Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban di Kabupaten Bogor Tahun 2014

(1)

PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL-URBAN DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh:

MAYLI FAROH NABILA 1110101000032

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

iii FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi, 06 November 2014

Mayli Faroh Nabila, NIM: 1110101000032

Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban di Kabupaten Bogor Tahun 2014

ABSTRAK

Latar Belakang: Perubahan gaya hidup pada masyarakat mengakibatkan peningkatan angka kejadian hipertensi. Prevalensi hipertensi meningkat cepat disinyalir karena adanya urbanisasi Perubahan ini berkontribusi pada prevalensi hipertensi yang lebih tinggi pada masyarakat urban ketika dibandingkan dengan masyarakat rural. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban di Kabupaten Bogor tahun 2014.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan sampel yang terbagi dalam 2 wilayah yakni rural dan urban. Wilayah rural diwakili oleh Desa Pabuaran di Kecamatan Sukamakmur sedangkan wilayah urban diwakili oleh Desa Jampang di Kecamatan Kemang. Analisis statistik yang digunakan yakni uji chi-square.

Hasil: Kejadian hipertensi berdasarkan kelompok usia pada masyarakat urban dan rural paling banyak pada kelompok usia yang sama, yakni 55-64 tahun. Kejadian hipertensi berdasarkan jenis kelamin pada masyarakat rural lebih banyak pada perempuan, sedangkan pada masyarakat urban perbedaan pada laki-laki dan perempuan tidak begitu jauh. Kejadian hipertensi akibat konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, tidak konsumsi buah dan sayur, dan obesitas lebih banyak terjadi pada masyarakat rural dibandingkan urban. Sedangkan kejadian hipertensi akibat perilaku merokok dan kurang aktivitas fisik lebih banyak terjadi pada masyarakat urban dibandingkan rural. Tidak ada perbedaan antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban (p=0,874).

Simpulan: Tidak ada perbedaan antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban di Kabupaten Bogor tahun 2014. Namun, perubahan gaya hidup masyarakat rural yang mengikuti gaya hidup masyarakat urban harus segera ditindaklanjuti dengan penanggulangan penyakit hipertensi seperti peningkatan pengetahuan tentang hipertensi dan deteksi dini faktor risiko.

Kata kunci: Kejadian Hipertensi, Masyarakat Rural, Masyarakat Urban Daftar Bacaan: 96 (1994-2014)


(6)

iv FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION Undergraduate Thesis, 06 November 2014 Mayli Faroh Nabila, NIM: 1110101000032

The Differences of Hypertension Occurrence On Rural-Urban Communities in Kabupaten Bogor 2014

ABSTRACT

Introduction: The prevalence of hypertension increase as well as lifestyle changes because of urbanization. The enhancement has shown in urban community clearer than rural community. This study aim is to find the differences of hypertension occurrence on rural-urban communities in Kabupaten Bogor 2014.

Method: This cross-sectional study has sample which is divide to two communities, rural and urban. Rural area represented by Desa Pabuaran in Kecamatan Sukamakmur, while urban community represented by Desa Jampang in Kecamatan Kemang. Statistic analysis use chi-square test.

Result: Hypertension occurrence based on age group on rural and urban communities has the most on 55-64 years old. Based on sex, on rural community, women more than men, while on rural community, men and women have not too difference. The occurrence hypertension on rural community higher on urban community based on frequency of salty food consumption, frequency of fatty food consumption, frequency of fruit and vegetable consumption, and obesity. While the occurrence of hypertension on urban community higher on rural community based on physical activity and smoking behavior. There is no difference between hypertension occurrence on rural and urban communities (p=0,874).

Discussion: There is no difference between hypertension occurrence on rural and urban communities in Kabupaten Bogor 2014. But, the lifestyle changes of rural community must be solved by the improvement of knowledge and early detection of hypertension.

Keyword: Hypertension Occurrence, Rural Community, Urban Community Reading List: 96 (1994-2014)


(7)

v RIWAYAT HIDUP PENULIS

A. Identitas Pribadi

Nama Lengkap : Mayli Faroh Nabila

Tempat, Tanggal Lahir : Jember, 09 September 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Dusun Krajan 01 RT 003 RW 002 Desa Karang Duren Kecamatan Balung Kabupaten Jember 68161

Nomor Telepon : 085781334456

Email : maylifaroh@gmail.com

B. Pendidikan Formal

1998-2004 : SD Islam Sabilillah Malang 2004-2007 : SMP Islam Sabilillah Malang

2007-2010 : SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT RSBI Jombang

2010-2015 : S1-Peminatan Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


(8)

vi KATA PENGANTAR

Puji syukur dan sembah sujud penulis haturkan di hadapan Allah, atas nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tetap tercurah dan terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari jalan jahilliyah menuju jalan yang terang benderang.

Skripsi ini berjudul Perbandingan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban di Kabupaten Bogor tahun 2014. Tema ini diangkat karena hingga saat ini belum banyak orang yang meneliti tentang perbandingan kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban. Perbedaan kejadian hipertensi pada dua golongan masyarakat ini akan berdampak pada perbedaan cara penanggulangan hipertensi pada kedua wilayah tersebut. Penulis berharap adanya skripsi ini dapat berkontribusi terhadap pengendalian penyakit hipertensi di Indonesia.

Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Ibu Fajar Ariyanti, M. Kes, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat serta penanggungjawab Mata Kuliah Skripsi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014.

2. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS selaku dosen pembimbing skripsi atas konsultasi, arahan serta bimbingannya selama penyusunan skripsi. 3. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes selaku


(9)

vii Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing skripsi atas arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini. 4. Keluarga penulis, Bapak H. Khariri Machmud, Ibu Nanik Ni’matus

Sa’diyah, dan Fika Hilmiyatu Durry, atas do’a serta dukungan yang tak hentinya diberikan.

5. Keluarga besar penulis di Pondok Pesantren MHI, di Yayasan Pendidikan Al-Hidayah, dan di Pondok Pesantren Mambaul Islah, atas dukungan, semangat, motivasi, dan doanya. Semoga ilmu yang penulis dapatkan bisa berguna di yayasan pendidikan milik keluarga ini. Amiinn.

6. Bapak Wahyudi, Ibu Lilik Surti Purwani, Arga Indera dan Ainun Anugerah, atas semangat dan doa yang terus diberikan kepada penulis. 7. Bapak Darmawan, Ibu, Firas, Yasmin, dan Zahra, atas dukungan teknis

dan support yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalas seluruh kebaikan kalian dengan keberkahan dan kebaikan yang berlipat ganda. Amiinn.

8. Teman-teman Kesehatan Masyarakat tahun 2010 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang terus memberikan semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini

9. Teman-teman seperjuangan di peminatan epidemiologi, Tika, Ati, Rizka, Zata, Wiwid, Ii, Najah, Lutfi, Mba Putri, Ana, Nida, Karlina, Harun, Bayu, yang memberikan segala bantuan yang diberikan, dan selalu ada dalam suka dan duka.


(10)

viii 10.Teman-teman seperjuangan di CSS MoRA khususnya pengurus nasional periode 2013-2015 dan CSS MoRA UIN Jakarta 2010, teman-teman seperjuangan dari Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang (Puput, Fuad, Desy, dan Angger) yang tak hentinya mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan penelitian pada skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar penulis dapat menyusun laporan penelitian yang lebih baik dimasa yang akan datang. Semoga segala keberkahan selalu dilimpahkan kepada kita semua, dan penulis berharap, skripsi ini dapat membawa manfaat bagi banyak orang yang membacanya.

Ciputat, 03 Juni 2014


(11)

ix DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

1.6 Ruang Lingkup ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Hipertensi ... 9

1. Pengertian ... 9

2. Klasifikasi ... 11

3. Gejala ... 13

4. Etiologi ... 13

5. Patogenesis ... 15

6. Tatalaksana ... 17

2.2 Epidemiologi Hipertensi ... 20

2.3 Epidemiologi Deskriptif ... 21

1. Variabel Orang ... 22

2. Variabel Tempat ... 41

3. Variabel Waktu ... 48

2.4 Masyarakat Rural-Urban ... 50

2.5 Kerangka Teori ... 52

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 55


(12)

x

3.2 Definisi Operasional ... 58

3.3 Hipotesis Penelitian ... 61

BAB IV METODE PENELITIAN ... 62

4.1 Desain Penelitian ... 62

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 62

4.3 Populasi dan Sampel ... 62

4.4 Metode Pengumpulan Data... 64

4.5 Alur Pengumpulan Data ... 64

4.6 Instrumen Penelitian ... 64

4.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 65

BAB V HASIL ... 67

5.1 Distribusi Karakteristik Responden Masyarakat Rural-Urban berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu ... 67

1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Usia ... 67

2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin... 67

3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku Merokok ... 68

4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Asin ... 69

5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak ... 69

6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah ... 70

7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas Fisik ... 70

8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status Indeks Massa Tubuh ... 71

9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban ... 72

5.2 Gambaran Epidemiologi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural dan Urban berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu ... 72

1. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada Masyarakat Rural-Urban ... 73

2. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada Masyarakat Rural-Urban ... 73

3. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada Masyarakat Rural-Urban ... 74


(13)

xi 4. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban ... 75

5. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban ... 76

6. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban ... 76

7. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada Masyarakat Rural-Urban ... 77

8. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Obesitas pada Masyarakat Rural-Urban... 78

5.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban ... 78

BAB VI PEMBAHASAN ... 80

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 80

6.2 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada Masyarakat Rural-Urban ... 81

6.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada Masyarakat Rural-Urban (cari penelitian di perempuan rural, perempuan urban) ... 83

6.4 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada Masyarakat Rural-Urban ... 86

6.5 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban ... 88

6.6 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban ... 90

6.7 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban... 92

6.8 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada Masyarakat Rural-Urban ... 93

6.9 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks Massa Tubuh pada Masyarakat Rural-Urban ... 96

6.10 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban ... 97

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 102

7.1 Simpulan ... 102

7.2 Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 104


(14)

xii DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kriteria Wilayah Perkotaan (BPS, 2010) 48 Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Usia 67 Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin 68 Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku Merokok 68 Tabel 5.4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Asin 69

Tabel 5.5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Berlemak 69

Tabel 5.6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Sayur dan Buah 70

Tabel 5.7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas Fisik 71 Tabel 5.8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status Obesitas 71 Tabel 5.9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural dan Urban 72 Tabel 5.10. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada

Masyarakat Rural-Urban 73

Tabel 5.11. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada

Masyarakat Rural-Urban 74

Tabel 5.12. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada

Masyarakat Rural-Urban 74

Tabel 5.13. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Konsumsi Makanan

Asin pada Masyarakat Rural-Urban 75

Tabel 5.14. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Konsumsi Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban 76 Tabel 5.15. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Makanan Buah dan

Sayur pada Masyarakat Rural-Urban 77

Tabel 5.16. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada

Masyarakat Rural-Urban 77

Tabel 5.17. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Obesitas pada

Masyarakat Rural-Urban 78


(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring perkembangan zaman, penyakit yang banyak diderita masyarakat di Indonesia mulai bergeser dari penyakit menular menuju penyakit tidak menular. Hal ini dapat dilihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang menunjukkan adanya peningkatan kasus penyakit tidak menular, antara lain penyakit kardiovaskuler dan kanker secara cukup bermakna, menjadikan Indonesia mempunyai beban ganda (double burden), sedangkan kontribusi penyakit menular terhadap angka kesakitan dan kematian semakin menurun (Kemenkes, 2012). Penyakit kardiovaskuler yang memiliki dampak paling besar adalah hipertensi, karena penyakit ini dapat berkembang lebih lanjut menjadi penyakit jantung koroner dan stroke, yang dapat menyebabkan penderitanya mati mendadak.

Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 37,1% untuk penduduk dewasa. Namun, hanya 7,2% penduduk yang sudah mengetahui bahwa ia menderita hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat hipertensi (Kemenkes, 2007). Sedangkan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia menurun menjadi 26,5%. Penduduk yang mengetahui bahwa ia menderita hipertensi juga meningkat menjadi 9,4%. Namun, penduduk yang mengkonsumsi obat antihipertensi menurun menjadi 0,1% (Kemenkes, 2013).


(16)

2 Penurunan prevalensi hipertensi di Indonesia, tidak diiringi dengan penurunan proporsi faktor risiko hipertensi pada masyarakat Indonesia. Faktor risiko penyakit hipertensi antara lain perilaku merokok, konsumsi alkohol, kurangnya asupan sayur dan buah, konsumsi lemak tinggi, hingga obesitas dan kurang olahraga (Aisyiyah, 2009). Berdasarkan Riskesdas 2013, proporsi perokok semua umur sebesar 29,3% dengan rata-rata jumlah batang yang dihisap mencapai 12,3 batang. Penduduk laki-laki umur 10 tahun ke atas yang merupakan perokok tiap hari sebesar 47,5%. Menurut pendidikan, proporsi tertinggi dijumpai pada penduduk tamat SMA (28,7%) (Kemenkes, 2013).

Faktor risiko hipertensi selain merokok adalah aktivitas fisik. Proporsi aktivitas fisik kurang aktif penduduk Indonesia adalah 26,1% (Kemenkes, 2013). Mayoritas penduduk Indonesia banyak yang melakukan perilaku sedentari. Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan /transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur.

Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi umur harapan hidup. Laporan Riskesdas 2013 menunjukkan sebanyak 42,0% penduduk kelompok umur ≥10 tahun dengan perilaku aktifitas sedentari 3-5,9 jam, sedangkan sedentari ≥6 jam per hari meliputi hampir satu dari empat penduduk (Kemenkes, 2013).


(17)

3 Konsumsi makanan asin dan berlemak juga merupakan faktor risiko hipertensi. Konsumsi makanan asin di Indonesia meningkat dari 24,5% menjadi 26,2% di 2007 ke 2013 (Kemenkes, 2013).

Dilihat dari faktor risikonya, memang secara garis besar dapat dikatakan bahwa hipertensi disebabkan oleh gaya hidup seseorang. Gaya hidup yang tidak sehat berkembang seiring dengan arus globalisasi. Efek dari globalisasi ini secara nyata lebih terlihat efeknya di daerah urban (Modesti, et al., 2013).

Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di wilayah urban lebih tinggi daripada rural. Prevalensi hipertensi di wilayah urban sebesar 26,1% sedangkan di wilayah rural sebesar 25,5% (Kemenkes, 2013). Namun hal ini tidak menjamin proporsi faktor risiko hipertensi pada masyarakat Indonesia lebih tinggi di daerah urban dibandingkan rural.

Berdasarkan Riskesdas 2013, pada faktor risiko perilaku merokok, proporsi penduduk merokok setiap hari di wilayah rural lebih tinggi daripada wilayah urban. Proporsi penduduk merokok setiap hari di wilayah urban sebesar 23,2%, sedangkan di wilayah rural sebesar 25,5%. Pada kategori perilaku sedentari, proporsi penduduk yang melakukan aktivitas sedentari <3 jam dan 3-5,9 jam di wilayah rural jumlahnya lebih tinggi dibandingkan wilayah urban. Aktivitas sedentari di wilayah rural <3 jam sebesar 35,4% sedangkan di wilayah urban sebesar 32,3%. Aktivitas sedentari 3-5,9 jam di wilayah rural sebesar 42,5% sedangkan di wilayah urban sebesar 41,6%.


(18)

4 Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 5 pulau besar yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pusat pemerintahan Indonesia berada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang paling besar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya.

Berdasarkan Riskesdas 2013, provinsi dengan prevalensi hipertensi tertinggi di Pulau Jawa adalah Jawa Barat. Hal ini didukung dengan proporsi faktor risiko hipertensi pada masyarakat Jawa Barat yang menduduki peringkat atas dalam beberapa kategori. Dalam kategori kebiasaan merokok, proporsi perokok setiap hari di Jawa Barat mencapai 27,1%, menjadi peringkat kedua nasional setelah Kepulauan Riau (27,2%), dan menjadi peringkat pertama di Pulau Jawa. Untuk perilaku sedentari, Jawa Barat menduduki peringkat empat tertinggi nasional proporsi penduduk yang melakukan perilaku sedentari lebih dari 6 jam (33,0%). Angka ini melebihi angka nasional perilaku sedentari yakni sebesar 24,1% (Kemenkes, 2013).

Berdasarkan analisis Riskesdas 2013 mengenai konsumsi makanan berlemak, berkolesterol tinggi, dan gorengan, provinsi Jawa Barat menduduki peringkat ketiga tertinggi nasional (50,1%). Angka ini berada diatas proporsi nasional yakni 40,7%. Untuk kategori konsumsi makanan asin, proporsi provinsi Jawa Barat sebesar 45,3%, berada diatas rata-rata nasional yakni 26,2%. Dalam kategori makanan hewani berpengawet, proporsi Jawa Barat sebesar 5,4%, sedangkan rata-rata nasional sebesar 4,3%. Dalam kategori makanan berpenyedap, Jawa Barat memiliki proporsi


(19)

5 sebesar 87,1%, sedangkan rata-rata nasional sebesar 77,3%. Begitu juga minuman berkafein, proporsi Jawa Barat sebesar 34,2% sedangkan rata-rata nasional sebesar 31,5% (Kemenkes, 2013). Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa Barat cukup berpotensi terkena hipertensi.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang cukup besar di Jawa Barat. Wilayah Kabupaten Bogor berbatasan dengan wilayah perkotaan seperti DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi. Hal ini menyebabkan arus urbanisasi di Kabupaten Bogor cukup deras. Dampak dari urbanisasi ini juga terlihat dari wilayah Kabupaten Bogor dimana sebagian dapat diklasifikasikan sebagai perkotaan, sedangkan lainnya diklasifikasikan sebagai pedesaan (BPS, 2010). Pola penyakit yang ada di masyarakat Kabupaten Bogor juga mulai bergeser dari penyakit menular ke arah penyakit tidak menular (Dinkes Bogor, 2012).

Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2012, penyakit Hipertensi menempati urutan pertama pola penyakit penderita rawat jalan di puskesmas pada kelompok umur 45-69 tahun (11,21%) dan kelompok umur >70 tahun (18,7%). Penyakit hipertensi juga menempati urutan delapan besar pola penyakit kasus rawat jalan di rumah sakit pada kelompok umur 5-44 tahun (3%), menjadi peringkat pertama pola penyakit rawat jalan di rumah sakit pada kelompok umur 45-69 tahun (17,46%) dan kelompok umur >70 tahun (19,02%). Pada kategori pola penyakit kasus rawat inap di rumah sakit pada kelompok umur 5-44 tahun, hipertensi merupakan penyakit terbanyak kedelapan (3,38%), menjadi penyakit kedua terbanyak (7,51%) pada kelompok umur 45-69 tahun, serta peringkat pertama


(20)

6 (11,94%) pada kelompok umur >70 tahun. Dari segi faktor risiko, berdasarkan Survei Kesehatan Daerah Kabupaten Bogor tahun 2007, diketahui persentase perokok aktif di Kabupaten Bogor sebesar 27,1%, angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase perokok aktif di Jawa Barat (26,7%) dan secara nasional (23,7%). Data ini menunjukkan potensi besar adanya kemungkinan peningkatan angka morbiditas akibat hipertensi di Kabupaten Bogor (Dinkes Bogor, 2012).

Menurut peneliti, perlu dilakukan penelitian mengenai hipertensi rural-urban untuk mewaspadai prevalensi penyakit tidak menular agar tidak menjadi fenomena gunung es, karena selama ini penelitian mengenai penyakit tidak menular lebih difokuskan kepada daerah perkotaan (Pradono dkk., 2013 dan Sirait dkk, 2012). Selain itu, penelitian yang membahas tentang perbandingan hipertensi pada masyarakat rural-urban belum banyak dilakukan (Badar, 2010). Oleh karena itu, peneliti akan mengangkat tema tentang Perbedaan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten Bogor Tahun 2014

1.2 Rumusan Masalah

Peningkatan prevalensi hipertensi yang cepat disinyalir dikarenakan adanya urbanisasi. Di Kabupaten Bogor, prevalensi hipertensi meningkat dari tahun ke tahun. Hipertensi telah menjadi penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat. Faktor risiko yang dimiliki oleh masyarakat berbanding lurus dengan jumlah kasus yang terus meningkat. Faktor geografis kini terbukti menjadi salah satu faktor risiko penyakit degeneratif, seperti hipertensi. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang semakin


(21)

7 mendekati pusat pemerintahan, maka lebih berisiko terkena hipertensi.Masalah yang hendak diangkat dari penelitian ini adalah Perbedaan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten Bogor Tahun 2014

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran epidemiologi kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban berdasarkan orang, tempat, dan waktu?

2. Apakah ada perbedaan antara kejadian hipertensi di masyarakat rural dan urban?

1.4 Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbedaan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten Bogor Tahun 2014

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui gambaran epidemiologi kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban berdasarkan orang, tempat, dan waktu.

b. Mengetahui perbedaan antara kejadian hipertensi di masyarakat rural dan urban.


(22)

8 1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Tambahan referensi dan acuan penelitian mengenai hipertensi pada masyarakat rural-urban.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor

a. Bahan referensi dalam perencanaan program pengendalian penyakit hipertensi dan memproyeksikan perkembangan penyakit hipertensi.

3. Bagi Puskesmas Kecamatan Setempat

a. Acuan dan bahan pertimbangan untuk perencanaan dan evaluasi program pengendalian penyakit hipertensi.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Perbedaan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten Bogor Tahun 2014. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November 2014. Metode penelitian ini adalah penelitian epidemiologi analitik dengan desain studi cross-sectional dengan jumlah sampel sebanyak 160 yang terdiri atas 80 responden masyarakat rural dan 80 responden masyarakat urban. Faktor yang diteliti antara lain umur, jenis kelamin, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, konsumsi buah dan sayur, aktivitas fisik, dan indeks massa tubuh. Kemudian, faktor-faktor tersebut dilihat perbedaannya antara lokasi tempat tinggal responden di rural dan urban. Cara pengambilan sampel menggunakan teknik multistage random sampling.


(23)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

1. Pengertian

Hipertensi adalah penyakit yang makin banyak dijumpai di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistole, yang tingginya tergantung umur individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, umur, dan tingkat stres yang dialami. Hipertensi juga sering digolongkan sebagai ringan, sedang, atau berat, berdasarkan tekanan diastole. Hipertensi ringan bila tekanan darah diastole 95-104, hipertensi sedang tekanan diastole-nya 105-114, sedangkan hipertensi berat jika tekanan diastole-diastole-nya >115 (Tambayong, 2000).

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan konsisten diatas 140/90 mmHg. Diagnosis hipertensi tidak berdasarkan pada peningkatan tekanan darah yang hanya sekali. Tekanan darah harus diukur dalam posisi duduk dan berbaring (Baradero, 2008).

Hipertensi dengan peningkatan sistole tanpa disertai peningkatan tekanan diastole lebih sering pada lansia, sedangkan hipertensi peningkatan tekanan diastole tanpa disertai peningkatan tekanan sistole lebih sering terdapat pada dewasa muda. Hipertensi


(24)

10 dapat pula digolongkan sebagai essensial atau idiopatik, tanpa etiologi spesifik, yang paling sering dijumpai. Bila ada penyebabnya, disebut hipertensi sekunder (Tambayong, 2000).

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg (Price & Wilson, 2006). Sedangkan menurut WHO, hipertensi atau tekanan darah tinggi yaitu tekanan darah sistole sama dengan atau diatas 140 mmHg, diastole di atas 90 mmHg (Mansjoer, 2000). Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda (dilakukan 4 jam sekali). Dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik (Corwin, 2000).

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Basha, 2008). Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi seringkali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Sustrani, 2006).


(25)

11 Ada dua macam hipertensi, yaitu hipertensi esensial (primer) dan sekunder. Sembilan puluh persen dari semua kasus hipertensi adalah primer. Tidak ada penyebab yang jelas tentang hipertensi primer, sekalipun ada beberapa teori yang menunjukkan adanya faktor-faktor genetik, perubahan hormon, dan perubahan simpatis. Hipertensi sekunder adalah akibat dari penyakit atau gangguan tertentu (Baradero, 2008).

2. Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu (Mansjoer, 2000):

a. Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik, terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, efek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal, terdapat sekitar 5%

kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.


(26)

12 Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu hipertensi sistolik dan hipertensi diastolik. Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut terlalu kuat sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Ini adalah tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar. Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi diantara dua denyutan. Sedangkan faktor yang mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur, obesitas, asupan garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi dalam keluarga (Arjatmo, 2001).

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Hipertensi primer merupakan jenis yang penyebab spesifik tidak diketahui. Sedangkan hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat diketahui. Penderita hipertensi sekunder ada 5%-10% kasus. Pada hipertensi penyebab dan patofisiologinya sudah diketahui sehingga dapat dikendalikan dengan obat-obatan atau pembedahan (Arjatmo & Hendra, 2001). Penyebab paling sering dari hipertensi sekunder


(27)

13 adalah adanya kelainan dan keadaan dari sistem organ lain seperti ginjal (gagal ginjal kronik, glomerolus nefritis akut), kelainan endokrin (tumor kelenjar adrenal, sindroma cushing) serta bisa diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan (kortikosteroid dan hormonal) (Sustrani, 2006).

Ada lagi istilah hipertensi benigna dan maligna, tergantung perjalanan penyakitnya. Bila timbulnya berangsur, disebut benigna; bila tekanannya naik secara progresif dan cepat, disebut hipertensi maligna, dengan banyak komplikasi, seperti gagal ginjal, CVA, hemoragi retina, dan ensefalopati (Tambayong, 2000).

3. Gejala

Bila timbul gejala, penyakit ini sudah lanjut. Gejala klasik yaitu sakit kepala, epistaksis, pusing, dan tinitus yang diduga berhubungan dengan naiknya tekanan darah, ternyata sama seringnya dengan yang terdapat pada yang tidak dengan tekanan darah tinggi. Namun gejala sakit kepala sewaktu bangun tidur, mata kabur, depresi, dan nokturia, ternyata meningkat pada hipertensi yang tidak diobati. Empat sekuele utama akibat hipertensi adalah stroke, infark miokard, gagal ginjal, dan ensefalopati (Tambayong, 2000).

4. Etiologi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini


(28)

14 tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

a. Hipertensi primer (esensial)

Hipertensi primer adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup ± 90% dari kasus hipertensi. Pada umumnya hipertensi esensial tidak disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan karena berbagai faktor yang saling berkaitan. Salah satu faktor yang paling mungkin berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi esensial adalah faktor genetik karena hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga. (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

b. Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan penderita hipertensi sekunder dari berbagai penyakit atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit


(29)

15 renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, dengan menghentikan obat atau mengobati/mengoreksi penyakit yang menyertai merupakan tahap awal penanganan hipertensi sekunder (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

5. Patogenesis

Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tekanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam yang tinggi, faktor genetik, stres, obesitas, faktor endotel. Selain curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya tekanan darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi tidak mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang. (Beevers et al, 2002).

Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat misalnya reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari


(30)

16 atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari sistem pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh beberapa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membrane sel, aktivitas saraf simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel. (Beevers et al, 2002).

Akibat yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan otak kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan akan mengakibatkan kematian pada bagian otak yang kemudian dapat menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat mengakibatkan kebutaan (Beevers et al, 2002). Gejala–gejala hipertensi antara lain sakit kepala, jantung berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah


(31)

17 lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus) dan dunia terasa berputar (Sustrani, 2006).

6. Tatalaksana

Penatalaksanan untuk menurunkan tekanan darah pada penderita tekanan darah tinggi dapat dilakukan dengan farmakologi dan non farmakologi.

a. Penatalaksanaan Farmakologi

Penatalaksanaan farmakologi adalah penatalaksanaan tekanan darah tinggi dengan menggunakan obat-obatan kimiawi. Beberapa jenis obat antihipertensi yang beredar saat ini, antara lain:

1). Diuretik

Diuretik adalah obat antihipertensi yang efeknya membantu ginjal meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air (Setiawati & Bustami, 2005). Meningkatkan ekskresi pada ginjal akan mengurangi volume cairan di seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah (Sheps, 2002).

2). Penghambat Adrenergik

Menurut Sheps (2002), penghambat adrenergik merupakan sekelompok obat yang terdiri dari alfa-bloker, beta-bloker, dan alfa-beta-bloker (abetol). Penghambat adrenergik berguna untuk menghambat pelepasan rennin, angiotensin


(32)

18 juga tidak akan aktif. Angiotensin I tidak akan dibentuk dan angiotensin II juga tidak akan berubah. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan TD (Setiawati dalam Rezky, 2011).

3). Vasodilator

Vasodilator adalah obat-obat antihipertensi yang efeknya memperlebar pembuluh darah dan dapat menurunkan tekanan darah secara langsung (Setiawati dalam Rezky, 2011). Obat vasodilator mempengaruhi pembuluh darah untuk melebar dengan merelaksasikan otot-otot polos arteriol (Setiawati dalam Rezky, 2011).

4). Penghambat Enzim Konversi Angiotensin

Penghambat ACE mengurangi pembentukan angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan air, serta retensi kalsium. Akibatnya terjadi penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi (Setiawati dalam Rezky, 2011).

5). Antagonis Kalsium

Menurut Sheps (2002), cara kerja antagonis kalsium hamper sama dengan vasodilatot. Antagonis kalsium adalah obat antihipertensi yang memperlebar pembuluh darah.


(33)

19 b. Penatalaksanaan Non Farmakologi

Penatalaksanaan non farmakologis merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah tinggi. Beberapa contoh penatalaksanaan non farmakologis antara lain:

1). Berhenti Merokok

Rokok dapat mempengaruhi kerja beberapa obat antihipertensi. Obat bisa tidak bekerja dengan optimal atau tidak memberi efek sama sekali. Dengan berhenti merokok efektifitas obat akan meningkat (Sheps, 2002).

2). Tidak Mengkonsumsi Alkohol

Alkohol dalam darah merangsang pelepasan epineprin (adrenalin) dan hormon-hormon lain yang membuat pembuluh darah menyempit dan penumpukan lebih banyak natrium dan air. Minum minuma beralkohol yang berlebihan juga menyebabkan kekurangan gizi yaitu penurunan kadar kalsium dan magnesium (Sheps, 2002). 3). Diet

Penurunan diet natrium dari 180 mmol (10,5 gr) per hari menjadi 80-100 mmol (4.7 - 5.8 gr) per hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4-6 mmHg (Joewono, 2003). Untuk mengendalikan hipertensi, kita harus membatasi asupan natrium dalam makanan. Selain membatasi natrium, mengurangi makanan berlemak,


(34)

20 makan lebih banyak biji-bijian, buah-buahan, sayuran dan produk susu rendah lemak akan meningkatkan kesehatan kita secara menyeluruh dan memberikan manfaat khusus bagi penderita tekanan darah tinggi (Sheps, 2002).

4). Olahraga teratur

Olahraga teratur mampu menurunkan jumlah lemak serta meningkatkan kekuatan otot terutama otot jantung. Berkurangnya lemak dan volume tubuh, berarti mengurangi resiko tekanan darah tinggi juga (Shep, 2002). 5). Penanganan Faktor Psikologis dan Stress

Hormon epineprin dan kortisol yang dilepaskan saat stress menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan menyempitkan pembuluh darah dan meningkatkan denyut jantung. Besarnya peningkatan tekanan darah tergantung pada beratnya stress dan sejauh mana kita dapat mengatasinya. Penanganan stress yang adekuat dapat berpengaruh baik terhadap penurunan tekanan darah (Sheps, 2002).

2.2 Epidemiologi Hipertensi

Pada awal mula istilah epidemiologi hanya terbatas pada penyakit menular, namun sesuai dengan perkembangan zaman, terjadi transisi epidemiologi ke arah penyakit tidak menular, seperti penyakit degeneratif, penyakit akibat populasi, penyakit kanker, bahkan kecelakaan lalu lintas (Wahyuningsih, 2009).


(35)

21 Pada penyakit hipertensi, diperkirakan 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025, dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Armilawati et al., 2007).

Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi case finding maupun penatalaksanaan pengobatannya. Jangkauan masih sangat terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6% sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8% (Wade, 2003 dalam Levanita, 2010).

2.3 Epidemiologi Deskriptif

Penelitian deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi individu dan populasi yang memiliki risiko paling besar terkena suatu penyakit, untuk menentukan tanda-tanda sebagai etiologi penyakit, serta untuk memprediksi kejadian penyakit melalui pemahaman hubungan antara suatu penyakit dengan beberapa faktor risiko yang ada (Arias, 2009). Epidemiologi deskriptif adalah studi yang ditujukan untuk menentukan jumlah atau frekuensi dan distribusi penyakit di suatu daerah berdasarkan variabel orang, tempat, dan waktu (Masriadi, 2012).


(36)

22 Menurut Mausner dan Bahn, epidemiologi deskriptif mencakup orang, tempat, dan waktu, sebagai konsep-konsep dasarnya yang akan digunakan untuk mendeskripsikan kejadian dan kegiatan yang melingkupi atau mungkin mempengaruhi terjadinya KLB penyakit (Timmreck, 2004).

Analisis data epidemiologis berdasarkan variabel orang, tempat, dan waktu digunakan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang morbiditas dan mortalitas yang dihadapi. Dengan demikian, memudahkan untuk mengadakan penanggulangan, pencegahan, atau pengamatan (Budiarto, 2002).

1. Variabel Orang

Variabel orang dalam menjawab siapa yang terkena masalah, biasanya berupa variabel umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Faktor tersebut biasa disebut sebagai variabel epidemiologi atau demografi. Kelompok orang yang potensial atau punya peluang untuk menderita sakit atau mendapat risiko biasanya disebut population at risk (Masriadi, 2012).

Untuk mengidentifikasi seseorang terdapat variabel yang tak terhingga banyaknya, tetapi hendaknya dipilih variabel yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan ciri seseorang. Untuk menentukan variabel mana yang dapat digunakan sebagai indikator, hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan serta sarana yang ada (Budiarto, 2002). Dalam penelitian ini, variabel orang dijelaskan sebagai faktor risiko hipertensi.


(37)

23 Faktor risiko hipertensi meliputi umur, jenis kelamin, riwayat keluarga mengalami hipertensi, obesitas yang dikaitkan dengan peningkatan volume intravaskular, aterosklerosis (penyempitan arteria-arteria dapat membuat tekanan darah meningkat), merokok (nikotin dapat membuat pembuluh darah menyempit), kadar garam tinggi (natrium membuat resistensi air yang dapat menyebabkan volume darah meningkat), konsumsi alkohol dapat meningkatkan plasma katekolamin, dan stres emosi yang merangsang sistem saraf simpatis (Baradero, 2008)

Menurut beberapa penelitian yang pernah dilakukan, faktor risiko hipertensi antara lain usia (Syahrini, 2012), jenis kelamin (Sigarlaki, 2006), ras/budaya (Fitriani, 2012), konsumsi makanan tertentu (asin (Wahiduddin, 2012), berlemak (Syahrini, 2012), berkolesterol tinggi (Almatsier, 2003), gorengan (Aisyiyah, 2009)), kurangnya asupan sayur dan buah (Dauchet, et al., 2007), perilaku merokok (Pradono, 2013), konsumsi alkohol (Hartono, 2006), perilaku sedentari (Kemenkes, 2013), kurangnya aktivitas fisik (Rabaity, 2012), obesitas (Syahrini, 2012), faktor genetik (Wahiduddin, 2012), dan stres (Lewa, 2010). Faktor-faktor risiko tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Usia

Usia atau umur adalah lamanya keberadaan seseorang diukur dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan


(38)

24 anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari, 1998 dalam Manurung, 2013). Insidens hipertensi berbanding lurus dengan usia. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur (Tambayong, 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida Nur Aisyiyah (2009), yang menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang, maka semakin tinggi pula tekanan darahnya . Penelitian yang dilakukan oleh Nurlyna Nur Syahrini, dkk (2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan hipertensi.

Tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, kemungkinan seseorang menderita hipertensi juga semakin besar. Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang yang berusia 40 tahun namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang berusia muda. Boedhi Darmoejo dalam tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa 1,8%-28,6% penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita hipertensi (Beevers at al, 2002).

Secara fisiologis, pembuluh darah manusia mengalami perubahan seiring pertambahan umurnya. Pembuluh darah manusia saat umur 1-10 tahun akan bersifat licin dan elastis. Pada usia ini pembuluh darah berfungsi normal. Memasuki usia 10-20 tahun, muncul bercak lemak pada pembuluh darah. Hal ini


(39)

25 dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola makan seseorang. Bercak lemak ini sebagian mengalami regresi tetapi sebagian akan terus berkembang menjadi plak fibrosa dan akhirnya menjadi ateroma. Proses ini muncul pada usia 20 tahun ke atas. Munculnya plak di pembuluh darah ini menyebabkan penyempitan, sehingga ketika volume darah yang melewati pembuluh darah ini tetap, maka akan muncul kenaikan tekanan darah (Price & Wilson, 2006).

Perubahan struktur dan fungsional pada sistem perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang kemudian menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Bruner dan Suddarth, 2001 dalam Sagala, 2010).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status biologis seseorang, terdiri dari tampilan fisik yang membedakan antara pria dengan wanita; misalnya, struktur genetik (kromosom seks), hormon seks, organ kelamin interna dan genitalia eksterna (Henderson, 2005). Pada umumnya insidens pria lebih tinggi daripada wanita, namun pada usia pertengahan dan lebih tua,


(40)

26 insidens pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di atas 65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi (Tambayong, 2000). Banyak penelitian juga telah menyatakan ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Wahiduddin, dkk (2012) yang menyatakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi berjenis kelamin laki-laki.

Wanita penderita hipertensi diakui lebih banyak dari pada laki-laki. Tetapi wanita lebih tahan dari pada laki-laki tanpa kerusakan jantung dan pembuluh darah. Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada wanita. Pada pria hipertensi lebih banyak disebabkan oleh pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan. Sampai usia 55 tahun pria beresiko lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan wanita. Menurut Edward D. Frohlich seorang pria dewasa akan mempunyai peluang lebih besar yakni satu di antara 5 untuk mengidap hipertensi (Sustrani, 2006).

Munculnya perbedaan risiko seseorang terkena hipertensi berdasarkan jenis kelamin dikarenakan adanya perbedaan hormon yang dihasilkan antara pria dan wanita. Adanya hormon estrogen sebelum awitan menopause dianggap merupakan faktor pelindung utama untuk menghindari timbulnya penyakit kardiovaskular (Price&Wilson, 2006).


(41)

27 c. Ras/Suku

Secara garis besar ras penduduk dunia dibagi berdasarkan warna kulit yaitu kelompok Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid. Ada penyakit yang diturunkan secara genetik pada ras tertentu seperti Sickle Cell Anemia pada ras Negroid, kanker lambung pada orang Amerika keturunan Jepang dan Hemofilia pada keturunan Tsar Rusia. Selain faktor keturunan, terdapat faktor lain yang ikut mempengaruhi terjadinya penyakit atau kematian pada ras dan etnis tertentu, seperti adat istiadat, kebudayaan, gaya hidup, hobi, dan lain-lain (Chandra, 2009).

Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit putih. Akibat penyakit ini umumnya lebih berat daripada yang berkulit hitam (Tambayong, 2000). Ras di Indonesia tidak terlalu beragam. Sebagian besar ras orang Indonesia adalah ras Mongoloid, bagian dari ras Asia (Sumolang, 2010). Namun, jika berbicara mengenai ras, maka Indonesia memiliki keragaman lain, yakni suku. Keragaman suku yang ada di Indonesia mempengaruhi ragam kuliner yang ada.

Dalam bidang makanan, apa yang kita konsumsi tidak hanya masalah ekonomi atau lingkungan tetapi juga merupakan suatu kategori budaya sehingga menjadi salah satu faktor penyebab penyakit degeneratif (hipertensi) (Fitriani, 2012). Kebudayaan yang melekat dalam suatu masyarakat mengenai makanan, terkadang tidak mempertimbangkan nilai gizi yang


(42)

28 terkandung di dalam makanan tersebut, sehingga masyarakat tersebut rentan terkena penyakit yang disebabkan oleh suatu zat makanan tertentu.

d. Konsumsi Makanan Tertentu

Konsumsi makanan yang mempengaruhi tekanan darah adalah konsumsi makanan bergaram tinggi, berlemak, atau berkolesterol tinggi. Konsumsi makanan yang seperti ini mengandung zat-zat yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti natrium dan kolesterol.

Studi epidemiologi pada berbagai populasi menunjukkan adanya peranan garam dalam kejadian hipertensi. Masyarakat perdesaan yang mengkonsumsi garam dalam jumlah kecil (70mEq/hari) terbukti memiliki riwayat hipertensi yang lebih rendah, yang mengalami peningkatan tekanan darah seiring dengan meningkatnya umur dan modernisasi masyarakat. Populasi lain dari 24 komunitas memiliki kebiasaan konsumsi jumlah natrium yang berbeda, yaitu 100 mEq/24 jam, berhubungan dengan penurunan 10 mmHg TDS pada orang dewasa berumur 60-69 tahun. Peningkatan TDS karena penuaan (umur >30 tahun) berkurang 9 mmHg dan peningkatan TDD berkurang 4.5 mmHg jika rata-rata konsumsi natrium lebih rendah dari 100 mEq/ hari (Krummel 2004). Salah satu rekomendasi pencegahan hipertensi di Amerika adalah dengan


(43)

29 membatasi konsumsi garam 6 g/hari (100 mEq atau 2400 mg Na per hari) (Aisyiyah, 2009).

WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur hingga 6 gram sehari (sama dengan 2400 mg Natrium). Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan darah. Masyarakat yang mengkonsumsi garam yang tinggi dalam pola makannya juga adalah masyarakat dengan tekanan darah yang meningkat seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, masyarakat yang konsumsi garamnya rendah menunjukkan hanya mengalami peningkatan tekanan darah yang sedikit, seiring dengan bertambahnya usia (Beevers et al, 2002).

Natrium bersama klorida yang terdapat dalam garam dapur dalam jumlah normal dapat membantu tubuh mempertahankan keseimbangan cairan tubuh untuk mengatur tekanan darah. Namun natrium dalam jumlah yang berlebih dapat menahan air (retensi), sehingga meningkatkan volume darah. Akibatnya jantung harus bekerja lebih keras untuk memompanya dan tekanan darah menjadi naik (Sustrani, 2006).

Konsumsi jenis pangan yang digoreng (deep frying) berpengaruh meningkatnya asupan energi dari lipid. Makanan yang digoreng memiliki rasa yang gurih, renyah, enak dan kaya lemak. Hal ini menyebabkan seseorang ingin makan terus menerus, sehingga memiliki densitas energi yang tinggi dan tingkat kepuasan yang rendah. Rendahnya tingkat kepuasan dapat


(44)

30 berpengaruh terhadap kemampuan respon insulin dan leptin, hormon yang menstimulasi rasa lapar-kenyang (Aisyiyah, 2009).

Konsumsi pangan tinggi lemak juga dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah yang dikenal dengan aterosklerosis. Lemak yang berasal dari minyak goreng tersusun dari asam lemak jenuh rantai panjang (long-saturated fatty acid). Keberadaannya yang berlebih di dalam tubuh akan menyebabkan penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah. Pembuluh darah menjadi semakin sempit dan elastisitasnya berkurang. Kandungan lemak atau minyak yang dapat mengganggu kesehatan jika jumlahnya berlebih lainnya adalah: kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier 2003)

e. Konsumsi Sayur dan Buah

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan pembuluh darah bisa dicegah dengan mengkonsumsi antioksidan sejak dini. Dalam hal ini antioksidan mampu menangkap radikal bebas dan mencegah dimulainya proses kerusakan pembuluh darah. Radikal bebas adalah suatu molekul oksigen dengan atom pada orbit terluarnya memiliki elektron yang tidak berpasangan. Karena kehilangan pasangannya itu, molekul lalu menjadi tidak stabil, liar, dan radikal. Dalam hal ini, antioksidan mampu menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektronnya dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari


(45)

31 pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stress oksidatif. Antioksidan terbagi atas dua jenis, yakni antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen berupa enzim dalam tubuh, misalnya superoksida dismutase (SOD), glutathion, dan katalase. Sedangkan, antioksidan eksogen mencakup beta karoten, vitamin C, vitamin E, zinc (Zn), dan selenium (Se). Menkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan dalam porsi yang memadai akan menjadi sumber asupan antioksidan bagi tubuh (Almatsier 2003).

Konsumsi buah dan sayur >400 gram per hari dapat menurunkan risiko hipertensi dengan semakin bertambahnya umur. Hal ini tidak saja disebabkan oleh aktivitas antioksidan dalam buah dan sayur, tetapi juga karena adanya komponen lain seperti serat, mineral kalium, dan magnesium. Orang yang mengkonsumsi buah dan sayur biasanya memiliki kebiasaan yang lebih sehat, seperti: melakukan aktivitas fisik lebih banyak, tidak merokok, dan tidak mengkonsumsi alkohol; yang secara keseluruhan dapat menurunkan risiko hipertensi (Dauchet et al. 2007). Pasien hipertensi dianjurkan mengkonsumsi sayur dan buah yang mengandung serat pangan minimal 30 mg/hari (Hartono 2006).

Tingginya konsumsi biji-bijian dengan kulit berhubungan dengan penurunan hipertensi pada orang dewasa dan lansia wanita (Wang et al. 2007). Konsumsi tinggi sayur dan buah serta rendah karbohidrat dan lemak dapat digunakan sebagai pola


(46)

32 makan untuk penurunan berat badan. Penelitian yang dilakukan oleh Ledikwe et al. (2007) pada 810 orang penderita prehipertensi dan hipertensi ringan, menemukan hubungan nyata antara konsumsi pangan yang memiliki densitas energi rendah dengan penurunan berat badan (p<0.001). Pola konsumsi rendah densitas energi dapat menurunkan asupan energi dan penurunan berat badan. Pola konsumsi rendah densitas energi dapat dilakukan dengan peningkatan konsumsi buah, sayur, serat, vitamin dan mineral. Serat pangan dapat membantu meningkatkan pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan meningkatkan waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Selain itu, konsumsi serat sayuran dan buah akan mempercepat rasa kenyang. Keadaan ini menguntungkan karena dapat mengurangi pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya akan menurunkan risiko hipertensi (Krisnatuti & Yenrina 2005).

Kesibukan dan aktivitas tinggi pada masyarakat yang bekerja dan tinggal di daerah perkotaan menuntut gaya hidup yang serba cepat dan instan. Keadaan yang seperti ini dimanfaatkan oleh produsen makanan cepat saji. Oleh karena itu, tumbuh suburlah restoran-restoran cepat saji di daerah perkotaan. (Genis Ginanjar,2009).

Pola makan masyarakat perkotaan tidak seimbang yaitu karbohidrat tinggi (terutama gula dan lemak) pada masyarakat perkotaan menimbulkan masalah gizi lebih, selain itu pola makan


(47)

33 yang tidak seimbang ini juga meningkatkan timbulnya penyakit degenerative, misalnya hipertensi, diabetes, dan jantung. (Rahmat,2004).

f. Perilaku Merokok

Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya. Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden penyakit jantung koroner (PJK) sekitar 24.4% (Karyadi 2002).

Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen jantung; merangsang pelepasan adrenalin, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya.

Merokok dapat mengubah metabolisme kolesterol ke arah aterogenik. Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol darah dan dapat menurunkan kadar HDL Rokok dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah dan menurunkan kada HDL. Framingham Heart Study yang meneliti pria dan wanita sekitar 20


(48)

34 – 49 tahun dilaporkan bahwa kadar kalesterol HDL lebih rendah 4.5 – 6.5 % pada perokok, dan pada studi lain dilaporkan bahwa pria yang merokok lebih dari 20 batang sehari akan mengalami penurunan HDL hingga 11% dibandingkan bukan perokok (Karyadi 2002). Selain itu, merokok juga dapat meningkatkan pengaktifan platelet (sel-sel penggumpal darah) (Khomsan 2004).

Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, dan bukan pada lama merokok. Seseorang yang merokok lebih dari satu pak rokok sehari menjadi dua kali lebih rentan terhadap penyakit aterosklerosis daripada mereka yang tidak merokok. Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom. Namun efek nikotin tidak bersifat kumulatif, mantan perokok tampaknya berisiko rendah seperti pada bukan perokok (Price&Wilson, 2006).

g. Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol diakui sebagai faktor penting yang berhubungan dengan tekanan darah. Kebiasaan konsumsi alkohol harus dihilangkan untuk menghindari peningkatan tekanan darah (Hartono 2006). Jika dibandingkan dengan orang yang bukan peminum alkohol, maka terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal tingginya tekanan darah. Konsumsi alkohol 3 kali per hari dapat menjadi pencetus meningkatnya tekanan darah, dan berhubungan dengan peningkatan 3 mmHg. Konsumsi alkohol


(49)

35 seharusnya kurang dari 2 kali per hari (24 oz bir, 10 oz wine, atau 2 oz whiskey murni) pada laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih dari 1 kali minum per hari (Krummel 2004). Namun akan lebih baik jika konsumsi alkohol tidak dilakukan.

h. Perilaku Sedentari

Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi umur harapan hidup. Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan /transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur (Kemenkes, 2013). i. Kurang Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa 2001).


(50)

36 Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang, memiliki kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada mereka yang aktif. Penelitian dari Farmingharm Study menyatakan bahwa aktivitas fisik sedang dan berat dapat mencegah kejadian stroke. Selain itu, dua meta-analisis yang telah dilakukan juga menyebutkan hal yang sama. Hasil analisis pertama menyebutkan bahwa berjalan kaki dapat menurunkan tekanan darah pada orang dewasa sekitar 2% (Kelley 2001). Analisis kedua pada 54 randomized controlled trial (RCT), aktivitas aerobik menurunkan tekanan darah rata-rata 4 mmHg TDS dan 2 mmHg TDD pada pasien dengan dan tanpa hipertensi (Whelton et al. 2002). Peningkatan intensitas aktivitas fisik, 30 – 45 menit per hari, penting dilakukan sebagai strategi untuk pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Olah raga atau aktivitas fisik yang mampu membakar 800-1000 kalori akan meningkatkan high density lipoprotein (HDL) sebesar 4.4 mmHg (Khomsan 2004).

Kemajuan teknologi seperti transportasi dan alat bantu komunikasi berkontribusi pada meningkatnya prevalensi kegemukan. Tersedianya sarana transportasi membuat orang lebih memilih naik kendaraan daripada berjalan kaki walaupun pada jarak yang tidak jauh. Orang lebih memilih naik eskalator atau lift daripada naik tangga. Selain itu, diciptakannya mesin-mesin yang dapat menggantikan tugas manusia semakin


(51)

37

membuat ”manja”, serta membuat enggan mengeluarkan

tenaganya. Akibatnya aktivitas fisik menurun yang berarti makin sedikit energi yang digunakan dan makin banyak energi yang ditimbun (Rimbawan dan Siagian 2004). Hasil analisis Korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas fisik (pengeluaran energi) dengan status gizi remaja (p<0.01). Hal ini membuktikan bahwa semakin aktif secara fisik maka kemungkinan semakin baik status gizi (Amelia 2008).

Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tekanan darah. Kurangnya melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi (Arjatmo & Hendra, 2001). Meskipun tekanan darah meningkat secara tajam ketika sedang berolahraga, namun jika berolahraga secara teratur akan lebih sehat dan memiliki tekanan darah lebih rendah dari pada mereka yang melakukan olah raga. Olahraga yang teratur dalam jumlah sedang lebih baik dari pada olahraga berat tetapi hanya sekali (Beevers et al, 2002).

j. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks massa tubuh dipakai sebagai standar klinis dalam menilai kelebihan bobot badan dan obesitas seseorang. IMT didefinisikan sebagai bobot badan dalam kilogram dibagi dengan luas permukaan tubuh yang diukur dalam meter. IMT


(52)

38 biasanya dinyatakan tanpa satuan, namun satuan yang disepakati adalah kg/m2 (Ansel, 2006).

Hubungan antara kelebihan berat badan dengan hipertensi dapat dijelaskan sebagai perubahan fisiologis, yaitu resistensi insulin dan hiperinsulinemia; aktivasi sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotenin; serta perubahan organ ginjal. Peningkatan asupan energi juga berhubungan dengan peningkatan insulin plasma, yang berperan sebagai faktor natriuretik dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium ginjal sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan darah (Krummel 2004).

Pada orang yang terlalu gemuk, tekanan darahnya cenderung tinggi karena seluruh organ tubuh dipacu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan energi yang lebih besar jantungpun bekerja ekstra karena banyaknya timbunan lemak yang menyebabkan kadar lemak darah juga tinggi, sehingga tekanan darah menjadi tinggi Cara mudah untuk mengetahui termasuk obesitas atau tidak yaitu dengan mengukur Indeks Masa Tubuh (IMT) Rumus untuk IMT adalah berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan dikuadratkan (m2) (Soeharto, 2001).

. Obesitas mempengaruhi tekanan darah karena obesitas meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan berperan dalam gaya hidup pasif. Lemak tubuh yang berlebihan


(53)

39 (terutama obesitas abdominal) dan ketidak-aktifan fisik berperan dalam terbentuknya resistensi insulin (Price&wilson, 2006). k. Faktor Genetik

Kasus hipertensi esensial 70%-80% diturunkan dari orang tuanya. Apabila riwayat hipertensi di dapat pada kedua orang tua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar bagi seseorang yang kedua orang tuanya menderita hipertensi ataupun pada kembar monozygot (sel telur) dan salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut kemungkinan besar menderita hipertensi. Penelitian yang dilakukan pada orang kembar yang dibesarkan secara terpisah atau bersama dan juga terdapat pada anak-anak bukan adopsi telah dapat mengungkapkan seberapa besar tekanan darah dalam keluarga yang merupakan akibat kesamaan dalam gaya hidup. Berdasarkan penelitian tersebut secara kasar, sekitar separuh tekanan darah di antara orang-orang tersebut merupakan akibat dari faktor genetika dan separuhnya lagi merupakan akibat dari faktor pola makan sejak masa awal kanak-kanak (Beevers et al, 2002).

l. Stress

Stress dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifuddin 2006). Pada saat stress, sekresi katekolamin semakin meningkat


(54)

40 sehingga renin, angiotensin, dan aldosteron yang dihasilkan juga semakin meningkat (Klabunde 2007). Peningkatan sekresi hormon tersebut berdampak pada peningkatan tekanan darah.

Faktor psikososial dari waktu terdesak/tidak sabar, prestasi kerja, kompetisi, permusuhan, depresi dan rasa gelisah berhubungan dengan kejadian hipertensi. Studi kohort pada orang dewasa berusia 18-30 tahun menunjukkan adanya hubungan nyata antara tingginya waktu terdesak/tidak sabar dan permusuhan terhadap kejadian hipertensi pada keseluruhan sampel yang diikuti selama 15 tahun. Nilai OR dari perbandingan waktu terdesak/tidak sabar terhadap skor terendah sebesar 1.51 (95% CI, 1.12-2.03) p<0.01, dan permusuhan 1.06 (95% CI, 0.76-1.47) p<0.01 (Yan et al. 2003). Penelitian Gangwisch et al. (2006) pada subjek berusia 32-59 tahun menyebutkan bahwa waktu tidur yang sedikit (≤ 5 jam per malam), berhubungan nyata dengan peningkatan kejadian hipertensi (hazart rasio, 2.19; 95% CI, 1.58-2.79).

Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stress berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini dapat dipengaruhi karena tuntutan kerja yang terlalu banyak (bekerja terlalu keras dan sering kerja lembur) dan jenis pekerjaan yang harus memberikan penilaian atas penampilan kerja bawahannya atau pekerjaan yang menuntut tanggungjawab bagi manusia. Stres pada pekerjaan cenderung menyebabkan


(55)

41 hipertensi berat. Sumber stres dalam pekerjaan (Stressor) meliputi beban kerja, fasilitas kerja yang tidak memadai, peran dalam pekerjaan yang tidak jelas, tanggungjawab yang tidak jelas, masalah dalam hubungan dengan orang lain, tuntutan kerja dan tuntutan keluarga (Smet, 1994).

Beban kerja meliputi pembatasan jam kerja dan meminimalkan kerja shift malam. Jam kerja yang diharuskan adalah 6-8 jam setiap harinya. Sisanya (16-18 jam setiap harinya) digunakan untuk keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Dalam satu minggu seseorang bekerja dengan baik selama 40-50 jam, lebih dari itu terlihat kecenderungan yang negatif seperti kelelahan kerja, penyakit

dan kecelakaan kerja (Suma’ mur, 1998 dalam Wahyudi, 2014).

Stres dapat meningkatkan tekanan darah dalam waktu yang pendek, tetapi kemungkinan bukan penyebab meningkatnya tekanan darah dalam waktu yang panjang. Dalam suatu penelitian, stres yang muncul akibat mengerjakan perhitungan aritmatika dalam suatu lingkungan yang bising, atau bahkan ketika sedang menyortir benda berdasarkan perbedaan ukuran, menyebabkan lonjakan peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba (Beevers et al, 2002).

2. Variabel Tempat

Variabel tempat merupakan salah satu variabel penting dalam epidemiologi deskriptif karena pengetahuan tentang tempat atau


(56)

42 lokasi kejadian luar biasa atau lokasi penyakit-penyakit endemis sangat dibutuhkan ketika melakukan penelitian dan mengetahui sebaran berbagai penyakit di suatu wilayah. Batas wilayah dapat ditentukan berdasarkan (Budiarto, 2002):

a. Geografis, yang ditentukan berdasarkan alamiah, administratif atau fisik, institusi, dan instansi. Dengan batas alamiah dapat dibedakan negara yang beriklim tropis, sub tropis, dan negara dengan empat musim. Hal ini penting karena dengan adanya perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola penyakit baik distribusi frekuensi maupun jenis penyakit.

b. Batas institusi dapat berupa industri, sekolah atau kantor, dan lainnya sesuai dengan timbulnya masalah kesehatan.

Tempat terjadinya penyakit dapat menyebabkan adanya perbedaan antara angka kesakitan dan kematian pada masyarakat atau kelompok masyarakat berdasarkan tempat tinggal. Perbedaan ini dapat bersifat internasional antara negara dengan negara, nasional dengan propinsi, kabupaten, kotamadya atau lokal antara kota dengan desa. Tempat tinggal di kota dan di desa juga dapat menimbulkan terjadinya perbedaan angka kesakitan dan kematian (Chandra, 2009).

Faktor tempat atau distribusi geografis memegang peran yang sangat penting dalam melakukan penelitian karena pada geografis yang berbeda, maka akan berbeda pula pola penyakitnya, misalnya pola penyakit daerah perkotaan dengan pedesaan, demikian pula


(57)

43 terjadi perbedaan antara daerah pantai dengan pegunungan (Budiarto, 200).

Perubahan gaya hidup akibat urbanisasi dan modernisasi menyebabkan penyakit degeneratif banyak terjadi di kalangan masyarakat perkotaan. Menurut WHO, penyakit degeneratif menambah peliknya kondisi kesehatan sebagian negara di dunia yang selama ini dihimpit dengan banyaknya kasus penyakit menular dan infeksi yang tergolong non degeneratif (Purwanto, 2011 dalam Firdausi, 2012).

Prevalensi hipertensi meningkat cepat di negara berkembang karena adanya transisi epidemiologi, peningkatan ekonomi, urbanisasi, dan harapan hidup yang lebih panjang. Beberapa penelitian di China juga telah menduga bahwa ada westernisasi gaya hidup masyarakat. Perubahan ini berkontribusi pada prevalensi hipertensi yang lebih tinggi pada masyarakat urban ketika dibandingkan dengan masyarakat rural (Ma et al.,2013).

Urbanisasi umumnya diasosiasikan dengan peningkatan pendapatan serta adopsi gaya hidup yang tidak sehat. Salah satunya adalah tren konsumsi makanan tidak sehat, yaitu yang kaya akan kandungan garam, lemak jenuh dan karbohidrat kualitas rendah (seperti makanan cepat saji). Hal ini diperparah dengan kurangnya aktivitas fisik akibat tuntutan pekerjaan (Bharati, et al., 2010).

Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti


(58)

44 bangsa Indian Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak banyak meningkat sesuai dengan pertambahan usia dibanding masyarakat barat (Gray, 2005).

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia, wilayah Indonesia dibagi kedalam beberapa tingkat wilayah administratif, yaitu provinsi, kabupaten/kota (dahulu disebut kotamadya), kecamatan, dan desa atau disebut dengan nama lain yang merupakan wilayah administratif terkecil. Sebagai wilayah administratif terkecil, desa sering kali dijadikan sebagai unit penelitian. Seperti diketahui, pada setiap desa mempunyai karakteristik sosial ekonomi, kondisi dan akses ke fasilitas perkotaan, ciri dan tipologi lingkungan yang berbeda-beda dan akan terus berubah seiring dengan kemajuan tingkat pembangunan di suatu desa. Kondisi yang berbeda dan terus berubah tersebut oleh BPS dijadikan sebagai indikator untuk menggolongkan suatu desa kedalam desa perkotaan atau desa perdesaan (BPS, 2010).

Penggolongan desa menjadi desa perkotaan dan desa perdesaan biasanya dilakukan oleh BPS untuk keperluan statistik dan keperluan lainnya yang berhubungan dengan analisis dan perencanaan pembangunan. Sebagai contoh, BPS biasanya menggunakan klasifikasi desa perkotaan perdesaan sebagai dasar untuk merencanakan kegiatan sensus atau survei. Disamping itu bila sampelnya memungkinkan, dalam penyajian dan analisis data juga


(59)

45 dibedakan menurut daerah perkotaan dan daerah perdesaan (BPS, 2010).

Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Sedangkan perdesaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Desa adalah wilayah administrasi terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan. Kelurahan adalah wilayah administrasi terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan. Wilayah administrasi terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan, selain desa/kelurahan adalah Nagari, Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), dan Pemukiman Masyarakat Terasing (PMT) (BPS, 2010).

Kriteria wilayah perkotaan adalah persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan, yang dimiliki suatu desa/kelurahan untuk menentukan status perkotaan suatu desa/kelurahan. Fasilitas perkotaan sebagaimana dimaksud adalah (BPS, 2010):

a. Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK); b. Sekolah Menengah Pertama;

c. Sekolah Menengah Umum; d. Pasar;


(60)

46 e. Pertokoan;

f. Bioskop; g. Rumah Sakit;

h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon;

i. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Telepon; dan j. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Listrik.

Penentuan nilai/skor untuk menetapkan sebagai wilayah perkotaan dan perdesaan atas desa/kelurahan, yaitu:

a. Wilayah perkotaan, apabila dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor 10 (sepuluh) atau lebih; dan

b. Wilayah perdesaan, apabila dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor di bawah 10 (sepuluh).

Nilai/skor kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki ditetapkan sebagai berikut:


(61)

47

Kriteria Keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan Kepadata n pendudu k per km2 Nilai / Skor Persentase rumah tangga pertanian Nilai / Skor

Fasilitas perkotaan Kriteria Nilai/ Skor

< 500 1 >70,00 1 a. Sekolah Taman

Kanak-Kanak  Ada atau ≤ 2,5 km*)  >2,5 km*) 1 0 500-1249

2 50,00-69,99

2 b. Sekolah Menengah Pertama

1250-2499

3 30,00-49,99

3 c. Sekolah Menengah Umum

2500-3999

4 20,00-29,99

4 d. Pasar

 Ada atau ≤ 2 km*)  >2 km*)

1 0

4000-5999

5 15,00-19,99

5 e. Pertokoan

6000-7499

6 10,00-14,99

6 f. Bioskop

Ada atau ≤ 2 km*)  >2 km*)

1 0

7500-8499

7 5,00-9,99 7 g. Rumah Sakit

>8500 8 <5,00 8 h. Hotel/Bilyard/Diskote k/ Panti Pijat/Salon  Ada  Tidak Ada 1 0 i. Persentase RT

Telepon

 ≥ 8,00

 < 8,00

1 0 j. Persentase RT Listrik  ≥90,00

 <90,00

1 0 Tabel 2.1. Kriteria Wilayah Perkotaan (BPS, 2010)

Kriteria wilayah perkotaan diimplementasikan pada seluruh wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan untuk menghasilkan klasifikasi perkotaan/perdesaan desa/kelurahan seluruh Indonesia. Apabila ada pemekaran desa/kelurahan, maka status perkotaan/perdesaan desa/kelurahan baru, mengikuti status perkotaan/perdesaan desa/kelurahan induk. Apabila ada pembentukan desa/kelurahan/UPT baru, di mana desa/kelurahan baru tidak memiliki desa/kelurahan induk, maka status perkotaan/perdesaan


(62)

48 dari desa/kelurahan baru tersebut harus ditentukan dengan mengimplementasikan kriteria wilayah perkotaan yang sama.

3. Variabel Waktu

Variabel waktu merupakan variabel penting dalam epidemiologi yang berkaitan erat dengan perubahan meteorologi, migrasi penduduk, bencana alam dan perang, program pelayanan kesehatan, dan lain-lain (Budiarto, 2002). Kejadian suatu penyakit berhubungan juga dengan waktu. Faktor waktu dapat berupa satuan jam, hari, minggu, bulan, hingga tahun dan musim. Beberapa hal yang berkaitan dengan timbulnya penyakit yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu antara lain:

a. Adanya kegiatan faktor penyebab penyakit pada waktu tertentu b. Adanya perubahan komposisi dan jumlah penduduk menurut

waktu

c. Adanya perubahan lingkungan menurut waktu (lingkungan fisik, biologis, dan sosial)

d. Adanya perubahan kriteria dan alat diagnosis, kemajuan pengobatan, teknologi kedokteran dari waktu ke waktu (Masriadi, 2012).

Dalam penelitian ini, variabel waktu digunakan untuk mengetahui tren penyakit hipertensi yang ada pada daerah rural dan urban.

Kapan terjadinya penyakit dihitung dalam satu periode waktu tertentu, dapat berupa waktu yang pendek atau panjang bahkan dapat sampai bertahun-tahun atau dekade. Berdasarkan lamanya waktu dan


(1)

127 % within

WILAYAH 57.5% 57.5%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

OBESITAS * WILAYAH Crosstabulation WILAYA

H

Total Urban

OBESITA S

Ya Count 2 2

% within

WILAYAH 2.5% 2.5%

Tidak Count 78 78

% within

WILAYAH 97.5% 97.5%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0% B1 ROKOK * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA H

Total Urban

B1 ROKOK

Ya Count 29 29

% within


(2)

128

Tidak Count 51 51

% within

WILAYAH 63.8% 63.8%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0% C2 LEMAK * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA H

Total Urban

C2 LEMAK

Ya Count 36 36

% within

WILAYAH 45.0% 45.0%

Tidak Count 44 44

% within

WILAYAH 55.0% 55.0%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0% C3 SAYUR BUAH * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA H

Total Urban

C3 SAYUR BUAH

Ya Count 49 49

% within

WILAYAH 61.2% 61.2%


(3)

129 % within

WILAYAH 38.8% 38.8%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0% UMURKAT * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA H

Total Urban

UMURKA T

> 75 tahun Count 2 2 % within

WILAYAH 2.5% 2.5%

65-74 tahun Count 2 2

% within

WILAYAH 2.5% 2.5% 55-64 tahun Count 14 14

% within

WILAYAH 17.5% 17.5% 45-54 tahun Count 20 20

% within

WILAYAH 25.0% 25.0% 35-44 tahun Count 15 15

% within

WILAYAH 18.8% 18.8% 25-34 tahun Count 27 27

% within

WILAYAH 33.8% 33.8%


(4)

130 OBESITAS * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA H

Total Urban

OBESITA S

Ya Count 2 2

% within

WILAYAH 2.5% 2.5%

Tidak Count 78 78

% within

WILAYAH 97.5% 97.5%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0% AKTIVITASKAT * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA H

Total Urban

AKTIVITAS KAT

Aktivitas Ringan

Count 61 61

% within

WILAYAH 76.2% 76.2% Aktivitas

Sedang

Count 19 19

% within

WILAYAH 23.8% 23.8%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0% ASINFIX * WILAYAH Crosstabulation


(5)

131 WILAYA

H

Total Urban

ASINFI X

Ya Count 36 36

% within

WILAYAH 45.0% 45.0%

Tidak Count 44 44

% within

WILAYAH 55.0% 55.0%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0% Crosstabs

[DataSet3] C:\Users\personal\Desktop\HASIL SKRIPSI BB\SKRIPSI BEBE.sav Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent WILAYAH *

TKDARKAT 160 100.0% 0 .0% 160 100.0% WILAYAH * TKDARKAT Crosstabulation

TKDARKAT

Total Hipertensi

Tidak Hipertensi WILAYA

H

Rural Count 35 45 80

% within


(6)

132

Urban Count 37 43 80

% within

WILAYAH 46.2% 53.8% 100.0%

Total Count 72 88 160

% within

WILAYAH 45.0% 55.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .101a 1 .751

Continuity Correctionb .025 1 .874 Likelihood Ratio .101 1 .751

Fisher's Exact Test .874 .437

Linear-by-Linear

Association .100 1 .751

N of Valid Casesb 160

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 36,00. b. Computed only for a 2x2 table