pada bekas gigitan dan kerugian yang signifikan berhubungan dengan penurunan berat badan dan produksi susu. Stomoxys calcitrans merupakan vektor penting dari penyebaran Trypanosoma evansi (agen penyebab surra), serta Trypanosoma brucei dan Trypanosoma vivax (agen penyebab Surra Nagana). Stomoxys juga berperan sebagai hospes intermedier larva Habronema spp. (Bruce dan Decker, 1958; Campbell et al., 2001).

  Tabanus sp (Brachycera)

  Tabanus sp atau lalat kuda merupakan vektor penting, terdiri dari genus Tabanus, Chrysops dan Haematopota, dengan variasi ukuran yang terbesar dalam golongan Brachycera. Genus ini memiliki karateristik tubuh yang besar dan kokoh dengan warna tubuh abu-abu kehitaman hingga coklat kekuningan. Individu betina memiliki mdanibula yang berkembang dengan baik, sebaliknya bagian tersebut praktis tidak ditemukan pada jantan. Lalat ini memiliki mata kemerahan atau hijau metalik, terkadang kekuningan, dan terbagi-bagi oleh struktur berbentuk pita. Segmen thoraks biasanya berambut panjang dan halus. Lalat ini terkadang terlihat langsing dan memiliki warna keabuan atau hitam keabuan. Sayap berwarna abu-abu dengan bercak putih, dan saat posisi istirahat, sayap tersebut akan bergantung di atas thoraks (Kröber, 1932).

  Lalat Tabanus dapat dibedakan terutama karena tidak adanya tdanuk. Sayapnya tidak memiliki corak berpita dengan kaki yang tidak menggembung. Antenanya berbentuk lengkung seperti pedang dan antennomere 3 berbentuk asimetris (Fairchild, 1969). Stadium larva bersifat aquatik atau semi aquatik (Middlekauf et al., 1980) atau bersifat terestrial (hidup di tanah dan lantai kdanang) (Oosterbroek, 2006). Individu jantan dan betina menggunakan nektar sebagai sumber makanan, pada jantan khususnya mereka bersifat

  

hematopHagous . Tabanus bersifat diurnal dan aktif pada

  kondisi lingkungan panas dengan intensitas sinar matahari yang tinggi. Masa hidup dewasa dapat mencapai 35 hari. Bekas gigitan akan terasa sakit berkaitan dengan Tabanin, yaitu sejenis peptida yang diekskresikan pada luka bekas gigitan dan menyebabkan luka hemoragik dalam jangka waktu lama (Kaufman et al,, 2001; Koh dan Kini, 2009). Transmisi sangat berkaitan dengan jenis luka gigitan dan perilaku menggigit yang berpindah-pindah sambil memuntahkan darah dari luka gigitan sebelumnya

  Hippoboscidae ( louse flies)

  Ordo ini terdiri dari kurang lebih 670 spesies tersebar diseluruh dunia. Lalat ini berukuran kecil hingga medium. Bentuk menyerupai kutu dan pinjal di habitatnya dan memiliki warna kecoklatan. Salah satu pendana unutk identifikasi adalah tidak adanya venasi sayap, atau tidak adanya pertumbuhan sayap pada beberapa spesies. Kepala dan thoraks jarang yang bersifat dorsoventral, berbeda dengan yang memiliki kepala prognatheus dan proboscis

  Glossinidae

  mengarah ke anterior dengan haustellum bersifat retractile, segmen ke-3 dapat ditarik masuk ke dalam segmen ke-2 (Hennig, 1972). Hippobosca equine merupakan satu-satunya spesies yang bersifat parasitik pada kuda di Eropa. Individu dewasa memiliki tubuh yang ramping dengan bentuk tubuh seperti kutu dan bagian mulut mengarah ke depan. Kakinya kokoh dengan kutikula abdomen sklerotik dan fleksibel untuk distensi saat makan (Mullen dan Durden, 2009).

  Hippobosca equine merupakan jenis hippobosca dengan

  sayap permanen yang utuh. Berbeda dengan spesies

  

Hippobosca lainnya yang melepaskan sayapnya setelah

  menemukan hospes yang tepat (Oosterbroek, 2006). Lalat ini sulit untuk dilepaskan dari hospesnya, dan biasa melekat pada area dengan rambut yang jarang, terutama didaerah vulva dan pangkal paha sebelah medial (Blank, 2006). Larva terbentuk di dalam abdomen induk betina dan dikeluarkan satu per satu (Oosterbroek, 2006).

  Muscidae

  Famili Muscadidae terdiri dari beraneka ragam lalat dan tersebar (kurang lebih 4.000 spesies di dunia) matanya tidak mencolok,ukuran lalat kecil sampai medium. Lalat dewasa memperlihatkan garis keturunan didalamnya. Karakteristik

  

dari famili ini sangat sulit dibedakan dan mengidentifikasi

spesiesnya juga merupakan suatu tantangan. Keistimewaan

dalam diagnosa lalat ini terletak pada daerah ekstradorsal

tulang tibia kaki belakang dan sistem venasi sayap (Skidmore,

  1985). Biasanya warna lalat ini dari abu-abu sampai kehitaman, tetapi ada beberapa lalat berwana kuning kecoklatan atau dengan warna kehijauan sampai biru metalik yang mengkilap (Oosterbroek, 2006). Pada umumnya hypopleuron tidak berdiri tegak. Musca domestica (Lalat rumah) merupakan hama pengganggu yang terbesar. Lalat musca dapat meletakan telurnya pada luka yang terbuka dan menyebabkan kasus myasis dan kemungkinan juga vektor penting yang berbeda dalam kejadian penyakit pada manusia (seperti antraks, tifus, amoebiasis). Genus atau spesiesnya yang berpengaruh terdapat pada kuda antara lain Musca, Stomoxys, Hydrotaea dan Hematobia .

  Haematobia irritans

  Lalat pada tdanuk ternak merupakan lalat penggigit dengan ukuran yang sangat kecil kira-kira panjangnya 4 mm. Pada umunya lalat Haematobia irritans berwarna merah gelap serta mata berwarna coklat (Gregor et al., 2002). Palps cukup panjang dari proboscis (Karl, 1928).

  Haematobia irritans (Muscidae)

  Lalat rumah diketahui mempunyai thoraks berwarna hitam dengan empat garis longitudinal pada pangkal abdomen berwarna dan sisi lateral diapHanous berwarna kuning. Sebaliknya bagian abdomen berwarna hitam dengan titik berwarna-warni (Karl, 1928).

  Musca autumnalis

  Permukaan lalat Musca autumnalis menyurupai Musca . sedikit lebih besar dan berwarna keabuan dengan

  domestica

  empat belang keabuan diatas thoraks (Gregor et al., 2002) bagian abdomen berwarna orange dengan belang hitam pada bagian dorsal.

  Stomoxys calcitrans Pedipalpus dari lalat Stomoxys sangat tipis dan bagian

  mulut lebih pendek serta tajam untuk menembus dan menghisap. Thoraks dan abdomen berwarna hitam, keempat garis longitudinal bagian luar thoraks berwarna belang dengan tidak saling berhubungan pada persilangan garis longitudinalnya. Abdomennya mempunyai ciri khas titik pada garis tengah dengan ada pembatas pada garis pertama dan dua titik pada tepi garis posterior pada segmen berikutnya (Karl, 1928).

  Selain jenis-jenis lalat tersebut di atas, penularan melalui kutu dapat terjadi misalnya pada kutu Haematopinus

  tuberculatus . Selain itu Lyperosia minuta juga pernah dilaporkan.

  Peranan kutu Triatoma sebagai vektor pada Trypanosoma cruzy yang berjangkit di Amerika Latin perlu diperhitungkan. Hal ini mengingat keberadaan kutu Triatoma yang telah dijumpai di daerah Vietnam.

  Biologi vektor

  Banyak lalat dari spesies Muscidae mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan manusia. Spesies

  

Musca berkembang pada lingkungan terbuka dan kotoran

  ternak. Kebanyakan larva yang hidup secara signifikan sangat penting untuk diketahui atau dipelajari seperti: carnivorous,

  

saprophagous seperti phytophagous (Oosterbroek, 2006). Siklus

  hidup berlangsung selama 14 ­ 28 hari dan siklus ini dapat berlangsung terus selama hospesnya dapat ditemukan (Kaufman et al., 2001). Musca autumnalis ( face fly) merupakan salah satu parasit pada kuda. Lalat betina dan jantan mencari

  serta memakan sekresi cairan pada daerah mata dan kotoran

ternak. Paling sering menimbulkan kejadian iritasi pada

  daerah kepala, linea alba dan gldanula mamae, seringkali menimbulkan penyakit mastitis pada musim panas (Chirico

  et al ., 1997; Blank, 2006).

  Mekanisme penularan secara mekanik Trypanosoma evansi sering terjadi pada lalat Tabanus dan Stomoxys, sedangkan pada unta dan kuda lebih banyak ditularkan oleh lalat

  Hippobosca sp . Insekta lain seperti culicoides, Ceratopogonidae memegang peranan yang penting pada kejadian tertentu.

  Secara eksperimental Trypanosoma dapat ditularkan juga oleh nyamuk Aedes agypti, Ae. Argenteus dan AnopHeles fuliginous. Model matematika yang dikembangkan oleh Desquesnes et

  

al. (2013) menunjukkan bahwa kejadian Trypanosomiasis

  secara langsung berhubungan dengan tingkat parasitemia dan kelimpahan jumlah lalat penggigit yang berada di sekitar hospes. Penularan infeksi ini berhubungan dengan sub parameter seperti ukuran lalat penggigit yang dikaitkan dengan volume darah yang dihisap dan kepadatan insekta. Dengan demikian, sejumlah Trypanosoma yang banyak pada seekor lalat Stomoxys kecil memiliki tingkat efeisiensi yang sama dengan sedikit jumlah Trypanosoma pada seekor lalat Tabanus yang besar.

  Pengetahuan tentang berbagai cara penularan Trypanosoma pada hewan sangat membantu dalam pemahaman penyakit.

  

Trypanosoma terutama ditularkan oleh vektor anthropoda

  (lalat), dimana penularan baik siklik atau non siklik (Urquhart et al ., 1987).

  Penularan secara biologi (siklik) dapat terjadi saat terhisap oleh artropoda penghisap darah.

  Trypanosoma

  Perkembangbiakan didalam tubuh arthropoda mungkin akan terjadi pendewasaan, perbanyakan atau penggdanaan dan perkembangbiakan. Ada 2 tipe cara pembentukan dan penularannya (Nurcahyo, 2014) antara lain: