EKONOMI DAN SPIRITUALITAS PERSPEKTIF PARA BIKSU DI MAHA VIHARA MOJOPAHIT DESA BEJIJONG KECAMATAN TROWULAN KABUPATEN MOJOKERTO.

(1)

EKONOMI DAN SPIRITUALITAS

PERSPEKTIF PARA BIKSU DI MAHA VIHARA MOJOPAHIT DESA BEJIJONG

KECAMATAN TROWULAN KABUPATEN MOJOKERTO

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

ANDRI MARTAPURA NIM: E02211002

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

EKONOMI DAN SPIRITUALITAS PERSPEKTIF PARA BIKSU

DI MAHA VIHARA MOJOPAHIT DESA BEJIJONG

KECAMATAN TROWULAN KABUPATEN MOJOKERTO

Skripsi

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Perbandingan Agama

Oleh

ANDRI MARTAPURA NIM: E02211002

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nama : Andri Martapura

Tahun : 2015

Judul Skripsi : Ekonomi dan Spiritualitas Perspektif Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto

Pembimbing : Nasruddin, S.Pd, M.A

Para biksu merupakan contoh umat yang taat dalam menjalankan agamanya. Tujuan hidup para Biksu di Maha Vihara Mojopahit hanyalah satu, yaitu untuk menuju pencapaian Nirvana (kesempurnaan). Dalam mencapai tujuan hidup tersebut, mereka harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat keduniawian. Semua hal yang bersifat keduniawian adalah penghalang bagi mereka menuju pencapaian Nirvana (kesempurnaan) dan merupakan penderitaan sehingga apapun yang bersifat keduniawian harus mereka tinggalkan jika ingin mencapai kesempurnaan, termasuk kekayaan materi. Namun pada saat ini yang semuanya membutuhkan materi, apakah mungkin hal tersebut masih dilakukan oleh seorang Biksu, yaitu meninggalkan keduniawian yang berupa kekayaan materi? Dalam penelitian ini, peneliti ingin menemukan makna ekonomi dan spiritualitas perspektif para Biksu di Maha Vihara Mojopahit, serta keterkaitan antara keduanya.

Fokus masalah yang diteliti dalam penelitian ini, diantaranya peneliti ingin menggali data tentang makna ekonomi dan spiritualitas dalam perspektif Biksu di Maha Vihara Mojopahit. Di samping itu, peneliti juga ingin mengetahui kaitan antara keduanya, yaitu ekonomi dengan spiritualitas perspektif para Biksu di Maha Vihara Mojopahit. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif yang menggabungkan antara data lapanagan (field research) dan kepustakaan (library research). Pendekatan interpretative dilakukan peneliti, baik dari perspektif insider maupun outsider. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Sebagai kesimpulan akhir, penelitian ini menemukan beberapa poin

penting yang menyatakan bahwa ekonomi adalah sebuah penghidupan berupa

materi, yang itu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam pandangan para Biksu ekonomi terbagi menjadi dua yaitu ekonomi bagi perumah tangga (Gharavasa) dan ekonomi bagi biksu (Pabbajita). Selanjutnya para biksu memaknai spiritualitas sebagai sebuah tujuan dalam hidup. Spiritualitas adalah modal seorang manusia di dunia untuk bisa mencapai kebahagiaan yang abadi di alam selanjutnya. Spiritualitas bisa dicapai dengan melatih diri melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan. Para biksu menjelaskan bahwa kaitan antara ekonomi dengan spiritualitas, keduanya saling berhubungan. Bagi umat Buddha memperoleh ekonomi merupakan tugas suci dari ajaran Buddha.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah ... ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Penegasan Judul ... 11

G. Penelitian Terdahulu ... 12

H. Metode Penelitian ... 15


(8)

BAB II : EKONOMI DAN SPIRITUALITAS ... 22

A. Ekonomi (Materi atau Kekayaan) ... 22

1. Pengertian Ekonomi ... 22

2. Tinjauan Ekonomi Perspektif Buddha ... 23

B. Spiritualitas ... 26

1. Pengertian Spiritualitas ... 26

2. Aspek Spiritualitas ... 27

3. Dimensi Spiritual ... 28

4. Kebutuhan Spiritual ... 29

C. Teori Max Weber: Agama dan Ekonomi ... 31

1. Semangat Kapitalisme ... 32

2. Etika Protestan ... 33

3. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme ... 35

BAB III : MAHA VIHARA MOJOPAHIT DAN PARA BIKSU ... 38

A. Sejarah Maha Vihara Mojopahit ... 38

B. Komplek Bangunan Maha Vihara Mojopahit ... 43

C. Para Biksu Maha Vihara Mojopahit ... 52

1. Biksu Viriyanadi Mahathera ... 52

2. Biksu Nyanavira ... 54

3. Biksu Nyana Virya ... 56


(9)

BAB IV : EKONOMI DAN SPIRITUALITAS PERSPEKTIF PARA

BIKSU ... 63

A.Tinjauan Ekonomi Perspektif Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit ... 63

1. Ekonomi bagi Perumah Tangga (Gharavasa) ... 63

2. Ekonomi bagi Biksu (Pabbajita) ... 66

3. Kebutuhan Hidup Biksu (Pabbajita) ... 68

B. Tinjauan Spiritualitas Perspektif Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit ... 64

C. Ekonomi dan Spiritualitas Perspektif Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit ... 75

D.Keterkaitan Ekonomi dan Spiritualitas Perspektif Para Biksu dengan Teori Max Weber Tentang Agama dan Ekonomi ... 79

BAB V : PENUTUP ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86 LAMPIRAN


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dasar yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan tema tersebut adalah pemahaman mengenai kaitan antara ekonomi dengan spiritualitas para Biksu di Maha Vihara Mojopahit belum pernah diteliti, sampai saat ini yang sering peneliti pahami dan ketahui dalam penelitian skripsi hanya meneliti tentang upacara-upacara keagamaan suatu agama dan sejarahnya saja, sehingga penting bagi peneliti untuk memahami pelaku agama dalam menyikapi kaitan antara ekonomi dengan keberagamaannya.

Ketika peneliti membaca buku tentang ajaran dasar agama Buddha, terdapat beberapa dari ajaran Buddha yang menyerukan kepada umatnya untuk meninggalkan keduniawian, seperti; kekayaan, jabatan, tahta dan sebagainya yang bersifat duniawi. Sedangkan Buddha sendiri memberikan contoh bahwa sesama makhluk harus saling menolong dan memberi kepada mereka yang meminta dan membutuhkan. Konsep ini tentulah bertolak belakang, bagaimana umat Buddha bisa membantu sesamanya jika mereka tidak memiliki apa-apa untuk diberikan, karena ajaran sang Buddha menyeru untuk meninggalkan semua yang bersifat keduniawian sehingga menjadi penting bagi peneliti untuk mengetahui bagiamana hubungan kedua konsep ajaran Buddha tersebut.

Umat Buddha merupakan contoh umat yang taat dalam menjalankan agamanya, utamanya para Biksu. Tujuan hidup mereka di dunia hanyalah satu,


(11)

2

yaitu untuk menuju pencapaian Nirvana (kesempurnaan). Dalam mencapai tujuan hidup, mereka harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat keduniawian. Semua hal yang bersifat keduniawian adalah penghalang bagi mereka menuju pencapaian Nirvana (kesempurnaan) dan merupakan penderitaan sehingga apapun yang bersifat keduniawian harus mereka tinggalkan jika ingin mencapai kesempurnaan.

Namun di sisi lain, Buddha sendiri diharuskan mempunyai rasa simpati atas kelemahan dan kekurangan serta menyadari kondisi sosial ekonomi masyarakat, kemudian merencanakan beberapa pengajaran untuk menghilangkan kesengsaraan yang diakibatkan oleh kemiskinan. Mungkin memang benar bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan yang sesungguhnya berasal dari kesucian dan kedamaian hidup, tetapi jelas bahwa tanpa jaminan materi dan ekonomi dalam

kadar tertentu, peningkatan moral dan spiritual tidak dapat diraih.1

Buddha telah menunjukkan contoh, bahwa seorang Buddha harus mempunyai simpati untuk mengobati orang yang sakit dan menunjukkan bahwa orang yang lapar harus diberi makan, serta orang yang telanjang harus diberikan

pakaian sebelum diajarkan Dhamma. Namun dengan apa yang dicontohkan

Buddha tersebut materi sangat berperan penting, karena untuk membeli obat untuk diberikan kepada orang yang sakit, membeli makanan untuk diberikan kepada orang yang kelaparan, dan membeli pakaian untuk diberikan kepada orang yang telanjang membutuhkan materi. Sedangkan ajaran Buddha yang lain mangajarkan

1

Mukti Ali dkk., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), 226.


(12)

3

bahwa semua Buddha harus meninggalkan keduniawian untuk mencapai Nirvana (kesempurnaan) termasuk kekayaan.

Agama Buddha merupakan salah satu agama terbesar di India selain agama Hindu. Agama Buddha adalah agama yang dikenalkan dan dibawa oleh Siddharta Gautama. Siddharta Gautama adalah anak raja dari kerajaan kecil di daerah selatan Himalaya, yang sekarang disebut Nepal. Dalam perjalanan religius yang panjang, Siddharta telah mencapai pencerahan tertinggi sehingga menjadi Buddha. Alasan Siddharta Gautama memilih menjadi seorang Buddha dan meninggalkan kehidupannya sebagai seorang putra mahkota raja adalah muncul kegelisahan dalam hatinya karena merasa telah terjadi ketidakadilan di dunia ini. Ada perbedaan kasta-kasta yang menjadikan manusia menjadi berkelas-kelas, sehingga menimbulkan sekat dan pembatas diantara kasta yang satu dengan kasta yang lain. 2

Mulanya di kerajaan dimana Siddharta dilahirkan berlaku aturan kasta, mengikuti tradisi umum di seluruh India. Keluarga Siddharta termasuk dalam kasta Ksatria yang setaraf dengan kasta Brahmana, hanya dalam hal upacara kasta itu tidak banyak berperan. Melihat perbedaan kasta itu, Siddharta menjadi heran karena dia melihat bahwa eksistensi manusia di dunia ini memiliki derajat yang sama, yaitu sama-sama menderita. Melalui pandangan itu, ia menyatakan secara tegas tidak ada perbedaan kasta dalam eksistensi manusia. Kasta Brahmana tidak

2

Mudji Sutrisno, Buddhisme: Pengaruhnya dalam Abad Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 113.


(13)

4

lahir lebih mulia dibanding dengan kasta yang lain. Semua orang memiliki hak

yang sama untuk menjadi kasta Brahmana atau kasta yang lain.3

Siddharta telah melalui perjalanan religius yang panjang di luar istana dan menemukan banyak hal yang tidak bisa ia temukan di istana. Fenomena yang ia lihat di luar istana, membuatnya semakin ingin tahu persoalan tentang manusia. Ia melihat bahwa di luar istana jauh berbeda dengan di dalam istana. Fenomena itu bukan semata-mata material, tetapi juga aspek mendasar dari eksistensi manusia. Ia pertama-tama merasa heran, mengapa manusia menjadi tua, mengapa manusia bisa sakit, mengapa ada mayat atau kematian, dan mengapa seseorang harus melepaskan dan harus harus mencari sesuatu di luar hal material. Keempat pertanyaan tersebut merupakan titik tolak ajaran Buddha yang disimbolkan dengan empat tanda (four signs). Tanda ini sebagai simbol untuk mempertanyakan

makna hidup yang sebenarnya dalam mencapai suatu kebahagiaan penuh.4

Menurut ajaran sang Buddha Gautama, kebebasan adalah pencapaian terakhir dalam mencapai Nirvana (Nibbana), yaitu bebas dari kelahiran, kelapukan, penyakit, kematian, penderitaan, dan nafsu keinginan. Dalam khotbah Dharma pertama yang dinamakan Pemutaran Roda Dharma (Dharmacakra Pravartana/Dhammacakka Pavattana), sang Buddha menjelaskan Jalan Tengah (Madhyama Pratipada/Majjhima Patipada) yang telah dia temukan, dan ini

merupakan intisari ajaran Buddha.5

3

Sutrisno, Buddhisme: Pengaruhnya…,114. 4

Ibid., 115. 5

John Tondowidjoyo, Masalah Pandangan Hidup Ketimuran (Surabaya: Sanggar Bina Tama, 1983), 31.


(14)

5

Buddha Gautama menemukan bahwa pelenyapan dari penderitaan dimulai dengan mengakui kehidupan di dunia ini penuh dengan penderitaan. Jika direnungi kehidupan ini akan disadari, bahwa dunia penuh dengan penderitaan, baik penderitaan secara fisik maupun penderitaan secara mental. Penderitaan fisik terwujud dalam berbagai bentuk, dimulai saat kelahiran (jati), usia tua (jara), sakit (vyadhi), dan kematian (marana). Sedangkan penderitaan mental antara lain; orang yang pikirannya diliputi dengan kebencian, merana, berpisah dengan orang yang dicintai, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, tidak tercapai kehidupan yang penuh diliputi oleh berbagai keinginan dan nafsu yang dirasakan oleh Lima Unsur Kemelekatan yang merupakan obyek yang diserap oleh panca indera (pancarammana/pancalambana); yaitu obyek bentuk (penglihatan), obyek suara (pendengaran), obyek bau (penciuman), obyek rasa (pengecapan, perasaan), dan obyek sentuhan (persentuhan); termasuk keinginan akan kekayaan, teman yang menyenangkan, makanan minuman dan ketenaran. Oleh karena itu, memahami keberadaan penderitaan hanyalah satu bagian dari proses. Bagaimana mengakhiri penderitaan, sehingga kita dapat bebas adalah tujuan

terakhir tentang penderitaan dalam ajaran sang Buddha.6

Jika manusia dapat memahami dengan jelas penyebab penderitaan itu dan menemukan jalan untuk mengatasinya, manusia tersebut akan bebas dari lautan penderitaan yang dalam dan menikmati kebahagiaan sejati dalam kehidupan saat ini. Hal ini sejalan dengan pendapat Buddha Gautama yang mengatakan bahwa

6

Nasruddin, Diktat Mata Kuliah Agama Buddha (Surabaya: Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011), 83.


(15)

6

“Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia, yaitu; dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha, serta Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang menuju pada akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan” (Dhammapada, 190-192).

Salah satu ajaran yang menjadi dasar ajaran Sang Buddha adalah Empat

Kebenaran Mulia, atau sering juga disebut dengan Empat Kesunyataan Utama. Empat Kesunyataan Utama adalah kebenaran dasar ajaran agama Buddha. Keempat kesunyataan itu disadari, dialami, dan diajarkan oleh sang Buddha sendiri. Menurut ajaran sang Buddha, sifat asli kehidupan dan alam semesta tidaklah lain dari penderitaan, pemunculan penderitaan, pelenyapan penderitaan,

dan jalan menuju pelenyapan penderitaan.7

Ketika Buddha Gautama telah wafat, agama Buddha telah menyebar luas di India. Bahkan pada masa kejayaannya, perkembangan agama Buddha begitu pesat hingga ke Asia, khususnya di Indonesia. Di indonesia, Agama Buddha termasuk salah satu agama tertua setelah agama Hindu. Diperkirakan agama

Buddha telah berkembang di Indonesia sekitar pada abad ke-5 SM.8

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu bukti kejayaan agama Buddha di Indonesia. Tepatnya di wilayah Sumatra. Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan Buddha yang sangat berpengaruh di Indonesia pada tahun 680-1337 M. Selain sebagai kerajaan yang menjalankan roda pemerintahan, Sriwijaya juga berfungsi sebagai pelabuhan transit untuk peziarah dari Cina dalam perjalanan mereka menuju tempat suci agama Buddha di India. Sehingga dapat dikatakan bahwa

7

Y.A. Mahabhikshu Hsing Yun, Karakteristik dan Esensi Agama Buddha (Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya, 1994), 40.

8


(16)

7

Sriwijaya pada waktu itu telah menjadi pusat pengajaran agama Buddha yang terkenal di Asia dan mempunyai hubungan yang luas dengan pusat-pusat

pengajaran agama Buddha di India.9

Selain itu, pengaruh agama Buddha juga telah masuk dalam lingkungan kerajaan-kerajaan besar lainnya selain kerajaan Sriwijaya. Seperti kerajaan Kalingga, kerajaan Mataram dan kerajaan terbesar di Nusantara, yaitu kerajaan Majapahit. Sehingga tidak mengherankan jika saat itu agama Buddha mampu

berkembang secara meluas di Indonesia.10

Kerajaan Majapahit merupakan kerjaaan terbesar di Nusantara yang wilayah kekuasaannya hampir meliputi seluruh wilayah Asia Tenggara (sekarang). Menurut sejarah, kerajaan yang bercorak keagamaan Hindu-Buddha ini pusat kerajaannya berada di tanah Jawa tepatnya di Trowulan, Mojokerto - Jawa Timur. Peneliti melihat hal itu dibuktikan dengan banyak ditemukannya peninggalan-peninggalan sejarah kerajaan Majapahit. Beberapa candi dan peninggalan lain yang ditemukan di Trowulan merupakan bukti bahwa Mojokerto merupakan salah satu pusat berkembangnya agama Buddha pada masa kejayaan kerajaan Majapahit.

Diantaranya beberapa candi-candi yang dapat ditemukan hingga saat ini di Trowulan adalah Candi Brahu, Candi Gentong, Candi Sumur Upas, Candi Kedaton, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, dan Candi Minak Jinggo. Sedangkan peninggalan-peninggalan lain yang menunjukkan bahwa pernah ada kejayaan Buddha di Trowulan adalah adanya Kolam Segaran, Balong Dowo, Balong

9

Keene, Agama-agama…,180. 10


(17)

8

Bunder, Makam Putri Cempo, Pendopo Agung, Siti Hinggil, dan Gapura Wringin Lawang.

Tidak jauh dari candi-candi dan peninggalan yang ditemukan, terdapat sebuah vihara yang merupakan tempat ibadah umat Buddha. Vihara tersebut adalah Maha Vihara Mojopahit yang terletak di Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Maha Vihara Mojopahit tersebut dibangun pada tahun 1989 oleh Biksu Viriyanadi Mahathera dengan rancangan arsitektur Jawa bebentuk joglo. Tujuan dibangunnya vihara ini adalah sebagai tempat peribadatan umat Buddha dan sebagai tempat melaksanakan perayaan hari-hari besar agama Buddha. Ajaran di dalam Maha Vihara Mojopahit sama dengan apa yang telah diajarkan oleh sang Buddha Siddharta Gautama.

Dari ajaran dasar agama Buddha di atas, peneliti kemudian tertarik untuk melakukan sebuah penelitian terhadap para Biksu di Maha Vihara Mojopahit di Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Tema yang akan diangkat adalah Ekonomi dan Spiritualitas Perspektif Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto.

B. Batasan Masalah

Agar pembahasan tidak terlalu meluas, peneliti perlu memberikan batasan masalah dalam penelitian ini, yang tujuannya untuk membatasi bahasan dalam penelitian ini agar lebih terarah dan fokus. Objek yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah para Biksu yang berada di Maha Vihara Mojopahit Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto dalam memaknai kaitan


(18)

9

antara ekonomi dengan spiritualitas. Ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kekayaan (materi), karena makna ekonomi itu sendiri sangat luas sehingga peneliti perlu memberikan batasan tersebut.

C. Rumusan Masalah

Dalam melakukan suatu penelitian, rumusan masalah memiliki peran penting. Untuk memfokuskan kajian masalah pada penelitian ini, maka rumusan masalah tersebut disusun ke dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana para Biksu di Maha Vihara Mojopahit memaknai ekonomi dan

spiritualitas?

2. Bagaimana kaitan antara ekonomi dengan spiritualitas menurut perspektif para

Biksu di Maha Vihara Mojopahit?

D. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang telah dirumuskan beberapa permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan makna ekonomi dan spiritualitas menurut perpsektif para Biksu

di Maha Vihara Mojopahit.

2. Menjelaskan kaitan antara ekonomi dengan spiritualitas menurut perspektif


(19)

10

E. Manfaat Penelitian

Peneliti memaparkan manfaat dari penelitian ini terdiri dari:

1. Manfaat teoritis

a. Kontribusi khazanah pengetahuan khususnya berkaitan dengan ekonomi

dan spiritualitas dalam perspektif agama Buddha.

b. Sumber informasi dan evaluasi bagi para pembaca dalam menambah

pengetahuan mengenai hubungan ekonomi dan spiritualitas dalam agama Buddha.

c. Memperkaya pengalaman, dan melatih diri mahasiswa dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh dalam proses perkuliahan.

2. Manfaat praktis

a. Meneladani kehidupan para Biksu untuk dijadikan sebagai inspirasi bagi

umat lain.

b. Menjadi rujukan umat lain selain umat Buddha bahwa, Maha Vihara

Mojopahit yang terletak di Trowulan bukan hanya berfungsi sebagai rumah ibadah umat Buddha saja, melainkan juga bisa digunakan sebagai objek penelitian dan diskusi antar umat beragama.

c. Menjadi rujukan Dinas Pariwisata Mojokerto bahwa di samping Maha

Vihara Mojopahit berfungsi sebagai rumah ibadah umat Buddha, Maha Vihara Mojopahit memiliki daya tarik yang besar bagi pariwisatawan karena di dalam Maha Vihara Mojopahit terdapat beberapa objek yang dijadikan sebagai objek pariwisata. Salah satu diantaranya adalah Patung Buddha Tidur (Rupang Sleeping Buddha).


(20)

11

F. Penegasan Judul

Dalam upaya menghindari kesalahan dalam menafsirkan judul penelitian, maka peneliti turut menjelaskan dan mendefinisikan beberapa kosakata dari judul

penelitian “Ekonomi dan Spiritualitas Perspektif Para Biksu di Maha Vihara

Mojopahit Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto”.

Ekonomi : suatu cara masyarakat dalam memilih jalan yang tepat untuk

memperdayagunakan sumber-sumber kekayaan yang terbatas, yang mempunyai beberapa penggunaan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan dan manfaat lain untuk konsumsi saat

sekarang dan pada waktu yang akan datang.11

Spiritual : bagian inti dari individu (core of individuals) yang tidak terlihat

(invisible) yang berkontribusi terhadap keunikan dan menyatu

dengan nilai-nilai transendental (suatu kekuatan Yang Maha Tinggi/high power dan Tuhan/God) yang memberikan makna,

tujuan, dan keterhubungan12 yang berhubungan dengan atau

bersifat kejiwaan (rohani, batin).13

Perspektif : sudut pandang; pandangan 14

Para Biksu : pendeta atau petapa (Buddha) pria.15

11

Milton Spenser, Contemporary Economics dalam Y.M. Bhikkhu Sugono, “Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi”, http://www.buddhistonline.com/dhammadesana /desana7.shtml (Selasa,24 Maret 2015, 20.15)

12

Dewit-Weaver dalam Rohman Azzam, “Spiritual Care”, https://www.academia.edu/ 7107231/SPIRITUAL_CARE_SPIRITUAL_CARE_SPIRITUAL_CARE_SPIRITUAL_ CARE_Contents (Jumat, 20 Maret 2015, 9.30)

13

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia cet.3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1087.

14

Ibid., 432. 15


(21)

12

Maha : besar16

Vihara : biara yang didiami oleh para biksu (umat Buddha).17

Mojopahit : nama vihara yang berada di Desa Bejijong Kecamatan Trowulan

Kabupaten Mojokerto.

Trowulan : nama salah satu kecamatan di Mojokerto.

Mojokerto : nama salah satu kebupaten di Jawa Timur.

Jadi yang dimaksud judul dalam skripsi ini adalah memahami dan menjelaskan kaitan antara ekonomi dengan spiritualitas para Biksu di Maha Vihara Mojopahit Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto, yang selanjutnya adalah tahap menganalisa data-data yang ada secara mendalam untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman dan pengetahuan mengenai kaitan antara ekonomi dengan spiritualitas secara langsung dari para Biksu yang ada di Maha Vihara Mojopahit Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto.

G. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang pemimpin agama secara khusus belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Namun sebagai pembanding, peneliti mencantumkan beberapa penelitian terdahulu dengan tujuan tidak adanya pengulangan materi penelitian secara mutlak dengan penelitian sebelumnya.

16

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar..., 695. 17


(22)

13

Adapun penelitian sebelumnya yaitu skripsi yang berjudul “Kehidupan

Bikkhu dengan Umat Awam di Maha Vihara Majapahit” yang ditulis oleh Deny

Dwi Ertini mahasiswa jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2005. Penelitian ini mengurai tentang kehidupan para Biksu dalam menjalani kehidupan kesehariannya. Dijelaskan dalam penelitian ini bahwa kehidupan para Biksu di Maha Vihara Mojopahit sarat dengan nuansa keramahan dan keakraban. Mereka ramah dan akrab terhadap semua pengunjung yang datang ke vihara tanpa memandang perbedaan suku, agama, dan ras. Bagi para Biksu, kesempurnaan hidup bisa dicapai hanya dengan saling mengasihi diantara sesama dan saling membantu apabila ada orang yang sedang mengalami kesusahan. Selain itu, kehidupan seorang Biksu di Maha Vihara Mojopahit penuh dengan kesederhanaan karena dalam ajaran Buddha menghendaki seorang pertapa

hendaknya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniawian.18 Penelitian ini

membahas terkait kehidupan para Biksu dan belum terdapat kajian tentang ekonomi dan spiritualitas dalam persepktif para Biksu. Oleh karena itu, ada sekat bagi peneliti untuk mengkaji secara khusus tentang ekonomi dan spiritualitas dalam persepktif para Biksu di Maha Vihara Mojopahit.

Selanjutnya penelitian Max Weber dalam bukunya yang berjudul “The

Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”. Teori Weber mengenai The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism menjelaskan keterkaitan hubungan antara agama dan ekonomi. Ekonomi (materi atau kekayaan) bisa maju dan

18

Deny Dwi Ertini, “Kehidupan Bikkhu dengan Umat Awam di Maha Vihara Majapahit” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005), 77.


(23)

14

berkembang jika spiritualitas keagamaan seseorang tersebut juga tinggi, karena keberhasilan (materi) di dunia adalah cerminan keberhasilan di akhirat, sehingga agama menjadi pendorong seseorang untuk giat melakukan aktivitas ekonomi.

Teori tentang ekonomi dan agama karya Weber yang tercantum dalam

bukunya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism tersebut merupakan

sanggahan terhadap teori Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat, sehingga setiap pemeluk agama tidak akan bisa maksimal dan mengembangkan kehidupan duniawinya (ekonomi) jika dengan beragama karena agama menjadi pelarian dalam melupakan penderitaan dunia.

Berlandaskan teori Weber tentang ekonomi dan agama dalam bukunya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism inilah, peneliti kemudian

menggunakannya sebagai pijakan berpikir dalam melakukan penelitian dengan judul

“Ekonomi dan Spiritualitas Perspektif Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto”

Jadi dari penelitian terdahulu yang ada, peneliti mencoba melakukan penelitian dengan pembahasan yang berbeda dengan pembahasan penelitian yang pernah ada sebelumnya. Peneliti akan membahas keterkaitan antara agama dengan ekonomi menurut perspektif para Biksu di Maha Vihara Mojopahit, yang pada penelitian sebelumnya belum pernah dibahas mengenai tema tersebut. Landasan teori yang menjadi pijakan peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah Teori

Max Weber yang membahas tentang agama dan ekonomi dalam The Protestant


(24)

15

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah strategi umum yang digunakan atau dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang digunakan untuk menjawab masalah yang dihadapi. Adapun metode yang digunakan peneliti meliputi:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan model field

research, yaitu peneliti mengadakan pengamatan secara langsung pada objek

penelitian. Objek utama dari field research adalah informan. Penelitian

kualitatif adalah penelitian yang menarasikan sebuah peristiwa yang terjadi di masyarakat yang tidak dalam bentuk angka-angka, bilangan atau data-data statistik. Tetapi lebih pada sebuah narasi atau penggambaran apa yang terjadi di masyarakat.

Dalam penelitian ini, peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mencari data atau keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini dilakukan dengan menggali data yang dibutuhkan secara mendalam melalui observasi dan terlibat secara langsung, serta dengan melakukan wawancara mendalam dengan narasumber (informan). Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah para Biksu di maha Vihara Mojopahit. Sehingga memungkinkan data yang diperoleh peneliti adalah data yang validitas informasinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Lexy J. Moleong mendefinisikan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan


(25)

16

lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode ilmiah.19

2. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana asal data diperoleh. Untuk penggalian data secara objektif, maka sumber-sumber yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Sumber Primer

Sumber data yang bersifat utama dan terpenting untuk mendapatkan informasi yang diperlukan oleh peneliti lapangan, dimana peneliti terjun langsung untuk mencari data atau keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Objek yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit. Peneliti menggunakan para Biksu di Maha Vihara Mojopahit sebagai informan untuk mendapatkan keterangan dan informasi tentang masalah yang diteliti. Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit yang dijadikan sebagai informan oleh peneliti, diantaranya Biksu Viriyanadi (Pendiri Maha Vihara Mojopahit), Biksu Nyanavira, Biksu Nyana Virya, dan Romo Saryono.

19

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 6.


(26)

17

b. Sumber Sekunder

Sumber data yang bersifat sebagai pelengkap sumber data primer. Sumber data ini dapat diperoleh dari penjaga Maha Vihara Mojopahit, warga di sekitar Maha Vihara Mojopahit, dan umat Buddha dari luar yang datang ke Maha Vihara Mojopahit untuk beribadah. Selain itu, peneliti

juga menggunakan library research sebagai sumber sekunder dalam

penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data di lapangan dalam rangka mendiskripsikan dan memperoleh jawaban atas permasalahan yang diteliti, maka peneliti menggunakan beberapa metode dalam penyusunan penelitian ini, antara lain:

a. Observasi

Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

pengamatan atas perilaku seseorang atau objek penelitian.20 Sedangkan

pengertian observasi lebih sempit yaitu mengamati dan mendengar perilaku seseorang selama beberapa waktu tanpa melakukan manipulasi atau pengendalian, serta mencatat penemuan yang memungkinkan atau

memenuhi syarat untuk digunakan ke dalam tingkat penafsiran analisis.21

Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki yaitu

20

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 158. 21

Black James, Metode dan Masalah Penelitian Sosial (Jakarta: Refika Aditama, 1999), 285.


(27)

18

mengadakan pengamatan dan pencatatan terhadap apa yang dijadikan objek penelitian.22

Observasi juga dilakukan bila belum banyak keterangan yang dimiliki mengenai masalah yang diselidiki. Observasi digunakan untuk

menjajakinya sehingga observasi berfungsi sebagai eksplorasi. Observasi

digunakan peneliti untuk menggali tentang kehidupan Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit dalam menjalankan kehidupan ekonomi dan spiritualitas. Dari hasil ini peneliti dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai permasalahan yang diteliti dan mungkin petunjuk-petunjuk

tentang cara memecahannya.23

b. Interview (Wawancara)

Interview adalah salah satu teknik pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berdasarkan

pada tujuan penelitian atau penyelidikan.24 Penyelidikan pada umunya

dua orang atau lebih hadir secara fisik dalam proses tanya jawab itu sendiri dan masing-masing pihak dapat menggunakan saluran-saluran komunikasi

secara wajar dan lancar.25 Ciri utama interview adalah terjadinya kontak

langsung antara pencari informasi (interviewer) dan sumber informasi (interviewee).26

22

Sutrisno Hadi, Metode Research, cet IX (Yogyakarta: Jajasan Penerbitan FIP-IKIP, 1968), 146.

23

S. Nasution, Metode Reseach (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 106. 24

Marzuki, Metodologi Research, Fakultas Ekonomi (Yogyakarta: 1983), 83. 25

Marzuki, Metodologi Research..., 193. 26


(28)

19

Interview yang digunakan peneliti adalah interview berstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai alat bantu untuk memperjelas alur pembahasan. Selain itu, peneliti juga melakukan interview yang bersifat informal kepada pihak-pihak yang dianggap memiliki relevansi informasi dengan rumusan masalah. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang lebih kompleks mengenai kaitan antara ekonomi dengan spiritualitas dalam persepktif para Biksu di Maha Vihara Mojopahit.

Sumber informasi (interviewee) dalam penelitian ini adalah Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit. Para Biksu tersebut diantaranya Biksu Viriyanadi (Pendiri Maha Vihara Mojopahit), Biksu Nyanavira, Biksu Nyana Virya, dan Romo Saryono. Para Biksu dijadikan sebagai sumber informasi oleh peneliti karena masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini tentang ekonomi dan spiritualitas dalam perspektif para Biksu, sehingga peran para Biksu sebagai sumber informasi merupakan hal yang pokok dalam penelitian ini.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan bahan atau data tertulis atau film yang diperoleh dari lapangan. Dokumnetasi diperlukan dalam penelitian karena banyak hal yang dapat dimanfaatkan untuk menguji, manafsirkan bahkan

juga dijadikan sebagai sebuah bukti untuk suatu pengujian.27 Proses

pembuktian melalui metode dokumentasi ini didasarkan atas jenis sumber

27


(29)

20

apapun, baik yang bersifat tulisan, gambar, atau sesuatu yang tercetak

yang dapat digunakan sebagai bukti (keterangan).28

4. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya, guna meningkatkan pemahaman. Penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis kritis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna (meaning) serta mencoba untuk mengkomparasikannya dengan sumber lain yang berkaitan.29

Adapun analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Deskriptif analisis yaitu metode yang diawali dengan menjelaskan atau menggambarkan data hasil penelitian, yaitu menggambarkan kehidupan para biksu dalam memaknai ekonomi dan spiritualitas, kemudian dianalisis menurut teori Max Weber tentang agama dan ekonomi.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa komponen yang sistematis ke dalam bentuk bab per bab. Adapun sistematika pembahasan dengan perincian sebagai berikut:

28

Irwan Soehartono, Metodologi Penelitian Sosial (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), 65.

29

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 104.


(30)

21

Bab I adalah Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penegasan judul, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab II memuat landasan teori tentang ekonomi dan spiritualitas. Bab ini membahas mengenai tinjauan tentang ekonomi dan spiritualitas, serta teori Max Weber tentang ekonomi dan spiritualitas. Pembahasan pada bab inilah yang digunakan peneliti sebagai pijakan dalam melakukan penelitian.

Bab III memuat profil Maha Vihara Mojopahit dan para Biksu. Peneliti akan memaparkan hasil penelitian atau data penelitian mengenai gambaran umum Maha Vihara Mojopahit di Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto dan autobiografi para Biksu Maha Vihara Mojopahit.

Bab IV memuat inti pembahasan dari penelitian ini. Dalam bab ini memuat analisis mengenai kaitan antara ekonomi dengan spiritualitas menurut perspektif para Biksu di Maha Vihara Mojopahit di Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto.

Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang ada akan menjawab dalam rumusan masalah, sedangkan saran dapat menjadi agenda pembahasan lebih lanjut di masa mendatang

Selain itu, bab-bab tersebut juga dilengkapi daftar pustaka dan lampiran-lampiran sebagai pendukung dan penguat dalam penelitian skripsi ini..


(31)

BAB II

EKONOMI DAN SPIRITUALITAS

A. Ekonomi (Materi atau Kekayaan)

1. Pengertian Ekonomi

Ekonomi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu economy.

Sementara kata economy itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu

oikonomike yang berarti pengelolaan rumah tangga. Maksud ekonomi sebagai pengelolaan rumah tangga adalah suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumber daya rumah tangga yang terbatas di antara berbagai anggotanya, dengan

mempertimbangkan kemampuan, usaha, dan keinginan masing-masing.1

Menurut Adam Smith dalam bukunya An inquiry into the Nature and

causes of Wealth of Nations mendefinisikan ekonomi sebagai disiplin ilmu terapan tentang produksi dan penggunaan kekayaan. Alfred Marshal mendefinisikan ekonomi sebagai suatu disiplin ilmu yang tidak hanya mempelajari tentang kekayaan materi, tetapi juga suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang manusia dalam hubungannya dengan pemenuhan

kebutuhannya. Selanjutnya, Milton Spenser dalam bukunya Contemporary

Economics mendefinisikan ekonomi sebagai suatu cara masyarakat memilih jalan yang tepat untuk memperdayagunakan sumber-sumber kekayaan yang terbatas, yang mempunyai beberapa penggunaan untuk memproduksi

1


(32)

23

barang kebutuhan dan manfaat lain untuk konsumsi saat sekarang dan pada

waktu yang akan datang.2

Mengingat sumber-sumber kekayaan yang sangat terbatas dan keinginan manusia akan kekayaan yang tidak terbatas, maka manusia yang bertanggung jawab harus menggunakan sumber-sumber kekayaan yang ada dengan sebaik-baiknya. Tidak menghambur-hamburkan sumber kekayaan dan mengelolanya dengan baik dan benar.

Manusia adalah makhluk berpikir dan motivasi-motivasi yang ada pada dirinya berdasar pada faktor-faktor ekonomi. Manusia memiliki keinginan (wants) yang tidak terbatas. Manusia mempunyai tendensi untuk memenuhi keinginan akan materi yang lebih banyak, dan pada kenyataannya keinginan tersebut tidak ada batasnya. Di zaman modern ini kekayaan materi atau pendapatan pribadi (per capita income) dijadikan sebagai ukuran kemakmuran seseorang atau negara.

2. Tinjauan Ekonomi Perspektif Buddha

Menurut pandangan Agama Buddha, ekonomi memiliki hubungan yang erat dengan ilmu-ilmu etika. Agama Buddha adalah agama yang mementingkan etika dan perkembangan karakter individu. Menurut Agama Buddha, semua aktifitas yang dilakukan oleh manusia yang bervariasi, pada akhirnya harus ditujukan pada perkembangan moral dan perkembangan batin.

2 Y.M. Bhikkhu Sugono, “Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi”, http://www.buddhistonline.com/dhammadesana/desana7.shtml (Selasa,24 Maret 2015, 20.15)


(33)

24

Agama Buddha tidak melarang umatnya mencari kekayaan untuk memenuhi

kebutuhannya.3

Sang Buddha dalam beberapa khotbah-Nya menerangkan bahwa materi adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan. Tetapi materi bukanlah satu-satunya tujuan yang harus dikejar dengan melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Materi seharusnya digunakan sebagai sarana penunjang

untuk mendapatkan kebahagiaan spiritual yang lebih tinggi.4

Terdapat sebuah kisah yang menceritakan bahwa Sang Buddha tidak

mengajarkan Dhamma kepada orang yang kelaparan. Pada suatu ketika Sang

Buddha menerima murid yang datang dari jauh, yang kelihatan lelah, sehingga Sang Buddha memerintahkan kepada para Biksu untuk memberi makanan kepada orang tersebut. Sang Buddha baru mengajarkan Dhamma setelah orang tersebut selesai makan, karena dalam Agama Buddha kelaparan dikategorikan

sebagai salah satu penyakit (dalidda paramam roga).5

Agama Buddha tidak pernah melarang pengikutnya untuk

mengumpulkan kekayaan (materi), tetapi Sang Buddha selalu mengajarkan bahwa dalam mengumpulkan kekayaan, hendaknya seseorang melakukannya dengan jalan yang benar. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa memiliki materi atau kekayaan merupakan salah satu sumber kebahagiaan (atthi sukha). Demikian juga akan muncul kebahagiaan jika seseorang dapat menikmati apa yang telah diperolehnya (bhoga sukha). Jika seseorang bekerja keras dan dapat

3Bhikkhu Sugono, “Pandangan Agama…,

(Selasa,24 Maret 2015, 20.15) 4

Ibid. 5


(34)

25

memenuhi kebutuhannya sehari-hari, maka dia tidak akan jatuh ke dalam hutang (anana sukha). Ketiga macam kebahagiaan tersebut berkaitan erat dengan materi.

Lebih lanjut Sang Buddha menerangkan kebahagiaan yang ke empat, yaitu: anavajja sukha (kebahagiaan yang didapat jika seseorang merasa bahwa

dirinya telah berbuat sesuai dengan Dhamma). Dalam hal ini Sang Buddha

tidak hanya mengajarkan bagaimana untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia ini, tetapi juga mengajarkan cara-cara yang harus dilaksanakan oleh seseorang

sesuai dengan Dhamma, agar setelah ia meninggal bisa terlahir di alam-alam

bahagia.6

Pengalaman melalui pembuktian merupakan ciri khas pendekatan yang digunakan dalam Agama Buddha untuk melihat suatu masalah, termasuk beberapa masalah yang berhubungan dengan ekonomi. Melalui pendekatan empiris inilah Sang Buddha mengajarkan bahwa semua mahluk hidup karena makanan (sabbe satta aharatthitika). Menyadari akan hal ini, Sang Buddha mengetahui bahwa setiap orang harus menempuh beberapa cara yang diperlukan untuk memperoleh makanan. Dalam hal ini Sang Buddha menganjurkan beberapa jalan dan petunjuk yang sebaiknya dijalankan oleh seseorang sesuai dengan norma-norma kemoralan. Misalnya, Sang Buddha

menerangkan tentang norma-norma etika, seperti hukum kamma untuk

mengontrol dan membimbing manusia dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Hal ini sangat berguna, karena pada kenyataanya, keinginan

6


(35)

26

manusia akan pemuasan nafsu-nafsu indera adalah tidak terbatas. Tidak jarang manusia menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekayaan, sehingga tidak jarang terjadi konflik, kebencian, pembunuhan dan sebagainya.

Dengan diterangkan ajaran tentang kamma (hukum perbuatan), maka

seseorang menjadi lebih percaya akan dirinya sendiri, dan tentunya dalam dunia perekonomian akan memberi pengaruh pada produksi, distribusi, konsumsi, dan semua aktivitas yang lain.

B. Spiritualitas

1. Pengertian Spiritualitas

Menurut perspektif bahasa, spiritualitas berasal dari kata spirit yang

berarti jiwa.7 Sedangkan menurut istilah, sipiritual dapat didefinisikan sebagai pengalaman manusia secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas. Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan instrumen (media).8

Beberapa tokoh mendefinisikan spiritualitas dengan sudut pandang masing-masing, seperti Dewit-Weaver mendefinisikan spiritualitas sebagai bagian inti dari individu (core of individuals) yang tidak terlihat (invisible) yang

berkontribusi terhadap keunikan dan menyatu dengan nilai-nilai transendental (suatu kekuatan Yang Maha Tinggi/high power dan Tuhan/God) yang

7

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 963.

8 Nur Faizah, “Kebutuhan Spiritualitas”,

http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id =4475 (Rabu, 18 Maret 2015, 12.06)


(36)

27

memberikan makna, tujuan, dan keterhubungan. Conco juga mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu yang esensi dan bersifat individual dari seseorang, berhubungan dengan sesuatu yang luas dan dengan orang lain, atau pencarian makna dan tujuan hidup. Selain itu, menurut Conco spiritualitas juga dimaknai sebagai suatu jalinan antara pikiran, tubuh, dan emosi. Sedangkan Murray dan Zentner menyatakan spiritualitas adalah suatu kualitas yang melebihi afiliasi agama, yang dapat memberikan inspirasi, referensi, kesadaran, arti dan tujuan hidup.9

Dari definisi dan deskripsi spiritualitas di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa spiritualitas merupakan bagian inti dan esensial dari individu, lebih dari sekadar keyakinan dari praktik beragama, yang berkontribusi terhadap keunikan individu dan menghubungkan jalinan pikiran, tubh, emosi, hubungan dengan orang lain dan dengan sesuatu di luar diri. Spiritualitas juga merupakan sesuatu yang berkaitan dengan pencarian makna, tujuan, harapan, dan prinsip hidup untuk mengembalikan seseorang kepada rasa keterpaduan

(coherence) dan kedamaian dalam diri.

2. Aspek Spiritualitas

Menurut Bukhardt spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut:

a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian

dalam kehidupan.

b. Menemukan arti dan tujuan hidup.

9 Rohman Azzam, “Spiritual Care”

, https://www.academia.edu/7107231/SPIRITUAL _CARE_SPIRITUAL_CARE_SPIRITUAL_CARE_SPIRITUAL_CARE_Contents (Jumat, 20 Maret 2015, 9.30)


(37)

28

c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam

diri sendiri.

d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang

Maha Tinggi.

3. Dimensi Spiritual

Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau

keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan

kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul

di luar kekuatan manusia.10

Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan. Sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Spiritualitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang. Sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua

dimensi tersebut.11

10

B. Kozier dan R. Oliver, Fundamental of nursing; consept, process and practice,

fourth edition (California: Addison-Wesley Publishing CO, 2004). 11Faizah, “Kebutuhan Spiritualitas…,


(38)

29

4. Kebutuhan Spiritual

Kebutuhan spiritual yaitu kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan

penuh rasa percaya dengan Tuhan.12

Menurut Clinebell, kebutuhan spiritual manusia terdiri dari 10 butir kebutuhan dasar, yaitu:

a. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan itu secara

terus menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah.

b. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan untuk menemukan

makna hidup dalam membangun hubungan yang selaras dengan Tuhannya (vertikal) dan sesama manusia (horisontal) serta alam sekitaraya.

c. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan

keseharian, pengalaman agama integratif antara ritual peribadatan dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

d. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur mengadakan

hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak melemah.

e. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. Rasa bersalah dan

berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak baik bagi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu pertama

12


(39)

30

secara vertikal adalah kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah, dan berdosa kepada Tuhan. Kedua secara horisontal yaitu bebas dari rasa bersalah kepada orang lain.

f. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri {self acceptance dan self

esteem). Setiap orang ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh lingkungannya.

g. Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan

masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu jangka pendek (hidup di dunia) dan jangka panjang (hidup di akhirat). Hidup di dunia sifatnya sementara yang merupakan persiapan bagi kehidupan yang kekal di akhirat nanti.

h. Kebutuhan akan tercapainya derajat dan martabat yang makin tinggi

sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau kedudukan manusia didasarkan pada tingkat keimanan seseorang. Apabila seseorang ingin agar derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan maka dia senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanannya.

i. Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama

manusia. Manusia hidup saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan dengan orang di sekitarnya senantiasa dijaga. Manusia juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan alamnya sebagai tempat hidupnya. Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam ini.


(40)

31

j. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilai-nilai

religius. Komunitas keagamaan diperlukan oleh seseorang dengan sering berkumpul dengan orang yang beriman akan mampu meningkatkan iman

orang tersebut.13

Dari kesepuluh butir kebutuhan spiritual yang dijelaskan Clinebell, peneliti menarik kesimpulan bahwa kebutuhan spiritual adalah kebutuhan dasar seorang manusia dalam menjalani kehidupan keberagamaannya agar tercapai sebuah hubungan spiritual yang seimbang secara vertikal dan horisontal.

C. Teori Max Weber: Agama dan Ekonomi

Dari sekian banyak sumbangan Weber terhadap pengembangan sosiologi

ekonomi, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism adalah karya

monumentalnya. Dalam karyanya tersebut Weber menyatakan bahwa ketelitian yang khusus, perhitungan dan kerja keras dari bisnis Barat didorong oleh perkembangan etika Protestan yang muncul pada abad ke-16 M dan digerakkan

oleh doktrin Calvinisme, yaitu doktrin tentang takdir. Pemahaman tentang takdir

menuntut adanya kepercayaan bahwa Tuhan telah memutuskan tentang keselamatan dan kecelakaan. Selain itu, doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorangpun yang dapat mengetahui apakah dia termasuk salah seorang yang

terpilih. Dalam kondisi seperti ini menurut Weber, pemeluk Calvinisme

mengalami “panik terhadap keselamatan”. Cara untuk menenangkan kepanikan

13


(41)

32

tersebut adalah orang harus berpikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi Tuhan. Oleh karena itu, keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk mencapai keberhasilan, seseorang harus melakukan aktivitas kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi yang dilandasi dan bersahaja, yang didorong oleh

ajaran keagamaan.14

Menurut Weber, Calvinisme terutama sekte puritanisme, melihat kerja

sebagai Beruf (panggilan). Kerja tidak hanya sekadar pemenuhan kebutuhan,

tetapi merupakan tugas suci. Sikap keagamaan menurut doktrin ini adalah askese

duniawi (innerwordly ascesticism), yaitu intensifikasi pengabdian agama yang

dijalankan dalam kegairahan kerja sebagai gambaran dan pernyataan dari manusia yang terpilih. Dalam kerangka pemikiran teologis seperti ini, maka semangat kapitalisme yang bersandarkan kepada cita ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional, dan sanggup menahan diri, telah menemukan pasangannya. Sukses hidup yang dihasilkan oleh kerja keras bisa dianggap sebagai pembenaran bahwa seorang pemeluk agama adalah orang yang terpilih.

1. Semangat Kapitalisme

Max Weber adalah tokoh sosiologi yang telah menyajikan suatu hasil penelitian mengenai sejarah timbulnya kapitalisme modern, yang terdapat

dalam bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of

Capitalism.

Inti dari perumusan Weber mengenai kapitalisme adalah suatu orientasi rasional terhadap keuntungan-keuntungan ekonomis. Oleh karena itu,

14


(42)

33

Weber menyebut masyarakat sebagai kapitalistis apabila secara sadar warga

masyarakat tersebut bercita-cita untuk mendapatkan (harta) kekayaan.15

Menurut Weber, mendapatkan keuntungan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat etis, yang pembenarannya tidak datang dengan sendirinya. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Weber mengemukakan periode-periode sejarah di mana kelompok-kelompok kecil yang bersifat kapitalistis diremehkan atau dipandang rendah oleh masyarakat luas. Abrahamson menjelaskan, bahwa:

In fourteenth-century florence, ..., there was a merchant class conspicuously oriented toward economic profits. The genteel, refined tasted of the lauded aristocracy were dominant, however, and the aristocrats snubbed the merchants for their lack of good taste, Shakespeare’s Caricature of shylock, in the Merchant of Venice, captures the popular comtemt in which the capitalistis were held. Of course, they had money. This meant it was sometimes neccessary to deal with them ...16

Weber mempertanyakan, apa yang harus terjadi untuk mengubah penghinaan terhadap kehormatan; untuk mentransformasikan cita-cita

mengejar keuntungan ke dalam kegiatan yang dibenarkan dari sudut moral?17

2. Etika Protestan

Weber berpendapat, bahwa jawaban atas pertanyaan di atas, ada dalam etika Protestan yang merupakan ajaran-ajaran Martin Luther dan John Calvin pada abad ke-16. Sebagai suatu ajaran yang merupakan produk reformisme

15

Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, (New York: Routledge, 2005), 58.

16

Mark Abrahamson, An Introduction to Concept, Issues, and Research (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1981), 209.

17

Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1983), 92.


(43)

34

Protestan, doktrin tersebut bertentangan dengan Katolikisme pada abad menengah. Perbedaan tersebut merupakan legitimasi bagi kapitalisme.

Etika Protestan adalah salah satu teori Weber yang paling berpengaruh tentang hubungan timbal balik antara agama dan ekonomi. Etika Protestan menanamkan keutamaan-keutamaan individualisme, hidup sederhana, hemat, dan pemuliaan pekerjaan yang religius (praktik-praktik yang jelas membantu

akumulasi kekayaan).18

Dasar-dasar dari pendapat Weber yang perlu dipahami adalah,

a. Etika Protestan tidak dianggap sebagai penyebab kapitalisme. Para

pedagang dan mungkin orang-orang lain sudah berorientasi kapitalistis sebelum timbulnya reformasi Protestan. Etika tersebut merupakan

legitimasi penting bagi kapitalisme, yang memungkinkan

perkembangannya.

b. Secara umum Weber menganggap, bahwa bidang keagamaan merupakan

sumber utama dari nilai-nilai dan cita-cita yang berkembang ke seluruh aspek kehidupan manusia.

Weber menganggap, bahwa etika Protestan menghasilkan kekuatan kerja yang disiplin, serta bermotivasi tinggi. Kekayaan merupakan petunjuk keberhasilan, sedangkan kemiskinan adalah tanda kegagalan secara moral. Kalau seseorang miskin, maka dia itu pemalas, lemah dan pada umumnya

18

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi Jilid I edisi 6, terjemah Aminudin Ram dan Tita Sobari (Jakarta: Erlangga, 1984), 311-312.


(44)

35

tidak bermoral. Oleh karena itu, etika Protestan merupakan pembenaran etis

terhadap hidupnya kapitalisme modern.19

Menurut Weber, bukan (kekuatan) ekonomi yang menentukan agama,

tetapi agama-lah yang menentukan arah perkembangan ekonomi.20

3. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme

Untuk menjelaskan peran agama mengakibatkan kapitalisme, Weber mengatakan bahwa:

a. Kapitalisme bukanlah sekadar suatu perubahan superfisial. Sebaliknya,

kapitalisme mewakili suatu cara berpikir mengenai pekerjaan dan uang yang pada dasarnya berbeda. Secara tradisional, orang hanya bekerja secukupnya untuk memenuhi keperluan dasar mereka, bukan mencari

surplus untuk diinvestasikan. Memiliki tujuan mengakumulasi uang

(modal), dan bukan hanya menggunakannya, merupakan suatu penyimpangan radikal dari cara berpikir yang tradisional. Orang bahkan mulai menganggap investasi demi laba sebagai suatu kewajiban, yang pada gilirannya, akan mereka investasikan lagi guna mengambil laba yang lebih besar lagi. Weber menyebut pendekatan baru terhadap pekerjaan dan

uang ini sebagai semangat kapitalisme(the spirit of capitalism).

b. Mengapa kapitalisme berkembang di Eropa dan tidak di Cina atau India, di

mana orang memiliki sumber daya materi dan pendidikan yang sama? Menurut Weber, agama merupakan kuncinya. Agama Cina, India, dan Katolik Roma di Eropa, mempromosikan suatu pendekatan tradisional ke

19

Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi…, 95. 20


(45)

36

arah kehidupan, bukan penghematan dan investasi. Kapitalisme muncul kala Protestanisme datang.

c. Apa yang berbeda pada Protestanisme, khususnya Calvinisme? John

Calvin mengajarkan bahwa Tuhan telah menakdirkan beberapa orang untuk masuk surga dan orang lain ke neraka. Orang tidak dapat menggantungkan diri pada keanggotaan dalam gereja ataupun pada perasaan mengenai hubungan mereka dengan Tuhan untuk mengetahui apakah mereka akan diselamatkan. Menurut Weber, seseorang tidak akan tahu nasib mereka (masuk surga atau neraka) sebelum mereka meninggal.

d. Doktrin ini membuat orang gelisah. Para pengikut aliran Calvin

bertanya-tanya, “Apakah saya ditakdirkan masuk neraka atau surga?”, Kata mereka bergumul dengan pertanyaan ini. Mereka menyimpulkan bahwa para anggota gereja mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa mereka adalah pilihan Tuhan dan seakan-akan hidup mereka ditakdirkan masuk surga, karena usaha yang baik merupakan suatu demonstrasi keselamatan diri mereka.

e. Kesimpulan ini memotivasi para pengikut aliran Calvin untuk

menjalankan suatu kehidupan moral dan kerja keras, tidak membuang-buang waktu, dan untuk berhemat, karena kemalasan dan penghamburan uang mewakili sifat keduniawian. Weber menyebut pendekatan penyangkalan diri atas kehidupan ini sebagai etika Protestan (Protestant ethic).


(46)

37

f. Dengan demikian suatu perubahan pada agama (dari Katolikisme ke

Protestanisme, khususnya Calvinisme) mengakibatkan suatu perubahan mendasar dalam pemikiran dan perilaku (etika Protestan). Hasilnya ialah

semangat kapitalisme.21

Menurut peneliti, secara garis besar teori Weber mengenai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme adalah teori Weber yang menjelaskan bahwa keterkaitan hubungan antara agama dan ekonomi. Ekonomi (materi atau kekayaan) bisa maju dan berkembang jika spiritualitas keagamaan seseorang tersebut juga tinggi, karena keberhasilan (materi) di dunia adalah cerminan keberhasilan di akhirat. Sehingga agama menjadi pendorong seseorang untuk giat melakukan aktivitas ekonomi.

Teori Weber mengenai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme ini adalah sanggahan terhadap teori Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat, sehingga setiap pemeluk agama tidak akan bisa maksimal dan mengembangkan kehidupan duniawinya (ekonomi) jika dengan beragama. Karena agama menjadi pelarian dalam melupakan penderitaan dunia.

Berlandaskan teori Weber mengenai Etika Protestan dan Semangat

Kapitalisme inilah, peneliti kemudian menggunakannya sebagai pijakan berpikir

dalam melakukan penelitian dengan judul “Ekonomi dan Spiritualitas Perspektif Para Biksu di Maha Vihara Mojopahit, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan –

Kabupaten Mojokerto”.

21

James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Jilid II edisi 6, terjemah Kamanto Sunarto (Jakarta: Erlangga, 2007), 170.


(47)

BAB III

MAHA VIHARA MOJOPAHIT

DAN PARA BIKSU

A. Sejarah Maha Vihara Mojopahit

Pada tahun 1982 dengan ide dan gagasan luhur, Biksu Viriyanadi

Mahathera mencoba untuk merintis mendirikan Buddhist Centre di wilayah

Kecamatan Trowulan, tepatnya di Desa Bejijong. Buddhist Centre tersebut

didirikan dengan memakai nama Maha Vihara Mojopahit, karena lokasinya berada di tempat bekas berdirinya keprabuan Mojopahit yaitu Trowulan. Mojopahit sendiri adalah salah satu kerajaan terbesar di Pulau Jawa pada tahun 1293 M yang dipimpin Kertarajasa Jaya Wardhana (Raden Wijaya) sebagai raja pertamanya. Menurut cerita yang banyak diakui, nama Mojopahit berasal dari dongeng ketika orang-orang Madura membuka hutan di wilayah Tarik. Mereka merasa lapar ketika melihat buah Maja yang subur. Mereka memakannya namun rasanya pahit sekali. Oleh karena itu, daerah hutan Tarik yang sedang dibuka itu

diberi nama Mojopahit.1

Penggunaan nama Mojopahit pada Maha Vihara Mojopahit didasari

karena alasan: pertama, untuk menepis anggapan yang beredar selama ini bahwa

agama Buddha adalah milik orang-orang Cina atau Tionghoa. Kedua, untuk

mengenang keharuman dan mengembalikan kejayaan sejarah keprabuan

1

Slamet Mulyana, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Mojopahit,


(48)

39

Mojopahit. Didirikannya Buddhist Centre tersebut adalah dengan harapan bisa

menjadi kebanggaan bagi umat Buddha di Indonesia.

Lokasi yang dipilih Biksu Viriyanadi Mahathera sebagai tempat

didirikannya Maha Vihara Mojopahit berada di selatan Siti Inggil (Makam Raden

Wijaya), yaitu di Desa Bejijong. Tanah tersebut menjadi pilihan Biksu Viriyanadi Mahathera karena setelah beliau melakukan semedi di Siti Inggil, beliau mendapat petunjuk supaya berjalan ke arah selatan dan akan ditemukan lahan perkebunan kedondong yang dikelilingi oleh pohon jati dan tertutup dengan anyaman bambu (gedeg).2

Setelah bertanya kepada warga sekitar mengenai siapa pemilik tanah tersebut oleh Biksu Viriyanadi, ternyata pemilik tanah tersebut adalah seorang janda yang bernama Ibu Madris. Kemudian Biksu Viriyanadi menemui Ibu Madris dan menjelaskan alasan beliau tertarik ingin membeli tanah milik Ibu Madris tersebut. Alasan Biksu Viriyanadi ingin membeli tanah Ibu Madris adalah karena beliau ingin mendirikan Sanggar Pemujan Buddha di Trowulan. Ibu Madris pun mengijinkan Biksu Viriyanadi membeli tanah miliknya. Ketika itu Biksu Viriyanadi hanya membeli tanah seluas 800 m² untuk pembangunan Maha Vihara Mojopahit di wilayah yang telah dipilihnya tersebut. Dengan pembelian tanah tersebut kemudian Biksu Viriyanadi Mahathera mengundang YA. Agga Jinamitto Thera dan YA. Dharma Suryabhumi untuk meninjau lokasi tanah tersebut. Setelah meninjau tanah yang ditunjukkan Biksu Viriyanadi Mahathera,

2

Menurut Biksu Viriyanadi, buah kedondong yang banyak seratnya memberikan isyarat bahwa merupakan suratan takdir bagi dirinya untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya di atas tanah tersebut. Sedangkan pohon jati yang mengelilingi kebun menunjukkan bahwa sejatining diri memang ada di lokasi ini.


(49)

40

YA. Agga Jinamitto Thera dan YA. Dharma Suryabhumi memberikan saran

kepada beliau untuk memperluas lagi lahan yang telah dipersiapkan tersebut.3

Pada awal proses pembangunan Maha Vihara Mojopahit, masyarakat Desa Bejijong yang mayoritas muslim sempat menentang berdirinya vihara tersebut. Alasannya adalah dikhawatirkan berdirinya Maha Vihara Mojopahit tersebut dapat mengganggu aktivitas keagamaan ataupun sosial masyarakat di sekitar vihara, terlebih adanya misi penyebaran Agama Buddha. Pasalnya tidak ada satu pun warga masyarakat Desa Bejijong yang beragama Buddha. Namun berkat

penjelasan, pendekatan, dan penyampaian argumentasi yang dapat

dipertanggunjawabkan sesuai dengan tujuan didirikannya vihara oleh pengurus dan panitia pembangunan Maha Vihara Mojopahit, akhirnya masyarakat Desa Bejijong dapat menerima dan menyambut baik didirikannya vihara tersebut.

Pihak pemerintah daerah mulai dari Kepala Desa, Kapolsek, Camat, dan Bupati juga turut memberi dukungan terhadap berdirinya Maha Vihara Mojopahit

di Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto sebagai Buddhist

Centre.4 Hal ini merupakan modal awal bagi Biksu Viriyanadi Mahathera dalam

proses merintis pendirian Maha Vihara Mojopahit sebagai Buddhist Centre,

karena tanpa adanya dukungan dan izin dari masyarakat sekitar Maha Vihara Mojopahit tidak akan pernah berdiri hingga sekarang.

Pada tahun 1985, setelah Biksu Viriyanadi Mahathera masuk anggota Sangha, maka gagasan pendirian Maha Vihara Mojopahit tersebut dibicarakan

3

Tim penyusun, Buku Kenangan Peresmian Maha Vihara Mojopahit dan Peringatan 20 Tahun Pengabdian YA. Prha Agga Jinamitto Maha Thera, (Mojopahit: Yayasan Lumbini, 1989), 46-47.

4


(50)

41

dengan YA. Maha Resi Jinaphalo di Yogyakarta. Mengetahui rencana Biksu Viriyanadi Mahathera yang akan mendirikan Maha Vihara Mojopahit sebagai Buddhist Centre, YA. Maha Resi Jinaphalo dengan didampingi YA. Agga Jinamitto Thera dan YA. Ugadhomma Thera meninjau lokasi di Kecamatan Trowulan.

Pada waktu peninjauan di daerah selatan Siti Inggil itulah YA. Maha Resi

Jinaphalo mengatakan agar cita-cita Biksu Viriyanadi Mahathera segera direalisasikan. Pada waktu itu juga YA. Maha Resi Jinaphalo memberikan dana untuk modal awal pembangunan sebesar Rp 500.000. Setelah YA. Maha Resi

Jinaphalo melakukan peninjauan di daerah selatan Siti Inggil tersebut, beliau

kemudian melaporkan rencana pembangunan Buddhist Centre tersebut kepada

Mahasthavira Ashin Jinarakhitta.5 Mahasthavira Ashin Jinarakhitta menyambut

baik rencana tersebut dan merestuinya dengan memberi sumbangan dana awal

sebesar Rp 100.000.6

Sebagai tindak lanjut dari rencana didirikannya Buddhist Centre tersebut,

pada tanggal 13 Desember 1985 YA. Viriyanadi Mahathera mendirikan Yayasan Lumbini dengan Akta Notaris Salim Handoko, SH. No. 12 tahun 1985 di Mojokerto.

Tujuan pendirian Yayasan Lumbini yang tertuang dalam akta notaris adalah sebagai berikut:

1. Mendirikan vihara-vihara, sekolah-sekolah dan pusta-pusat pendidikan agama

Buddha.

5

Viriyanadi, Biksu Maha Vihara Mojopahit, Wawancara, Trowulan, 18 April 2015. 6


(51)

42

2. Mendirikan dan memelihara krematorium dan rumah abu untuk umum.

3. Mendirikan rumah sakit dan panti asuhan.

4. Membantu Sangha Agung Indonesia dan Departemen Agama RI dalam

menjaga kemurnian ajaran Sang Buddha Sakyamuni.

5. Mengadakan beasiswa untuk umum.

Susunan pengurus Yayasan Lumbini saat pendirian pertama adalah sebagai berikut:

Pendiri : YA. Viriyanadi H.T

Pelindung : Ketua Umum DPP M.J.G.R

Sangha Agung Indonesia

Pembina : YA. Agga Jinamitto Maha Thera

YA. Resi Wiku Dewadharmaputra

Ketua : YA. Viriyanadi H.T

Wakil Ketua : YA. Nyanasuryanadi

Sekretaris : Yanuar Arifin

Bendahara : Chandra Wurianto

Komisoris : Dhammiko Pannvana7

Dari yayasan Lumbini tersebut. dibebaskanlah tanah seluas

yang terletak di sebelah selatan Siti Inggil. Selain dari Yayasan Lumbini, yayasan Borobudur Medan juga turut membantu dalam pembebasan tanah tersebut.

Dengan bermodal tanah seluas , Surat Keputusan Bupati

Mojokerto No.20 tahun 1987, dan Surat Ijin Bangunan No.69 tahun 1987

7


(52)

43

dimulailah pembangunan Buddhist Centre Maha Vihara Mojopahit. Pada tanggal

11 April 1987 Mahasthavira Ashin Jinarakhitta memberikan pemberkatan tanah

lokasi pembangunan dengan disaksikan oleh para anggota Sangha dan undangan lainnya. Pada tanggal yang sama, dilakukan peletakan batu pertama oleh Bapak Mayor Sorparno Kakan Sospol Kabupaten Mojokerto mewakili Bupati Mojokerto, dengan dihadiri oleh pejabat-pejabat Muspida dan Muspika setempat, Bimas Hindu dan Buddha Kanwil Depag Propinsi Jawa Timur, Walubi Jatim, dan pengurus Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Jawa Timur.

Pembangunan Buddhist Centre Maha Vihara Mojopahit berjalan lancar.

Hal tersebut dibuktikan dengan waktu yang cukup singkat dalam proses

pembangunan Maha Vihara tersebut. Terhitung tahun pembangunan, tepatnya

pada tanggal 31 Desember 1989 Maha Vihara Mojopahit diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur, yaitu Bapak Soelarso pada pukul 08.00 WIB.

B. Komplek Bangunan Maha Vihara Mojopahit

Selama kurang lebih 16 tahun berfungsi sebagai tempat ibadah dan Buddhist Centre, Maha Vihara Mojopahit selalu melakukan pembenahan diri. Sebuah komplek bangunan dapat dinyatakan sebagai vihara, apabila memiliki sekurangnya tiga unsur bangunan dalam komplek, diantaranya: Bhakti Sala, Kuti, Pusatagara atau Lazim. Bhakti Sala adalah suatu ruang yang dipergunakan untuk bersembahnyang, baik secara individu maupun secara bersama-sama. Kuti adalah

ruang khusus tempat tinggal para biksu dan biksuni. Pusatagara atau Lazim


(53)

44

Maha Vihara Mojopahit telah melakukan pembenahan dengan membangun ketiga unsur tersebut di atas dan dapat dikatakan sebagai vihara. Komplek peribadatan umat Buddha yang belum memenuhi tiga unsur tersebut di atas disebut Cetya. Fungsi Cetya hampir sama dengan vihara, yaitu sebagai tempat ibadah umat Buddha. Namun lingkup umat yang datang cenderung terbatas.

Beberapa bangunan yang terdapat di dalam Maha Vihara Mojopahit antara lain:

1. Bhakti Sala/Dhammasala

Ruangan yang digunakan untuk melakukan ritual/ibadah dan

mendengarkan Dhamma Desana (ceramah dhamma) yang disampaikan oleh

para biksu (para tokoh Agama Buddha). Bhakti Sala yang terdapat di Maha

Vihara Mojopahit disebut dengan Sasono Bhakti. Terdapat tiga altar dewa di

dalam Bhakti Sala, yaitu Altar Kwan Im (Avalokitesvara), Altar Buddha

Sakyamuni, dan Altar Dewi Tara. Ketiga altar dalam ruang tersebut sebagai representasi tiga aliran Agama Buddha yang berkembang di Indonesia, yaitu Buddha Mahayana, Buddha Theravada (Hinayana), dan Buddha Tantrayana.

2. Altar Kwan Im

Altar ini terletak di sisi sebelah kiri dalam ruang Bhakti Sala. Altar ini

berisi patung Avalokitesvara Kwan Se Im Phosat yang diperuntukkan bagi

penganut Buddha aliran Mahayana yang melakukan sembahyang di Maha Vihara Mojopahit. Kwan Im adalah salah satu makhluk suci yang diagungkan dalam tradisi Mahayana.


(54)

45

3. Altar Buddha Sakyamuni

Altar ini terletak di bagian tengah dengan ukuran yang lebih besar dari

ketiga altar yang terdapat di dalam ruang Bhakti Sala. Buddha Sakyamuni

tidak lain adalah Buddha Gautama yang merupakan pendiri dan penyebar Agama Buddha. Dua altar di sebelah kanan dan kirinya adalah altar dua murid setianya yang bernama Mogalanan dan Sariputa. Altar Buddha Sakyamuni ini diperuntukkan bagi penganut Buddha aliran Theravada (Hinayana) yang melakukan sembahyang di Maha Vihara Mojopahit.

4. Altar Dewi Tara

Altar ini terletak di sisi sebelah kanan dalam ruang Bhakti Sala. Altar

ini diperuntukkan bagi penganut Buddha aliran Tantrayana yang melakukan sembahyang di Maha Vihara Mojopahit. Hal ini dikarenakan Dewi Tara adalah salah satu dewi yang disebutkan dalam literatur Tantrayana.

5. Altar Dewa Brahma

Altar She Mien Fu (Maha Brahma Catur Muka) ini terletak di

belakang ruang Bhakti Sala. Altar ini diperuntukkan bagi umat Buddha yang

akan melakukan pemujaan kepada Dewa Brahma. Merupakan tempat sembahyang bagi umat Buddha yang meyakini Dewa Brahma tersebut. Hal ini dikarenakan menurut umat Buddha, Dewa Brahma turut berperan penting akan tersebarnya ajaran Buddha. Dewa Brahma lah yang memohon kepada Buddha Gautama untuk mau mengajarkan apa yang telah ditemukannya ketika Sang Buddha berputus asa dan akan mengurungkan niatnya untuk menyebarkan ajarannya kepada umat manusia.


(55)

46

6. Bangunan-bangunan lain

Selain Bhakti Sala yang berfungsi sebagai bangunan utama dalam

melakukan ibadah di Maha Vihara Mojopahit, terdapat pula bangunan-bangunan lain yang digunakan sebagai penunjang aktivitas di Maha Vihara Mojopahit. Beberapa bangunan yang terdapat di Maha Vihara Mojopahit

antara lain: ruang kantor Sangha, Kuti, joglo tempat lonceng, joglo tempat

tambur/bedug, dapur dan ruang makan para Biksu, Rupang Sleeping Buddha,

kamar asrama, miniatur Candi Borobudur, miniatur taman rusa, ruang

pertemuan dan perpustakaan, serta asrama (tempat penginapan para tamu). Ruang kantor Sangha yaitu ruangan yang digunakan untuk melakukan aktivitas yang berkenaan dengan keorganisasian Sangha dan sebagai tempat untuk melakukan administrasi dan pembukuan vihara. Di salah satu ruangan di kantor Sangha juga digunakan sebagai tempat tinggal Biksu kepala Maha Vihara Mojopahit.

Kuti adalah bangunan yang diperuntukkan khusus sebagai tempat tinggal para biksu dan biksuni yang ada di Maha Vihara Mojopahit. Joglo tempat lonceng dan tempat tambur/bedug adalah bangunan yang terletak di

sebelah depan kanan dan depan kiri ruang Bhakti Sala, yang digunakan saat

melakukan persembahyangan di Maha Vihara Mojopahit.

Dapur dan ruang makan adalah bangunan yang berfungsi sebagai dapur khusus para Biksu yang digunakan untuk memasak dan juga tempat makan para Biksu. Makanan seorang Biksu berbeda dengan manusia pada umunya. Seorang Biksu tidak diperbolehkan atau dilarang memakan daging


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti mengenai keterkaitan antara ekonomi dan spiritualitas perspektif para biksu di Maha Vihara Mojopahit Trowulan Mojokerto dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam perspektif para biksu di Maha Vihara Mojopahit, ekonomi adalah sebuah penghidupan berupa materi, yang itu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka memaknai ekonomi sebagai suatu alat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam pandangan para biksu di Maha Vihara Mojopahit, ekonomi terbagi menjadi dua yaitu ekonomi bagi perumah tangga (Gharavasa) dan ekonomi bagi biksu

(Pabbajita). Ekonomi bagi perumah tangga (umat Buddha) memang

diharuskan dalam ajaran Buddha untuk memperolehnya, karena seorang perumah tangga harus memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya. Sedangkan ekonomi bagi biksu adalah sesuatu yang harus ditinggalkan. Dikarenakan tugas pokok dan kewajiban seorang biksu bukanlah untuk mencari ekonomi, melainkan hanya untuk memperdalam spiritualitasnya. 2. Selanjutnya para biksu memaknai spiritualitas sebagai sebuah tujuan dalam

hidup. Spiritualitas adalah modal seorang manusia di dunia untuk bisa mencapai kebahagiaan yang abadi di alam selanjutnya. Spiritualitas merupakan moral yang terdapat dalam diri manusia, sehingga moral


(2)

84

merupakan cerminan dari spiritualitas manusia. Menurut para biksu, spiritualitas yang tinggi bisa dicapai oleh seorang manusia yaitu dengan melatih diri dan menyempurnakan kehidupan melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan.

3. Keterkaitan antara ekonomi dengan spiritualitas dalam perspektif para biksu, sesuai dengan teori Max Weber mengenai agama dan ekonomi, yang menjelaskan bahwa keduanya saling berhubungan. Hal tersebut sesuai dengan seorang perumah tangga dalam agama Buddha. Bagi seorang perumah tangga memperoleh ekonomi dapat dikatakan sebagai tugas suci karena selain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, di dalam Vinaya Pitaka dijelaskan bahwa kebutuhan seorang biksu ditanggung oleh perumah tangga sehingga bagi perumah tangga yang memang taat dengan ajaran Buddha, mereka juga harus mendermakan sebagian ekonominya untuk memenuhi kebutuhan biksu. Dengan demikian ekonomi seorang buddhis akan meningkat dan terangkat sejalan dengan spiritualitasnya, karena semakin mereka memahami dan taat dengan ajaran Buddha, semakin besar pula motivasi yang muncul pada diri mereka untuk memperoleh ekonomi sesuai dengan ajaran Buddha.

B. Saran

Berdasarkan data penelitian yang ditemukan peneliti di lapangan, maka peneliti memberikan beberapa saran yang dapat peneliti usulkan kepada para peneliti dalam melakukan penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut:


(3)

85

1. Mengkaji penelitian dengan tema yang sama dengan penelitian ini yaitu “Ekonomi dan Spiritualitas”. Namun objek yang dijadikan sebagai objek penelitian berbeda. Jika pada penelitian ini menggunakan para Biksu dalam agama Buddha sebagai objek penelitiannya, mungkin penelitian selanjutnya bisa menggunakan para Kiai dalam agama Islam atau para Pendeta dalam agama Kristen sebagai objek penelitiannya.

2. Mengkaji penelitian dengan tema “Politik dan Spiritualitas Perspektif Para Biksu”, karena dalam penelitian ini mengkaji “Ekonomi dan Spiritualitas Perspektif Para Biksu” sehingga menurut peneliti kedua tema tersebut saling berkesinambungan.


(4)

86

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abrahamson, Mark. An Introduction to Concept, Issues, and Research. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1981.

Ali, Mukti dkk. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.

Arsip Yayasan Lumbini Maha Vihara Mojopahit, 1985.

B. Horton, Paul. dan Chester L. Hunt. Sosiologi Edisi 6 Jilid I. ter. Aminudin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Erlangga, 1984.

Damsar dan Indrayani. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana, 2009. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, Cet.III, 2005.

Dhammavisarada, Rashid. Sila dan Vinaja. Jakarta: Buddhist Bodi, 1997.

Hadi, Sutrisno. Metode Research Cet. IX. Yogyakarta: Jajasan Penerbitan FIP-IKIP, 1968.

Hsing Yun, Y.A. Mahabhikshu. Karakteristik dan Esensi Agama Buddha. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya, 1994.

J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.

James, Black. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Jakarta: Refika Aditama, 1999.

Keene, Michael. Agama-agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Kozier, B. dan R. Oliver, Fundamental of Nursing; Consept, Process and Practice, Fourth Edition. California: Addison-Wesley Publishing CO, 2004.

M. Henslin, James. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid II. ter. Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga, 2007.

Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Marzuki. Metodologi Research Fakultas Ekonomi. Yogyakarta: 1983.


(5)

87

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.

Mulyana, Slamet. Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Mojopahit. Yogyakarta: LKIS, 2005.

Nasruddin. Diktat Mata Kuliah Agama Buddha. Surabaya: Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011. Nasution, S. Metode Reseach. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Nyana Virya. Biksu Maha Vihara Mojopahit. Wawancara. Trowulan. 2015. Nyanavira. Biksu Maha Vihara Mojopahit. Wawancara. Trowulan. 2015.

Penyika. Kamus Umum Buddha Dharma Pali-Sansekerta-Indonesia. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1994.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Poerwodarminto. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Soehartono, Irwan. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.

Soekanto, Soerjono. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1983.

Sutrisno, Mudji. Buddhisme: Pengaruhnya dalam Abad Modern, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Tim penyusun. Buku Kenangan Peresmian Maha Vihara Mojopahit dan Peringatan 20 Tahun Pengabdian YA. Prha Agga Jinamitto Maha Thera. Mojopahit: Yayasan Lumbini, 1989.

Tipitaka, Petikan Anguttara Nikaya Kitab Suci Agama Buddha, Ed.1 Cet.1 terj. Nyanaponika Thera dan Bhikkhu Bodhi. Klaten: Dhammaguna, 2001. Tipitaka, Samyutta Nikaya Kitab Suci Agama Buddha, Ed.1 Cet.1 Vol.5 terj.

Bhikkhu Bodhi. Klaten: Dhammaguna, 2009.

Tondowidjoyo, John. Masalah Pandangan Hidup Ketimuran. Surabaya: Sanggar Bina Tama, 1983.


(6)

88

Weber, Max. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. New York: Routledge, 2005.

Wowor, Cornelis. Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: Arya Surya Candra, 1997.

Yandi Wijaya, Willy. Penghidupan Benar. Yogyakarta: Vidyasena Production, 2012.

B. Situs Internet

Nur Faizah, http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=4475 (Rabu, 18 Maret 2015)

Rohman Azzam, https://www.academia.edu/7107231/SPIRITUAL_CARE_

SPIRITUAL_CARE_SPIRITUAL_CARE_SPIRITUAL_CARE_Cont ents “Spiritual Care” (Jumat, 20 Maret 2015)

Y.M. Bhikkhu Sugono, http://www.buddhistonline.com/dhammadesana/desana7 .shtml “Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi” (Selasa,24 Maret 2015)