Religiositas Masyarakat Urban

1

KOLOM

Religiositas Masyarakat Urban
Oleh Asep Purnama Bahtiar*
DINAMIKA masyarakat

dan

perubahan

sosial

yang

terjadi

kerap

menimbulkan keterkejutan dan melahirkan fenomena yang pada mulanya tidak

terbayangkan. Pergeseran nilai dan perubahan sosial dalam kenyataannya memang
tidak mesti berjalan linear, bergerak lurus. Adakalanya, dan bahkan seringkali terjadi,
pergeseran dan perubahan tersebut bergerak naik turun atau mengikuti pola berputar,
siklus. Namun, dalam bentuk dan pola apa pun pergeseran dan perubahan itu terjadi,
biasanya suka muncul perbedaan dan lahir sesuatu yang bisa dianggap baru.
Di antara fenomena yang terkait dengan pernyataan di atas adalah apa yang
terjadi dengan kehidupan masyarakat urban atau kelas menengah ke atas di
perkotaan. Secara sosiologis, masyarakat urban sering diberi atribut modern, rasional,
individualis, dan sekuler; sedangkan masyarakat rural dikategorikan tradisional,
irasional, egaliter, dan religius. Kategorisasi demikian pada kenyataannya tidak
bersifat mutlak dan berlaku permanen. Bisa terjadi semua atribut dan predikat tadi
hadir, atau mengalami pertukaran, baik di masyarakat urban maupun di masyarakat
rural.
Karena itulah, tidak perlu heran jika pada dekade terakhir ini kita bisa melihat
kesadaran beragama masyarakat urban --dalam hal ini kelas menengah ke atas di
perkotaan-- yang begitu mengesankan. Religiositas masyarakat urban telah muncul

2

dan menjadi sebuah fenomena. Kalau ditilik agak lebih jauh, ada banyak faktor

penyebab yang mendorong mencuatnya religiositas masyarakat urban tersebut,
sekaligus bisa menjadi entry point untuk mengapresiasinya dari berbagai perspektif.
Pertama, kelas menengah ke atas yang menjadi bagian penting dari
masyarakat urban itu tidak sedikit yang berasal dari wilayah pedesaan. Karena
pekerjaan dan karir bisnis yang digelutinya, mengharuskan mereka untuk pindah dan
menetap di kota atau pinggiran kota. Komplek perumahan pun dibangun di manamana oleh para pengembang. Untuk kelas menengah ke atas perumahan dibangun
senyaman mungkin dengan berbagai fasilitasnya yang lengkap serta lokasinya pun
tidak begitu jauh dari tempat kerja dan pusat bisnis. Di komplek-komplek perumahan
yang bagus dan mewah itu, kelas menegah pendatang --yang menjadi masyarakat
urban-- masih banyak yang memiliki tradisi keagamaan dan kepribadiannya yang
religius. Masjid di komplek-komplek perumahan itu terlihat makmur. Begitu pula
dengan pengajian rutin dan majelis ta`lim-nya tidak kalah semarak. Secara tidak
langsung, kelas menengah tadi menjadi agen yang menggiatkan aktivitas keagamaan.
Kedua, religiositas masyarakat urban bisa juga disebabkan oleh bangkitnya
kembali naluri beragama (fitrah) setelah sekian lama terbenam oleh hiruk-pikuk
dunia modern yang serba materialistis, hedonis, dan sekularis. Orde kehidupan yang
didasarkan pada landasan dan pandangan hidup yang serba-duniawi, sarwa-benda,
dan mengabaikan ajaran agama, telah menjadikan manusia modern itu hampa dan
gersang. Kesenangan duniawi, kepuasan


jasmani, dan makna hidup yang

diperolehnya itu ternyata semu dan palsu, sehingga tidak bisa memadai untuk

3

menjadi rujukan hidup dan sumber nilai yang memberikan keutuhan integritas
kepribadian dan otentisitas dirinya sebagai manusia. Dalam kondisi seperti itu, ke
mana lagi manusia akan berpaling, jika bukan kepada agama.
Ketiga, religiositas di kalangan kelas menegah ke atas tadi bisa jadi karena
adanya mispersepsi terhadap agama sebagai media penebusan dosa dan instrumen
pembersih kesalahan. Religiositas masyarakat urban itu, dengan demikian,

bisa

diduga bukan karena ketulusan atau kesadaran yang wajar akan pentingnya agama
bagi hidup manusia. Tetapi agama dijadikan sebagai tameng, kedok, atau kamuflase
untuk menutup-tutupi diri yang sebenarnya atau untuk mengelabui publik. Sebagai
ilustrasi, orang kaya memberikan sumbangan atau berzakat dengan asumsi harta
kekyaan yang dimilikinya --hasil korupsi dan kolusi, misalnya-- itu bisa menjadi

halal. Begitu pula dengan naik haji, agar memperoleh status atau gelar haji yang bisa
mengangkat status keagamaannya di mata masyarakat. Tidak jadi soal, apakah
sesudah itu orang yang bersangkutan menjadi rajin shalat atau tidak; nggak jadi
masalah apakah orang tersebut kemudian menjadi welas asih dan empati dengan
nasib kaum papa dan dhu`afa. Tidak peduli dengan masalah itu semua. Gelar-gelar
haji itu dianggapnya secara otomatis akan memberikan garansi religiositas yang
signifikan.
Jadi, fenomena religiositas masyarakat urban tersebut masih menyisakan
pertanyaan dan persoalan. Fenomena tersebut bukan semata-mata masalah agama,
tetapi juga problem sosial budaya. Religiositas masyarakat urban dengan ketiga faktor
tadi sebetulnya memberikan peluang dan

lahan bagi gerakan dakwah untuk

4

memasukinya. Kendati yang namanya acara keagamaan dan pengajian di berbagai
stasiun televisi dan radio sudah semarak di mana-mana, tetapi apa itu sudah cukup?
Fenomena sosial-keagamaan yang marak di kelas menegah ke atas tersebut jelas
membutuhkan semacam bimbingan emansipatoris dan tuntunan dialogis yang

diharapkan bisa memberikan pencerahan spiritual dan sekaligus pengayaan wawasan
keagamaan. Sehingga, kemudian kesadaran bergama yang sudah tumbuh itu bisa
berjalan secara wajar dan sehat, yang pada akhirnya akan lebih memungkinkan
religiositas masyarakat urban itu bisa terwujud sambil menebar berkah dan rahmat
bagi lingkungan sosial di sekitarnya.[]

*Asep Purnama Bahtiar, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 20-02

5