POLA KEBERAGAMAAN MASYARAKAT URBAN (1)

POLA KEBERAGAMAAN MASYARAKAT URBAN :
Studi di Perum Chandra Indah Ngemplak Boyolali
Oleh : Dr. Sarbini, M.Ag.
Dosen Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Surakarta

ABTRAKSI
Judul : Pola Keberagamaan Masyarakat Urban: Studi Di Perum Pondok Chandra Indah
Gagaksipat Ngemplak Boyolali
Bagi masyarakat urban (perumahan) agama dipahami sebagai bentuk keyakinan dan
menjadi inti dari sistem nilai untuk menjadi pendorong dan pengontrol tindakan anggota
masyarakat agar tetap sesuai dengan nilai-nilai ajaran agamanya. Ketika pengaruh agama
menjadi kuat terhadap sistem nilai suatu masyarakat, maka sistem nilai keberagamaan itu
terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama yang menjadi
kerangka acuannya. Apabila agama menjadi inti dari kebhidupan suatu masyarakat, maka
fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi, dan membantu masyarakat untuk
mengenal dan menghayati sesuatu yang sacral berdampak semakin baik dan teraturnya
kehidupan masyarakat perumahan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi agama (socio-religius) yang
berusaha menggambarkan realita emperik masyarakat beragama terkait doktrin, keyakinan,
perilaku sosial dan ajaran-ajaran bersifat fungsional yang melahirkan fenomena
keberagamaan. Untuk menggambarkan peristiwa tersebut pengumpulan data melalui

observasi, wawancara, dan melancak dukumentasi yang dinarasikan dalam bentuk kualitatifdeskriptif dengan analisis deskriptif-interpretatif. Adapun teori yang digunakan teori Emile
Durkheim, tentang agama dan masyarakat berfungsi menciptakan dan mengembangkan sense
of community, yang menghasilkan solidaritas sekaligus kesadaran kolektif. Agama merupakan
suatu sistem interpretasi diri kolektif, yang meliputi aspek ideology, ritual, pengalaman,
pengetahuan dan penghayatan.
Temuan-temuan dalam penelitian; (1) masyarakat perumahan yang nota bene sebagai
masyarakat urban memiliki keragaman dalam beragama akan tetapi senantiasa mengutamakan
kebersamaan atau persatuan masyarakat sebagaimana di simbolkan dalam penamaan masjid
al-Ittihad (2) ketaatan dalam keberagamaan termanifestasikan dalam praktek shalat jama’ah
di masjid sebagai bentuk kesadaran ritual sekaligus ideologi, (3) bentuk-bentuk solidaritas
dalam keagamaan diwujudkan dalam keinginan yang kuat dalam menuaikan zakat infaq dan
sedekah tidak hanya pada bulan Ramadan tetapi pada bulan lain secara rutin, (4) dalam rangka
meningkatkan pengetahuan penyelenggaan kajian keagamaan melalui majelis taklim di
posisikan sebagai lembaga pendidikan yang berfungsi untuk mentrasfer pengetahuan, (5)
Agama Islam bagi masyakat dimaknai sebagai belief system untuk menentukan ukuran nilai
dan norma-norma yang dijalankan dalam masyarakat, (6) pengahayatan keagamaan ditandai
kemampuan individu warga dalam memfungsikan agama sebagai pusat pendidikan,
penyelamatan dan pengawasan atau konrol sosial.
Kata kunci: Agama, Masyarakat, Nilai, Kesadaran.


1

A. PENDAHULUAN
a. Problematik Masyakarat Urban
Penelitian

ini

berusaha

untuk

mengungkap

bagaimana

praktek-praktek

keberagamaan, khusus agama Islam dijalankan oleh masyakarakat perumahan yang
notabene sebagai masyarakat urban yang corak kehidupan relative modern ketimbang

masyarakat pedesaan. Sebagaimana diketahui relasi sosial antara agama dan
masyarakat dapat membentuk sistem sosial yang melahirkan keragaman dalam
pemahaman agama. Saat ini agama memasuki wilayah sosial, tetapi penghayatan
berisifat individual. Apa yang dipahami dan dihayati dalam agama tergantung pada
latar belakang dan kepribadian penganutnya. Perbedaan penghayatan dari satu orang
dengan orang lain melahirkan keberagaman beragama meskipun dalam satu keyakinan
agama. Oleh kerena dalam agama selalu memiliki sifat obyektif dan subyektif.
Hal ini berkaitan dengan interpretasi ajaran-ajaran agama oleh masyarakat, baik
menyangkut agama itu sendiri maupun modernitas. Nurcholis Majid (1993 :123)
menyatakan bahwa agama memiliki dimensi doktriner yang digambarkan sebagai
suatu sistem kebenaran yang memiliki daya mengubah budi pekerti jika agama di
pegang secara iklas. Di sisi lain agama merupakan kebutuhan akan ekspresi rasa
kesucian bagi masyarakat modern berkenaan dengan kehidupan mental dan spiritual.
Dengan demikian identitas sosial-agama masyarakat yang berupa interaksi sosial dan
keagamaan melahirkan dinamika keberagamaan dan mengkonstruksi identitas agama
untuk kepentingan kehidupan yang lebih harmonis dalam suatu integrasi agama
dengan kultur modern.
Agama pada masyarakat urban (perumahan) tidak dapat dilepaskan dari ciri khas
masyarakat kota yang digambarkan Soekanto (1990:56), bahwa (1) Kehidupan
keagamaan masyarakat kota tidak se-khusyuk dan sekental kehidupan keagamaan

masyarakat pedesaan, (2) Orang-orang kota pada umunya dapat mengurus dirinya
sendiri tanpa tergantung pada orang lain termasuk agama, (3) Pekerjaan masyarakat
kota lebih jelas dan punya batas-batas yang nyata, (4) Jalan pikiran orang kota lebih
rasional, dan (5) Perubahan-perubahan sosial tampak nyata dikota karena kota pada
dasarnya selalu terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Di sisi lain dalam
penelitian Whitehead keberagamaan masyarakat urban selalu dilihat pada 4 aspek.
Pertama, agama dipahami sebagai way of life yang dapat dirasakan secara mendalam
oleh pribadi. Apa yang dilakukan oleh seseorang dalam agama merupakan privasi
2

(kesendirian) yang didasarkan pada pendekatan spiritual dan emosioanal tertentu
sebagai pedoman hidup. Kedua, agama sebagai kehidupan individual selalu dipahami
adanya hubungan organis secara masyarakat secara keseluruhan dalam tataran moral
dan perasaan. Ketiga, agama dipahami sebagai nilai yang relevan dengan kehidupan
nyata. Keempat, respon manusia terhadap agama di dunia terus berkembang, sebab
setiap perkembangan terdapat perubahan (Nurcholis Majid, 1993:126). Oleh karena
agama harus mampu menampung perubahan masyarakat (social change)
Dalam menjalankan praktek keagamaan (Islam) dalam masyarakat perumahan
Chandra Indah Ngemplak Boyolali, agama dipahami sebagai bentuk keyakinan dan
menjadi inti dari sistem nilai untuk menjadi pendorong dan pengontrol tindakan

anggota masyarakat agar tetap sesuai dengan nilai-nilai ajaran agamanya. Ketika
pengaruh agama menjadi kuat terhadap sistem nilai suatu masyarakat, maka sistem
nilai keberagamaan itu terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber pada
ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya (Kahmad, 2000:64). Apabila agama
menjadi inti dari kehidupan

suatu masyarakat, maka fungsi dasar agama adalah

memberikan orientasi, motivasi, dan membantu masyarakat untuk mengenal dan
menghayati sesuatu yang sakral berdampak semakin baik dan teraturnya kehidupan
masyarakat perumahan. Melalui pengalaman beragama (religious experience), yaitu
penghayatan kepada Tuhan menyebabkan masyarakat memiliki kesanggupan,
kemampuan, dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi Sang Ilahi
(Maman, dkk., 2006:1).
Ketika agama dipandang memiliki peran penting dalam penataan sosial pada
kehidupan pada masyarakat akan tumbuh sebuah tatanan baru dalam keberagamaan
sekaligus dalam masyarakat. Namun kenyataan pengaruh

modernitas telah


mendorong sebagian orang bersikap apatis terhadap agamanya. Malahan muncul
kecenderungan sebagian masyarakat untuk menghindari agama yang dianggap
mengalami kemapanan dan tidak mampu merespons pencarian spiritual mereka,
karena agama hanya bersifat konvensional atau formal saja, kemudian mereka masuk
ke dalam aliran-aliran spiritual, sekte-sekte keagamaan atau kultus-kultus yang
menawarkan ritus kontemplatif ekslusif yang memberikan nilai lebih bagi kehausan
spiritual mereka. Ini merupakan suatu bentuk kerohanian tanpa agama formal, yaitu
keberagamaan yang hanya mengambil dimensi spiritualnya (Robertson, 1998 :65,
Kahmad, 2000 :65).
3

Dari problem akademik di atas penelitian ini untuk menjawab pertanyaan; (1)
Bagaimanakah praktek-praktek keagamaan Islam di perumahan Pondok Chandra
Indah Ngemplak Boyolali yang nota bene sebagai masyarakat urban, dan (2) Nilainilai keagamaan seperti apa yang dikembangkan oleh masyarakat perumahan?.
b. Kerangka Teori
Studi yang dilakukan Emile Durkheim, tentang agama menurut Briyan S Turner
(2006 :87) bahwa agama dan masyarakat berfungsi menciptakan dan mengembangkan
sense of community, yang menghasilkan solidaritas atau perekat sosial sekaligus
kesadaran kolektif dan telah menjadi bagian dari subyektivitas individual. Tujuan
utama agama bagi masyarakat bukan saja membantu berhubungan dengan Tuhannya,

melainkan dengan sesamanya. Agama menjadi faktor esensial bagi identitas dan
integrasi masyarakat. Agama merupakan suatu sistem interpretasi diri kolektif, sebuah
simbol dimana masyarakat bisa menjadi sadar akan dirinya bahwa ia adalah cara
berfikir tentang eksistensi kolektif (Emile Durkheim, 1950; 315)
Meski agama dan masyarakat hampir-hampir tak terpisahkan, namun dalan teori
sosiologi dan antropologi klasik mengenal suatu tahap evolusi bagi relasi keduanya;
dari perbedaan, penyesuaian (akulturasi) dan pencairan (fluiditas). Bahkan sangat
dimungkinkan mengalami proses usang. Itulah yang dikemukakan Auguste Comte
(1855). Ia pernah menyodorkan gagasan bahwa agama yang pernah dipandang
penting, tapi akan mengalami kondisi usang akibat perkembangan modernitas (Paul
Jhonson,1990 :112).

Meski teori ini masih dalam wacana perdebatan, namun

geliatnya telah terasa. Sistem keyakinan yang menjadi wilayah otentik agama akan
bergeser ke pengetahuan ilmiah, sistem pelayanan, penyembahan, pendidikan dan
sosial dari lembaga agama akan bergeser diambil alih pemerintah atau kelompokkelompok yang non religius.
Dalam studi relasi sosial-agama, agama senantiasa dipandang sebagai sistem
kepercayaan yang diwujudkan dalam


perilaku sosial tertentu. Untuk itu agama

disandingkan dengan budaya. Pengalaman manusia baik secara individual maupun
kelompok, prilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari
ajaran agama yang dianutnya. Jadi, keagamaan yang sifatnya subjektif dapat
diobjektifkan dalam berbagai ungkapan dan prilaku, dan

keduanya mempunyai

struktur tertentu yang dapat dipahami. Kerangka berfikir seperti ini terlihat dari tiga
4

tahap pemikiran manusia; teologis (religius), metafisis (filosofis) dan berkembang
menjadi ilmiah (positif). Kalaupun tahap terakhir sah dan agama tetap bertahan, maka
agama terbatas sebagai agama humanis yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
Keberagamaan atau religiusitas tidaklah merupakan otoritas tetapi perlu diwujudkan
dalam berbagai sisi kehidupan bermasyarakat. Aktivitas keberagamaan bukan hanya
terjadi ketika seseorang melakukan aktivitas yang didorong oleh kekuatan batin dan
bukan hanya yang berkaitan dengan aktifitas yang dampak oleh mata, tetapi juga
aktifitas yang terjadi dalam hati seseorang. Oleh sebab itu keberagamaan seseorang

akan meliputi berbagai macam dimensi yang saling terkait dengan realitas. Secara
garis besar dimensi keberagamaan menurut Roland Robertson (1993: 295), dapat
dilihat dalam 5 aspek dasar yaitu; Pertama, dimensi ideologi, pada dimensi ini
seseorang yang beragama berpegang pada pandangan teologi tertentu dan
mengakuinya sebagai sebuah perangkat kebenaran. Mesikupun demikian eksistensi
doktrin ini bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi juga terjadi pada
tradisi-tradisi pada satu agama. Kedua, dimensi ritual dimensi ini juga disebut dengan
dimensi peradaban karena terdiri dari berbagai macam ritus, tindakan keagamaan
secara formal dan praktek-praktek suci. Ketiga, dimensi pengalaman, dimensi ini
lebih berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi
dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang sebagai kepuasan batin. Keempat; dimensi
penghayatan, dan Kelima, dimensi pengetahuan agama Sedangkan menurut Mahmud
Syaltud, pada dasarnya Islam dibagi menjadi tiga bagian yaitu aqidah, syariah dan
akhlaq.
Menurut Berger (1994) secara historis, agama merupakan satu bentuk legitimasi
yang paling efektif. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada
kehidupan manusia dan yang memberikan penjelasan yang paling komprehensif dan
holistik tentang realitas, seperti kematian, penderitaan, tragedi, dan ketidakadilan.
Agama merupakan suatu kanopi sakral yang melindungi manusia dari khaos, situasi
tanpa arti. Agama melegitimasi institusi sosial dengan menempatkannya dalam suatu

kerangka sakral dan kosmis. Bentuk paling kuno dari legitimasi terdapat dalam konsep
hubungan antara masyarakat dan kosmos sebagai hubungan antara mikrokosmos dan
makrokosmos. Dalam kerangka kosmik itu peranan sosial, seksualitas, keluarga, dan
perkawinan merupakan mimesis, tiruan dari dunia sakral. Skema mikrokosmos-

5

makrokosmos sebagai pola legitimasi telah mengalami perkembangan dari pola dunia
mistis ke pola filsafat dan teologi.
Agama dan masyarakat memang terjadi hubungan interdependensi. Joachim Wach
menunjukkan bahwa hubungan timbal balik tersebut dapat terwujud dalam agama
yang mempunyai

keberpengaruhan terhadap masyarakat. Begitu pula sebaliknya,

semisal pembentukan, pengembangan dan penentuan kelompok

keagamaan yang

spesifik dan masyarakat dapat memberikan pengaruh terhadap agama, seperti terwujud

dalam keragaman perasaan dan sikap keagamaan yang terdapat dalam kelompok sosial
tertentu. Di sini dapat dipahami bahwa agama atau kepercayaan pada dasarnya tak
berdiri sendiri. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, agama sangat dipengaruhi
oleh struktur sosial dimana suatu keyakinan dimanivestasikan oleh para pemeluknya.
Sehingga, di satu sisi agama dapat beradaptasi dan disisi lain dapat berfungsi sebagai
alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para
pemeluknya (Ahmad Muthohar & Anis Masykhur, 2011 :1-32).
c. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
analitik, dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif digunakan untuk
menggambarkan status kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi sistem
pemikiran, suatu peristiwa pada suatu masa yang sedang berlangsung. Pendekatan
kualitatif digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan agar peneliti dapat memahami
pola praktek-pratek keberagamaan masyarakat perumahan Pondok Chandra Indah
sebagai masyarakat urban.
Dengan demikian metode penelitian deskriptif ini dipandang cocok untuk
menggambarkan pola keberagamaan yang terjadi pada kehidupan masyarakat
perumahan. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis
data kualitatif diartikan sebagai usaha analisis berdasarkan kata-kata yang disusun ke
dalam bentuk teks yang diperlukan. Dalam penelitin ini, data hasil wawancara dan
pengamatan ditulis dalam suatu catatan lapangan yang terinci, data dari catatan
lapangan inilah yang akan dianalisis secara kualitatif.

6

B. PEMBAHASAN
Keberagamaan atau religiusitas perlu diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
bermasyarakat. Aktivitas keberagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
aktivitas yang didorong oleh kekuatan batin dan bukan hanya yang berkaitan dengan
aktifitas yang tampak oleh mata, tetapi juga aktifitas yang terjadi dalam hati seseorang.
Oleh sebab itu keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam dimensi yang
saling terkait dengan realitas. Berikut disampaikan temuan-temuan dalam penelitian;
1. Struktur Sosial
Perumahan Pondok Chandra Indah Gagaksipat Ngemplak Boyolali dibangun pada
awal krisis moneter pada tahun 1997 merupakan perumahan pertama dari sebelas
perumahan yang saat ini ada di desa Gagaksipat Ngemplak. Perumahan Chanrda
Indah pada awalnya merupakan perumahan anggota TNI AU yang pembiayaan awal
melalui jasa ASABRI dengan status hak bangunan atau hak pakai yang menempati.
Namun dalam perkembangannya dengan reformasi pengelolaan badan usaha, koperasi
dan yayasan dibawah naungan TNI, perumahan ini dilepas kepada masyarakat umum,
yang awalnya para penghuni hanya menempati hak guna bangunan pada akhirnya
bisa di mohon menjadi hak milik bagi anggota TNI AU. Oleh karena itu pada tahun
2006 setelah resmi berubah menjadi hak milik, maka banyak rumah-rumah yang di
jual ke masyarakat umum. Ketika penelitian ini dilakukan, dari 127 kepala keluarga
(KK) terdapat 19 KK TNI aktif, 32 KK Pensiunan TNI, 36 KK anak atau keluarga
TNI dan sisanya 40 KK dari masyarakat umum yang membeli rumah dari keluarga
TNI. Dari 76 KK yang terdiri keluarga TNI dan masyarakat umum memiliki profesi
pekerjaan yang beragam. Ada yang PNS, Pegawai BUMN, pensiunan PNS, Karyawan
dan Wiraswasta, dan satupun tidak ada yang petani atau buruh kasar.
Sedangkan tingkat pendidikan dari kepala keluarga untuk pensiunan TNI adalah
SMP dan SMA, sedangkan TNI aktif SMA dan sarjana. Untuk pendidikan PNS dan
pegawai BUMN 100% S1 dan S2, karyawan S1, SMA begitu juga pensiunan PNS ada
yang S1, S2 dan SMA. Pendidikan di kalangan anak-anak dan remaja semuanya
berstatus pelajar dan mahasiswa. Untuk muda-mudinya mayoritas berpendidikan S1,
D2, D3 dengan status, karyawan, PNS dan swasta. Berdasar asal-usul masyarakat
Pondok Chandra Indah yang merupakan masyarakat pendatang, yang berasal dari
berbagai daerah, diantaranya dari Sumatera, Kalimantan, Sulwesi, Irian, Bali dan Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura. Meski demikian ditemukan 3 KK yang
7

berasal dari masyakat sekitar Gagaksipat. Sedangkan mayoritas etnis berasal dari
Jawa dan Sunda. Etnis Batak ada 2 KK, Minang 2 KK, Bali 1 KK, Dayak 2 KK, Bugis
1, Tionghoa 4 KK, Arab 2 KK, Aceh 2 KK, Papua dan Maluku masing-masing 1 KK.
Struktur sosial masyarakat Pondok Chandra Indah memiliki 2 struktur utama
yaitu struktur masyarakat komunal1 dan struktur otoritas desa. Struktur komunal
didasarkan pada pola hubungan sosial dibangun atas ikatan ketetanggaan, kekerabatan
dan keagamaan, ha ini sangat berbeda pada perumahan-perumahan elit yang pola
kekerabatan cenderung lebih invidualistik dan bercorak pasar. Sedangkan struktur
otoritas desa hubungan sosial dalam masyarakat di dasarkan pada pola hubungan
sosial pada pemerintahan desa, dengan corak hubungan organisasi, seperti hubungan
antar RT, RW dan pemerintahan desa. Di Chandra Indah ini terbagi dalam 4 RT dan 1
RW yang masing-masing RT terdiri dari 25-35 KK. Pengelompokan menjadi bagianbagian RT dan RW melahirkan hubungan sosial yang cenderung otoritatif dalam peran
serta dalam masyarakat. Ketua dan pengurus RT dan RW memiliki peran dan otoritas
yang menonjol dibanding anggota masyarakat lainnya.
Dalam struktur masyarakat komunal Chandra Indah melibatkan dua kelompok
sosial utama yaitu kelompok tokoh terkemuka dan kelompok masyarakat biasa. Tokoh
terkemuka di perumahan Chandra Indah terdiri pengurus RW, Pengurus RT, pensiunan
TNI dengan pangkat terakhir Kolenel, Letnan Kolonel, Pengurus Takmir Masjid,
Dosen, dan Pensiunan Sekda atau pejabat lainnya, atau mereka Pengusaha kaya.
Kelompok masyarakat biasa terdiri

pesiunan pangkat rendah, TNI aktif yang

pangkatnya bintara tamtama, karyawan, orang yang ekonominya biasa biasa.
Hubungan komunal ini merupakan hubungan kerjasa dalam rangka solidaritas vertical.
Hubungan ini bersifat personal dan dilegitimasi oleh nilai-nilai sosial kemasyarakatan
dalam bentuk tindakan kolektif berupa kerja bhakti warga (kurvai), dana sosial
(penghimpunan dana sosial untuk besukan, kematian dll), dan pirukun (kegitan Rwnan, RT-nan, membantu orang hajatan, kematian).
Dari gambaran struktur sosial masyarakat Chandra Indah di atas dapat dijelaskan
bahwa masyarakat perumahan masyarakat yang majemuk atau heterogen. Oleh karena
itu sebagai masyarakat bukan warga asli daerah setempat sehingga warga perumahan
mempunyai banyak keragaman baik kelas sosial, cara interaksi sosial bahkan
1 Masyarakat Komunal adalah kesatuan masyarakat yang relative kecil dan cenderung homogeny serta ditandai
oleh pembagian kerja yang minimal, hubungan sosial yang menonjol dan masih terikat kuat pada budaya tradisi.
(Thomas Ford, Dictionary of modern Sociology, New Jersey : L Adam Co. 1977)

8

stratifikasi sosial. Secara sosial warga perumahan dibentuk oleh perbedaan yang
meliputi perbedaan kepentingan, etnis, profesi, faham politik, agama, dan lain-lain.
Beragamnya orang yang ada di suatu lingkungan akan memunculkan stratifikasi sosial
(pengkelas-kelasan) atau diferensiasi sosial (pembeda-bedaan) yang mempengaruhi
perilaku individu maupun kelompok sosial masyarakat.
2. Struktur Keagamaan
Struktur keagaman Islam di perumahan Chandra Indah membentuk suatu
komunitas dengan pola keberagamaan yang bisa berbeda dari norma yang di yakini.
Perbedaan ini dipengaruhi oleh orientasi dalam menjalankan ibadah. Dari 127 KK
terdapat 111 KK beragama Islam, 11 KK Nasrani, 1 KK Hindu dan 4 KK campuran
dalam satu keluarga bapak/Ibu Islam atau Bapak/Ibu Nasrani dan juga anak-anaknya.
Beragamnya agama di perumahan dan perbedaan orientasi beribadah melahirkan
sikap keberagamaan. Pertama Islam taat, yaitu menjalankan keyakinan Islam dengan
sungguh-sungguh minimal memnuhi rukun Islam yang lima. Kedua, Islam KTP, yaitu
Islam hanya berupa pengakuan yang tertera dalam KTP, jarang sekali menjalankan
kewajiban seperti shalat lima waktu dan puasa ramadhan. Untuk menggambarkan
Islam taat sebagaimana penuturan dari pengurus takmir masjid adalah minimal mereka
pernah shalat jum’at atau hari raya ke masjid, puasa pada bulan ramadhan, sesekali
ikut shalat jamaah di masjid, dan pernah memberikan sedekah, infaq atau zakat ke
masjid. Sedang Islam KTP meraka tercatat dalam KTP beragama Islam tetapi
jarangkali terlihat dalam kegiatan keagamaan seperti shalat , puasa ataupun kegiataan
lain. Beberapa informasi terungkap dari 115 KK yang beragama Islam yang masuk
dalam kreteria Islam KTP 6 KK, selebihnya 109 masuk dalam katagori Islam taat.
Secara ideologi 109 KK Islam semuanya penganut faham Islam sunni, tak
satupun berfaham syi’i atau pun Islam kejawen. Organisasi keagamaan yang diikuti
tidak begitu jelas, namun ditemukan 4 orang aktif menjadi pengurus Muhammadiyah
baik kecamatan sampai kabupaten, 1 orang aktif di NU, 1 orang aktif di Tarbiyah, 1
orang aktif di LDII. Sebagai masyakat majemuk

tidak ada satupun

upaya

menonjolkan faham ideology organisasi tertentu dalam praktek praktek-praktek
keagamaan. Upaya kebersamaan menjadi ciri khas masyarakat perumahan Chandra
Indah. Seperti shalat subuh ketika yang menjadi imam shalat subuh berfaham NU
jutru diberi kesempatan menjadi imam dengan menggunakan qunut yang lain
9

mengikuti. Penyelenggaraan pengajian rutin ranting Muhammadiyah di masjid tiap
bulan juga dipersilahkan dan tak seorangpun mempermasalahkan.
Berdasarkan gambaran diatas struktur keagamaan masyarakat Chandra Indah
tidak berpegang pada pandangan teologi tertentu dan mengakuinya semua paham yang
anut masyarakat sebagai sebuah perangkat kebenaran. Meski demikian pada saat
tertentu terjadi kontestasi faham pada rapat-rapat takmir masjid ataupun pada
pelaksanaan kegiatan keagamaan, seperti masalah pembagian daging kurban,
penentuan awal ramadhan. Menyikapi persoalan ini pola yang dibangun oleh para
tokoh agama di perumahan; pertama, mengembangkan paham kebersamaan dalam
keagamaan untuk mewujudkan persatuan umat dengan pengertian bahwa semua
agama yang secara formal itu berbeda-beda tetapi hakekat dan intinya adalah sama.
Kedua,

mengembangkan paham bahwa agama yang benar hanyalah satu,

dan

diturunkan kepada manusia dalam kondisi historis dan sosiologis yang berbeda, maka
agama dalam konteks historis selalu hadir dalam yang satu pula. Artinya dalam
konteks ini setiap agama memiliki kesamaan dengan yang lain, tetapi sekaligus juga
memiliki kekhasan, sehingga berbeda-berbeda pemahaman sesuatu yang alamiah.
Ketiga, mengembakan kesadaran religiusitas seseorang atau elompok melalui kegiatan
beribadah bersama-sama.
3. Praktek-praktek Keagamaan
a. Arti dan Makna Shalat Jama’ah
Salah satu praktek keagamaan Islam yang sangat penting bagi masyarakat
perumahan Chandra Indah adalah kegiatan shalat jama’ah di masjid. Shalat
jama’ah dimaknai sebagian warga untuk menyatukan dan mengkokohkan umat
muslim dalam beribadah kepada Allah swt. secara bersama-sama. Kedekatan
seorang muslim, bukan hanya pada saat mereka melakukan silaturahim antar
sesamanya, tetapi juga dari rutinitas mereka melakukan shalat berjamaah. Kalau
kita perhatikan, shalat berjama’ah adalah merupakan salah satu ajaran Islam yang
pokok dan merupakan sunnah Nabi yaitu perbuatan yang selalu dikerjakan oleh
Nabi. Ajaran tentang shalat berjama’ah merupakan perintah yang benar-benar
ditekankan kepada kaum muslimin.
Ibadah shalat jama’ah warga Chandra Indah dilaksanakan di Masjid Al-Ittihad.
Shalat jama’ah di Masjid Al-Ittihad memiliki kekhasan tersendiri dibanding
dengan masjid-masjid yang lain di sekitar perumahan yaitu jama’ah shalat subuh
10

lebih ramai ketimbang jama’ah shalat maghrib, isyak, ashar atau dhuhur. Rata-rata
shalat jama’ah subuh diikuti lebih dari 75 orang yang terdiri dari 4-5 shaf, laki-laki
dan perempuan dari anak-anak sampai orang tua.

Beberapa alasan warga

melakukan shalat jama’ah subuh yang sempat dikemukakan, karena mayoritas
masyarakat Chandra Indah orang kantoran dan pelajar yang masuk kantor/sekolah
jam 7. Inilah yang mendorong sebagian masyarakat melakukan shalat jama’ah
shubuh, sekalian mempersiapkan aktivitas kerja/sekolah. Di samping dorongan
lain yaitu untuk memperoleh kebaikan yang lebih dari Allah disbanding dengan
yang lain, meskipun sebagian yang lain karena dorongan spritualisme.
Sedangkan kurang ramainya shalat

jama’ah pada waktu magrib, isyak

disebabkan banyak warga pulang kerja sore atau malam hari, dengan alasan capai
dan butuh istirahat sebagian warga enggan shalat jama’ah, begitu juga dhuhur dan
ashar rata-rata diikuti kurang dari 50 orang pada hari-hari biasa . Dari 115 KK
Muslim dengan kurang lebih 430 jiwa warga muslim, rata-rata shalat jamaah
shubuh dalam pengamatan kurang lebih 2 minggu, jama’ah subuh diikuti lebih 75
orang baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak atau dewasa. Berbeda shalat
subuh pada bulan ramadahan awal 90% warga muslim mengikuti shalat jama’ah
subuh maupun tarawih. Ini menandakan adanya kesadaran dalam menjalankan
praktek-praktek keagamaan Islam dengan menjalan shalat wajib 5 waktu dan
shalat

Jum’at

maupun shalat

sunat khususnya pada shalat

tarawih bulan

ramadhan dan shalat hari raya idul adha di masjid, akan tetapi idul fitri tidak
diselenggarak shalat, sebagian besar mudik. Masjid yang berukuran 10 x 15 pada
momen tertentu tidak dapat menampung jamaah sehingga memfungsikan halaman
masjid untuk kegiatan shalat . Meskipun demikian pada saat tertentu selain bulan
dan hari jum’at seperti hari libur justru jama’ah shalat semakin berkurang, karena
banyak yang keluar kota atau bepergian ke tempat lain.
Nilai-nilai religiusitas dalam kegiatan shalat

jamaah di masjid al-Ittihad

merupakan inti dari kesadaran beragama mengenahi hubungan antara manusia
dengan Tuhannya yaitu Allah SWT, bahwa mereka mengenal kembali akan
Tuhan_Nya sekaligus sebagai sarana komunikasi untuk mendekat-Nya. Shalat
merupakan ibadah sakral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan dalam
kehidupan. Shalat bagi umat Islam merupakan puncak dari dari ajaran mengenahi
kebenaran tertinggi. Bahkan pada akhirat nanti pertanyaan pertama yang di
11

tanyakan kepada orang mati adalah shalat . Oleh karena itu secara sosiologis
ajaran shalat

merupakan symbol bagi pemeluk

ajaran Islam yang menjadi

eksistensi manusia beragama, dan secara simbolik
keseimbangan dalam kehidupan manusia. Shalat

memberi makna pada

bagi masyarakat perumahan

merupakan doktrin yang memberikan pedoman moral untuk menjalankan
kehidupan dalam dunia sosial yang berupa ketaatan dan kebersamaan.
b. Memakmurkan Masjid sebagai Tempat Membangun Kebersamaan
Kegiatan keagamaan di Chandra Indah selalu di pusatkan di Masjid Al-Ittihad,
meski kadang-kadang ada permintaan dari warga yang mengundang kerumah
misalnya pengajian karena aqiqah, menempati rumah baru, atau pembacaan tahlil
setelah kematian warga, atau permintaan warga lainnya. Bagi masyarakat
perumahan masjid tidak hanya di gunakan untuk kegiatan ibadah shalat tetapi juga
digunakan untuk pengajian bapak bapak, pengajian ibu-ibu, pengajian remaja,
pengajian ranting atau cabang Muhammadiyah dan rapat-rapat warga perumahan
baik RT mapun RW, hal sesuai dengan nama Masjid Al-Ittihad yang oleh warga
diartikan sebagai persatuan warga.
Fungsi Masjid paling utama adalah sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat
berjama’ah. Namun Masjid bukanlah hanya tempat untuk melaksanakan shalat
saja sebagaimana pada

masa Rasulullah masjid digunakan sebagai majelis

berdzikir beri'tikaf, tempat belajar ilmu-ilmu agama, pengajian, TPA, dan
dipergunakan untuk kepentingan sosial lainya. Kegiatan yang selenggarakan di
masjid al-Ittihad antara lain; pengajian ibu-ibu setiap Jum’at sore dengan materi
membaca al-qur’an, pengajian Ibu-Ibu “khairun nisa’” tiap Rabo sore dengan
materi kajian fiqih dan keluarga, TPA pada Selasa, Kamis dan Sabtu, Pengajian
Remaja Minggu sore sebulan sekali, pengajian bapak-bapak sebulan sekali Jum’at
malam Sabtu sebulan sekali. Fungsi lain yang unik ditemukan di masjid al-Ittihad
adalah sebagai tempat pertemuan RT setiap bulan pada masing RT yang terdiri dari
4 RT dan pertemuan RW dua bulan sekali, dan 6 bulan sekali sebagai tempat
pertemuan warga. Kehadiran masjid yang di fungsikan sekaligus sebagai balai
warga diikuti tidak hanya warga muslim tetapi juga non-muslim, meneguhkan
adanya makna masjid sebagai tempat membangun persatuan warga sesuai dengan
namanya, meskipun awalnya terdapat pro dan kontra pemanfaatkan masjid selain
untuk shalat jama’ah dan pengajian, namun seiring dengan dialektika pemaknaan
12

fungsi sosial masjid yang terjadi pada masyarakat akhirnya bisa diterima sebagai
upaya memakmurkan masjid.
Proses dialektika pemaknaan fungsi masjid berkat peran dari pengurus Takmir
Masjid Al-Ittihad yang cukup signifikan dalam membangun kehidupan religi dan
sosial masyarakat di Perumahan Chandra Indah tentang aspek-aspek kesalehan
sosial masyarakat. Pengurus Takmir Masjid terlihat berperanaktif dalam
meningkatkan minat masyarakat terhadap pengetahuan agama dalam bentuk
pengajian dan kajian yang bersifat rutin baik ibu-ibu, bapak-bapak, remaja maupun
anak-anak, dan ini juga dimaknai sebagai kesalehan sosial lainnya. Hal tersebut
dapat dilihat dalam program-program dan kegiatan–kegiatan keagamaan baik yang
sifarnya vertikal atau hubungan manusia dengan Tuhan maupun yang bersifat
horizontal atau hubungan antar sesama manusia. Perilaku keagamaan seperti
mencerminkan kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosialnya tidak hanya
pengurus takmir masjid melainkan seluruh jama’ah masjid.

Kesalehan hanya

memiliki makna individual, jika hanya ditujukan pada pemenuhan kepentingan diri
sendiri, tidak mempedulikan kepentingan orang lain, untuk tidak mengatakan
mengabaikan hak–hak orang lain. Kesalehan itu akan berubah dari kesalehan
individu menjadi salehan sosial dengan tidak mementingkan kepentingan diri
sendiri semata dengan melupakan kewajiban sosialnya. Di sinilah perlunya
membangun kesalehan individual dan sosial sekaligus.
c. Zakat Infaq dan Shadaqah dan Solidaritas Sosial
Kesadaran praktik berzakat, infaq dan sedekah yang dilakukan masyarakat
Chandra Indah terkait dengan pemahaman dan keyakinan bahwa harta benda yang
dimiliki kemudian di zakati, infaq atau untuk sedekah

akan bertambah jika

gunakan untuk kepentingan agama. Salah satu penggunaan harta hasil zakat infaq
dan bersedakah yang dikelola oleh takmir masjid selama digunakan untuk
pembangunan Masjid, membantu TPA, memberi bisaroh untuk ustadz dan
ustadzah pengajar al-Qur’an dan TPA. Sedangkan yang digunakan untuk memberi
kepada fakir miskin zakat yang dikumpulan pada bulan ramadhan. Memang ada
kesenjangan pemahaman bagi takmir masjid, dana-dana yang terkumpul selain
bulan ramadhan itu dikatagorikan sebagai infaq dan sadaqah, dan yang terkumpul
di bulan ramadhan itu zakat yang disalurkan kepada fakir miskin.

13

Kewajiban

berzakat, bersedekah menjadi pendorong bagi berjalannya proses ajaran Islam
untuk memperoleh kekayaan.
Dalam buku catatan ZIS takmir masjid menunjukkan adanya peningkatan
budaya bersedakah dan berinfaq pada masyarakat perumahan meski hal ini masih
difahami sebagai ranah sosial. Religiusitas dan meningkatnya pendapatan keluarga
berpengaruh terhadap praktik berderma khususnya dari kalangan para pensiunan.
Sementara di para tokoh dan elit Chandra Indah memiliki komitmen terhadap
kaum miskin dan lemah secara simbolis direpresentasikan oleh kewajiban
membayar zakat karena alasan gaji yang telah diterima melebihi batas yang
diwajibkan membayar zakat kepada pengurus takmir. Konsep zakat bermakna
membersihan atau menambah harta. Zakat dapat diartikan sebagai sebuah proses
purifikasi harta benda, karena harta yang dimiliki terdapat hak untuk orang-orang
miskin. Oleh memberikan zakat juga menunjukkan ketaatan dan kepatuhan kepada
perintah Allah Swt, seperti halnya seorang muslim yang menegakkan shalat karena
zakat merupakan salah satu dari 5 rukun Islam (arkan al-Islam).
Dalam pengelolaan dan pemanfaatan dana ZIS yang dikelola takmir selain
untuk pembangunan masjid, transport ustadz , utadzah guru TPA, juga dimanfaat
untuk pengobatan orang-orang miskin, khitan anak yatim, dan pembiayaan sekolah
anak-anak fakir miskin telah memberikan nuansa baru dalam mengembangkan
solidaritas

masyarakat

perumahan

dengan

masyarakat

kampung

sekitar

perumahan. Dalam perspektif sosiologi Berger (1994) bahwa perubahan orientasi
pengelolaan ZIS akibat modernisasi atau modernitas merupakan bentuk pergeseran
nilai, norma, makna, dan simbol yang mengarah pada segmentasi sosial dan
kemajemukan pandangan hidup. Akibatnya, setiap muslim

harus memahami

bagaimana orientasi keagamaan untuk menjaga pesan-pesan suci. Oleh karena
kanopi tradisional dan sistem legitimasi pada dasarnya bersifat religius sehingga
dampak modernitas sejalan dengan agama. Akan tetapi jika modernitas dipahami
sebagai pluralisasi pandangan hidup adalah transisi dari kanopi religius kepada
kanopi yang tidak religius lagi. Dengan kata lain, definisi religius tentang
kenyataan dalam berbagai sektor kehidupan bukan lagi merupakan satu-satunya
definisi tentang kenyataan. Di samping itu, definisi religius pada satu sisi menjadi
pribadi, sedangkan pada sisi lain menjadi sesuatu yang sangat universal, dengan
kata lain modernitas menimbulkan disorientasi dalam sistem sosial.
14

d. Majelis Taklim dan Transfer Pengetahuan Agama
Sebagaimana

disebutkan

diatas

pengajian

atau

kajian

rutin

yang

diselenggarakan masyarakat Islam Chandra Indah dikelola ibu-ibu waktunya tiap
mingguan, bapak-bapak tiap bulanan, remaja juga tiap bulanan dan TPA tiap dua
hari sekali. Forum kajian ini, meraka sering menyebut dengan istilah majelis
taklim yang berarti tempat (majelis) pengajaran (taklim). Tempat pengajaran atau
pengajian bagi masyarakat yang ingin mendalami ajaran-ajaran Islam sebagai
sarana dakwah dan pengajaran. Kajian ini

bertujuan meningkatkan keimanan

dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia bagi jamaahnya, serta
mewujudkan rahmat bagi alam semesta. Dalam prakteknya, majelis taklim di
Masjid al-Ittihad di pandang sebagai tempat pangajaran atau pendidikan agama
Islam yang paling fleksibel dan tidak terikat oleh waktu. Meskipun majelis taklim
ini bersifat terbuka terhadap segala usia dan jelis kelamin kenyataan pesertanya
tersegmentasi sesuai ide awal kajian yang difasiltasi oleh takmir masjid, seperti
pengajian ibu-ibu, sesuai namanya Majelis Taklim khairun-nisa’ peserta semua
Ibu-ibu. Sebagaimana disampaikan takmir masjid, majelis taklim memiliki dua
fungsi sekaligus, yaitu sebagai lembaga dakwah dan tempat mencari ilmu agama
Islam bagi masyarakat Chandra Indah. Pengajar atau ustadz-ustadzah diambilkan
dari luar perumuhan dengan harapan menambah wawasan pengetahuan agama,
termasuk khutbah jum’at.
Fleksibilitas majelis taklim inilah yang menjadi kekuatan masyarakat
termasuk pengajian yang dikelola ranting Muhammadiyah,

sehingga mampu

bertahan dan merupakan pengajaran Islam yang paling dekat dengan umat
(masyarakat). Majelis taklim juga merupakan wahana interaksi dan komunikasi
yang kuat antara masyarakat dengan takmir, ustadz dengan jama’ah, dan antar
sesama anggota jamaah majelis taklim.

Dan menjadi tempat pendidikan

keagamaan alternative bagi mereka yang tidak memiliki cukup tenaga, waktu, dan
kesempatan menimba ilmu agama melalui jalur pendidikan formal. Inilah yang
menjadikan majlis taklim memiliki nilai karakteristik tersendiri bagi masyarakat
perumahan. Melihat peran yang begitu besar dari majelis taklim ini, maka
pemerintah menjadikan majelis taklim sebagai sub sistem pendidikan nasional
sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
15

Oleh karena itu secara filosofi hubungan antara jama’ah majelis taklim dan
masjid (takmir dan para ustadz) pada dasarnya menurut Sastrapateja (1982)
merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen, yaitu
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi manusia
mengekspresikan dirinya dengan membangun dan memelihara dunianya. Melalui
eksternalisasi ini masyarakat menjadi bagian dari manusia, kenyataan yang berada
di luar manusia. Kenyataan ini menjadi realitas objektif, yaitu suatu kenyataan
yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Proses ini disebut
objektivasi. Masyarakat dengan pranata sosialnya mempengaruhi, bahkan
membentuk perilaku manusia. Dari sudut manusia dapat dikatakan bahwa
masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi. Artinya,
melalui eksternalisasi masyarakat menjadi kenyataan yang dibuat oleh manusia;
melalui objektivasi masyarakat menjadi kenyataan yang berhadapan dengan
manusia; melalui internalisasi manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh
masyarakat. Apabila manusia melupakan bahwa masyarakat diciptakan oleh
manusia, maka ia terasing atau teralienasi.
e. Islam

sebagai “Belief Sytem”

Masyarakat perumahan sebagai masyarakat

yang heterogen,

Islam

diposisikan sebagai agama wahyu dana pada hakikatnya merupakan: (a) suatu
system keyakinan (belief system) dan sistem kaidah normatif (normative system)
yang berasal dari Allah, untuk mengatur tata kehidupan manusia oleh Tuhan,
manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan alam lainnya, (b)
sistem keyakinan yang bertujuan dengan mengarahkan pada kebahagiaan dunia
dan akhirat. Sistem nilai dan norma, Islam mempunyai dua sumber pokok yaitu
Al-Qur’an dan As Sunnah. Akidah yang diposisikan sebagai akar dan pokok dalam
agama Islam, yang mana Agama Islam mengajarkan konsep rukun Iman yang
dikenal dengan Arkanul Iman yang merupakan rukun-rukun Iman. Sedangkan
agama Islam kaitannya dengan akhlaq, yang pada dasarnya akhlaq Islam berkaitan
dengan kaidah nilai yang mendasari tata hubungan manusia dengan sang pencipta,
manusia dengan manusia serta manusia dengan unsur alam non manusia.
Masyarakat perumahan sebagai masyarakat kelas menengah memahami
bahwa ritus keagamaan yang dilakukan seperti shalat, puasa, zakat, berhaji, belum
menunjukkan korelasi berarti dengan religiusitas pribadi keseharian. Dalam sitem
16

keyakinan, masih cenderung menenkan tradisi yang biasa dilakukan, tanpa
apresiasi dan pelibatan psikis secara mendalam meski sebagai masyarakat modern.
. Sedang penghayatan religiusnya selalu menampakan Pengalaman individu
masyarakat kelas menengah yang dipenuhi pelbagai modernitas cenderung
menumbuhkan kognitif masyarakat tidak sesuai dengan ajaran agama itu sendiri.
Rasionalisasi, materialisme, dan positivesme merupakan faktor modernitas yang
mempengaruhi kondisi kesadaraan beragama masyarakat. Seorang tokoh
perumahan Chandra Indah menyatakan bahwa; “ Warga Chandra Indah ini hampir
90% berlatar belakang pendidian tinggi dan mempunayi kedudukan penting di
lingkungan kerjanya pada umumnya memiliki kecenderungan hidup modern, akan
tetapi pemahaman kepercayaan agama cenderung tradisional”.
Secara sosiologis agama bagi masyarakat perumhan diyakini berisikan ajaranajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi Tuhan dan
petunjuk petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akherat. Agama sebagai
sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada
dalam kebudayaan dari masyarakat perumahan. Agama menjadi pendorong,
penggerak dan pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat untuk
tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan

dan ajaran-ajaranya.

Keyakinan akan kebenaran mutlak terhadap agama tersebut mendorong manusia
untuk menjalankan atau mengikuti apa saja yang diperintahkan dalam ajaran
agama melalui kitab-kitab suci. Dengan demikian maka secara langsung atau tidak
langsung etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata
yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, pendidikan, dan
sebagainya), dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai
yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya; dan terwujud dalam kegiatankegiatan para warga masyarakatnya sebagai tindakan-tindakan yang diselimuti
oleh simbol-simbol suci. Salah satu ciri dalam agama adalah penyerahan diri
secara total kepada Tuhannya. Agama secara

konseptual dan obyektif,

memberikan arti terhadap realitas sosial dan psikologis baik dengan cara
menyesuaikan pola-pola budaya agama maupun menyesuaikan agama dengan
pola-pola budaya itu, dengan cara memformulasikan berbagai konsep tentang
suatu tatanan yang hidup .

17

4. Nilai-nilai Penghayatan yang di Kembangkan
Dalam kehidupan bermasyarakat perumahan Chandra Indah, agama memegang
peranan yang besar dan sangat penting. Keberadaan agama di tengah-tengah
masyarakat tidak dapat diabaikan. Agama mengatur tentang bagaimana membentuk
masyarakat yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan kerukunan dalam
kultur masyarakat yang majemuk. Seperti yang kita semua ketahui bahwa tidaklah
mudah untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan, utamanya perbedaan pendapat
yang ada di masyarakat dapat memicu timbulnya perselisihan. Di sinilah posisi agama
memainkan perannya yang penting sebagai penegak hukum dan menjaga agar
masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang berlaku. Jika dalam
masyarakat agama sudah tidak dianggap memegang peran yang penting, dapat
dipastikan kehidupan sosial masyarakat tersebut akan mengalami dekadensi moral dan
kekacauan yang nantinya bakal meluas ke lingkup yang lebih luas, yakni bangsa dan
negara.
Agama memainkan perannya yang sentral dalam membentuk kultur maupun
kehidupan sosial kemasyarakatannya melalui nilai-nilai luhur yang diajarkannya. Dari
sekian banyak nilai-nilai dalam agama tersebut, nilai luhur yang paling banyak dan
paling relevan dengan sosial kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang tetap menjaga
agar masyarakat tetap konsisten dalam menjaga stabilitas lingkungan, serta nilai
kemanusiaan yang mengajarkan manusia agar dapat saling mengerti satu sama lain,
serta dapat saling bertenggang rasa. Saling memahami antar masyarakat merupakan
langkah awal yang bagus untuk membentuk masyarakat yang madani. Beberapa fungsi
agama secara sosiologis dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Fungsi edukatif, yanng berkaitan dengan upaya pemindahan dan pengalihan
(transfer) nilai dan norma keagamaan dalam masyarakat. Dalam hal ini, fungsi
terdasar dan paling universal dari apa yang diperankan oleh hampir semua jenis
agama baik kategori agama wahyu maupun bukan wahyu adalah bahwa agama
memberikan orientasi dan motivasi serta membantu untuk mengenal dan
memahami sesuatu hal yang ”sakral” atau makhluk tertinggi.
b. Fungsi penyelamatan. Dalam kaitan ini, agama memberikan rasa kedamaian,
ketenangan, dan ketabahan dalam menghadapi berbagai persoalan sulit yang
dihadapinya. Agama membimbing dan mengarahkan manusia untuk memperoleh

18

kebahagiaan dan juga memberikan harapan-harapan ketika manusuia berada dalam
situasi ketidakpastian, penderiataan, kekecewaan, frustasi, atau kemiskinan.
c. Fungsi kontrol sosial (pengawasan sosial). Kontrol sosial yang dimaksud adalah
seluruh pengaruh kekuatan yang menjaga terbinanya pola-pola kelakuan dan
kaidah-kaidah sosial milik masyarakat. Dalam hal ini, agama sebagai sistem norma
dan sistem nilai yang memberikan pembatasan (limitasi) mdan pengkondisian
(conditioning) terhadap tindakan atau perilaku individu atau masyarakat, sehingga
dapat mengarahkan tercapainya tujuan masyarakat itu sendiri. Jadi, agama dapat
disimpulkan lebih jauh pada kenyataannya ”bukan semata merupakan persoalan
keyakinan pribadi yang melekat dalam diri individu, melainkan juga memiliki
dampak sosial bagi masyarakat secara keseluruhan sebahai hakikat kolektifnya”.
Dengan demikian, agama apapun namanya, sebagai sistem norma dan nilai
maupun sebagai sistem relasi sosial mempunyai daya ubah (transformabilitas) bagi
masyarakatnya, terutama bagi komonitas pemeluknya.
Dalam relasi sosial dan agama, sesuatu yang menjadi penting adalah bagaimana
suatu teologi agama mendefinisikan dirinya di tengah-tengah masyarakat sehingga
membentuk sistem sosial dan mampu berinteraksi dengan aneka keragaman budaya
sehingga terjalin kondisi yang pluralisme. Hal ini berkaitan dengan interpretasi ajaranajaran agama oleh masyarakat, dialog agama baik menyangkut agama itu sendiri
maupun modernitas, dan membangun pluralisme masyarakat. Dengan demikian akan
terlihat identitas sosial-agama masyarakat yang bersangkutan.

Dialektika sosial

memang menempatkan manusia, masyarakat dan kebudayaan dalam hubungan yang
dialektis dan interdependence. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi
masyarakatnya dan pada sisi yang lain, secara kodrati dan bersamaan, manusia berada
dan berhadapan dengan masyarakatnya pula. Di dalam masyarakatlah dan sebagai
hasil proses sosial, individu memperoleh dan berpegang pada suatu identitas. Inilah
fenomena inheren dari fenomena masyarakat.
C. KESIMPULAN
Memahami fenomena keagamaan sebagaimana dirumuskan oleh Emile Durkheim
selalu bersifat fungsional. Agama bukanlah sekedar doktrin-doktrin tentang masalahmasalah supernatural, agama bukan pula sekedar ajaran yang terdapat dalam manuskrip,
melainkan sebuah gejala sosial yang merefleksikan kohesivitas dan solidaritas sosial
19

masyarakat. Konsep-konsep moralitas dibangun sebagai sebuah kesadaran kolektif yang
mengikat sebuah kelompok masyarakat secara kolektif. Dalam konteks ini, sebuah
kehidupan etis, atau mungkin religious, sangat tergantung kepada kohesi dan solidaritas
antara individu.
Dalam konteks masyarakat urban memiliki kecenderung melakukan pemaknaan baru
terhadap sistem nilai dan norma-norma keagamaan yang yakin dan dihayati dalam suatu
masyarakat yang heterogen, lalu mengekspresikan nilai-nilai penghayatan dalam bentuk
upaya menjaga kebersamaan melalui pesan-pesan agama yang bersifat fungsional. Namun
ketika pemaknaan baru indvidu dalam masyarakat tersebut terjebak konflik interes yang di
pengaruhi materi, maka dibutuhkan sesuatu kekuatan nilai-nilai transenden. Penemuan
pemaknaan transenden yang baru inilah yang kemudian disebut kesadaran kolektivitas
dalam agama.
Oleh karena dalam relasi sosial antara

agama dan masyarakat,

memeliki arti penting penting ketika mendefnisikan agama dan dirinya
ditengah-tengah masyarakat sehingga membentuk sistem sosial dan
mampu berinteraksi dengan aneka ragam ekonomi, sosial, budaya
sehingga terjalin kondisi yang majemuk bagi keniscayaan masyarakat
modern seperti masyarakat perumahan Chandra Idah. Hal ini berkaitan
dengan interpretasi ajaran-ajaran agama oleh masyarakat, dialog
agama baik menyangkut agama itu sendiri maupun modernitas, dan
membangun kebersamaan masyarakat.

20

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Andreski, Stanislav. 1989. Max Weber : Kapitalisme, Birokasi, dan Agama. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Bellah, Robert N. Beyond Belief, New York: Harper & Row, 1976.
Berger, Peter L. 1982. Piramida Kurban Manusia , terj. A. Rahman Tolleng, Jakarta: LP3ES,
________. 2005. The Other Side of God: Sisi Lain Tuhan. Yogyakarta: Qalam.
________. 1994. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (terjemahan: The Scred
Canopy), Jakarta: Pustaka LP3ES.
________. 2005. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer Suatu Pengantar Semiotika.
Yogyakarta: Triara Wacana.
________. 1990, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan,
Jakarta: LP3ES.
Casanova, Jose. 2003. Agama Publik Di Dunia Modern: Public Religion in the Modern
World. Surabaya: Pustaka Eureka; Malang: ReSIST, dan Yogyakarta: LPIP.
Doyle Paul Johnson dalam Robert M.Z. Lawang (terj.), Teori Sosiologi Klasik dan
Modern, Jakarta, Gramedia, 1990, hlm 112.
Durkheim, Emile.1950 The Elementary Form of the Religious Life, (A Free Press Paperback,
Macmillan Publishing Cop.Inc,)
______. 2003. Sejarah Agama (The Elementary Forms of the Religious Life). Yogyakarta:
IRCiSoD.
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme Dan Modernitas: Diskursus Filosofis
Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris: Deskripsi, Kritik, dan Dekontruksi.
Yogyakarta: Kanisius.
Hardjana, AM. 1993. Penghayatan Agama: Yang Otentik & Tidak Otentik. Yogyakarta:
Kanisius.
21

Hardjana, Agus M. 2005. Religiousitas, Agama, dan Spiritualitas.Yogyakarta: Kanisius.
Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Leahy, Louis. 2005. Sains dan Agama Dalam Konteks Zaman Ini. Yogyakarta: Kanisius.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor: Akademia.
Maman, KH, Deden Ridwan, M. Ali Mustofa, dan Ahmad Gaus. 2006. Metode Penelitian
Agama: Teori dan Praktik, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Mulkhan, Abdul Munir. 2003. Revolusi Kesadaran dalam Serat-Serat Sufi. Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta.
Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qala